PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PRAKTEK PEMBERIAN ASI
SERTA STATUS GIZI BAYI USIA 4-12 BULAN
DI PERDESAAN DAN PERKOTAAN
ASRINISA RACHMADEWI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
ABSTRACT
ASRINISA RACHMADEWI. Breastfeeding Knowledge, Attitude, Practice, and 4-12 Months Infants Nutritional Status in Rural and Urban Areas. Under direction of ALI KHOMSAN.
Exclusive breastfeeding rates in Indonesia is still low. Some studies indicated that low mothers' nutritional knowledge and attitude is the cause of low exclusive breastfeeding practice. The main aim of this study was to compare breastfeeding knowledge, attitude, practice and infants nutritional status between rural and urban areas. In this cross-sectional study, Desa Jayabakti, Kabupaten Sukabumi represents rural area, while Kelurahan Kedung Jaya, Kota Bogor represents urban area. Samples were 31 mothers-infants in each area who were selected by simple cluster sampling method. The differences between two areas were analyzed with the independent t-test, chi-square test, and Fisher's exact test. The correlation between variables were analyzed with rank Spearman. The result of this study showed that mother's knowledge and attitude of nutrition, especially about exclusive breastfeeding, was higher in urban than in rural area. There were differences in mothers' knowledge and attitude between rural and urban areas (p<0.05). Exclusive breastfeeding in rural area practiced by 41.9%, which is higher than in urban area (25.8%). Nevertheless, there was no statistical difference in exclusive breastfeeding practice between rural and urban areas (p>0.05). Breastfeeding practices which statistically difference in rural and urban areas were the introduction of colostrum status and brastfeeding time (p<0.05). Early initiation of breastfeeding was associated with exclusive berastfeeding practice in urban area (p<0.05), but none of the variables were associated with exclusive breastfeeding practice in rural area (p>0.05). Furthermore, exclusive breastfeeding practice was not associated with 4-12 months infants nutritional status (p>0.05). Mothers' family should be targeted as target of audience in breastfeeding promotion.
Keywords: breastfeeding practice, exclusive breastfeeding, knowledge, attitude, infant nutritional status, rural and urban areas.
RINGKASAN
ASRINISA RACMADEWI. Pengetahuan, Sikap, dan Praktek Pemberian ASI serta Status Gizi Bayi Usia 4-12 bulan di Perdesaan dan Perkotaan. Dibimbing oleh ALI KHOMSAN.
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk membandingkan pengetahuan, sikap, dan praktek pemberian ASI, serta status gizi bayi usia 4-12 bulan di perdesaan dan perkotaan. Tujuan khususnya adalah (1) Mengetahui karakteristik ibu dan bayi, (2) Mempelajari pengetahuan dan sikap gizi ibu, (3) Mempelajari praktek pemberian ASI, (4) Mengkaji praktek pemberian susu non-ASI dan MP-non-ASI, (5) Menganalisis faktor yang berhubungan dengan pengetahuan dan sikap gizi ibu, (6) Menganalisis faktor yang berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif, serta (7) Menganalisis hubungan pemberian ASI eksklusif dengan status gizi bayi.
Desain penelitian ini adalah cross sectional study. Penelitian dilakukan di dua tempat yang mewakili daerah perdesaan dan perkotaan. Daerah perkotaan diwakili oleh Kelurahan Kedung Jaya, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, sedangkan daerah perdesaan diwakili oleh Desa Jayabakti, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi. Pengambilan data berlangsung mulai April – Mei 2009.
Contoh penelitian adalah pasangan ibu dengan bayi usia 4-12 bulan yang memberikan ASI pada bayinya di kedua daerah penelitian. Contoh terdiri dari 31 pasang ibu-bayi masing-masing di daerah perdesaan dan perkotaan dengan metode pengambilan contoh gugus sederhana (simple cluster sampling). Desa dan kelurahan digugus berdasarkan Posyandu yang ada, kemudian secara acak dipilih Posyandu untuk diteliti seluruh pasangan ibu-bayi yang memenuhi kriteria hingga mencapai minimal 30 pasang ibu-bayi. Posyandu yang terpilih adalah Posyandu Tunas Muda II dan VIII untuk mewakili Desa Jayabakti, sedangkan Kelurahan Kedung Jaya diwakili oleh Posyandu Wijaya Kusuma dan Melati.
Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data pimer meliputi karakteristik ibu, karakteristik bayi, pengetahuan dan sikap gizi ibu, praktek pemberian ASI, serta praktek pemberian susu non-ASI dan MP-ASI. Data sekunder mencakup gambaran umum daerah penelitian serta daftar pasangan ibu-bayi yang memenuhi kriteria. Data diolah dan dianalisis secara statistik deskriptif dan inferensia dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excell 2007 dan Stata 9 for Windows. Uji beda dilakukan dengan menggunakan independent t-test, chi-square test, dan Fisher's exact test. Hubungan antar variabel dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Spearman.
Ibu di perdesaan berusia antara 17-41 tahun, sedangkan ibu di perkotaan berusia antara 18-39 tahun. Tingkat pendidikan ibu di perdesaan mayoritas (32.3%) tamat SD/sederajat, sedangkan di perkotaan mayoritas (45.2%) tamat akademi/perguruan tinggi. Ibu di perdesaan maupun perkotaan mayoritas tidak bekerja (93.5% dan 77.4%). Ibu di perdesaan 64.5% telah mempunyai pengalaman menyusui, sedangkan di perkotaan hanya 48,4% ibu yang telah memiliki pengalaman menyusui.
Bayi di perdesaan mayoritas (38.7%) berada pada usia 4-6 bulan, sedangkan di perkotaan mayoritas (41.9%) berada pada usia 10-12 bulan. Berat lahir bayi di perdesaan 93.5% normal, sedangkan di perkotaan seluruh bayi lahir dengan berat normal. Bayi di perdesaan maupun perkotaan mayoritas (64.5% dan 51.6%) tidak mengalami proses inisiasi menyusu dini. Status gizi bayi di perdesaan maupun perkotaan mayoritas normal (64.5% dan 83.9%).
Pengetahuan dan sikap gizi ibu di perdesaan mayoritas sedang (54.8% dan 58.1%), sedangkan di perkotaan mayoritas tinggi (masing-masing sebesar 77.4%). Terdapat perbedaan yang nyata antara pengetahuan dan sikap gizi ibu di perdesaan dengan perkotaan (p<0.05). Informasi tentang ASI eksklusif baik di perdesaan maupun perkotaan mayoritas diperoleh dari petugas kesehatan.
Praktek ASI eksklusif di perdesaan sebesar 41.9% dan lebih besar dibandingkan perkotaan yang hanya mencapai 25.8%. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara praktek ASI eksklusif di perdesaan dengan perkotaan (p>0.05). Alasan yang dikemukakan ibu di perdesaan untuk memberikan ASI eksklusif mayoritas (30.8%) karena anjuran bidan, sedangkan di perkotaan mayoritas ibu (45.5%) memberikan ASI eksklusif karena ASI merupakan makanan terbaik untuk bayi.
Mayoritas ibu di perdesaan dan perkotaan memberikan ASI saja ≤2 bulan, dan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) antara perdesaan dan perkotaan. Seluruh ibu di perdesaan memberikan kolostrum kepada bayinya, sedangkan di perkotaan hanya 90.3% sehingga terdapat perbedaan yang nyata antara status pemberian kolostrum di perdesaan dengan perkotaan (p<0.05). Di perdesaan, seluruh ibu memberikan ASI setiap bayi meminta, sedangkan di perkotaan waktu pemberian ASI lebih bervariasi sehingga terdapat perbedaan yang nyata antara waktu pemberian ASI di perdesaan dengan perkotaan (p<0.05). Hampir seluruh ibu di perdesaan maupun perkotaan memberikan ASI ≥7 kali/hari (96.8% dan 93.5%) dan berstatus masih menyusui sampai saat penelitian dilakukan (96.8% dan 90.3%). Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara frekuensi pemberian ASI dan status menyusui saat ini di perdesaan dengan perkotaan (p>0.05).
Mayoritas bayi di perdesaan belum pernah mengonsumsi susu non-ASI ketika penelitian berlangsung. Mayoritas bayi di perkotaan telah mengonsumsi susu formula sejak lahir. Ibu di perdesaan lebih sedikit yang memberikan MP-ASI secara tepat baik jenis dan frekuensinya sesuai usia bayi dibandingkan ibu di perkotaan. Mayoritas frekuensi pemberian MP-ASI adalah 3-4 kali/hari. Jenis MP-ASI yang paling banyak dikonsumsi adalah bubur susu instan dan buah.
Pengetahuan gizi ibu berhubungan nyata positif dengan sikap gizi ibu di perdesaan (r=0.4428, p=0.0126) maupun perkotaan (r=0.6939, p=0.000). Faktor yang berhubungan nyata positif dengan tingkat pengetahuan gizi ibu di perdesaan adalah usia ibu (r=0.4902, p=0.0051), status kerja (r=0.3595, p=0.0470), dan pengalaman menyusui sebelumnya (r=0.3691, p=0.0410). Faktor yang berhubungan nyata dengan sikap gizi ibu di perdesaan adalah status kerja (r=0.3661, p=0.0428). Di perkotaan, hanya tingkat pendidikan ibu yang berhubungan nyata positif dengan tingkat pengetahuan gizi (r=0.4489, p=0.0113) serta sikap gizi ibu (r=0.4382, p=0.0137).
Tidak terdapat faktor yang berhubungan nyata dengan praktek ASI eksklusif di perdesaan. Di perkotaan, status inisiasi menyusu dini menjadi satu-satunya faktor yang berhubungan nyata dengan praktek ASI eksklusif (r=0.4616, p=0.0090). Selanjutnya, tidak terdapat hubungan yang nyata antara praktek ASI eksklusif dengan status gizi bayi.
PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PRAKTEK PEMBERIAN ASI
SERTA STATUS GIZI BAYI USIA 4-12 BULAN
DI PERDESAAN DAN PERKOTAAN
ASRINISA RACHMADEWI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Judul Skripsi : Pengetahuan, Sikap, dan Praktek Pemberian ASI serta Status Gizi Bayi Usia 4-12 bulan di Perdesaan dan Perkotaan
Nama : Asrinisa Rachmadewi NRP : I14050853
Disetujui, Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS NIP. 19600202 198403 1 001
Diketahui,
Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS NIP. 19621204 198903 2 002
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala ridha dan karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Topik yang dipilih dalam penelitian ini adalah Pengetahuan, Sikap, dan Praktek Pemberian ASI serta Status Gizi Bayi Usia 4-12 bulan di Perdesaan dan Perkotaan. Secara keseluruhan, penelitian dan penulisan skripsi berlangsung selama bulan Maret hingga Agustus 2009.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan motivasi, arahan, dan masukan selama penulisan skripsi. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu kelancaran selama penelitian dan penyelesaian skripsi.
Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2009
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 13 Desember 1987 dari pasangan Dr. Ir. Saeful Rachman, MSc. dan Dr. Ir. Handewi Purwati, MS. Penulis merupakan anak bungsu sekaligus adik dari Anesia Rachmadewi, B.Acc.
Tahun 2005 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bogor dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur USMI. Tahun kedua di IPB, penulis resmi menjadi mahasiswa mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia.
Selama perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum Ilmu Bahan Makanan pada tahun ajaran 2008/2009, asisten mata kuliah Ekologi Pangan dan Gizi, Perencanaan Pangan dan Gizi, serta Penilaian Satus Gizi pada tahun ajaran 2009/2010. Penulis menjabat sebagai pengurus HIMAGITA periode 2006/2007, Ketua Divisi Informasi dan Komunikasi HIMAGIZI periode 2007/2008 serta mengikuti beberapa kepanitiaan tingkat fakultas dan IPB.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI... viii
DAFTAR TABEL... ix
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN... xii
PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan... 3 Hipotesis... 3 Kegunaan ... 4 TINJAUAN PUSTAKA ... 5
Air Susu Ibu (ASI)... 4
Praktek Pemberian ASI ... 6
Pengetahuan dan Sikap Gizi ... 10
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pengetahuan dan Sikap Gizi, serta Praktek ASI Eksklusif ... 11
Praktek Pemberian Susu Non-ASI dan MP-ASI... 14
Status Gizi ... 15
KERANGKA PEMIKIRAN... 17
METODE ... 19
Desain, Tempat, dan Waktu ... 19
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh ... 19
Jenis dan Cara Pengumpulan Data... 20
Pengolahan dan Analisis Data ... 20
Definisi Operasional ... 22
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24
Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 24
Karakteristik Ibu... 27
Karakteristik Bayi... 28
Pengetahuan Gizi Ibu... 31
Sikap Gizi Ibu ... 35
Praktek Pemberian ASI ... 37
Praktek Pemberian Susu Non-ASI dan MP-ASI... 44
Faktor yang Berhubungan dengan Pengetahuan dan Sikap Gizi Ibu ... 48
Faktor yang Berhubungan dengan Praktek ASI Eksklusif... 49
Hubungan Praktek ASI Eksklusif dengan Status Gizi Bayi ... 52
KESIMPULAN DAN SARAN ... 54
DAFTAR PUSTAKA ... 57
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Kontribusi energi dari zat gizi makro pada ASI dan formula lain ... 5
2 Jenis data yang dikumpulkan ... 20
3 Sebaran karakteristik ibu di perdesaan dan perkotaan ... 28
4 Sebaran karakteristik bayi di perdesaan dan perkotaan ... 29
5 Sebaran status gizi (PB/U) bayi di perdesaan dan perkotaan... 30
6 Sebaran pengetahuan gizi ibu di perdesaan dan perkotaan ... 31
7 Sebaran pertanyaan pengetahuan gizi yang dijawab benar oleh ibu di perdesaan dan perkotaan... 32
8 Sebaran persepsi ibu tentang keuntungan ASI bagi anak ... 34
9 Sebaran persepsi ibu tentang hal negatif dari susu non-ASI ... 34
10 Sebaran media informasi ASI eksklusif di perdesaan dan perkotaan ... 35
11 Sebaran sikap gizi ibu di perdesaan dan perkotaan... 36
12 Sebaran pertanyaan sikap gizi yang dijawab benar oleh ibu di perdesaan dan perkotaan... 36
13 Sebaran praktek ASI eksklusif di perdesaan dan perkotaan... 37
14 Alasan pemberian ASI eksklusif di perdesaan dan perkotaan ... 38
15 Durasi pemberian ASI saja di perdesaan dan perkotaan ... 38
16 Makanan dan cairan yang diberikan sebelum bayi berusia 4 bulan di perdesaan dan perkotaan... 39
17 Status pemberian kolostrum di perdesaan dan perkotaan ... 40
18 Sebaran waktu pemberian ASI pertama di perdesaan dan perkotaan... 40
19 Sebaran waktu pemberian ASI di perdesaan dan perkotaan ... 41
20 Sebaran frekuensi pemberian ASI sehari di perdesaan dan perkotaan .... 41
21 Status menyusui saat ini di perdesaan dan perkotaan... 42
22 Kesulitan pemberian ASI di perdesaan dan perkotaan ... 42
23 Keberlanjutan pemberian ASI di perdesaan dan perkotaan... 43
24 Sebaran waktu pertama kali memperkenalkan susu non-ASI di perdesaan dan perkotaan... 44
25 Alasan pemberian susu non-ASI di perdesaan dan perkotaan ... 44
26 Praktek pemberian susu non-ASI di perdesaan dan perkotaan ... 45
27 Rata-rata konsumsi susu non-ASI di perdesaan dan perkotaan ... 46
28 Frekuensi pemberian MP-ASI di perdesaan dan perkotaan... 46
29 Jenis MP-ASI yang diberikan di perdesaan dan perkotaan... 47
30 Hubungan berbagai variabel dengan pengetahuan dan sikap gizi ibu di perdesaan... 48
31 Hubungan berbagai variabel dengan pengetahuan dan sikap gizi ibu di
perkotaan... 49 32 Hubungan berbagai variabel dengan praktek ASI eksklusif di perdesaan 50 33 Hubungan berbagai variabel dengan praktek ASI eksklusif di perkotaan . 51 34 Hubungan praktek ASI eksklusif dengan status gizi bayi ... 52
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Skema kerangka pemikiran ... 18 2 Skema cara penarikan contoh... 19
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Peta wilayah Kabupaten Sukabumi... 61
2 Peta Wilayah Kota Bogor ... 61
3 Hasil analisis korelasi Spearman variabel di perdesaan ... 62
4 Hasil analisis korelasi Spearman variabel di perkotaan ... 63
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kualitas sumberdaya manusia Indonesia masih terbilang rendah dibandingkan negara lain di dunia. Hal ini dapat dilihat berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Human Development Report UNDP tahun 2008 melaporkan bahwa Indonesia menempati urutan 109 dari 179 negara dengan nilai IPM 0.726. IPM terbagi menjadi empat indikator, salah satunya adalah umur harapan hidup yang dapat menunjukkan derajat kesehatan masyarakat. Umur harapan hidup penduduk Indonesia pada tahun 2008 mencapai rata-rata 70.46 tahun dari 70.16 tahun pada 2007. Semakin tinggi umur harapan hidup di suatu negara, program kesehatan dan pembangunan sosial ekonomi suatu negara dikatakan semakin berhasil.
Departemen Kesehatan RI (Depkes RI) bertanggung jawab merumuskan kebijakan dan program untuk mencapai derajat kesehatan penduduk Indonesia yang lebih baik. Hal ini tercantum dalam UU no 23 tahun 1992 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa pembangunan kesehatan merupakan upaya pemenuhan hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Secara lebih spesifik, UU no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa pemerintah wajib memenuhi hak-hak anak, yaitu kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan perkembangan anak.
Depkes menargetkan pada tahun 2009, prevalensi balita gizi kurang di Indonesia turun menjadi setinggi-tingginya 20% dan gizi buruk setinggi-tingginya 5% yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2005-2009. Kegiatan prioritas mutlak dibutuhkan untuk mencapai target tersebut. Salah satunya adalah peningkatan kerjasama dan dukungan stakeholder dalam pemberdayaan masyarakat untuk memperbaiki pola asuh balita. Perbaikan pola asuh meliputi pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif, penerapan inisiasi menyusu dini serta pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) lokal pada bayi 6 bulan ke atas dan meneruskan ASI sampai usia 2 tahun (Rencana Kerja Program Perbaikan Gizi 2009).
Indonesia saat ini mencatat angka kematian bayi masih sangat tinggi yaitu 35/1000 kelahiran hidup yang artinya dalam satu tahun sekitar 175000 bayi meninggal sebelum mencapai usia satu tahun (KESRA 2008). Hasil penelitian menyatakan kematian neonatal dapat dicegah sebanyak 16% dengan
memberikan ASI pada hari pertama kelahiran dan 22% dengan memberikan ASI pada satu jam pertama kelahiran (Edmond et al. 2005).
Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2003 menyatakan hanya ada 8.3% bayi yang mendapat ASI dalam 30 menit setelah persalinan dan 4% bayi yang mendapat ASI dalam satu jam setelah persalinan. Survei tersebut juga menyatakan bahwa bayi yang memperoleh ASI eksklusif sampai 4-5 bulan sebanyak 14% dan hanya 7.8% bayi yang mendapat ASI eksklusif sampai 6 bulan. Tahun 2007, survei yang sama menunjukkan bahwa cakupan ASI eksklusif sampai 6 bulan meningkat menjadi 32.3%. Peningkatan ini ternyata masih berada jauh di bawah target cakupan ASI eksklusif di Indonesia pada tahun 2010, yaitu 80%.
