• Tidak ada hasil yang ditemukan

Panduan Manajemen Nyeri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Panduan Manajemen Nyeri"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

PANDUAN MANAJEMEN NYERI

RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

DIREKTORAT MEDIK DAN KEPERAWATAN

RSUP Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

(2)

PANDUAN MANAJEMEN NYERI

RSUP. DR. MOH. HOESIN PALEMBANG

Penyusun:

Zulkifli, dr., SpAn, M.Kes, MARS.

Rizal Zainal, dr., SpAn

Yusni Puspita, dr., SpAn. KAKV. KIC, M.Kes

DEPARTEMEN / BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

RSUP. DR. MOH. HOESIN PALEMBANG

(3)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Panduan Manajemen Nyeri RSUP. Dr. Moh. Hoesin Palembang telah berhasil kami susun. Panduan ini disusun Tim dari Departemen/Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif dan diharapkan dapat menjadi dasar dalam membuat Standar Prosedur Operasional Manajemen Nyeri.

Seiring dengan perkembangan waktu dan semakin dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatan, maka profesi seorang dokter dituntut untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan yang prima. Hal ini sesuai dengan visi RSUP. Dr. Moh. Hoesin Palembang yaitu menjadi Rumah Sakit Umum Pusat Pelayanan Kesehatan, Pendidikan dan Penelitian Terbaik dan Bermutu se-Sumatera.

Kami ucapkan banyak terima kasih pada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyusunan Panduan Manajemen Nyeri ini. Kritik dan saran demi

perbaikan Panduan ini sangat kami harapkan. Wassalamualaikum Wr. Wb.

Mengetahui,

Direktur Medik dan Keperawatan Ka. Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif

DR. Dr. Alsen Arlan, SpB, KBD, MARS Dr. H. Zulkifli, SpAn, M.Kes, MARS NIP. 19620604 198903 1 005 NIP. 19650330 199503 1 001

(4)

DAFTAR ISI

TIM PENYUSUN... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... iv DAFTAR GAMBAR... v BAB I PENDAHULUAN ... 1

BAB II RUANG LINGKUP MANAJEMEN NYERI... 2

II.1 PENILAIAN DERAJAT NYERI

... 2

II.2 MANAJEMEN NYERI

... 14

II.2.1 MANAJEMEN NYERI PEDIATRI

... 15

II.2.2 MANAJEMEN NYERI DEWASA

... 19

II.2.2.1 MANAJEMEN NYERI AKUT DEWASA 19

II.2.2.2 MANAJEMEN NYERI PADA GERIATRI 24

II.2.2.3 MANAJEMEN NYERI PADA PERSALINAN PERVAGINAM

(5)

II.2.2.4 MANAJEMEN NYERI KRONIS DEWASA 31

BAB III FARMAKOLOGI OBAT ANALGETIKA ... 38

III.1 OBAT ANTI INFLAMASI NONSTEROID (OAINS)

... 38

III.2 OPIOID

... 46

III.3 ANALGETIK TAMBAHAN

... 58

III.4 BLOK NERVUS PERIFER

... 63

III.5 BLOK NEURAKSIAL

... 64 BAB IV DOKUMENTASI ... 67 DAFTAR PUSTAKA... 68 LAMPIRAN... 70

DAFTAR TABEL

(6)

TABEL 1 Alat Ukur Berdasarkan Rentang Umur... 3

TABEL 2 Neonatus Infant Pain Scale (NIPS)... 4

TABEL 3 Skala CRIES ... 4

TABEL 4 Skala FLACC ... 5

TABEL 5 Comfort Scale... 11

TABEL 6 Non Verbal Pain Scale Revised... 12

TABEL 7 Behavioral Pain Scale (BPS) ... 12

TABEL 8 Skala BIIP ... 13

TABEL 9 Perbedaan Nyeri Akut dan Kronis... 14

TABEL 10 Terapi Nonfarmakologi... 18

TABEL 11 Manajemen Efek Samping Opioid ... 19

TABEL 12 Functional Pain Scale ... 25

TABEL 13 Skor DIRE... 36

TABEL 14 Panduan Penggunaan OAINS... 44

TABEL 15 Obat-Obatan Non-Opioid Pada Pediatrik... 45

TABEL 16 Sediaan Kombinasi NSAID dan Opioid Untuk Nyeri Moderat... 54

TABEL 17 Opioid Oral... 55

(7)

TABEL 18 Penggunaan Opioid dalam Anestesi ... 55

TABEL 19 Opioid Pada Pediatri... 56

TABEL 20 Panduan adjuvant Analgetika... 62

TABEL 21 Analgetika Lain Pada Pediatri... 63

TABEL 22 Opioid Epidural... 64

TABEL 23Anastesi Lokal Epidural ... 64

TABEL 24Analgesia Epidural Untuk Pediatri...

65

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 1 FACES PAIN SCALE-REVISED... 6

GAMBAR 2 Skala Nyeri Wong-Baker FACES ... 7

GAMBAR 3 Skala Oucher ... 7

GAMBAR 4 Skala Analog Visual ... 8

GAMBAR 5 Skala VNS... 8

(8)

GAMBAR 6 Noncommunicating Children’s Pain Checklist ... 9

GAMBAR 7 Algoritme Nyeri pada Pediatri... 15

GAMBAR 8 Algoritme Manajemen Nyeri Akut... 23

GAMBAR 9 Algoritme Pemberian Opioid Intermitten Intravena Untuk Nyeri Akut ... 24

GAMBAR 10 Algoritme Manajemen Nyeri Kronik... 34

GAMBAR 11 Rencana Perawatan Pasien Nyeri Kronik... 35

(9)

BAB I PENDAHULUAN

Nyeri bukan hanya merupakan modalitas sensorik tapi juga adalah sebuah pengalaman.IASP (The International Association for the Study of Pain) mendefinisikan nyeri sebagai suatu pengalaman sensoris dan emosi yang tidak menyenangkan yang dikaitkan dengan kerusakan jaringan yang jelas atau potensial terjadi, atau yang dikemukakan dalam istilah tertentu yang digunakan untuk menggambar kerusakan tersebut. Ketidakmampuan seseorang untuk berkomunikasi tidak menjamin seseorang tidak merasakan nyeri atau tidak memerlukan manajemen nyeri. Respon terhadap nyeri dapat sangat bervariasi antar individu maupun pada orang yang sama namun dalam waktu yang berbeda dan dipengaruhi oleh banyak faktor meliputi usia, jenis kelamin pendidikan dan budaya. WHO (World Health Organization) membagi nyeri berdasarkan

beberapa klasifikasi. Berdasarkan patofisiologinya nyeri dibedakan menjadi nyeri nosiseptif dan neuropatik, berdasarkan durasi nyerinya menjadi nyeri akut dan kronis, berdasarkan etiologinya menjadi keganasan dan non-keganasan, serta berdasarkan anatominya.

Tatalaksana nyeri ini sangat penting bahkan WHO menempatkannya nyeri sebagai tanda vita ke-lima setelah tekanan darah, nadi, respirasi, dan suhu. Tatalaksana yang efektif harus bersifat multimodal sehingga semua faktor yang menyebabkan nyeri dapat diatasi. Selain itu, juga sebaiknya melibatkan pasien dan keluarganya, dokter, perawat dan semua pihak yang telibat. Panduan manajemen nyeri ini dibuat dengan tujuan untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas akibat nyeri serta mempercepat lama perawatan dan

(10)

BAB II

RUANG LINGKUP MANAJEMEN NYERI II.1 PENILAIAN DERAJAT NYERI

Untuk melakukan manajemen nyeri yang baik, maka penilaian derajat nyeri yang tepat sebaiknya dilakukan. Nyeri bersifat sangat subjektif dan alat ukurnya yang paling reliabel dan valid adalah yang dikeluhkan oleh pasien sendiri. Yang menjadi permasalahan adalah bila pasien tidak dapat secara langsung mengemukakan rasa nyerinya misalnya pada kelompok pasien anak atau kelompok tertentu (misalnya mereka dengan keterbatasan kognitif, mendapatkan obat anestesi, atau dalam perawatan ICU (intensive care unit), dalam pengaruh obat-obatan hipnotik sedatif, dan kondisi khusus lainnya).

Penilaian nyeri akut yang akurat pada pasien anak tidak mudah karena sifat nyeri sendiri yang sangat subyektif dan keterbatasan komunikasi pada sebagian besar anak. Untuk melakukan penilaian tersebut maka diperlukan suatu alat ukur yang efektif. Pemahaman mengenai pengaruh tahapan perkembangan anak terhadap kemampuannya mengekspresikan nyeri akan membantu klinisi untuk memilih skala penilaian nyeri yang tepat dan kemudian menginterpretasikannya.Alat ukur nyeri yang digunakan haruslah sesederhana mungkin sehingga dapat digunakan oleh klinisi dengan cepat serta dipahami dengan mudah oleh anak-anak.

Tantangan yang paling jelas dalam melakukan penilaian akurat terhadap nyeri pada bayi ialah ketidakmampuannya untuk berbicara sehingga digunakan ukuran tingkah laku dan fisiologis. Seiring dengan semakin berkembangnya kemampuan kognitif maka anak akan mampu mengekspresikan nyeri dengan menggunakan alat bantu. Skala nyeri yang menggunakan gambar atau wajah yang mewakili gambaran obyektif rasa nyeri dapat digunakan untuk anak-anak dengan usia di atas 4 tahun. Skala ukur seperti ini memungkinkan anak untuk mengekspresikan pengalaman nyeri dengan ukuran obyektif sebelum

menunjukkannya dalam skala angka. Setelah kemampuan berbahasa

berkembang maka anak akan menggunakan kata-kata selain dengan menangis misalnya “sakit” atau “pedih”. Selain itu juga telah ditunjukkan bahwa anak-anak berumur 11 tahun dapat menunjukkan gejala bingung sebagai ungkapan nyeri.

