• Tidak ada hasil yang ditemukan

fitokimia kunyit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "fitokimia kunyit"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

Fitokimia Fitokimia

Fitokimia merupakan senyawa yang berada di dalam tumbuhan. Fitokimia Fitokimia merupakan senyawa yang berada di dalam tumbuhan. Fitokimia memberikan aroma khas, rasa dan warna

memberikan aroma khas, rasa dan warna tertentu bagi tanaman dalam berintegrasitertentu bagi tanaman dalam berintegrasi dengan lingkungan. Manusia memilih senyawa ini karena beberapa alasan,

dengan lingkungan. Manusia memilih senyawa ini karena beberapa alasan, diantaranya karena fitokimia mempunyai efek biologi yang efektif menghambat diantaranya karena fitokimia mempunyai efek biologi yang efektif menghambat  pertumbuhan kanker, sebagai antioksidan, mempunyai sifat menghambat

 pertumbuhan kanker, sebagai antioksidan, mempunyai sifat menghambat

 pertumbuhan mikroba, menurunkan kolesterol darah, menurunkan kadar glukosa  pertumbuhan mikroba, menurunkan kolesterol darah, menurunkan kadar glukosa darah, bersifat antibiotik, dan menimbulkan efek peningkatan kekebalan (Amelia darah, bersifat antibiotik, dan menimbulkan efek peningkatan kekebalan (Amelia 2002). Beberapa fitokimia yang sudah diketahui terdapat di dalam tanaman obat 2002). Beberapa fitokimia yang sudah diketahui terdapat di dalam tanaman obat antara lain sebagai berikut :

antara lain sebagai berikut : 1. Alkaloid

1. Alkaloid

Alkaloid pada umumnya larut dalam bahan pelarut lipofil, yang garamnya Alkaloid pada umumnya larut dalam bahan pelarut lipofil, yang garamnya larut dalam pelarut hidrofil. Alkaloid dalam tumbuhan umumn

larut dalam pelarut hidrofil. Alkaloid dalam tumbuhan umumn ya terdapat sebagaiya terdapat sebagai garam, sehingga dapat langsung diekstraksi dengan bahan pelarut hidrofil (air, garam, sehingga dapat langsung diekstraksi dengan bahan pelarut hidrofil (air, etanol) (Voight1994) .

etanol) (Voight1994) . 2. Flavonoid

2. Flavonoid

Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air. Flavonoid dapat Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air. Flavonoid dapat diekstraksi dengan etanol 70% dan tetap

diekstraksi dengan etanol 70% dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak iniada dalam lapisan air setelah ekstrak ini dikocok dengan etanol. Flavonoid berupa senyawa fenol, karena itu warnanya dikocok dengan etanol. Flavonoid berupa senyawa fenol, karena itu warnanya

(2)

akan berubah jika ditambah basa atau amonia, sehingga mudah dideteksi pada akan berubah jika ditambah basa atau amonia, sehingga mudah dideteksi pada kromatogram atau dalam larutan (Harborne 1987).

kromatogram atau dalam larutan (Harborne 1987). 3. Tanin

3. Tanin

Tanin dalam angiospermae terdapat khusus dalam jaringan kayu. Tanin dapat Tanin dalam angiospermae terdapat khusus dalam jaringan kayu. Tanin dapat  bereaksi dengan protein membentuk suatu polimer mantap yang tidak dapat  bereaksi dengan protein membentuk suatu polimer mantap yang tidak dapat  bereaksi dengan air (Harborne 1987).

