• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERWALIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERWALIAN"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERWALIAN

A. Dasar Hukum Perwalian

Sebelum menguraikan pengertian perwalian ada baiknya terlebih dahulu mengetahui peraturan – peraturan yang mengatur mengenai perwalian tersebut.

Sebelum berlakunya Undang – Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, di Indonesia terdapat beranekaragam hukum yang mengatur masalah perwalian yang berlaku bagi berbagai golongan penduduk dari berbagai daerah yaitu:

a. Bagi orang Indonesia asli yang beragama islam berlaku hukum agama yang telah diresipiir ke dalam hukum adat;

b. Bagi orang Indonesia lainnya berlaku hukum adat;

c. Bagi orang Indonesia asli yang beragama kristen berlaku hukum Huwelijke Ordonantie Christin Indonesiers (S.1933 nomor 74);

d. Bagi orang – orang Timur Asing lainnya, dan warga negara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan Kitab Undang – Undang Hukum Perdata;

e. Bagi orang – orang Eropa dan keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku ketentuan Kitab Undang – Undang Hukum

Perdata.10

10 Yudhi Marza, Tangggung Jawab Wali Terhadap Anak yang Berada Di Bawah

Perwaliannya (Suatu Penelitian Di Kota Banda Aceh), Tesis pada Mkn, FH.USU, Medan, 2013,

(2)

Ketentuan tersebut diatas berlaku sebelum lahirnya Undang – Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang menyebutkan dalam Pasal 66 seperti berikut :

Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan Undang – Undang ini, maka dengan berlakunya Undang – Undang ini ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), Ordonantie Christen Indonesiers (S.’ 1933 no. 74), peraturan perkawinan campuran Regeling Op de gemengde huwelijken (S. 1898 no.158) dan peraturan – peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang – Undang

ini dinyatakan tidak berlaku.11

1. Menurut Kompilasi Hukum Islam

Berdasarkan penjelasan dan dasar hukum yang telah disebutkan diatas maka terdapat beberapa ketentuan mengenai perwalian yaitu sebagai berikut :

Perwalian bagi orang – orang beragama Islam di Indonesia diatur dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Pasal 107-111. Pasal 107 mengatur bahwa perwalian hanya dapat dilakukan terhadap anak yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Dari ketentuan tersebut, dapat dipahami usia dewasa menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia adalah 21 (dua puluh satu) tahun dan atau belum pernah kawin. Perwalian menurut Hukum Islam meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaan.

Apabila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat

(3)

untuk bertindak sebagai wali. Pembatalan perwalian lama dan penunjukan perwalian baru ini adalah atas permohonan kerabat tersebut. Untuk menjadi wali sedapat – dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut, atau orang lain. Syarat menjadi wali adalah harus sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik. Disamping orang perorangan, Badan Hukum juga dapat

menjadi wali.12

Menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pengangkatan wali dapat juga terjadi karena adanya wasiat dari orang tua si anak, yang mewasiatkan kepada seseorang atau Badan Hukum tertentu untuk melakukan perwalian atas

diri dan kekayaan anak atau anak – anaknya sesudah ia meninggal dunia.13

Selanjutnya pasal 109 menentukan, bahwa Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau Badan Hukum dan memindahkannya kepada Pihak lain.14

Pasal 110 mengatur kewajiban wali untuk mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, wali wajib memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya kepada anak yang berada di bawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat Permohonan untuk itu diajukan oleh kerabatnya, dengan alasan wali tersebut; pemabuk, penjudi, pemboros, gila, dan atau melalaikan atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan yang berada di bawah perwaliannya.

12 Darwan Prinst,Hukum Anak Indonesia,Cetakan II,PT. Citra Aditya Bakti,Malang, 2003,hal. 122.

13 Lihat Pasal 108 Kompilasi Hukum Islam 14 Lihat Pasal 109 Kompilasi Hukum Islam

(4)

dihindarkan.15

Apabila anak yang berada di bawah perwalian telah mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun, maka wali berkewajiban menyerahkan seluruh hartanya kepadanya.

Untuk itu wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.

Dalam menjalankan tugasnya wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan – perubahan harta benda anak atau anak – anak itu.

16

Dan setelah masa perwalian ini berakhir, Pengadilan Agama berwenang mengadili perselisihan antara wali dan anak yang berada di bawah perwaliannya, tentang harta yang diserahkan kepadanya. Namun, wali dapat mempergunakan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil ma’ruf kalau wali itu fakir.17

“ Dan berikanlah kepada anak – anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan 2 Menurut Hukum Syariat

Al – Quran dan Hadist dalam menetapkan hukum dan ketentuan mengenai perwalian, Islam merujuk kepada firman Allah SWT mengenai pentingnya pemeliharaan terhadap harta, terutama pemeliharaan terhadap harta anak yatim yang telah ditinggalkan oleh orang tuanya. Dalam hal ini Allah berfirman :

15 Lihat Pasal 110 Kompilasi Hukum Islam 16 Lihat Pasal 111 Kompilasi Hukum Islam 17 Lihat Pasal 112 Kompilasi Hukum Islam

(5)

janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu, sungguh (tindakan menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar.(QS.An-Nisa; ayat 2) Ayat ini menjadi suatu landasan dalam memelihara harta anak yatim yang telah ditinggalkan orang tuanya atau ahli warisnya. Dimana dalam ayat tersebut secara jelas menyatakan mengenai pemeliharaan dan perlindungan terhadap harta sampai mereka telah cakap dalam pengelolaannya (dewasa). Artinya jika anak – anak yatim tersebut belum cakap hukum, maka pengelolaan harta tersebut harus dijaga dan dipelihara oleh walinya. Hal ini sebagaimana kemudian dijelaskan pada ayat berikutnya.