(11)

Tabel 1. Alat Ukur Berdasarkan Rentang Umur

Alat Ukur Rentang Usia Skor

NIPS 0-6 minggu 0-7

FLACC Semua umur 0-10

FPS-R 4-12 tahun 0-5

FPS (Bieri dkk) 4-18 tahun 0-5 Wong-Baker FACES 9 bulan-18 tahun 0-5

OUCHIER 3-18 tahun 0-5

VAS >8 tahun Bervariasi

VNS >8 tahun 0-10

Ceklist Nyeri Anak-Anak

yang Berkomunikasi 0-81

FLACC yang Direvisi

untuk Gangguan Kognitif 4-18 tahun 0-10 NIPS: Neonatas Infant Pain Scale

FLACC: Face, Legs, Activity, Cry, and Consolability

FPS-R: Faces Pain Scale

VAS: Visual Analogue Scale

VNS: Verbal Numeric Scale

Penilaian nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan skala di bawah ini: 1. Skala NIPS (Neonatal Infant Pain Scale)

Merupakan alat ukur tingkah laku untuk mengukur rasa nyeri pada neonatus kurang bulan dan cukup bulan.Untuk mengukurnya bisa dibantu dengan alat monitor sebelum, selama dan sesudah suatu rangsangan nyeri.Ini dikembangkan oleh Rumah Sakit Anak di Ontario Timur.

Parameter ada enam dengan skor 0 (terendah) sampai dengan 7 (tujuh).Nilai 0-2 untuk tidak nyeri atau nyeri ringan, 3-4 untuk nyeri ringan sampai moderat, >4 untuk nyeri berat. Keterbatasan skala ini bisa terjadi

false skala yang rendah apabila dilakukan pengukuran pada bayi yang terlalu sakit untuk merespon rangsangan atau mendapat obat pelumpuh otot.

Tabel 2. Neonatas Infant Pain Scale (NIPS)

NIPS 0 1 2

Ekspresi wajah Relaks Kontraksi

-Menangis Tidak ada Mumbling Kuat

Bernapas Relaks Berbeda dengan

basal

-Lengan Relaks Fleksi/teregang

-Tungkai Relaks Fleksi/teregang

(12)

-2. Skala CRIES

Biasa dipakai untuk bayi 0-6 bulan. Terdiri dari lima katagori dengan skor masing-masing 0-2 (maksimal 10). Tim penilai dapat bekerjasama dengan keluarga pasien (jika diperlukan).

Tabel 3. Skala CRIES Crying – Characteristic cry of pain is high pitched 1. No cry that is not high-pitched

2. Cry high pitched but baby is easily consolable 3. Cry high pitched but baby is inconsolable

Require O2 for SaO2 <95% - Babies experiencing pain manifest decresed oxygenation. Consider other causes of hypoxemia (oversedation, atelectasis, pneumothorax)

1. No oxygen required 2. <30 % oxygen required 3. >30 % oxygen reuired

Increased vital signs (BP and HR) – Take BP last as this may awaken child making other assessments difficult

1. Both HR and BP unchanged or less than baseline 2. HR or BP increased but increase in <20 % of baseline 3. HR or BP is increased >20 % over baseline

Expression – The facial expression most often associated with pain is a grimace. A grimace may be characterized by brow lowering, eyes squeezed shut, deepening naso-labiaal furrow, or open lips and mouth 1. No grimace present

2. Grimace alone is present

3. Grimace and non-cry vocalization grunt is present

Sleepless – Scored based upon the infant’s state during the hour preceding this recorded score

1. Child has been continuously asleep

2. Child has awakened at the frequent intervals 3. Child has been awake constantly

3. Skala FLACC (Face Leg Activity Cry Consolability)

Skala FLACC adalah suatu alat pengukuran rasa nyeri unidimensi berdasarkan tingkah laku pada periode post operasi pada anak kecil. Skala ini meliputi lima unsur yaitu wajah (Face), tungkai (Leg), gerakan (Activity), tangisan (Cry) dan dapat dihibur (Consolability). Skala FLACC dibuktikan lebih realistis untuk menilai rasa nyeri pada anak dengan penyakit kritis.

Tabel 4. Skala FLACC

(13)

Wajah Tidak ada ekspresi yang khusus (seperti senyum)

Kadang meringis atau mengerutkan dahi, menarik diri

Sering / terus menerus mengerutkan dahi, rahang mengatup, dagu bergetar

0

1

2

Ekstremitas Posisi normal / rileks

Tidak tenang, gelisah, tegang Menendang atau menarik kaki

0 1 2

Gerakan Berbaring tenang, posisi normal, bergerak mudah

Menggeliat-geliat, bolak-balik berpindah, tegang Posisi tubuh meringkuk, kaku / spasme atau menyentak

0

1 2

Menangis Tidak menangis

Merintih, merengek, kadang mengeluh Menangis tersedu-sedu, terisak-isak, menjerit

0 1 2 Kemampuan Ditenangkan Senang, rileks

Dapat ditenangkan dengan sentuhan, pelukan, atau berbicara, dapat dialihkan.

Sulit/ tidak dapat ditenangkan dengan pelukan, sentuhan atau distraksi.

0 1

2

Cara menggunakan skor FLACC:

 Pada pasien yang sadar/bangun: pengamatan pasien dilakukan selama 1-5 menit atau lebih. Bagian yang diamati adalah tungkai dan tubuh yang terbuka/terlihat, perubahan posisi dan aktivitas, kemudian pemeriksa meraba tubuh pasien untuk menilai ketegangan otot, dan melakukan intervensi atau konseling jika diperlukan.

 Bila pasien tertidur: pengamatan dilakukan selama 5 menit atau lebih. Bagian yang diamati adalah tubuh dan tungkai yang terbuka/terlihat. Jika

(14)

memungkinkan rubah posisi pasien, raba tubuh pasien, serta nilai ketegangan otot.

Interpretasi hasil skala FLACC adalah: relaks dan nyaman (0), ketidaknyamanan ringan (1-3), ketidaknyamanan sedang (4-6) dan ketidaknyamanan berat atau nyeri atau keduanya (7-10).

4. Skala FPS-R (Faces Pain Scale-Revised)

Untuk anak sekolah berusia 4-12 tahun, skala pengukuran nyeri ini paling valid dan mampu mengukur nyeri akut dimana pengertian terhadap kata atau angka tidak diperlukan. Kriteria nyeri diwakilkan dalam enam sketsa wajah (dari tujuh / FPS sebenarnya) yang mewakili angka 0-5 atau 0-10.Anak-anak memilih satu dari enam sketsa muka yang mencerminkan nyeri yang mereka rasakan.Skor tersebut dikelompokkan menjadi nyeri ringan (0-3), nyeri sedang (4-6), dan nyeri berat (7-10).

Gambar 1. Faces Pain Scale-Revised

5. Skala Wong Baker FACES

Pengukuran nyeri ini menggunakan enam sketsa wajah kartun, jenis kelamin netral dimana menggambarkan dari tanpa nyeri (wajah tersenyum) sampai nyeri hebat (wajah menangis).Digunakan untuk anak-anak 3 tahun keatas. Skor nyeri mulai dari nol sampai dengan lima. Skala pengukuran ini sangat mudah dan sederhana, minimal instruksi, diterjemahkan dalam 10 bahasa, dan dipakai juga dalam diagnosis di ruang darurat.Kelemahan skala ini bahwa sketsa muka dianggap mewakili emosi yang berlebihan.

Gambar 2. Skala Nyeri Wong-Baker FACES

6. Skala OUCHER

Skala OUCHER adalah skala pengukuran nyeri dengan menggunakan kombinasi foto jepretan muka dengan kombinasi ukuran angka berbentuk

(15)

vertikal, dari 0 – 100 mm. Biasanya dipakai untuk anak berusia diatas 6 tahun. Foto jepretan kamera ini terdiri dari enam wajah yang sensitif (termasuk kulit putih, afrika, amerika, dan hispanik).Skoring dari 0 – 5.

Gambar 3. Skala Oucher

7. Skala VAS (Visual Analog Scale)

Skala ini menggunakan garis mendatar atau tegak lurus yang memiliki ukuran (100 mm) untuk menggambarkan kualitas nyeri.Ujung akhir dari garis itu adalah penjelasan verbal terhadap nyeri yang paling hebat.Anak menandai garis tersebut untuk menyatakan besarnya nyeri yang dirasakan.Peneliti merekomendasikan skala ini untuk anak diatas 8 tahun.

Gambar 4. Skala Analog Visual

8. Skala VNS (Visual Numeric Scale) / NRS (Numerical Rating Scale)

Skala ini menggunakan garis lurus mendatar dan memiliki angka 0 – 10, dari tanpa nyeri sampai dengan nyeri sangat hebat.Anak diminta untuk memilih beratnya nyeri sesuai dengan berat tingan nyeri yang mereka alami.

(16)

9. Skala nyeri anak yang tak bisa berkomunikasi (Noncommunicating Children’s Pain Checklist)

Pengukuran nyeri untuk anak yang tidak bisa berkomunikasi dan variasinya telah dibuat dan digunakan untuk anak-anak dengan keterbatasan seperti autisme dan kelumpuhan otak (cerebral palsy), untuk anak dengan keterbatasan kemampuan.Biasanya dipakai untuk anak umur 3-18 tahun.Digunakan untuk menilai nyeri akut atau nyeri kronis anak dirumah. Cara menilainya, dilakukan pengamatan terlebih dahulu anak yang hendak dinilai selama dua jam.Sebagai catatan bahwa item makan/tidur tidak selalu terjadi sela dua jam pengamatan, untuk itu pengukuran ini berdasarkan pengamatan tingkah laku anak seharian. Skor antara 0 – 1, dalam enam subklas.Panjangnya daftar isian membuat skala ini jarang digunakan di ruang gawat darurat.

Total nilai 7 atau lebih menunjukkan bahwa anak merasakan nyeri dan nilai 6 atau kurang tidak nyeri.

(17)

Pada pasien yang mengalami penurunan kesadarn maka penilaian nyeri dilakukan berdasarkan skala pengukuran sebagai berikut:

1. Comfort Scale

Pada pasien dengan penurunan kesadaran baik akibat dari penyakit yang diderita, mendapat terapi analgetik atau pun sedasi tidak dapat mengeluhkan nyeri yang dialami. Comfort scale dapat digunakan untuk menilai derajat nyeri pada pasien dengan penurunan kesadaran. Skala ini memiliki 8 indikator (6 penilaian perilaku dan 2 penilaian fisiologis), yaitu kewaspadaan (alertness), ketenangan (calmness/agitation), distres pernafasan (respiratory distress) atau menangis (crying), pergerakan (physical movement), tonus otot (muscle tone), tegangan wajah (facial tension), tekanan darah basal (blood pressure) dan denyut jantung basal (heart rate). Indikator distres pernafasan tidak

(18)

digunakan pada pasien yang bernafas spontan, sedangkan indikator menangis tidak digunakan pada pasien dengan ventilasi mekanik.