 bereaksi dengan air (Harborne 1987). 4. Kuinon

4. Kuinon

Kuinon adalah senyawa berwarna dan

Kuinon adalah senyawa berwarna dan memiliki kromofor dasar sepertimemiliki kromofor dasar seperti kromofor pada benzikuinon, naftokuinon, antrakuinon, dan kuinon isoprenoid. kromofor pada benzikuinon, naftokuinon, antrakuinon, dan kuinon isoprenoid. Tiga kelompok pertama biasanya terhidroksiliasi dan bersifat “senyawa fenol” Tiga kelompok pertama biasanya terhidroksiliasi dan bersifat “senyawa fenol” serta mungkin terdapat

serta mungkin terdapat in vivoin vivodalam bentuk gabungan dengan gula sebagaidalam bentuk gabungan dengan gula sebagai glikosida atau dalam bentuk kuinol terwarna, kadang-kadang juga bentuk dimer. glikosida atau dalam bentuk kuinol terwarna, kadang-kadang juga bentuk dimer. Sehingga diperlukan hidrolisis asam untuk melepaskan kuinon bebasnya

Sehingga diperlukan hidrolisis asam untuk melepaskan kuinon bebasnya (Harborne 1987).

(Harborne 1987). 5. Saponin

5. Saponin

Saponin adalah glikosida triterpen dan sterol telah

Saponin adalah glikosida triterpen dan sterol telah terdeteksi dari 90terdeteksi dari 90 tumbuhan. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti tumbuhan. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis darah (Harborne 1987).

menghemolisis darah (Harborne 1987).

Kurkuminoid Kurkuminoid

Kurkuminoid merupakan komponen yang dapat memberikan warna, dan Kurkuminoid merupakan komponen yang dapat memberikan warna, dan zat ini digunakan baik dalam

zat ini digunakan baik dalam industri pangan maupun kosmetik. Salah industri pangan maupun kosmetik. Salah satu fraksisatu fraksi yang terdapat dalam kurkuminoid adalah kurkumin ( Sembiring

yang terdapat dalam kurkuminoid adalah kurkumin ( Sembiringet al et al . 2006).. 2006). Kurkumin bermanfaat sebagai antioksidan, antimikroba, antifungi, dan Kurkumin bermanfaat sebagai antioksidan, antimikroba, antifungi, dan  juga antiinflamasi. Selain itu kurkumin juga diyakini mampu menghambat  juga antiinflamasi. Selain itu kurkumin juga diyakini mampu menghambat  pertumbuhan sel kanker dan memacu apoptosisi sel kanker 

 pertumbuhan sel kanker dan memacu apoptosisi sel kanker .. Bahan warnaBahan warna kurkumin dapat juga digunakan untuk memecah penggumpalan darah di otak  kurkumin dapat juga digunakan untuk memecah penggumpalan darah di otak  seperti yang terjadi pada pasien pen

seperti yang terjadi pada pasien penyakityakitalzheimer alzheimer (Dheni 2007). Menurut(Dheni 2007). Menurut

Purwanti (2008), kandungan kurkumin dalam kunyit adalah 2,38 % per 100 gram Purwanti (2008), kandungan kurkumin dalam kunyit adalah 2,38 % per 100 gram kunyit.

(3)

Partikel kurkumin memiliki bagian dalam yang bersifat hidrofobik dan  bagian luar yang bersifat hidrofilik (Dheni 2007). Secara kimia, kurkumin dapat

digambarkan sebagai berikut:

Gambar 5 Struktur kimia kurkumin (Sumber: Best 2008)

Etanol

Etanol banyak dipakai sebagai pelarut dalam dunia farmasi dan industri makanan dan minuman. Etanol sering ditulis dengan rumus EtOH. Rumus

molekul etanol adalah C2H5OH atau rumus empiris C2H6O (Ane 2008). Kelarutan zat dalam pelarut tergantung dari ikatannya (polar, semipolar, atau non polar). Etanol termasuk ke dalam pelarut polar, sehingga sebagai pelarut etanol

diharapkan dapat menarik zat-zat aktif yang juga bersifat polar (Houghton dan Raman 1998).