Allah Berfirman :

“Dan ujilah anak – anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah, kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya. Dan janganlah kamu tergesa – gesa (menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (diantara pemeliharaan itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu ) dan barang siapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka,maka hendaklah kamu adakan saksi – saksi. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas”.(QS An-Nisa; ayat 6)

Selain adanya perintah untuk menjaga anak yatim tersebut, baik dalam konteks penjagaan jiwa dan perkembangan mereka, juga penjagaan terhadap harta mereka. Dan Allah sangat murka jika orang yang kemudian menjadi wali tidak dapat menjaga dan orang – orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala – nyala (neraka).

Selain itu, dalam berbagai hadis Nabi Saw, juga telah menjelaskan mengenai ketentuan dan dasar hukum mengenai perwalian, Nabi Saw bersabda :

(6)

Jauhilah oleh kalian tujuh macam dosa yang membinasakan yaitu : mempersekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang hak, memakan riba, memakan harta anak yatim,lari dari medan perang, menuduh berzinah wanita mukmin

yang memelihara kehormatannya.18

Di dalam hadis lain Rasulullah SAW juga menyatakan tentang kedudukan hukum tentang perwalian. Nabi Saw bersabda : “Sesungguhnya tidak putus wali bagi anak perempuan Hamzah kepada saudara perempuan ibunya. Saudara

perempuan ibu menepati kedudukan ibu (HR.Bukhari).19

3.

Menurut Hukum Adat

Adat merupakan pencerminan daripada kepribadian suatu bangsa, salah

satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad.20

Menyangkut perwalian yang tidak berdasarkan pada hukum formal melainkan berdasarkan kepada kebiasaan masyarakat tertentu yang menunjuk wali berdasarkan komunitas masyarakat setempat sehingga penunjukan wali tidak memiliki kepastian hukum. Menurut hukum adat, perceraian ataupun

Adat mengacu pada serangkaian kepercayaan, norma atau kebiasaan yang biasanya di terapkan di komunitas – komunitas penduduk Indonesia. Isinya termasuk deskripsi tentang apa yang dilakukan oleh komunitas, seperti serangkaian perintah tentang apa yang harus dilakukan oleh anggota komunitas tersebut. Oleh karena itu, maka tiap bangsa di dunia ini memiliki adat kebiasaan sendiri yang satu dengan yang lainnya tidak sama.

18 Nashiruddin Al- Bani, Dalam Ringkasan Shahih Bukhari – Muslim , Jilid III, 2008. 19Chairul Fahmi, Perwalian, http://www.idlo.int/DOCNews/24DOCF1.pdf, terakhir diakses tanggal 11 Maret 2014 Pukul 22.10 Wib.

20Surojo Wignjodipuro, Pengantar Dan Azas – Azas Hukum Adat, Alumni 1973,Bandung,1973,hal.1

(7)

meninggalnya salah satu dari kedua orang tua tidaklah menimbulkan perwalian. Hal ini disebabkan oleh karena di dalam perceraian, anak – anak masih berada pada salah satu dari kedua orang tuanya. Demikian juga pada situasi meninggalnya salah satu dari kedua orang tuanya. Dengan demikian, yang lebih memungkinkan terjadinya perwalian, adalah apabila kedua orang tua dari anak tersebut meninggal dunia, dan anak yang ditinggalkan itu belum dewasa. Dengan meninggalnya kedua orang tua, anak – anak menjadi yatim piatu dan mereka semuanya tidak berada di bawah kekuasaan orang tua.

Pada masyarakat yang matrilineal, jika bapaknya meninggal dunia, maka ibunya meneruskan kekuasaannya terhadap anak – anaknya yang masih belum dewasa itu. Jika ibunya meninggal dunia, maka anak – anak tersebut berada dalam pengasuhan keluarga ibunya.

Sedangkan pada masyarakat yang patrilineal pemeliharaan anak yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya karena meninggal dunia, berada di tangan

kerabat dari pihak ayah (laki-laki).21 Di Tapanuli misalnya, jika bapaknya

meninggal dunia, ibunya meneruskan memelihara anak –anaknya dalam lingkungan keluarga bapaknya. Jika janda itu ingin pulang ke lingkungan sendiri ataupun ingin kawin lagi, maka ia dapat meninggalkan lingkungan keluarga almarhum suaminya tetapi anak – anaknya tetap tinggal dalam kekuasaan

keluarga almarhum suaminya.22

21

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia,PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta,2008,hal. 257-258.

22 Bushar Muhammad, Pokok – Pokok Hukum Adat,Cet Kesepuluh,PT Pradnya Paramita,Jakarta,2006,hal.11.

(8)

Pada dasarnya dalam hukum adat Indonesia tidak ada perbedaan dalam hal mengatur pemeliharaan si anak di satu pihak dan hal mengurus barang – barang kekayaan si anak di lain pihak. Pemeliharaan anak tidak hanya sebagai kewajiban si ibu atau si bapak saja, melainkan juga sebagai kewajiban sanak saudaranya yang lebih jauh. Oleh karena itu tidak tampak suatu peraturan hukum adat tertentu siapa yang menggantikan orang tua si anak dalam hal memelihara anak tersebut

apabila orang tuanya telah tiada ataupun bercerai.23

Penyelesaian soal-soal pemeliharaan si anak pada umumnya erat hubungannya dengan tiga macam corak kekeluargaan dan perkawinan yang ada di Indonesia. Corak keibuan, garis kekeluargaan si ibu dan dalam corak kebapaan garis kekeluargaan si bapak, yang ada peranan penting dalam hal memelihara si anak, sedang dalam corak keibu bapaan garis kekeluargaan si ibu dan si bapak keduanya pada hakikatnya ada peranan yang sama kuatnya.

Menurut R. Wirjono Prodjodikoro:

24

4. Menurut KUH Perdata

Landasan hukum tentang perwalian dalam KUH Perdata telah disebutkan pada Bab XV dalam Pasal 331 sampai dengan Pasal 418.