Program ASI Eksklusif merupakan program promosi pemberian ASI saja pada bayi tanpa memberikan makanan atau minuman lain. Tahun 1990, pemerintah mencanangkan Gerakan Nasional Peningkatan Pemberian ASI (PP-ASI) yang salah satu tujuannya adalah untuk membudayakan perilaku menyusui secara eksklusif kepada bayi dari lahir sampai usia 4 bulan. Tahun 2004, sesuai dengan anjuran WHO, pemberian ASI eksklusif ditingkatkan menjadi 6 bulan sebagaimana dinyatakan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no.450/MENKES/SK/VI/2004 (Tasya 2008).
Penelitian Hardinsyah et al. (2002) menunjukkan cakupan ASI eksklusif di Kota Bogor hanya mencapai 22.8%. Survei yang dilaksanakan pada tahun 2002 oleh Nutrition and Health Surveillance System bekerjasama dengan Balitbangkes dan Helen Keller International di 4 perkotaan (Jakarta, Surabaya, Semarang, Makasar) dan 8 perdesaan (Sumatera Barat, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, dan Sulawesi Selatan), menunjukkan bahwa cakupan ASI eksklusif 4-5 bulan di perkotaan antara 4-12%, sedangkan di perdesaan 4-25%. Pencapaian ASI eksklusif 5-6 bulan di perkotaan berkisar antara 1-13% sedangkan di perdesaan 2-13%.
Kendala yang dihadapi dalam praktek ASI eksklusif adalah kurangnya pengetahuan ibu, kurangnya dukungan dari lingkungan dan praktisi kesehatan, pemberian makanan dan minuman terlalu dini, serta maraknya promosi susu formula untuk bayi (The American Academy of Pediatrics 2005). Ditambahkan oleh hasil penelitian Ergenekon-Ozelci et al. (2006) bahwa kepercayaan tradisional, tingkat pendidikan ibu dan sikap ibu terhadap ASI yang rendah, serta perbedaan wilayah tempat tinggal menjadi kendala yang berpengaruh terhadap
keberlangsungan pemberian ASI. Berdasarkan persentase cakupan ASI eksklusif yang masih rendah dan kendala yang dihadapi serta dampaknya terhadap status gizi, peneliti tertarik untuk mempelajari pengetahuan, sikap, dan praktek pemberian ASI, khususnya ASI eksklusif, serta status gizi bayi usia 4-12 bulan di perdesaan dan perkotaan.
Tujuan Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk membandingkan pengetahuan, sikap, dan praktek pemberian ASI serta status gizi bayi usia 4-12 bulan di perdesaan dan perkotaan.
Tujuan khusus
1. Mengetahui karakteristik ibu (usia, tingkat pendidikan, status kerja, dan pengalaman menysusui sebelumnya) dan bayi usia 4-12 bulan di perdesaan dan perkotaan (usia, jenis kelamin, berat lahir, status inisisasi menyusu dini, dan status gizi).
2. Mempelajari pengetahuan dan sikap gizi ibu di perdesaan dan perkotaan. 3. Mempelajari praktek pemberian ASI di perdesaan dan perkotaan (praktek ASI eksklusif dan alasannya, durasi pemberian ASI saja, pemberian kolostrum, waktu pemberian ASI, frekuensi pemberian ASI, dan status menyusui saat ini).
4. Mengkaji praktek pemberian susu non-ASI dan MP-ASI di perdesaan dan perkotaan.
5. Menganalisis faktor yang berhubungan dengan pengetahuan dan sikap gizi ibu di perdesaan dan perkotaan.
6. Menganalisis faktor yang berhubungan dengan praktek ASI eksklusif di perdesaan dan perkotaan.
7. Menganalisis hubungan praktek ASI eksklusif dengan status gizi bayi. Hipotesis
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
1. Tidak terdapat perbedaan antara praktek pemberian ASI pada bayi usia 4-12 bulan di perdesaan dengan perkotaan.
2. Tidak terdapat perbedaan antara pengetahuan dan sikap gizi ibu di perdesaan dengan perkotaan.
3. Pengetahuan dan sikap ibu tentang gizi tidak berhubungan dengan praktek ASI eksklusif di perdesaan dengan perkotaan.
4. Tidak terdapat hubungan antara praktek ASI eksklusif dengan status gizi bayi usia 4-12 bulan.
Kegunaan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan informasi tentang pengetahuan, sika, dan praktek pemberian ASI, di daerah perdesaan dan perkotaan, sehingga dapat memperkaya ilmu pengetahuan khususnya bidang gizi dan kesehatan. Selain itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai evaluasi pelaksanaan program ASI Eksklusif yang digalakkan oleh Posyandu, tenaga kesehatan, dan instansi pemerintah setempat sehingga diharapkan dapat menjadi masukan dalam merumuskan program perbaikan dan peningkatan status gizi bayi.
TINJAUAN PUSTAKA
Air Susu Ibu (ASI)
ASI merupakan makanan yang higienis, murah, mudah diberikan, dan sudah tersedia bagi bayi. ASI menjadi satu-satunya makanan yang dibutuhkan bayi selama 6 bulan pertama hidupnya agar menjadi bayi yang sehat. Komposisinya yang dinamis dan sesuai dengan kebutuhan bayi menjadikan ASI sebagai asupan gizi yang optimal bagi bayi. ASI dan plasma memiliki konsentrasi ion yang sama sehingga bayi tidak memerlukan cairan atau makanan tambahan (Brown et al
.
2005). ASI memiliki semua unsur-unsur yang memenuhi kebutuhan bayi akan gizi selama periode sekitar 6 bulan, kecuali jika ibu megalami keadaan gizi kurang yang berat atau gangguan kesehatan lain. Komposisi ASI akan berubah sejalan dengan kebutuhan bayi (Gibney et al.
2005).ASI lebih unggul dibandingkan makanan lain untuk bayi seperti susu formula, karena kandungan protein pada ASI lebih rendah dibandingkan pada susu sapi sehingga tidak memberatkan kerja ginjal, jenis proteinnya pun mudah dicerna. Selain itu, ASI mengandung lemak dalam bentuk asam amino esensial, asam lemak jenuh, trigliserida rantai sedang, dan kolesterol dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan bayi (Brown et al. 2005). Perbandingan kontribusi energi dari zat gizi makro pada ASI dan formula lain disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Kontribusi energi dari zat gizi makro pada ASI dan formula lain Zat Gizi Makro (kalori) ASI Formula Susu Sapi (kalori) Formula Susu Kedelai (kalori)
Protein 7% 9-12% 11-13%
Karbohidrat 38% 41-43% 39-45%
Lemak 55% 48-50% 45-49%
sumber: Brown et al. 2005 Manfaat ASI
Pemberian ASI merupakan praktek yang unik karena bukan hanya memberikan asupan gizi yang memadai bagi bayi, tetapi juga asuhan psikososial melalui pembentukan ikatan kasih sayang dengan ibu (Gibney et al
.
2005). Bayi yang diberi ASI mendapat kasih sayang dari ibu karena dekapannya. Kekuatan ikatan antara ibu dan bayi menyebabkan emosi ibu menjadi baik sehingga mampu meningkatkan produksi oksitosin yang merangsang kelenjar-kelenjar payudara untuk berkontraksi mengeluarkan ASI (Paath, Yuyum & Heryati 2004).Keberadaan antibodi dan sel-sel makrofag pada ASI memberikan perlindungan pada bayi terhadap jenis-jenis infeksi tertentu seperti infeksi saluran
pernafasan (Chantry, Howard & Auinger 2006), diare (Arifeen et al
.
2001) dan infeksi gastrointestinal (Fawtrell et al.
2007). Selain itu, penelitian Singhal et al. (2002) yang diacu dalam American Academy of Pediatric (2005) membuktikan bahwa pemberian ASI dapat menurunkan sindrom kematian bayi di tahun pertama kehidupannya serta mencegah bayi terkena penyakit tertentu seperti diabetes dan obesitas. Penelitian lain juga telah membuktikan bahwa pemberian ASI meningkatkan perkembangan kognitif bayi dan meningkatkan IQ (Jacobson, Chiodo & Jacobson 1999).Pemberian ASI eksklusif juga memberikan keuntungan bagi ibu. Pemberian ASI sedini mungkin dapat mengurangi pendarahan akibat melahirkan. Ibu yang memberikan ASI juga memiliki resiko yang lebih kecil terkena kanker payudara (Tryggvadóttir et al
.
2001), kanker ovarium, dan osteoporosis. Keuntungan lain bagi ibu adalah dengan menyusui bayinya maka penurunan berat badan lebih cepat sehingga dapat kembali ke berat badan sebelum hamil (Labbok 2001 dalam American Academy of Pediatric 2005).Keuntungan pemberian ASI eksklusif tidak hanya bagi bayi dan ibunya, tetapi juga bagi kondisi sosial ekonomi keluarga dan masyarakat. Pemberian ASI eksklusif dapat mengurangi pengeluaran biaya perawatan kesehatan bayi. Bagi ibu yang bekerja, ASI eksklusif memberikan keuntungan untuk perusahaan karena dapat meningkatkan produktivitas kerja dan mengurangi biaya medis karyawannya (Brown et al
.
2005). Depkes RI (2004) menyatakan pemberian ASI eksklusif berkontribusi untuk pengembangan ekonomi, melindungi lingkungan, serta menghemat sumber dana, kelangkaan pangan, dan devisa negara.Praktek Pemberian ASI
Banyak sikap dan kepercayaan yang tidak mendasar terhadap makna pemberian ASI yang membuat para ibu tidak melakukan ASI eksklusif selama 6 bulan. Alasan umum mengapa ibu tidak memberikan ASI eksklusif meliputi rasa takut yang tidak berdasar bahwa ASI yang dihasilkan tidak cukup atau memiliki mutu yang tidak baik, keterlambatan memulai pemberian ASI dan pembuangan kolostrum, teknik pemberian ASI yang salah, serta kepercayaan yang keliru bahwa bayi haus dan memerlukan cairan tambahan. Selain itu, kurangnya dukungan dari pelayanan kesehatan dan keberadaan pemasaran susu formula sebagai pengganti ASI menjadi kendala ibu untuk memberikan ASI eksklusif kepada bayinya (Gibney et al. 2005).