Ekstraksi

Ekstraksi adalah proses untuk mengisolasi senyawa dari suatu tumbuhan. Ragam ekstraksi bergantung pada tekstur dan kandungan air bahan tumbuhan yang diekstraksi pada jenis senyawa yang diisolasi (Harborne 1987). Ekstraksi amat bergantung pada jenis dan komposisi dari cairan pengekstraksi. Cairan  pelarut yang biasanya digunakan dalam proses ekstraksi adalah air, eter, atau

campuran etanol air. Ekstraksi dengan menggunakan pelarut etanol air sebaiknya menggunakan cara maserasi (Farmakope Indonesia 1979).

Prosedur klasik ekstraksi untuk memperoleh kandungan senyawa organik  dari jaringan tumbuhan kering (galih, biji kering, akar, daun) ialah dengan

(4)

berganti-ganti, mulai dengan eter, lalu eter minyak bumi, dan kloroform (untuk 

memisahkan lipid dan terpenoid). Kemudian digunakan alkohol dan etil asetat untuk senyawa yang lebih polar. Ekstrak yang diperoleh kemudian diuapkan dengan penguap putar yang akan menguapkan larutan menjadi volume kecil. (Harborn 1987).

Menurut Wientarsih dan Prasetyo (2006) metode ekstraksi dibagi kedalam 5 cara, yaitu:

1. Maserasi

Maserasi adalah cara ekstraksi paling sederhana. P roses maserasi adalah  proses menyatukan bahan yang telah dihaluskan dengan bahan ekstraksi. Waktu

maserasi, semua farmakope mencantumkan 4-10 hari. Setelah waktu itu,

sebaiknya ditetapkan suatu keseimbangan antara bahan yang diekstraksi dalam  bagian sebelah dalam sel dengan yang masuk ke dalam cairan, dengan dem ikian

difusi akan berakhir. Melalui usaha ini diharapkan akan terjadi keseimbangan konsentrasi simplisia yang lebih cepat ke dalam cairan. Sedangkan keadaan diam saat maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif (Voight 1994).

Metode ekstraksi maserasi memiliki kelebihan karena pengerjaan dan alat yang dipakai sederhana. Tetapi proses ekstraksi dengan metode ini membutuhkan waktu yang relatif lama, serta hasil ekstraksi yang kuran g sempurna (Yuliani dan Sofyan 2003).

2. Metode Perkolasi

Metode ini dilakukan dengan cara mencampur 10 bagian simplisia ke dalam 5 bagian larutan pencuci. Setelah itu dipindahkan ke dalam perkolator, dan ditutup selama 24 jam setelah itu biarkan menetes sedikit demi sedikit. Kemudian ditambahkan larutan pencuci secara berulang-ulang hingga terdapat selapis cairan  pencuci. Perkolat yang telah terbentuk kemudian diuapkan (Wientarsih dan

Prasetyo 2006). 3. Digesti

Metode ini merupakan bentuk lain dari maserasi yang menggunakan panas seperlunya selama proses ekstraksi (Wientarsih dan Prasetyo 2006).

(5)

Metode ini dilakukan dengan memanaskan campuran air dan simplisia  pada suhu 90ºC dalam waktu 5 menit. Selama proses ini berlangsung campuran

terus diaduk dan diberi tambahan air hingga diperoleh volume infus yang dikehendaki (Wientarsih dan Prasetyo 2006).

5. Dekoksi

Metode yang digunakan sama dengan metode infusi hanya saja waktu  pemanasannya lebih lama yaitu sekitar 30 menit (Wientarsih dan Prasetyo 2006).

Salep

Salep adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan digunakan sebagai obat luar (Farmakope Indonesia 1979). Menurut Ansel (1989), salep merupakan sediaan dermatolologi yang paling sering dipakai. Sediaan topikal dapat digunakan untuk perlindungan setempat (lokal) atau dengan alasan terapeutik (Blodinger 1994).

Menurut Farmakope Indonesia (1979), bahan obat dalam pembuatan salep harus dapat larut/terdispersi homogen dalam dasar salep yang cocok.