Dalam KUH Perdata juga mengatur tentang perwalian bagi seorang perempuan. Dalam Pasal 332 b (1) ditentukan bahwa : “perempuan bersuami tidak boleh menerima perwalian tanpa bantuan dan izin tertulis dari suaminya.” Namun jika suami tidak memberikan izin, maka bantuan dari pendamping (bijstand) itu dapat digantikan dengan kekuasaan dari hakim.

23 Yudhi Marza, Op.Cit, hal. 47

24 R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia,Sumur Bandung, Jakarta, 1960,hal. 85

(9)

Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 332 b ayat 2 KUH Perdata : “Apabila si suami telah memberikan bantuan atau izin atau apabila ia kawin dengan perempuan itu setelah perwalian bermula, sepertipun apabila si perempuan tadi menurut Pasal 112 atau Pasal 114 dengan kuasa dari hakim telah menerima perwalian tersebut, maka si wali perempuan bersuami atau tidak bersuami, berhak melakukan segala tindakan – tindakan perdata berkenaan dengan perwalian tanpa pemberian kuasa atau bantuan ataupun juga dan atau tindakan – tindakan itupun bertanggung jawab pula”.

Selain perwalian dalam bentuk perorangan, KUHPerdata juga mengatur tentang perwalian yang dilakukan oleh badan hukum. Dalam pasal 355 ayat 2 KUH Perdata dinyatakan bahwa badan hukum tidak dapat diangkat menjadi wali. Tetapi berkaitan dengan hal tersebut, sebuah perwalian yang dilaksanakan oleh

badan hukum harus diperintahkan oleh pengadilan.25

1. Mereka yang sakit ingatan (krankzninngen);

Hal ini sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 365 a (1) KUH Perdata bahwa dalam hal badan hukum diserahi perwalian maka panitera pengadilan yang menugaskan perwalian itu memberitahukan putusan pengadilan itu kepada dewan perwalian dan kejaksaan.

Akan tetapi jika pengurus badan hukum tersebut tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai wali, maka badan tersebut dapat dicabut kewenangannya sebagai wali. Selain itu, pasal 379 KUH Perdata mengatur tentang golongan orang tidak dapat menjadi wali yaitu :

2. Mereka yang belum dewasa (minderjarigen);

3. Mereka yang berada di bawah pengampuan (curatele);

(10)

4. Mereka yang telah dipecat, baik dari kekuasaan orang tua, maupun dari perwalian, namun yang demikian hanya anak – anak yang belum dewasa, yang mana dengan ketetapan hakim mereka telah kehilangan kekuasaan orang tua atau perwalian;

5. Para ketua, ketua pengganti, anggota, panitera, panitera pengganti, bendahara, juru buku dan agen Balai Harta Peninggalan, kecuali terhadap anak – anak atau anak tiri mereka sendiri.

B. Perwalian dan Asas – Asas Perwalian 1. Pengertian Perwalian

Berbicara mengenai perwalian, sangat erat kaitannya dengan masalah kekuasaan orang tua di dalam perkawinan, sebab anak – anak yang lahir dari suatu

perkawinan yang sah dari orang tuanya, akan berada di bawah

pengawasan/kekuasaan orang tuanya tersebut. Sebaliknya apabila anak – anak yang dibawah umur atau anak yang belum dewasa itu tidak lagi berada di bawah kekuasaan orang tuanya maka dalam hal ini anak – anak tersebut berada di bawah perwalian.

Sebagaimana menurut pendapat Pipin Syarifin bahwa peranan wali terhadap anak yang belum dewasa sangat besar, baik terhadap harta bendanya

maupun kelangsungan hidup pribadi anak tersebut.26

Pada dasarnya Kitab Undang – Undang Hukum Perdata maupun Undang – Undang No.1 Tahun 1974 tidak ada memberikan definisi yang jelas mengenai

(11)

perwalian, namun demikian beberapa pendapat mengenai perwalian yang berkembang. Pendapat mengenai perwalian ini sampai saat ini tidak terdapat kesamaan, walaupun demikian bila diteliti dari rumusan – rumusannya terdapat kesamaan dalam maksud dan tujuannya.

Secara etimologi (bahasa), kata perwalian berasal dari kata wali , dan jamak awliya. Kata ini berasal dari kata Arab yang berarti teman, klien, sanak,

atau pelindung.27 Dalam literatur fiqih islam perwalian itu disebut dengan “Al-

Walayah” (Orang yang mengurus atau yang menguasai sesuatu), sedangkan al-wali yakni orang yang mempunyai kekuasaan.28

Menurut Subekti bahwa perwalian adalah “pengawasan terhadap anak – anak yang di bawah umur yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut sebagaimana diatur oleh Undang –

Undang”.29

Sedangkan menurut Ali Afandi, bahwa “perwalian atau voogdij adalah pengawasan terhadap pribadi dan pengurusan harta kekayaan seorang anak yang

belum dewasa jika anak itu tidak berada di bawah kekuasaan orang tua.”30

Menurut R. Sarjono bahwa “perwalian adalah suatu perlindungan hukum yang diberikan seseorang kepada anak yang belum mencapai usia dewasa atau

belum pernah kawin yang tidak berada di bawah kekuasaannya”.31

27 Lihat Glossary of Islam. Glossary of the Middle East, terakhir diakses 12 Maret 2014 Pukul. 22.08 Wib.

28

Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam Dikeluarga Islam, PT Raja Grafindo,Jakarta, 2001, hal. 134

29 Subekti, Pokok – Pokok Dari Hukum Perdata,Cet.9, PT. Pembimbing Masa, Makassar, 1953, hal.35.

30 Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Bina Aksara,Jakarta,1997, hal.151.