Praktek ASI Eksklusif
ASI eksklusif didefinisikan sebagai pemberian ASI kepada bayi secara langsung oleh ibunya dan tidak diberikan makanan cair atau padat lainnya kecuali obat tetes atau sirup yang berisi suplemen vitamin, mineral, atau obat (Gibney et al. 2005). American Academy of Pediatric (2005) menyatakan bahwa ASI eksklusif merupakan referensi bagi seluruh alternatif model pemberian makanan yang dampaknya dapat diukur melalui pertumbuhan, perkembangan, status kesehatan, dan dampak jangka pendek maupun jangka panjang lainnya.
Pertemuan bersama antara perwakilan WHO dan UNICEF pada tahun 1990 di Italia menghasilkan Deklarasi Innocenti tentang Perlindungan, Promosi dan Dukungan pada Pemberian ASI. Deklarasi tersebut mendefinisikan bahwa pemberian makanan bayi yang optimal adalah pemberian ASI eksklusif mulai dari saat lahir hingga bayi berusia 4-6 bulan dan terus berlanjut hingga tahun kedua kehidupan, sementara pemberian makanan tambahan yang sesuai baru diberikan ketika bayi berusia 6 bulan (Gibney et al. 2005). Dukungan pemerintah Indonesia terhadap hal tersebut diwujudkan dalam berbagai kegiatan seperti Gerakan Nasional Perancangan PP-ASI serta Gerakan Rumah Sakit dan Puskesmas Sayang Bayi (Depkes RI 2004).
Alasan Pemberian ASI Eksklusif
Hasil penelitian Suhendar (2002) menyatakan ibu memberikan ASI eksklusif karena anjuran keluarga, kemauan sendiri, anjuran tenaga kesehatan, dan anjuran teman. Hal ini diperjelas dalam penelitian Zei (2003) yang menyatakan alasan ibu memberikan ASI eksklusif mayoitas karena petunjuk dari bidan (42.8%). Alasan lain adalah pencernaan bayi masih belum sempurna, agar anak sehat, anak memang kuat minum ASI dan anjuran tetangga (masing-masing sebanyak 14.3%). Sementara penlitian lain menyatakan keuntungan kesehatan untuk bayi menjadi alasan yang dominan pada ibu untuk memberikan ASI (92.2%). Sisanya menyatakan keuntungan untuk ibu (4.2%) serta penguatan hubungan antara ibu dan bayi (3.1%) sebagai alasan pemberian ASI (Ertem, Votto & Leventhal 2001).
Durasi Pemberian ASI Saja
WHO pada tahun 1991 merekomendasikan durasi pemberian ASI eksklusif pada bayi selama periode 4-6 bulan pertama. Tahun 2001, WHO menetapkan durasi pemberian ASI eksklusif yang optimal adalah selama 6 bulan (Gibney et al. 2005). Fawtrell et al. (2007) mendukung hal ini melalui hasil
penelitian yang menyatakan bahwa durasi pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan lebih optimal dibandingkan 3-4 bulan. The U.S Surgeon General merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dan meneruskan ASI sampai 12 bulan, dengan pengenalan makanan padat pada usia 4-6 bulan (Brown et al. 2005). Eastwood (2003) menyatakan pada usia 4-6 bulan bayi membutuhkan makanan MP-ASI karena hanya sedikit ibu yang mampu memproduksi ASI secara cukup untuk kebutuhan bayi sampai usia 6 bulan. Pemberian Kolostrum
Kolostrum merupakan ASI pertama yang keluar selama laktogenesis II (1-3 hari setelah kelahiran) dan umumnya berwarna kuning dan kental. Bayi hanya mengonsumsi kolostrum sebanyak 2-10 ml setiap kali menyusu dalam 2-3 hari pertamanya. Kolostrum mengandung 58-70 kalori/100 ml dan memiliki kandungan protein, sodium, potasium serta klorida yang lebih tinggi dibandingkan ASI. Immunoglobulin A dan lactoferra merupakan jenis protein yang terdapat pada kolostrum. Kolostrum juga memiliki konsentrasi mononuclear sel tertinggi yang dapat melindungi sistem imun bayi dan membantu perkembangan imunitas. Selain itu, kolostrum mengandung faktor pertumbuhan yang membantu kematangan saluran pencernaan bayi (Brown et al. 2005).
Odent dalam tulisanya Colostrum and Civilization mengambarkan budaya masa lalu dan masa kini masih menganggap kolostrum sebagai sesuatu yang kotor dan beracun. Budaya ini dapat dengan mudah melemahkan hubungan yang seharusnya terjalin antara ibu dan bayi (Kroeger & Linda 2004). Pemberian kolostrum dalam satu jam pertama kelahiran bayi dapat memulai ikatan kasih sayang antara ibu dan bayi (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia 2008). Sebuah penelitian di Turki menyatakan ibu yang berpendidikan rendah menganggap bahwa kolostrum tidak baik untuk bayi dan hanya 9.9% ibu yang memberikan kolostrum satu jam setelah kelahiran (Ergenekon-Ozelci et al. 2006).
International Consultant Lactation Assosiation menyatakan salah satu manajemen strategi menyusui adalah dengan memberikan ASI sedini mungkin, setidaknya dalam 2 jam pertama (Kroeger & Linda 2004). Hasil survey Helen Keller Worldwide pada tahun 2002 di Jakarta menyimpulkan sebagain besar bayi yang diberi ASI memperoleh ASI pertamanya 6 jam setelah kelahiran (70% di daerah perdesaan dan 52-65% di daerah perkotaan). Ibu yang memulai pemberian ASI secara dini cenderung untuk melaksanakan ASI eksklusif dan memberikan ASI dengan periode yang lebih lama (Gibney et al. 2005).
Waktu Pemberian ASI
Terdapat sepuluh langkah menuju keberhasilan pemberian ASI yang direkomendasikan oleh WHO, salah satunya adalah dengan mendorong pemberian ASI menurut permintaan bayi (WHO 1998). Menurut Brown et al. (2005), berat badan dan umur bayi serta densitas kalori pada ASI berkontribusi secara nyata pada peningkatan permintaan ASI oleh bayi.
Bayi akan menunjukkan rasa lapar dengan memasukkan jari atau tangannya ke dalam mulut dan mulai mengisapnya serta menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri dengan mulut yang terbuka. Seharusnya bayi langsung diberikan ASI ketika perilaku tersebut mulai timbul tanpa menunggu bayi menangis. Bayi yang menangis karena rasa lapar merupakan tanda bayi telah terlambat untuk mendapat ASI (Brown et al. 2005).
Frekuensi Pemberian ASI
Pengosongan perut bayi yang telah mengonsumsi ASI berlangsung sekitar 1.5 jam. Frekuensi normal pemberian ASI pada bayi yang baru lahir adalah 10-12 kali setiap hari. Seiring dengan pertambahan umur bayi, frekuensi pemberian ASI bergantung pada persediaan ASI (Brown et al
.
2005). Bayi berusia 4 hari membutuhkan ASI setiap 2 jam selama 15-20 menit untuk satu payudara. Ketika bayi berusia 3-6 bulan frekuensi pemberian ASI berkurang hingga mencapai 7-8 kali sehari. Bayi yang diberi ASI lebih sering meminta makan dibandingkan dengan bayi yang mendapatkan susu formula karena protein dan lemak pada ASI lebih mudah diserap oleh sistem pencernaan bayi (Perkins & Vannais 2004).Status Menyusui Saat Ini
WHO merekomendasikan pemberian ASI berlangsung paling tidak sampai tahun kedua kehidupan bayi. Survey tahun 2002-2003 di Amerika menyatakan hanya 19% bayi yang masih diberikan ASI sampai usia 12 bulan, sedangkan survey tahun 2001 di Australia menyatakan hanya 23% bayi yang masih meperoleh ASI hingga usia 12 bulan. Ketidakberlangsungan pemberian ASI hingga usia 12 bulan berhubungan dengan faktor antara lain ibu yang merokok selama kehamilan, penggunaan dot untuk minum bayi, sikap ibu yang kurang terhadap pemberian makan bayi, pengalaman memiliki masalah menyusui pada bulan pertama, dan ibu yang kembali bekerja sebelum bayi berusia 12 bulan (Scott et al
.
2006). Ibu akan menghadapi kesulitan pemberianASI, tanpa pertolongan dan dukungan yang tepat, umumnya akan mengakibatkan penghentian pemberian ASI. Kesulitan yang dialami ibu selama menyusui dapat bersifat fisik serta budaya (Gibney et al. 2005).
Pengetahuan dan Sikap Gizi
Pengetahuan didefinisikan secara sederhana sebagai informasi yang disimpan dalam ingatan. Pengetahuan termasuk didalamnya pengetahuan gizi, dapat diperoleh melalui pendidikan formal dan informal. Pendidikan formal diperoleh dari sekolah dengan kurikulum dan jenjang yang telah ditetapkan, sedangkan pendidikan informal dapat diperoleh dari seluruh aspek kehidupan (Pranadji 1988).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan gizi ibu berhubungan nyata dengan cara pemberian ASI. Semakin baik tingkat pengetahuan gizi ibu maka pemberian ASI semakin sering (Zai 2003). Semakin tinggi tingkat pengetahuan ibu tentang ASI maka ibu akan mengetahui cara dan posisi menyusui yang benar serta cara meningkatkan produksi ASI (Adwinanti 2004). Penelitian yang memberikan intervensi pendidikan tentang ASI melalui media interaktif menunjukkan bahwa peningkatan pengetahuan sebesar 11% menyebabkan peningkatan praktek pemberian ASI sebesar 43% (Hillenbrand & Larsen 2002).