Pemilihan dasar salep harus memiliki syarat tertentu, diantaranya stabil secara fisik dan kimia, warna dan bau stabil selama penyimpanan / pemakaian, dapat dicampur dengan semua obat, teksturnya halus dan licin sehingga mudah dioles  pada kulit. Selain itu dasar salep juga harus baik untuk semua tipe kulit, tidak 

mudah tengik, tidak mengiritasi kulit, dan mudah dioleskan (Wientarsih dan Prasetyo 2006).

Pemilihan dasar salep untuk dipakai dalam formulasi dari salep tergantung  pada pemikiran yang cermat atas sejumlah faktor-faktor termasuk laju pelepasan

yang diinginkan bahan obat dari dasar salep, keinginan peningkatan absorbsi  perkutan dari obat, kelayakan melindungi kelembaban kulit, kestabilan dasar 

salep dalam jangka waktu lama, pengaruh obat terhadap kekentalan atau lainnya dari dasar salep (Ansel 1989).

Salep merupakan sediaan yang digunakan secara topikal. Salep, baik salep  penutup maupun pelindung berguna untuk melindungi kulit dari kerja yang

(6)

kulit teratas dan dapat memberikan efek penyembuhan untuk menangani luka maupun penyekit kulit lainnya tang bersifat akut ataupun kronis (Ansel 1989).

Persembuhan Luka

Persembuhan luka adalah proses dalam tubuh untuk memperbaiki bagian luka menjadi bentuk yang paling mendekati kondisi normal tubuh sebelumnya. (Vegad 1995). Berdasarkan keadaan luka yang terjadi, jenis penyembuhan dibagi menjadi dua macam. Luka paling sederhana adalah luka yang dapat ditangani sendiri oleh tubuh seperti pada insisi pembedahan, yang tepi lukanya dapat saling didekatkan untuk dimulainya proses persembuhan. Persembuhan semacam itu disebut persembuhan primer atauhealty by first intention (Price dan Wilson 1992). Pola kedua adalah penyembuhan luka terjadi jika kulit yang mengalami luka sedemikian rupa sehingga tepinya tidak dapat saling didekatkan selama  proses penyembuhan. Keadaan ini disebut sebagaihealing by second intention

atau terkadang disebut penyembuhan dengan granulasi. Luka seperti ini biasanya menimbulkan jaringan parut dan memerlukan waktu yang lama dalam proses  persembuhannya (Price dan Wilson 1992).

Menurut Nayak dan Pereira (2006), persembuhan luka merupakan suatu  proses untuk memperbaiki kulit dan jaringan lunak setelah terjadinya proses  perlukaan. Setelah perlukaan terjadi akan diikuti dengan reaksi peradangan pada

daerah dermis yang diikuti penurunan produksi jaringan ikat kolagen. Kemudian akan terjadi regeneresi dari sel epitel. Oleh karena itu, proses persembuhan luka umumnya terdiri atas tiga fase yaitu, proses peradangan, fase proliferasi, serta remodeling atau fase maturasi (Singer dan Clark 1999).

 Fase Peradangan ( Fase Inflamasi)

Peradangan adalah reaksi universal dari kerusakan jaringan karena terjadinya trauma mekanis, nekrosa jaringan, dan terjadin ya infeksi (Price dan Wilson 1992). Pada fase inflamasi terjadi respons vaskuler dan seluler yang terjadi akibat perlukaan yang terjadi pada jaringan lunak (Tawi 2008 ; Vegad 1995). Pada awal fase ini, luka yang mengakibatkan kerusakan pembuluh darah

(7)

akan menyebabkan keluarnya darah (Spector dan Spector 1993). Menurut Tawi (2008), kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan keluarnya platelet yang  berfungsi hemostasis. Platelet akan menutupi vaskuler yang terbuka (clot ) dan  juga mengeluarkan substansi “vasokonstriksi” yang mengakibatkan pembuluh

darah kapiler vasokonstriksi, selanjutnya terjadi penempelan endotel yang yang akan menutup pembuluh darah.

