• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN FAUNA DENGAN PADANG LAMUN. oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN FAUNA DENGAN PADANG LAMUN. oleh"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Oseana, Volume XXV, Nomor 3, 2000 : 19- 24

ISSN 0216-1877

HUBUNGAN FAUNA DENGAN PADANG LAMUN

oleh

Indra Aswandy

1

) dan M. Husni Azkab

2

)

ABSTRACT

FAUNA RELATIONSHIPS IN SEAGRASS BEDS. The seagrass has a high

biological productivity, associated flora and a rich fauna which is concentrated in

seagarss bed. The seagrass form a dense submerged vegetation and increase the

available substrate surface for epiphytic algae and fauna. Seagrass bed as a dense

vegetation will soften the water movement crated by currents and waves and offers calm

underwater space within it. Moreover, the seagrass bed are good habitats for juveniles

and small-sized nekton, which can find there both shelter and food. This paper will

discuss the significance of the seagrass bed for associated fauna, including the

energy flow and the detritus food chain.

PENDAHULUAN

Padang lamun merupakan satu tipe

biotip yang sangat luas di lingkungan estuarin

dan pesisir di dunia. Di samping produktivitas

biologis yang tinggi dari lamun dan adanya

assosiasi flora, kekayaan fauna terkonsentrasi

di padang lamun.

Zostera marina

mempunyai

distribusi cukup luas pada daerah ugahari

(temperate) dan cukup bagus untuk tempat

berlindung, ruang hidup dan tempat mencari

makan bagi beberapa organisme. Beberapa

studi telah dilakukan baik secara kuantitatif

maupun secara kualitatif tentang lamun

Zostera

marina

pada beberapa daerah di dunia, antara

lain di perairan Atlantik oleh RASMUSSEN

(1973), di Laut Baltik oleh GOTHBERG &

RONDELL (1973), di perairan Jepang oleh

KDCUCHI (1966,1973), di Amerika oleh ORTH

(1973); THAYER

et al.

(1975). Sedangkan

pada lamun

Posidonia oceanica

telah

dilakukan di Laut Mediterranian oleh

HARMELIN (1964); LEDOYER (1966).

Pada tulisan ini akan menitikberatkan

pada pentingnya padang lamun dengan

assosiasi fauna, terutama tentang komunitas

dan hubungannya dengan rantai makanan.

1)

Bidang Jasa dan Ilmiah, Puslitbang Oseanologi-LIPI, Jakarta.

2)

(2)

PENTINGNYA PADANG LAMUN

UNTUK FAUNA YANG BERASSOSIASI

Sebagai habitat atau tempat berlindung

Lamun diketahui sebagai vegetasi yang

padat di bawah laut dan menimbulkan adanya

peningkatan permukaan subsrat untuk alage

dan fauna epifit. Sejumlah epifit makroalgae

dan diatomea bentik tumbuh pada daun lamun,

dan permukaan daun sering ditutupi oleh

epifit, epifauna dan detritus. Sebagai tempat

berlindung dan substrat dari organisme, maka

hal ini merupakan fungsi yang penting dari

padang lamun. Adanya pembagian yang jelas

dari lamun tentang daun, batang, rimpang dan

akar menyebabkan meningkatnya keragaman

dari mikrohabitat sehingga hal ini membuat

dukungan terhadap keragaman fauna yang

cukup tinggi, di mana mereka tidak memakan

lamun secara langsung.

Rapatnya vegetasi lamun menyebabkan

lambatnya pergerakan air yang disebabkan

oleh arus dan gelombang sehingga menjadikan

perairan di bawahnya menjadi tenang.

Beberapa mysid, hirdomedusa dan juvenil

ikan, banyak ditemukan pada daerah tersebut.