Brown et al
.
(2003) menyatakan kurangnya pengetahuan ibu tentang ASI menjadi salah satu penghambat keberlangsungan pemberian ASI. Pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif dapat diperoleh dari berbagai sumber informasi. Foo et al.
(
2005) menyatakan menjelang akhir kehamilan, ibu membutuhkan berbagai informasi penting yang umumnya disediakan oleh pelayanan dan tenaga kesehatan. Selain itu, informasi yang berasal dari suami, keluarga, teman, jaringan sosial dan berbagai media berpengaruh terhadap pengetahuan ibu. Arifin (2002) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa rendahnya pendidikan dan kurangnya informasi menjadi faktor yang berpengaruh tehadap kegagalan pemberian ASI eksklusif.Sikap adalah evaluasi dari seseorang terhadap suatu objek. Schiffman dan Kanuk (1997) menyatakan model sikap dalam tiga komponen. Pertama, komponen kognitif yang menerangkan bahwa sikap adalah gambaran pengetahuan dan persepsi terhadap suatu objek sikap. Kedua, komponen afektif yang menerangkan bahwa sikap adalah gambaran emosi seseorang terhadap suatu produk. Ketiga, komponen konatif yang menyatakan sikap sebagai
gambaran kecenderungan dari seseorang untuk melakukan tindakan tertentu yang berkaitan dengan objek sikap.
Sikap belum merupakan suatu perbuatan karena hanya menggambarkan kecenderungan tingkah laku yang mengarah pada suatu objek tertentu. Sikap dapat tebentuk dari pengetahuan dan pengalaman. Kemantapan sikap seseorang disebabkan adanya sifat menyaring dalam menginterpretasikan informasi yang datang dari luar (Pranadji 1988).
Hasil penelitian Foo et al
.
(2005) menunjukkan bahwa sikap ibu berhubungan dengan praktek pemberian ASI. Ibu yang menganggap bahwa ASI merupakan makanan terbaik untuk bayi berencana untuk memberikan ASI selama 6 bulan. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian yang menyatakan bahwa sikap ibu terhadap pemberian makan bayi menjadi prediktor kuat dalam pemberian ASI (Scott et al.
2006).Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pengetahuan dan Sikap Gizi, serta Praktek ASI eksklusif
Beberapa faktor ditemukan berhubungan secara nyata dengan keputusan ibu untuk melakukan praktek ASI eksklusif. Faktor karakteristik ibu seperti suku, umur, tingkat pendidikan, dan agama serta jenis kelamin bayi berpengaruh terhadap keputusan ibu untuk melakukan ASI eksklusif, namun sulit untuk dirubah dalam waktu singkat maupun pada tingkat individu. Faktor lain seperti pengetahuan akan manfaat ASI, informasi dari tenaga kesehatan, serta riwayat menyusui lebih berpotensi untuk dirubah (Foo et al
.
2005).Usia Ibu
Usia dapat mempengaruhi cara berfikir, bertindak, dan emosi seseorang. Usia yang lebih dewasa umumnya memiliki emosi yang lebih stabil dibandingkan usia yang lebih muda. Usia ibu akan mempengaruhi kesiapan emosi ibu. Usia ibu yang terlalu muda ketika hamil bisa menyebabkan kondisi fisiologis dan psikologisnya belum siap menjadi ibu. Hal ini dapat mempengaruhi kehamilan dan pola pengasuhan (Hurlock 1995 dalam Adwinanti 2004).
Usia ibu menjadi faktor yang berpengaruh secara nyata terhadap prediksi keberlangsungan ASI sampai 6 bulan pada ibu-ibu di Singapura (Foo et al. 2005). Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa semakin muda usia ibu, semakin rendah tingkat durasi pemberian ASI. Usia ibu yang lebih muda berhubungan nyata dengan pemberian ASI hanya sampai bayi usia 2 bulan
(Ertem, Votto & Leventhal 2001). Penelitian yang dilakukan di Desa Cibanteng Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor menyatakan dari 38 ibu remaja berusia ≤19 tahun, hanya 7.9% yang memberikan ASI eksklusif kepada bayi dan semuanya berusia 19 tahun (Gulo 2002). Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Gary Ong et al. (2005) yang menyatakan bahwa ibu berusia <19 tahun cenderung berhenti memberikan ASI pada usia bayi ≤2 bulan.
Tingkat Pendidikan Ibu
Campbell (2002) menyatakan bahwa pendidikan formal sangat penting karena dapat membentuk pribadi dengan wawasan berfikir yang lebih baik. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal akan semakin luas wawasan berpikirnya, sehingga akan lebih banyak informasi yang diserap. Adwinanti (2004) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara tingkat pendidikan ibu dengan pengetahuan ibu tentang ASI. Hasil penelitian terhadap ibu-ibu di Singapura juga menyatakan terdapat hubungan yang positif antara tingkat pendidikan ibu dengan durasi pemberian ASI (Foo et al. 2005). Sementara itu, terdapat hasil penelitian yang menunjukkan tidak terdapat hubungan antara pendidikan ibu dengan cara pemberian ASI dengan dugaan tingkat pendidikan yang semakin tinggi tidak disertai dengan pengetahuan tentang cara menyusui yang baik dan benar serta kemampuan dalam penerapannya (Zai 2003).
Status Kerja Ibu
Ibu yang tidak bekerja memiliki durasi pemberian ASI lebih lama dibandingkan dengan ibu yang bekerja. Sebanyak 31% dari ibu bekerja memberikan ASI sampai bayi usia 6 bulan dan hanya 20% ibu bekerja yang memberikan ASI sampai bayi usia 6 bulan (Ong et al. 2005). Kesulitan dalam menyeimbangkan antara pekerjaan dan pemberian ASI menjadi alasan utama ibu bekerja untuk berhenti memberikan ASI pada bayinya (Foo et al. 2005). Hal ini didukung oleh teori bahwa para ibu yang mulai bekerja sering mulai menghentikan pemberian ASI karena harus berpisah dengan bayinya. Ibu-Ibu tersebut sebenarnya dapat terus memberikan ASI secara eksklusif pada 6 bulan pertama dan melanjutkan ASI sampai sekurang-kurangnya 2 tahun dengan cara memerah ASI (Gibney et al. 2005).
Depkes RI telah menetapkan kebijakan PP-ASI Pekerja Wanita agar ibu yang bekerja dapat tetap memberikan ASI kepada bayinya secara eksklusif selama 6 bulan dan dapat dilanjutkan sampai anak berumur 2 tahun. Salah satu
strategi yang digunakan dalam kebijakan tersebut adalah mengembangkan dan memantapkan pelaksanaan ASI eksklusif bagi pekerja wanita melalui pembinaan dan dukungan penuh dari pihak pengusaha (Depkes RI 2004).
Pengalaman Menyusui Sebelumnya
Pengalaman menyusui berhubungan dengan lamanya durasi pemberian ASI (Foo et al. 2005). Ekawati (2002) dalam penelitiannya menyatakan bahwa semakin banyak jumlah balita yang dimiliki, kecenderungan perilaku pemberian ASI semakin baik. Hal ini dikarenakan adanya pengalaman menyusui sebelumnya. Sementara itu, penelitian lain menyimpulkan bahwa keberadan anak selain bayi yang sedang disusui menjadi salah satu alasan ibu tidak memberikan ASI dalam waktu yang lama (Peters et al. 2005). Semakin banyak jumlah anak akan semakin menyita perhatian ibu terhadap pengasuhan anak. Berat Lahir Bayi
Berat lahir bayi merupakan indikator penting kesehatan bayi baik dalam dimensi indivdu maupun populasi (WHO 1995). Eastwood (2003) menyatakan bayi yang lahir dengan berat kurang dari 2500 gram dikategorikan dalam bayi dengan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR). Bayi yang BBLR sering terlalu lemah untuk dapat menghisap ASI secara efektif sehingga tidak dapat diberi makan langsung dari payudara ibu. Penelitian pada 218 ibu yang melahirkan bayi BBLR menghasilkan data bahwa hanya 27% ibu yang memberikan ASI pada bayinya, sementara ibu yang lain memberikan susu formula sejak bayi mereka lahir. Sebanyak 28 ibu memberikan ASI selama 4-6 bulan dan 42 ibu memberikan ASI lebih dari 6 bulan (Smith et al. 2003).
Status Inisiasi Menyusu Dini
Inisiasi menyusu dini adalah proses membiarkan bayi menyusu sendiri segera setelah kelahiran. Bayi memiliki kemampuan alami untuk menyusu sendiri selama diberikan kesempatan kontak kulit dengan ibunya (skin to skin contact) setidaknya selama satu jam segera setelah lahir (Roesli 2008). Bayi yang mengalami skin to skin contact beberapa menit setelah kelahiran akan mencari puting susu dengan kecepatan yang berbeda-beda. Waktu rata-rata yang dibutuhkan oleh bayi sekitar 55 menit dan pada banyak kasus dapat mencapai 2 jam (Kroeger & Linda 2004).
Inisiasi menyusu dini merupakan salah satu dari 10 Langkah Keberhasilan Menyusui yang dianjurkan WHO (1998). Terdapat lima tahapan
dalam inisiasi menyusu dini. Setelah diletakkan diantara payudara ibunya dalam 30 menit pertama, bayi menyesuaikan dengan lingkungan dan sesekali melihat pada ibunya. Tahap kedua, selama sekitar 10 menit kemudian bayi mengeluarkan suara dan melakukan gerakan menghisap dengan memasukkan tangan ke dalam mulut. Tahap ketiga, bayi mengeluarkan air liur. Tahap keempat, bayi menekan-nekan perut ibu untuk bergerak ke arah payudara (breast crawl). Terakhir, bayi menjilati kulit ibu, memegang puting susu dengan tangan, menemukan puting dan menghisapnya (Roesli 2008).