Periode ini hanya berlangsung 5-10 menit, dan setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapiler stimulasi saraf sensoris, local reflex action,dan adanya

substansi vasodilator: histamin, serotonin, dan sitokin. Sitokin terdiri dari  Epidermal Growth Factor (EGF),Insulin-like Growth Factor (IGF ),

Plateled-derived Growth Factor (PDGF) danTransforming Growth Factor beta(TGF-β) . Keberadaan sitokin akan mempercepat kehadiran makrofag dan monosit (Singer  dan Clarc 1999). Sementara histamin, selain menyebabkan vasodilatasi juga mengakibatkan meningkatnya permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah keluar dari pembuluh darah dan masuk ke daerah luka dan secara klinis terjadi oedema jaringan dan keadaan lokal lingkungan tersebut asidosis (Tawi 2008).

Oedema yang terjadi akan mengakibatkan migrasi sel lekosit (terutama netrofil) ke ekstra vaskuler. Fungsi netrofil adalah membersihkan daerah lu ka dari benda asing dan bakteri (Singer dan Clark 1999). Menurut Spector dan

Spector (1993) keberadaan netrofil di daerah luka sangat singkat, sehingga setelah dihasilkannya sitokin, monosit masak akan berubah men jadi makrofag di jaringan dan menggantikan fungsi netrofil. Sel makrofag berfungsi untuk fagositosis,

mensintesa kolagen, membentuk jaringan granulasi bersama-sama dengan fibroblas, memproduksi growth factor yang berperan pada reepitelisasi, serta membentuk pembuluh kapiler baru atau angiogenesis (Tawi 2008)

Setelah luka bersih dari infeksi dan bakteri serta terbentuknya makrofag, dan fibroblas, dapat dikatakan bahwa fase inflamasi telah terjadi. Fase ini ditandai dengan adanya eritrema, hangat pada kulit, oedema dan rasa sakit yang berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4 setelah terjadinya perlukaan (Tawi 2008).

(8)

 Fase Proliferasi

Menurut Tawi (2008), proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki dan menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Peran fibroblas sangat besar pada proses perbaikan, yaitu bertanggung jawab pada  persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama  proses rekonstruksi jaringan.

Pada jaringan lunak yang mengalami perlukaan, fibroblas akan aktif   bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan

 berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, hyaluronic acid ,  fibronectindan profeoglycans) yang berperan dalam

membangun (rekonstruksi) jaringan baru (Singer dan Clark 1999).

Kolagen memiliki fungsi yang lebih spesifik yaitu membentuk cikal bakal  jaringan baru dan dengan dikeluarkannnya subtrat oleh fibroblas, memberikan

tanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga fibroblas sebagai satu kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka (Tawi 2008).

Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam di dalam jaringan  baru tersebut, disebut sebagai jaringan granulasi, sedangkan proses proliferasi

fibroblas dengan aktifitas sintetiknya disebut fibroblasia. Respon yang dilakukan fibroblas terhadap proses fibroplasia adalah proliferasi, migrasi, deposit jaringan matriks, serta kontraksi luka (Tawi 2008).

Angiogenesis merupakan proses komplek pembentukan pembuluh kapiler baru didalam luka, mempunyai arti penting pada tahap proliferasi  persembuhan luka (Singer dan Clark 1999). Kegagalan vaskuler akibat penyakit

(diabetes), pengobatan (radiasi) atau obat (preparat steroid) mengakibatkan lambatnya proses sembuh karena terbentuknya ulkus yang kronis. Jaringan vaskuler yang melakukan invasi kedalam luka merupakan suatu respons untuk  memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di daerah luka karena biasanya pada daerah luka terdapat keadaan hipoksik dan turunnya tekanan oksigen. Pada fase ini fibroplasia dan angiogenesis merupakan proses terintegrasi dan dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet dan makrofag ( grawth factors) (Tawi 2008).