(12)

Menurut Arif Masdoeki bahwa “perwalian adalah pengawasan terhadap anak di bawah umur yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut, sebagaimana diatur dalam

Undang – undang.32

Wali merupakan orang selaku pengganti orang tua yang menurut hukum diwajibkan mewakili anak yang belum dewasa atau yang belum akil baliq dalam melakukan perbuatan hukum atau “orang yang menjalankan kekuasaan asuh

sebagai orang tua terhadap sianak”.33

Menurut Hukum Indonesia, “Perwalian didefinisikan sebagai kewenangan untuk melaksanakan perbuatan hukum demi kepentingan, atau atas nama anak yang orang tuanya telah meninggal, atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum atau suatu perlindungan hukum yang diberikan pada seseorang anak yang belum mencapai umur dewasa atau tidak pernah kawin yang tidak berada di

bawah kekuasaan orang tua.”34

Wali adalah seseorang yang melakukan pengurusan atas diri maupun harta kekayaan anak yang masih di bawah umur yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua. “Dalam hal pengurusan dimaksud juga dapat diartikan sebagai pemeliharaan, baik itu dalam pemberian pendidikan, nafkah terhadap anak yang masih di bawah umur, sehingga dengan demikian perwalian itu sendiri dapat juga

32Arif Masdoeki dan M.H TirtaHamidjaja, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Persindo, Jakarta, 1963, hal. 156.

33 Lihat pasal 1 angka 5 Undang –Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

34 Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan Dan Keluarga di

(13)

diartikan sebagai suatu lembaga yang mengatur tentang hak dan kewajiban

wali.”35

Sedangkan menurut Undang – Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 : bahwa anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua berada di bawah kekuasaan wali.

Apabila salah satu orang tua anak tersebut meninggal dunia maka anak tersebut menurut undang – undang, orang tua yang lain menjadi wali dari anak – anaknya.

36

Perwalian itu mengenai pribadi anak yang

bersangkutan maupun harta bendanya.37

Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh Abdul Manan Hasyim, yaitu perwalian terhadap anak menurut Hukum Islam meliputi perwalian terhadap diri pribadi anak tersebut dan perwalian terhadap harta bendanya. Perwalian terhadap diri pribadi anak adalah dalam bentuk mengurus kepentingan diri si anak, mulai dari mengasuh, memelihara, serta memberikan pendidikan dan bimbingan agama. Pengaturan ini juga mencakup dalam segala hal yang merupakan kebutuhan si anak. Semua pembiayaan tersebut adalah menjadi tanggung jawab si wali. Sementara itu, perwalian terhadap harta bendanya, adalah dalam bentuk

Ketentuan ini adalah bertujuan untuk menghindarkan adanya dua perwalian, yaitu : Perwalian mengenai pribadi si anak dan perwalian mengenai harta bendanya, yang mana hal itu ada dikenal dalam hukum islam.

35 Siti Hafsah Ramadhany, Tanggung Jawab Balai Harta Peninggalan Selaku Wali

Pengawas Terhadap Harta Anak Dibawah Umur (Study Mengenal Eksistensi Balai Harta Peninggalan Medan Sebagai Wali Pengawas), Tesis,Sps-USU, Medan 2004, hal.30.

36 Lihat Pasal 50 ayat 1 Undang – Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 37 Lihat Pasal 50 ayat 2 Undang – Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

(14)

mengelola harta benda anak secara baik, termasuk mencatat sejumlah hartanya ketika dimulai perwalian, mencatat perubahan – perubahan hartanya selama perwalian, serta menyerahkan kembali kepada anak apabila telah selesai masa

perwaliannya karena si anak telah dewasa dan mampu mengurus diri sendiri.38

Ada golongan orang – orang yang tidak dapat diangkat menjadi wali. Mereka itu ialah orang yang sakit ingatan, orang yang belum dewasa, orang yang dibawah curatele, orang yang telah dicabut kekuasaannya sebagai orang tua, jikalau pengangkatan sebagai wali ini untuk anak yang menyebabkan pencabutan tersebut. Lain dari pada itu juga Kepala dan anggota – anggota Balai Harta

Pada umumnya dalam tiap perwalian hanyalah ada seorang wali saja. Pengecualian terdapat apabila seorang wali (moedervoodges) berkawin lagi, dalam hal mana suaminya menjadi medevoogd.

Seorang yang oleh hakim diangkat menjadi wali harus menerima pengangkatan itu, kecuali jikalau ia seorang istri yang berkawin atau jikalau ia mempunyai alasan – alasan menurut undang – undang untuk minta dibebaskan dari pengangkatan itu. Alasan – alasan itu ialah diantaranya jikalau ia untuk kepentingan Negara harus berada di luar negeri, jikalau ia seorang anggota Tentara dalam dinas aktif, jikalau ia sudah berusia 60 tahun, jikalau ia sudah menjadi wali untuk seorang anak lain atau jikalau ia sendiri sudah mempunyai lima orang anak sah atau lebih.

38 Abdul Manan Hasyim, Hakim Mahkamah Syariah Provinsi Aceh http://www.idlo.int/DOCNews/240DOCF1.pdf. terakhir diakses pada tanggal 12 Maret 2014, Pukul. 22.27 Wib.

(15)

Peninggalan (Weeskamer) tidak dapat diangkat menjadi wali, kecuali dari anak –

anaknya sendiri.39

1) Perwalian oleh orang tua yang hidup terlama.

Secara garis besar, menurut KUHPerdata perwalian itu dibagi atas 3 macam yaitu :

Terhadap anak sah ditentukan bahwa orang tua yang hidup terlama dengan sendirinya di bawah menjadi wali. Jika pada waktu bapak meninggal dan ibu saat itu mengandung, maka Balai Harta Peninggalan (BHP) menjadi pengampu (kurator) atas anak yang berada dalam kandungan tersebut. Kurator yang demikian disebut “Curator Ventris”. Apabila bayi lahir, maka ibu demi hukum menjadi wali dan Balai Harta Peninggalan (BHP) menjadi pengawas. Apabila ibu tersebut kawin lagi maka suaminya demi hukum menjadi wali peserta dan bersama istrinya bertanggung jawab tanggung renteng terhadap perbuatan – perbuatan yang dilakukan setelah perkawinan itu berlangsung. Bagi wali menurut undang – undang (Wetterlijk Voogdij) dimulai dari saat terjadinya peristiwa yang menimbulkan perwalian itu, misalnya kematian salah satu orang tua. Bagi anak luar kawin yang diakui dengan sendirinya di bawah perwalian bapak/ibu yang mengakuinya, maka orang tua yang lebih dahulu mengakuinyalah yang menjadi wali (Pasal 352 ayat 3 KUH Perdata). Apabila pengakuan bapak dan ibu dilakukan bersama – sama maka bapaklah yang menjadi wali.

(16)

2) Perwalian yang ditunjuk oleh ayah atau ibu dengan surat wasiat atau dengan akta autentik.

Pasal 355 (1) KUH Perdata menentukan bahwa orang tua masing – masing yang melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian atas seorang anak atau lebih berhak mengangkat seorang wali atas anak – anaknya itu bilamana sesudah ia meninggal dunia perwalian itu tidak ada pada orang tua yang baik dengan sendirinya ataupun karena putusan hakim seperti termaksud dalam Pasal 353 (5) KUHPerdata. Bagi wali yang diangkat yang diangkat oleh orang tua (Terstamentaire Voogdij/wali wasiat) dimulai dari saat orang tua itu meninggal dunia dan sesudah wali menyatakan menerima pengangkatannya.

3) Perwalian yang diangkat oleh hakim.

Pasal 359 KUHPerdata menentukan bahwa semua orang yang di bawah yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua dan yang perwaliannya tidak diatur dengan cara yang sah, Pengadilan Negeri harus mengangkat seorang wali setelah mendengar atau memanggil dengan sah keluarga sedarah dan semenda (periparan). Bagi wali yang diangkat oleh hakim (datieve voogdij) dimulai dari saat pengangkatan jika ia hadir dalam pengangkatannya. Bila tidak hadir perwalian dimulai sejak diberitahukan

kepadanya.40

Sedangkan menurut Undang – Undang No.1 Tahun1974 tentang perkawinan perwalian itu hanya ada karena penunjukan oleh salah satu orang tua

(17)

yang menjalankan kekuasaan sebagai orang tua sebelum ia meninggal dengan surat wasiat atau dengan lisan dihadapan dua orang saksi (Pasal 51 (1) UU

No.1/74).41

2. Asas – Asas Perwalian

Asas – asas hukum itu merupakan jantungnya peraturan hukum. Hal ini dikarenakan ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa peraturan – peraturan hukum itu pada akhirnya bisa

dikembalikan kepada asas – asas tersebut.42

Asas hukum bukan peraturan hukum, namun tidak ada hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui asas – asas hukum yang ada di dalamnya. Oleh karena itu untuk memahami hukum suatu bangsa dengan sebaik – baiknya tidak bisa hanya melihat pada peraturan hukumnya saja melainkan harus melihat sampai kepada asas – asas hukumnya. Asas – asas hukum inilah yang memberi makna

etis kepada peraturan – peraturan hukum serta tata hukum.43

a. Asas tak dapat dibagi-bagi (Ondeelbaarheid)

Dalam hal ini asas – asas perwalian terdapat pada sistem KUH Perdata, yakni:

Pada tiap – tiap perwalian hanya ada satu wali (Pasal 331 KUHPerdata). Asas tak dapat dibagi – bagi (Ondeelbaarheid). Asas ini mempunyai pengecualian dalam 2 hal yaitu :

41 Sunarto Edi Wibowo, Perwalian Menurut KUHPerdata dan UU No. 1 Tahun 1974, didownload dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1520/1/perdata-sunarto2.pdf , pada tanggal 20 Februari 2014

42 SatjiptoRahardjo, Ilmu Hukum .Cet.VI, PT. Citra Aditya Bakti,Bandung,2006, hal.45. 43 Ibid hal. 47

(18)

1) Jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup paling lama (langslevende ouder) maka kalau ia kawin lagi suaminya menjadi medevoogd (wali serta/ wali peserta) berdasarkan Pasal 351 KUHPerdata.

2) Jika sampai ditunjuk pelaksana pengurusan

(bewindvoerder) yang mengurus barang – barang minderjarige di luar Indonesia berdasarkan Pasal 361 KUHPerdata

b. Asas Persetujuan dari Keluarga

Keluarga harus dimintai persetujuan tentang perwalian. Dalam hal keluarga tidak ada maka tidak diperlukan persetujuan pihak keluarga itu. Sedang pihak keluarga, kalau tidak datang sesudah diadakan

panggilan, dapat dituntut berdasarkan Pasal 524 KUHP.44

C. Syarat – Syarat Untuk Menjadi Wali

Menurut undang – undang, bahwa setiap orang dapat menjadi wali, tetapi ada pengecualian-pengecualiannya. Dimana pengecualian tersebut merupakan golongan orang - orang yang tidak dapat diangkat menjadi wali dalam perwalian.

Adapun syarat – syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang wali adalah :

1. Wali harus seorang yang sehat pikirannya.

Orang yang sakit ingatannya tidak dapat mengurus dirinya sendiri, oleh karena itu orang yang tidak sehat pikirannya adalah di bawah

44 R.Soetojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan keluarga, Cet.4, Penerbit Alumni, Bandung, 1972, hal.188

(19)

pengampuan, dan segala tindakannya dalam hukum diwakili oleh si pengampu, maka keadaanya sama seperti yang masih di bawah umur. 2. Wali harus orang yang dewasa.

Seorang dikatakan sudah dewasa jikalau ia telah berumur 21 tahun atau jika ia belum mencapai umur 21 tahun tetapi ia sudah kawin. Hanya orang yang sudah dewasa boleh melakukan perbuatan – perbuatan hukum, sedangkan orang yang masih di bawah umur tidak diperbolehkan bertindak sendirian tetapi harus diwakili oleh orang tuanya atau walinya.

3. Wali itu tidak berada di bawah pengampuan

Seseorang yang sudah dewasa dapat ditaruh di bawah pengampuan, misalnya karena ia menghambur – hamburkan harta kekayaannya atau karena ia kurang cerdas pikirannya sehingga tidak mampu untuk mengurus sendiri kepentingan – kepentingannya. Orang yang berada di bawah pengampuan adalah yang tidak memenuhi syarat untuk menjadi wali, sebab mereka harus diwakili dalam melakukan tindakan – tindakannya, sehingga dengan sendirinya ia tidak dapat mengurus diri sendiri apalagi

untuk mengurus diri orang lain.45

D. Tujuan Perwalian dan Mulai Berlakunya 1. Tujuan Perwalian

Dengan ditempatkannya seorang anak yang belum dewasa dibawah perwalian maka kepentingan dari si anak tersebut menjadi tanggung jawab wali,

45 Asrul, Tinjauan Hukum Perdata Mengenai Tugas dan Kewajiban Wali Dalam

(20)

dimana wali bertindak sama layaknya orang tua sianak yang masih di bawah umur sewaktu menjalankan kekuasaan si wali.

Dengan adanya hak perwalian ini memberikan suatu gambaran bahwa setiap manusia tidak dapat melaksanakan haknya secara individual, yang disebabkan ketergantungan dari sifat dan sistem dalam pergaulan sehari – hari jadi anak yang belum dewasa tidak dapat menentukan sifat yang baik dan yang buruk dan penjagaan.

Oleh karena itulah diperlukan adanya hak perwalian pada diri seseorang yang tujuannya agar diri dan harta si anak dapat terjaga dan terpelihara sebagaimana yang telah diamanatkan oleh undang – undang. Sebagaimana diketahui bahwa setiap tindakan hukum itu memiliki tujuan yang sangat bermanfaat bagi setiap orang apalagi yang berkaitan dengan keselamatan jiwa dan harta seseorang dari orang – orang yang tidak bertanggung jawab. Oleh sebab itu, masalah perwalian itu mempunyai tujuan yang baik yakni tujuan yang bernilai ibadah dan merupakan bagian dari ajaran agama islam.

Ada dua tujuan perwalian yakni dalam hal perkawinan dan tujuan perwalian dalam anak dibawah umur.

Tujuan perwalian terhadap anak di bawah umur adalah sebagai berikut : a. Wali sebagai pemegang kontrol bagi anak maupun bagi orang yang

berada di bawah perwaliannya apabila ingin melakukan suatu tindakan hukum.

b. Wali bertindak sebagai pengayom, dalam arti bahwa wali itu selalu menjaga baik itu menjaga harta maupun jiwa dari hal – hal yang

(21)

tidak diinginkan seperti menggunakan hartanya dari hal – hal yang dilarang oleh agama dan juga dari hal – hal yang membahayakan jiwanya atas orang yang berada di bawah perwaliannya itu.

c. Adanya wali juga dapat mengurangi beban seseorang terhadap anak dan hartanya, apabila orang tersebut sudah meninggal dunia, maka dengan adanya wali tersebut anak dan hartanya terselamatkan.

d. Menambah hubungan silaturahmi yang kuat terhadap orang – orang yang mengadakan wala’al mu’awallah perwalian karena pernyataan antara dua orang untuk saling mewarisi dan saling membantu dalam berbagai kesulitan.

e. Menciptakan lapangan kerja dalam hal wali anak yatim, dengan adanya wali yatim tersebut dapat menciptakan lapangan kerja bagi para wali yang miskin. Dengan demikian para wali yatim itu tidak ada halangan baginya mengambil harta anak yatim yang dipeliharanya sekedar untuk keperluan hidupnya sehari – hari, hal ini diperbolehkan jika ia terhalang berusaha yang lain karena

mengurus harta anak yatim tersebut yang dipeliharanya itu.46

Perwalian terhadap diri seorang anak dilaksanakan untuk menjaga kesejahteraan anak itu sendiri, untuk mengawasi hal yang berhubungan dengan dirinya dan segala macam kesejahteraan yang belum dapat diperolehnya sendiri.

(22)

“ Dalam Islam, perwalian ditegaskan kepada mereka yang diperkirakan untuk membahagiakan si kecil itu, dan untuk ditetapkan syarat – syarat tertentu sehingga dengan demikian para wali dapat menjamin kemampuannya untuk mengurus kesejahteraan anak tersebut dan juga segala urusan yang berhubungan

dengan usaha memelihara anak, menjaga dan merawatnya.47

2. Mulai Berlakunya Perwalian

Menyangkut dengan mulai berlaku suatu perwalian, Martiman Prodjohamidjojo mengatakan suatu perwalian itu berlaku:

a. Sejak perwalian itu diangkat oleh hakim dan bila pengangkatan itu dilakukan namun dalam tidak kehadiran si wali maka saat pengangkatan itu diberitahukan kepadanya maka berlangsunglah perwalian tersebut; b. Jika seorang wali diangkat oleh salah satu dari orang tua sianak pada saat

pengangkatan itu. Karena meninggalnya, memperoleh suatu kekuatan untuk berlaku dan yang dianggap sebagai wali menyatakan kesanggupan menerima pengangkatan ini;

c. Jika seseorang perempuan bersuami diangkat sebagai wali, baik oleh hakim maupun oleh salah satu orang tua dari kedua orang tuanya pada saat ia dengan bantuan atau kuasa dari suaminya atau dengan kuasa dari hakim menyatakan kesanggupannya menerima pengangkatan itu;

47

(23)

d. Jika suatu perhimpunan yayasan atau lembaga amal atas permintaan atau kesanggupan sendiri diangkat menjadi wali pada saat mereka menyatakan sanggup menerima pengangkatan itu;

e. Jika seorang menjadi wali karena hukum, pada saat terjadi peristiwa yang mengakibatkan perwaliannya;

f. Jika ditunjuk oleh seorang orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal dunia dengan surat wasiat atau pesan yang dilakukan dihadapan dua orang saksi (Pasal 50,52 Undang – Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.48

Sedangkan dalam Pasal 331 (a) KUH Perdata menentukan mulai berlakunya perwalian sebagai berikut :

a. Jika seorang wali diangkat oleh hakim, dimulai dari saat pengangkatan jika ia hadir dalam pengangkatan itu. Bila ia tidak hadir maka perwalian itu dimulai saat pengangkatan itu diberitahukan kepadanya.

b. Jika seorang wali diangkat oleh salah satu orang tua, dimulai dari saat orang tua itu meninggal dunia dan sesudah wali dinyatakan menerima pengangkatan tersebut.

c. Bagi wali menurut undang – undang dimulai dari saat terjadinya peristiwa yang menimbulkan perwalian itu, misalnya kematian salah satu orang tua.49

48 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia , Indonesia legal Center Publishing, Jakarta ,2002, hal 57.

(24)

E. Tugas dan Kewajiban Wali 1. Tugas Wali

Berdasarkan Pasal 383 KUH Perdata tugas wali adalah sebagai berikut : a. Pengawasan atas diri pupil (orang yang memerlukan perwalian). Wali

harus menyelenggarakan pemeliharaan dan pendidikan anak yang belum dewasa sesuai dengan kekayaan si yang belum dewasa itu sendiri.

b. Mewakili pupil dalam melakukan semua perbuatan hukum dalam bidang perdata.

c. Mengelola harta benda pupilnya sebagai bapak rumah tangga yang baik

(Pasal 385 KUH Perdata).50

2. Kewajiban Wali

Setiap wali mempunyai kewajiban terhadap anak – anak yang berada di bawah perwaliannya. Kewajiban wali ini di kelompokkan berdasarkan kewajiban wali secara umum dan kewajiban wali secara khusus. Kewajiban wali secara umum yaitu terdiri atas :

a. Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaanya dan harta bendanya sebaik – baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu.

b. Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan – perubahan harta benda anak – anak itu.

(25)

c. Wali harus bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.

d. Wali tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang – barang tetap yang dimiliki anak yang berada di bawah perwaliannya

kecuali apabila kepentingan anak tersebut menghendakinya.51

Sedangkan kewajiban wali secara khusus terkait pada pengelolaan harta peninggalan adalah terdiri atas :

a. Kewajiban memberitahukan kepada Balai Harta Peninggalan (Pasal 368 KUHPerdata) dengan sanksi bahwa wali dapat dipecat (ontzet) dan dapat diharuskan membayar biaya – biaya, ongkos – ongkos, dan bunga bila pemberitahuan tersebut tidak dilaksanakan;

b. Kewajiban mengadakan inventarisasi mengenai harta kekayaan si minderjarige52

c. Kewajiban untuk mengadakan jaminan (zekerheid) – Pasal 335 KUHPerdata

(Pasal 386 ayat 1 KUHPerdata). Sesudah 10 hari perwalian dimulai maka wali harus membuat daftar pertelaan barang – barang si pupil dengan dihadiri oleh wali pengawas (Weeskamer = Balai Harta Peninggalan) dan kalau barang – barang minderjarige itu disegel maka diminta agar penyegelan itu dibuka;

51 Ibid, hal.67.

52 Datuk Usman dkk,Diktat Hukum Adat II,Fakultas Hukum USU,1975 hal. 2. Minderjarige ialah apabila seseorang berada di dalam keadaan yang dikuasai oleh orang lain yaitu kalau tidak dikuasai oleh orang tuanya, maka dia dikuasai oleh walinya (voogd)nya.

(26)

Wali – kecuali perhimpunan – perhimpunan, yayasan, atau lembaga sosial – mempunyai kewajiban untuk mengadakan jaminan dalam waktu satu bulan sesudah perwalian dimulai; entah berupa hipotek, jaminan barang (borgtocht), atau gadai (pand). Bilamana harta kekayaan si pupil bertambah maka wali harus mengadakan atau menambah jaminan yang sudah diadakan;

d. Kewajiban menentukan jumlah yang dapat dipergunakan tiap – tiap tahun oleh minderjarige itu dan jumlah biaya – biaya pengurusan (Pasal 398 KUHPerdata)

Kewajiban ini tidak berlaku bagi perwalian oleh bapak atau ibu. Weeskamer (Balai Harta Peninggalan) sesudah memanggil keluarga baik keluarga sedarah maupun periparan akan menyuruh menentukan jumlah yang dapat dipergunakan pada tiap – tiap tahun oleh minderjarige dan jumlah biaya yang diperlukan untuk pengurusan harta benda itu dengan kemungkinan untuk minta banding kepada pengadilan;

e. Kewajiban wali untuk menjual perabot – perabot rumah tangga minderjarige dan semua barang bergerak yang tidak memberikan buah, hasil, atau keuntungan kecuali barang – barang yang diperbolehkan disimpanin natura dengan izin Weeskamer. Penjualan ini harus dilakukan dengan pelelangan di hadapan umum menurut aturan – aturan lelang yang berlaku di tempat itu kecuali jika bapak atau ibu yang menjadi wali yang dibebaskan dari penjualan itu (Pasal 398 KUHPerdata);

(27)

f. Kewajiban untuk mendaftarkan surat – surat piutang negara jika ternyata dalam harta kekayaan minderjarige ada surat – surat piutang negara (Pasal 392 KUHPerdata);

g. Kewajiban untuk menanam (beleggen) sisa uang milik minderjarige

setelah dikurangi biaya penghidupan dan sebagainya.53

Dalam Pasal 393 – 398 KUHPerdata selanjutnya dijumpai beberapa perbuatan yang berwenang dilakukan oleh wali dengan mengingat syarat – syarat yang ditentukan oleh undang – undang dan perbuatan – perbuatan yang tidak boleh dilakukannya kecuali ada izin dari hakim.

Perbuatan – perbuatan itu adalah :

1. Meminjam uang sekalipun untuk kepentingan minderjarige, tidak boleh juga memindahkan atau menggadaikan barang – barang tidak bergerak atau surat – surat utang negara, piutang – piutang andelnya tanpa mendapatkan kuasa dari pengadilan;

2. Membeli barang – barang tak bergerak dari seseorang minderjarige. Pembelian yang demikian itu hanya diperkenankan kalau dilakukan atas dasar pelelangan umum dan baru berlaku sesudah ada izin dari pengadilan;

3. Menyewa ataupun menyewakan barang – barang minderjarige yang hanya mungkin dengan persetujuan hakim dengan mendengar atau memanggil dengan sepatutnya keluarga sedarah atau periparan minderjarige;

(28)

4. Menerima warisan untuk seseorang minderjarige (perbuatan ini hanya diperbolehkan sesudah diadakan pencabutan boedel/=voorrechtvan boedelschrijving);

5. Menolak warisan barang untuk seseorang minderjarige (hanya diperbolehkan dengan persetujuan hakim);

6. Menerima hibah bagi seorang minderjarige (hanya diperbolehkan dengan persetujuan hakim). Ketentuan ini sebenarnya diadakan terhadap hibah – hibah dengan suatu beban ( schenkingen onder last);

7. Memajukan gugatan bagi minderjarige;

8. Membantu terlaksananya pemisahan dan pembagian harta kekayaan yang menjadi kepentingan minderjarige;

9. Mengadakan perdamaian di luar pengadilan (dading atau kompromi) bagi minderjarige. Dalam perbuatan ini diperlukan

pula persetujuan pengadilan.54

F. Berakhirnya Perwalian

Berakhirnya perwalian dapat ditinjau dari 2 buah sudut seperti yang tertulis di bawah ini :

1. Dalam hubungan dengan keadaan si anak.

Dalam hubungan ini maka perwalian akan berakhir karena : a. Si anak menjadi meerderjarige;

(29)

b. Matinya minderjarige ( anak);

c. Timbulnya kembali ouderlijkemacht (kekuasaan orang tuanya); d. Pengesahan seorang anak luar kawin yang diakui.

2. Dalam hubungan dengan tugas wali Perwalian akan berakhir karena :

a. Ada pemecatan atau pembebasan (ontzetting of ontheffing) atas diri si wali;

b. Ada alasan pembebasan atau pemecatan dari perwalian (Pasal 380 KUHPerdata); sedang syarat utama untuk dipecat (ontzet) sebagai wali ialah karena disandarkan pada kepentingan minderjarige itu sendiri.

Dalam Pasal 380 KUHPerdata disebutkan 10 buah alasan yang merupakan alasan dapat dimintanya pemecatan (ontzetting) itu:

1. Jika wali itu berkelakuan buruk (slecht levensgeding);

2. Jika dalam menunaikan perwaliannya si wali menampakkan ketidakcakapannya atau menyalahgunakan kekuasaannya atau mengabaikan kewajibannya;

3. Jika wali itu telah dipecat dari perwalian lain berdasarkan no.a dan b di atas atau telah dipecat dari kekuasaan orang tua berdasarkan Pasal 319 a (2) no.1 dan 2 KUHPerdata;

4. Jika si wali berada dalam keadaan pailit;

5. Jika si wali untuk diri sendiri atau karena bapak si wali itu, ibunya, istrinya, suaminya, atau anak – anaknya mengajukan perkara di muka

(30)

hakim untuk melawan minderjarige yang menyangkut kedudukan minderjarige, harta kekayaannya, atau sebagian besar dari harta kekayaannya;

6. Jika wali itu dijatuhi pidana yang telah memperoleh kekuatan pasti, karena sengaja telah turut serta dalam suatu kejahatan terhadap seorang minderjarige yang ada di bawah perwaliannya;

7. Jika wali itu dijatuhi pidana yang telah memperoleh kekuatan pasti, karena sesuatu kejahatan yang tercantum dalam bab XIII, XIV,XV, XVIII,XIX, dan XX – buku II KUHP terhadap seorang minderjarige yang ada di bawah perwaliannya;

8. Jika si wali itu dijatuhi hukuman yang tidak dapat ditiadakan lagi dengan pidana penjara selama dua tahun atau lebih. Disamping itu tuntutan untuk pemecatan dapat diajukan;

9. Jika wali itu alpa memberitahukan terjadinya perwalian kepada Balai Harta Peninggalan (Pasal 368 KUHPerdata);

10. Jika wali itu tidak mau memberikan perhitungan tanggung jawab kepada Balai Harta Peninggalan berdasarkan Pasal 372 KUHPerdata. Kemungkinan pembebasan sebagai wali (ontheffing) diatur dalam Pasal 382.c KUHPerdata, sedang alasan – alasannya hampir bersamaan dengan

pembebasan dari kekuasaan orang tua.55

Referensi

Dokumen terkait

Mengomunikasikan sebaran flora dan fauna di Indonesia dan dunia berdasarkan karakteristik ekosistem dan region iklim dalam bentuk artikel ilmiah, makalah, atau bahan publikasi

komunikasi dengan teknik modulasi M-PSK di lingkungan indoor dan outdoor ditunjukkan pada nilai BER yang diperoleh dengan mengubah jarak antar node pengirim dan

• Pupuk sampai ke permukaan tanah dengan cara disebar menggunakan tangan (pupuk dalam bentuk butiran kering)e. • Pupuk diangkut ke lapangan menggunakan

Data yang telah didapatkan pada penelitian kuantitatif ini adalah hasil pretest dan posttest latihan gerakan dasar dribble bola basket dengan menggunakan media

Dengan cara ini kas perusahaan teljamin keamanannya dan data akuntansi yang dicatat dalam catatan akuntansi dapat dijamin ketelitian dan keandalannya. 2)

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan di analisis didapatkan biaya bahan material yang diperlukan untuk pekerjaan pasangan dinding bata ringan dan pasangan

Penelitian ini merupakan penelitian "Deskriptif Kuantitatif" dari perilaku komunikasi petani padi dalam menerapkan usaha tani tanaman pangan di Desa Kali

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan berkah dan nikmat kepada hamba-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul PENGARUH