Secara keseluruhan, inisiasi menyusu dini berkaitan dengan peningkatan keberhasilan ASI eksklusif. Penelitian mahasiswa kedokteran Trisakti pada tahun 2003 menunjukkan bahwa bayi yang diberi kesempatan menyusu dini memiliki peluang 8 kali lebih besar untuk berhasil ASI eksklusif (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia 2008).
Praktek Pemberian Susu Non-ASI dan MP-ASI
Pertumbuhan bayi sangat tergantung dari asupan makanan. Bayi yang diberi makan selain ASI sebelum waktunya beresiko tinggi terkena infeksi (Boyle 2003). Riordan (2005) menambahkan, perbedaan yang nyata pada panjang badan bayi yang mendapat ASI eksklusif dan ASI non-esksklusif menandakan bahwa bayi yang tidak mendapat ASI eksklusif seringkali kelebihan makanan.
Pemberian susu non-ASI seperti susu formula menjadi salah satu penyebab ibu tidak memberikan ASI eksklusif kepada bayinya (Gibney et al. 2005). Pemberian susu non-ASI yang terlalu dini sebenarnya tidak dapat menggantikan keuntungan yang diperoleh dari pemberian ASI saja. Kandungan gizi susu non-ASI tidak sesuai dengan kebutuhan bayi dan sulit diserap oleh pencernaan bayi. Selain itu, susu non-ASI tidak mengandung antibodi dan dapat menyebabkan alergi (Kroeger & Linda 2004).
Gibney et al. (2005) menyatakan jenis-jenis makanan dengan variasi yang luas harus dikenalkan kepada bayi untuk memastikan asupan zat gizi mikro terpenuhi. Setelah bayi berusia 6 bulan, ASI tidak lagi dapat mencukupi kebutuhan energi dan gizi yang optimal untuk perkembangan bayi. Oleh karenanya dibutuhkan MP-ASI yang diperkenalkan secara perlahan-lahan agar tidak menimbulkan reaksi buruk terhadap makanan tersebut. Menurut Grant (2004) bayi yang diberi ASI seharusnya lebih mudah untuk diberi makan, karena telah mencicipi rasa makanan dari makanan yang dikonsumsi ibu melalui ASI.
Pengenalan makanan merupakan periode yang rentan bagi bayi. Makanan tidak disarankan untuk diperkenalkan secara dini kepada bayi karena pencernaan bayi masih rentan sehingga dapat meningkatkan resiko alergi di masa yang akan datang. Normalnya, bayi mulai diperkenalkan makanan pada usia 4-6 bulan dengan tetap menjadikan ASI sebagai makanan utamanya (Boyle 2003). Antara umur 4-6 bulan, bubur yang dicampur sedikit susu adalah makanan terbaik yang diberikan pertama kali pada bayi karena mudah dicerna. Tahapan berikutnya, dapat diperkenalkan pure buah dan sayur dengan konsisitensi yang lebih kental dari ASI. Waktu yang tepat untuk bayi yang baru diperkenalkan makanan adalah 1-2 kali sehari disaat bayi merasa paling lapar, biasanya ketika pagi atau malam hari (Grant 2004).
Usia 7-9 bulan bayi memasuki tahap makan dengan eksplorasi. Periode ini bayi sudah dapat mengunyah dan memegang makanan, namun makanan harus tetap dilumatkan atau dipotong kecil-kecil (Gibney et al. 2005). Gigi bayi pada usia ini mulai tumbuh dan bayi senang menggigit benda. Oleh karenanya, biskuit merupakan makanan yang tepat selain jus buah, labu, sereal gandum, dan kentang lumat (Sears & Sears 2003). Grant (2004) menambahkan, bahwa bayi usia 7-9 bulan membutuhkan makanan lebih banyak dan bervariasi selama 3 atau 4 kali makan setiap harinya karena bayi mulai aktif bergerak.
Usia 10-12 bulan bayi sudah mampu makan sendiri dan dapat dikenalkan dengan makanan keluarga, meskipun tetap harus dipotong kecil-kecil. Makanan yang dapat diberikan antara lain lauk hewani seperti daging, telur dan keju serta lauk nabati seperti tahu dan kacang-kacangan (Sears & Sears 2003). ASI atau susu sudah bisa dijadikan selingan karena bayi dapat makan secara rutin selama 3 kali sehari dengan selingan diantara waktu makan. Usia 10-12 bulan sebaiknya bayi diberikan makanan yang sehat dan menyenangkan karena akan membentuk kebiasaan makannya hingga dewasa (Grant 2004).
Status Gizi
Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, absorpsi, dan penggunaan zat makanan. Status gizi dapat diketahui salah satunya dengan metode antropometri yang terbagi menjadi dua jenis, yaitu pengukuran pertumbuhan (ukuran tubuh) dan pengukuran komposisi tubuh. Terdapat beberapa cara untuk menilai ukuran tubuh bayi, antara lain lingkar kepala, panjang badan (PB) dan berat badan (BB). Interpetasi dari nilai-nilai tersebut disajikan dalam indeks untuk menilai status gizi
bayi. Indeks yang umum digunakan berkaitan dengan umur (U), yaitu indeks PB/U, PB/BB, BB/U, dan indeks gabungan ketiganya (Gibson 2005).
WHO (1995) merekomendasikan z-score untuk evaluasi data antropometri anak. Aplikasi z-score dalam populasi memberikan keuntungan karena memungkinkan status gizi seluruh populasi dideskripsikan. Bagi bayi dan anak-anak, indeks BB/U atau PB/U dapat digunakan untuk menghitung z-score dan menentukan status gizi. Nilai pasti dari z-score dapat dihitung menggunakan standar deviasi dari referensi populasi WHO 2005.
Z-score yang dihitung menggunakan indeks PB/U mengukur pencapaian pertumbuhan linear dan status gizi masa lalu. Indeks PB/U digunakan untuk bayi berusia kurang dari 2 tahun yang belum bisa berdiri tegak. Panjang badan bayi diukur dari posisi recumbent. Status gizi normal diperoleh jika bayi memiliki z-score ≥-2 SD dan ≤2 SD referensi WHO 2005. Bayi dengan z-score PB/U yang tinggi (>2 SD referensi WHO 2005) dikenal dengan istilah tallness. Sebaliknya, bayi dengan z-score <-2 SD referensi WHO 2005 dikenal dengan istilah shortness dan stunting. WHO (1995) menyatakan prevalensi rendahnya z-score PB/U mayoritas berada pada 2-3 tahun pertama kehidupan, khususnya dalam 3-6 bulan pertama. Kondisi ini merefleksikan proses keberlanjutan dari kegagalan tumbuh (shortness) atau ketidakcukupan pencapaian tinggi badan relatif terhadap umur (stunting).
Baker et al. (2004) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa pemberian makanan tambahan sebelum bayi berusia 4 bulan dan ibu yang obesitas menyebabkan pertambahan berat badan bayi yang lebih banyak dibandingkan bayi yang mendapat ASI saja sampai usia 5 bulan. Adwinanti (2004) dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara status gizi dengan praktek pemberian ASI. Tidak terdapat bayi dengan status gizi kurang pada bayi yang mendapat praktek pemberian ASI sedang dan baik. Penelitian Zai (2003) menyimpulkan status gizi underweight lebih banyak ditemukan pada anak baduta yang mendapat ASI non-eksklusif.
Penelitian Wijaya (2002) menunjukkan bahwa praktek ASI eksklusif tidak berpengaruh terhadap status gizi bayi usia 6-8 bulan. Hal ini dipertegas oleh hasil penelitian Suciarni (2004) dan Rahayu (2005) yang menyatakan tidak terdapat hubungan yang nyata antara praktek pemberian ASI dengan status gizi bayi yang diduga disebabkan keberadaan faktor lain yang mempengaruhi status gizi, seperti status kesehatan bayi.
KERANGKA PEMIKIRAN
Praktek pemberian ASI, khususnya ASI eksklusif, prevalensinya masih terbilang rendah di Indonesia. SDKI tahun 2007 menyebutkan hanya 32,3% ibu yang memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan kapada bayinya. Hal ini antara lain disebabkan oleh pengetahuan dan sikap gizi ibu, khususnya tentang ASI eksklusif, yang masih kurang (Brown et al
.
2003; Foo et al.
2005). Pengetahuan dan sikap gizi ibu dapat didukung oleh keberadaan media informasi (penyuluhan dari tenaga kesehatan, suami, keluarga, dan media massa) serta karakteristik ibu itu sendiri.Karakteristik ibu berhubungan dengan praktek pemberian ASI. Foo et al. (2005) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa usia, suku, agama, tingkat pendidikan, status kerja, dan pengalaman menyusui yang dimiliki ibu berhubungan dengan praktek pemberian ASI. Karakteristik ibu yang dianalisis hubungannya dengan praktek pemberian ASI, khususnya ASI eksklusif, dalam penelitian ini antara lain usia, tingkat pendidikan, status kerja, dan pengalaman menyusui sebelumnya. Selain itu, karakteristik bayi seperti berat lahir dan status inisiasi menyusu dini juga menjadi variabel yang dianalisis hubungannya dengan praktek ASI eksklusif.
ASI eksklusif berdampak positif terhadap kesehatan ibu (Tryggvadóttir et al
.
2001;
Labbok 2001 dalam American Academy of Pediatric 2005)
dan juga bayi (Chantry, Howard & Auinger 2006; Arifeen et al.
2001; Fawtrell et al.
2007; Singhal et al.