(9)

Proses selanjutnya adalah epitelisasi, dimana fibroblas mengeluarkan keratinocyte growth factor (KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis sel epidermal. Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka dan akhirnya membentuk   barrier yang menutupi permukaan luka. Dengan sintesa kolagen oleh fibroblas,  pembentukan lapisan dermis ini akan disempurnakan kualitasnya dengan

mengatur keseimbangan jaringan granulasi dan dermis. Untuk membantu jaringan  baru tersebut menutup luka, fibroblas akan merubah strukturnya menjadi

myofibroblas yang mempunyai kapasitas melakukan kontraksi pada jaringan. Fungsi kontraksi akan lebih menonjol pada luka yang ekstrim dibandingkan dengan luka biasa (Tawi 2008). Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen telah terbentuk (Anonim 2003).

 Fase Maturasi

Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase maturasi adalah menyempurnakan

terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan  bermutu. Fibroblas sudah mulai meninggalkan jaringan granulasi, warna

kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena pembuluh mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut (Tawi 2008).

Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak fase proliferasi akan dilanjutkan  pada fase maturasi. Selain teejadi pembentukan kolagen baru, enzim kolagenase

akan mengubah kolagen muda (gelatinous collagen) yang terbentuk pada fase  proliferasi akan berubah menjadi kolagen yang lebih matang, yaitu lebih kuat dan

struktur yang lebih baik (proses re-modelling ) (Singer dan Clark 1999). Menurut Tawi (2008) luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan kulit mampu melakukan aktivitas yang normal.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Peradangan Dan Penyembuhan

Persembuhan luka dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu usia, nutrisi, infeksi, sirkulasi dan oksigenasi, keadaan luka dan obat (Drakbar 2008). Anak dan dewasa penyembuhannya lebih cepat daripada orang tua. Orang tua lebih sering

(10)

terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati dapat mengganggu sintesis dari faktor pembekuan darah (Drakbar 2008).

Menurut Drakbar (2008) proses penyembuhan membuat tubuh bekerja lebih keras, sehingga penderita memerlukan diet kaya protein, karbohidrat, lemak, vitamin C dan A, dan mineral seperti Fe, Zn. Penderita kurang nutrisi memerlukan waktu lebih lama untuk persembuhan, karena mereka harus memperbaiki status nutrisi mereka terlebih dahulu baru melakukan p roses

 persembuhan. Sedangkan pada penderita yang nutrisinya berlebih (gemuk) infeksi luka akan memerlukan waktu penyembuhan yang lama karena suplai darah

 jaringan adipose tidak merata. Penggunaan obat anti inflamasi (seperti steroid dan aspirin), heparin dan anti neoplasmik mempengaruhi penyembuhan luka.

Penggunaan antibiotik yang lama juga dapat membuat seseorang rentan terhadap infeksi luka (Drakbar 2008). Penyembuhan luka juga terganggu oleh adanya  benda asing atau jaringan nekrotik pada luka yang menyebabkan infeksi jaringan,

sehingga persembuhan luka lebih lama (Price dan Wilson 1992).

Faktor lain yang mempengaruhi proses persembuhan luka adalah proses sirkulasi dan oksigenisasi. Adanya sejumlah besar lemak subkutan dan jaringan lemak pada orang-orang yang gemuk membuat penyembuhan luka lambat. Hal ini dikarenakan pada jaringan lemak jumlah pembuluh darah sedikit, sehingga  jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah infeksi, dan lama untuk sembuh.

Pada orang yang menderita gangguan pembuluh darah perifer, hipertensi atau diabetes millitus aliran darah terganggu sehingga persembuhan luka t erhambat. Begitupula pada penderita anemia atau gangguan pernapasan kronik pada  perokok, oksigenasi jaringan menurun sehingga prosesnya lebih lama

dibandingkan pada orang yang sehat (Drakbar 2008).

Menurut Price dan Wilson (1992), hal lain yang dapat mempengaruhi  proses persembuhan luka adalah pemakaiaan obat-obatan tertentu seperti  penderita yang mengkonsumsi sediaan kortikosteroid dalam dosis tinggi ataupun

obat antiinflamasi, seperti steroid dan aspirin yang membuat proses persembuhan luka akan terhambat.