Karena adanya keadaan ini, maka mineral dan

partikel organik terlarut di dalam air akan lebih

mudah mengendap atau tenggelam di padang

lamun. Dengan adanya kegiatan penangkapan

sedimen tersebut yang merupakan salah satu

fungsi padang lamun, maka akan membuat

efektif dari kegiatan beberapa jenis fauna,

bentuk pertumbuhan lamun dan situasi

topografi dari lingkungan setempat. Kasus

yang penting adalah pada padang lamun

Posidonia

di Mediterranian. Pada lamun ini

pertumbuhan rimpang akan menutupi

permukaan substrat. Aktivitas penangkapan

sedimen dari padang

Posidonia

ini akan

menyebabkan materi cukup banyak yang

tenggelam ke dalam sedimen karena adanya

pertumbuhan ke atas dari rimpang. Proses ini

akan menyebabkan terjadinya petak-petak

seperti sawah di bawah laut (MOLINIER &

PICARD 1952). Di sisi lain, rimpang

Zostera

marina

hanya tumbuh horizontal sehingga

penangkapan sedimen jelas lebih kecil.

De-posit dari patahan daun lamun dan adanya

sedimentasi partikel halus terlarut akan

menyediakan lingkungan autotrofik lingkungan

yang tinggi untuk fauna bentik.

Massa daun lamun akan menurunkan

pencahayaan pada siang hari, melindungi

dasar perairan dari insolasi dan memungkinkan

pengembangan lingkungan mikro pada dasar

vegetasi. Keadaan ini akan menguntungkan

bagi kehidupan fauna di padang lamun. Di

samping itu, padang lamun merupakan habitat

yang bagus untuk juvenil dan nekton ukuran

kecil di mana dapat berfungsi sebagai tempat

berlindung atau makanan. Beberapa ikan dan

cumi-cumi (sepalopoda) yang meletakkan

telurnya dan menjadikan padang lamun

sebagai tempat memijah.

Sebagai sumber makanan

Beberapa avertebrata yang hidup di

laut memakan daun lamun (KIKUCHI 1966;

THAYER

et al.

1975). Beberapa anggota dari

Aplysiidae dan bulu babi diketahui aktif

memakan lamun, tetapi makanan utamanya

bukan daun yang hijau (segar) tetapi algae

yang berassosiasi dengan lamun. Contoh,

dua jenis dari bulu babi,

Paracentrotus lividus

dan

Arabica lixula

yang umum hidup di

padang

Posidonia,

Mediterranian, merayap

kebagian atas daun lamun pada malam hari

untuk memakan epifit makroalgae yang

hidup pada bagian atas dari

Posidonia

(KEMPF 1962). Di bagian utara Jepang,

KAWAMURA (1973) melaporkan bulu babi,

Trongylocentrotus intermedius

memakan daun

hijau lamun

Phyllospadix iwantensis

yang

tumbuh di daerah dengan substrat karang.

Lamun menduduki rangking dua atau tiga

dalam rantai makanan dan kriteria frekuensi

keterdapatan, tetapi tersedia kurang dari 10%

(3)

berat pada setiap bulu babi dewasa. Menurut

percobaan makan dari bulu babi, kecepatan

konsumsi lamun per hari sekitar 1/3 dari

Laminaria

spp. Dengan menggunakan kriteria

efisiensi assimilasi berat,

Phyllospadix

menunjukkan lebih rendah secara umum

dibandingkan dengan algae

(Phyllospadix

32,4%, algae 56,7-83,4%). KRISTENSEN (1972)

melaporkan bahwa banyak dari avertebrata

yang hidup di laut tidak dapat memakan

karbohidrat karena mereka kurang mempunyai

enzym. Di samping itu, tidak ada nilai makanan

pada lamun untuk fauna karena rendahnya

kecepatan penggunaan lamun. Tidak ada hal

yang berarti dari ikan yang memakan lamun.

Angsa dan bebek memakan lamun pada

daerah ugahari yang dingin. Di Karibia

dilaporkan adanya grazing lamun oleh bulu

babi dan ikan baronang (RANDALL 1967).

Dari beberapa fauna yang memakan

lamun, banyak dari bagian-bagian tanaman

yang dihasilkan oleh lamun disimpan di dasar

atau diekspor ke laur dari ekosistem lamun

oleh pergerakan air. Bahan material organik ini

biasanya didekomposisi oleh mikroorganisme

akan digunakan oleh makrokonsumer dalam

bentuk detritus pada rantai makanan.

HUBUNGAN RANTAI MAKANAN DAN

ALIRAN ENERGI DI EKOSISTEM LAMUN

Rantai makanan

Pada ekosistem lamun, lamunnya

sendiri, bentik dan epifitik makroalgae,

planktonik dan bentik mikroalgae merupakan

produser primer. Lebih lanjut, secara kuantitatif

detritus organik berasal dari produser primer

yang ditimbun di dasar perairan. Detritus,

bagian makro dan mikro yang didekomposisi

dari tanaman, akan digunakan oleh

mikroorganisme dan sangat memegang

peranan penting sebagai sumber makanan

untuk beberapa konsumer primer.

Banyak dari avertebarata epifauna

memakan makroskopis epifit dan algae yang

ada pada daun lamun. Mikro dan meiofauna

hidup pada algae dan mencari makan bersama

dengan makrograzer. Gastropoda kecil seperti

Trochidae, Rissodae dan Centhiidae

merupakan pemakan algae. Beberapa

amphipoda, isopoda dan tanaida juga memakan

campuran mikroflora dengan detritus, dan

beberapa dari fauna ini mempunyai mulut

yang kuat untuk memakan algae dan daun

lamun. Beberapa dari fital krustasea menempel

pada lamun atau algae epifit, hewan ini

mempunyai antene yang bergerak di air dan

mengoleksi partikel organik terlarut. Beberapa

krustasea dekapoda, polikhaeta dan beberapa

ekhinodermata cukup oportunis dengan

kebiasaan makannya; misalnya satu jenis dari

fauna tersebut dapat memakan lamun dan

algae yang telah mati (membusuk), kemudian

memakan detritus organik, dan hidup serta

mati pada badan fauna lain. Walaupun

beberapa kepiting memakan moluska,

krustasea, polikhaeta dan algae, tetapi juga

memakan beberapa porsi dari bagian lamun

yang telah mati.

Berdasarkan basil analisis isi perut,

banyak dari ikan memakan lamun, di mana

ikan tersebut hidup. Beberapa ikan pelagis

yang berenang secara bergerombol memakan

daun

Zostera.

Menurut FUSE (1962) dan

KIKUCHI (1966) bahwa variasi dinamika

hubungan rantai makanan disebabkan oleh

kehadiran atau ketidak-hadiran beberapa

hubungan trofik oleh migrasi dari biota

penghuni tetap atau sementara; adanya

perubahan yang cepat dari perkembangan

perubahan makanan oleh predator; dan adanya

perubahan musiman dari kebiasaan makan

oleh predator karena adanya variasi musiman

terhadap melimpahnya makanan untuk fauna.

Aliran energi

THAYER

et al.

(1975) telah melakukan

penelitian yang mengestimasi aliran energi

pada padang

Zostera

di daerah estuarin

(4)

Carolina Utara. Total produksi bersih dari

fitoplankton, algae bentik dan lamun

diperkirakan 1550Kcal/m

2

/tahun dan kontribusi

lamun sekitar 2/3nya. Biomassa detritus yang

merupakan materi terlarut dalam sedimen dan

diperkirakan sekitar 21000 kcal/m

2

. Konsumsi

dari epifauna, infauna dan ikan telah

diperkirakan dengan prosedur sebagai beri-

kut: respirasi oleh kelompok jenis yang diukur

di laboratorium; dan produksi dari avertebrata

yang diperkirakan dari asumsi rasio respirasi/

assimilasi adalah 0,75 yang sama dari kira-kira

untuk fauna herbivora dan detrivora. Produksi

dari ikan diperkirakan dengan peng-ukuran

respirasi yang menggunakan respirasi aliran

air, dan konsumsi diperkirakan dengan asumsi

rasio asimilasi/konsumsi adalah 0,8 (ADAMS

1976). Dia menyimpulkan bahwa konsumsi

makrofauna di padang lamun

Zostera

dengan

ekuivalen energi 55% dari produksi bersih

lamun

Zostera-nya.

sendiri, fitoplankton dan

algae bentik.

Rantai makanan detritus

Telah diketahiui bahwa lamun yang

mati akan kehilangan protein dan materi

organik lain yang dimakan untuk fauna pada

saat permulaan dekomposisi. Struktur

karbohidrat diambil oleh mikroflora (bakteri

dan jamur). Materi yang dikomposer tersebut

mengandung bakteri dan jamur akan dimakan

oleh fauna bentik yang lain (ODUM

et al.

1971). Banyak dari metazoa dapat mencerna

protein bakteri, dan serasah daun lamun

diekskresi oleh fauna dan bentuk yang belum

dicerna akan didekomposisi lagi oleh mikroba

dekomposer. Detritus yang berupa bagian-

bagian yang halus akan meningkat pada

partikel permukaan dan akan ditempeli oleh

mikroflora. FENCHEL (1970) melaporkan bahwa

mekanisme penguraian detritus oleh grazing

makro avertebreta akan meningkatkan

persediaan makanan untuk makrofauna. Dia

mem-presentasikan rantai makanan dari

detri-tus yaitu bagian tanaman mati - mikroflora -

protozoa heterotrofik-makrofauna. MEYERS

& HOPPER (1967) melaporkan bahwa

Lindra

thallsiae

dan beberapa jamur berkembang

pada daun mati

Thalassia testudinum,

beberapa jenis nematoda memakan jamur, dan

populasi nematoda meningkat bersama dengan

perkembangan jamur. Mekanisme penguraian

detritus oleh gammaridae dan udang

memberikan kontribusi positif untuk mikroba

dekomposer. TENORE

et al.

(1977) meneliti

konsumsi detritus

Zostera

oleh makrobentos

Nephtys incisa

dengan

14

C pada suatu sistem

tanpa komponen meiofauna. Dalam percobaan

tersebut, detritus buatan yang diproduksi dari

daun

Zostera

tersebut menghasilkan

pengayaan nutrien pada media laut alami. Jika

detritus segar (2 bulan), beberapa

14

C akan

masuk ke

Nephtys,

tetapi kecepatan kerjasama

dan kecepatan metabolisme dan sistem ini

meningkat jika umur detritus telah mencapai 5

bulan.

Assimilasi detritus dan assosiasi bakteri

oleh tiga jenis makrofauna, di mana melimpah

pada padang

Zostera

telah diteliti oleh

ADAMS & ANGELOVIC (1970) dengan

menggunakan tehnik "radiotracer". Detritus

yang diteliti telah disiapkan dengan prosedur

sebagai berikut: daun

Zostera

yang telah

dilabel "C diambil, dikeringkan dan digiling

menjadi tepung; kemudian tepung lamun

tersebut diinkubasi dengan air laut setelah itu

dinokulasi dengan bakteri

Zostera.

Setelah 3

hari makan, gastropoda kecil

Baittium varium

dan udang lamun

Palaemonetes pugio

diassimilasi dengan assosiasi bakteri label

14

C

dengan detritus yang sudah dan non-steril.

Pada

Baittium

efesiensi asimilasi dari detritus

yang steril dan nonsteril hampir sama (46,3%

dan 48,6%). Di sisi lain,

Glycera dibranchiata

(polikhaeta) sebagai predator tidak

mengassimilasi detritus yang dilabel

14

C.

Pada analisis tentang hubungan antara

lamun dengan fauna yang hidup di padang

lamun, juga ditemukan adanya perbedaan

yang nyata terhadap detritus lamun untuk

(5)

fauna. Beberapa laporan menyebutkan fauna

pemakan detritus dan fauna pemakan filter

meningkat pada musim serasah lamun. Lebih

lanjut IMAI

et al.

(1950) telah melakukan

penelitian terhadap musiman dari padang

Zostera marina

yang menutupi sebagai besar

teluk, termasuk lamunnya sendiri, populasi

fauna yang hidup dan beberapa faktor

fisiokimia pada laut tersebut. Pada musim

serasah dari

Zostera,

konsentrasi oksigen

terlarut menurun dengan adanya reduksi

fotosintesa dan peningkatan aktivitas mikroba.

Setelah beberapa menit,

Monas

sp. (flagellata)

muncul di laut dan dikonsumsi oleh bentos

pemakan saring dan larva planktonik. Masa

pemijahan dari kerang dan makroavertebrata

lainnya berkaitan dengan jumlah flagellata.

Lebih lanjut dikatakan bahwa populasi mikroba

meningkat karena danya dekomposisi lamun

dan flagellata meningkat dengan meng-

konsumsi bakteri.

Pada beberapa lokasi dari padang

lamun, terutama yang ditumbuhi lamun

Zostera

marina

dan

Posidonia oceanica,

padang

lamun tersebut sangat kaya dengan keragaman

fauna. Vegetasi yang rapat dan keragaman

habitat untuk mikroorganisme dengan substrat

yang bagus untuk menempel dan beristirahat

atau tempat berlindung dari fauna untuk

kehidupannya. Hasil penelitian tentang

perbandingan dari epifit fauna yang bergerak

pada beberapa lokasi yang berbeda

mengindikasikan tingginya kesamaan

komposisi fauna dan keadaan ekologisnya.

Untuk fauna nektonik, komposisi jenis tidak

begitu sama, tetapi keadaan ekologisnya dapat

diidentifikasi di belahan dunia. Secara umum

dapat dikatakan bahwa ikan muncul pada

padang lamun dengan ukuran relatif kecil, dan

banyak dari ikan-ikan komersil atau ekonomis

ada di padang lamun hanya dalam bentuk

larva atau juvenilnya. Peranan sebagai tempat

memijah dari ikan merupakan satu fungsi

yang penting dari padang lamun (KIKUCHI

1980).

Berkaitan dengan hubungan trofik,

kelangkaan fauna "grazer" lamun merupakan

hal yang penting dalam komunitas ini. Banyak

herbivora memakan makro dan mikroalgae

yang berassosiasi dengan daun lamun.

Sejumlah besar dari daun lamun ditimbun

pada dasar dari padang lamun atau di

sekitarnya, atau hanyut ke ekosistem lain

sebagai daun-daun yang terapung. Jadi banyak

materi organik yang diproduksi oleh lamun

akan didekomposisi oleh mikroba dekomposer

dan akan digunakan oleh konsumer yang

lebih tinggi dalam rantai makanan detritus.

Walaupun ekosistem padang lamun telah

didefinisikan dengan baik, tetapi hal ini

hanyalah sebagian kecil dari laut dangkal atau

ekosistem estuarin. Materi dan energi akan

diekspor dan diimpor sebagai substansi yang

hidup atau yang mati.

DAFFAR PUSTAKA

ADAMS, SM. 1976. The ecology of eelgrass,

Zostera marina

L., fish communities. I.

Structural analysis.

J.Exp.Mar.Biol.

Ecol

22 :269-292.

ADAMS, S.M. and J.W. ANGELOVIC 1970.

Assimilation of detritus and its

associ-ated bacteria by three species of es-

tuarine animals.

Chesapeake Sci.

11:249-254.

FENCHEL, T. 1970. Studies on the

decompo-sition of organic detritus derived from

the turtle grass

Thalassia testudinum.

Limnol Oseanogr.

15: 14-20.

FUSE, S. 1962. The animal community in the

Zostera

belt.

Physiol.Ecol.Japan

11: 1-

22

GOTHBERG, T. and R. RONDELL 1973.

Ekologiska studier i Zostera-samhallet

i norra Ostersjon.

Information from

Sotvattenslaboratoriet Drottningholm

11.37pp.

(6)

HARMEL1N, H.L. 1964. Etude de l'endofauna

des "mattes" d'herbiers de

Posidonia

oceanica

Delile.

Trav. Sta. Mar.

Endoume

35 : 43-106.

IMAI, T., M. HATANAKA, R. SETO and S.

SAKAI 1950. Ecology of Mangokuura

Inlet with special reference to the

seed-oyster production. Sci.

Rep.Inst.

Tohoku Univ.

1: 137-151.

KAWAMURA. K. 1973. Fishery biological

studies on a sea urchin,

Strongylo-

centrotus intermedius

(A. Agassiz).

Sci

.

Rep. Hokkaido Fish.Exp.Sta.

16:

1-54.

KEMPF, M. 1962. Researches d'ecologie

com-pare sur

Paracentrotus lividus

(Lmk).

et

Arbacia lixula

L. Rec.Trav.Sta.Mar.

Endoume 25:47-116.

KIKUCHI, T. 1966. An acological study on

animal communities of the Zostera belt in

Tomioka Bay, Amakusa, Kyusu.

Publ.Amakusa.Mar.Biol.Lab.

1: 1-106.

KIKUCHI, 1.1973. The seagrass bed ecosystem.

In

: Marine Ecology (G. Yamamoto, ed.)

University Tokyo Press, Tokyo pp.

23-37 (in Japanese).

KIKUCHI, T. 1980. Fauna! relationships in

temperate seagrass beds. In: Handbook

of seagrass biology (R.C. Phillips and P.C.

McRoy, eds.). Garland STPM Press, New

York. 153-172.

KRISTENSEN, J.F. 1972. Carbohydrases of

some marine invertebrates with notes on

their food and on the natural occurrence

of the carbohydrates studied.

Mar. Biol

14: 130-142.

LEDOYER, M. 1966. Ecologie de la faune

vague des biotopes Mediterraneens

accessibles en scaphaandre autonome.

Rec. Trav.Sta.Mar.Endoume.

41: 135-

164.

MEYERS, S.P. and B.E. HOPPER 1967. Studies on

marine fungal-nematoda association and

plant degradation.

Helgolander

Wiss.Meeresunters.

15 : 270-28 1.

MOLINIER, R. and J. PICARD 1952. Researche

sur les herbiers de phaneroganies marines

du littoral Mediterraneen francais.

Ann.Inst.Oceanogr.

27(3): 157-234.

ODUM, W.E., J/C/ ZIEMAN and ES. HEALD

1971. The importance of vascular plant

debris to estuaries.

Proc. Coastal Marsh

and Estuary Management Symposium.

pp.91-114.

ORTH, R.J. 1973. Benthic infauna of eelgrass

Zostera marina

beds.Chesapeake Sci.

14:258-269.

RANDALL J.E. 1967. Food habits of reef

foshes of the West Indies.

Stud. Tropical

Oceanorg.

5: 665-847.Great

RASMUSSEN, E. 1973. Systematics and

ecol-ogy of the Isefjord marine fauna.

Ophelia

11: 1-495.

TENORE, K.R., J.H. TIETJEN and J.J. LEE 1977.

Effect of meiofauna on incorporation of

aged eelgrass,

Zostera marina,

detritus

by the polychaete

Nephtys insica.

J.Fish.res.Bd. Can.

34: 563-567.

THAYER, G.W., S.M. ADAMS and M.W. La

CROIX 1975. Structural and functional

aspects of a recently established

Zostera marina

community.

Estuarine

Research

1:518-540.

Referensi

Dokumen terkait

Kepunahan jenis ataupun varietas flora dan fauna tertentu dapat disebabkan oleh beberapa hal, misalnya berkurangnya luas lahan; kerusakan lahan, misalnya kerusakan hutan sehingga

A. Korelasi antara variabel ekologi perairan dan kelimpahan ikan B. Pengelompokan stasiun pengamatan berdasarkan kelimpahan ikan.. Sebaran Jenis Lamun di Perairan Teluk Awur

Berdasarkan penjelasan di atas melatar belakangi penulis untuk membuat suatu penelitian yang berjudul “Analisa Klasifikasi Jenis-jenis Lamun Dengan Metode C4.5

Kemampuan beradaptasi pada berbagai jenis substrat tersebut memberikan keuntungan bagi jenis lamun Thalassia hemprichii untuk dapat tumbuh dan berkembang biak

Biota penghuni padang lamun dapat berupa herbivora, karnivora, ataupun omnivora (pemakan segala). Bulu babi dan jenis jenis ikan tertentu merupakan biota herbivora yang hidup

Pulau Panggang terletak di Taman Nasional Kepulauan Seribu yang memiliki ekosistem lamun dengan cukup baik. Banyak biota yang berasosiasi dengan lamun, salah satunya

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui jumlah dan jenis lamun, kerapatan dan penutupan lamun, mengetahui indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominasi serta potensi

Penelitian dilakukan dengan dua model lamun buatan yang terbuat dari tali kalas, tanaman plastik berbentuk semak, dan transplantasi lamun asli jenis Enhalus acoroides serta padang