2002; Jacobson, Chiodo & Jacobson 1999). Salah satu dampak praktek ASI eksklusif yang dapat dengan mudah dan cepat diketahui adalah status gizi bayi, meskipun hal ini turut dipengaruhi oleh status kesehatan bayi dan asupan makanan selain ASI, yaitu pemberian susu non-ASI dan MP-ASI (Boyle 2003).Penelitian ini menganalisis hubungan antara karakteristik ibu dengan pengetahuan dan sikap gizi ibu. Selain itu, penelitian ini menganalisis hubungan antara karakteristik ibu, karakteristik bayi, serta pengetahuan dan sikap gizi ibu dengan praktek pemberian ASI, khususnya praktek ASI eksklusif. Selanjutnya, dianalisis hubungan antara praktek ASI eksklusif dengan status gizi bayi. Secara keseluruhan, skema kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
Keterangan:
= variabel yang diteliti = hubungan yang diteliti = variabel yang tidak diteliti = hubungan yang tidak diteliti
Gambar 1. Skema kerangka pemikiran Praktek Pemberian ASI Status Gizi Bayi Penyakit/Infeksi Media Informasi Karakteristik Ibu: • Usia • Pendidikan • Status kerja • Pengalaman menyu-sui sebelumnya Pengetahuan dan Sikap Gizi Ibu
Karakteristik Bayi: • Berat lahir • Status inisiasi menyusu dini Praktek Pemberian Susu Non-ASI dan
METODE
Desain, Tempat, dan Waktu
Desain penelitian ini adalah cross sectional study. Penelitian dilakukan di dua tempat yang mewakili daerah perdesaan dan perkotaan. Daerah perdesaan diwakili oleh Desa Jayabakti, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, sedangkan daerah perkotaan diwakili oleh Kelurahan Kedung Jaya, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Waktu pengambilan data berlangsung mulai bulan April – Mei 2009 yang dilanjutkan dengan pengolahan dan analisis data.
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh
Contoh penelitian adalah pasangan ibu dengan bayi usia 4-12 bulan yang memberikan ASI pada bayinya di kedua daerah penelitian. Contoh terdiri dari 31 pasangan ibu-bayi di perdesaan, dan 31 pasangan ibu-bayi di perkotaan sehingga telah memenuhi persyaratan agar data tersebar normal dan mampu mewakili populasi (Singarimbun & Effendi 1989).
Penarikan contoh dilakukan dengan metode pengambilan contoh gugus sederhana (simple cluster sampling). Desa dan kelurahan digugus berdasarkan Posyandu yang ada, kemudian secara acak dipilih Posyandu untuk diteliti seluruh pasangan ibu-bayi yang memenuhi kriteria hingga mencapai minimal 30 pasangan ibu-bayi. Posyandu yang terpilih adalah Posyandu Tunas Muda II dan Tunas Muda VIII untuk mewakili Desa Jayabakti, sedangkan Kelurahan Kedung Jaya diwakili oleh Posyandu Wijaya Kusuma dan Melati.
Gambar 2 Skema cara penarikan contoh Contoh (n=62) Perdesaan (n=31) 12 Posyandu Perkotaan (n=31) 11 Posyandu Posyandu Tunas Muda II (n=7) Posyandu Wijaya Kusuma (n=21) Posyandu
Tunas Muda VIII (n=24)
Posyandu Melati (n=10)
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data pimer meliputi karakteristik ibu, karakteristik bayi, pengetahuan dan sikap gizi ibu, praktek pemberian ASI, serta praktek pemberian susu non-ASI dan MP-ASI. Data sekunder mencakup gambaran umum daerah penelitian serta daftar pasangan ibu-bayi yang memenuhi kriteria.
Data primer dikumpulkan melalui wawancara terstruktur dengan ibu bayi menggunakan kuesioner (Lampiran 5), sedangkan data sekunder diperoleh dari pencatatan arsip desa atau kelurahan serta data yang tersedia di Posyandu. Selain itu, dilakukan pengamatan secara langsung terhadap kegiatan Posyandu serta pengumpulan informasi dari kader Posyandu dan bidan untuk mengetahui gambaran kondisi masyarakat secara lebih jelas dan spesifik. Secara keseluruhan, jenis dan cara pengumpulan data disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Jenis data yang dikumpulkan
Jenis Variabel Data yang dibutuhkan
Karakteristik ibu - usia
- tingkat pendidikan - status pekerjaan - pengalaman menyusui Karakteristik bayi - usia
- jenis kelamin - berat lahir
- status inisiasi menyusu dini - status gizi
Pengetahuan dan sikap gizi ibu Primer
Praktek Pemberian ASI - praktek ASI eksklusif dan alasan - durasi pemberian ASI saja - pemberian kolostrum - waktu pemberian ASI
- frekuensi pemberian ASI sehari - status menyusui saat ini Sekunder Gambaran umum lokasi penelitian
Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh diolah dan dianalisis secara statistik deskriptif dan inferensia. Data yang dikumpulkan melalui wawancara dan pencatatan dikomputerisasi dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excell 2007 dan Stata 9 for Windows. Uji beda dilakukan dengan menggunakan independent t-test, chi-square test, dan Fisher's exact test. Hubungan antar variabel dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Spearman.
Data karakteristik ibu terdiri atas usia, tingkat pendidikan, status kerja, dan pengalaman menyusui sebelumnya. Usia ibu diklasifikasi menjadi 3
kelompok (<19, 19-29, dan ≥30 tahun). Tingkat pendidikan dibagi menjadi 5 golongan yaitu tidak sekolah atau tidak tamat SD, tamat SD atau sederajat, tamat SMP atau sederajat, tamat SMA atau sederajat, dan tamat akademi atau perguruan tinggi. Status kerja ibu dibedakan atas ibu bekerja dan ibu tidak bekerja (ibu rumah tangga). Pengalaman menyusui sebelumnya diperoleh dari ada atau tidaknya anak yang disusui sebelumnya.
Data karakteristik bayi yang dibutuhkan terdiri atas usia, jenis kelamin, berat lahir, status inisiasi menyusu dini, dan status gizi. Usia bayi dikelompokkan menjadi 3, yaitu 4-6 bulan, 7-9 bulan, dan 10-12 bulan. Berat lahir bayi dibagi menjadi dua kategori, yaitu BBLR (<2500 gram) dan normal (>2500 gram). Status inisiasi menyusu dini dibedakan berdasarkan bayi yang melakukan inisiasi menyusu dini dan bayi yang tidak melakukannya. Status gizi bayi dikelompokkan berdasarkan z-score dari pengukuran panjang badan dan umur mengacu pada indeks PB/U referensi WHO 2005 yang diperoleh dengan menggunakan rumus:
PB aktual – PB median kelompok acuan standar deviasi kelompok acuan
Pengetahuan dan sikap ibu tentang gizi diukur dengan menggunakan pertanyaan yang kemudian diberi nilai. Pengetahuan gizi, khususnya ASI eksklusif terdiri atas 10 pertanyaan pilihan beganda (best answer multiple choice test). Setiap jawaban yang benar diberi nilai 2, jawaban yang salah diberi nilai 1, dan jawaban tidak tahu diberi nilai 0 sehingga nilai maksimum dan minimum yang dapat diperoleh adalah 20 dan 0 dan kemudian dikonversi menjadi 100 dan 0. Selain itu, terdapat dua pertanyaan terbuka yang menggambarkan persepsi ibu tentang keuntungan ASI bagi anak dan hal negatif dari susu non-ASI.
Sikap gizi diukur dari 10 pertanyaan dengan pilihan jawaban setuju, ragu-ragu, dan tidak setuju. Jawaban yang benar diberi nilai 2, jawaban yang salah diberi nilai 0, sedangkan jawaban ragu-ragu diberi nilai 1. Selanjutnya, pengetahuan dan sikap ibu masing-masing dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu kurang (persentase jawaban benar <60%), sedang (persentase jawaban benar 60-80%), dan baik (persentase jawaban benar >80%) (Khomsan 2000).
Praktek pemberian ASI secara umum terdiri atas praktek ASI eksklusif dan alasannya, durasi pemberian ASI saja, pemberian kolostrum, waktu pemberian ASI, frekuensi pemberian ASI sehari, dan status menyusui saat ini. Selain itu, terdapat data praktek pemberian susu non-ASI dan pemberian MP-ASI. Seluruh data tersebut diolah secara deskriptif kemudian hasilnya
dibandingkan antara daerah perdesaan dengan daerah perkotaan dan dianalisis untuk mengetahui hubungan antar variabel.
Definisi Operasional
Berat lahir adalah hasil pengukuran timbangan berat badan saat bayi dilahirkan. Karakteristik bayi adalah ciri-ciri yang dimiliki bayi, mencakup usia, jenis
kelamin, berat lahir, status inisiasi menyusu dini, dan status gizi.
Karakteristik ibu adalah ciri-ciri yang dimiliki ibu, mencakup usia, tingkat pendidikan, status kerja dan pengalaman menyusui sebelumnya.
Pengalaman menyusui sebelumnya adalah pengalaman menyusui yang dimiliki ibu, dilihat dari keberadaan jumlah anak yang disusui sebelumnya. Pengetahuan gizi ibu adalah sejumlah fakta tentang gizi, khususnya ASI
eksklusif, yang diketahui dan dipahami ibu serta diukur dengan 10 pertanyaan pilihan berganda.
Perdesaan adalah daerah yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas persawahan atau perkebunan serta memiliki sarana transportasi yang terbatas.
Perkotaan adalah daerah yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas pemukiman yang padat serta memiliki sarana transportasi dan jalur perdangangan yang mudah diakses.
Praktek ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja kepada bayi tanpa tambahan makanan atau minuman lain selama 4-6 bulan pertama kehidupannya. Praktek pemberian ASI adalah riwayat pemberian ASI oleh ibu pada bayinya
yang mencakup praktek ASI eksklusif dan alasannya, durasi pemberian ASI saja, pemberian kolostrum, waktu pemberian ASI, frekuensi pemberian ASI sehari, dan status menyusui saat ini.
Praktek pemberian MP-ASI adalah riwayat pemberian makanan tambahan selain ASI oleh ibu kepada bayinya yang mencakup frekuensi dan jenis pemberian.
