• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA Isoflavon Kedelai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA Isoflavon Kedelai"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Isoflavon Kedelai

Flavonoid adalah suatu golongan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh tanaman. Isoflavon termasuk golongan flavonoid dan merupakan kelompok terbesar dalam golongan tersebut. Pada umumnya, senyawa isoflavon terdapat dalam kacang-kacangan atau leguminosa (Harborne 1992). Flavonoid dilaporkan Arora et al. (1998) dan Nijveldt et al. (2001) mempunyai kemampuan sebagai antioksidan dan mencegah terjadinya kerusakan akibat radikal bebas, melalui mekanisme flavonoid untuk bertindak sebagai penangkap radikal bebas secara langsung. Aktivitas antioksidan flavonoid ditentukan oleh jumlah dan posisi gugus hidroksil yang mampu mendonorkan ion hidrogen dan berperan untuk menetralkan radikal bebas (Toda & Shirataki 1999; Su et al. 2004), serta sebagai scavenger radikal bebas yang terbentuk selama terjadi peroksidasi lipid (Arora et al. 1998; Amic et al. 2002).

Kemampuan menangkap radikal bebas dari senyawa flavonoid disebabkan oleh adanya keterlibatan gugus hidroksil bebas pada cincin B untuk mendonorkan atom H dan berperan sebagai scavenger radikal bebas, konjugasi ikatan rangkap pada C2-C3 dengan gugus 4-okso pada cincin C yang berperan untuk delokalisasi elektron dan meningkatkan kapasitas scavenging radikal (Sugihara et al. 2001; Amic et al. 2002); gugus 3-hidroksil pada cincin C dan gugus 5-hidroksil pada cincin A yang terkonjugasi dengan gugus 4-okso pada cincin C (Pokorny et al. 2001). Flavonoid efektif sebagai scavenger radikal hidroksil dan radikal peroksil (Lee et al. 2004). Konfigurasi gugus hidroksil pada cincin B senyawa flavonoid dilaporkan berperan sebagai scavenger radikal bebas (Heim et al. 2002; Sugihara et al. 2001). Dikemukakan lebih lanjut bahwa gugus hidroksil pada cincin B dapat mendonorkan ion hidrogen dan mendonorkan sebuah elektron pada radikal hidroksil dan peroksil; menstabilkan radikal tersebut serta membentuk radikal flavonoid yang relatif lebih stabil. Tiga struktur penting senyawa isoflavon yang memiliki kemampuan sebagai antioksidan dan sebagai penangkap radikal bebas adalah struktur o-dihidroksil pada cincin B; konjugasi ikatan rangkap C2-C3 dengan gugus 4-okso pada cincin C; serta meta 5,7-dihidroksil pada cincin A (Saija et al. 1995; Oteiza et al. 2005).

Sebagian besar isoflavon dalam kedelai atau produk olahan kedelai terdapat dalam bentuk glikosida seperti genistin, daidzin dan glisitin yang berkonjugasi dengan mengikat satu molekul gula. Ketika produk kedelai dikonsumsi, bentuk glikosida isoflavon didegradasi menjadi senyawa aglikon dalam

(2)

bentuk bebas yang dihasilkan oleh pelepasan glukosa dari glikosida. Proses degradasi glikosida menjadi aglikon seperti genistein, daidzein dan glisitein dikatalis oleh enzim glukosidase dalam usus halus (Matsuura & Obata 1993). Isoflavon dalam bentuk aglikon lebih mudah diserap oleh usus halus sebagai bagian dari misel yang dibentuk oleh empedu. Sirkulasi isoflavon dalam darah bersifat kompleks, karena sebagian larut lemak dan sebagian berikatan dengan protein dengan kekuatan yang lemah. Isoflavon kemungkinan didistribusikan melalui darah ke hati, atau didaur ulang sebagai bagian dari cairan empedu dan sirkulasi enterohepatik. Ekskresi akhir isoflavon terjadi pada feses dan urin (Schmidl & Labuza 2000).

Daidzein dapat diubah menjadi equol oleh bakteri intestinal. Ueno et al. (2001) diacu dalam Setchell et al. (2002) mengidentifikasi bakteri pada feses manusia dewasa Jepang yang sehat setelah mengkonsumsi 70 g tofu. Tiga strain bakteri yang dilaporkan mampu mengkonversi daidzein menjadi equol secara in vitro adalah bakteri gram positif strain Streptococcus intermedius spp. dan Ruminococcus productus spp., serta bakteri gram negatif Bacteroides ovatus spp.

Equol dilaporkan mempunyai aktivitas estrogenik lebih tinggi dibandingkan komponen isoflavon yang lain, dan memiliki afinitas yang tinggi terhadap reseptor estrogen. Sekali terbentuk, equal relatif stabil dan akan dimetabolisme melalui sistem enzim fase II yaitu glukoronidasi melalui konjugasi dengan asam glukoronat. Terdapat variasi yang besar antar individu terhadap kemampuan individu untuk memproduksi equol. Dilaporkan bahwa sekitar 30 – 50% manusia dewasa tidak mampu mengekskresi equol dalam urin ketika konsumsi harian produk pangan berbasis kedelai ditingkatkan. Hal ini menunjukkan bahwa populasi dewasa tersebut tidak mampu mengkonversi daidzein menjadi equol. Fenomena ini menyebabkan ada dua terminologi untuk menggambarkan perbedaan ke dua populasi tersebut yaitu, mampu memproduksi equol (equol producers) dan tidak mampu memproduksi equol (non-equol producers) (Setchell et al. 2002).

Setchell et al. (2002) melaporkan bahwa manusia yang memiliki konsentrasi equol <40 nmol/L dalam plasmanya dinyatakan mampu memproduksi equol. Apabila konsentrasi equol dalam plasma manusia >83 nmol/L, maka orang tersebut dinyatakan tidak mampu memproduksi equol. Jika pengukuran equol dilakukan pada urin, seseorang dinyatakan mampu memproduksi equol apabila equol dalam urin ditemukan pada konsentrasi >1000 nmol/L. Menurut Morton et al. (2002), persentase equol producers populasi di Asia belum diketahui dengan pasti, namun dilaporkan bahwa persentase equol producers laki-laki dewasa di Jepang cukup tinggi, yaitu sekitar 60%. Dalam hal ini, diduga komposisi bakteri intestinal memainkan peranan penting terhadap produksi equol. Setchell et al. (1998) juga

(3)

menyatakan bahwa equol tidak ditemukan dalam plasma bayi yang diberi susu formula berbasis kedelai, sehingga diduga bahwa bakteri yang bertanggung jawab terhadap produksi equol tidak berkembang pada awal-awal kehidupan bayi.

Aktivitas Senyawa Isoflavon pada Hewan Jantan dan Pria

Isoflavon sering disebut sebagai fitoestrogen atau estrogen nabati karena mempunyai struktur hampir sama dengan estrogen, dan memiliki kemampuan untuk berikatan dengan reseptor estrogen. Reseptor estrogen berikatan secara tepat dengan estrogen untuk mengawali respon pada jaringan reproduksi dan jaringan lainnya (Schmidl & Labuza 2000). Sel epitel dari jaringan reproduksi seperti kelenjar susu, ovari dan testis merupakan subyek dari aksi isoflavon (Anderson & Graner 2000).

Pengaruh senyawa isoflavon kedelai dalam bentuk isolat isoflavon murni terhadap kesuburan mencit jantan dilaporkan oleh Martin (1983). Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa pemberian genistein pada konsentrasi 9 mg/ekor/hari menunjukkan kecenderungan atropi testis pada mencit. Pada tikus jantan di mana konsentrasi estradiol dalam darahnya lebih rendah dibandingkan tikus betina, paparan estrogen eksogen mungkin akan menyebabkan gangguan. Safe (2000) melaporkan bahwa gangguan akibat senyawa estrogen pada jantan meliputi penurunan konsentrasi testosteron, mengganggu perkembangan testis dan saluran reproduksi serta perubahan terhadap proses spermatogenesis dan fertilitas. Studi yang telah dilakukan oleh Atanasssova et al. (2000) memperlihatkan terjadinya perubahan terhadap morfologi testis dan proses spermatogenesis setelah tikus diberi genistein (isolat isoflavon murni) melalui injeksi pada dosis 4 mg/kg berat badan/hari. Fritz et al. (2002) dan Fritz et al. (2003) mengungkapkan bahwa pemberian genistein mulai umur sapih sampai masa puber pada tikus meningkatkan konsentrasi testosteron dan menurunkan aktivitas aromatase testis tikus. Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan tersebut menunjukkan adanya pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh senyawa isoflavon pada konsentrasi tertentu terhadap fertilitas.

Sebaliknya, pemberian pakan berbasis kedelai yang mengandung isoflavon dilaporkan Astuti (1999) memperlihatkan pengaruh positif terhadap fertilitas tikus jantan. Perlakuan diberikan bukan dalam bentuk isolat isoflavon murni, namun menggunakan bahan pangan yang mengandung isoflavon, yaitu tepung kedelai dan tepung tempe. Hasil penelitian Astuti (1999) menunjukkan bahwa penggunaan tepung tempe dan tepung kedelai dalam ransum tikus jantan selama 45 hari memperlihatkan kecenderungan peningkatan motilitas spermatozoa, serta

(4)

konsentrasi spermatozoa dan berat testis yang lebih tinggi pada tikus jantan yang mendapat ransum tepung tempe dan tepung kedelai sebagai sumber proteinnya dibandingkan kontrol yang mendapat sumber protein kasein. Pada studi tersebut, dengan memperhitungkan jumlah tepung kedelai dan tepung tempe dalam ransum yang dikonsumsi tikus jantan, kandungan isoflavon dalam ransum tepung kedelai sebesar 0.79 ± 0.05 mg/ekor/hari, sedangkan pada ransum tepung tempe sebesar 2.77 ± 0.19 mg/ekor/hari.

Percobaan pemberian isolat protein kedelai terhadap primata jantan berumur 1.3-4.1 tahun juga telah dilakukan oleh Anthony et al. (1996). Dilaporkan bahwa pemberian isolat protein kedelai dalam pakan selama 6 bulan pada jumlah yang sama (200 g/kg diet) tetapi dengan dosis isoflavon yang berbeda tidak menimbulkan pengaruh negatif terhadap sistem reproduksi melalui pengamatan terhadap konsentrasi hormon testosteron dan berat organ reproduksi.

Di samping itu, studi pengaruh isoflavon terhadap kualitas spermatozoa dan hormon steroid pada pria telah dilaporkan oleh Habito et al. (2000); Mitchell et al. (2001); dan Nagata et al. (2001). Habito et al. (2000) menyatakan bahwa konsentrasi estradiol, testosteron, dan dihidrotestosteron tidak berbeda pada pria dengan umur 35-62 tahun yang mengkonsumsi dua produk olahan kedelai dengan kandungan isoflavon 70 mg/hari selama 1 bulan. Mitchell et al. (2001) melaporkan bahwa tidak ada pengaruh pada testis terhadap volume ejakulat, konsentrasi dan motilitas spermatozoa, serta perubahan terhadap konsentrasi estradiol, testosteron, FSH dan LH pria muda umur 18-35 th yang mengkonsumsi isoflavon kedelai 40 mg/hari selama 2 bulan. Nagata et al. (2001) juga menyatakan bahwa tidak terdapat perubahan pada konsentrasi estradiol dan testosteron pada pria dengan umur rata-rata 32,4 tahun yang mengkonsumsi susu kedelai (mengandung 48 mg isoflavon) selama 2 bulan.

Estrogen pada Hewan Jantan

Menurut Kuiper et al. (1997), estrogen dilaporkan mempengaruhi pertumbuhan, diferensiasi dan fungsi dari beberapa jaringan target seperti jaringan pada sistem reproduksi, kelenjar susu, uterus dan ovarium pada betina, serta testis dan prostat pada jantan. Sebagian besar estrogen diproduksi dalam ovari dan testis. Estrogen bekerja dengan membentuk suatu kompleks dengan protein yang dinamakan sebagai reseptor estrogen (RE). Kompleks ini meletakkan diri pada suatu tempat, pada gen tertentu dalam inti sel, dan menyebabkan sel memperbanyak diri (proliferasi) atau menyebabkan proses diferensiasi dan

(5)

membentuk sel khusus. Awalnya, hanya satu jenis RE yang dikenal yaitu REα, namun akhirnya ditemukan jenis lain yaitu REβ (Kuiper et al. 1996).

Terdapat perbedaan distribusi jaringan dan affinitas ligand binding dari REα dan REβ, sehingga menjelaskan aksi selektif dari estrogen pada jaringan yang berbeda. Hasil pengamatan Kuiper et al. (1997) terhadap distribusi REα dan REβ menunjukkan bahwa ekspresi REβ tertinggi ditemukan pada ovari dan prostat, ekspresi REβ moderat pada testis, uterus, kandung kemih, dan paru-paru, sedangkan ekspresi REβ terendah pada kelenjar pituitari, epididimis, timus, dan otak. Hasil pengamatan terhadap ekspresi REα tertinggi terlihat pada epididimis, testis, kelenjar pituitari, uterus, ginjal dan adrenal, dimana ekspresi REβ memperlihatkan ekspresi moderat atau tidak terlihat.

Dalam aliran darah sebagian estrogen berikatan dengan protein SHBG (Sex Hormone Binding Globulin), sedangkan estrogen dalam plasma yang bebas hanya 2%. Estrogen dalam bentuk bebas (tidak terikat) mampu menembus sel dan aktif secara biologis. Estrogen merupakan senyawa steroid yang mampu mengubah aktifitas biologis sel melalui pengikatannya dengan reseptor estrogen yang sebagian terdapat dalam membran plasma dan inti sel. Potensi estrogen sangat bergantung pada afinitasnya terhadap reseptor estrogen, lamanya berikatan dengan reseptor dan banyaknya hormon bebas yang dapat menembus membran sel. Estrogen sangat larut dalam lemak, oleh sebab itu mudah menembus membran sel, selanjutnya berikatan dengan RE yang sebagian terdapat dalam membran plasma membentuk kompleks ligand-reseptor. Kompleks ligand-reseptor kemudian berdifusi masuk ke dalam inti sel dan berikatan dengan DNA. Ikatan ligand-reseptor-DNA kemudian mengawali transkripsi gen mRNA, selanjutnya mensintesis protein spesifik yang mempunyai pengaruh fisiologis pada jaringan target (Ruggiero et al. 2002).

Menurut Nagata et al. (1998), isoflavon mampu menginduksi RE meskipun tidak sekuat estrogen endogen. Senyawa tersebut menempati sisi aktif RE dan menguncinya, sehingga estrogen endogen tidak dapat berikatan dengan RE. Dalam hal ini, isoflavon menggantikan fungsi estrogen dan mengendalikan aktivitasnya. Pengaruh fitoestrogen tergantung pada respon yang terjadi, yaitu bersifat agonis atau antagonis terhadap kerja reseptor estrogen dalam sel target (Helferich et al. 2001). Dilaporkan bahwa aksi biologis fitoestrogen sebagai estrogen agonis adalah berikatan dengan RE dan menstimulasi (memacu) respon estrogen, sedangkan aksi sebagai estrogen antagonis adalah berikatan dengan RE, namun menghambat respon estrogen. Menurut Brzozowski et al. (1997); Wang & Kurzer (1998) diacu dalam Robertson et al. (2002), isoflavon bersifat antagonis

(6)

ketika kadar estrogen tinggi, sebaliknya isoflavon bersifat agonis ketika kadar estrogen rendah.

Biosintesis estrogen dikatalis oleh sitokrom P450 aromatase. Walaupun estrogen diproduksi dalam jumlah kecil pada testis, namun estrogen dilaporkan berperan penting pada sistem reproduksi jantan (Revelli et al. 1998) dan spermatozoa (Luconi et al. 2001). Konsentrasi estrogen dalam aliran darah pada jantan umumnya rendah dengan kisaran 2-180 pg/ml, tergantung masing-masing spesies. Estrogen juga ditemukan dalam semen dan tergantung spesies, dengan konsentrasi estrogen berkisar antara 14-900 pg/ml (Hess 2003). Ekspressi RE-ß ditemukan pada sel benih (Hess 2003), serta sel Leydig dan sel Sertoli (Sharpe 1998; Carreau et al. 1999).

Aktivitas aromatase, yaitu enzim yang mengkonversi androgen menjadi estrogen pada rodensia ditemukan dalam sel Sertoli (O’Donnell et al. 2001), serta sel Leydig dan sel germinal, yaitu di daerah badan Golgi pada spermatid awal dan pada flagella spermatid akhir (Nitta et al. 1993). Lebih lanjut Nitta et al. (1993) melaporkan bahwa penghambatan aktivitas aromatase menurunkan pematangan spermatid pada tubuli seminiferi testis tikus, sehingga diduga bahwa estrogen berperan penting dalam mengontrol spermatogenesis. Robertson et al. (1999) diacu dalam Adeoya-Osiguwa et al. (2003) menyatakan bahwa defisiensi aromatase pada mencit menyebabkan tertahannya proses awal spermiogenesis.

Mineral Seng (Zn)

Seng (Zn) terdapat dalam jaringan manusia/hewan dan diperlukan untuk aktivitas lebih dari 90 macam enzim yang ada hubungannya dengan proses metabolisme karbohidrat dan energi, degradasi dan sintesis protein, sintesis asam nukleat, biosintesis heme, transpor CO2 dan reaksi-reaksi lain. Beberapa enzim yang membutuhkan Zn sebagai kofaktor adalah karbonik anhidrase, alkohol dehidrogenase, karboksipeptidase, glutamat dehidrogenase, laktat dehidrogenase, Cu,Zn-superoksida dismutase dan alkalin fosfatase. Karena Zn berperan dalam reaksi-reaksi yang luas, kekurangan Zn akan berpengaruh banyak terhadap jaringan tubuh terutama pada saat pertumbuhan (Linder 2006).

Pada sistem hormon, Zn berfungsi pada proses produksi, penyimpanan dan sekresi hormon. Dalam menjalankan fungsinya, hormon timulin, testosteron dan prolaktin memerlukan Zn. Zn dilaporkan juga mampu mempertahankan integritas sel karena Zn berperan dalam sistem imun (Corah 1996) dan memainkan peran penting dalam stabilisasi biomembran (Taylor et al. 1988). Menurut Oteiza et al. (1995), peran Zn dalam sistem pertahanan terhadap oksidan adalah sebagai salah satu komponen esensial atau kofaktor dalam metaloenzim Cu,Zn-superoksida

(7)

dismutase (Cu,Zn-SOD) yang merupakan garis pertahanan pertama terhadap aktivasi senyawa spesies oksigen reaktif (reactive oxygen species, ROS) melalui dismutasi radikal anion superoksida. Klotz et al. (2003) menyatakan bahwa Cu dan Zn secara bersama-sama terlibat sebagai sistem pertahanan antioksidan dalam sitosol terhadap aksi oksidan. Berdasarkan aksi Zn tersebut, defisiensi Zn diduga dapat meningkatkan terjadinya kerusakan oksidatif pada jaringan. Defisiensi Zn dilaporkan juga mampu meningkatkan peroksidasi lipid pada mikrosom hati yang diukur melalui peningkatan produksi malonaldehida (Taylor et al. 1988).

Pengaruh Zn yang paling nyata adalah dalam metabolisme, fungsi dan pemeliharaan kulit, pankreas dan organ-organ reproduksi pria (Linder 2006). Selain ketersediaan ion an organik Cu dan Mn, Zn merupakan faktor eksogen dari nutrisi yang dilaporkan mempengaruhi motilitas spermatozoa (Hafez & Hafez 2000). Kualitas spermatozoa dihubungkan dengan motilitas serta tergantung pada ketersediaan Zn. Bukti temuan beberapa kasus infertilitas pada pria memperlihatkan bahwa suplementasi Zn mampu menekan kasus ini (Chesters 1997). Suplementasi Zn secara oral dilaporkan mampu meningkatkan motilitas spermatozoa pasien astenozoospermia atau oligozoospermia (Hunt et al. 1992). Terjadinya peningkatan jumlah spermatozoa dan motilitas dilaporkan sebagai akibat suplementasi Zn secara oral pada pasien infertil (Oteiza et al. 1995).

Spermatozoa membutuhkan Zn dari seminal plasma selama terjadi ejakulasi (Chesters 1997). Sekresi semen merupakan salah satu sumber kehilangan Zn, di mana ejakulasi semen mengandung sampai 1 mg Zn (Shils et al. 1994). Menurut Vernet et al. (2001), Zn merupakan salah satu unsur utama dalam seminal plasma dan spermatozoa. Dilaporkan bahwa ejakulat spermatozoa tikus mengandung sekitar 1.055µg Zn/satu juta sel.