Setiap indikator mempunyai nilai antara 1 dan 5. Nilai total antara 8 sampai 40. Nilai 17 sampai 26 menunjukkan kontrol sedasi dan nyeri yang adekuat. Karena pengukuran tekanan darah dan denyut jantung yang kompleks, skala ini terutama digunakan pada pasien dalam perawatan intensif.

Prosedur Comfort scale:

1. Penilai memeriksa medical flow chart pasien dan menghitung baseline,

batas denyut jantung dan tekanan arteri rata-rata tertinggi dan terendah. Nilai denyut jantung dan tekanan arteri rata-rata terendah selama 24 jam dipakai sebagai baseline, walaupun pasien diberikan sedasi.

2. Penilaian dimulai dengan periode observasi selama 2 menit dimana penilai dapat mengamati wajah dan seluruh tubuh pasien serta monitor tanda vital. Dilakukan penilaian secara cepat gerakan, posisi tubuh, ekspresi wajah, respon terhadap stimulus eksternal, dan lain-lain berdasarkan Comfort scale.

3. Setiap 15-20 detik, penilai mengobservasi denyut jantung dan tekanan arteri rata-rata dan menentukan bila terjadi perubahan 15% dari baseline.

4. Sekitar 10 detik sebelum akhir periode observasi, tonus otot dinilai dari respon pasien terhadap fleksi ekstremitas secara cepat dan lambat (pada siku atau lutut tanpa kateter intravena, plester, arterial line). Pergelangan tangan atau tumit dapat digunakan bila sendi lain tidak dapat digunakan.

5. Penilai kemudian mencatat nilai pada setiap skala. Perilaku yang paling ekstrim (distres) yang didapat selama observasi dinilai pada setiap variabel. Total nilai dari setiap variabel dijumlahkan.

(19)

Tabel 5. Comfort Scale

Kategori Penilaian Nila

i Skor

Kewaspadaan

Tidur pulas/nyenyak 1

Tidur kurang nyenyak 2

Gelisah 3

Sadar sepenuhnya dan waspada 4

Hiper Alert 5 Ketenangan Tenang 1 Agak cemas 2 Cemas 3 Sangat cemas 4 Panik 5 Distress Pernafasan

Tidak ada respirasi spontan dan tidak ada batuk 1 Respirasi spontan dengan sedikit/tidak ada respon terhadap ventilasi 2 Kadang-kadang batuk atau terdapat tahanan terhadap ventilasi 3 Sering batuk, terdapat tahanan/perlawanan terhadap ventilator 4 Melawan secara aktif terhadap ventilator, batuk terus menerus/tersedak 5

Menangis

Bernapas dengan tenang, tidak menangis 1

Sering terisak-isak 2

Merengek 3

Menangis 4

Berteriak 5

Pergerakan

Tidak ada pergerakan 1

Kadang-kadang bergerak perlahan 2

Sering bergerak 3

Pergerakan aktif terbatas 4

Pergerakan aktif termasuk kepala dan badan 5 Tonus Otot Otot relaks sepenuhnya, tidak ada tonus otot 1

Penurunan tonus otot 2

Tonus otot normal 3

(20)

Kekakuan otot ekstrim dan fleksi jari tangan tangan dan kaki 5

Tegangan Wajah

Otot relaks sepenuhnya 1

Tonus otot wajah normal, tidak terlihat tegangan otot wajah yang nyata 2 Tegangan beberapa otot wajah terlihat nyata 3 Tegangan hampir di seluruh otot wajah 4 Seluruh otot wajah tegang, meringis 5

Tekanan Darah Basal

Tekanan darah di bawah batas normal 1 Tekanan darah berada di batas normal secara konsisten 2 Peningkatan tekanan darah sesekali ≥ 15% diatas batas normal (1-3 kali) 3 Sering peningkatan tekanan darah ≥ 15% di atas batas normal (>3 kali) 4 Peningkatan tekanan darah terus menerus ≥ 15% 5

Denyut Jantung Basal

Denyut jantung di bawah batas normal 1 Denyut jantung berada di batas normal secara konsisten 2 Peningkatan denyut jantung sesekali ≥15% di atas batas normal (1-3 kali) 3 Seringnya peningkatan denyut jantung ≥15% di atas batas normal (>3 kali) 4 Peningkatan denyut jantung terus menerus ≥15% 5 Total Score

2. Non Verbal Pain Scale Revised

Skala ini digunakan untuk menilai nyeri pada pasien dengan penurunan kesadaran.. Ada 5 kategori yang akan dinilai (wajah, aktifitas, posisi tubuh, fisiologis, dan pernapasan). Skor 0-2 berarti tidak ada nyeri, 3-6 berarti nyeri sedang, dan 7-10 berarti nyeri berat. Pasien dinilai tiap 4 jam pada

nursingflow sheet dan melakukan penilaian sebelum dan setelah intervensi untuk memastikan kenyamanan pasien. Pasien dengan sepsis, hipoksia, hipovolemia perlu dieksklusi terlebih dahulu sebelum melakukan intervensi.

Tabel 6. Non Verbal Pain Scale Revised

Kriteria Skor 0 Skor 1 Skor 2

Wajah Tidak ada ekspresi tertentu atau senyum

Sesekali meringis, mengeluarka air mata, mengerutkan dahi.

Sering meringis, mengeluarkan air mata,

(21)

Aktifitas Berbaring tenang. Posisi normal Mencari perhatian dengan gerakan berhati-hati. Gerakan gelisah dan atau melawan Posisi Tubuh Berbaring tenang, tidak ada posisi tangan diatas tubuh Gerakan mengeliat, ketegangan pada tubuh Kekakuan tubuh

Fisiologis TD dan nadi stabil, tidak ada perubahan dalam 4 jam.

Perubahan dalam 4 jam dari salah satu: tekanan darah sistolik>20, nadi>20, laju pernafasan>10

Perubahan dalam 4 jam dari salah satu: tekanan darah >30, nadi >25, laju pernapasan >20 Pernafasan Pernafasan sesuai base line, SpO2 sesuai setting ventilator RR>10 dia atas baseline atau

penurunan SpO2 tidak sinkronisasi ringan dengan ventilator. RR > 20 di atas baseline atau penurunan SpO2 10%, tidak sinkronisasi berat dengan ventilator 3. Behavioral Pain Scale (BPS)

Merupakan pengukuran nyeri berdasarkan tingkah laku, digunakan pada pasien penyakit kritis yang dirawat di ICU.Terdiri dari tiga item penilaian dengan skor 3-12. Nilai <5 berarti pasien bebas nyeri, >5 pasien mengalami nyeri yang perlu diterapi.

Tabel 7. Behavioral Pain Scale (BPS) untuk Menilai Nyeri pada Pasien Nonverbal dengan Ventilasi Mekanik

Perilaku Deskripsi Skor

Ekspresi wajah

Relaksasi 1

Partially tightened (misalnya

menggerakkan alis) 2

Fully tightened (misalnya menutup mata) 3

Menyeringai 4

Ekstremita s atas

Tidak ada gerakan 1

Menekuk sebagian 2

(22)

Retraksi permanen 4 Komplian

dengan ventilasi

Mentoleransi pergerakan 1

Batuk namun masih mentolerasi

ventilasi sebagian besar waktu 2 Tidak bisa mengikuti ventilator (fighting

ventilator) 3

Tidak dapat mengonrrol ventilasi 4 4. Behavioral Indicators of Infant Pain (BIIP)

Adalah skala pengukuran nyeri dengan mengkombinasikan pengukuran saat tidur dan bangun, lima mimik wajah, dua gerakan tangan.Skala ini dipakai untuk bayi baru lahir baik cukup bulan atau kurang bulan hingga umur 18 bulan.

Tabel 8. Skala BIIP

Score State Skor

0 Deep sleep 0 Active sleep 0 Drowsy 0 Quiet awake 1 Active awake 2 Agitated crying Face 1 Brow bulge 1 Eye squueze 1 Naso-labial furrow 1 Horizontal mouth strecth 1 Taut tongue

Hand

1 Finger splay 1 Fisting

Total Score II.2 MANAJEMEN NYERI

Nyeri secara umum dibedakan menjadi akut atau kronik. Nyeri akut diartikan sebagai nyeri yang berlangsung kurang dari 30 hari dan kronis lebih dari 30 hari. Bagaimanapun juga definisi berdasarkan durasi tersebut tidak mutlak dan tidak terlalu bermakna dalam menentukan strategi manajemen. Nyeri akut biasanya dikaitkan dengan kerusakan / cedera jaringan yang baru terjadi dan

(23)

durasi yang singkat.Nyeri menghilang setelah kerusakan sembuh. Nyeri ini menyebabkan penderita waspada untuk menghindari kerusakan / cedera lebih lanjut dengan aktivasi sistem saraf simpatis (vasokonstriksi, nadi cepat,

terkadang menjadi agitasi). Nyeri kronis atau nyeri persisten terjadi lama setelah kerusakan / cedera jaringan sembuh (penyebab nyeri tidak jelas). Pasien dengan nyeri kronis dapat mengalami perubahan fisiologi dengan gejala: depresi,

withdrawal (menarik diri), anorexia, fatique (lemah), hipersomnolen atau insomnia, irritabilitas atau ketidakstabilan emosi, kurang inisiatif dan inaktifitas. Perubahan tersebut dapat ringan dan memerlukan observasi keluarga, kerabat, dan tenaga sosial. Pasien mungkin sepertinya tidak merasakan nyeri (nadi dan ekspresi wajah tidak menunjukkan rasa sakit). Nyeri kronis ini cenderung sulit untuk diatasi karena dipengaruhi oleh faktor fisiologi dan psikologi. Manajemen yang ideal memerlukan multidisiplin, whole-person approach dan waktu yang panjang.

Tabel 9. Perbedaan Nyeri Akut dan Kronis

Nyeri Akut Nyeri Kronis

Terjadi segera setelah terjadi kerusakan / cedera jaringan

Terjadi setelahkerusakan / cedera jaringan hilang atau sembuh

Dianggap sebagai peringatan kerusakan / cedera jaringan; proteksi kerusakan jaringan lebih lanjut

Tidak memiliki fungsi proteksi

Aktivasi nosiseptos Melibatkan sensitisasi sentral dan kelainan struktur permanen susunan saraf pusat Aktivasi sistem saraf simpatis Adaptasi fisiologis

Durasi singkat Durasi lama

Hilang setelah kerusakan jaringan hilang Terjadi lama setelah resolusi kerusakan / cedera jaringan

Secara langsung berkaitan dengan kerusakan / cedera, kondisi postoperasi, dan proses penyakit

Tidak berkaitan secara langsung dengan kerusakan / cedera jaringan, prosedur operasi, dan proses penyakit

(24)

II.2.1 MANAJEMEN NYERI PEDIATRI

Pada awalnya diyakini bahwa bayi tidak memiliki kemampuan untuk mengekspresikan nyeri sehingga tidak memerlukan obat antinyeri namun sekarang diketahui bahwa struktur nosiseptif telah berfungsi sejak janin (fetus). Bayi, meskipun memiliki susunan saraf pusat yang sedang berkembang, juga merasakan nyeri sehingga memerlukan penilaian dan tatalaksana lebih lanjut. Kenyataan yang ditemukan kemudian ialah bahwa nyeri yang tidak teratasi saat neonatus telah dikaitkan dengan efek terapi antinyeri yang kurang baik di usia dewasa.

