• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROALGAE DI KAWASAN PESISIR PANTAI CIGEBANG KECAMATAN CIDAUN, CIANJUR, JAWA BARAT. Disusun oleh : VENNY ULYA BUNGA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRUKTUR KOMUNITAS MAKROALGAE DI KAWASAN PESISIR PANTAI CIGEBANG KECAMATAN CIDAUN, CIANJUR, JAWA BARAT. Disusun oleh : VENNY ULYA BUNGA"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROALGAE DI KAWASAN PESISIR PANTAI CIGEBANG KECAMATAN CIDAUN, CIANJUR, JAWA BARAT

Laporan Penelitian Kuliah Kerja Lapangan (KKL)

Di Cagar Alam Bojonglarang Jayanti dan Desa Karangwangi Cianjur, Jawa Barat 10 – 17 Mei 2015

Disusun oleh : VENNY ULYA BUNGA

140410120048

PROGRAM STUDI SARJANA BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PADJADJARAN

JATINANGOR 2015

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

USULAN PENELITIAN KULIAH KERJA LAPANGAN

Nama : Venny Ulya Bunga

NPM : 140410120048

Bidang : Ekologi Perairan

Judul : Struktur Komunitas Makroalgae di Kawasan Pesisir Pantai Cigebang Kecamatan Cidaun, Cianjur, Jawa Barat

Tempat Penelitian : Kecamatan Cidaun, Cianjur, Jawa Barat Waktu Penelitian : 10 – 17 Mei 2015

Telah diperiksa dan disahkan : Jatinangor, Juni 2015

Menyetujui, Dosen Pembimbing Laporan

KKL 2015

Betty Mayawatie, Dra., M.Si NIP. 195705231991022 001

Dosen Pembimbing Lapangan KKL 2015

Betty Mayawatie. Dra. M.Si NIP. 195705231991022001

Mengetahui,

Ketua Rombongan KKL 2015

Prof. Dr. Erri Noviar Megantara NIP. 19571103 198603 1 004

(3)

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROALGAE DI KAWASAN PESISIR PANTAI CIGEBANG KECAMATAN CIDAUN, CIANJUR, JAWA BARAT

Oleh : Venny Ulya Bunga

Dosen Pembimbing : Betty Mayawatie, Dra., M.Si ABSTRAK

Struktur komunitas merupakan sejenis data kuantitatif yang menunjukkan bahwa suatu komunitas makhluk hidup (organisme) memliki tingkat keragaman tertentu. Keragaman ini dipengaruhi oleh karena dalam sebuah komunitas memiliki jumlah yang berbeda dari tiap jenis (spesies) dan individu dari masing-masing jenis tersebut. Penelitian mengenai struktur komunitas ini akan diarahkan untuk mengetahui kerapatan, frekuensi, keanekaan serta dominansi dari makroalgae di kawasan pesisir Pantai Cigebang, Kecamatan Cidaun, Cianjur, Jawa Barat. Metode penelitian pada ini adalah deskriptif- eksploratif yang mendeskripsikan jenis-jenis makroalgae serta mendapatkan data kuantitatif mengenai struktur komunitas dari makrolagae yang meliputi kerapatan, frekuensi, keanekaan serta dominansi yang terdapat pada kawasan pesisir Pantai Cigebang. Penelitian ini didahului dengan pembuatan line transect tegak lurus dari pantai ke arah laut sebanyak pada tiga area yang berbeda sehingga dihasilkan tiga line transect. Panjang tiap garis transek sepanjang 30 m dari garis pantai ke arah laut. Pada setiap garis transek dibuat plot berukuran (100 x 100) cm2 terdapat 6 plot pada setiap garis transek sehingga total keseluruhan plot penelitian adalah 18 plot. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan 13 jenis (spesies) makroalgae di kawasan pesisir Pantai Cigebang antara lain Sargassum spinuligerum, Padina antillarum, Chaetomorpha crassa, Chaetomorpha spiralis, Colpomenia sinousa, Codium sp., Valonia sp., Valonia aegagrophila, Boergesenia sp., Ulva lactuca, Euchema cotonii, Euchema spinosum serta Endocladia muricata. Tingkat keanekaan atau keragaman serta dominansi berdasarkan nilai dari indeks ekologi yang digunakan yakni Shannon Wienner dan Simpson masing-masing sebesar 1.255 dan 0.376. Nilai ini menunjukkan bahwa kawasan pesisir Pantai Cigebang memiliki tingkat keanekaan jenis makroalgae yang termasuk kategori sedang serta dominansi yang cenderung rendah.

(4)

iv KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yesus Kristus karena berkat dan anugerah yang senantiasa diberikan-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) di tahun 2015 ini yang berjudul “Struktur Komunitas Makroalgae di Kawasan Pesisir Pantai Cigebang, Kecamatan Cidaun, Cianjur, Jawa Barat”.

Kuliah Kerja Lapangan ini dilaksanakan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi kurikulum akademik di Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran dengan maksud mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh dari perkuliahan. Pada tahun 2015 ini kegiatan Kuliah Kerja Lapangan dilaksanakan di wilayah Cagar Alam Bojonglarang Jayanti dan Desa Karangwangi Kecamatan Cidaun, Cianjur, Jawa Barat.

Penulis menyadari masih banyak kesalahan dan kekurangan dari penyusunan laporan ini. Untuk itu penulis mengharapkan kritik, saran serta masukan dari para pembaca. Penulis berharap laporan ini dapat memberikan manfaat berupa sumbangan ide serta pemikiran bagi perkembangan ilmu Biologi.

(5)

v UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini dengan selesainya kegiatan penelitian dan penyusunan laporan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) 2015, penulis hendak mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Budi Nurani M.S selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran.

2. Dr. Teguh Husodo, M.Si selaku Ketua Program Studi Biologi Universitas Padjadjaran.

3. Dr. M. Nurzaman, M.Si selaku Ketua Departemen Biologi Universitas Padjadjaran.

4. Prof. Dr. Erri Noviar Megantara selaku Ketua Rombongan Kuliah Kerja Lapangan Biologi Universitas Padjadjaran 2015 .

5. Dr. Ruhyat Partasasmita, M.Si selaku Ketua Rombongan sekaligus Ketua Komisi Kuliah Kerja Lapangan Biologi Universitas Padjadjaran 2015.

6. Ibu Betty Mayawatie, Dra., M.Si selaku dosen pembimbing laporan dan lapangan untuk segala kritik, saran, motivasinya agar penulis dapat melakukan kegiatan penelitian dan penyusunan laporan dengan sebaik-baiknya.

7. Seluruh dosen pembimbing lapangan Kuliah Kerja Lapangan Biologi Unpad 2015.

(6)

vi 8. Keluargaku, Papa, Mama, dan kedua adik (William dan Kinawa) yang tidak

henti untuk memberikan support, doa, motivasi, semangat dan bantuan dalam hal apapun bagi kelancaran penulis menyelesaikan kegiatan KKL ini.

9. Teman-teman Bidang Ekologi Perairan, Wulan, Ai, Icha, Aufa, Akbar, Cynthia, Fitri Rizkia, Azel, Ratu, dan Teh Tanda terima kasih untuk semua kerjasama, suka duka, cerita, kenangan, dan semua hal yang sudah dilalui dan dikerjakan bersama-sama.

10. Teman-teman Bidang Kriptogamae, Riffa, Normanita, Annisa Maryani, Tiffany, Tarwinih, Ari terima kasih juga untuk kerjasama dan semua bantuannya selama proses kegiatan lapangan serta penyusunan laporan.

11. Teman-Teman Bidang Ekotourisme, teman satu rumah selama di lapangan bareng bidang ekper. Terima kasih semua canda tawa dan cerita-ceritanya. 12. Seluruh teman-teman KLOROBLAS, untuk semua moment kebersamaan

yang telah diukir bersama secara khusus Faris Muladi selaku Ketua Panitia KKL 2015 serta teman-teman panitia inti untuk semua kerja keras dan pengorbanan lebih yang sudah dilakukan demi kelancaran dan kesuksesan KKL 2015.

13. Sherly Kemala, Ka Ribka, keluarga mentoring , terima kasih untuk dukungan, doa serta semangatnya yang terus diberikan.

14. Dan kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan penelitian dan proses penyusunan laporan ini.

(7)

vii Terima kasih yang sebesar-besarnya untuk semua hal yang telah diberikan kepada penulis baik dalam bentuk material secara khusus moral (semangat, dukungan, motivasi, serta doa) mulai dari proses penyiapan KKL, berlangsungnya KKL hingga penyelesaian laporan sebagai tahap akhir dari kegiatan KKL 2015 ini. Harapan penulis agar laporan ini memberikan manfaat bagi setiap pembaca.

Jatinangor, Juni 2015

(8)

viii DAFTAR ISI

ABSTRAK

KATA PENGANTAR……… iv

UCAPAN TERIMA KASIH………. v

DAFTAR ISI……….. viii

DAFTAR TABEL……….. xi

DAFTAR LAMPIRAN……….. xi

BAB I PENDAHULUAN………... 1

1.1 Latar Belakang……… 1

1.2 Identifikasi Masalah……….... 4

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian……… 4

1.4 Kegunaan Penelitian………... 4

1.5 Metodologi Penelitian………. 4

1.6 Lokasi dan Waktu Penelitian……….. 5

BAB II TINJAUAN LOKASI……….. 6

(9)

ix

2.2 Kondisi Fisik………... 7

2.3 Kondisis Biologis……… 7

BAB III TINJAUAN PUSTAKA………. 9

3.1 Tinjauan Umum Makroalgae……….. 9

3.1.1 Deskripsi Makroalgae………... 9

3.1.2 Klasifikasi Makroalgae………. 10

3.1.3 Habitat Makroalgae………... 11

3.1.4 Pemanfaatan Makroalgae………. 13

3.2 Ekosistem Pesisir Pantai………. 13

3.3 Struktur Komunitas Makroalgae………. 15

3.4 Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi Keberadaan dan Pertumbuhan Makroalgae………... 17 BAB IV METODE PENELITIAN……….. 21

4.1 Alat dan Bahan……… 21

4.1.1 Alat Penelitian……….. 21

(10)

x

4.2 Metode Penelitian……….. 22

4.3 Prosedur Kerja……….. 23

4.4 Pengolahan Data……… 26

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN………. 30

5.1 Hasil………. . 30

5.2 Pembahasan………... 31

5.2.1 Makroalage Pesisir Pantai Cigebang Transek I…………... 31

5.2.2 Makroalage Pesisir Pantai Cigebang Transek II………... 36

5.2.3 Makroalage Pesisir Pantai Cigebang Transek III…………. 39

5.2.3 Makroalage Pesisir Pantai Cigebang Keseluruhan………... 43

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN………... 49

6.1 Kesimpulan……….. 49

6.2 Saran……… 50

(11)

xi DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Alat Penelitian………. 21 Tabel 4.2 Bahan Penelitian……….. 22 Tabel 5.1 Data Jenis Makroalgae dan Frekuensi Kehadiran………... 30

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Tabel Analisis Data Struktur Komunitas Makroalgae Di Kawasan Pesisir Pantai Cigebang………...

54

Lampiran 2 Gambar Jenis (Spesies) Makroalgae Yang Terdapat di Kawasan Pesisir Pantai Cigebang, Kecamatan Cidaun, Cianjur, Jawa Barat……….

55

Lampiran 3 Peta Persebaran Makroalgae di Kawasan Pesisir Pantai Cigebang Kecamatan Cidaun, Cianjur, Jawa Barat……

61

(12)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia sekaligus merupakan negara maritim memiliki luas laut sebesar 5,8 Juta km² terdiri dari laut territorial dengan 0.8 juta km2 , laut nusantara 2.3 juta km2 dan zona ekonomi eksklusif 2,7 juta km (Konvensi Hukum Laut PBB, 1982) . Hal ini mendukung tingginya kekayaan dan keanekaragaman biota laut di Indonesia serta membuat potensi Sumber Kekayaan Alam (SKA) laut Indonesia ini sangat besar untuk dijadikan sebagai modal dasar dalam mendukung pembangunan dan perekonomian bangsa Indonesia. (LEMHANNAS RI, 2013). Salah satu jenis biota laut yang melimpah di lautan dengan potensinya yang besar tersebut adalah algae.

Algae merupakan organisme perairan yang masuk ke dalam Kingdom Protista yang terdiri dari berbagai organisme uniseluler dan multiseluler eukariotik yang memiliki sel dengan inti yang terikat pada membran (http://www.lenntech.com/). Berdasarkan morfologinya, algae dibedakan menjadi mikroalgae atau yang sering pula disebut sebagai fitoplankton serta makroalgae atau yang lebih umum dikenal sebagai rumput laut. Makroalgae adalah salah satu biota perairan yang tergolong

(13)

2 tumbuhan laut namun tidak dapat dibedakan antara akar, daun serta batangnya. Hampir seluruh bagian tubuhnya merupakan bagian yang disebut dengan thallus. Berdasarkan kandungan pigmen yang terdapat dalam thallus, maka makroalgae dapat diklasifikasikan menjadi Chlorophyceae (algae Hijau), Rhodophyceae (algae merah), dan Phaeophyceae (algae coklat) (Luning, 1990 dalam Lapu, 2013).

Weber Van Bosse (1928) melaporkan bahwa tidak kurang dari 628 jenis makroalgae dapat ditemukan di wilayah perairan Indonesia, terdiri dari 148 jenis algae hijau, 94 jenis algae coklat, dan 387 jenis algae merah (Luning, 1990 dalam Lapu, 2013). Masyarakat yang tinggal di daerah pesisir sudah sangat mengenal makroalgae atau rumput laut ini. Mereka telah mengenal dan memanfaatkan makroalgae dalam kehidupan sehari-hari sebagai bahan makanan atau minuman, bahan obat, pewarna alami, dan sebagainya. Makroalgae secara tradisional dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan misalnya ada yang dimakan mentah seperti lalap ataupun dibuat sayur, bahkan ada yang dijadikan makanan ternak yaitu dari genus Ulva (Atmadja dkk, 1990 dalam Lapu, 2013). Beberapa jenis rumput laut penghasil agar di Indonesiaa dalah Gelidium rigidum, Rhodymenia ciliate, Gelidiella sp,,dan Gracilaria sp. (Murdinah dkk, 2008 dalam Lapu, 2013).

Makroalgae memiliki peranan penting dalam kehidupan ekosistem laut. Dari segi ekologis, makroalgae berperan sebagai produsen, serta penyedia karbonat dan pengokoh substrat dasar yang bermanfaat bagi stabilitas dan kelanjutan keberadaan

(14)

3 terumbu karang (Anggadireja, dkk, 2009). Penyebaran dan pertumbuhan makroalgae di suatu perairan pantai sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan yang meliputi faktor fisika kimia perairan antara lain suhu, salinitas, pH, dan oksigen terlarut (Pelezar dan Chan, 1986 dalam Lapu, 2013). Selain itu, keragaman dan kepadatan makroalgae juga sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia, misalnya menangkap ikan dengan cara pengeboman, pembuangan sampah dan limbah rumah tangga (Papalia, 2008 dalam Lapu, 2013).

Saat ini aktivitas-aktivitas manusia di perairan yang kurang memerhatikan kondisi lingkungan seperti yang telah disebutkan di atas memang masih marak terjadi sehingga mempengaruhi kelimpahan makroalgae yang berada di sekitarnya. Namun masih ada beberapa perairan yang minim aktivitas pencemaran lingkungan sehingga kelimpahan makroalganya masih tergolong tinggi, salah satunya Pantai Cigebang. Pantai ini diketahui memiliki jenis dan jumlah makroalgae yang melimpah, akan tetapi penelitian mengenai makroalgae di daerah ini masih jarang dilakukan terutama penelitian yang bernilai eksploratif. Berdasarkan hal inilah maka perlunya dilakukan penelitian tentang struktur komunitas makroalgae di kawasan Pantai Cigebang ini. Penelitian mengenai struktur komunitas ini akan diarahkan untuk mengetahui kerapatan, frekuensi, keanekaan serta dominansi dari makroalgae di kawasan pesisir Pantai Cigebang, Kecamatan Cidaun, Cianjur, Jawa Barat.

(15)

4 1.2Identifikasi Masalah

1. Jenis makroalgae apa saja yang terdapat di kawasan pesisir Pantai Cigebang Kecamatan Cidaun, Cianjur, Jawa Barat.

2. Bagaimana tingkat keanekaan serta dominansi makroalgae yang ada di pesisir Pantai Cigebang, Kecamatan Cidaun, Cianjur, Jawa Barat.

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi jenis-jenis makrolagae yang ada di kawasan Pantai Cigebang. Sedangkan tujuan penelitian yakni untuk mengetahui struktur komunitas makrolagae di Pantai Cigebang yang ditinjau dari kerapatan, frekuensi, keanekaan serta dominansi salah satu biota laut ini.

1.4Kegunaan Penelitian

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu sumber data serta informasi mengenai struktur komunitas makroalgae yang terdapat di kawasan pesisir Pantai Cigebang yang meliputi kerapatan, frekuensi, keanekaan serta dominansi jenis makroalgae di daerah tersebut.

1.5Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif- eksploratif yang mendeskripsikan jenis makroalga dan pendekatan kuantitatif yang

(16)

5 dilakukan dengan menghitung jumlah jenis, jumlah individu setiap jenis, dan dominansi makroalgae di Pantai Cigebang. Pada penelitian struktur komunitas ini dibuat transek garis sebanyak enam garis transek masing-masing sepanjang 300 m ke arah laut yang tegak lurus dari pantai ke arah laut. Pada setiap garis transek dibuat plot berukuran (100 x 100) cm2 dengan interval tiap plot 20 m. Sampel yang terdapat dalam plot dicatat jenis (identifikasi jenis) dan jumlahnya sebagai data kuantitatif dari penelitian struktur komunitas.

1.6 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian tentang struktur komunitas makroalgae ini berlokasi di kawasan pesisir Pantai Cigebang yang merupakan salah satu pantai yang ada di Kecamatan Cidaun, Cianjur, Jawa Barat. Waktu penelitian ini akan dilakukan pada 10-17 Mei 2015.

(17)

6 BAB II

TINJAUAN LOKASI

2.1 Letak dan Luas

Kawasan hutan Bojonglarang Jayanti ditetapkan sebagai Cagar Alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 516/Kpts/Um/10/1973 pada tanggal 16 Oktober 1973 seluas 750 Ha. Namun menurut Tim Tata Batas Direktorat Bina Program, Direktorat Jendral Kehutanan, dan Departemen Pertanian menyatakan bahwa luas kawasan yang masih berupa hutan hanya seluas 580 ha sisanya 170 ha sudah digarap oleh masyarakat.

Cagar Alam Bojonglarang Jayanti terletak di sebelah selatan Kabupaten Cianjur, termasuk ke dalam wilayah Desa Cidamar dan Desa Karangwangi, Kecamatan Cidaun, Kabupaten Cianjur. Letak geografis kawasan Cagar Alam Bojonglarang Jayanti terletak antara 7°29’3” - 7°30’16” BT dan 107°22’6” - 107°24’46” LS. Adapun batas-batas wilayah Cagar Alam Bojonglarang Jayanti adalah:

Sebelah Utara: Berbatasan dengan Kecamatan Naringgul Sebelah Selatan: Berbatasan dengan Samudra Hindia Sebelah Timur: Berbatasan dengan Kabupaten Garut

(18)

7 2.2 Kondisi Fisik

Secara umum, topografi kawasan di Cagar Alam Bojonglarang Jayanti relatif datar dan berbukit dan terletak di dataran rendah dan berbukit-bukit pada ketinggian berkisar antara 0-250 mdpl. Menurut klasifika,si yang dilakukan Smidth and Ferguson termasuk klasifikasi tipe iklim B dengan curah hujan rata-rata 2.645 mm/thn. Suhu udara sekitar kawasan antara 18oC sampai 31oC. Jenis tanah di Cagar Alam Bojonglarang Jayanti menurut Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam adalah podzol merah kuning, laterit coklat dan laterit merah kuning.

2.3 Kondisi Biologis

Cagar Alam Bojonglarang Jayanti merupakan daerah yang memiliki dua tipe ekosistem yaitu ekosistem hutan pantai dan hutan dataran rendah. Kedua ekosistem ini memiliki jenis vegetasi yang mendominasi yaitu Kiara (Ficus globosa), Laban (Vitex pubescens), Pandan laut (Pandanus tectorius), Bambu duri (Bambusa blumeana), dan Ketapang (Terminalia catappa). Ekosistem hutan pantai dan hutan dataran rendah di cagar alam dipertahankan keberadaannya karena selain memiliki keindahan dan nilai botani, berguna sebagai penyangga kehidupan dari ancaman tsunami ataupun yang lainnya. Kebakaran yang terjadi pada lahan seluas 25 ha mempengaruhi habitat satwa liar seperti mamalia, aves, dan repti.

Populasi fauna dalam kawasan Cagar Alam Bojonglarang Jayanti dulu sangat banyak namun sekarang sudah mulai berkurang karena satwa dalam kawasan

(19)

8 menghilang sehingga saat ini sangat sedikit yang dapat dijumpai. Selain itu, vegetasi di kawasan cagar alam juga jumlahnya sedikit. Satwa yang masih terdapat dalam Cagar Alam Bojonglarang Jayanti menurut Badan Konservasi Sumberdaya Alam Kabupaten Cainjur jenis mamalia meliputi Babi hutan (Sus scrofa), Kancil (Tragulus javanicus), Musang luwak (Paradoxurus hermaphroditus), Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), Lutung budeng (Trachypithecus auratus), Bajing kelapa (Callosciurus notatus), Kalong (Pteropus vampyrus), Landak (Hystrix brachyura), dan Trenggiling (Manis javanica). Jenis aves adalah Walet linci (Collocalia linchii), Cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster), Bondol jawa (Lonchura leucogastroides), Madu sriganti (Nectarinia jugularis), dan Elang ular bido (Spilornis cheela).

Cagar Alam Bojonglarang Jayanti memiliki dua tipe ekosistem yaitu ekosistem hutan dataran rendah dan ekosistem hutan pantai. Kedua ekosistem ini berada di ketinggian 0-250 mdpl. Memiliki jenis vegetasi yang tersebar dan membentuk formasi lotoral seperti jenis Kiara (Ficus globasa), Laban (Vitex pubescens), Bambu duri (Bambusa blumeana), dan Pandan laut (Pandanus tectorius). Selain itu terdapat tumbuhan yang tergolong langka dan dilindungi yaitu bunga Rafflesia (Rafflesia padma), dan tumbuhan lokal atau khas daerah setempat yaitu Butun (Baringtonia asiatica).

(20)

9 BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Tinjauan Umum Makroalgae 3.1.1 Deskripsi Makroalgae

Algae atau lebih umum dikenal sebagai ganggang merupakan tumbuhan thallus yang hidup di lingkungan perairan baik air tawar maupun air laut. Algae dimasukkan ke dalam divisi Thallophyta (tumbuhan berthallus) oleh karena mempunyai morfologi yang tidak berdaun, berbatang, dan berakar, semuanya hanya terdiri dari bagian yang disebut dengan thallus. Sampai kini diketahui Thallophyta memiliki 7 filum antara lain Euglenophyta, Chlorophyta, Chrysophyta, Pyrrophyta, Phaeophyta, Rhodophyta, dan Cryptophyta. Untuk menentukan divisi dan mencirikan kemungkinan hubungan filogenetik di antara kelas secara khas dipakai komposisi plastida pigmen, persediaan karbohidrat, dan komposisi dinding sel (Aslan, 1991 dalam Purba, 2014).

Algae yang berukuran besar (makro) yang kita ketahui sebagai makroalgae atau umum dikenal pula sebagai rumput laut merupakan salah satu tumbuhan laut yang dapat berfotosintesis dan dapat dilihat tanpa menggunakan mikroskop (tidak secara mikroskopis) (Stan and Hauter, 2010). Perkembangbiakan makroalgae dapat terjadi melalui dua cara, yaitu secara vegetatif dengan thallus dan secara generatif dengan thallus diploid yang menghasilkan spora. Perbanyakan secara vegetatif

(21)

10 dikembangkan dengan cara setek, yaitu potongan thallus yang kemudian tumbuh menjadi tanaman baru. Sementara perbanyakan secara generatif dikembangkan melalui spora, baik alamiah maupun budidaya. Pertemuan dua gamet membentuk zigot yang selanjutnya berkembang menjadi sporofit. Individu baru inilah yang mengeluarkan spora dan berkembang melalui pembelahan dalam sporogenesis menjadi gametofit (Anggadiredja dkk., 2009 dalam Purba, 2014).

3.1.2 Klasifikasi Makroalgae A. Rhodophyta (Algae Merah)

Algae merah merupakan kelompok alga yang jenis-jenisnya memiliki berbagai bentuk dan variasi warna.Salah satu indikasi dari alga merah adalah terjadi perubahan warna dari warna aslinya menjadi ungu atau merah apabila alga tersebut terkena panas atau sinar matahari secara langsung. Algae merah merupakan golongan alga yang mengandung karaginan dan agar yang bermanfaat dalam industri kosmetik dan makanan. Selanjutnya adalah ciri-ciri umum dari alga merah adalah sebagai berikut (Wiratmaja, dkk, 2011) :

a. Bentuk thalli ada yang silindris (Gelidium latifolium), pipih (Gracillaria folifera) dan lembaran (Dictyopteris sp.).

b. Warna thalli bervariasi ada yang merah (Dictyopteris sp.), pirang (Eucheuma spinosum), coklat (Acanthophora muscoides) dan hijau (Gracillaria gigas).

(22)

11 c. Sistem percabangan thalli ada yang sederhana, kompleks, dan juga ada yang

berselang - seling.

d. Mengandung pigmen fotosintetik berupa karotin, xantofil, fikobilin, dan r fikoeritrin penyebab warna merah serta klorofil a dan d.

B. Chlorophyta (Algae Hijau)

Chlorophyta merupakan divisi terbesar dari semua divisi alga, sekitar 6500 jenis anggota divisi ini telah berhasil diidentifikasi. Divisi Cholorophyta tersebar luas dan menempati beragam substrat seperti tanah yang lembab, batang pohon, batuan basah, danau, laut hingga batuan bersalju. Sebagian besar (90%) hidup di air tawar dan umumnya merupakan penyusun komunitas plankton. Sebagian kecil hidup sebagai makro alga di air laut. Divisi Chlorophyta hanya terdiri atas satu kelas yaitu Chlorophyceae yang terbagi menjadi empat ordo yaitu : Ulvales, Caulerpales, Cladophorales, dan Dasycladales (Verheij, 1993 dalam Palallo, 2013).

Algae kelas Chlorophyceae di sebut juga algae hijau, memiliki chlorophyl warna hijau. Secara visual perbedaan berbagai jenis alga ini dibedakan pada bagian percabangan thallus dalam kerangka tubuh yang antara lain bersifat sel banyak atau termasuk multiselluler (Kadi, 1988 dalam Palallo, 2013).Alga ini mengandung pigmen fotosintetik antara lain chlorophyl ada a dan b, carotene, xanthophyl dan lutein. Dalam dinding selnya terdapat cellulosa dan pektin dengan produk polisakarida berupa kanji (starch). Di Indonesia tercatat sedikitnya 12 marga alga hijau, yaitu : Caulerpa, Ulva, Valonia, Dictyosphaeria, Halimeda, Chaetomorpha,

(23)

12 Codium, Udotea, Tydemania, Bometella, Boergesenia dan Neomeris (Romimohtarto dan Juwana, 1999dalam Palallo, 2013).

C. Phaeophyta (Algae Coklat)

Phaeophyceaeadalah ganggang yang berwarna coklat/pirang. Dalam kromatoforanya terkandung klorofil a, karotin dan xanthofil tetapi yang terutama adalah fikosantin yang menutupi warna lainnya dan menyebabkan ganggang itu kelihatan berwarna pirang. Sebagai hasil asimilasi dan sebagai zat makanan cadangan tidak pernah ditemukan zat tepung, tetapi sampai 50 % dari berat keringnya terdiri atas laminarin, sejenis karbohidrat yang menyerupai dekstrin dan lebih dekat dengan selulosa daripada zat tepung. Selain laminarin, juga ditemukan manit, minyak dan zat-zat lainnya. Dinding selnya sebelah dalam terdiri atas selulosa, yang sebelah luar dari pektin dan di bawah pektin terdapat algin. Sel-selnya hanya mempunyai satu inti. Perkembangbiakannya dapat berupa zoospora dan gamet. (Purba, 2014)

Menurut Romimohtarto dan Juwana (2009)dalam Purba (2014), alga coklat berukuran besar, alga ini sangat berkembang di perairan yang sangat dingin karena alga ini adalah khas tumbuh-tumbuhan pantai berbatu. Terdapat beberapa kelompok alga coklat ini yang hidupnya bersifat epifit yakni menempel pada makroalga lainnya.Terdapat delapan marga alga coklat yang sering ditemukan di Indonesia antara lain Cystoseira, Dictyopteris, Dictyota, Hormophysa, Hydroclathrus, Padina, Sargassum, dan Turbinaria. (Purba, 2014).

(24)

13 3.1.3 Habitat Makroalgae

Trono dan Ganzon-Fortes (1988) dalam Oktaviani (2002) mengatakan banyak jenis makroalgae yang beradaptasi terhadap tipe substrat yang berbeda-beda. Jenis yang menempati substrat berpasir umumnya memliki habitat dengan substrat yang keras (berbatu), memiliki holdfast yang berkembang baik, bercang-cabang atau berbentuk cakram (discoidal) yang disebut hapter, holdfast jenis ini mencengkram substrat dengan kuat dan umumnya dijumpai di daerah yang berarus kuat (Palallo, 2013).

3.1.4 Pemanfaatan Makroalgae

Pemanfaatan makroalgae dewasa ini telah dikembangkan secara luas dalam berbagai bidang industri yakni sebagai bahan baku makanan, minuman, obatobatan, farmasi, kosmetik dan sebagai bahan tambahan (additive) pada proses industri plastic, baja, film, tekstil sertakertas (Kadi, 2004; Sulistijo, 1985 dalam Papalia dan Arfah, 2013). Selain itu, juga dapat dimanfaatkan secara luas dalam bidang bioteknologi maupun mikrobiologi (Atmadja et al., 1990, Gumay et al., 2002 dalam Papalia dan Arfah, 2013).

3.2 Ekosistem Pesisir Pantai

Kawasan pesisir pantai merupakan tempat peralihan antara daratan dan laut, kawasan pesisir pantai ini ditandai oleh kelandaian (gradient) perubahan ekologi yang tajam. Menurut Pariwono (1996) dalam Fachrul (2007) dalam Purba (2014),

(25)

14 Kawasan ini juga berfungsi sebagai zona penyangga (buffer zone) bagi banyak hewan bermigrasi (ikan, udang, ataupun burung) untuk tempat mencari makan, berkembangbiak, dan membesarkan anaknya. Wilayah pesisir mencakup berbagai jenis habitat dan menjadi tempat berkumpulnya beranekaragam genetik dan spesies, menyimpandan mengedarkan nutrien, menyaring bahan pencemar dari daratan dan melindungi pantai dari erosi dan badai. Selain itu, wilayah pesisir menjadi daya tarik bagi manusia untuk menghuninya dan menggunakannya sebagai area rekreasi dan pariwisata (Tahir, 2012 dalam Purba, 2014).Ekosistem pesisir menyediakan pilihan yang sangat beragam terhadap barang (komoditas) dan jasa, menjadi lokasi pelabuhan niaga, penghasil ikan, kerang-kerangan, krustase dan makroalga.

Pada kawasan pesisir terdapat zona pantai yang merupakan daerah terkecil dari semua daerah yang terdapat di samudera dunia, berupa pinggiran yang sempit. Wilayah ini disebut zona intertidal (Nybakken, 1992 dalam Purba, 2014). Dalam wilayah pesisir terdapat satu atau lebih ekosistem dan sumber daya. Kisaran tentang geografis intertidal seperti yang dikemukakan oleh Nybakken (1992) dalam Purba, 2014 adalah: pantai berbatu, pantai berpasir dan pantai berlumpur.

A. Pantai Berbatu

Zona pesisir yang tersusun dari bahan keras, mengandung keragaman flora dan fauna serta organisma monoseluler lainnya. Zona ini bersifat khas dan kekhasannya tergantung pada geografis. Tumbuhan vertikal dan zona intertidal saling berkaitan bentuk dan sifatnya. Fenomena pesisir dan proses terjadinya zona ini dapat

(26)

15 menjadi refleksi toleransi organisme terhadap peningkatan keterbukaan komponen abiotik seperti udara terbuka, suhu yang ekstrim dan kekeringan.Selain itu terdapat faktor biologis yang dominan diantaranya persaingan dan pemangsa.

B. Pantai Berlumpur

Pantai berlumpur terbatas pada zona pesisir yang terlindung dari aktivitas gelombang laut. Pantai berlumpur adalah habitat bagi makrofauna yang secara dominan terdiri dari mollusca dan crustacea diantaranya adalah udang. Daerah ini sangat subur bagi tumbuhan pantai seperti pohon bakau (mangrove). Guguran daun dan ranting sebagai bahan organik mempersubur perairan pantai sehingga banyak dihuni hewan antara lain jenis ikan dan udang. Habitat ini rentan terhadap pencemaran yang di lakukan oleh aktivitas manusia di daratan yang membuang limbah ke sungai diteruskan ke pantai dan secara signifikan mencemari perairan laut pada kawasan pesisir.

C. Pantai Berpasir

Zona ini bukan zona habitat tetapi tidak terpisahkan dari keseluruhan zonapesisir. Pantai pasir intertidal terdapat di seluruh zona pesisir seluruh dunia.

3.3 Struktur Komunitas Makroalgae

Komunitas merupakan sekumpulan populasi dari jenis-jenis yang berlainan dan menempati suatu habitat yang sama. Suatu komunitas memliki keanekargaman

(27)

16 tertentu karena komunitas memiliki jumlah yang berbeda dari tiap jenis (spesies) dan individu dari masing-masing jenis tersebut. Komunitas tertentu hidup pada tempat tertentu karena pengaruh lingkungan abiotik dimana komunitas-komunitas berinteraksi dan cenderung mengalami perubahan akibat dari interaksi dan pengaruh lingkungan tersebut. Menurut Odum (1993), suatu komunitas terdapat peluang bahwa jenis tertentu akan terdapat atau hidup berdampingan. Konsep ini menjelaskan bahwa keragaman jenis organisme biasanya hidup bersama secara beraturan, tidak tersebar begitu saja di atas bumi.

Jumlah spesies dalam suatu komunitas tentunya sangat beragam.Jumlah spesies dalam suatu komunitas disebut nilai kekayaan spesies (species richness) yang merupakan tolak ukur kelimpahan. Kelimpahan tidak terlampau menonjol kegunaannya kecuali dalam hal keberadaan suatu spesies karena nilai kekayaan spesies (kelimpahan) menjadi besar apabila wilayah yang diamati bertambah besar. Angka kekayaan spesies (kelimpahan) ditentukan oleh luas dan lokasi tempat suatu komunitas berada (habitat). Dalam komunitas apapun juga tidak ada spesies yang memiliki nilai kelimpahan yang sama. (Risdianti, 2006)

Dalam memahami struktur komunitas, kelimpahan merupakan salah satu tolak ukur yang dapat digunakan sebagai pengukuran kuantitatif di lapangan. Penggunaan lain dari tolak ukur struktur komunitas adalah kerapatan dan keanekaragaman. Kerapatan merupakan besarnya populasi dalam hubungannya dengan satuan ruangan.Umumnya dinyatakan sebagai jumlah individu dalam satuan luas area. Keanekaragaman (diversity) merupakan ukuran integrasi komunitas biologi dengan

(28)

17 menghitung dan mempertimbangkan jumlah populasi yang membentuknya dengan kelimpahan relatifnya.(Risdianti, 2006).

Kehadiran komunitas makroalgae disuatu perairan memiliki peran yang cukup besar terhadap kehidupan biota laut sebagai tempat berlindung dan sebagai tempat mencari makan (Magruder, 1979; Kadi, 2004 dalam Papalia dan Arfah, 2013). Selain itu komunitas makroalgae juga dapat berperan sebagai habitat bagi organisme laut lainnya, baik yang berukuran besar maupun kecil seperti Ampiphoda, kepiting dan biota laut lainnya.Perbedaan kondisi habitat maupun faktor musim dapat menentukan keragaman dan kepadatan makroalga. Hal ini terbukti dengan perolehan jenis maupun kepadatannya pada setiap stsion penelitian. (Papalia dan Arfah, 2013).

3.4 Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi Keberadaan dan Pertumbuhan Makroalgae

Keberadaan, pertumbuhan serta distribusi makroalgae juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan di sekitarnya. Faktor tersebut meliputi faktor fisik (fisis), kimia serta biologis.

A. Faktor Fisik a. Cahaya

Cahaya termasuk salah satu faktor vital yang mempengaruhi pertumbuhan makroalga di perairan karena cahaya merupakan salah satu bahan utama untuk makroalga melakukan proses fotosintesis. Pada lama penyinaran dari cahaya yang

(29)

18 optimum maka makroalgae atau rumput laut diharapkan akan menghasilkan produk fotosintesis yang maksimal. Menurut Alamsjah, dkk (2010), kualitas rumput laut sangat ditentukan oleh kandungan agar yang merupakan produk fotosintesis rumput laut. Semakin tinggi nilai kandungan agar, maka semakin baik kualitas rumput laut.

b. Suhu

Menurut Romimohtarto (2001) dalam Armita (2011) mengatakan suhu merupakan faktor fisik yang sangat penting di laut, perubahan suhu dapat memberi pengaruh besar kepada sifat-sifat air laut lainnya dan kepada biota laut. Suhu mempengaruhi daya larut gas-gas yang diperlukan untuk fotosintesis seperti CO2 dan

O2, gas-gas ini mudah terlarut pada suhu rendah dari pada suhu tinggi akibatnya

kecepatan fotosintesis ditingkatkan oleh suhu rendah.

c. Substrat Habitat

Makroalgae atau rumput laut merupakan tumbuhan air yang tumbuh pada substrat dasar tertentu sesuai dengan intensitas sinar matahari yang masuk ke dalam perairan tersebut serta pergerakan arus untuk mempengaruhi persebarannya. Perbedaan substrat dasar pada perairan akan mempengaruhi kerapatan rumput laut. (Ain dkk., 2014).

(30)

19 d. Kecepatan Arus

Kecepatan arus pada perairan saat dilakukan sampling adalah 0,3 m/s. Aslan (1998) dalam Ain dkk., (2014) menyatakan bahwa arus merupakan faktor pembatas dalam penyebaran spora, pelekatan, dan pertumbuhan rumput laut, hal ini dikarenakan zat hara yang ada di perairan dibawa oleh arus, sehingga zat hara di dalam perairan dapat tersebar. Selain itu gerakan air mempengaruhi melekatnya spora pada substratnya. Kisaran nilai arus untuk pertumbuhan rumput laut adalah 0,01 – 0,33 m/s.

B. Faktor Kimia a. Salinitas

Salinitas merupakan kandungan garam dalam suatu perairan. Kesuburan rumput laut dipengaruhi oleh kadar garam atau salinitas perairan tersebut (Aslan, 1998 dalam Purba, 2014). Menurut Anggadiredja (2006) dalam Ain dkk., (2014), faktor yang sangat berpengaruh pada pertumbuhan rumput laut yaitu cukup arus dan salinitas yang stabil berkisar antara 28-42 ppt. Maka nilai salinitas yang sudah diukur termasuk masih batas aman toleransi rumput laut untuk tumbuh.

b. Derajat Keasaman (pH)

Nilai pH suatu perairan mempunyai pengaruh yang besar terhadap organisme perairan sehingga seringkali dijadikan petunjuk untuk menyatakan baik buruknya suatu perairan (Odum, 1971 dalam Ain dkk., 2014). Berdasarkan referensi Trono

(31)

20 (1988) dalam Ain dkk., (2014), bahwa perairan laut umumnya mempunyai pH berkisar antara 7,5 – 8,4, sedangkan kondisi layak bagi kehidupan rumput laut antara 6,8 – 9,6.

c. Unsur Hara

Unsur hara atau elemen esensial yang dibutuhkan dalam proses kehidupan algae dan tidak dapat digantikan adalah C, H, O, N, P, Mg, Fe, Cu, Zn dan Mo; sedangkan elemen yang dapat digantikan adalah S, K dan Ca. Beberapa jenis algae membutuhkan Na, Co, V, Si, Cl, B dan L. Jenis makroalgae membutuhkan Sr dan F (De Boer, 1981 dalam Lobban et al., 1985). Penelitian Aryati et al., (2007) dalam Trawanda dkk., (2014) mengatakan bahwa perairan yang baik untuk rumput laut adalah perairan yang mengandung unsur hara nitrat lebih besar dari pada phospat.

C. Faktor Biologis

Faktor biologis yang mempengaruhi penyebaran rumput laut menurut Dawson (1966) dalam Risdianti (2006) adalah :

1. Pertumbuhan

2. Aktivitas jamur dan mikroba

3. Kompetisi untuk memperoleh ruang 4. Kemampuan melindungi diri

(32)

21 BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Alat dan Bahan

Tabel 4.1. Alat Penelitian

No Alat Fungsi

1 Alat tulis Mencatat data penelitian

2 Field Guide makroalgae Panduan untuk identifikasi jenis makroalgae yang ditemukan

3 Global Positioning System (GPS)

Menentukan titik koordinat untuk mengetahui posisi alga yang ditemukan dan sebagai penunjuk waktu pasang surut

4 Kamera Dokumentasi kegiatan lapangan

5 Kantong plastik zip lock Wadah sampel makroalgae

6 Kertas pH Mengukur derajat keasaman perairan

7 Label Menulis identitas makroalgae yang

ditemukan

8 Luxmeter Mengukur intensitas cahaya

9 Meteran Gulung Mengukur panjang transek 10 Plot petak (100 x 100) cm2 Plot pengamatan sampel 11 Refraktometer Mengukur salinitas air laut

(33)

22 Tabel 4.2. Bahan Penelitian

No Bahan Fungsi

1 Air laut Mengawetkan sampel makroalgae

2 Formalin 4% Mengawetkan sampel makroalgae

4.2Metode Penelitian

Metode penelitian pada ini adalah metode deskriptif- eksploratif dimana melalui metode secara deskriptif dan ekploratif penelitian ini diarahkan untuk mendeskripsikan jenis-jenis makroalgae serta mendapatkan data kuantitatif mengenai struktur komunitas dari makrolagae yang meliputi kerapatan, frekuensi, keanekaan serta dominansi yang terdapat pada kawasan pesisir Pantai Cigebang. Penelitian ini didahului dengan pembuatan transek sebagai tempat pengambilan sampel makroalgae yang berupa transek garis (line transect) tegak lurus dari pantai ke arah laut sebanyak tiga garis transek. Panjang tiap garis transek sepanjang 30 m dari garis pantai ke arah laut. Penentuan lokasi transek 1, 2 dan 3 dipilih berdasarkan pengamatan terhadap keanekaragaman makroalgae yang ada di kawasan pesisir Pantai Cigebang. Pada setiap garis transek dibuat plot petak pengamatan makroalgae berukuran (100 x 100) cm2 dan tiap plot dibagi menjadi 100 sektor dengan ukuran (10 x 10) cm2. Interval plot tiap garis transek adalah 5 m dan terdapat enam plot pada setiap garis transek sehingga total keseluruhan plot adalah 18 plot. Pengamatan terhadap makroalgae dari satu plot ke plot lainnya dilakukan mulai dari plot dengan tingkat kedalaman tertinggi hingga yang paling dangkal. Sampel makroalgae yang telah diambil sampel kemudian

(34)

23 diawetkan menggunakan air laut dan beberapa tetes formalin 4%. Sampel lalu diidentifikasi menggunakan fieldguide makroalgae dari beberapa sumber lalu dihitung jumlah jenis, individu tiap jenis serta dominansinya sebagai data kuantitatif dari penelitian struktur komunitas.

4.3 Prosedur Kerja

1. Dalam tahap persiapan dilakukan beberapa kegiatan antara lain mengumpulkan referensi dan literatur pendukung serta data penunjang yang berhubungan dengan kajian penelitian serta orientasi dan penentuan lokasi pengamatan. Kegiatan orientasi lokasi pengamatan dilakukan dengan menyusuri kawasan pesisir pantai. 2. Setelah titik pembuatan transek dan titik koordinasi ditentukan, maka selanjutnya

dilakukan pembuatan transek. Transek yang digunakan merupakan transek garis (line transect) yang tegak lurus garis pantai ke arah laut. Tahapan pembuatan transek di lokasi pengamatan antara lain :

a. Ditentukan tiga garis transek dengan panjang tiap garis transek adalah 30 m dari garis pantai ke arah laut. Penentuan lokasi transek 1, 2 dan 3 dipilih berdasarkan pengamatan terhadap keanekaragaman makroalga yang ada di kawasan pesisir Pantai Cigebang.

b. Pada setiap garis transek dibuat plot petak pengamatan berukuran (100 x 100 cm2. Interval plot tiap garis transek adalah 5 m. Diperoleh enam plot pada setiap garis transek, sehingga total keseluruhan adalah 18 plot.

(35)

24 3. Pada tiap plot diamati dan dicatat jenis makroalgae yang ditemukan serta dihitung

jumlahnya. Makroalgae yang ditemukan kemudian dimasukkan ke dalam kantong zip lock sebagai wadah sampel yang berisi air laut dan diberi beberapa tetes formalin 4% sebagai pengawet.

4. Dilakukan pula pengambilan data parameter abiotik yang diukur untuk melihat pengaruh faktor lingkungan terhadap keberadaan makroalgae di kawasan pesisir Pantai Cigebang antara lain intensitas cahaya, suhu air dan udara, salinitas, derajat keasaman (pH) serta pengamatan substrat pesisir pantai.

a. Intensitas Cahaya

Pengukuran intensitas cahaya menggunakan alat yang disebut luxmeter. Untuk mengukur intensitas cahaya ini maka ditentukan tiga titik pada plot pengamatan yakni titik pinggir, tengah dan ujung. Kemudian hasil pengukuran adalah rata-rata nilai pada luxmeter dari ketiga tempat pengukuran tersebut.

b. Suhu

Alat yang digunakan untuk mengukur suhu air dan udara adalah termometer. Untuk mengukur suhu air, termometer diikat dengan tali sepanjang kira-kira 60 cm lalu dicelupkan ke dalam perairan sampai kedalaman kurang lebih 40 cm dari permukaan. Tunggu selama 5 menit dan catat suhu air pada skala yang ditunjukkan di termometer. Pengukuran suhu udara dilakukan sama seperti pengukuran suhu air, termometer yang telah diikat pada tali 60 cm tersebut digantung selama kurang lebih

(36)

25 5 menit, lalu catat suhu yang ditunjukkan pada skala termometer. Pengukuran suhu udara dan air dilakukan sebanyak tiga kali, nilai pengukuran akhir merupakan nilai rata-rata dari ketiga ulangan pengukuran.

c. Pengamatan Substrat Habitat

Kondisi dasar dan kehadiran substrat yang ditemukan di lokasi pengamatan juga dicatat. Dengan teknis pengamatan setiap plot yang diukur diperhatikan dan dilihat dengan seksama substratnya.

d. Salinitas

Salinitas perairan diukur dengan menggunakan alat refraktometer..Sebelum melakukan pengukuran, refraktometer terlebih dahulu dikalibrasi menggunakan akuades. Kemudian air laut diteteskan pada refraktometer lalu pembacaan skala dilakukan pada lensa yang dilengkap kaca pembesar di dalamnya.

e. Derajat Keasaman (pH)

Pengukuran pH dilakukan menggunakan kertas pH dengan langkah-langkah, yaitu Siapkan alat kertas pH, celupkan kertas pH tersebut pada sampel air dan sesuaikan warna yang tertera pada kertas pH dengan indikator pH.

5. Makrolagae yang belum diketahui jenisnya diidentifikasi menggunakan fieldguide dari beberapa sumber. Selanjutnya dilakukan pengolahan data dari jenis dan

(37)

26 jumlah makroalgae yang telah didapat menggunakan indeks dan rumus yang ada untuk mendapatkan data kuantitatif struktur komunitas.

4.4 Pengolahan Data

Dalam menganalisis struktur komunitas makroalgae pada penelitian ini maka digunakan dua jenis indeks ekologi yakni Indeks Shannon Wienner (H’) untuk melihat tingkat keanekaan jenis-jenis makroalgae dan Indeks Simpson yang merupakan indeks ekologi untuk menunjukkan tingkat dominansi (kompleksitas) jenis atau spesies makroalgae tertentu pada lokasi pengamatan. Selain dua indeks ekologi tersebut, perhitungan lain yang digunakan dalam analisis data struktur komunitas ini ialah perhitungan kerapatan serta frekuensi makroalgae yang ditemukan.

1. Kerapatan Mutlak (KM) menunjukkan jumlah individu per luas area

KM =

2. Kerapatan Relatif (KR) adalah perbandingan jumlah salah satu individu suatu spesies dengan jumlah total individu seluruh spesies dalam suatu persentase.

KR=

(38)

27 3. Frekuensi Mutlak (FM) menunjukkan kepadatan suatu spesies dari

seluruh plot yang dibuat, dicatat berdasarkan kepadatan suatu spesies diseluruh plot pengamatan.

FM =

4. Frekuensi Relatif (FR) menunjukkan kepadatan suatu spesies dari seluruh kepadatan spesies lain dari seluruh plot dalam satuan persentase.

FR = x 100%

5. Indeks diversitas (H’) menggambarkan diversitas (keanekaan), produktivitas, tekanan pada ekosistem, dan kestabilan ekosistem (Fitriana, 2006). Pada penelitian ini, indeks diversitas digunakan untuk menggambarkan diversitas makroalgae.

(39)

28 dimana :

H’ = Indeks diversitas Shannon – Wiener ni = jumlah individu jenis ke i

N = jumlah total individu

Dari analisis di atas dapat dijelaskan bahwa jika (Sinyo dan Somadayo, 2013) :

H’ = < 1 maka keanekaragaman jenis rendah H’ = 1-3 maka keanekaragaman jenis sedang H’ = > 3 maka keanekaragaman jenis tinggi.

6. Indeks Simpson digunakan untuk memperoleh informasi mengenai jenis (spesies) yang mendominasi pada suatu komunitas pada tiap habitat. Indeks dominansi yang dikemukakan oleh Simpson menurut Maguran (1988) dalam Hasan dkk (2013) yaitu:

(40)

29 D = Indeks dominansi Simpson

Pi = Proporsi individu dalam spesies ni = Jumlah individu dalam spesies N = Jumlah total individu

Kriteria yang digunakan untuk menginterpretasikan indeks dominansi tersebut menurut Greenberg (1956) dalam Berger dan Parker (1970) dalam Sagar et al. (2012) yaitu 0 atau mendekati 0 = tidak ada dominansi serta 1 atau mendekati 1 = dominansi maksimum (terdapat satu spesies yang mendominasi).

(41)

30 BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil

Dari hasil penelitian struktur komunitas makroalgae yang terdapat di kawasan pesisir Pantai Cigebang Kecamatan Cidaun, Cianjur, Jawa Barat didapatkan data berupa jenis, jumlah, nilai kerapatan dan frekuensi mutlak, kerapatan dan frekuensi relatif, indeks keanekaan serta dominansi dari makroalgae yang ditemukan di lokasi pengamatan. Data struktur komunitas ini didukung dengan data faktor lingkungan (data fisik) yang dapat mempengaruhi keberadaan makroalgae. (lampiran tabel

Tabel 5.1 Data Jenis Makroalgae dan Frekuensi Kehadiran

Berikut data jenis makroalgae beserta frekuensi kehadirannya di pesisir Pantai Cigebang pada ketiga transek pengamatan :

(42)

31 5.2 Pembahasan

Berdasarkan hasil pengamatan lapangan di tiga transek yang berupa line transect tegak lurus dari garis pantai ke arah laut dengan masing-masing panjang transek 30 m serta identifikasi jenis makroalgae maka diperoleh 13 jenis makroalgae pesisir Pantai Cigebang. Jenis-jenis makrolagae ini terdiri dari alga merah (Euchema cotonii, Euchema spinosum dan Endocladia muricata ), algae hijau (Chaetomorpha spiralis, Chaetmorpha crassa, Codium sp., Valonia sp., Valonia aegagropila, Boergesenia sp., dan Ulva lactuca ) serta algae coklat (Sargassum spinuligerum, Padina antillarum dan Colpomenia sinousa). Ketiga belas jenis makrolagae yang ditemukan tersebut masing-masing memiliki jumlah, nilai kerapatan dan frekuensi yang berbeda-beda di tiap transek pengamatannya. Berikut penjabaran bahasan struktur komunitas makroalgae di tiap transek yang didukung dengan keadaan fisik sekitar makroalgae tersebut berdasarkan hasil analisis data struktur komunitas yang terlampir dalam tabel 1.

5.2.1Makroalgae Pesisir Pantai Cigebang Transek I

Berdasarkan hasil pengamatan lapangan dan identifikasi jenis terhadap makroalgae yang ditemukan di transek I pada kawasan pesisir Pantai Cigebang, didapatkan sebanyak delapan jenis makroalgae pada lokasi pengamatan ini dengan total individu keseluruhan jenis sebanyak 336 individu makroalgae. Kedelapan makroalgae tersebut meliputi Sargassum spinuligerum, Chaetomorpha crassa, Chaetomorpha spiralis, Codium sp., Padina antillarum, Euchema spinosum,

(43)

32 Boergesenia sp. dan Valonia aegagropila. Dari kedelapan jenis makroalgae tersebut, makrolagae coklat (Phaeophyta), Sargassum spinuligerum, memiliki jumlah individu yang paling melimpah dibanding makroalgae lainnya yakni sebanyak 121 individu pada lokasi pengamatan transek I di pesisir Pantai Cigebang. Oleh karena jumlah algae yang berciri khas memiliki struktur seperti gelembung udara tersebut paling banyak dibandingkan makroalgae lainnya, nilai kerapatannya pun tertinggi dibandingkan kerapatan makroalgae jenis lain di transek I.

Nilai kerapatan mutlak (KM) untuk Sargassum spinuligerum ialah 1,21 (lampiran tabel..). Nilai 1,21 ini menandakan dari luas area pengamatan (plot petak pengamatan) sebesar (100 x 100) cm2 ditemukan sebanyak 121 individu algae Sargassum spinuligerum. Sedangkan untuk kerapatan relatif yang merupakan perbandingan jumlah individu suatu spesies dengan jumlah total individu seluruh spesies, nilai KR Sargassum spinuligerum adalah 36.012%. Persentase nilai KR tertinggi dibandingkan nilai KR makroalgae jenis lain pada transek I memperkuat hasil penelitian bahwa algae yang termasuk ke dalam golongan Phaeophyta ini memiliki jumlah paling melimpah dibandingkan dengan makroalgae jenis lain pada lokasi pengamatan transek I. Nilai kerapatan ini juga membuktikkan bahwa jumlah individu suatu jenis akan berbanding lurus dengan nilai kerapatan. Semakin besar jumlah individu jenis maka semakin tinggi pula nilai kerapatannya, begitupun sebaliknya.

(44)

33 Analisis lainnya yang erat kaitannya pula dengan penelitian struktur komunitas ialah analisis mengenai frekuensi. Menurut Bengen (2000) dalam Rhomadon (2008), frekuensi merupakan peluang ditemukannya suatu jenis dalam semua petak contoh dibanding dengan semua petak contoh yang dibuat. Frekuensi juga dapat diartikan sebagai tingkat kehadiran, oleh karena itu semakin tinggi nilai frekuensi suatu spesies maka bisa disimpulkan bahwa spesies tersebut memiliki tingkat kehadiran yang tinggi pula. Sama seperti kerapatan, frekuensi pun terdiri dari dua jenis yakni frekuensi mutlak (FM) dan frekuensi relatif (FR). Pada lokasi pengamatan transek I, spesies makroalgae yang memiliki nilai frekuensi baik mutlak maupun relatif tertinggi ialah Sargassum spinuligerum serta Chaetomorpha crassa Hal ini ditunjukkan dari tingkat kehadirannya yang sangat tinggi dimana kedua spesies tersebut terdapat di semua plot pengamatan. Nilai FM serta FR untuk kedua spesies ini sama yakni FM 0.833 nilai FR 26.302%, tergolong cukup jauh lebih tinggi melebihi jenis makroalgae lainnya. Tingginya nilai jumlah, kerapatan serta frekuensi khusus untuk spesies Sargassum spinuligerum tersebut dapat dilihat dari kondisi substrat habitat untuk pertumbuhan algae ini. Kawasan pesisir Pantai Cigebang transek I merupakan habitat makroalgae dengan mayoritas substrat berupa bebatuan dan pasir. Menurut Arfah dan Simon (2014), di bibir tubir merupakan tempat tumbuh algae yang memiliki thallus pengikat substrat yang kuat, untuk melindungi dirinya dari ombak besar dan arus laut yang deras. Di areal ini banyak ditumbuhi oleh beberapa makroalgae seperti Sargassum, Turbinaria, Padina, Chondrococcus, Hydroclathrus, Velonia, dan Acanthophora. Hal tersebut menunjukkan kesesuaian

(45)

34 habitat Sargassum dan menyebabkan algae ini mengalami pertumbuhan dan hidup dalam kondisi yang optimum sehingga jumlahnya melimpah dan tingkat kehadirannya tinggi.

Selain menganalisis dari nilai kerapatan dan frekuensinya, analisis struktur komunitas makroalgae pada penelitian ini juga menggunakan indeks diversitas Shannon Wienner (H’) untuk melihat tingkat keanekaan makroalgae yang terdapat di transek I pesisir Pantai Cigebang. Melalui indeks Shannon Wienner ini dapat diketahui bagaimana tingkat keanekaan makroalgae di lokasi tersebut, apakah termasuk keanekaan tingat rendah, sedang atau tinggi berdasarkan dari nilai yang didapatkan dan disesuaikan dengan kategori nilai tingkat keanekaan indeks H’. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa transek I memiliki nilai indeks H’ yakni 1.251 (lampiran tabel..) Berdasarkan kategori nilai tingkat keanekaan menurut Sinyo dan Somadayo (2013), nilai 1,251 tersebut termasuk dalam kategori tingkat keanekaan sedang. Artinya makroalgae yang terdapat di transek 1 tingkat keanekaan jenisnya tergolong sedang. Menurut Chrystanto, dkk (2014), nilai indeks keanekaan (keanekaragaman) lebih banyak dipengaruhi oleh jumlah spesies, jumlah individu, dan kondisi habitat. Perbedaan ukuran sampel juga sangat mempengaruhi indeks keanekaragaman Shannon, semakin besar ukuran sampel dan jumlah individu maka nilai indeks cenderung semakin tinggi. Oleh karena itu, tingkat keanekaan jenis makroalgae pada transek I yang tergolong sedang ini juga dipengaruhi jenis dan jumlah individu total dari seluruh makroalgae transek I yang ditemukan yaitu delapan

(46)

35 jenis dari total 13 jenis makrolagae pada seluruh transek pengamatan serta berjumlah 336 individu.

Indeks ekologi lainnya yang juga digunakan untuk menganalisis struktur komunitas makroalgae di kawasan pesisir Pantai Cigebang adalah Indeks Simpson (C). Indeks ini digunakan untuk mengetahui dominansi suatu komunitas pada suatu habitat. Hasil perhitungan indeks Simpson untuk makroalgae yang terdapat di lokasi pengamatan transek I yakni sebesar 0.314. Berdasarkan kategori nilai indeks Simpson menurut Greenberg, (1956) at Berger and Parker (1970) dalam Sagar et al., (2012), nilai tersebut lebih mendekati 0 dibandingkan mendekati 1. Suatu nilai dari indeks dominansi Simpson apabila mendekati 0 menandakan bahwa habitat tersebut tidak memiliki dominansi (dominansi rendah). Maka hasil penelitian ini menunjukkan lokasi transek 1 memiliki dominansi jenis makroalgae yang tingkatannya rendah dan terdapat beberapa spesies yang mendominasi pada lokasi tersebut yakni Sargassum spinuligerum¸ Chaetomorpha crassa dan Padina antillarum. Dominansi transek I oleh algae coklat ini dapat dibuktikkan dari jumlah individu ketiga spesies tersebut yang tergolong banyak dibandingkan jumlah individu jenis algae lainnya.

(47)

36 Pada transek I didapatkan hasil pengukuran beberapa faktor lingkungan (data fisik) yakni suhu udara 30 oC , salinitas air 28 ‰, dan pH air 8. Menurut Kamlasi dalam Schaduw et al, (2013) dalam Arfah dan Simon, (2014 ) suhu optimum untuk pertumbuhan makroalgae. berkisar antara 25-31 oC, salinitas berkisar antara 28,0-34,0 ‰ dan pH perairan 7,0-8,0. Hal ini menandakan bahwa secara umum transek I di pesisir Pantai Cigebang merupakan habitat yang optimum untuk pertumbuhan makroalgae.

5.3.2 Makroalgae Pesisir Pantai Cigebang Transek II

Pada transek II pesisir Pantai Cigebang ditemukan jenis makroalgae yang lebih sedikit dibandingkan transek I yakni lima jenis makroalgae. Kelima jenis algae tersebut antara lain Sargassum spinuligerum, Chaetomorpha spiralis, Padina antillarum, Ulva lactuca dan Endocladia muricata. Selain lebih sedikit jumlahnya, pada transek ini pula ditemukan beberapa jenis makroalgae yang tidak terdapat pada transek sebelumnya yakni C. spiralis (Chlorophyta), Ulva lactuca (Chlorophyta) serta Endocladia muricata (Rhodophyta). Dua jenis algae lainnya yang terdapat pula pada transek I, S. spinuligerum dan P. antillarum berdasarkan hasil penelitian merupakan algae yang jumlahnya paling banyak di transek ini. Adapun jumlah individu untuk S. spinuligerum dan P. antillarum pada transek pengamatan yang kedua ini masing-masing sebesar 292 dan 92, menandakan bahwa S. spinuligerum

(48)

37 memiliki jumlah individu terbanyak di transek II. Jenis makroalgae lainnya memiliki jumlah yang sangat minim dibandingkan kedua spesies algae coklat ini dimana C. spiralis berjumlah 9, Endocladia muricata berjumlah 11 serta Ulva lactuca hanya berjumlah 5 individu.

Jumlah individu akan berbanding lurus dengan nilai kerapatan. Nilai kerapatan baik mutlak maupun relatif yang dimiliki oleh spesies S. spinuligerum merupakan nilai kerapatan tertinggi di transek II yakni 2.92 untuk KM dan 71.39% untuk KR . Dari nilai KR tersebut dapat dikatakan pula bahwa dari 100% jumlah individu seluruh jenis makroalgae pada transek 2, 71% di antaranya merupakan algae S. spinuligerum. Frekuensi dengan nilai tertinggi juga dimiliki oleh spesies algae coklat tersebut. Adapun nilai untuk FM S. spinuligerum merupakan nilai FM tertinggi yakni 1 yang menandakan bahwa algae ini ditemukan pada seluruh plot pengamatan transek II. Sedangkan nilai FR untuk S. spinuligerum yaitu sebesar 49.97%. Hasil dari frekuensi ini menunjukkan spesies S. spinuligerum memiliki tingkat kehadiran yang sangat tinggi pada lokasi pengamatan transek II pesisir Pantai Cigebang. Algae lainnya yang jumlahnya juga banyak dan kehadirannya juga tergolong tinggi pada transek ini ialah Padina antillarum. Nilai kerapatan mutlak spesies yang bersinonim nama spesies dengan Padina tetrastromatica Hauck (John L et al., 2005) ini adalah 0.92 dan nilai kerapatan relatifnya ialah 22.49%. Kerapatan Padina antillarum tidak sebesar kerapatan yang dimiliki S. spinuligerum dikarenakan jumlah individu P. antillarum tidak sebanyak individu S. spinuligerum. Untuk frekuensi mutlak P.

(49)

38 antillarum bernilai 0.5 dan frekuensi relatifnya 24.98%. Kedua spesies algae coklat tersebut melimpah di transek II ini dipengaruhi oleh substrat habitat makroalgae pesisir Pantai Cigebang transek II yang didominasi oleh substrat bebatuan. Bebatuan merupakan jenis habitat kehidupan untuk beberapa marga makroalgae seperti Sargassum dan Padina agar mampu menahan ombak besar (Arfah dan Simon , 2014). Maka dari itu jumlah S. spinuligerum dan P. antillarum yang sangat banyak di transek ini didukung oleh kesesuaian substrat bebatuan sebagai habitatnya.

Dikarenakan jenis makroalgae yang ditemukan pada transek II di kawasan pesisir Pantai Cigebang ini lebih sedikit dibandingkan dengan transek I, maka sebenarnya dapat dipastikan tingkat keanekaannya pun lebih rendah dibandingkan tingkat keanekaan makroalgae pada transek I. Hasil perhitungan indeks keanekaan Shannon Wienner (H’) di transek ini adalah sebesar 0.811, lebih rendah dibandingkan nilai indeks H’ sebelumnya pada transek I. Nilai 0.811 berdasarkan kategori nilai tingkat keanekaragaman Shannon Wienner menurut Sinyo dan Somadayo (2013) termasuk dalam kategori tingkat keanekaragaman jenis yang rendah. Hal tersebut membuktikkan bahwa tingkat keanekaan jenis makroalgae di transek II pesisir Pantai Cigebang adalah rendah.

Akan tetapi tidak seperti nilai indeks diversitas Shannon Wienner yang lebih rendah pada transek ini dibandingkan transek sebelumnya, nilai indeks dominansi Simpson justru lebih tinggi di transek II yaitu sebesar 0.562. Tingginya indeks dominansi pada transek ini dipengaruhi oleh jumlah individu masing-masing jenis

(50)

39 makroalgae yang lebih banyak. Nilai 0.562 yang cenderung mendekati angka 1 tersebut berdasarkan kategori indeks Simpson menurut Greenberg, (1956) dalam Berger dan Parker (1970) dalam Sagar et al., (2012) ini tergolong indeks yang besar dan menandakan bahwa lokasi pengamatan transek II ini didominasi oleh satu spesies yakni Sargassum spinuligerum. Dominansi oleh S. spinuligerum ini dapat ditunjukkan melalui jumlah individu dari algae coklat tersebut yang cukup banyak melebihi individu dari jenis makroalgae lainnya.

Pada transek II didapatkan hasil pengukuran faktor lingkungan (data fisik) antara lain suhu air 29.5 oC , salinitas air 28 ‰, dan pH air 8. Menurut Kamlasi dalam Schaduw et al (2013) dalam Arfah dan Simon, (2014), suhu optimum untuk pertumbuhan makroalgae. berkisar antara 25-31 oC, salinitas berkisar antara 28.0-34.0 ‰ dan 7.0-8.0 pH air (Arfah dan Simon, 2014). Korelasi antara hasil penelitian dengan literatur tersebut membuktikkan bahwa transek II pesisir Pantai Cigebang masih tergolong habitat yang mendukung secara optimum untuk pertumbuhan makroalgae.

5.3.3 Makroalgae Pesisir Pantai Cigebang Transek III

Jenis makroalgae yang ditemukan untuk transek ketiga di kawasan pesisir Pantai Cigebang ini lebih banyak dibandingkan dengan transek II, ditemukan delapan jenis makroalgae sama seperti pada transek I. Adapun spesies-spesies makroalgae transek III antara lain Sargassum spinuligerum, Chaetmorpha crassa, Padina antillarum, Borgesenia sp., Colpomenia spinosa, Euchema cotonii, Valonia sp. dan

(51)

40 Valonia aegagropila. Walaupun jumlah jenis yang ditemukan pada transek I dan III ini sama, ada beberapa jenis dari makroalgae pada transek III yang tidak ditemukan pada transek I, begitupun sebaliknya.

Makroalgae S. spinuligerum serta Padina antillarum ditemukan pada ketiga transek pengamatan pesisir Pantai Cigebang. Seperti pada transek-transek sebelumnya, jumlah individu kedua jenis algae coklat ini melimpah di transek III dibandingkan dengan jenis makroalgae lainnya. S. spiuligerum memiliki jumlah individu 233 sedangkan P. antillarum memiliki individu berjumlah 137 dari total individu seluruh jenis makroalgae transek III yakni sebanyak 470 individu. Jumlah yang banyak dan melimpah ini diikuti pula oleh tingginya nilai kerapatan yang dimiliki oleh kedua algae tersebut. S. spinuligerum memiliki nilai KM dan KR masing-masing 2.33 dan 49.57% serta P. antillarum nilai KM dan KR nya adalah 1.37 dan 29.14%. Untuk nilai frekuensinya pun, kedua algae coklat yang hidup pada habitat dengan substrat bebatuan ini memiliki nilai FM maksimum yakni 1. Nilai FM maksimum ini menandakan tingkat kehadiran S. spinulierum serta P. antillarum yang sangat tinggi (maksimum), ditemukan pada seluruh plot pengamatan. Oleh karena memiliki nilai frekuensi mutlak yang sama maka nilai frekuensi relatifnya pun sama yakni 33.31%. Untuk spesies algae lainnya di transek III memiliki jumlah individu dan tingkat kehadiran yang tergolong rendah sehingga nilai kerapatan dan frekuensinya pun rendah apabila dibandingkan dengan S. spinuligerum dan P.

(52)

41 antillarum. Keenam spesies tersebut memiliki jumlah individu dengan kisaran 1-64 dan hanya ditemukan pada satu dari total enam plot pengamatan.

Berdasarkan nilai indeks keanekaan Shannon Wienner yang didapatkan pada transek III ini yakni sebesar 1.286, bila disesuaikan dengan kategori nilai indeks Shannon Wienner (H’) maka lokasi penelitian transek III memiliki tingkat keanekaan (diversitas) jenis makroalgae yang tergolong sedang. Hasil yang sama seperti hasil indeks diversitas H’ yang didapatkan pada transek I dapat dipengaruhi oleh jumlah jenis yang ditemukan pada kedua transek ini sama (delapan jenis makroalgae). Namun tidak serta merta hanya dianalisis dari segi jumlah jenis yang ditemukan, jumlah individu dari tiap jenis pun mempengaruhi besar kecilnya nilai indeks diversitas ini. Meskipun jumlah jenis pada kedua transek tersebut sama, oleh karena ada perbedaan jumlah individu tiap jenisnya maka nilai yang dihasilkan pun berbeda pula. Pada transek III, jumlah individu untuk tiap jenisnya secara keseluruhan lebih banyak dibandingkan jumlah individu tiap jenis makroalgae pada transek I sehingga nilai indeks H’ pada transek 3 lebih besar dari nilai indeks H’ pada transek 1 (1.286 > 1.251).

Nilai indeks ekologi lainnya yaitu indeks dominansi Simpson yang dihasilkan pada transek ketiga ini sebesar 0.351. Nilai ini lebih rendah dibandingkan nilai indeks Simpson pada transek II dan sedikit lebih tinggi dibandingkan nilai Simpson di transek I. Nilai 0.351 yang cenderung mendekati 0 ini menurut kategori indeks Simpson Berger dan Parker (1970) dalam Sagar et al., (2012) menandakan bahwa

(53)

42 pada transek 3 tidak terdapat dominansi oleh suatu spesies makroalgae atau tingkat dominansinya rendah. Hal ini dapat ditunjukkan melalui hasil penelitian pada lokasi pengamatan transek III dimana selain S. spinuligerum, algae lainnya seperti P. antillarum juga memiliki jumlah individu yang mencapai ratusan seperti algae coklat bergelembung udara tersebut. Artinya dalam hal ini S. spinuligerum tidak bisa dikatakan bahwa jenis algae inilah yang mendominasi di transek 3 sebab ada spesies algae lain yang jumlah individunya juga banyak seperti Sargassum.

Berdasarkan literatur mengenai kondisi optimum pertumbuhan makroalgae yang telah dijabarkan pada sub bab pembahasan transek I dan II sebelumnya dan dikaitkan dengan hasil penelitian ini maka dapat dikatakan bahwa secara umum transek III pesisir Pantai Cigebang masih merupakan habitat yang optimum kondisinya untuk pertumbuhan dan keberadaan makroalgae. Akan tetapi sebenarnya tiap jenis makroalgae memiliki kondisi lingkungan optimum spesifik (khusus) sehingga tidak di semua kondisi lingkungan makroalgae tersebut mampu beradaptasi dengan baik. Seperti halnya salah satu jenis makroalgae pada transek III yang jumlah individu dan kehadirannya sangat minim, Euchema cotonii. Suhu air yang optimal disekitar Eucheuma cottonii berkisar antara 26 – 30 oC (Anggadiredja dkk., 2008 dalam Susilowati dkk, 2012) sedangkan hasil pengukuran suhu air transek III didapatkan sebesar 35oC, berada di luar kisaran suhu optimum Eucheuma cottonii. Ketidaksesuaian suhu optimum bagi pertumbuhan makroalgae Rhodophyta tersebut

Gambar

Tabel 4.1. Alat Penelitian
Gambar Jenis (Spesies) Makroalgae Yang Terdapat di Kawasan Pesisir Pantai  Cigebang, Kecamatan Cidaun, Cianjur, Jawa Barat

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

menunjukkan nilai signifikansi kadar fenolik total sebesar p&lt;0,05 sehingga perbedaan metode ekstraksi berpengaruh signifikan terhadap kadar total fenolik ekstrak

Oral seks adalah bagian aktivitas persetubuhan yang biasanya dilakukan oleh pasangan sebagai bentuk kreasi atau fantasi gaya persetubuhan yang menggunakan oral atau

Halaman bagian bab ini akan menunjukkan beberapa menu pada aplikasi delivery order dengan level login user. 4.2.1 Halaman

interaksi yang terjalin antara masyarakat lokal dan turis berkunjung adalah. interaksi simbiosis mutualisme yaitu hubungan antara masyarakat lokal

[r]

Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan

Begitu pula dalam pemberitaan Rapublika mengenai kasus Ba’asyir ini, framing dipakai sebagai cara untuk mengetaui perspektif atau cara pandang awak redaktur Harian Republika

Jadi, Bercak mongol adalah bercak berwarna biru yang terlihat di daerah lumbo sacral bayi yang memiliki pigmentasi kulit (kulit berwarna) dan kadang bercak ini terlihat dibagian