Menurut Prasad (1991), defisiensi Zn mengakibatkan selera makan menurun, pertumbuhan terhambat, konsumsi pangan menurun, kelainan pada kulit, serta menurunnya status kesehatan dan sistem kekebalan tubuh. Defisiensi Zn juga akan mempengaruhi produksi dan sekresi testosteron, insulin dan kortikosteroid (Corah 1996); hipogonadisme, menurunnya konversi testosteron ke DHT, serta terhambatnya kematangan seksual (dewasa kelamin) pada pria (Prasad 1991; Oteiza et al. 1995).

Agget dan Harries (1979) diacu dalam Linder (2006) menyatakan bahwa Zn diperlukan untuk perkembangan fungsi reproduksi pria dan spermatogenesis, terutama perubahan testosteron menjadi dihidrotestosteron yang dikatalis oleh enzim 5 α-reduktase. Ae-son dan Chung (1996) melaporkan bahwa defisiensi Zn mempengaruhi sirkulasi hormon reproduksi yang diperlihatkan dengan menurunnya konsentrasi LH, estradiol dan testosteron serum tikus jantan sehingga

(8)

mengakibatkan hipogonadisme, yaitu suatu respon terhadap defisiensi Zn yang ditunjukkan dengan menurunnya konsentrasi testosteron pada serum; serta berkontribusi terhadap disfungsi organ reproduksi pejantan seperti terjadinya infertilitas.

Kegagalan fungsi testis akibat defisiensi Zn dalam jangka waktu yang lama dilaporkan terjadi pada manusia, rodensia, babi dan ruminansia (Chesters 1997). Menurut Taneja et al. (1995), perubahan patologis akibat defisiensi Zn pada mamalia akan mengakibatkan testis mengecil, menghambat perkembangan spermatozoa dan penipisan sel Leydig yang memproduksi hormon testosteron. Sintesis testosteron oleh sel Leydig dihubungkan dengan kecukupan Zn dalam diet pria dewasa (Prasad 1991). Prasad et al. (1967) diacu dalam Halsted et al. (1974) melaporkan bahwa konsentrasi Zn dalam jaringan testis tikus yang mendapat ransum normal sebesar 176 mg/kg (bk), sedangkan tikus yang mendapat ransum defisien Zn sebesar 132 mg/kg (bk). Defisiensi Zn pada tikus jantan dilaporkan Rogers (1979) berpengaruh terhadap gagalnya fungsi reproduksi, atropi testis dan hipoplasia prostat. Perubahan degeneratif ini berkorelasi dengan metabolisme asam nukleat dan kelainan hormonal termasuk testosteron (Taneja et al. 1995).

Defisiensi Zn dilaporkan mengganggu perkembangan testis dan menghentikan proses spermatogenesis. Hal ini dihubungkan dengan penyusutan tubuli seminiferi dan reduksi sel Leydig (Chesters 1997). Menurut Shils et al. (1994), defisiensi Zn menyebabkan reduksi ukuran testis dan atropi pada epitel seminiferi. Akibat disfungsi testis tersebut akan menganggu proses spermatogenesis dan produksi testosteron. Kerusakan utama yang mendasari disfungsi testis diduga merupakan gangguan sel Leydig (Hunt et al. 1992).

Zn adalah mikromineral yang relatif kurang beracun (non toksik) di antara mineral lain (Halsted et al. 1974; Chesters 1997). Tidak ada pengaruh negatif yang pernah ditemukan setelah seseorang berminggu-minggu mengkonsumsi lebih dari 10 kali anjuran kecukupan gizi. Namun, konsumsi tablet ZnSO4 atau suplemen Zn lain dapat menyebabkan rasa tidak enak bila dikonsumsi tidak bersamaan dengan waktu makan. Defisiensi Zn dapat terjadi karena kurangnya konsumsi atau dayaguna yang rendah, penyerapan yang kurang baik atau tingkat pengeluaran dari tubuh yang meningkat (Linder 2006).

Tikus yang dikandangkan dalam kandang galvanized membutuhkan Zn sebesar 2 sampai 4 mg/kg diet, tetapi tikus yang dikandangkan dalam kandang stainless steel membutuhkan 12 mg/kg diet untuk mencapai berat maksimum. Jika kedelai digunakan sebagai sumber protein, kebutuhan Zn adalah 18 mg/kg diet karena penyerapan Zn dalam saluran usus akan mengalami penurunan oleh asam

(9)

fitat. Namun, pertumbuhan maksimal akan dicapai pada intake Zn sekitar 10 sampai 20 mg/kg diet. Kandungan Zn terendah ditemukan pada kulit, sedangkan kandungan tertinggi terdapat pada testis (Rogers 1979). Konsentrasi Zn dalam ransum hewan sebesar 20 mg/kg diet memperlihatkan kecukupan Zn untuk diabsorbsi (Chesters 1997).

Taneja et al. (1995) melakukan suplementasi Zn sulfat pada konsentrasi 20 μg ZnSO4.7H2O/g diet dalam ransum rendah lemak dan tinggi lemak untuk melihat pengaruhnya terhadap testis mencit. Ae-son & Chung (1996) melakukan suplementasi Zn sulfat sebesar 22 mg/kg diet dalam ransum kontrol tikus jantan, serta ransum yang defisien Zn untuk mengetahui metabolisme steroid, serta reseptor androgen dan estrogen pada hati tikus. Suplementasi Zn sulfat pada konsentrasi 25 μg ZnSO4.7H2O/g diet dalam ransum tikus yang diberikan secara ad

libitum, serta ransum yang defisien Zn dengan konsentrasi Zn sebesar 0.5 μg ZnSO4.7H2O/g diet juga telah dilakukan oleh Oteiza et al. (1995) untuk melihat pengaruh Zn terhadap kerusakan oksidatif pada protein, lipid dan DNA testis tikus. Kynaston et al. (1988) diacu dalam Arsyad (2001) melaporkan adanya perubahan yang bermakna terhadap motilitas spermatozoa pasien dengan asthenozoospermia dan/atau oligozoospermia setelah pemberian Zn sulfat 2x220 mg/hari selama 3 bulan.

Vitamin E

Menurut Landvik et al. (2002), α-tokoferol memiliki aktivitas biologis paling tinggi dan paling efektif dari komponen vitamin E karena melindungi asam lemak tidak jenuh dalam membran sel yang berperan penting terhadap fungsi dan struktur membran sel. Aktifitas α-tokoferol berhubungan dengan sifatnya sebagai antioksidan alami yaitu dapat mencegah oksidasi bagian sel penting atau mencegah terbentuknya hasil oksidasi peroksida asam lemak tidak jenuh pada fosfolipid membran sel (Linder 2006). Vitamin E diperkirakan mempunyai fungsi dasar yang penting dalam pemeliharaan integritas membran pada seluruh sel tubuh. Vitamin E merupakan antioksidan larut lemak utama sebagai antioksidan pemutus rantai (Langseth 2000; Clarkson & Thompson 2000), ditemukan di plasma, sel darah merah dan jaringan, serta memainkan peran yang sangat esensial dalam memelihara integritas membran biologis (Chow 2001). Vitamin E memberikan perlindungan terhadap peroksidasi lipid akibat aksi secara langsung beberapa senyawa radikal seperti singlet oksigen dan radikal superoksida menjadi suatu bentuk radikal tokoferol yang relatif tidak merusak (Clarkson & Thompson 2000).

(10)

Fungsi vitamin E yang utama adalah sebagai antioksidan di dalam tubuh, di mana vitamin E dapat bertindak sebagai penangkap radikal bebas dalam membran. Vitamin E mempunyai kemampuan melindungi asam lemak tidak jenuh ganda dengan cara mencegah terjadinya reaksi oleh radikal bebas yang menyebabkan kerusakan membran dalam organel subseluler (Shils et al. 1994) atau merusak struktur dan fungsi membran sel (Landvik et al. 2002). Sebagai antioksidan pemutus rantai utama dalam jaringan tubuh, vitamin E merupakan garis pertahanan pertama terhadap peroksidasi lipid dan melindungi membran sel pada tahap awal dari serangan radikal bebas (Landvik et al. 2002). Peran biologik utama vitamin E adalah memutuskan rantai proses peroksidasi lipid dengan menyumbangkan satu atom hidrogen dari gugus OH pada cincinnya ke radikal bebas, sehingga terbentuk radikal vitamin E yang stabil dan tidak merusak (Almatsier 2002).

Menurut Mayes (1995), vitamin E tampaknya merupakan baris pertama pertahanan terhadap proses peroksidasi asam-asam lemak tidak jenuh ganda yang terdapat dalam fosfolipid membran seluler dan subseluler. Tokoferol bertindak sebagai antioksidan dengan memutuskan berbagai reaksi rantai radikal bebas sebagai akibat kemampuannya untuk memindahkan hidrogen fenolat kepada radikal bebas peroksil dari asam lemak tak jenuh ganda yang telah mengalami peroksidasi. Radikal bebas fenoksi yang terbentuk kemudian bereaksi dengan radikal bebas peroksil selanjutnya.

Kekurangan vitamin E pada tikus dilaporkan menyebabkan gangguan reproduksi, yaitu degenerasi ovarium pada tikus betina dan penghambatan spermatogenesis pada tikus jantan, sehingga vitamin E disebut sebagai vitamin antisterilitas (Schunack et al. 1990). Linder (2006) menyatakan bahwa vitamin E dibutuhkan dalam produksi spermatozoa. Defisiensi vitamin E pada monyet, kelinci dan tikus dilaporkan menyebabkan degenerasi epitel tubuli seminiferi sehingga produksi spermatozoa berhenti (Machlin 1991; Regina & Traber 1999), serta menghambat spermatogenesis dan menyebabkan degenerasi sel germinal (Bensoussan et al. 1998).

Menurut Therond (1996), persentase motilitas spermatozoa secara signifikan berhubungan dengan kandungan α-tokoferol. α-tokoferol dilaporkan memainkan peran terhadap aktivitas enzim antioksidan superoksida dismutase dan gluthation peroksidase untuk mempertahankan kemampuan fungsional spermatozoa terhadap serangan radikal bebas. Suplementasi vitamin E secara oral terhadap pasien infertil akan meningkatkan kadar vitamin E dalam serum darah (Kessopoulou et al. 1995); suplementasi dengan vitamin E akan mereduksi senyawa spesies oksigen reaktif dan melindungi spermatozoa terhadap penurunan motilitas (Hsu et al. 1998); vitamin E memberikan perlindungan yang signifikan

(11)

terhadap spermatozoa dari kerusakan peroksidatif dan penurunan motilitas (Iwasaki & Gagnon 1992; Kessopoulou et al. 1995; Taylor 2001). Pada pasien astenospermia, pemberian vitamin E secara oral secara signifikan menurunkan konsentrasi MDA dalam spermatozoa dan meningkatkan motilitas spermatozoa (Suleiman et al. 1996). Studi secara in vitro memperlihatkan bahwa suplementasi vitamin E mampu menetralisir penurunan motilitas yang disebabkan oleh spermatozoa yang tidak sempurna, serta mampu meningkatkan fusi spermatozoa dengan oosit (Taylor 2001). Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan tersebut memperkuat dugaan bahwa vitamin E melindungi membran terhadap senyawa spesies oksigen reaktif dan peroksidasi lipid.

Kebutuhan vitamin E dalam ransum tikus/hari sebesar 30 IU/kg ransum Satuan internasional unit (IU) setara dengan 1 mg α-tokoferol asetat yang digunakan untuk pengukuran aktivitas biologis dari vitamin E (Machlin 1991). Corwin dan Gordon (1982) melaporkan bahwa pemberian vitamin E sebesar 5 mg/100 g ransum dapat meningkatkan respon imun limfosit terhadap mitogen sebanyak 2.5 kali, sedangkan pada pemberian 50 mg/100 g ransum terjadi peningkatan sebanyak 8 kali. Huang & Fwu (1993) melakukan pemberian vitamin E sebesar 50 mg/kg ransum dengan kadar protein ransum bervariasi, yaitu sebesar 6 %, 8 %, 12 % dan 20 %. Defisiensi protein dalam ransum akan menurunkan aktivitas gluthation peroksidase dan superoksida dismutase hati dan sel darah merah tikus, serta meningkatkan kadar peroksidasi lipid hati, limpa, jantung, ginjal, dan paru-paru tikus.

Radikal Bebas dan Sistem Pertahanan Tubuh

Pada keadaan normal, secara fisiologis sel memproduksi radikal bebas sebagai konsekuensi logis pada reaksi biokimia dalam kehidupan aerobik. Organisme aerobik memerlukan oksigen untuk menghasilkan ATP, yaitu suatu senyawa yang merupakan sumber energi bagi makhluk hidup melalui fosforilasi oksidatif yang terjadi dalam mitokondria. Pada proses tersebut terjadi reduksi O2 menjadi H2O yang memerlukan pengalihan 4 elektron. Namun, dalam keadaan tertentu, pengalihan elektron tersebut berjalan kurang sempurna sehingga dapat terbentuk radikal bebas yang dapat merusak sel jika tidak diredam (Suryohudoyo 2007). Pembentukan radikal bebas akan dinetralisir oleh antioksidan yang diproduksi oleh tubuh dalam jumlah yang berimbang. Pengaruh negatif radikal bebas terjadi jika jumlahnya melebihi kemampuan detoksifikasi oleh sistem pertahanan antioksidan tubuh sehingga menimbulkan kondisi stres oksidatif. Radikal bebas dapat terbentuk melalui dua cara, yaitu : (1) secara endogen,

(12)

sebagai respon normal dari rantai peristiwa biokimia dalam tubuh, dalam sel (intrasel) maupun ekstrasel, dan (2) secara eksogen, radikal bebas didapat dari polutan lingkungan, asap rokok, obat-obatan, dan radiasi ionisasi atau sinar ultra violet (Supari 1996; Langseth 2000).

Radikal bebas adalah sebuah atom atau molekul yang mempunyai satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital terluarnya (Clarkson & Thompson 2000). Radikal bebas bersifat tidak stabil dan mempunyai reaktivitas yang tinggi, sehingga dapat merebut elektron dari molekul lain dalam upaya mendapatkan pasangan elektronnya. Molekul yang kehilangan elektron ini dapat bersifat reaktif, terutama asam lemak tidak jenuh yang kemudian ditransformasikan menjadi radikal bebas yang sangat reaktif (Nabet 1996). Jika radikal bebas tidak diinaktivasi, reaktivitas radikal bebas ini dapat menimbulkan perubahan kimiawi dan merusak seluruh tipe makromolekul seluler seperti karbohidrat, protein, lipid, dan asam nukleat (Langseth 2000). Di samping radikal bebas (free radical), dikenal juga istilah reactive oxygen species (ROS), yaitu molekul yang bukan hanya merupakan radikal oksigen, tetapi juga beberapa turunan oksigen yang non radikal (Halliwell & Gutteridge 1999). Radikal bebas dan senyawa ROS dalam tubuh dapat menyebabkan oksidasi lipid, oksidasi protein, DNA strand break, modifikasi basa DNA, dan modulasi ekspresi genetik (Lee et al. 2004). Beberapa senyawa ROS yang penting dalam kehidupan makhluk hidup adalah : yang tergolong radikal bebas seperti radikal hidroksil (OH*), radikal superoksida (O2*), radikal nitrik oksida (NO*) dan radikal lipid peroksil (LOO*); serta yang tergolong non radikal seperti hidrogen peroksida (H2O2), singlet oksigen (1O2), asam hipoklorat (HOCl), dan ozon (O3) (Halliwell & Gutteridge 1999; Langseth 2000; Lee et al. 2004).

Tubuh manusia mempunyai beberapa mekanisme untuk bertahan terhadap radikal bebas selama zat pemusnahnya tersedia. Secara fisiologis, tubuh manusia mempunyai beberapa macam enzim dan senyawa non enzim tertentu yang berfungsi sebagai antioksidan. Antioksidan merupakan molekul yang dapat mengendalikan reaksi berantai radikal bebas dalam tubuh. Antioksidan biologis dapat dibagi berdasarkan proses enzimatik dan non-enzimatik. Antioksidan endogen terdiri atas enzim-enzim yang disintesis oleh tubuh seperti superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutathion peroksidase. Sedangkan antioksidan eksogen yang berasal dari luar tubuh termasuk antioksidan non-enzimatik, terbagi atas antioksidan larut lemak (α-tokoferol, karotenoid, quinon dan bilirubin) dan antioksidan larut air (asam askorbat, asam urat, protein pengikat logam, protein pengikat heme) (Halliwell & Gutteridge 1999). Pada keadaan patologik diantaranya akibat terbentuknya radikal bebas dalam jumlah berlebihan, enzim-enzim yang berfungsi sebagai antioksidan endogen dapat menurun aktivitasnya. Menurut

(13)

konsep radikal bebas, kerusakan sel akibat molekul radikal baru dapat terjadi apabila kemampuan mekanisme pertahanan tubuh sudah dilampaui atau menurun (Gitawati 1995).

Stres oksidatif adalah suatu kondisi yang berhubungan dengan peningkatan kecepatan kerusakan sel akibat induksi oksigen dan turunannya (senyawa spesies oksigen reaktif/ROS). Kerusakan sel terjadi akibat ketidakseimbangan antara pembentukan ROS dan aktivitas pertahanan enzim antioksidan (scavenger) (Fujii et al. 2003; Lee et al. 2004). Ketidakseimbangan terjadi ketika pembentukan radikal bebas melebihi sistem pertahanan, sistem pertahanan tidak mampu mendetoksifikasi radikal bebas, atau ketika terjadi penurunan proses detoksifikasi (Saleh & Agarwal 2002). Kondisi yang berhubungan dengan stres meliputi status penyakit kronis, penuaan, terekspos toksin (Sikka et al. 1995), infeksi, inflamasi, serta kasus infertilitas yang dapat meningkatkan proses oksidasi dan menyebabkan kerusakan sel (Saleh & Agarwal 2002). Situasi di mana terjadi perubahan keseimbangan karena berlebihnya ROS atau berkurangnya antioksidan yang berfungsi menetralisir ROS, merupakan status positif stres oksidatif (Sikka et al. 1995).

Sistem pertahanan tubuh terhadap senyawa radikal dibedakan menjadi sistem pertahanan preventif dan sistem pertahanan melalui mekanisme pemutusan reaksi rantai radikal bebas. Sistem pertahanan preventif dilakukan oleh antioksidan sekunder, sedangkan pemutusan reaksi berantai radikal bebas dilakukan oleh antioksidan primer (Nabet 1996). Menurut Gordon (1990), antioksidan primer merupakan substansi yang berperan sebagai akseptor radikal bebas sehingga dapat menghambat mekanisme radikal bebas pada proses oksidasi. Antioksidan ini juga disebut sebagai antioksidan pemecah rantai yang dapat bereaksi dengan radikal lipid dan mengubahnya menjadi bentuk yang lebih stabil. Contoh antioksidan primer antara lain tokoferol dan asam askorbat. Antioksidan sekunder atau antioksidan pelindung berperan dalam mereduksi kecepatan rantai inisiasi melalui berbagai mekanisme. Mekanisme antioksidannya dapat terjadi melalui pengikatan ion-ion logam, scavenger oksigen, dekomposisi hidroperoksida menjadi bentuk-bentuk non radikal, menyerap radiasi sinar ultra violet atau deaktivasi singlet oksigen. Contoh antioksidan sekunder antara lain asam sitrat dan turunan asam fosfat, karoten, enzim superoksida dismutase, katalase dan glutation peroksidase. Menurut Nabet (1996), pada sistem pertahanan preventif, pembentukan senyawa ROS dan radikal bebas dihambat dengan mengikat logam atau merusak pembentukannya. Sistem pengikatan logam tersebut terjadi dalam cairan ekstraseluler. Sebaliknya di dalam cairan intraseluler, senyawa ROS dan radikal bebas dirusak oleh sistem enzim.

(14)

Jadhav et al. (1996) menyatakan bahwa dalam cairan intraseluler, enzim yang berperan pada proses degradasi senyawa ROS meliputi enzim superoksida dismutase (SOD) yang mengkatalisis dismutasi radikal anion superoksida (O2*) menjadi H2O2 dan O2; enzim katalase mendegradasi H2O2 menjadi air dan oksigen; serta enzim glutation peroksidase yang mengkatalisis reduksi H2O2 menjadi H2O dengan menggunakan glutation tereduksi (GSH) dan glutation teroksidasi (GSSG) sebagai kofaktor. Nutrisi memainkan peranan kunci dalam menjaga pertahanan enzim tubuh terhadap radikal bebas. Beberapa mineral seperti Mn, Cu, Zn dan Se terlibat dalam aktivitas katalitik enzim antioksidan tersebut dan diperlukan untuk mengendalikan radikal bebas yang terbentuk pada tahap awal. Keempat mineral tersebut diperlukan dalam jumlah yang cukup dalam makanan. Antioksidan enzimatik yang bekerja intraseluler sebagian besar terdapat dalam mitokondria dan sitoplasma sel.

Enzim superoksida dismutase (SOD) merupakan metaloenzim. Menurut logam yang dikandungnya, dikenal tiga bentuk SOD yaitu Cu,Zn-SOD (Copper, Zinc-SOD) yang terdapat di dalam sitosol; Mn-SOD (Manganese-SOD) yang terdapat dalam mitokondria dan beberapa prokariot; serta Fe-SOD yang terdapat dalam prokariot dan beberapa spesies tanaman (Harris 1992). Aktivitas SOD total (unit/mg protein) pada beberapa organ tikus terdapat dalam jumlah yang bervariasi, jumlah tertinggi ditemukan dalam hati, kemudian berturut-turut jumlah tertinggi ke terendah ditemukan dalam kelenjar adrenalin, ginjal, jaringan lemak, jantung, lambung, limpa, eritrosit, otak, paru-paru, usus, ovarium, pankreas dan timus (Halliwell & Gutteridge 1999).

Hubungan Spesies Oksigen Reaktif dengan Kualitas Spermatozoa

Spesies oksigen reaktif (ROS) adalah produk metabolisme dan proses fisiologis yang normal. Anion superoksida dikeluarkan secara konstan oleh sel mamalia akibat proses oksidasi (Hellstrom et al. 1994; Tremellen 2008). Respirasi mitokondria merupakan sumber biologis utama dari radikal anion superoksida (Sanocka & Kurpisz 2004). Menurut de Lamirande et al. (1997) dan Taylor (2001), senyawa spesies oksigen reaktif seperti anion superoksida, hidrogen peroksida dan nitrik oksida pada konsentrasi rendah dan terkontrol memainkan peran penting terhadap fisiologi spermatozoa karena menginduksi dan bertindak sebagai perantara hiperaktivasi spermatozoa, proses kapasitasi, serta reaksi akrosom secara in vitro. Kondisi oksidatif ringan akibat rendahnya konsentrasi ROS juga dapat menstimulasi terikatnya spermatozoa ke zona pelusida (Taylor 2001).

Sekitar 50% asam lemak tidak jenuh yang ditemukan dalam sebuah sel spermatozoa adalah dokosaheksaenoat (DHA) (Aitken 1997; Halliwell & Gutteridge

(15)

1999). Membran plasma spermatozoa mamalia diketahui mengandung asam lemak tidak jenuh (Sanocka & Kurpisz 2004), sehingga membran plasma spermatozoa umumnya bersifat sangat rentan terhadap oksidasi asam lemak tidak jenuh (Hellstrom et al. 1994; Baker et al. 1996) dan berlebihnya pelepasan senyawa ROS (Sanocka & Kurpisz 2004). Karena spermatozoa dapat menghasilkan senyawa ROS seperti anion superoksida dan hidrogen peroksida yang berasal dari oksidasi NADPH di mitokondria, maka asam lemak tidak jenuh yang banyak terdapat dalam membran akan mudah mengalami peroksidasi lipid. Semua komponen lipid yang terdapat pada membran spermatozoa berperan pada proses pematangan spermatozoa, spermatogenesis, proses kapasitasi dan reaksi akrosom. Terjadinya peroksidasi lipid dapat mengganggu proses tersebut (Sanocka & Kurpisz 2004). Menurut Baker et al. (1996), walaupun produksi superoksida memainkan peran fisiologis dalam mengontrol kapasitasi spermatozoa, pengaruh patologis akibat berlebihnya senyawa ROS sebagian besar disebabkan oleh konversi anion superoksida menjadi hidrogen peroksida dan diinisiasi oleh peroksidasi lipid.

Terbentuknya peroksida lipid pada membran yang terjadi akibat reaksi berantai antara radikal bebas dengan asam lemak tidak jenuh menyebabkan perubahan struktur biologi membran sel sehingga mengubah kestabilan dan fungsi membran. Terjadinya proses peroksidasi pada spermatozoa akan diikuti oleh perubahan struktur membran spermatozoa. Hal tersebut akan mempengaruhi motilitas spermatozoa, sehingga motilitas spermatozoa menjadi berkurang. (Sanocka & Kurpisz 2004). Tremellen (2008) menyatakan bahwa kerusakan membran spermatozoa merupakan salah satu penyebab infertilitas pada pria. Kemampuan spermatozoa untuk mengadakan fertilisasi harus didukung oleh membran spermatozoa yang memiliki integritas (keutuhan) dan fluiditas (kelenturan) yang optimum. Integritas dan fluiditas membran berpengaruh terhadap proses kapasitasi, reaksi akrosom dan terjadinya fusi antara membran spermatozoa dengan membran ovum yang berlangsung di dalam tuba falopii. Selain itu, membran spermatozoa juga berperan dalam menjaga permeabilitas membran, yaitu kemampuan membran sel untuk mentranspor zat-zat dari dalam atau luar sel. Intregritas membran spermatozoa dan aktivitas fungsional membran spermatozoa penting untuk metabolisme spermatozoa yang akan menghasilkan energi untuk motilitas.

Menurut Taylor (2001), peningkatan peroksidasi lipid dan perubahan fungsi membran dapat menyebabkan disfungsi spermatozoa melalui gangguan metabolisme, motilitas dan reaksi akrosom; serta viabilitas spermatozoa (de Lamirande et al. 1997). Peroksidasi lipid dalam membran biologi menyebabkan gangguan fungsi membran dan menurunkan fluiditas membran (Sanocka & Kurpisz

(16)

2004). Tingginya konsentrasi hidrogen peroksida dapat menginduksi peroksidasi lipid dan menyebabkan kematian sel. Menurut Alvarez et al. (1987), proses peroksidasi lipid pada membran spermatozoa merupakan mekanisme kunci terhadap kerusakan spermatozoa, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kasus infertilitas. Hubungan antara ROS dengan gangguan fungsi spermatozoa seperti terjadinya penurunan motilitas, morfologi abnormalitas spermatozoa, serta berkurangnya fusi spermatozoa pada sel telur juga dilaporkan Taylor (2001). Tremellen (2008) menyatakan bahwa kasus infertilitas yang disebabkan oleh ROS terjadi melalui dua mekanisme utama, pertama ROS menyebabkan kerusakan membran plasma spermatozoa sehingga menurunkan motilitas spermatozoa dan kemampuan fusi spermatozoa dengan oosit, kedua ROS secara langsung menyebabkan kerusakan DNA spermatozoa.

Produksi ROS yang berlebih juga terbukti dapat mengganggu kualitas spermatozoa dalam semen/ejakulat dan diidentifikasi sebagai salah satu penyebab utama terjadinya disfungsi spermatozoa/infertilitas (Iwasaki & Gagnon 1992; Lewis et al. 1995; Kessopoulo et al. 1995). Pada pasien astenozoospermia yang memiliki gangguan motilitas spermatozoa, terjadi peningkatan konsentrasi ROS dalam seminal plasmanya. Menurut Suleiman et al. (1996), spermatozoa dari spesimen semen yang kualitasnya jelek memperlihatkan kecepatan peroksidasi yang lebih tinggi dan diimmobilisasi dengan cepat. Dilaporkan bahwa spermatozoa yang tidak motil lebih rentan terhadap peroksidasi lipid daripada satu spermatozoa motil.

Sebagai pembangkit energi adalah mitokondria pada bagian midpiece spermatozoa (mtDNA). Mitokondria merupakan sumber utama pembentuk senyawa ROS pada pria infertil (Plante et al. 1994 diacu dalam Saleh & Agarwal 2002). Tingginya pembentukan radikal bebas akan menghambat mekanisme seluler seperti respirasi mitokondria (de Lamirande & Gagnon 1992). Tidak sempurnanya respirasi mitokondria spermatozoa menyebabkan hilangnya mtDNA sehingga meningkatkan produksi radikal bebas, menyebabkan lebih banyak terjadi kerusakan oksidatif dan menurunkan fertilitas (Yakes & Van Houten 1997 diacu dalam Kao et al. 1998).

Morfologi spermatozoa yang abnormal lebih banyak menghasilkan senyawa ROS yang erat kaitannya dengan terjadinya infertilitas. Spermatozoa yang abnormal akibat tidak sempurnanya proses spermatogenesis merupakan sumber ROS dalam semen (Baker et al. 1996; Taylor 2001), dan diduga menjadi salah satu penyebab infertilitas (Sanocka & Kurpisz 2004). Menurut Sikka (2004), hubungan antara rendahnya kualitas spermatozoa dan peningkatan pembentukan senyawa ROS juga ditentukan oleh berlebihnya keberadaan residu/butiran sitoplasma (cytoplasmic droplet). Retensi residu sitoplasma pada spermatozoa

(17)

berkorelasi positif dengan pembentukan ROS (Saleh & Agarwal 2002). Berlebihnya butiran sitoplasma sebagai sumber ROS dilaporkan Taylor (2001) menyebabkan gangguan spermatogenesis. Butiran sitoplasma dan sel benih yang tidak matang (immature germ cells) juga merupakan pemicu terbentuknya radikal bebas yang akan menyebabkan stres oksidatif dan berperan dalam infertilitas pejantan (Saleh & Agarwal 2002; Sikka 2004; Tremellen 2008).

(18)

KADAR PEROKSIDA LIPID, AKTIVITAS SUPEROKSIDA DISMUTASE (SOD) TESTIS DAN PROFIL Cu,Zn-SOD TUBULI SEMINIFERI TESTIS TIKUS YANG DIBERI TEPUNG KEDELAI KAYA ISOFLAVON, SENG (Zn), DAN VITAMIN E

(The Effects of Isoflavone-riched Soybean Flour, Zinc (Zn ) and Vitamin E on Lipid Peroxide Level, Superoxide Dismutase (SOD) activity, and Profile of Cu,Zn-SOD

in the Seminiferous Tubules of Male Rats Testes)

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh tepung kedelai kaya isoflavon, seng (Zn) dan vitamin E terhadap kadar hormon testosteron serum dan jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi testis tikus jantan. Ransum basal kasein disusun secara isonitrogen dan isokalori dengan kadar protein ransum sebesar 15%. Tiga puluh ekor tikus jantan strain Sprague Dawley umur sapih (21 hari) dibagi dalam enam kelompok dan mendapat perlakuan tepung kedelai kaya isoflavon, seng dan vitamin E dengan kombinasi yang berbeda. Tepung kedelai kaya isoflavon dengan dosis isoflavon 3 mg/ekor/hari diberikan secara oral, sedangkan Zn 6.14 mg/kg ransum dan vitamin E 100 mg/kg ransum dicampur dalam ransum standar kasein. Perlakuan diberikan selama dua bulan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian tepung kedelai kaya isoflavon secara oral dengan dosis isoflavon 3 mg/ekor/hari, Zn 6.14 mg/kg ransum dan vitamin E 100 mg/kg ransum selama 2 bulan mampu menurunkan kadar MDA testis (2.80±0.15 nmol/g pada perlakuan kontrol negatif menjadi 1.89±0.06 nmol/g), mempertahankan aktivitas SOD testis tetap tinggi (882.4±19.24 U/g), serta mempertahankan kandungan Cu,Zn-superoxide dismutase (Cu,Zn-SOD) tubuli seminiferi testis pada sel spermatosit dan spermatid awal tetap tinggi melalui deteksi secara imunohistokimia. Disimpulkan bahwa interaksi secara sinergis antara tepung kedelai kaya isoflavon, Zn dan vitamin E dapat menghambat pembentukan peroksidasi lipid serta meningkatkan status antioksidan pada testis tikus.

Kata kunci : tepung kedelai kaya isoflavon, seng (Zn), vitamin E, peroksida lipid, aktivitas SOD, immunohistokimia

ABSTRACT

The objective of this experiment was to evaluate the effects of isoflavone-riched soybean flour, zinc (Zn) and vitamin E on MDA level, SOD activity, and profile of Cu,Zn-superoxide dismutase (Cu,Zn-SOD) of spermatogenic cells in the seminiferous tubules of male rats testes. Diet was given as isonitrogen and isocaloric with 15% of dietary protein from casein. Thirty male Sprague Dawley weaning rats (21 days old) were divided into six groups and treated with isoflavone-riched soybean flour, Zn and vitamin E in different combination. Isoflavone-isoflavone-riched soybean flour (3mg/day) was given by oral administration, whereas Zn and vitamin E were mixed with the basic diet. The treatment was conducted for 2 month. Results of the experiment indicated that oral administration of isoflavone-riched soybean flour (3 mg isoflavone/day), Zn (6.14 mg/kg of ration) and vitamin E (100 mg/kg of ration) for 2 months decreased the level of testes MDA (2.80±0.15 nmol/g of the negatif control compared to 1.89±0.06 nmol/g), recovered SOD activity of rat testes (882.4±19.24 U/g), and stability the content of Cu,Zn-superoxide dismutase (Cu,Zn-SOD) as indicated by immunohistochemical technique on spermatocytes and early spermatids cells of seminiferous tubules. It was concluded that synergic interaction between isoflavone-riched soybean flour, Zn and vitamin E prevented the formation of lipid peroxide and improved the antioxidant status of rat testes.

Key words : isoflavone-riched soybean flour, zinc (Zn), vitamin E, lipid peroxide, SOD

(19)

PENDAHULUAN

Peroksidasi lipid adalah reaksi penyerangan radikal bebas terhadap asam lemak tidak jenuh jamak (PUFA) yang mengandung sedikitnya tiga ikatan rangkap. Reaksi ini dapat terjadi secara alami di dalam tubuh yang diakibatkan oleh pembentukan radikal bebas secara endogen dari proses metabolisme di dalam tubuh. Peroksidasi lipid diinisiasi oleh radikal bebas seperti radikal anion superoksida, radikal hidroksil dan radikal peroksil. Radikal bebas secara berkesinambungan dapat dibuat oleh tubuh kita. Setiap radikal bebas yang terbentuk oleh tubuh dapat memulai suatu reaksi berantai yang akan terus berlanjut sampai radikal bebas ini dihilangkan oleh radikal bebas lain dan oleh sistem antioksidan tubuh (Halliwell & Gutteridge 1999).

Upaya meningkatkan status antioksidan dalam tubuh dapat dilakukan dengan mengkonsumsi bahan pangan alami yang mengandung antioksidan. Kedelai merupakan sumber antioksidan alami, mengandung komponen bioaktif isoflavon, dan termasuk salah satu golongan flavonoid. Aktivitas antioksidan flavonoid ditentukan oleh jumlah dan lokasi gugus hidroksil yang mampu mendonorkan ion hidrogen (Sugihara et al. 2001; Amic et al. 2002), dan sebagai scavenger radikal bebas yang terbentuk selama terjadi peroksidasi lipid (Arora et al. 1998; Nijveldt et al. 2001). Menurut Toda & Shirataki (1999), isoflavon kedelai mampu menstimulasi ekspresi Cu,Zn-SOD yang dapat melindungi sel dari serangan stres oksidatif, sehingga tidak terbentuk produk peroksidasi lipid yang berkepanjangan.

Vitamin E dan mineral Zn juga sangat diperlukan dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebagai antioksidan non-enzimatik, vitamin E merupakan donor ion hidrogen dan dapat mengubah radikal peroksil menjadi radikal tokoferol yang kurang reaktif sehingga tidak mampu menyerang rantai asam lemak (Therond et al. 1996). Zn merupakan mineral penting yang berperan pada berbagai reaksi enzimatis dalam tubuh, mampu mempertahankan sistem imun dan menstimulasi kerja enzim antioksidan. Salah satu enzim endogen yang sangat dipengaruhi oleh keberadaan Zn adalah Cu,Zn-superoksida dismutase (Cu,Zn-SOD), yaitu enzim antioksidan intraseluler yang mampu mengkatalisis reaksi dismutasi radikal anion superoksida (Oteiza et al. 1995).

Pengukuran kadar malonaldehida (MDA) sebagai salah satu produk akhir peroksidasi lipid yang terbentuk setelah aksi senyawa radikal digunakan sebagai indikator keberadaan radikal bebas dalam tubuh. Sejauh ini, belum pernah dilaporkan pengaruh isoflavon kedelai yang dikombinasikan dengan Zn dan vitamin E secara in vivo terhadap kadar MDA dan aktivitas SOD testis, serta profil

(20)

Cu,Zn-SOD pada tubuli seminiferi testis melalui deteksi secara imunohistokimia. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengevaluasi ada tidaknya pengaruh sinergi antara tepung kedelai kaya isoflavon, Zn dan vitamin E terhadap kadar peroksida lipid dan aktivitas SOD testis, serta profil Cu,Zn-SOD pada tubuli seminiferi testis tikus.

BAHAN DAN METODE

Bahan Penelitian

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian adalah tepung kedelai kaya isoflavon (TKI) dari perusahaan SoyLife Extra ORFFA BELGIUM NV, Ambachtsstraat 6-B-1840 LONDERZEEL; seng sulfat (ZnSO4.7H2O), dan dl-α -tokoferol asetat (Merck). n-heksana digunakan untuk mengurangi lemak pada TKI sehingga diperoleh TKI rendah lemak (RL). Pengukuran kadar isoflavon TKI-RL dilakukan dengan HPLC menggunakan asetonitril, metanol, asam asetat, standar senyawa isoflavon seperti genistein, daidzein dan glisitein; sedangkan aktivitas antioksidan TKI-RL diukur dengan buffer Tris-HCl, metanol, 1,1-diphenyl-2-picryl hydrazyl (DPPH), etanol dan vitamin E/α-tokoferol (Sigma).

Untuk studi in vivo, digunakan tikus jantan strain Sprague Dawley (SD) umur 21 hari dari PT Indoanilab Bogor. Bahan penyusun ransum adalah kasein, mineral mix, vitamin mix, minyak jagung, selulosa, air dan pati jagung/maizena. Analisis kadar malonaldehida (MDA) testis menggunakan fosfat buffer saline (PBS), HCl, asam tiobarbiturat (TBA), asam trikloroasetat (TCA), BHT, dan 1,1,3,3-tetraetoksipropana (TEP); aktivitas enzim SOD testis menggunakan SOD murni komersial, xantin, xantin oksidase, sitokrom C, buffer fosfat, kloroform dan etanol.

Bahan kimia untuk pembuatan preparat jaringan testis dan proses pewarnaan secara imunohistokimia antara lain NaCl, larutan fiksatif bouin, alkohol, xylol, parafin, neofren, toluen, phosphat buffer saline (PBS), destilated water (DW), H2O2, metanol, goat serum albumin (GSA), antibodi monoklonal copper,zinc-superoksida dismutase (Cu,Zn-SOD) (Sigma S2147), dako envision peroksidase system (DEPS) (Dako K1491), diaminobenzidine (DAB), dan hematoksilin.

(21)

Metode Penelitian

Pembuatan Tepung Kedelai Kaya Isoflavon Rendah Lemak (TKI-RL)

Ekstraksi tepung kedelai kaya isoflavon (TKI) dilakukan dengan alat Soxhlet menggunakan pelarut n-heksana. TKI ditempatkan dalam kertas saring whatman dan dimasukkan ke dalam kolom yang berisi pelarut. Kondensor diletakkan di bagian atas sampel sedangkan labu pelarut berhubungan langsung dengan sumber panas (waterbath). Ekstraksi TKI dilakukan secara kontinyu selama 9 jam pada suhu waterbath 80oC. Residu TKI dalam kertas saring dikeringanginkan selama 6 jam, kemudian dilanjutkan dengan pengeringan menggunakan oven vakum pada T 40oC selama 12 jam sehingga diperoleh tepung kedelai kaya isoflavon rendah lemak (TKI-RL). Selanjutnya terhadap TKI-RL dilakukan analisis kandungan isoflavon dengan HPLC, serta uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH untuk mengetahui nilai IC50 dibandingkan dengan vitamin E (α-tokoferol).

Analisis Kandungan Isoflavon TKI-RL (Balai Besar Penelitian & Pengembangan Pascapanen Pertanian 2005)

Sebanyak ± 2 g TKI-RL dikeringkan dalam oven 40oC ± 6 jam, diekstrak 3 kali dengan metanol absolut masing-masing 50 ml. Hasil ekstrak diinkubasi 0oC selama 24 jam untuk menggumpalkan lemaknya. Lemak yang ada dipisahkan melalui penyaringan dengan pompa vakum yang dilapisi kertas saring. Filtrat yang diperoleh selanjutnya diuapkan dengan rotavapor pada suhu 40 oC. Sebanyak 0.5 g ekstrak kering dilarutkan dalam 10 ml metanol absolut, kemudian disentrifuse 4000 rpm selama 20 menit untuk mendapatkan filtrat yang bening dan memisahkan endapan yang terbentuk. Filtrat yang bening disaring dengan kertas saring millipore dan siap dianalisis dengan HPLC.

Identifikasi senyawa isoflavon menggunakan standar daidzein, genistein dan glisitein. 5 μl filtrat diinjek dengan mikroinjektor, berikutnya dipisahkan di kolom berdasarkan perbedaan polaritas. Komponennya dideteksi oleh detektor pada λ

254 nm dan dimunculkan dalam bentuk peak berdasarkan waktu retensi pada integrator.