(11)
(12)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Farmasi, dan Ba gian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada bulan Juli 2007- April 2008.

Bahan dan Alat

Hewan Percobaan

Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit albino jantan sebanyak  45 ekor umur 8 minggu dengan berat badan 20-40 gram. Mencit dipelihara dalam kotak plastik berukuran 20 X 30 cm. Pada sisi atas kotak ditutup dengan kawat kasa agar mencit tidak lepas, namun udara tetap bersirkulasi. Pada bagian dasar  diberi serbuk gergaji atau sekam untuk menjaga suhu tetap optimal. Mencit diberi  pakan pelet dan minumad libitum.

Bahan

Bahan yang digunakan antara lain rimpang kunyit berumur 9 bulan yang diperoleh dari Balitro dan telah diidentifikasi di Herbarium LIPI Bogorience. Kemudian rimpang kunyit tersebut diolah menjadi simplisia rimpang kunyit.

Bahan lainnya antara lain etanol 96%, eter, larutan Netral Buffer Formalin (BNF) 10% untuk fiksasi kulit, dan kapas serta vaselin kuning untuk pembuatan salep. Obat komersil yang digunakan mengandung ekstrak plasenta 0.5%,

neomycin sulfate 5% danjelly base.

Bahan yang digunakan untuk membuat sediaan histopatologi yaitu larutan  Mayer’s Hematoxylin, larutan Eosin, Xylol, alkohol dengan konsentrasi

 bertingkat (70%, 80%, 90%, 95% dan 100%), larutanLithium Carbonat , Aquades, Asam Asetat 1%, larutanMordant , larutanCarrazi’s Hematoxylin, larutan Orange G 0,75% larutanPonceau Xylidine Fuchsin, Larutan

(13)

Alat

Alat-alat yang digunakan antara lain toples, kandang mencit, pisau bedah untuk mendapatkan sediaan kulit, peralatan untuk pembuatan sediaan

histopatologi yaitu tissue processor , mikrotom, penangas air, gelas objek dan gelas penutup. Mikroskop cahaya dan mikroskop video mikrometer untuk   pengamatan histopatologi. Sedangkan, alat-alat untuk ektraksi rimpang kunyit

adalah maserator, evaporator, gelas elenmayer 100 ml, dan oven untuk   pengeringan.

Tahapan Penelitian Ekstraksi rimpang kunyit

Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi. Metode ini dilakukan dengan cara serbuk kunyit (simplisia) yang didapatkan dari rimpang kunyit 9  bulan, dimasukkan ke dalam wadah, setelah itu ditambahkan pelarut etanol

(alkohol 96%) dengan perbandingan 10 : 1. Kemudian direndam selama 24 jam dengan melakukan pengadukan secara berkala. Setelah itu dilakukan  penampungan filtrat. Ampas yang didapatkan dari penyaringan kemudian

direndam kembali dengan menggunakan etanol 96%. Prosedur ini dilakukan sebanyak 3 kali. Setelah filtrat didapatkan maka dilakukanlah evaporasi dengan menggunakan evaporator hingga dihasilkan ekstrak semi padat etanol rimpang kunyit. Kemudian keringkan dalam oven bersuhu 40 º C hingga didapatkan ekstrak kental etanol rimpang kunyit.

(14)

Rimpang Kunyit Serbuk Halus Simplisia Kunyit Maserasi Etanol 96% Filtrat Evaporasi

Ekstrak Semi Padat

Panaskan (Oven)

Ekstrak Kental

Gambar 6. : Proses ekstraksi rimpang kunyit dengan pelarut etanol

Penapisan Fitokimia

Metode fitokimia dilakukan untuk menganalisis senyawa yang terkandung dalam rimpang kunyit yang dapat berguna dalam membantu proses persembuhan luka. