• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR ISI. Indonesian National Assessment Program (INAP)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAFTAR ISI. Indonesian National Assessment Program (INAP)"

Copied!
215
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

DAFTAR ISI DAFTAR ISI ... ii PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Tujuan ... 4 C. Ruang Lingkup ... 5 D. Manfaat ... 5 LANDASAN TEORI ... 6

A. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) ... 6

1. Metode Ilmiah sebagai Pangkal Kelahiran IPA ... 6

2. Pengertian IPA ... 7

3. Hakikat IPA ... 9

4. Ruang Lingkup IPA ... 12

B. Model 3PL ... 19

1. Teori Respons Butir pada Data Dikotomi... 19

2. Teori Respons Butir pada Data Politomi ... 20

3. Kecocokan Model ... 23

C. Analisis Instrumen Penilaian ... 26

D. Karakteristik Butir Soal ... 26

1. Tingkat Kesukaran ... 26

2. Daya Beda ... 29

E. Ragam Bentuk Soal ... 30

1. Soal Bentuk Uraian ... 30

2. Soal Bentuk Objektif ... 33

F. Variabel yang Diukur ... 36

1. Pengetahuan dan Keterampilan ... 36

2. Latar Belakang Peserta Didik, Guru, dan Sekolah ... 37

G. Materi IPA SD ... 38 H. Strategi Asesmen ... 38 I. Siklus Asesmen ... 39 METODOLOGI PENELITIAN ... 41 A. Target Populasi ... 41 B. Sampel ... 41 C. Instrumen Penelitian ... 41

D. Strategi Pengumpulan Data ... 44

E. Kerangka Kerja Pengembangan Instrumen ... 44

F. Pelaksanaan Kegiatan Survei ... 46

KEMAMPUAN IPA SISWA DAN KARAKTER BUTIR ... 51

A. Kemampuan IPA Siswa ... 51

B. Siswa DIY dan Kaltim Terhadap Benchmark Internasional ... 54

C. Karakter butir soal INAP nasional dibandingkan dengan soal internasional 56 D. Contoh Butir-butir Soal INAP yang Setara dengan Soal Internasional ... 63

LATAR BELAKANG SISWA DAN NILAI IPA ... 78

A. FAKTOR DIRI SISWA DAN KELUARGA ... 78

(3)

iii

C. FAKTOR KEGIATAN DI WAKTU LUANG/LIBUR ... 102

D. PERSEPSI SISWA MENGENAI SEKOLAH ... 105

E. PERSEPSI SISWA MENGENAI MATA PELAJARAN ... 108

LATAR BELAKANG GURU DAN NILAI IPA ... 137

A. KARAKTERISTIK GURU SAMPEL ... 137

B. FAKTOR PENGALAMAN MENGAJAR ... 149

C. PENGGUNAAN KOMPUTER DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA 158 D. FAKTOR KEADAAN SEKOLAH ... 162

E. FAKTOR SISWA DAN PEMBELAJARAN ... 167

LATAR BELAKANG SEKOLAH DAN NILAI IPA ... 176

A. IDENTITAS DIRI KEPALA SEKOLAH ... 176

B. DEMOGRAFI SEKOLAH ... 183

C. SUMBER DAYA GURU ... 186

D. KEADAAN BANGUNAN ... 190

E. SARANA FASILITAS SEKOLAH ... 192

F. PENGAWAS SEKOLAH ... 196

G. PEMBELAJARAN ... 197

H. IKLIM SEKOLAH ... 202

KESIMPULAN DAN SARAN ... 207

A. KESIMPULAN ... 207

B. SARAN ... 208

(4)
(5)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mutu sumber daya manusia merupakan faktor yang sangat menentukan bagi kemajuan dan kemakmuran suatu bangsa. Pengalaman di banyak negara menunjukkan, mutu sumber daya manusia yang baik lebih penting daripada sumber daya alam yang melimpah. Mutu sumber daya manusia yang baik hanya dapat diwujudkan dengan pendidikan yang baik dan bermutu. Oleh karena itu, upaya peningkatan mutu pendidikan merupakan hal yang tidak dapat ditawar dalam rangka meningkatkan mutu SDM bangsa Indonesia yang siap dan mampu bersaing dalam pergaulan dan pasar kerja global saat ini.

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa permasalahan pendidikan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan memperlihatkan berbagai kendala yang meng-hambat tercapainya tujuan pendidikan seperti diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Rendahnya mutu pendidikan ini dapat terlihat dari berbagai indikator mikro, seperti: hasil studi Trends in International Mathematic and Science Study (TIMSS), yang bertujuan mengetahui perkembangan matematika dan sains peserta didik usia 13 tahun (SMP/MTs kelas VIII) belum menunjukkan prestasi yang memuaskan. Peserta didik Indonesia dalam kemampuan matematika pada tahun 1999 hanya mampu menempati peringkat 34 dari 38 negara, kemampuan dalam bidang sains berada di urutan ke 32. Pada tahun 2003 kemampuan matematika peserta didik Indonesia berada pada peringkat 35 dari 46 negara, sedangkan untuk kemampuan dalam bidang sains berada di urutan ke 37. Selanjutnya, pada tahun 2007 prestasi Indonesia tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan, yaitu kemampuan matematika berada pada peringkat 36 dari 48 negara dan kemampuan sains berada pada peringkat 35.

Keprihatinan yang sama dapat dilihat dalam laporan studi Programme for International Student Assessment (PISA). Pada tahun 2000 prestasi literasi membaca (reading literacy) bagi peserta didik Indonesia usia 15 tahun berada

(6)

pada peringkat 39 dari 41 negara, prestasi literasi matematika (mathematical literacy) berada pada peringkat 39, dan prestasi literasi sains (scientific literacy) berada pada peringkat 38. Pada tahun 2003, untuk literasi membaca peserta didik Indonesia berada di peringkat 39 dari 40 negara peserta, literasi matematika berada di peringkat 38, dan untuk literasi sains berada pada peringkat 38. Pada tahun 2006 prestasi literasi membaca peserta didik Indonesia berada pada peringkat 48 dari 56 negara, literasi matematika berada pada peringkat 50 dari 57 negara, dan literasi sains berada pada peringkat 50 dari 57 negara.

Hasil studi PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study) tahun 2006 dalam bidang membaca pada anak-anak kelas IV sekolah dasar di seluruh dunia di bawah koordinasi The International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA) yang diikuti 45 negara/negara bagian, baik berasal dari negara maju maupun dari negara berkembang, memperlihatkan bahwa peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke 41.

Secara nasional, mutu prestasi peserta didik kelas IX SMP/MTs, kelas XII SMA/MA berdasarkan ujian nasional (UN) masih sangat bervariasi dilihat dari rata-rata nasional setiap mata pelajaran. Hasil UN baik pada tahun 2006, 2007, maupun 2008 menunjukkan rentang nilai terendah dan tertinggi masih di atas 9 dari skala 10; yang menunjukkan bahwa perbedaan peserta didik kemampuan terendah dan kemampuan tertinggi masih terlampau jauh.

Standar deviasi hasil UN dari tahun ke tahun pun menunjukkan peningkatan yang berarti keragaman nilai semakin bervariasi. Sebagai contoh mata pelajaran matematika; pada tahun 2006 untuk jenjang SMP/MTs standar deviasi meningkat dari 1,10 menjadi 1,61 di tahun 2008, dan untuk jenjang SMA/MA, standar deviasi meningkat dari 0,90 di tahun 2006 menjadi 1,58 di tahun 2008. Keberagaman ini menunjukkan lebarnya penyebaran kemampuan matematika peserta didik di tahun 2008 dibandingkan tahun 2006. Rerata nilai matematika dan bahasa Indonesia di tingkat SMP/MTs-pun menunjukkan trend penurunan.

Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan perlu dilakukan pemantauan mutu pendidikan secara periodik dan sistematik agar diperoleh hasil yang lebih

(7)

3 menyeluruh dari permasalahan yang dihadapi, sehingga kebijakan yang diambil dapat sinkron dengan permasalahan yang ada dan dapat menjawab pertanyaan yang sering muncul sehubungan dengan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia. Hasil pemantauan mutu yang dilakukan secara periodik dan sistematik ini juga dapat mendiagnosa sehat tidaknya sistem pendidikan yang sedang berlaku, baik di tingkat nasional maupun provinsi/kabupaten/ kota. Selama ini di Indonesia belum ada mekanisme yang terlembaga yang memantau mutu secara periodik dan sistematik.

Di negara maju sistem pemantauan mutu sudah berjalan dengan baik dan terlembaga, seperti di Amerika (NAEP), juga di negara berkembang telah terbukti bahwa asesmen yang terlembaga dan dilaksanakan secara profesional sangat berguna untuk menyusun kebijakan dalam rangka meningkatkan mutu, seperti di Chili. Berdasarkan kenyataan ini, mengembangkan sistem pemantauan melalui asesmen secara nasional yang terlembaga bagi Indonesia sangatlah penting, mengingat Indonesia sangat besar dan heterogen dilihat dari berbagai aspek.

Dengan adanya sistem pemantauan terlembaga yang dilakukan secara periodik dan sistematik, dapat dikembangkan kebijakan yang tepat sesuai hasil diagnosa pemantauan ini, kemudian dapat dibuat laporan secara berkala, mana yang berhasil dan mana yang tidak berhasil sebagai akuntabilitas kepada publik. Dalam arti pendidikan diarahkan kepada sistem yang transparan, akuntabel, dan demokratis.

Sehubungan dengan hal tersebut, Pusat Penilaian Pendidikan, Balitbang Kemdikbud membentuk sistem pemantauan mutu yang terlembaga di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Pemantauan mutu dilakukan melalui survei yang disebut Indonesian National Assessment Program (INAP). Survei ini bersifat “longitudinal” untuk memantau mutu pendidikan secara nasional pada satuan pendidikan SD/MI (kelas I – VI), SMP/MTs (kelas VII – IX), dan SMA/MA (kelas X – XII). Berdasarkan survei longitudinal ini diperoleh data tentang mutu pendidikan yang valid, tidak hanya menggambarkan pencapaian kemampuan peserta didik, tetapi juga faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pada

(8)

implementasinya, survei INAP dilakukan bertahap dengan membidik target kelas yang berbeda di setiap tahunnya hingga satu kurun siklus pelaksanaan.

Diharapkan melalui INAP, berbagai pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan mengenai pendidikan, antara lain Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Bappenas, Kementerian Keuangan, Pemerintah Daerah, Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, DPR/DPRD, Perguruan Tinggi, dan Lembaga Swadaya Masyarakat akan memperoleh informasi secara berkala, sistematis, dan ilmiah.

Permasalahan yang dapat dirumuskan dari uraian tersebut adalah: (1) belum adanya sistem pemantauan yang terlembaga di Indonesia. Kalaupun ada, sifatnya adalah adhoc; (2) kurangnya kemampuan Provinsi, Kabupaten/Kota untuk melakukan survei dalam rangka memantau mutu pendidikan, (3) belum adanya informasi secara berkala dan terbuka kepada masyarakat luas mengenai perkembangan mutu pendidikan, baik di tingkat Provinsi, maupun Kabupaten/ Kota, terlebih lagi dalam hubungannya dengan kebijakan yang sudah diambil (transparansi dan akuntabilitas), dan (4) belum disusunnya pengambilan kebijakan yang berdasarkan hasil analisis terhadap data atau informasi yang diperoleh dari hasil pemantauan mutu.

B. Tujuan

Tujuan INAP adalah melakukan pemantauan mutu pendidikan untuk: 1. Membentuk sistem pemantauan mutu pendidikan di tingkat Provinsi dan

Kabupaten/Kota yang terlembaga.

2. Meningkatkan kemampuan provinsi, kabupaten/kota untuk melakukan survei dalam rangka memantau mutu pendidikan.

3. Membandingkan tingkat keberhasilan program pendidikan (prestasi) di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota

4. Mengidentifikasi domain konten dan kognitif yang belum dikuasai/lemah. 5. Mengidentifikasi variabel latar belakang peserta didik, guru, dan sekolah yang

(9)

5 6. Memantau tingkat ketercapaian pembelajaran dari waktu ke waktu secara

periodik dan sistematik.

7. Menyusun laporan tingkat ketercapaian pembelajaran pada tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup survei ini meliputi:

1. Objek survei ini adalah peserta didik kelas V SD/MI Negeri dan Swasta di 2 Provinsi INAP (Kalimantan Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta) 2. Kemampuan yang diukur adalah kemampuan matematika, membaca, dan IPA. 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan peserta didik baik dari latar

belakang peserta didik, guru, maupun sekolah dijaring melalui angket yang diberikan kepada peserta didik, guru, dan kepala sekolah.

D. Manfaat

Manfaat dari hasil analisis terhadap data atau informasi INAP adalah: 1. Orang tua dapat mengetahui ketercapaian prestasi peserta didik serta

faktor-faktor yang mempengaruhinya.

2. Guru dapat memanfaatkan informasi untuk perbaikan proses pembelajaran. 3. Kepala sekolah dapat memanfaatkan informasi untuk merencanakan dan

memperbaiki program manajemen sekolah, termasuk kegiatan pembelajaran. 4. Pemerintah (Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota), Kemdiknas (Dikdasmen,

PMPTK, LPMP), Kementerian Agama, Bappenas, Kementerian Keuangan, Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Parlemen, Perguruan Tinggi, Pengembang Kurikulum, dan lain-lain akan dapat memanfaatkan informasi dari INAP yang tersedia secara berkala, sistematis, dan ilmiah.

5. Masyarakat secara luas dapat memperoleh informasi secara berkala dan terbuka mengenai perkembangan mutu pendidikan baik di tingkat Nasional maupun Provinsi, atau Kabupaten/Kota, terlebih lagi dalam hubungannya dengan kebijakan yang sudah diambil (transparansi dan akuntabilitas).

(10)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

1. Metode Ilmiah sebagai Pangkal Kelahiran IPA

Seperti diketahui bahwa pada awal sebelum terlahirnya metode ilmiah, dikenal adanya dua penalaran, yaitu penalaran deduktif (rasionalisme) dan induktif (empirisme). Keduanya memiliki kelebihan dan kelemahan dalam mengungkap suatu kebenaran. Oleh karena itu perlu dipikirkan cara berpikir lain yang dapat mengatasi kelemahan tersebut, sehingga himpunan pengetahuan yang diperoleh dapat disebut ilmu pengetahuan. Jika diperhatikan ternyata kelebihan kedua penalaran tersebut jika digabungkan/dipadukan akan saling menutupi kelemahannya. Perpaduan kedua penalaran inilah yang kemudian dikenal sebagai metode ilmiah atau pendekatan ilmiah.

Pengetahuan yang disusun dengan menerapkan metode ilmiah atau cara pendekatan ilmiah diperoleh melalui kegiatan penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah dilaksanakan secara sistematis dan terkontrol berdasarkan data-data empiris, hingga akhirnya menghasilkan kesimpulan yang jika kebenarannya teruji berulang-ulang dapat menghasilkan suatu teori. Teori ini masih dapat diuji konsistensi dengan cara mengadakan penelitian ulang yang dapat dilakukan oleh siapapun dengan langkah-langkah serupa dan pada kondisi yang sama, sehingga diperoleh hasil yang ajeg (konsisten). Metode ilmiah bersifat objektif, bebas dari keyakinan, perasaan dan prasangka pribadi, serta bersifat terbuka. Dengan demikian kesimpulan yang diperoleh lebih dapat diandalkan dan hasilnya lebih mendekati kebenaran.

Jadi suatu himpunan pengetahuan dapat digolongkan sebagai ilmu pengetahuan jika cara memperolehnya menggunakan metode ilmiah, yaitu gabungan antara penalaran deduktif (rasionalisme) dan induktif (empirisme). Dengan kata lain, suatu himpunan pengetahuan dapat disebut IPA jika objeknya

(11)

7 pengalaman manusia yang berupa gejala-gejala alam, yang dikumpulkan melalui metode ilmiah dan memiliki manfaat untuk kesejahteraan manusia.

2. Pengertian IPA

IPA merupakan ilmu yang sistematis dan dirumuskan, yang berhubungan dengan gejala-gejala kebendaan dan didasarkan terutama atas pengamatan dan induksi. Sedangkan Nokes di dalam bukunya Science in Educatio menyatakan bahwa IPA adalah pengetahuan teoretis yang diperoleh dengan metode khusus.

Kedua pendapat tersebut tidak berbeda, karena IPA merupakan suatu ilmu teoretis, tetapi teori tersebut didasarkan atas pengamatan, percobaan-percobaan terhadap gejala-gejala alam. Suatu teori yang dirumuskan tidaklah dapat diperta-hankan kalau tidak sesuai dengan hasil-hasil pengamatan/observasi. Fakta-fakta tentang gejala kebendaan/alam diselidiki dan diuji berulang-ulang melalui percobaan-percobaan (eksperimen), kemudian berdasarkan hasil eksperimen itulah dirumuskan keterangan ilmiahnya (teorinya). Teori pun tidak dapat berdiri sendiri. Teori selalu didasarkan oleh suatu hasil pengamatan.

Dengan demikian IPA adalah suatu pengetahuan teoretis yang diperoleh/ disusun dengan cara yang khas/khusus, yaitu melakukan observasi eksperimen-tasi, penyimpulan, penyusunan teori, eksperimeneksperimen-tasi, observasi dan demikian seterusnya kait-mengait antara cara yang satu dengan cara yang lain. Cara untuk memperoleh ilmu secara demikian ini terkenal dengan nama metode ilmiah. Metode ilmiah pada dasarnya merupakan suatu cara yang logis untuk memecah-kan suatu masalah tertentu. Metode ilmiah inilah merupamemecah-kan dasar metode yang digunakan dalam IPA.

Sejak abad ke-16 para ilmuwan mulai menggunakan metode itu dalam mempelajari alam semesta ini. Mereka menyadari adanya suatu masalah. Pemecahan masalah itu dilakukan tahap demi tahap dengan urutan langkah-langkah yang logis, dikumpulkannya fakta-fakta yang berkaitan dengan masalah tersebut, mengujinya berulang-ulang melalui eksperimen, barulah diambil kesimpulan berdasarkan hasil-hasil eksperimen tersebut yang diyakini kebenaran-nya. Pendekatan yang digunakan kadang-kadang bersifat induktif atau deduktif.

(12)

Pendekatan induktif mengambil suatu kesimpulan umum berdasarkan sekumpulan pengetahuan, sedangkan pendekatan deduktif berdasarkan hal-hal yang sudah dianggap benar diambil suatu kesimpulan dengan menggunakan hal-hal yang dianggap benar itu.

Sejak digunakannya metode ilmiah di dalam penelitian ilmiah, dimulailah IPA modern yang kemudian berkembang sangat pesat. Perintis-perintis IPA modern ialah Galileo Galilei (1564 – 1942), Isaac Newton (1642 – 1727) dan Robert Boyle (1626 – 1691) sedangkan yang khusus dalam Ilmu Kimia ialah Antonine Laurent Lavoisier (1743 – 1793). Lavoisier melalui eksperimen-eksperimen yang dilakukan berulang-ulang telah dapat membuktikan bahwa pada proses pembakaran terjadi reaksi antara bahan yang dibakar dengan oksigen yang terdapat di hawa udara, jadi bukan karena bahan yang dibakar tersebut mengandung flogiston seperti anggapan orang-orang sebelumnya. Berdasarkan penemuannya itu Lavoisier telah membuktikan bahwa teori Flogiston itu salah dan sebagai gantinya dikemukakan teori oksigen yang masih berlaku sampai saat ini. Sukses Lavoisier diperoleh karena ia menggunakan metode ilmiah di dalam penelitiannya.

Sifat-sifat IPA yang diantaranya relatif, dinamis, tentatif, objektif, universal, sistematik-metodik, dan terbuka membawa pada perkembangan peradaban manusia yang semakin hari semakin maju dan modern. Kecanggihan teknologi yang merupakan penerapan dari produk-produk ilmiah (konsep, prinsip, teori, hukum) perlu selalu diwaspadai kemanfaatannya dengan memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Pada IPA modern saat ini kita lebih menekankan teori yang mendahului eksperimen, karena tanpa teori, eksperimen tidak terarah pada sasaran penemuan yang diinginkan. Teori relativitas Einstein (1905) disusun lebih dahulu baru kemudian diciptakan eksperimen hingga ditemukan tenaga nuklir. Dengan demikian IPA modern lebih menekankan kepada masalah melihat masa depan dan berusaha untuk meramalkan gejala-gejala baru secara ilmiah.

Perkembangan IPA tidak akan berhenti sampai kapanpun, karena IPA bersifat dinamis, berkembang setiap waktu, tanpa mengenal batas. Selain itu

(13)

9 sifatnya yang objektif dan terbuka, membuat setiap manusia berhak melakukan penyempurnaan, bahkan mengganti ilmu yang sudah ada sebelumnya, karena kebenaran suatu ilmu bersifat tentatif (sementara). Dengan semakin majunya alam pikiran manusia, maka semakin maju ilmu pengetahuan yang dikembangkan. IPA sebagai ilmu pengetahuan dengan objek telaah alam semesta beserta fenomena yang ada di dalamnya senantiasa berkembang dan mencoba menggali semua rahasia yang ada di balik fenomena yang ditunjukkan alam. Jika dahulu manusia tidak berpikir tentang bagaimana menanggulangi adanya bencana alam, namun pada akhir-akhir ini banyaknya bencana alam memunculkan berbagai pemikian yang membuahkan ilmu pengetahuan baru. Demikian pula banyaknya jenis penyakit yang bermunculan menyebabkan manusia berpikir untuk mencari pemecahan-nya, mungkin dengan penemuan obat-obatan atau cara pendeteksian dini terhadap suatu penyakit.

Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa setiap kemajuan IPA selalu bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dengan mengatasi berbagai permasalahan yang timbul. Namun demikian, penemuan baru di bidang IPA perlu senantiasa diwaspadai dampak negatifnya, baik bagi kehidupan sosial manusia itu sendiri, kesehatan, maupun pelestarian lingkungan tempat manusia hidup. Kesadaran ini sangat penting, mengingat kemajuan IPA selalu diikuti munculnya teknologi sebagai hasil penerapan IPA tersebut.

3. Hakikat IPA

IPA dapat diartikan secara berbeda menurut sudut pandang yang digunakan. Orang awam seringkali mendefinisikan IPA sebagai kumpulan informasi ilmiah. Di lain pihak, ilmuwan memandang IPA sebagai suatu metode untuk menguji hipotesis, sedangkan filosof mengartikannya sebagai cara bertanya tentang kebenaran yang diketahui.

Semua pandangan tersebut adalah sahih, tetapi masing-masing hanya menunjukkan sebagian dari definisi IPA. Kebulatan atau gabungan dari pandangan-pandangan tersebut cukup mewakili pengertian IPA, sehingga dapat digunakan sebagai definisi yang komprehensif. Oleh karena itu, IPA harus

(14)

dipandang sebagai cara berpikir untuk memahami alam, melakukan penelitian dan sebagai kumpulan pengetahuan. IPA pada hakikatnya merupakan (Collette & Chiappetta, 1994: 142 - 150):

a. Kumpulan pengetahuan (a body of knowledge)

Hasil-hasil penemuan dari kegiatan kreatif para ilmuwan selama berabad-abad dikumpulkan dan disusun secara sistematik menjadi kumpulan

pengetahuan yang dikelompokkan sesuai dengan bidang kajiannya, misalnya

Fisika, Biologi, Kimia dan sebagainya. Kumpulan pengetahuan dapat berupa :

1) Fakta

Fakta-fakta IPA memberikan landasan bagi konsep, prinsip, dan teori. Fakta merupakan suatu kebenaran dan keadaan suatu objek atau benda, serta merepresentasikan pada apa yang diamati. Fakta IPA dapat diidentifikasi berdasarkan 2 kriteria, yaitu :dapat diamati secara langsung dan dapat ditunjukkan atau didemonstrasikan setiap waktu. Oleh karena itu, fakta terbuka bagi siapa saja untuk mengamatinya. Namun tidak semua fakta dapat ditunjukkan setiap saat, misalnya letusan gunung api, gerhana matahari / bulan.

2) Konsep

Konsep merupakan abstraksi dari kejadian-kejadian, objek-objek atau fenomena yang memiliki sifat-sifat atau atribut tertentu, misalnya konsep tentang atom, gelombang dan bunyi, simbiosis, dan sebagainya. Dalam setiap bidang ilmu ada konsep-konsep yang mudah dipahami, tetapi ada pula yang sulit dipahami. Sulit mudahnya suatu konsep untuk dipahami tergantung pada tingkat abstraksi atau keabstrakan dari konsep-konsep tersebut.

3) Prinsip dan hukum

Prinsip dan hukum sering digunakan secara bergantian karena keduanya dianggap sebagai sinonim. Kedua hal tersebut dibentuk dari fakta-fakta dan konsep-konsep, bersifat lebih umum daripada fakta, tetapi juga berkaitan dengan fenomena yang dapat diamati. Sebagai contoh, hukum kekekalan massa, hukum Pascal, hukum kekekalan energi.

(15)

11

4) Teori

Selain mendeskripsikan fenomena alam dan pengklasifikasian, IPA juga berusaha menjelaskan sesuatu yang tersembunyi atau tidak dapat diamati secara langsung. Untuk mencapai hal itu disusunlah teori, misalnya teori atom, teori Darwin, teori kinetik klasik, dan sebagainya. Suatu teori tidak pernah berubah menjadi fakta atau hukum, melainkan tetap bersifat tentatif sampai terbukti tidak benar atau direvisi.

5) Model

Model merupakan representasi atau wakil dari sesuatu yang tidak dapat kita lihat. Model sangat berguna dalam membantu kita untuk memahami suatu fenomena alam. Selain itu model juga membantu kita dalam menjelaskan dan memahami suatu teori. Misalnya model atom Bohr membantu kita dalam menjelaskan teori atom.

b. Cara berpikir (a way of thinking)

IPA merupakan aktivitas manusia yang ditandai dengan proses berpikir yang berlangsung di dalam pikiran orang-orang yang berkecimpung dalam bidang itu. Kegiatan mental para ilmuwan memberikan gambaran tentang rasa ingin tahu (curiousity) dan hasrat manusia untuk memahami fenomena alam. Para ilmuwan didorong oleh rasa ingin tahu, imajinasi, dan alasan yang kuat berusaha menggambarkan dan menjelaskan fenomena alam. Pekerjaan mereka, oleh pada ahli filsafat IPA dan ahli psikologi kognitif, dipandang sebagai kegiatan yang kreatif dimana ide-ide dan penjelasan-penjelasan dari suatu gejala alam disusun di dalam pikiran. Oleh karena itu pemikiran dan argumentasi para ilmuwan dalam bekerja memberikan rambu-rambu penting yang berhubungan dengan hakikat IPA.

Kecenderungan para ilmuwan untuk menemukan sesuatu tampaknya terdorong atau termotivasi oleh rasa percaya bahwa hukum-hukum alam dapat disusun dari hasil observasi dan dijelaskan melalui pikiran dan alasan. Selain itu, rasa percaya bahwa alam semesta ini dapat dipahami juga didorong oleh keinginan untuk menemukan sesuatu (rasa ingin tahu bawaan lahir). Rasa ingin

(16)

tahu tersebut tampak pada anak-anak yang secara spontan melakukan eksplorasi terhadap lingkungan mereka dan seringnya mereka bertanya “mengapa” sesuatu dapat terjadi.

Lebih dari itu, rasa ingin tahu merupakan karakteristik para ilmuwan yang memiliki banyak ketertarikan pada fenomena alam, yang bahkan kadang-kadang jauh di luar jangkauan pemikiran orang pada umumnya. Nicolas Copernicus misalnya, dengan berani menyatakan bahwa “matahari merupakan pusat sistem tata surya” (heliosentris), padahal saat itu paham yang dianut adalah paham geosentris dimana bumi dianggap sebagai pusat sistem tata surya. Masih banyak contoh ilmuwan-ilmuwan yang memiliki rasa ingin tahu yang begitu besar, misalnya Newton, Benjamin Franklin, Faraday dan sebagainya.

c. Cara Penyelidikan (a way of investigating)

IPA sebagai cara penyelidikan memberikan ilustrasi tentang pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam menyusun pengetahuan. Di dalam IPA kita mengenal banyak metode, yang menunjukkan usaha manusia untuk menyele-saikan masalah. Sejumlah metode yang digunakan oleh para ilmuwan tersebut mendasarkan pada kegiatan laboratorium atau eksperimen yang memfokuskan pada hubungan sebab akibat.

Oleh karena itu, orang yang memahami fenomena-fenomena alam dan hukum-hukum yang berlaku, harus mempelajari objek-objek dan kejadian-kejadian di alam. Objek dan kejadian-kejadian alam tersebut harus diselidiki melalui eksperimen dan observasi serta dicari penjelasannya melalui proses pemikiran untuk mendapatkan alasan atau argumentasinya. Jadi, pemahaman tentang proses, yaitu cara bagaimana informasi ilmiah diperoleh, diuji dan divalidasikan merupakan hal yang sangat penting dalam IPA.

4. Ruang Lingkup IPA

Seperti diketahui bahwa penemuan-penemuan yang diperoleh Copernicus sampai Galileo pada awal abad ke-17 merupakan perintis ilmu pengetahuan, artinya penemuan-penemuan itu berdasarkan empiris dengan metode induksi yang

(17)

13 objektif dan bukan atas dasar deduksi filosofik seperti pada jaman Yunani atau berdasarkan mitos seperti pada jaman Babylonia. Sebagai contoh penemuan bahwa di bulan terdapat gunung-gunung, Jupiter mempunyai 4 buah bulan, di matahari terdapat bercak hitam yang dapat digunakan untuk mengukur kecepatan rotasi matahari, dan sebagainya.

Penemuan-penemuan semacam ini kita sebut sebagai IPA yang bersifat kualitatif. IPA kualitatif ini tidak dapat menjawab pertanyaan yang sifatnya kausal atau hubungan sebab akibat, tetapi hanya mampu menjawab pertanyaan tentang hal-hal yang faktual.

Untuk memperoleh jawaban dari pertanyaan tentang hal-hal yang sifatnya kausal, diperlukan perhitungan secara kuantitatif. Sebagai contoh, seseorang memelihara ayam dengan makanan konsentrat, ayam bertelur 20 butir dalam sebulan. Kemudian orang itu menambahkan vitamin yang mampu menstimulasi pembentukan telur lebih cepat kepada ayamnya, ternyata ayam bertelur lebih banyak, yaitu 25 butir sebulan. Berdasarkan kenyataan ini kita belum dapat menyimpulkan bahwa penambahan vitamin itulah yang menyebabkan ayam bertelur lebih banyak, karena mungkin saja itu suatu kebetulan. Jadi, keadaan ini hanyalah bersifat kasusistik (sebagai kasus saja).

Keadaan itu akan berbeda, jika kita melakukan percobaan terhadap 1.000 ekor ayam dan 850 ekor ayam mengalami perubahan produksi telur seperti kasus di atas, maka kemungkinan besar memang ada pengaruh penambahan vitamin terhadap jumlah telur yang dihasilkan.

Kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan induksi (eksperimen) dan deduksi (perhitungan matematik atau statistik) adalah IPA kuantitatif adalah IPA yang dihasilkan oleh metode ilmiah yang didukung oleh data kuantitatif dengan menggunakan statistik. IPA kuantitatif ini disebut juga sebagai sebagai IPA

modern yang dapat menjawab pertanyaan yang bersifat kausatif melalui analisis

matematika probabilitas atau statistik

Dengan IPA kuantitatif kita dapat menyatakan sesuatu keadaan secara tegas tidak ragu-ragu dan menimbulkan banyak persepsi yang bersifat relatif. Sebagai contoh, ketika kita menyatakan sapi lebih besar daripada kuda, maka di

(18)

pikiran orang muncul pertanyaan : “seberapa lebih besarnya sapi daripada kuda?”. Namun dengan bahasa Matematika kita dapat menyatakan dengan tegas dan tepat (eksak) bahwa berat sapi rata-rata dari hasil penimbangan 100 sapi dan 100 kuda ternyata 1,5 kali lebih berat daripada kuda.

Sifat kuantitatif Matematika membantu kita meningkatkan daya prediktif dan kontrol terhadap IPA khususnya, dan ilmu lainnya pada umumnya. Namun demikian kita sedapat mungkin tidak mendewakan Matematika yang bersifat kuantitatif tersebut, karena bagaimanapun dalam mengkomunikasikan ilmu pengetahuan kita juga membutuhkan bahasa verbal sebagai sarana berpikir ilmiah. Bukankah sesuatu yang menggelikan jika seseorang mempresentasikan hasil penelitiannya hanya menampilkan angka-angka dan tabel-tabel tanpa memaknai dengan bahasa?

IPA sebagai ilmu pengetahuan dengan objek kajian alam semesta beserta fenomena yang ada di dalamnya ruang lingkupnya meliputi makhluk hidup dan proses kehidupan, materi dan sifatnya, energi dan perubahannya, serta bumi dan alam semesta. Ruang lingkup tersebut kemudian dipelajari secara terpisah dalam empat cabang IPA, yaitu ilmu Biologi, Fisika, Kimia, dan Geografi. Keempatnya memiliki karakteristik kajian yang khas, baik ditinjau dari aspek teoretis maupun empiris. Biologi bahan kajiannya menekankan pada sejarah perkembangan makhluk hidup, perbedaan makhluk hidup dan benda mati, perkem-bangan dan variabilitas makhluk hidup, dan keanekaragaman makhluk hidup. Fisika bahan kajiannya menfokuskan pada fenomena yang ditunjukkan oleh materi yang ada di alam semesta, seperti gelombang, bunyi, energi. Kimia bahan kajiannya meliputi sifat-sifat, struktur, susunan atau komposisi, perubahan, serta energi yang menyertai perubahan materi. Geografi bahan kajiannya menekankan pada terjadinya alam semesta dan tata surya, struktur bumi, dan pembentukan benua dan samudra.

Secara umum dimensi objek IPA meliputi seluruh benda yang ada di alam semesta, baik benda dalam bentuk yang sangat besar/kompleks berupa tata surya sampai pada benda alam yang tidak kasat mata dalam bentuk terkecil, seperti proton, neutron dan elektron. Objek alam juga dapat dibedakan menjadi benda

(19)

15 yang hidup dan mati. Berdasarkan tinjauan dari segi dimensi tingkat organisasi benda alam dapat dibuat gradasi mulai dari sub-atom (proton, elektron, dan neutron) dan atom sampai dengan benda yang ada di jagad raya (Das Salirawati, 2011: 28)..

Permasalahan dalam IPA dapat dikaji dari aspek-aspek IPA (Walden University, 2002:), (1) sebagai proses penemuan (science as inquiry), (2) dari aspek fisika, (3) dari aspek biologi, (4) dari aspek bumi dan antariksa, (5) hubungannya dengan teknologi, (6) dari perpektif personal dan sosial, dan (7) dari sisi sejarah dan hakikat IPA.

Dengan pandangan yang lebih meluas dan komprehensif, Djohar (2000) mengajukan struktur keilmuan IPA yang digambarkan bahwa IPA mempelajari fenomena/gejala alam, baik fenomena/gejala kebendaan maupun kejadian. Semua permasalahan yang berkaitan dengan gejala alam tersebut harus dipelajari meka-nismenya melalui IPA, termasuk di dalamnya semua gejala alam kebendaan maupun kejadian yang berkait dengan rekayasa manusia, maupun yang terjadi di bumi dan antariksa. Jika kemudian mekanisme yang terjadi dispesifikasi atas dasar mekanismenya, maka terdapat mekanisme fisis, khemis, dan biologis.

Sebagai disiplin ilmu, IPA juga tidak lepas dari unsur produk dan proses. Produk IPA terdiri atas fakta, konsep, teori, hukum, prinsip, dan postulat. Semua itu merupakan produk yang diperoleh melalui serangkaian proses penemuan ilmiah melalui metoda ilmiah yang didasari oleh sikap ilmiah.

Ditinjau dari segi proses, maka IPA memiliki berbagai keterampilan IPA, seperti (a) keterampilan mengidentifikasi dan menentukan variabel tetap/bebas dan variabel berubah/tergayut, (b) menentukan apa yang diukur dan diamati, (c) keterampilan mengamati menggunakan sebanyak mungkin indera (tidak hanya indera penglihat), mengumpulkan fakta yang relevan, mencari kesamaan dan perbedaan, mengklasifikasikan, (d) keterampilan dalam menafsirkan hasil penga-matan seperti mencatat secara terpisah setiap jenis pengapenga-matan, dan dapat menghubung-hubungkan hasil pengamatan, (e) keterampilan menemukan suatu pola dalam seri pengamatan, dan keterampilan dalam mencari kesimpulan hasil pengamatan, (f) keterampilan dalam meramalkan apa yang akan terjadi

(20)

berdasar-kan hasil-hasil pengamatan, dan (g) keterampilan menggunaberdasar-kan alat/bahan dan mengapa alat/bahan itu digunakan. Selain itu adalah keterampilan dalam menerapkan konsep, baik penerapan konsep dalam situasi baru, menggunakan konsep dalam pengalaman baru untuk menjelaskan apa yang terjadi, maupun dalam menyusun hipotesis.

Keterampilan IPA juga menyangkut keterampilan dalam berkomunikasi seperti (a) keterampilan menyusun laporan secara sistematis, (b) menjelaskan hasil percobaan atau pengamatan, (c) cara mendiskusikan hasil percobaan, (d) cara membaca grafik atau tabel, dan (e) keterampilan mengajukan pertanyaan, baik bertanya apa, mengapa dan bagaimana, maupun bertanya untuk meminta penjelasan serta keterampilan mengajukan pertanyaan yang berlatar belakang hipotesis. Rezba dkk. (1995) dan Bryce dkk (1990) mendeskripsikan keterampilan proses IPA yang harus dikembangkan pada diri peserta didik mencakup kemampuan yang paling sederhana yaitu mengamati, mengukur sampai dengan kemampuan tertinggi yaitu kemampuan bereksperimen.

5. Pembelajaran IPA

Pembelajaran IPA mengandung makna mengajukan pertanyaan, mencari jawaban, memahami jawaban, menyempurnakan jawaban, baik tentang gejala maupun karakteristik alam sekitar melalui cara-cara sistematis. Sains atau IPA membantu peserta didik memahami diri, lingkungan, dan alam sambil mendemonstrasikan pemahamannya ketika menyelesaikan masalah. Hal ini berarti belajar IPA tidak sekedar belajar informasi tentang fakta, konsep, prinsip, hukum dalam bentuk pengetahuan deklaratif (declarative knowledge), tetapi juga belajar tentang cara memperoleh informasi, cara dan teknologi (terapan IPA) bekerja dalam bentuk pengetahuan prosedural (procedural knowledge), termasuk kebiasaan bekerja ilmiah dengan menerapkan metode dan sikap ilmiah.

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat

(21)

17 menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri dan berbuat, sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar.

IPA diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat diidentifikasikan. Penerapan IPA perlu dilakukan secara bijaksana agar tidak berdampak buruk terhadap lingkungan. Di tingkat SD/MI diharapkan ada penekanan pembelajaran Salingtemas (Sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat) yang diarahkan pada pengalaman belajar untuk merancang dan membuat suatu karya melalui penerapan konsep IPA dan kompetensi bekerja ilmiah secara bijaksana.

Pembelajaran IPA sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri ilmiah (scientific inquiry) untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup. Oleh karena itu pembelajaran IPA di SD/MI menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah.

Mata pelajaran IPA di SD/MI memfokuskan pada pemberian pengalaman langsung dengan memanfaatkan dan menerapkan konsep, prinsip, fakta IPA hasil temuan para ilmuwan. Oleh karena itu peserta didik perlu dibantu untuk mengembangkan sejumlah keterampilan ilmiah untuk memahami gejala/fenomena alam. Adanya mata pelajaran IPA merupakan upaya mengembangkan keteram-pilan peserta didik dalam menerapkan metode dan sikap ilmiah, karena IPA identik dengan pendekatan keterampilan proses yang menekankan pada pembela-jaran “bagaimana memperoleh suatu konsep?” bukan pembelapembela-jaran “apa yang dimaksud dengan suatu konsep”. Dengan kata lain, adanya mata pelajaran IPA diharapkan keterampilan proses peserta didik semakin berkembang, demikian pula gurunya.

(22)

Mata Pelajaran IPA di SD/MI bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut (Depdiknas: 2006):

a. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasar-kan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya.

b. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

c. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif, dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat.

d. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan.

e. Meningkatkan kesadaran untuk berperanserta dalam memelihara, menjaga, dan melestarikan lingkungan alam.

f. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.

g. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.

Ruang Lingkup bahan kajian IPA untuk SD/MI meliputi aspek-aspek berikut ini:

a. Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan, dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan.

b. Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat dan gas.

c. Energi dan perubahannya, meliput gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya dan pesawat sederhana.

d. Bumi dan alam semesta, meliputi tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda langit lainnya.

(23)

19

B. Model 3PL

1. Teori Respons Butir pada Data Dikotomi

Pada analisis butir dengan teori respons butir ada asumsi yang harus dipenuhi untuk analisis ini yakni independensi lokal dan unidimensi. Pada teori ini, pendekatan probabilistik untuk menyatakan hubungan antara kemampuan peserta dengan harapan menjawab benar. Hubungan ini dinyatakan dengan model logistik dengan parameter indeks kesukaran, indeks daya beda butir dan indeks tebakan semu (pseudoguessing).

Pada model logistik tiga parameter dapat dinyatakan sebagai berikut (Hambleton, & Swaminathan, 1985 : 49; Hambleton, Swaminathan, & Rogers, 1991: 17; Baker, 2001 ). ) ( i P = ci + (1-ci) ) ( ) ( 1 i i i i b Da b Da e e      ……...…… (1) dengan tingkat kemampuan peserta tes, Pi() probabilitas peserta tes yang memiliki kemampuan  dapat menjawab butir i dengan benar, ai indeks daya pembeda, biindeks kesukaran butir ke-i,ci indeks tebakan semu butir ke-i, e

bilangan natural yang nilainya mendekati 2,718, n banyaknya butir dalam tes, dan D faktor penskalaan yang harganya 1,7.

Model 2 parameter dan model 3 parameter merupakan kasus khusus dari persamaan 1. Model 2 parameter merupakan kasus khusus dari model 3 parameter, yakni ketika c=0. Model 1 parameter merupakan kasus khusus model 1 parameter, yakni ketika a=1.

Fungsi informasi butir (item information functions) merupakan suatu metode untuk menjelaskan kekuatan suatu butir pada perangkat soal dan menyatakan kekuatan atau sumbangan butir soal dalam mengungkap kemampuan laten (latent trait) yang diukur dengan tes tersebut (Hulin, C.L., Drasgow, F. & Parsons, C.K. ,1983). Secara matematis, fungsi informasi butir didefinisikan sebagai berikut.

(24)

Ii () =

) ( ) ( ) ( 2 '    i i i Q P P ………...…(2) dengan i merupakan 1,2,3,…,n, Ii () fungsi informasi butir ke-i, Pi () peluang peserta dengan kemampuan  menjawab benar butir i, P'i () turunan fungsi Pi () terhadap , Qi () peluang peserta dengan kemampuan  menjawab salah butir i.

Fungsi informasi tes merupakan jumlah dari fungsi informasi butir-butir tes tersebut (Hambleton & Swaminathan, 1985: 94; De Gruijter, D.M. & van der Kamp, L.J.T., 2005). Berkaitan dengan hal ini, nilai fungsi informasi perangkat tes akan tinggi jika butir-butir penyusun tes mempunyai fungsi informasi yang tinggi pula. Fungsi informasi perangkat tes (I()) secara matematis dapat didefinisikan sebagai berikut.

I () =

n i i I 1 ) ( ………...…….. (3)

2. Teori Respons Butir pada Data Politomi

Selain model respons butir dikotomi, ada model lain yang dapat digunakan untuk menskor respons peserta terhadap suatu butir tes, yakni model politomi. Model-model politomi pada teori respons butir antara lain nominal resons model (NRM), rating scale model (RSM), partial credit model (PCM), graded respons model (GRM) dan generalized partial credit model (GPCM) (Van der Linden & Hambleton, 1997).

Model respons butir politomous dapat dikategorikan menjadi model respons butir nominal dan ordinal, tergantung pada asumsi karakteristik tentang data. Model respons butir nominal dapat diterapkan pada butir yang mempunyai alternatif jawaban yang tidak terurut (ordered) dan adanya berbagai tingkat kemampuan yang diukur. Pada model respons ordinal terjadi pada butir yang dapat diskor ke dalam banyaknya kategori tertentu yang tersusun dalam jawaban. Skala Likert diskor berdasarkan pedoman penskoran kategori respons terurut, yang merupakan penskoran ordinal. Butir-butir tes matematika dapat diskor menggunakan sistem parsial kredit, langkah-langkah menuju jawaban benar

(25)

21 dihargai sebagai penskoran ordinal. Model penskoran yang pang sering dipakai ahli yakni GRM, PCM, dan GPCM.

a. Graded Respons Model (GRM)

Respons peserta terhadap butir j dengan model GRM dikategorikan menjadi m+1 skor kategori terurut, k=0,1,2,...,m dengan m merupakan banyaknya langkah dalam menyelesaikan dengan benar butir j, dan indeks kesukaran dalam setiap langkah juga terurut. Hubungan parameter butir dan kemampuan peserta dalam GRM untuk kasus homogen (aj sama dalam setiap langkah) dapat dinyatakan oleh Muraki & Bock (1997:7) sebagai berikut.

( ) ( ) * 1( ) *     jkjk jk P P P ...(4) )] ( exp[ 1 )] ( exp[ ) ( jk j jk j jk b Da b Da P        ...(5) Dengan Pj*0()1 dan ( ) * 1 m  j P =0

aj : indeks daya beda butir j  : kemampuan peserta,

bjk : indeks kesukaran kategori k butir j )

(

jk

P : probabilitas peserta berkemampuan  yang memperoleh skor kategori k pada butir j

) ( * 

jk

P : probabilitas peserta berkemampuan  yang memperoleh skor kategori k atau lebih pada butir j

D : faktor skala

b. Partial Credit Model (PCM)

PCM merupakan perluasan dari model Rasch, dengan asumsi setiap butir mempunyai daya beda yang sama. PCM mempunyai kemiripan dengan GRM pada butir yang diskor dalam kategori berjenjang, namun indeks kesukaran dalam setiap langkah tidak perlu terurut, suatu langkah dapat lebih sukar dibandingkan langkah berikutnya.

(26)

Bentuk umum PCM menurut Muraki & Bock (1997:16) sebagai berikut.

      k v jv m h k v jv jk b b P 0 0 0 ) ( exp ) ( exp ) (    , k=0,1,2,...,m Dengan ) ( jk

P = probabilitas peserta berkemampuan  memperoleh skor kategori k pada butir j,

 : kemampuan peserta,

m+1 : banyaknya kategori butir j, bjk : indeks kesukaran kategori k butir j

0 ) ( 0  

k h jh b  dan

     h h jh h h jh b b 1 0 ) ( ) (  ……….(6)

Skor kategori pada PCM menunjukkan banyaknya langkah untuk menyelesaikan dengan benar butir tersebut. Skor kategori yang lebih tinggi menunjukkan kemampuan yang lebih besar daripada skor kategori yang lebih rendah.

Pada PCM, jika suatu butir memiliki dua kategori, maka persamaan 5 menjadi persamaan model Rasch. Sebagai akibat dari hal ini, PCM dapat diterapkan pada butir politomus dan dikotomus.

c. Generalized Partial Credit Model (GPCM)

GPCM menurut Muraki (1997) merupakan bentuk umum dari PCM, yang dinyatakan dalam bentuk matematis, yang disebut sebagai fungsi respons kategori butir sebagai berikut.

(27)

23       

   e v jr m e h v jr jh Z Z P i 0 0 0 ) ( exp ) ( exp ) (    , k=0,1,2,...,mj ...(7) dan Zjh()=Daj(-bjh)=Daj(-bj+dh), bj0=0 ...(8) Dengan

Pjk() : probabilitas peserta berkemampuan  memperoleh skor kategori k pada butir j,

 : kemampuan peserta, aj : indeks daya beda butir j,

bjh : indeks kesukaran kategori k butir j,

bj : indeks kesukaran lokasi butir j (parameter butir lokasi) dk : parameter kategori k,

mj+1 : banyaknya kategori butir j, dan D : faktor skala (D=1.7)

Parameter bjh oleh Master dinamai dengan parameter tahap butir. Parameter ini merupakan titik potong antara kurva Pjk() dengan Pjk-1(). Kedua kurva hanya berpotongan di satu titik pada skala .

Jika  = bjk, maka Pjk() = Pjk-1() Jika  > bjk, maka Pjk() > Pjk-1()

Jika  < bjk, maka Pjk() < Pjk-1(), K=1,2,3,...,mj

3. Kecocokan Model

Kemampuan peserta tes sebanyak N dinyatakan dengan  yang merupakan skaa kontinu. Metode expected a posteriori (EAP) digunakan sebagai estimator untuk setiap kemampuan peserta. Menurut Du Toit (2003) estimasi EAP merupakan rerata dari distribusi posterior dari  dengan diberikan pola respons terobservasi xi. Skor EAP didekati dengan titik quadrature (quadrature point) Xf dan bobot A(Xf) yakni

(28)

 

F f l f f F f f l f f l

X

A

X

L

X

A

X

L

X

1 1

)

(

)

(

)

(

)

(

...(9)

Dengan Ll(Xf) merupakan probabilitas dari pola respons xi. Standar deviasi posterior dari skor EAP didekati dengan

PSD(l) =

   F f l f f F f f l l f f X A X L X A X L X 1 1 2 ) ( ) ( ) ( ) ( ) (  ...(10)

Setelah semua skor EAP peserta tes dikelompokkan pada suatu interval yang telah di perdeterminasikan H interval pada skala  kontinu, frekuensi terobservasi dari respons kategori ke-k pada butir j dalam interval h yakni rhjk dan banyaknya peserta tes yang mengerjakan butir j dalam h interval yakni Nhj dihitung. Skala kemampan yang telah diestimasi diskalakan sehingga varians dari distribusi sampel sama pada distribusi laten dari estimasi MML parameter butir yang selalu diset berdistribusi normal N(0,1). H dengan mj+1 tabel kontingensi untuk setiap butir ke-j. Untuk setiap interval, dihitung rerata interval h dan nilai fungsi respons yang cocok Pjk(h). Statistik

2

 perbandingan likelihood untuk setiap butir dihitung dengan



   j j H h hj jk h hjk m k hjk j P N r r G 1 0 2 ) ( ln 2  ...(11)

Dengan Hj merupakan banyaknya interval setelah interval dengan nilai frekuensi kurang dari 5 digabung dengan interval terdekat. Derajat kebebasan sama dengan banyaknya interval Hj dikalikan dengan mj. Statistik uji 2 perbandingan likelihood untuk tes keseluruhan merupakan jumlahan dari statistik uji 2

secara terpisah. Derajat kebebasan ini juga merupakan jumlahan dari derajat kebebasan dari tiap butir. Uji kecocokan ini digunakan untuk mengevaluasi kecocokan model pada data respons yang sama ketika model tersarang pada parameter-parameternya.

(29)

25 Untuk mengetahui perbandingan model, menurut Thissen et. al. (1993: 72) dan Camilli dan Shepard (1994 : 76) dapat digunakan dengan metode perbandingan likelihood dalam teori respons butir (IRT-LR). Langkah-langkah untuk melakukan perbandingan likelihood sebagai berikut.

Misalkan L* merupakan nilai fungsi likelihood L. Ada dua model yang akan diperbandingkan, model C, yaitu model kompak (compact) dan model A, yaitu model yang ditingkatkan (augmented). Model C merupakan model yang lebih sederhana. Kemudian dirumuskan hipotesis :

Ho :  = SetC ( SetC memuat N parameter) …...…..……….. (12) Ha :  = SetA ( SetA memuat N+M parameter) ……...…… (13)

 dianggap memiliki set parameter yang benar. Model C memiliki M parameter lebih sedikit dibandingkan dengan model A. Perbandingan likekihood (Likelihood Ratio, LR) untuk dua model dinyatakan dengan persamaan :

LR = ) ( * ) ( A C L L ………...…………. (14) dengan: * ) (C

L : nilai fungsi likelihood model C *

) ( A

L ] : nilai fungsi likelihood model A.

Kemudian ditransformasikan dengan logaritma natural : 2 ) ( M  = -2 ln(LR) =[-2 ln * ) (C L ]-[-2ln * ) ( A L ] ………...………(15) dengan: * ) (C

L : nilai fungsi likelihood model C *

) ( A

L ] : nilai fungsi likelihood model A. Agar lebih mudah, G(C) = [-2 ln *

) (C L ] dan G(A) =[-2ln * ) ( A L ], sehingga rasio/perbandingan logaritma likelihood menjadi

2 ) ( M

 = -2ln(LR) = G( C) – G(A) ………..……(16) Persamaan 16 tersebut berdistribusi khi-kuadrat dengan M derajat kebebasan.

(30)

C. Analisis Instrumen Penilaian

Instrumen penilaian hasil belajar dapat berupa soal, non-soal, atau tugas-tugas. Soal ada dua bentuk, yaitu soal bentuk objektif dan soal bentuk uraian. Non-soal dapat berbentuk pedoman observasi, daftar cek, dan skala lajuan; pedoman wawancara; lembar angket dan skala sikap; penugasan dapat berupa tugas menyusun portofolio, mengembangkan suatu produk, melaksanakan suatu proyek, atau melakukan suatu unjuk kerja.

Syarat utama soal yang baik ialah valid, reliabel, dan objektif. Suatu soal selalu tersusun atas sejumlah butir soal. Soal bersifat baik apabila butir-butir penyusunnya bersifat baik. Validitas teoretis juga reliabilitas soal dipenuhi apabila butir soal dikonstruksi atas dasar kisi-kisi soal. Di samping memenuhi validitas, butir soal harus benar dari segi materi, konstruksi, dan kebahasaan.

Analisis soal meliputi analisis butir soal dan analisis soal (perangkat soal), baik soal objektif maupun soal uraian. Pendekatan yang digunakan dapat pendekatan cara klasik atau pendekatan cara modern (teori respons butir). Analisis butir soal secara klasik mudah dilakukan oleh guru oleh karena statistik yang dipergunakan adalah statistik sederhana, yaitu berkaitan dengan analisis korelasi. Analisis butir soal sangat bermanfaat untuk mengetahui secara empiris: 1. kekuatan dan kelemahan butir soal;

2. informasi spesifikasi butir soal; 3. masalah yang ada dalam butir soal;

4. butir soal yang baik sebagai bahan pembuatan bank soal.

D. Karakteristik Butir Soal

Karakteristik butir soal merupakan parameter kuantitatif butir soal, yang dinyatakan sebagai aspek tingkat kesukaran (difficulty value), aspek daya pembeda (discrimination value), dan aspek berfungsi tidaknya pilihan jawaban (answer distribution) untuk soal pilihan ganda.

1. Tingkat Kesukaran

Tingkat kesukaran suatu soal yang biasa disimbolkan P merupakan salah satu parameter butir soal yang sangat berguna dalam analisis suatu tes. Hal ini

(31)

27 disebabkan dengan melihat parameter tingkat kesukaran, akan diketahui seberapa baiknya kualitas suatu butir soal.

Allen & Yen (1979: 122) menyatakan bahwa secara umum indeks kesukaran suatu butir soal sebaiknya terletak pada interval 0,3 – 0,7. Pada interval ini informasi tentang kemampuan peserta didik akan diperoleh secara maksimal. Dalam merancang indeks kesukaran suatu perangkat tesperlu dipertimbangkan tujuan penyusunan perangkat tes tersebut. Pada tes seleksi, diperlukan suatu perangkat tes yang memiliki indeks kesukaran yang tidak terlalu tinggi, agar diperoleh hasil seleksi yang memuaskan.

Tingkat kesukaran suatu butir soal objektif (misal pilihan ganda) adalah proporsi peserta didik yang menjawab benar butir soal tersebut. Untuk menentukan indeks kesukaran dari suatu butir soal pada perangkat tes pilihan ganda digunakan persamaan:

P =

N B

 dengan:

P = proporsi menjawab benar pada butir soal tertentu

B = banyaknya peserta tes yang menjawab benar pada butir soal tertentu N = banyaknya peserta tes yang menjawab

Bila jumlah peserta didik sangat banyak, skor peserta didik dibuat peringkatnya lebih dahulu, kemudian diambil 27% kelompok atas (RH) dan 27% kelompok bawah (RL), peserta didik sebanyak 46% tidak diperhitungkan dan tingkat kesukaran dihitung dengan rumus sebagai berikut:

P = bawah atas bawah atas N N B B     dengan:

Batas = jumlah peserta didik yang menjawab benar kelompok atas Bbawah = jumlah peserta didik yang menjawab benar kelompok bawah Natas = jumlah peserta didik kelompok atas (27%)

(32)

Secara umum kriteria tingkat kesukaran yang biasa digunakan dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Kriteria Tingkat Kesukaran

No. Harga P Kriteria

1. 0,00 - 0,25 Sukar

2. 0,25 - 0,75 Sedang

3. 0,75 - 1,00 Mudah

Pada penelitian ini kriteria pengklasifikasian tingkat kesukaran butir soal ditetapkan berdasarkan data hasil analisis yang diintervalkan sendiri, karena banyak data yang menghasilkan harga P di luar kriteria yang umum digunakan. Adapun kriteria yang dimaksud disajikan pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Kriteria Tingkat Kesukaran Berdasarkan Data Hasil Analisis

No. P Kriteria

1. 1,25 - 2,75 Sukar

2. (-1,25) - 1,25 Sedang 3. (- 2,75) – (-1,25) Mudah

Berdasarkan analisis menunjukkan adanya beberapa butir soal yang memiliki harga P lebih besar dari 2,75 (> 2,75) atau lebih kecil dari -2,75 (< - 2,75), sehingga butir soal tersebut berada di luar kriteria yang ditetapkan. Oleh karena itu butir soal yang demikian dikategorikan sebagai keadaan ekstrim. Dalam hal ini berarti ada dua keadaan ekstrim, yaitu ekstrim 1 bagi butir soal yang memiliki harga P < -2,75 dan ekstrim 2 bagi butir soal yang memiliki harga P > 2,75.

Perangkat soal yang baik memiliki tingkat kesukaran soal merata, yaitu mudah, sedang, maupun sukar dengan proporsi seperti terlihat pada Tabel 3 berikut ini.

(33)

29 Tabel 3. Proporsi Tingkat Kesukaran Soal dalam Satu Perangkat Soal

No. Mudah Sedang Sukar

1. 25% 50% 25%

2. 20% 60% 20%

3. 15% 70% 15%

2. Daya Beda

Daya beda soal yang biasa disimbolkan D merupakan parameter tes yang memberikan informasi seberapa besar daya soal itu untuk dapat membedakan peserta tes yang skornya tinggi dan peserta tes yang skornya rendah (Allen & Yen, 1979: 122). Dengan demikian besaran ini akan dapat digunakan untuk melihat kemampuan butir soal dalam membedakan peserta didik yang mampu dan peserta didik yang tidak mampu memahami materi yang ditanyakan dalam butir tes tersebut. Semakin besar indeks daya beda butir soal, maka semakin besar kemampuan butir soal dalam membedakan peserta didik yang mampu dan peserta didik yang tidak mampu.

Untuk menentukan daya beda, dapat digunakan indeks diskriminasi, indeks korelasi biserial, indeks korelasi point biserial, dan indeks keselarasan. Pada analisis daya beda hanya akan digunakan indeks korelasi point biserial yang ditentukan dengan rumus sebagai berikut:

rp bis = p 1 p S B t X p X tot   dengan:

rp bis = koefisien korelasi point biserial

Xp = rerata skor total peserta didik untuk peserta didik dengan X = 1 Xt = rerata skor total seluruh peserta didik.

SBtotal = standar deviasi

(34)

Harga D butir soal objektif berkisar dari –1 sampai dengan +1, butir soal objektif baik bila daya beda  25% dan tidak baik jika butir soal memiliki daya beda kurang dari (< 0,25). Butir soal yang memiliki harga daya beda negatif dikategorikan tidak baik, sebab kelompok bawah (peserta didik kurang pandai) dapat menjawab butir soal objektif tersebut lebih baik daripada kelompok atas (peserta didik pandai), yang seharusnya adalah sebaliknya.

E. Ragam Bentuk Soal

Soal adalah serangkaian tugas yang harus dikerjakan atau dijawab oleh peserta didik, suatu soal terdiri atas sejumlah butir soal. Ciri khusus soal ialah selalu mempunyai jawaban benar atau salah. Pekerjaan atau jawaban peserta didik tersebut setelah diperiksa benar-salahnya akan menghasilkan skor yang selanjutnya dengan cara tertentu diubah menjadi nilai. Soal dibagi menjadi dua bentuk, yaitu soal bentuk uraian dan soal bentuk objektif. Kedua bentuk soal memiliki kelebihan disamping kekurangan.

Pemilihan bentuk soal yang tepat ditentukan oleh tujuan ujian, jumlah peserta ujian, waktu yang tersedia untuk memeriksa lembar jawaban, cakupan materi, dan karakteristik mata pelajaran yang diujikan (Djemari Mardapi, 2008: 91).

1. Soal Bentuk Uraian

Instrumen penilaian hasil belajar bentuk soal adalah instrumen untuk merekam hasil belajar peserta didik. Hasil belajar merupakan manifestasi tujuan belajar dalam bentuk kompetensi belajar. Oleh karenanya hasil belajar peserta didik berupa kompetensi hasil belajar, yang berisi dua hal:

a. kompetensi aspek kognitif, afektif, dan/atau psikomotor;

b. materi kimia dalam bentuk pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan/atau meta kognitif.

Pada soal bentuk uraian, butir soal berbentuk kalimat dan peserta didik harus menjawab dalam bentuk kalimat pula. Atas dasar hal ini, peserta didik harus memiliki kemampuan menulis kalimat dengan cara dan bahasa ilmiah yang benar.

(35)

31 Pada soal bentuk objektif, butir soal berupa pertanyaan atau pernyataan dan diikuti dengan sejumlah alternatif jawaban. Peserta didik menjawab butir soal dengan memilih alternatif jawaban yang sudah disediakan

Soal bentuk uraian terdiri atas butir-butir soal uraian. Butir soal uraian yang dimaksud di sini adalah butir soal yang mengandung pertanyaan yang jawabannya harus dilakukan dengan cara mengekspresikan pikiran peserta didik. Pada butir soal bentuk uraian tidak tersedia alternatif jawaban. Dalam menjawab butir soal uraian peserta didik dituntut untuk menguraikan jawabannya dengan kata-kata sendiri dan cara sendiri. Jawaban dari peserta didik selalu berbeda dalam hal bentuk, cara, dan gaya bahasanya.

Soal uraian disebut soal non objektif, karena penilaian yang dilakukan terhadap hasil ujian dengan soal bentuk ini cenderung dipengaruhi subjektivitas dari penilai (unsur pribadi penilai). Bentuk soal ini menuntut kemampuan peserta didik untuk menyampaikan, memilih, menyusun, dan memadukan gagasan atau ide yang telah dimilikinya dengan menggunakan kata-katanya sendiri.

Soal bentuk uraian memiliki kelebihan dibandingkan soal bentuk objektif, baik dalam cara penyusunannya maupun pelaksanaannya. Keunggulan bentuk soal ini dapat mengukur tingkat berpikir dari yang rendah sampai yang tinggi, yaitu mulai dari aspek kognitif mengingat sampai mengevaluasi. Kelebihan lainnya adalah:

a. cara menyusunnya lebih mudah daripada soal objektif,

b. mengukur hasil belajar kompleks, yang tidak dapat diukur dengan soal objektif,

c. peserta didik tidak dapat menebak jawaban.

Namun disamping kelebihan yang dimilikinya, soal uraian juga memiliki berbagai kekurangan, diantaranya:

a. untuk koreksi diperlukan waktu lama, b. materi yang dicakup sangat terbatas, c. subjektivitas tinggi,

(36)

Untuk mengurangi subjektivitas yang tinggi, ada beberapa cara yang dapat ditempuh, yaitu:

a. jawaban tiap soal tidak dituntut terlalu panjang, sehingga dapat mencakup materi yang banyak,

b. tidak melihat nama peserta ujian,

c. memeriksa tiap butir soal dalam waktu bersamaan atau sesuai nomor soal, sehingga jika penilai kelelahan dalam mengoreksi dapat berhenti di nomor soal yang sama. Hal ini dilakukan karena suasana hati penilai sangat berpengaruh dalam menilai, dan

d. menyiapkan pedoman penskoran dalam bentuk “tabel penskoran” atau “marking scheme” untuk setiap butir soal uraian yang berupa tahap-tahap perhitungan, sedangkan jika jawaban soal bersifat argumentatif, maka harus ditetapkan kata kunci yang harus ada dalam jawaban.

Soal uraian dibagi menjadi tipe uraian terbatas dan uraian bebas. Pada tipe soal uraian terbatas, jawaban peserta didik dibatasi rambu-rambu yang ditentukan dalam butir soal uraian tersebut. Jawaban peserta didik bersifat memusat (konvergen). Ragam soal ini ada tiga yaitu ragam soal uraian melengkapi (isian), ragam soal uraian jawaban singkat, dan ragam soal uraian terbatas sederhana.

Contoh soal uraian melengkapi (isian), jawaban singkat, dan terbatas sederhana berturut-turut sebagai berikut:

a. Ketika Mita merayakan ulang tahun banyak balon yang dipasang untuk menghias rumah. Di dalam balon terdapat udara. Udara termasuk benda gas yang mempunyai sifat ….

b. Sebutkan penyebab terjadinya perubahan wujud benda!

c. Setiap hari Ibu Anita memasak untuk keluarganya. Oleh karena itu bumbu dapur di rumahnya tersedia lengkap. Sebutkan 4 (empat) bumbu dapur yang dimiliki Ibu Anita yang bisa larut dalam air!

Pada tipe soal uraian bebas, peserta didik bebas menjawab soal dengan cara dan sistematika sendiri. Jawaban peserta didik terhadap soal tersebut bersifat

(37)

33 menyebar (divergen). Ragam butir soal ini ada dua, yaitu ragam soal uraian bebas sederhana dan ragam soal uraian bebas ekspresif.

Contoh soal uraian bebas sederhana dan uraian bebas ekspresif berturut-turut sebagai berikut:

a. Ketika terjadi gerhana bulan total, maka sebagian permukaan bumi menjadi tampak gelap. Jelaskan mengapa hal ini terjadi!

b. Sebutkan dua cara untuk mencegah agar tidak terjadi banjir!

Pemberian skor soal uraian melengkapi dan jawaban singkat, cara menskornya sederhana. Skor tiap butir soal untuk jawaban benar adalah 1 (satu) dan skor tiap butir soal untuk jawaban salah adalah 0 (nol). Pemberian skor soal uraian terbatas sederhana, soal uraian bebas sederhana dan uraian bebas ekspresif, perlu dibuat cara penskorannya dengan suatu tabel penskoran atau marking scheme. Setiap langkah yang dijawab benar diberi skor, sehingga penskoran menjadi lebih objektif.

Dalam menyusun soal bentuk uraian, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, diantaranya:

a. Materi soal uraian merupakan materi yang tidak cocok diukur dengan soal objektif.

b. Setiap butir soal menggunakan petunjuk dan rumusan yang jelas dan mudah dipahami sehingga tidak menimbulkan kebimbangan pada peserta didik.

c. Jangan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memilih beberapa butir soal dari soal yang diberikan.

d. Butir soal uraian mengarah pada aspek kognitif yang tinggi (C2 ke atas).

2. Soal Bentuk Objektif

Soal bentuk objektif terdiri atas sejumlah butir soal. Butir soal objektif adalah butir soal yang mengandung pertanyaan atau pernyataan yang alternatif jawabannya telah disediakan. Peserta didik diminta memilih salah satu alternatif jawaban yang benar.

(38)

Bentuk soal objektif yang sering digunakan adalah bentuk pilihan ganda, benar salah, menjodohkan, dan uraian objektif. Soal uraian objektif sering digunakan pada bidang sains (IPA) dan teknologi atau bidang sosial yang jawabannya sudah pasti dan hanya satu jawaban yang benar. Sedangkan soal uraian non objektif (esai) sering digunakan pada bidang ilmu sosial, yaitu jika jawabannya luas dan tidak hanya satu jawaban yang benar, tergantung argumen-tasi peserta ujian. Bentuk soal objektif pilihan ganda dan benar salah sangat tepat digunakan bila jumlah peserta ujian banyak, waktu koreksi singkat, dan cakupan materi yang diujikan banyak.

Bentuk soal uraian objektif sering digunakan pada mata pelajaran yang batasnya jelas, seperti mata pelajaran fisika, kimia, biologi, atau IPA terpadu, matematika, dan teknik. Soal pada ujian bentuk ini jawabannya hanya satu, mulai dari memilih rumus yang tepat, memasukkan angka dalam rumus, menghitung hasil, dan menafsirkan hasilnya. Soal uraian objektif penskorannya juga jelas dan rinci.

Secara umum soal berbentuk objektif memiliki beberapa kelebihan, yaitu: a. cara mengoreksi jawaban mudah, cepat, dan dapat dilakukan oleh siapapun, b. materi pokok kimia yang dicakup luas,

c. objektivitas tinggi.

Sedangkan kekurangan soal objektif antara lain: a. cara menyusunnya sukar dan lama,

b. hanya sesuai untuk mengukur hasil belajar pada aspek kognitif tingkat rendah (mengingat),

c. ada kemungkinan peserta didik menebak jawaban.

Soal objektif dibagi menjadi tipe objektif benar-salah, objektif menjodohkan, dan objektif pilihan ganda. Jawaban soal objektif dapat diskor dengan mudah dan bersifat objektif. Umumnya dipakai dasar, bila jawaban butir soal benar skor adalah 1, sedangkan bila jawaban butir soal salah, skor adalah 0.

Gambar

Tabel 6. Pemetaan Cluster Soal dalam Setiap Buku Tes IPA  BUKU 10  IPA INT 1
Gambar  4.3  Perbandingan  Persentase  Rerata  Skor  IPA  INAP  2012  terhadap  Benchmark Internasional
Gambar  4.5  Grafik  Persentase  Tingkat  Kesukaran  Item  dari  25  Item yang Tergolong Baik
Tabel 4.2. Sebaran Butir Soal Anchor INAP 2012   No. Entri  Kode soal  Daya Beda
+7

Referensi

Dokumen terkait