HPLC yang digunakan berada pada kondisi sebagai berikut : Volume sampel : 5 μl

Kolom : C18 μbondapak (3.9 x 150 nm) Eluen : Asam asetat 30% dan asetonitril

Detektor : UV 254 nm

Kecepatan alir : 1 ml/menit

(22)

Integrator : Shimadzu C-R3A Chromatopac

Pengukuran Aktivitas AntioksidanTKI-RL (Mimura 2003)

1 g TKI-RL diekstrak dalam 50 ml metanol 80% dengan dishaker pada 240 rpm, 250C selama 24 jam, lalu disaring. Residu diekstrak lagi dengan prosedur yang sama sebanyak 2 kali sehingga diperoleh hasil ekstraksi 150 ml, kemudian dipekatkan dengan rotary evaporator sampai volume akhir 9 ml. Ekstrak hasil pemekatan ditambah metanol 80% sampai volumenya 10 ml.

Buffer Tris-HCl 100 mM ditambahkan dalam larutan sampel (dibuat dengan berbagai konsentrasi sehingga memberikan nilai IC50 yaitu konsentrasi ekstrak yang memberikan persen penangkapan radikal sebanyak 50% melalui persamaan garis regresi linier), ditambah 1 ml larutan DPPH 0.2 mM dan divorteks, kemudian diinkubasi 250C dalam ruang gelap selama 20 menit. Absorbansi diukur pada

λ

517 nm. Hasil aktivitas antioksidan TKI-RL dibandingkan dengan vitamin E. Aktivitas antioksidan (%) = Aa– (Ab – Ac) x 100%

Aa Aa = absorbansi DPPH tanpa sampel

Ab = absorbansi campuran sampel dan DPPH Ac = absorbansi sampel tanpa DPPH

Perlakuan Hewan Percobaan (in vivo) dan Sampling

Sebanyak 30 ekor tikus jantan SD umur sapih (21 hari) terlebih dahulu diadaptasikan di lingkungan laboratorium tempat percobaan selama 1 minggu. Ransum ransum basal kasein disusun secara isonitrogen dan isokalori dengan kadar protein 15%, modifikasi AOAC (1990) dan diberikan secara ad libitum. Bahan penyusun ransum tikus jantan adalah kasein, mineral mix, vitamin mix, minyak jagung, selulosa, air dan pati jagung/maizena. Setelah masa adaptasi, tikus jantan dibagi dalam 6 kelompok, yaitu : (1) Kontrol negatif (K - / tanpa cekok TKI-RL, Zn dan vitamin E); (2) Cekok aquades, tanpa RL; dengan Zn dan vitamin E (ZE) ; (3) Cekok TKI-RL (I); (4) Cekok TKI-TKI-RL dan Zn (IZ); (5) Cekok TKI-TKI-RL dan vitamin E (IE); dan (6) Cekok TKI-RL, Zn dan vitamin E (IZE). Setiap kelompok perlakuan pada tikus jantan terdiri dari lima ekor tikus (n=5). Penentuan jumlah tikus per kelompok ditetapkan berdasarkan rumus Federer (n-1)(p-1)≥15, di mana : n = jumlah ulangan per kelompok, p = banyaknya perlakuan.

TKI-RL diberikan dengan dosis isoflavon 3 mg/ekor/hari (ditetapkan berdasarkan hasil penelitian Astuti (1999), melalui kajian tepung tempe terhadap fertilitas tikus jantan). TKI-RL diberikan dengan cara dicekok menggunakan sonde lambung dengan melarutkan TKI-RL dalam 1 ml aquades, sedangkan Zn dan vitamin

(23)

E dicampurkan ke dalam ransum. Perhitungan jumlah TKI-RL yang dicekok pada tikus jantan perlakuan sehingga diperoleh dosis isoflavon 3 mg/ekor/hari didasarkan pada pengukuran kandungan total isoflavon TKI-RL dengan HPLC. Pemberian Zn (elemental) sebesar 6.14 mg/kg ransum dihitung dari 27 mg ZnSO4.7H2O/kg ransum, sedangkan vitamin E yang ditambahkan sebanyak 100 mg/kg ransum. Setelah 2 bulan masa perlakuan, tikus masing-masing kelompok (n=5) dikorbankan dengan dipatahkan tulang leher (dislocasio cervicalis). Bagian testis dikoleksi dan dilakukan pengamatan terhadap kadar MDA, aktivitas SOD, serta kandungan Cu,Zn-SOD.

Formulasi ransum tikus jantan per 100 g ransum berdasarkan modifikasi AOAC (1990) disusun sebagai berikut :

PERLAKUAN KOMPOSISI

BAHAN K - ZE I* IZ* IE* IZE*

Kasein (g) 16.64 16.64 16.64 16.64 16.64 16.64 Minyak jagung (g) 7.91 7.91 7.91 7.91 7.91 7.91 Mineral mix (g) ZnSO4.7H2O (mg) 4.35 - 4.35 2.7 4.35 - 4.35 2.7 4.35 - 4.35 2.7 Vitamin mix (g) Asam folat (mg) Vitamin K (mg) Vitamin E (mg) 1 30 5 - 1 30 5 50 1 30 5 - 1 30 5 - 1 30 5 50 1 30 5 50 Selulosa 0.99 0.99 0.99 0.99 0.99 0.99 Air 4.28 4.38 4.38 4.38 4.38 4.38 Pati 64.83 64.83 64.83 64.83 64.83 64.83 Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

Ket : * : I = Cekok TKI-RL dengan dosis isoflavon 3 mg/ekor/hari

Pengukuran Kadar MDA (Singh et al. 2002)

Sebanyak ± 0.5 g testis segar dicacah dalam kondisi dingin dalam 2.5 ml larutan PBS (phosphat buffer saline) yang mengandung 11.5 g/L KCl. Homogenat disentrifugasi dua kali pada 4000 rpm selama 10 menit. 1 ml supernatan jernih ditambah 4 ml HCl dingin (0.25N) yang mengandung 15% TCA, 0.38% TBA, dan 0.5% BHT. Campuran dipanaskan 80oC selama 1 jam. Setelah dingin, campuran disentrifugasi 3500 rpm selama 10 menit. Absorbansi supernatan diukur pada

λ

532 nm. Sebagai larutan standar digunakan TEP.

Pengukuran Aktivitas SOD (Mc Cord & Fridovich 1969; Nebot et al. 1993)

Sebanyak ± 0.5 g testis segar yang telah dihaluskan, ditambah 1 ml buffer fosfat pH 7.4, disentrifugasi pada 10000 rpm, 4oC, selama 20 menit, kemudian diambil bagian cairannya (lisat). Sebanyak 800 µl larutan kloroform/etanol dingin 37.5/62.5 (v/v) ditambahkan ke dalam 300 µl lisat, divorteks 30 detik dan disentrifugasi pada 5000 rpm, 4oC, selama 10 menit. Supernatan disimpan pada 2-8oC sampai saat akan dianalisis.

(24)

Larutan standar dibuat dengan melarutkan SOD murni komersial sehingga menghasilkan beberapa konsentrasi larutan untuk pembuatan kurva standar. Pengukuran aktivitas enzim ini berlangsung pada suhu 25oC, larutan xantin oksidase harus tetap dalam keadaan dingin sebelum digunakan. Sebanyak 2.9 ml campuran larutan xantin dan sitokrom c dimasukkan dalam tabung reaksi 3 ml, ditambah 50 µl larutan baku (kontrol) atau sampel dan divorteks secara perlahan. Selanjutnya ditambah 50 µl larutan xantin oksidase dan divorteks secara perlahan. Absorbansi diukur dengan spektrofotometer pada

λ

550 nm. Untuk blanko digunakan buffer fosfat sebagai pengganti sampel dan sebagai kontrol digunakan aquades.

Pengamatan Profil Cu,Zn-SOD pada Tubuli Seminiferi Testis (Imunohistokimia) (Wresdiyati et al. 2002)

Organ testis dicuci dengan NaCl fisiologis 0.9%, difiksasi dalam larutan Bouin selama 24 jam. Jaringan testis kemudian diproses dengan metode standar menggunakan parafin. Blok jaringan yang didapat dipotong ± 4 µm dan dilekatkan pada gelas obyek yang telah dilem dengan neofren, sehingga diperoleh potongan jaringan (sediaan). Selanjutnya dilakukan proses pewarnaan Imunohistokimia terhadap potongan jaringan yang diperoleh (Lampiran 9).

Pewarnaan imunohistokimia dilakukan untuk mengamati profil antioksidan Cu,Zn-SOD pada sel spermatogenik tubuli seminiferi testis tikus. Keberadaan kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD terlihat dengan produk reaksi warna coklat. Intensitas warna coklat menunjukkan kandungan Cu,Zn-SOD. Semakin tua warna coklat, semakin banyak kandungan Cu,Zn-SOD. Sel yang tidak mengandung enzim Cu,Zn-SOD atau bereaksi negatif ditunjukkan dengan warna biru. Pengamatan dilakukan secara kuantitatif terhadap jumlah inti sel spermatosit dan spermatid awal pada berbagai tingkat kandungan Cu,Zn-SOD (positif kuat/+++, positif sedang/lemah ++/+, dan negatif/-). Pengamatan dilakukan pada sembilan tubuli seminiferi untuk tiap perlakuan.

Analisis Data

Data diolah dengan uji sidik ragam menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap parameter yang diuji. Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan, data yang menunjukkan pengaruh nyata selanjutnya diuji dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT).

(25)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan Isoflavon dan Aktivitas Antioksidan Tepung Kedelai Kaya Isoflavon Rendah Lemak (TKI-RL)

Pengurangan lemak pada tepung kedelai kaya isoflavon (TKI) dilakukan dengan cara mengekstraksi TKI dengan Soxhlet menggunakan pelarut n-heksana, sehingga diperoleh tepung kedelai kaya isoflavon rendah lemak (TKI-RL). Pengukuran kandungan total senyawa isoflavon TKI-RL dengan HPLC dalam bentuk aglikon, yaitu flavonoid yang tidak terikat oleh gugus gula. Hasil analisis menunjukkan tiga komponen senyawa isoflavon pada TKI-RL yaitu daidzein, genistein, dan glisitein (Tabel 3.1), yang digunakan sebagai dasar perhitungan untuk pemberian TKI-RL pada tikus jantan secara in vivo.

Tabel 3.1. Hasil analisis kuantitatif senyawa isoflavon pada TKI-RL

Tepung kedelai kaya isoflavon rendah lemak (TKI-RL) Komponen g/100 g bb g/100 g bk Daidzein 1.03 1.09 Genistein 0.51 0.54 Glisitein 0.68 0.72 Total isoflavon 2.22 2.35

Pengujian aktivitas antioksidan dengan metode DPPH berdasarkan transfer elektron dengan mengukur kapasitas antioksidan dalam mereduksi oksidan (radikal bebas DPPH). Pada reaksi tersebut terjadi perubahan warna dan tingkat perubahan warna berhubungan dengan konsentrasi antioksidan yang terkandung dalam sampel. Aktivitas antioksidan isoflavon yang terkandung dalam TKI-RL diukur dari kemampuan isoflavon untuk mendonorkan elektron kepada radikal bebas stabil DPPH yang berwarna ungu sehingga tereduksi menjadi DPPH-H yang berwarna kuning atau tidak berwarna (Nenadis & Tsimidou 2002). Kapasitas penangkapan radikal bebas diperlihatkan dengan persentase berkurangnya warna ungu dari DPPH (Kim 2005). Warna ungu radikal bebas DPPH akan semakin memudar dengan semakin tinggi kapasitas antioksidan pada sampel, sehingga nilai absorbansi semakin menurun.

IC50 merupakan parameter yang menunjukkan konsentrasi ekstrak uji yang mampu menangkap radikal bebas sebanyak 50%, diperoleh melalui persamaan regresi linier. Semakin kecil nilai IC50 suatu senyawa uji, senyawa tersebut semakin aktif sebagai anti radikal bebas atau menunjukkan kemampuan menangkap radikal bebas yang semakin tinggi. Sebagai pembanding digunakan vitamin E yang sudah diketahui sebagai anti radikal bebas dan merupakan senyawa fenolik alami yang berfungsi sebagai scavenger radikal bebas (Pokorny et al. 2001). Hasil penelitian

(26)

menunjukkan nilai IC50 vitamin E sebesar 8.27 μg/ml, sedangkan nilai IC50 TKI-RL sebesar 51.96 μg/ml. Nilai IC50 vitamin E yang lebih kecil dibandingkan nilai IC50 TKI-RL menunjukkan bahwa vitamin E merupakan anti radikal bebas yang lebih efektif apabila dibandingkan dengan TKI-RL yang diuji, karena vitamin E mampu menangkap radikal bebas sebanyak 50% pada konsentrasi yang lebih rendah dibandingkan TKI-RL. Hasil ini sejalan dengan pendapat Buettner (1993) diacu dalam Muchtadi (2008), yang menyatakan bahwa suatu senyawa memiliki potensi antioksidan lebih tinggi dan mampu mencegah oksidasi lipid apabila mempunyai nilai potensial reduksi standar 1-elektron lebih rendah dari 600 mV (lebih rendah dari potensial reduksi PUFA). Dilaporkan lebih lanjut bahwa vitamin E (α-tokoferol) memiliki potensial reduksi sebesar 480 mV, sedangkan flavonoid/katekol (isoflavon termasuk salah satu golongan flavonoid) memiliki potensial reduksi 530 mV. Walaupun nilai IC50 TKI-RL lebih tinggi dibandingkan vitamin E, isoflavon yang terkandung dalam TKI-RL berfungsi sebagai antioksidan karena nilai potensial reduksi senyawa isoflavon lebih rendah daripada potensial reduksi PUFA.

Aktivitas antioksidan isoflavon ditentukan oleh jumlah dan posisi gugus hidroksil (Amic et al. 2002). Dua mekanisme isoflavon sebagai antioksidan yaitu : mendonorkan ion hidrogen dan bertindak sebagai scavenger radikal bebas secara langsung (Nijveldt et al. 2001). Struktur meta 5,7-dihidroksil pada cincin A menunjukkan kemampuan isoflavon untuk berperan sebagai donor ion hidrogen sehingga terbentuk senyawa yang lebih stabil dan terbentuk radikal fenoksil yang kurang reaktif (Oteiza et al. 2005), sedangkan gugus 4’-hidroksil pada cincin B senyawa isoflavon berperan sebagai scavenger senyawa ROS (Pokorny et al. 2001). Menurut Heim et al. (2002), gugus hidroksil pada cincin B senyawa isoflavon dapat mendonorkan ion hidrogen dan mendonorkan sebuah elektron pada radikal hidroksil dan peroksil; menstabilkan radikal tersebut serta membentuk radikal isoflavon yang relatif lebih stabil. Castelluccio et al. (1996) menyatakan bahwa antioksidan senyawa flavonoid dapat mendonorkan hidrogen pada radikal bebas sehingga menghasilkan radikal stabil berenergi rendah yang berasal dari senyawa flavonoid yang kehilangan atom hidrogen. Radikal antioksidan yang terbentuk menjadi lebih stabil melalui proses resonansi dalam struktur cincin aromatiknya, sehingga tidak mudah untuk terlibat pada reaksi radikal yang lain (Lee et al. 2004).

Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar MDA Testis, Aktivitas Superoksida Dismutase (SOD) Testis, dan Profil Cu,Zn-SOD Tubuli Seminiferi Testis Tikus

Malonaldehida (MDA) merupakan salah satu produk akhir peroksidasi lipid yang terbentuk setelah aksi senyawa radikal sehingga digunakan sebagai indikator keberadaan radikal bebas dalam tubuh dan indikator kerusakan oksidatif membran

(27)

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 K - ZE I IZ IE IZE Perlakuan M D A T e s tis ( n m o l/g ) d c c c b a

sel. Perbedaan nilai MDA terkait dengan proses oksidasi yang terjadi. Rerata nilai MDA testis akibat perbedaan perlakuan pada tikus jantan disajikan pada Gambar 3.1, sedangkan rerata aktivitas SOD testis disajikan pada Gambar 3.2.

Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada keenam perlakuan menunjukkan adanya perbedaan nyata (p<0.05)

K - = tanpa cekok TKI-RL, Zn dan vitamin E

ZE = cekok aquades, tanpa TKI-RL; dengan Zn dan vitamin E I = cekok TKI-RL; tanpa Zn dan vitamin E

IZ = cekok TKI-RL dan Zn; tanpa vitamin E IE = cekok TKI-RL dan vitamin E; tanpa Zn IZE = cekok TKI-RL, Zn dan vitamin E

Gambar 3.1. Kadar MDA testis tikus dengan berbagai perlakuan

0.0 200.0 400.0 600.0 800.0 1000.0 K - ZE I IZ IE IZE Perlakuan S O D T e s tis (U /g ) a b b c d b

Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada keenam perlakuan menunjukkan adanya perbedaan nyata (p<0.05)

K - = tanpa cekok TKI-RL, Zn dan vitamin E

ZE = cekok aquades, tanpa TKI-RL; dengan Zn dan vitamin E I = cekok TKI-RL; tanpa Zn dan vitamin E

IZ = cekok TKI-RL dan Zn; tanpa vitamin E IE = cekok TKI-RL dan vitamin E; tanpa Zn IZE = cekok TKI-RL, Zn dan vitamin E

Gambar 3.2. Aktivitas superoksida dismutase (SOD) testis tikus dengan berbagai perlakuan

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa peningkatan kadar MDA diikuti dengan penurunan aktivitas antioksidan intrasel (enzim SOD), sebaliknya penurunan kadar MDA memperlihatkan peningkatan aktivitas antioksidan intrasel. Pengukuran aktivitas enzim superoksida dismutase (SOD) testis tikus dilakukan berdasarkan pengukuran enzim secara tidak langsung menggunakan metode spektrofotometri

(28)

secara kuantitatif. Sebagai data pendukung, dilakukan juga pengamatan terhadap keberadaan dan kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD pada tubuli seminiferi testis tikus melalui produk reaksi yang berwarna coklat, yaitu pengamatan histologis dengan pewarnaan secara imunohistokimia. Intensitas dan distribusi warna coklat menunjukkan kandungan Cu,Zn-SOD pada jaringan tersebut. Apabila warna coklat semakin tua dan semakin merata, berarti kandungan Cu,Zn-SOD semakin banyak. Sel yang tidak mengandung enzim Cu,Zn-SOD atau bereaksi negatif ditunjukkan dengan warna biru. Pada Gambar 3.3. disajikan fotomikrograf jaringan testis tikus perlakuan yang diwarnai secara imunohistokimia terhadap Cu,Zn-SOD.

a. spermatogonia c. spermatid awal b. spermatosit d. spermatid akhir

Gambar 3.3. Fotomikrograf tubuli seminiferi testis tikus kelompok ZE yang diwarnai secara imunohistokimia terhadap Cu,Zn-SOD. Sel-sel yang terdeteksi mengandung Cu,Zn-SOD adalah sel spermatosit dan spermatid awal (coklat), sedangkan sel spermatogonia dan spermatid akhir tidak mengandung Cu,Zn-SOD (biru). Skala = 25 µm

Kandungan Cu,Zn-SOD diamati pada tahap spermatosit dan spermatid awal karena produk reaksi warna coklat lebih banyak terdistribusi pada tahap tersebut. Hal ini didukung oleh Yoganathan et al. (1989) diacu dalam Peltola et al. (1992), yang melaporkan bahwa pada tubuli seminiferi testis tikus, aktivitas SOD yang lebih tinggi ditemukan pada sel spermatosit dan spermatid awal. Sedangkan Bauche et al. (1994) melaporkan bahwa aktivitas enzim SOD tertinggi ditemukan pada spermatosit pachytene dan spermatid awal, yaitu lebih tinggi sebesar 38-56% dibandingkan sel Sertoli dan sel Leydig. Dalam penelitian ini, hasil pengamatan terhadap sel

b

c

d

a

Referensi

Dokumen terkait

Sudah dilakukan penelitian mengenai perilaku deformasi aksial dari pipa berpenampang persegi yang umum digunakan untuk komponen penyerap energi pada kendaraan[4]

Pada beban luluh awal, kurva beban lendutan pada pengujian ini adalah tetap datar dan deformasi yang sangat besar terjadi, seperti didalam kejadian pembebanan dua

[r]

Sedangkan Sikap sosial terhadap teman yang merupakan pengaruh atau hasil dari siswa mengikuti pengkajian kitab yaitu terlihat ketika siswa sedang berinteraksi dengan temannya,

Maka dari itu penulis mencoba membuat inovasi baru untuk sistem informasi geografis pemetaan tempat wisata di Berastagi yang tertuju untuk semua wisatawan lokal

bahwa jumlah leukosit meningkat pada awal fase akut stroke yang. merupakan prediktor independent yang signifikan pada

Juga memerintahkan agar menjaga farjinya (kemaluannya) dari perzinaan dan menutup auratnya hingga tidak terlihat oleh siapa pun, sehingga hatinya menjadi lebih bersih

Salah satu contoh adalah kasus penjualan obat keras atau sering disebut obat daftar G tanpa adanya resep dokter yang dilakukan oleh beberapa apotek di kota