Praktek pemberian susu non-ASI adalah riwayat pemberian susu selain ASI oleh ibu kepada bayinya yang mencakup waktu pertama kali pengenalan, alasan pemberian, dan rata-rata konsumsi susu non-ASI.
Sikap gizi ibu adalah kecenderungan perilaku ibu tentang gizi, khususnya ASI eksklusif yang diukur dengan jawaban setuju, ragu-ragu, dan tidak setuju terhadap 10 pertanyaan yang diberikan.
Status gizi bayi adalah keadaan kesehatan tubuh bayi yang diperoleh dari pengukuran terhadap panjang badan bayi dan perhitungan menggunakan z-score indeks PB/U berdasarkan referensi WHO 2005.
Status inisiasi menyusu dini adalah status bayi yang melakukan proses menyusu sendiri segera setelah kelahiran.
Status kerja ibu adalah kondisi ibu saat ini yang dikategorikan berdasarakan ibu yang bekerja (pegawai atau wiraswasta) dan tidak bekerja (ibu rumah tangga).
Tingkat pendidikan ibu adalah jenjang pendidikan formal terakhir ibu yang telah ditamatkan.
Usia bayi adalah jumlah bulan lamanya bayi hidup yang diperoleh dari selisih tanggal kelahiran dengan tanggal pengukuran status gizi.
Usia ibu adalah jumlah tahun lamanya ibu hidup yang diperoleh dari selisih tangal kelahiran dan tanggal wawancara.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian Letak Geografis
Desa Jayabakti merupakan salah satu dari delapan desa yang berada di Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi. Lokasi Kecamatan Cidahu dapat dilihat pada Lampiran 1. Pertimbangan yang mendasari pemilihan Desa Jayabakti untuk mewakili wilayah perdesaan adalah letaknya yang cukup jauh dari pusat pemerintahan kabupaten, serta wilayahnya yang masih memiliki lahan pertanian dan perkebunan yang luas. Selain itu, sarana dan prasarana transportasi untuk menjangkau wilayah tersebut masih terbatas.
Batas Desa Jayabakti sebelah utara adalah Desa Cidahu, sebelah selatan adalah Desa Pondok Kaso Tengah dan Desa Pasirdoton, sebelah timur berbatasan dengan Desa Tangkil, serta sebelah barat berbatasan dengan Desa Lebak Sari, Kecamatan Parakan Salak. Desa Jayabakti memiliki luas 320 ha dan terdiri atas 7 dusun yaitu Cikalong, Bojong Pari, Salagadog, Cibojong, Pasirreungit, Babakan Jampang, dan Papisangan. Setiap dusun dipimpin oleh seorang kepala dusun yang dipilih langsung oleh masyarakat.
Wilayah perkotaan diwakili oleh Kelurahan Kedung Jaya yang terletak di Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Hal ini berdasarkan pertimbangan lokasi kelurahan yang dekat dengan pusat pemerintahan kecamatan, yaitu 1.5 km. Selain itu, Kelurahan Kedung Jaya hanya berjarak 2.5 km dari pusat pemerintahan kota serta 60 km dari ibukota negara. Lokasi kelurahan Kedung Jaya, Kecamatan Tanah Sareal dapat dilihat pada Lampiran 2.
Kelurahan Kedung Jaya memiliki luas 71.8 ha dan terdiri dari 40 RT dalam 9 RW. Batas wilayah sebelah utara adalah Kelurahan Sukadamai, sebelah selatan adalah Kelurahan Ciwaringin, sebelah barat adalah Kelurahan Kedung Waringin, dan sebelah timur adalah Kelurahan Kedung Badak.
Sosio Demografi
Jumlah total penduduk Desa Jayabakti adalah 10176 jiwa dengan suku etnis mayoritas Sunda. Rata-rata pendidikan penduduk Jayabakti adalah tamatan SD atau sederajat. Mata pencaharian penduduk Desa Jayabakti atara lain sebagai buruh pabrik, buruh tani, dan pedagang.
Jumlah penduduk Kelurahan Kedung Jaya tahun 2009 sebanyak 10941 jiwa yang terdiri dari 5574 laki-laki serta 5367 perempuan dengan 2767 kepala
keluarga. Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan yang terbanyak berada pada lulusan SMA atau sederajat, yaitu sebanyak 3947 orang. Lulusan perguruan tinggi dan akademi mencapai 621 orang. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi sosial ekonomi sebagian besar penduduknya berada di tingkat menengah ke atas. Hal lain yang dapat dijadikan indikator adalah jumlah rumah permanen yang mencapai 432 buah dan 57 unit di komplek pemukiman BTN.
Sebaran jumlah penduduk berdasarkan umur memiliki proporsi terbanyak berada pada kisaran usia 20-39 tahun dengan jumlah 3734 orang. Berdasarkan data jumlah penduduk menurut kesertaan menggunakan KB, terdapat 1833 pasangan usia subur dan 1743 wanita usia subur.
Sarana dan Prasarana
Potensi sumber daya alam di Desa Jayabakti berupa tanah kering yang dijadikan ladang dan pemukiman penduduk dengan luas lahan sebesar 186 ha, tanah persawahan seluas 128 ha dan luas lahan untuk sarana umum sebesar 6 ha. Sarana pendidikan di Desa Jayabakti tersedia dari tingkat TK sampai SLTA. Bagi anak-anak usia SD terdapat 3 SD dan 2 MI. Terdapat SLTP, MTS, SLTA dan MA masing-masing satu unit. Bagi anak-anak prasekolah tersedia sekolah Taman Kanak-kanak (TK) sebanyak 2 buah dengan bimbingan 6 guru. Selain itu, terdapat Taman Posyandu Tunas Muda II yang bergerak dalam bidang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Taman Posyandu ini merupakan salah satu perwujudan program UNICEF bekerja sama dengan Dinas Pendidikan dan partisipasi masyarakat.
Sarana kesehatan yang tersedia di Desa Jayabakti berupa 12 Posyandu yang tersebar di setiap dusun. Jumlah rata-rata kader adalah lima orang dan berasal dari masyarakat yang bersifat sukarela. Kegiatan Posyandu dibina dan diawasi oleh Puskesmas Kecamatan Cidahu melalui Bidan Pembina Desa. Sejak tahun 2009, seluruh Posyandu di Desa Jayabakti mendapat bantuan dana dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri.
Sarana pendidikan yang dimiliki Kelurahan Kedung Jaya antara lain dua buah gedung SD dengan jumlah murid 320 orang dan tiga buah gedung TK dengan jumlah murid 72 orang. Selain itu, terdapat dua buah PAUD dengan jumlah peserta 120 orang. Sarana lain yang dimiliki adalah sarana peribadatan yang terdiri dari 4 buah masjid, 15 buah mushola, dan sebuah gereja. Salah satu kelembagaan yang terdapat di Kelurahan Kedung Jaya adalah kelompok PKK. Jumlah tim penggerak PKK sebanyak 27 orang dengan jumlah kader 67 orang.
Sarana kesehatan yang dimiliki Kelurahan Kedung Jaya antara lain jamban umum, praktek dokter, praktek bidan, dan Posyandu. Tenaga kesehatan yang dimiliki adalah 8 dokter, 12 perawat, dan 5 bidan. Praktek dokter terdiri dari 4 buah praktek dokter umum, dan sebuah praktek dokter gigi. Jamban umum berjumlah 27 buah, dan sebanyak 2264 rumah telah memiliki jamban. Sarana air bersih telah dimiliki oleh 1823 rumah.
Posyandu yang terdapat di Kelurahan Kedung Jaya mencapai 11 buah. Setiap RW memiliki setidaknya satu Posyandu. Khusus RW 1 dan RW 3 memiliki dua Posyandu karena wilayahnya yang luas dan jumlah penduduk yang padat. Kesepuluh Posyandu merupakan Posyandu tingkat Madya dengan jumlah kader 5-6 orang. Sebuah Posyandu lagi, yaitu Posyandu Wijaya Kusuma di RW 6 telah mencapai tingkat Purnama.
Kondisi Posyandu
Posyandu Tunas Muda II terletak di Dusun Cikalong dan dilaksanakan pada hari Senin di minggu ketiga setiap bulannya. Kegiatan Posyandu Tunas Muda II bertepatan dengan Kegiatan PAUD Tunas Muda II yang dilaksanakan setiap Senin, Rabu dan Jumat. Kegiatan Posyandu dilaksankan di pelataran madrasah mulai pukul 08.00 WIB, sedangkan kegiatan PAUD dilaksanakan di dalam ruang kelas madrasah mulai pukul 10.00 WIB. Kader yang bertugas berjumlah 5 orang.
Posyandu Tunas Muda VIII terletak di Dusun Pasirreungit dan merupakan Posyandu dengan cakupan wilayah yang paling luas dibandingkan Posyandu lainnya. Kegiatan Posyandu Tunas Muda VIII dilaksanakan di dua tempat pada hari yang berbeda, yaitu di kediaman Ibu Deudeu (salah satu kader) pada hari Selasa minggu pertama, dan di kediaman Bidan Sri Hartiyati (Bidan Desa) pada hari Rabu minggu pertama setiap bulan. Hal ini dimaksudkan untuk memperluas daerah jangkauan dan mengurangi kepadatan pada hari pelaksanaan.
Posyandu Wijaya Kusuma merupakan satu-satunya Posyandu tingkat Purnama di Kelurahan Kedung Jaya. Cakupannya adalah warga RW 6 yang terdiri dari 6 RT dengan jumlah peserta sekitar 120 orang. Jumlah kader aktif yang terlibat pada Posyandu ini sebanyak 8 orang. Posyandu dilaksanakan pada tanggal 22 setiap bulannya. Kegiatan rutin setiap bulan berupa penimbangan serta imunisasi balita, pemeriksaan ibu hamil, program PMT, dan dana sehat. Selain kegiatan tersebut, terdapat beberapa kegiatan lain seperti pengukuran tekanan darah lansia setiap 2 minggu sekali dan senam tera setiap minggu pagi.