Untuk merespon dan mengatasi rasa nyeri pada bayi dan anak yang belum bisa diajak berkomunikasi,seorang dokter harus memiliki kemampuan untuk menangkap segala hal atau tanda yang berkaitan dengan rasa nyeri berdasarkan hasil pengamatan secara seksama. Manajemen nyeri pediatri: 1. Pasien berusia <17 tahun

2. Manajemen nyeri pada pasien pediatri dapat dilakukan dengan pendekatan multimodal menggunakan farmakologi dan nonfarmakologi

3. Berikut adalah algoritma manajemen nyeri mendasar pada pediatri: Gambar 7. Algoritme Nyeri pada Pediatri

(25)

4. Pemberian analgesik:

a. By the ladder (pemberian analgesik secara bertahap sesuai dengan level nyeri anak (ringan, sedang, berat)):

 Awalnya berikan analgesik ringan sedang

 Jika nyeri menetap dengan pemberian analgesik tersebut, berikan analgesik yang lebih poten

 Pada pasien yang mendapat terapi opioid, pemberian parasetamol tetap dilakukan sebagai analgesik adjuvant

 Analgesik adjuvant merupakan obat yang memiliki indikasi primer bukan untuk nyeri tetapi dapat berefek analgesik dalam kondisi tertentu

 Pada anak dengan nyeri neuropatik, dapat diberikan analgesik adjuvant pada awal terapi karena lebih spesifik dan efektif untuk mengatasi nyeri neuropati:

1) Analgesik multimodal: anti depresant, agonis adrenergic alfa-2, kortikosteroid, anestesi topical

2) Analgesik untuk nyeri neuropati: antidepresant, antikonvulsi, agonis GABA, anestesioral lokal

3) Analgesik untuk nyeri musculoskeletal: relaksan otot, benzodiazepin, inhibitor osteoklas, radiofarmaka

b. By the clock (mengacu pada waktu pemberian analgesik):

 Pemberian haruslah teratur, misalnyasetiap 4-6 jam (disesuaikan dengan masa kerja obat dan derajat keparahan nyeri pasien, tidak boleh (jika perlu) kecuali episode nyeri pasien benar-benar intermiten dan tidak dapat diprediksi

c. By the child (mengacu pada pemberian analgesik yang sesuai dengan kondisi masing-masing individu):

 Lakukan monitor dan asesment nyeri secara teratur

 Sesuaikan dosis analgesik jika perlu

d. By the mouth mengacu pada jalur pemberian obat:

 Obat harus diberikan melalui jalur yang paling sederhana, tidak invasif, dan efektif, biasanya per oral

 Karena pasien takut dengan jarum suntik, pasien dapat menyangkal bahwa mereka mengalami nyeri atau tidak memerlukan pengobatan

 Untuk mendapatkan efek analgesik yang cepat dan langsung, pemberian parenteral terkadang merupakan jalur yang paling efisien

 Opioid kurang poten jika diberikan per oral

 Sebisa mungkin jangan memberikan obat via intramuscular karena nyeri dan absorbsi obat tidak dapat diandalkan

(26)

 Infus kontinu memiliki keuntungan yang lebih dibandingkan IM,IV, dan subkutan intermiten, yaitu:tidak nyeri,mencegah terjadinya penundaan/keterlambatan pemberian obat, memberikan kontrol nyeri yang kontinu pada anak.

 Indikasi: pasien nyeri di mana pemberian per oral dan opioid parenteral intermiten tidak memberikan hasil yang memuaskan, adanya muntah hebat (tidak dapat memberikan obat per oral)

e. Analgesik dan anestesi regional: epidural

 Sangat berguna untuk anak dengan nyeri kanker stadium lanjut yang sulit diatasi dengan terapi konservatif.

 Harus dipantau dengan baik

 Berikan edukasi dan pelatihan kepada staf, ketersediaan segera obat-obatan dan peralatan resusitasi, dan pencatatan akurat mengenai tanda vital/ skor nyeri

5. Penggunaan opioid pada pediatri:

 Pilih rute yang paling sesuai untuk pemberian jangka panhjang,pilihlah jalur oral.

 Pada penggunaan infus kontiyu IV, sediaan obat kerja singkat dengan dosis 50%-200% dari dosis infus perjam koniyu (bila perlu).

 Jika diperlukan >6 kali opioid kerja singkat dalam 24 jam maka dibagi 24. Alternatif lainnya adalah dengan menaikkan kecepatan infus sebesar 50 %.

 Jika efek analgetiknya tidak adekuat dan tidak ada toksisitas, tingkatkan sebesar 50%.

 Saat tapering off atau penghentian obat pada semua pasien yang menerima opoid >1 minggu. Harus dilakukan tapering off ( untuk menghindari withdrawal). Kurangi dosis 50% selama 2 hari,lalu kurangi sebesar 25% setiap 2 hari. Jika dosis ekuiovalen dengan dosis morfin oral ( 0,6mg/kgBB/hari), opioid dapat dihentikan.

 Meperidin tidak boleh digunakan untuk jangka lama karena dapat terakumulasi dan menimbulkan mioklonus, hipereflek, dan kejang.

6. Terapi nonfarmakologi meliputi:

a. Terapi kognitif: merupakan terapibyang paling bermanfaat dan memilikinefek yang besar dalam menajeman nyeri non-obat untuk anak. b. Distraksi terhadap nyeri dengan mengalihkan atensi ke hal lain sperti

musik, cahaya, warna, permainan, permen , komputer, permainan, film, dan sebagainnya.

(27)

c. Terapi perilaku: bertujuan untuk menguirangi perilaku yang dapat meningkatkan nyeri dan meningkatkan perilaku yang dapat menurunkan nyeri.

d. Terapi relaksasi: dapat berupa mengepalkan dan mengendurkan jari tangan,menggerakkan kaki sesuai irama,tarik nafas dalam.

Tabel 10. Terapi Nonfarmakologi

Kognitif Perilaku Fisik

 Informasi

 Pilihan dan kontrol

 Distraksi dan atensi

 Hypnosis

 Psikoterapi

 Latihan

 Terapi relaksasi

 Um[pan balik positif

 Modifikasi gaya hidup/perilaku  Pijat  Fisioterapi  Stimulasi termal  Stimilasi sensorik  Akupuntur  TENS (transcutaneous elektrical nerve stimulation ) 7. Melakukan manajemen efek samping opioid

(28)

Tabel 11. Manajemen Efek Samping Opioid Efek samping Tatalaksana

Pruritus Difenhidramin (0,5 mg/kg tiap 6 jam PRN) Atau

Nalokson gtt (0,5-2 ug/kg/jam) Atau

Nalmefen (0,25-0,5 ug/kg tiap 8 jam)

Nausea/vomitus Ondansteron (0,15 mg/kg tiap 6 jam PRN sampai maksimal 4 mg/kali)

Atau

Narcan gtt (0,5-2 ug/kg/jam) Atau

Nalmefene (0,25-0,5 ug/kg/kali tiap 8 jam)

Somnolen Metilfenidat (0,1 mg/kg/kali); pikirkan preparat lepas lambat Retensi urin Nalokson gtt (0,5-2 ug/kg/jam)

Atau

Nalmefene (0,25-0,5 ug/kg/kali tiap 8 jam). Dapat diperlukan pemasangan kateter urin.

Seringkali gejala dapat diatasi dengan mengurangi dosis opioid 20-25%. Meskipun begitu, tindakan ini dapat mengurangi efek analgesia dan terapi adjuntif sebaiknya dipertimbangkan.

II.2.2 MANAJEMEN NYERI DEWASA

II.2.2.1 MANAJEMEN NYERI AKUT DEWASA

1. Melakukan penilaian nyeri melalui anamnesis sampai pemeriksaan penunjang

2. Menentukan mekanisme nyeri: a. Nyeri somatik

a. Nyeri dengan onset cepat, terlokalisasi dengan baik, dan nyeri bersifat tajam, menusuk, atau seperti ditikam

b. Penyebab: kerusakan jaringan yang menyebabkan pelepasan zat kimia dari sel yang cedera dan memediasi inflamasi dan nyeri melalui nosiseptor kulit.

c. Contoh: nyeri akibat laserasi, sprain, fraktur, dislokasi b. Nyeri viseral

(29)

a. Nyeri yang kurang bisa dilokalisasi, bersifat difus, tumpul, seperti ditekan benda berat.

b. Nyeri ini disebabkan oleh iskemi/nekrosis, inflamasi, peregangan ligament, spasme otot polos, distensi organ berongga/lumen

c. Nyeri neuropatik

a. Nyeri yang dirasakan seperti rasa terbakar, nyeri menjalar, kesemutan, alodinia (nyeri saat disentuh), atau hiperalgesia

b. Gejala nyeri biasanya dialami dari bagian distal dari tempat cedera (sementara pada nyeri nosiseptif, nyeri dialami pada tempat cedera) c. Berasal dari cedera jaringan saraf

d. Biasanya diderita oleh pasien dengan diabetes, multiple sclerosis, herniasi diskus, AIDS, pasien yang menjalani kemoterapi/radioterapi. 3. Melakukan penilaian derajat nyeri ringan (VAS 1-3), sedang (VAS 4-6) , dan

berat (VAS 7-10)

4. Memberikan analgetika sesuai dengan Step-Ladder WHO:

OAINS efektif untuk nyeri ringan (VAS 1-3) sampai sedang (VAS 4-6) dan opioid efektif untuk nyeri sedang (VAS 4-6) sampai berat (VAS 7-10) 5. Untuk nyeri ringan sampai sedang mulai dengan OAINS / opioid lemah 6. Melakukan evaluasi nyeri yang dialami pasien dengan melakukan penilaian

ulang derajat nyeri dan memantau hasil pemberian obat, jika kurang efektif / nyeri menjadi sedang sampai berat, analgetika ditingkatkan menjadi opioid kuat

7. Jika pasien memiliki kontraindikasi absolut OAINS, dapat diberikan opioid ringan

(30)

 Oral: Antikonvulsan, antidepresan, antihistamin, ansiolitik, kortikosteroid, anestetika lokal, OAINS, opioid

 Intravena: Antikonvulsan, ketamin, OAINS, opioid

 Neuraksial (analgesia spinal, epidural, serta kombinasi spinal dan epidural): Anestetika oral, Opioid

 Rektal (suppositoria): OAINS, Opioid, Antikonvulsan

 Topikal: Anestetika lokal

 Infiltrasi: Anestetika lokal

 Subkutan: Anestetika lokal, Opioid

 Transdermal: Anestetika Lokal, Opioid

9. Menilai dan memberikan tatalaksana efek samping pengobatan

 Opioid

a. Mual dan muntah: memberikan anti emetik

b. Konstipasi: memberikan stimulant buang air besar, menghindari laksatif yang mengandung serat karena dapat menyebabkan produksi gas

c. Pruritus: mempertimbangkan untuk mengganti opioid jenis lain atau dapat juga menggunakan antihistamin.

d. Mioklonus: mempertimbangkan untuk mengganti opioid atau memberikan benzodiazepin

e. Depresi pernapasan: memberikan nalokson ( campur 0,4 mg nalokson dengan NaCl 0,9 % sehingga total volume mencapai 10ml).Berikan 0,02 mg ( 0,5 ml) bolus setiap menit hingga kecepatan pernapasan meningkat.Dapat diulang jika pasien mendapat terapi opioid jangka panjang

 OAINS

a. Gangguan gastrointestinal: memberikan AH2 antagonis atau PPI (proton pump inhibitor)

b. Perdarahan akibat disfungsi platelet: pertimbangkan untuk mengganti OAINS yang tidak memiliki efek terhadap agregasi platelet

10. Bila diperlukan dapat dikombinasikan atau diganti dengan terapi nonfarmakologi berupa:

a. Heat / cold pack

b. Melakukan reposisi, immbolisasi

c. Latihan relaksasi seperti menarik napas, bernapas dengan irama / pola teratur, dan atau meditasi pernapasan yang menenangkan

d. Distraksi / pengalih perhatian e. Analgesia neuraksial

f. Blok perifer

(31)
(32)
(33)

Gambar 9. Algoritme Pemberian Opioid Intermitten Intravena Untuk Nyeri Akut

II.2.2.2 MANAJEMEN NYERI PADA GERIATRI

1. Lanjut usia ( lansia ) didefinisikan sebagai orang-orang yang berusia > 65 tahun.

2. Pada lansia, prevalensi nyeri dapat meningkat hingga dua kali lipat dibandingkan dewasa muda.

3. Penyakit yang sering menyebabkan nyeri pada lansia adalah artritis, kanker, neuralgia trigeminal, neiralgia pasca-herpetik, reumatika polimialgia, dan penyakit degeratif.

4. Lokasi yang sering mengalami nyeri: sendi utama / penyangga tubuh, punggung, tungkai bawah,dan kaki.

(34)

a. Kurangnya pelatihan untuk dokter mengenai mamajemen nyeri pada geriatri.

b. Asesmen nyeri yang tidak adekuat.

c. Keenganan dokter untuk memerapkan opoid.

6. Asesmen nyeri pada geriatri yang valid, reliabel, dan dapat diaplikasikan menggunakan Functional and Pain Scale seperti dibawah ini:

Tabel 12. Functional Pain Scale

Skala nyeri Keterangan 0 Tidak nyeri

1 Dapat ditoleransi ( aktivitas tidak terganggu )

3 Tidak dapat ditoleransi ( tetapi masih dapat menggunakan telepon,menonton TV, atau membaca )

4 Tidak dapat ditoleransi ( tidak dapat menggunakan telepon, menonton tv, atau membaca

5 Tidak dapt ditoleransi ( dan tidak dapt berbicara karena nyeri ) Skor normal / yang diinginkan: 2

7. Intervensi non-farmakologi

a. Terapi termal: pemberian pendinginan atau pemanasan di area nonseptif untuk menginduksi pelepasan opoid endogen

b. Stimulasi listrik pada saraf transkutan / perkutan, dan akupuntur. c. Blok saraf atau radiasi tumor.

d. Intervensi medis pelengkap / tambahan atau alternatif : terapi relaksasi, umpan balik positif,hypnosis.

e. Fisioterapi dan okupasi.

8. Inervensi farmakologi ( tekanan pada keamanan pasien )

a. Non-opoid: OAINS, p aracetamol, COX-2 inhibitor, antidepresan trisiklik, amitriptilin, ansiolitik.

b. Opoid :

 Resiko adiksi rendah jika digunakan untuk nyeri akut ( jangka pendek).

 Hidrasi yang cukup dan konsumsi serat / bulking agent untuk mencegah konstipasi (preparat senna, sorbitol)

 Berikan opoid jangka pendek.

 Dosis rutin dan teratur memberikan efek analgesikbyang lebih baik daupada pemberian intermiten.

 Mulailah dengan dosis rendah, lalu naikan dengan berlahan

 Jika efek analgesia mesih kurang adekuat, dapat menaikkan opoid sebesar 50-100% dari dosis semula.

(35)

 OAINS dan amfetamin : meningkatkan toleransi opoid dan resolusi nyeri

 Notriptilin, klonazepam, karbamazepin, fenitoin, gabapntin, tramadol, mexiletiline,: efektif untuk nyeri neuropatik

 Antikonvulsan :untuk neuralgia trigeminal.

 Gabapentin : neuralgia pasca-herpetik 1-3x100mg sehari dan dapat ditingkatkan menjadi 300 mg/hari.

9. Resiko efek samping OAINS meningkatk pada lansia. Insidens perdarahan gastrointestinal meningkat hampir dua kali lipat pada pasien >65 tahun

10. Semua fase farmakokinetikdipengaruhi oleh penuaan, termasuk aborsi,distribusi, metabolisme, dan eliminasi.

11. Pasien lansia cenderung memerlukan pengurangan dosis analgesik. Absorbs sering tidak teratur karena adanya penundaan waktu transit atau sindrom malabsorbsi

12. Ambang batas nyeri sedikit meningkat pada lansia.

13. Lebih disarankan menggunakan obat dengan waktu paruh yang lebih singkat 14. Lakukan monitor ketat jika mengubah atau meningkatkan dosis pengobatan 15. Efek samping penggunaan opoid yang paling sering dialami konstipasi

16. Penyebab tersering timbulnya efek samping obat: polifarmasi (misalnya pasien mengkonsumsi analgesik, antidepresant,dasn sedasi secara rutin harian)

17. Prinsip dasar terapi farmakologi : mulailah dengan dosis rendah,lalu dinaikkan perlahan hingga tercapai dosis yang diinginkan.

18. Nyeri yang tidak terkontrol dengan baik dapt mengakibatkan:

a. Penurunan/keterbatasan mobilitas. Pada akhirnya dapt mengarah ke depresi karena frustasi dengan keterbatasan mobilitasnya dan menurunnya kemampuan funsional.

b. Dapat menurunkan sosialisasi, gangguan tidur, bahkan dapat menurunkan imunitas tubuh

c. Kontrol nyeri yang tidak adekuat dapat menjadi penyebab munculnya agitasi dan gelisah

d. Dokter cenderung untuk meresepkan obat-obatan yang lebih banyak.polifarmasi dapat meningkatkan resiko jatuh dan delirium.

19. Beberapa obat yang sebaiknya tidak digunakan (dihindari) pada geriatri: a. OAINS: indometasin dan piroksikam (waktu paruh yang panjang dan efek

(36)

b. Opoid: pentazocine, butorphanol (merupakan campuaran anatagonis dan agonis, cenderung memproduksi efek psikotomimetik pada lansia); metadon, levorphanol (waktu paruh panjang)

c. Propoxyphene: neurotoksik

d. Antidepresen: tertiary amine trycylics (efek samping anrikolinergik)

20. Semua pasien yang mengkonsumsi opoid, sebelumnya harus diberikan kombinasi preparat senna dan obat pelunak feces (buliking agents)

21. Pemilihan analgesik menggunakan 3-step ladder WHO( sama dengan manajemen pada nyeri akut)

a. Nyeri ringan-sedang: analgesik non-opoid

b. Nyeri sedang: opoid minor,dapat dikombinasikan dengan OAINS dan analgesik adjuvant.

c. Nyeri berat: opoid poten

Satu-satunya perbedaan dalam terapi analgesik ini adalah penyesuaian dosis dan hati-hati dalam memberikan obat kombinasi.

II.2.2.3 MANAJEMEN NYERI PADA PERSALINAN PERVAGINAM 1. Nyeri Pada Persalinan

Nyeri pada persalinan primipara merupakan salah satu pengalaman nyeri yang hebat tinggi yang pernah dialami. Sekitar 50% wanita selama persalinan mengalami nyeri hebat atau sangat hebat. Jaras nyeri pada persalinan cukup luas, diantaranya serabut aferen dari T10 sampai S4.

Uterus, segmen bawah uterus dan serviks dipersarafi oleh serabut aferen Aδ dan C, yang bersamaan dengan keluarnya simpatis torakolumbal dan sakral. Nyeri pada persalinan kala 1 berasal dari dermatom pada uterus dan serviks (T10-L1) kemudian meluas ke dermatom lumbal dan sakral seiring dengan proses persalinan.

Persalinan kala 2 melibatkan nyeri somatik yang diakibatkan oleh distensi dan robekan struktur pelvis dan tekanan abnormal pada otot perineal.

2. Analgesia Epidural Pada Persalinan

Analgesia dengan tehnik epidural dapat dicapai dengan 2 cara, yaitu tehnik blok segmental dan blok komplit.

Tehnik blok segmental dapat digunakan pada kala 1 untuk membatasi penyebaran analgesia sensorik pada segmen T10-L1. Ketika persalinan memasuki kala 2, analgesia dapat ditambah untuk memblok persarafan sakral. Dosis penuh top-up diberikan pada posisi duduk selama 5 menit.

(37)

Konsentrasi anestetik lokal yg lebih besar dapat diberikan pada kala 2 untuk memblok motorik dan relaksasi perineal jika direncanakan untuk ekstraksi forceps atau seksio sesaria. Kekurangan tehnik ini adalah tidak selalu dapat memblok nyeri perineal (S2-S5).

Tehnik blok komplit (T10-S5) menghasilkan analgesia sensorik dari T10 sampai S5 saat diberikan dosis awal. Namun, insiden hipotensi lebih besar dibandingkan dengan blok segmental. Selama analgesia epidural, diperlukan monitoring rutin terhadap tanda vital maternal, denyut jantung fetus dan kontraksi uterus. Tehnik blok komplit dapat dicapai dengan tehnik intermiten atau infus kontinyu. Tehnik intermiten memerlukan pemberian anestetik lokal setiap 11/2 sampai 2 jam atau jika pasien mulai merasa tidak nyaman.

Analgesia sensorik dijaga dari T10 sampai S5. Anestetik lokal yang biasa digunakan adalah bupivakain 0,0625%, 0,125%, dan 0,25%.

Tehnik analgesia epidural lumbal:

 Posisi duduk atau lateral dekubitus

 Aseptik dan antiseptik antara L2 dan S1

 Identifikasi ruang epidural, arah bevel ke sefalad

 Bila telah mencapai ruang epidural, masukkan kateter epidural 2-6 cm

 Lakukan aspirasi. Jika negatif, berikan test dose

 Dosis inisial dengan dosis terbagi (5 ml):

 0,9%-2,0% lidokain (total 10-12 ml)

 0,0625%-0,25% bupivakain (total 10-12 ml)

 0,1%-0,2% ropivakain (total 10-12 ml)

 0,0625%-0,25% ropivakain (total 10-12 ml)

 Adjuvan: fentanil (total 50μg), epinefrin (1:200.000-400.000)

 Dosis pemeliharaan:

 Intermiten: bolus bupivakain 0,1-0,25% + fentanil 3 μg/ml,10 ml (5 ml + 5 ml) jika diperlukan

 Infus kontinyu: bupivakain 0,04%-0,125% + fentanil 1,5-2 μg/ml, 12-16 ml/jam

Patient-controlled epidural analgesia (PCEA):

o Kecepatan basal: 8-10 ml/jam

o Dosis bolus 5 ml

o Lockout 10 menit

o Batas tiap jam 30 ml

 Jika nyeri menetap setelah 15 menit dari saat injeksi, tarik kateter sampai 3-4 cm di dalam ruang epidural dan berikan tambahan anestetik lokal

 Jika nyeri masih menetap selama 5 menit, cabut dan pasang kembali kateter epidural

(38)

3. Combined Spinal Epidural (CSE) Analgesia Pada Persalinan

Tehnik CSE mengkombinasikan one-shot spinal dan epidural kontinyu menjadi satu prosedur yang memiliki keuntungan dari kedua tehnik dan risiko yang lebih minimal. CSE semula dianggap bermanfaat hanya pada saat awal atau akhir persalinan. Karena opioid spinal menghasilkan analgesia tanpa memblok motorik, pasien diberikan opioid spinal pada awal persalinan agar dapat berjalan dan diberikan analgesia epidural bila memerlukan tambahan analgesia. Pada pasien dengan fase akhir persalinan, dengan CSE diharapkan dapat mengurangi kebutuhan analgesia epidural karena pada pasien ini dapat melahirkan dengan analgesia spinal.

Tehnik CSE:

 Posisi duduk

 Aseptik dan antiseptik antara L2 dan S1

 Identifikasi ruang epidural, kemudian jarum spinal dimasukkan ke dalam lumen jarum epidural.

 Pastikan ujung jarum spinal melebihi 11-15 mm dari ujung jarum epidural

 Injeksi pada jarum spinal, bupivakain 0,25% 1,75 mg (0,7 ml) + fentanil 15 μg (0,3 ml) + epinefrin 50 μg (0,05 ml)

 Jika mungkin, aspirasi LCS sampai total 2 ml sebelum injeksi

 Cabut jarum spinal, masukkan kateter epidural 5-6 cm, cabut jarum epidural

 Amankan kateter

 Pindahkan pasien ke posisi lateral

 Berikan test dose

 Dosis pemeliharaan:

 Infus kontinyu: bupivakain 0,04%-0,125% + fentanil 1,5-2 μg/ml, 12-16 ml/jam

Patient-controlled epidural analgesia (PCEA):

o Kecepatan basal: 6-10 ml/jam

o Dosis bolus 5 ml

o Lockout 10 menit

o Batas tiap jam 30 ml 4. Analgesia Spinal Pada Persalinan

Analgesia spinal dosis tunggal jarang digunakan pada persalinan karena durasinya yang lebih singkat dibandingkan dengan proses persalinan. Namun, dosis tunggal ini bermanfaat pada fase akhir persalinan.

Penggunaan kateter intratekal kontinyu menghasilkan onset yang cepat dan analgesia dapat dititrasi sesuai dengan kondisi persalinan, namun

(39)

memiliki komplikasi yang lebih sering seperti terjadinya injuri neurologik permanan atau blok spinal tinggi.

Dosis pemeliharaan analgesia spinal:

 Bolus intermiten: bupivakain 0,25% 2,5 mg + fentanil 15 μg jika diperlukan

 Infus kontinyu: bupivakain 0,125% + fentanil 2 μg/ml, 0,5-2 ml/jam dan dititrasi sampai blok setinggi T10

II.2.2.4 MANAJEMEN NYERI KRONIS DEWASA

1. Melakukan penilaian nyeri melalui anamnesis sampai pemeriksaan penunjang

2. Menentukan mekanisme nyeri: a. Nyeri neuropatik

a. Nyeri yang disebabkan oleh kerusakan atau disfungsi sistem somatosensorik.

b. Contoh: neuropati DM, neuralgia trigeminal, neuralgia pasca-herpetik.

c. Karakteristik: nyeri persisten, rasa terbakar, penjalaran nyeri sesuai dengan persarafannya, baal, kesemutan, atay alodinia. d. Fibromyalgia: gatal, kaku,dan nyeri yang difus pada musculoskeletal

(bahu, ekstremitas), nyeri berlangsung selama > 3bulan b. Nyeri otot

a. Nyeri yang mengenai otot leher, bahu, lengan, punggung bawah, panggul, dan ekstremitas bawah.

b. Nyeri dirasakan akibat disfungsi pada 1/lebih jenis otot, berakibat kelemahan, keterbatasan gerak.

c. Tatalaksana: mengembalikan fungsi otot dengan fisioterapi, identifikasi dan manajemen faktor yang memperberat (postur, gerakan repetitif, faktor pekerjaan)

c. Nyeri inflamasi

a. Gontoh: artritis, infeksi, cedera jaringan (luka), nyeri pasca-operasi b. Karakteristik: pembengkalcan, kemerahan, panas pada tempat nyeri.

Terdapat riwayat cedera / luka.

c. Tatalaksana: manajemen proses inflamasi dengan antibiotic / antirenatik, OAINS, kortikosteroid.

(40)

d. Nyeri mekanis / kompresi

a. Diperberat dengan aktivitas, dan nyeri berkurang dengan istirahat. b. Contoh: nyeri punggung dan leher (berkaitan dengan strain/sprain;

ligament/otot), degenerasi diskus, osteoporosis dengan fraktur kompresi, fraktur. Merupakan nyeri nosiseptif

c. Tatalaksana: beberapa kasus memerlukan dekompresi atau stabilisasi.

3. Tatalaksana nyeri sesuai dengan mekanisme nyeri

4. Melakukan penilaian derajat nyeri: ringan (VAS 1-3), sedang (VAS 4-6) dan berat (VAS 7-10)

5. Memberikan analgetika sesuai dengan Step-Ladder WHO:

OAINS efektif untuk nyeri ringan (VAS 1-3) sampai sedang (VAS 4-6) dan opioid efektif untuk nyeri sedang (VAS 4-6) sampai berat (VAS 7-10) 6. Untuk nyeri ringan sampai sedang mulai dengan OAINS / opioid lemah 7. Melakukan evaluasi nyeri yang dialami pasien dengan melakukan penilaian

ulang derajat nyeri dan memantau hasil pemberian obat, jika kurang efektif / nyeri menjadi sedang sampai berat, analgetika ditingkatkan menjadi opioid kuat

8. Jika pasien memiliki kontraindikasi absolut OAINS, dapat diberikan opioid ringan

(41)

 Oral: Antikonvulsan, antidepresan, antihistamin, ansiolitik, kortikosteroid, anestetika lokal, OAINS, opioid

 Intravena: Antikonvulsan, ketamin, OAINS, opioid

 Neuraksial (analgesia spinal, epidural, serta kombinasi spinal dan epidural): Anestetika oral, Opioid

 Rektal (suppositoria): OAINS, Opioid, Antikonvulsan

 Topikal: Anestetika lokal

 Infiltrasi: Anestetika lokal

 Subkutan: Anestetika lokal, Opioid

 Transdermal: Anestetika Lokal, Opioid

10. Menilai dan memberikan tatalaksana efek samping pengobatan 11. Bila diperlukan dapat dikombinasikan atau diganti dengan terapi

nonfarmakologi

12. Melakukan pelilaian lain:

a. Masalah pekerjaan dan disabilitas

b. Psikologi (apakah pasien mengalami masalah psikiatri seperti depresi, cemas, riwayat penyalahgunaan obat-obatan, riwayat penganiayaan, atau gangguan tidur)

c. Spiritual

d. Faktor yang mempengaruhi dan hambatan 13. Melakukan penilaian talaksana

(42)

Gambar 10. Algoritme Manajemen Nyeri Kronik

(43)
(44)

Tabel 13. Skor DIRE (Diagnosis, Intractibility, Risk, Efficacy) untuk menilai kesesuaian aplikasi terapi opioid jangka panjang untuk nyeri kronik non-kanker

Skor Faktor Penjelasan

Diagnosis

1= Kondisi kronik ringan dengan temuan objektif minimal atau tidak adanya diagnosis medis yang pasti. Misalnya: fibromyalgia, migraine, nyeri punggung tidak spesifik. 2= Kondisi progresif perlahan dengan nyeri sedang atau kondisi nyeri sedang menetap dengan temuan objektif medium. Misalnya: nyeri punggung dengan perubahan degeneratif medium, nyeri neuropatik 3= Kondisi lanjut dengan nyeri berat dan temuan objektif nyata. Misalnya: penyakit iskemik vaskular berat, neuropati lanjut, stenosis spinal berat

Intractibility (keterlibatan)

1= Pemberian terapi minimal dan pasien terlibat secara minimal dalam manajemen nyeri

2= Beberapa terapi telah dilakukan tetapi pasien tidak sepenuhnya terlibat dalam manajemen nyeri, atau terdapat hambatan (finansial, transportasi, penyakit medis) 3= Pasien terlibat sepenuhnya dalam manajemen nyeri tetapi respons terapi tidak adekuat

Risiko (R) R= jumlah skor P+K+R+D

Psikologi

1= Disfungsi kepribadian yang berat atau gangguan jiwa yang mempengaruhi terapi. Misalnya: gangguan kepribadian, gangguan aferk berat

2=Gangguan jiwa/ kepribadian medium/ sedang. Misalnya: depresi, gangguan cemas 3=Komunikasi baik. Tidak ada disfungsi kepribadian atau gangguan jiwa yang signifikan

Kesehatan

1=Penggunaan obat akhir-akhir ini, alkohol berlebihan, penyalahgunaan obat

2=Medikasi untuk mengatasi stress, atau riwayat remisi psikofarmaka

3=Tidak ada riwayat penggunaan obat-obatan

Reliabilitas

1=Banyak masalah: penyalahgunaan obat, bolos kerja/ jadwal kontrol, komplians buruk 2=Terkadang mengalami kesulitan dalam komplians, tetapi secara keseluruhan dapat diandalkan

3=Sangat dapat diandalkan (medikasi, jadwal kontrol, dan terapi)

Dukungan sosial 1=Hidup kacau, dukungan keluarga minimal, sedikit teman dekat, kehilangan peran dalam kehidupan normal

2=Kurangnya hubungan dengan oral dan kurang berperan dalam sosial

3=Keluarga mendukung, hubungan dekat. Terlibat dalam kerja/sekolah, tidak ada isolasi

(45)

sosial

Edukasi

1=Fungsi buruk atau pengurangan nyeri minimal meski dengan penggunaan dosis obat sedang-tinggi

2=Fungsi meningkat tetapi kurang efisien (tidak menggunakan opioid dosis sedang-tinggi)

3=Perbaikan nyeri signifikan, fungsi dan kualitas hidup tercapai dengan dosis yang stabil

Skor total =D+I+R+E Skor 7-13: tidak sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang Skor14-21: sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang

BAB III

(46)

Kombinasi obat-obatan penghilang nyeri sering dipakai untuk memberi rasa nyaman kepada pasien. Obat-obat penghilang nyeri dapat diklasifikasikan menjadi Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), opioid, dan obat adjuvant. III.1 OBAT ANTI INFLAMASI NONSTEROID (OAINS)

Golongan obat ini merupakan analgetik yang paling sering dipakai. Walau dikategorikan sebagai analgetik lemah, OAINS sering dipakai untuk mengobati sakit kepala, nyeri menstruasi, artritis, nyeri ringan sampai

menengah dan nyeri kronis. Obat ini bekerja lebih dominan pada perifer. Pada nyeri berat, baik akut maupun kronis, obat ini sering dikombinasikan dengan analgetik yang bekerja sentral seperti opioid.

OAINS merupakan asam organic lemah (pKa 3 - 5,5), bekerja dominan di perifer, berikatan kuat dengan albumin plasma (95-99%), tidak melewati sawar otak, dimetabolisme utama di hati dan dikeluarkan diginjal dalam jumlah kecil (<10%). Parasetamol bukan merupakan obat antiinflamasi tapi dimasukkan dalam kategori obat ini karena memiliki kemiripan dengan OAINS walaupun merupakan derivate fenol, non acid, dapat melewati sawar otak, dan bekerja lebih banyak di saraf pusat.

Klasifikasi obat-obat OAINS yaitu:

1. Grup asam karbosilik dan asam enolat (pKa 3,0-5,5)

 Mengandung asam karbosilik

1) Salisilat: aspirin, diflunisal, asam salisilat, salsalate, sodium salisilat, kolin magnesium trisalisilat.

2) Derivat asam propionat: naproxen, ibuprofen, ketoprofen, flurbiprofen, fenoprofen, carprofen, nabumeton.

3) Derivat asam indoleasetik: indometasin, suldinak

4) Derivat asam fenilasetik: diklofenak, alklofenak, fenclofenak 5) Derivat asam pyroleasetik: ketorolac, tolmetin

6) Derivat asam N-fenilantranilik: asam mefenamat

 Mengandung asam enolik

1) Derivat asam enolik pyrazolon: fenilbutazon, aminopirin, antipirin, piroxicam

2. Derivat asam benzenesulfonat: celecoxib, rofecoxib, valecoxib 3. Grup fenol (pKa 9 – 10)

Derivat para amino fenol: paracetamol/asetaminofen, fenacetin OAINS adalah obat penghambat sintesis asam arakhidonat menjadi prostaglandin dan tromboksan poten melalui jalur cyclooxygenase (COX). Prostaglandin ini tidak berperan sebagai mediator nyeri yang penting, melainkan

(47)

efek hiperalgesia dengan merangsang nosiseptor perifer mengeluarkan berbagai mediator nyeri seperti somatostatin, bradikinin dan histamin. Jadi, OAINS memperbaiki hiperalgesia atau nyeri sekunder, terutama nyeri karena peradangan.

Ada dua COX yang diidentifikasi, suatu isoenzim yang dapat disensitasi (COX-2) dan enzin konstitutif (COX-1). COX-1 dicetuskan oleh banyak jaringan pada kondisi fisiologis, sedangkan COX-2 dimediasi oleh mediator radang pada kondisi patologis. COX-2 tidak memiliki efek protektif pada jaringan dan

berperan pada invasi tumor, angiogenesis dan metastasis. Suatu subklas OAINS telah diperkenalkan yaitu selektif penghambat COX-2 yang dikembangkan untuk mengurangi efek samping OAINS, terutama efek

gastrointestinal. Obat ini tidak mempengaruhi efek samping terhadap ginjal dan pada pemakaian lama akan meningkatkan resiko infark jantung dan stroke.

OAINS memiliki efek terhadap berikut:

1. Terhadap gastrointestinal : OAINS menghambat prostaglandin sehingga menghambat produksi mukus protektif di gaster. Pemakaian lama bisa memicu lesi mukosa dan tukak lambung. Gejala lain berupa gasritis, nyeri perut, mual muntah, diare, perdarahan usus,

2. Terhadap hemostasis: menyebabkan gangguan trombosit. Waktu perdarahan memanjang pada pemakaian obat OAINS yang lama. Obat COX-2 tidak berpengaruh pada disfungsi trombosit. Ada yang meneliti bahwa obat OAINS meningkatkan jumlah perdarahan pasien yang menjalani operasi.

(48)

3. Terhadap renal: obat OAINS akan menurunkan GFR, menyebabkan pelepasan renin dan menganggu fungsi ginjal. Gangguan fungsi ginjal bisa berupa retensi natrium dan air, hiperkalemia, hipertensi, nekrosis papiler, dan sindroma nefrotik. Obat COX2 juga memiliki efek yang sama terhadap ginjal.

4. Terhadap kardiovaskuler: protektif efek, menghambat lepasnya plug aterosklerosis.

5. Interaksi obat: dosis walfarin perlu dikurangi, dosis OAINS perlu dikurangi pada pasien hipoalbuminemia berat. OAINS mengurangi efek obat diuretik (furosemid), ACE inhibitor.

6. Lain-lain: OAINS kadang menimbulkan reaksi alergi imunologi (rendah), menghambat perbaikan kartilago tulang rawan, gangguan hati, asma, rinitis, edema laring, hipotensi bahkan syok.

Obat OAINS digolongkan menjadi dua golongan yaitu obat penghambat COX nonspesifik (COX1 dan COX2, seperti ibuprofen, naproxen, aspirin, acetaminofen, ketorolac) dan obat penghambat selektif (COX2 seperti celecoxib, rofecoxib, valdecoxib, parecoxib). Semua golongan OAINS memiliki efek ceiling dan peningkatan dosis hanya akan meningkatkan resiko efek samping dan keracunan.

Penggunaan obat profilaksis gatrointestinal diantaranya analog prostaglandin seperti misoprostol, penghambat sel parietal/ penghasil asam lambung seperti omeprazole, antagonis histamin seperti ranitidin, simetidin, dapat mengurangi mengurangi gejala gastrointestinal akibat obat OAINS.

ASPIRIN (Asam Asetil Salisilat)

Obat ini bekerja dengan proses asetilasi enzim COX secara irreversibel sehingga menurunkan sintesis dan pelepasan prostaglandin. Penghambatan lemah terhadap sintesis prostaglandin di ginjal, tidak mengganggu jalur leukotrien, dan menimbulkan sedikit pelepasan histamin dan serotonin. Digunakan sebagai analgetik pada nyeri ringan, sakit kepala, gangguan otot dan tulang seperti osteoartritis dan rhematoid arthritis; penurun demam dan obat anti trombosit untuk mencegah infak jantung dan stroke iskemik.

Obat ini diabsopsi dengan baik lewat usus, absopsi menurun karena makanan atau asam lambung tinggi. Dihidroksilasi di hati dan dieksresikan di ginjal. Konsentrasi di plasma meningkat pada pasien dengan gangguan ginjal. Waktu paruh sekitar 2-3 jam. Efek samping berupa tukak lambung, perdarahan

(49)

lambung, memperpanjang waktu perdarahan, stimulasi saraf pusat seperti hiperventilasi, kejang, tinitus, peningkatan enzim hati, hiperglikemi, memperpanjang waktu persalinan dan perdarahan sehabis melahirkan, reaksi alergi dan asma. Dosis 75 – 325 mg perhari.

DERIVAT ASAM PROPIONAT (Ibuprofen, Naproksen)

Obat ini memiliki efek analgetik, antipiretik, dan efek anti radang. Digunakan untuk pengobatan artritis (rhematoid artritis, osteoartritis, artritis gout akut).

Ibuprofen dimetabolisme dihati melalui proses hidroksilasi dan karboksilasi. Naproksen mengalami dealkilasi oleh sitokrom P450 dan dikeluarkan lewat urin. Efek samping berupa iritasi lambung, tukak lambung, mangganggu fungsi trombosit, supressi hemopoesis, dan gangguan fungsi ginjal. Bisa menimbulkan reaksi alergi terutama riwayat alergi salisilat.

INDOMETASIN

Merupakan derivat metil indol yang memiliki efek analgetik, antipiretik dan antiinflamasi. Ini merupakan obat penghambat COX yang paling poten. Digunakan untuk pengobatan spondilitis ankilosing, artritis, dismenorrea, Efek antiinflamasinya setara dengan kolkisin. Obat ini tidak tepat diberikan untuk mengobati gout artritis kronis dan hiperurikemia.

Efek samping berupa gangguan gastrointestinal, nyeri kepala bagian depan yang kuat, menghambat aggregasi trombosit, reaksi alergi, kenaikan enzim hati, gangguan fungsi ginjal. Bisa juga menimbulkan neutropeni, trombositopeni bahkan anemia aplastik (jarang terjadi).

DIKLOFENAK

Biasa digunakan untuk mengobati nyeri sendi terutama rhematoid artritis, osteoartritis dan arthritis gout. Dimetabolisme di hati melalui proses glukoronidase, hidroksilasi dan konyugasi dengan sulfat dan dieksresikan lewat empedu dan urine. Eliminasi cepat hingga 90% dalam waktu 3-4 jam. Efek samping sama seperti golongan OAINS lainnya seperti iritasi lambung, gangguan trombosit, gangguan hati dan ginjal.

KETOROLAK

Merupakan obat analgesik poten dengan antiinflamasi sedang. Dipakai untuk analgetik pasca operasi baik tunggal maupun kombinasi dengan opioid. Ketorolac memperkuat efek antinosiseptif opioid. Ketorolac 30 mg im setara

(50)

dengan 10 mg morfin atau 100 mg meperidine. Keunggulan keterolac adalah tidak menimbulkan depresi pernafasan dan kardiovaskuler, tidak menyebabkan spasme sistem bilier.

Setelah pemberian im, konsentrasi puncak dicapai dalam 45-60 menit, waktu paruh sekitar 4-5 jam. 99% berikatan dengan protein plasma, dimetabolisme dengan konyugasi dihati dan dikeluarkan di ginjal. Efek samping berupa menghambat produksi tromboksan trombosit, menghambat aggregasi platelet yang bersifat reversibel, bisa memperpanjang masa perdarahan, alergi, bronkospasme pada kasus alergi, gangguan ginjal bila aliran darah ginjal menurun, iritasi lambung, mual, ngantuk dan edema perifer.

ASETAMINOFEN (PARASETAMOL)

Digunakan luas sebagai obat penghilang nyeri dan penurun demam terutama untuk anak-anak. Obat ini bukan lah obat OAINS sejati karena efek antiinflamasi nya rendah (tidak signifikan). Menyebabkan penghambatan sedang sintesis prostaglandin di perifer dan penghambatan kuat sintesis prostaglandin di pusat sehingga menimbulkan efek analgetik dan antipiretik. Obat ini tidak mengganggu aggregasi trombosit, tidak menimbulkan iritasi lambung.

Diabsopsi dengan baik lewat usus, sedikit berikatan dengan protein plasma. Obat ini mengalami proses konyugasi dan hidroksilasi di hati dan dieksresikan di ginjal. Dosis 325-650 mg setiap 4-6 jam oral. Efek samping berupa analgesi mencetuskan nefropati, nekrosis hati bahkan kematian (4-15 gram), hemolisis (pada pasien dengan gangguan defisiensi G6PD) dan gangguan ginjal.

SELEKTIF PENGHAMBAT COX-2

Digunakan sebagai analgetik setara dengan obat OAINS lainnya. Obat ini tidak mengganggu fungsi trombosit, protektif terhadap gastrointestinal, meningkatkan resiko infak jatung akut dan gangguan serebrovaskuler. Diabsorpsi baik di usus, dimetabolisme di hati dan berikatan tinggi dengan plasma albumin, bersifat lipofilik, netral tidak asam, jadi mudah bermigrasi ke jaringan. Di metabolisme oleh sitokrom P450 di hati (hidroksilasi, karboksilasi, glukoronidase) lalu dieksresi di ginjal.

Digunakan untuk managemen nyeri pasien osteoartritis, rhematoid artritis, gout akut, dismenore, nyeri muskulosketal, nyeri gigi, nyeri post operasi

(51)

ortopedi dan artroskopi. Efek samping berupa iritasi gastrointestinal (menurun hingga 50%), meningkatkan kejadian trombosis (dibanding OAINS regular), meningkatkan resiko infark akut dan CVA, gangguan fungsi hati (ikterik), alergi, bronkokonstriksi, mengganggu penyembuhan tulang, dengan obat antikoagulan akan memperpanjang perdarahan dan tukak lambung.

Celecoxib merupakan obat penghambat COX-2 pertama. Digunakan untuk mengobati nyeri dan radang yang disebabkan osteoartritis dan rematoid artritis. Dosis dimulai 200 mg sehari bisa ditingkatkan menjadi 100 mg – 200 mg tiga kali sehari.

Rofecoxib digunakan untuk nyeri akut pasca operasi. Dosis dimulai dengan loading 50 mg diikuti dengan 25 mg perhari. Dosis yang dianjurkan 12,5 mg – 25 mg perhari. Dipakai untuk nyeri gigi, osteoartritis, nyeri haid.

Valdecoxib digunakan untuk nyeri post operasi. Biasanya diberikan satu jam sebelum operasi selesai dengan dosis 40 mg. Bisa juga untuk nyeri osteoarthritis dan rhematoid artritis (2x10 mg sehari) atau nyeri haid (2x20 mg sehari).

Parecoxib merupakan satu-satunya sediaan penghambat COX-2 parenteral. Digunakan untuk menghilangkan nyeri post operasi, diberikan satu jam sebelum operasi selesai (40 mg) dan bisa diulang 40 mg setelah operasi (bila dibutuhkan). Didalam tubuh paracoxib dubah menjadi valdecoxib.

Tabel 14. Panduan Penggunaan OAINS Pasien Dewasa

Nama Obat Dosis Dosis maksimal / hari

Asam asetat

Diklofenak 50 mg, PO, bid – tid 200 mg 100 MG, PO, qd – bid

Etodolak 200-400 mg, PO, q6-8h 1200 mg 400-1000 mg, PO, qd 1200 mg Indometasin 25-50 mg, PO / per rectum, tid 200 mg

75 mg, PO, qd-bid 150 mg Ketorolak 10 mg, PO, q4-6h 40 mg

30 mg, IM / IV, q4-6h (15 mg jika pasien >65 tahun)

120 mg; tidak lebih dari 5 hari

Sulindac 150-200 mg, PO, bid 400 mg Tolmetin 200-600 mg, PO, tid 1800 mg

400 mg, PO, tid 1600 mg Fenamat

Meklofenamat 50-100 mg, PO, q4-6h 400 mg Asam mefenamat 50-100 mg, PO, tid – qid 400 mg Naftilalkanon

(52)

Nabumetone 1 g, PO, qd – bid 2 g Oxikam

Meloksikam 7,5-15 mg, PO, qd 15 mg Piroksikam 10-20 mg, PO, qd 20 mg p-Aminofenol

Asetaminofen 500-1000 mg, PO, IV, q4h 1200-4000 mg Asam propionat

Fenoprofen 200-600 mg, PO, tid – qid 1200 mg Flurbiprofen 50-100 mg, PO, bid – tid 300 mg Ibuprofen 200-800 mg, PO, q4-6h 3200 mg Ketoprofen 25-75 mg, PO, q6-8h 300 mg Ketoprofen SR 200 mg, PO, qd 200 mg Naproxen 200-400 mg, PO, q8-12h 1200 mg Naproxen sodium 275-550 mg, PO, q6-8h 1375 mg Oksaprozin 600-1800 mg, PO, qd 1800 mg Salisilat Aspirin 325-650 mg, PO, q4h 4000 mg 300-600 mg, Per rectal, q4h Diflunisal 250-500 mg, PO, q8-12h 1500 mg 500-1000 mg, PO, tid 3000 mg Kolin magnesium triisalisilat 500-1000 mg, PO, q12h 2000 – 3000 mg COX-2 Inhibitor

Celecoxib 100-200 mg, PO, bid 400 mg

Rofecoxib 12,5-25 mg, PO, qd 50 mg, tidak lebih 5 hari Valdecoxib 10-20 mg, qd – bid 40 mg

Parecoxib 40 mg, IM, IV, q6-12h 80 mg Tabel 15. Obat-Obatan Non-Opioid Pada Pediatri

Obat Kelompok Usia Dosis Keterangan Paracetamol Prematur Load: 20 mg/kg, 15

mg/kg (PO), 20 mg/kg (PR) setiap 12 jam

Efek antiinflamasi, efek gastrointestinal dan hematogi Lebih dari 3 bulan Load: 20-30 mg/kg, 20

mg/kg (PO) setiap 8 jam Load: 20 mg/kg (PO); 15 mg/kg setiap 4 jam 40 mg/kg (PR); 20 mg/kg (PR) setiap 6 jam

Diklofenac >1 tahun 1 mg/kg BB (PO), setiap 8 jam

Efek antiinflamasi. Hati-hati pada pasien dengan ganguan

hepar/renal, riwayat perdarahan gastrointestinal atau hipertensi Ibuprofen >6 bulan 10-15 g/kgBB (PO),

setiap 6 jam

Efek antiinflamasi. Hati-hati pada pasien dengan ganguan

Gambar

Tabel 1. Alat Ukur Berdasarkan Rentang Umur
Tabel 3. Skala CRIES Crying – Characteristic cry of pain is high pitched 1. No cry that is not high-pitched
Gambar  1. Faces Pain Scale-Revised
Gambar 3. Skala Oucher
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selain kasus yang disebutkan tersebut, letak batas dan luas tanah antara tanah-tanah yang saling bersebelahan, maupun status tanah dan orang yang berhak atas tanah

Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan

Aplikasi ini mampu melakukan pencarian data yang ada pada MapInfo dan menampilkan peta beserta informasi lainnya yang berupa nama perumahan, alamat, tempat ibadah, sekolah, pasar,

Upaya yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota dalam mengatasi kendala pengawasan keuangan daerah dilakukan beberapa upaya,

Objek menggambar dapat berbentuk Àora (tumbuhan), fauna (hewan), dan alam benda, baik benda buatan manusia atau benda yang berasal dari alam.. Menggambar sebaiknya dimulai

Terdapat dua jenis tanah penyusun lereng jalan Lintas Barat Km 0-30, Liwa, Lampung Barat, yaitu tanah lempung dan tuf pasiran. Tanah lempung merupakan tanah residu hasil

Oleh karena itu, individu dengan gangguan avoidance biasanya tidak memiliki teman dekat.Secara umum dapat dikatakan bahwa sifat yang dominan pada individu ini adalah

fungsi perencanaan, fungsi memandang ke depan, fungsi pengembangan.. loyalitas, fungsi pengawasan, fungsi pengambil keputusan dan fungsi memberi motivasi. Fungsi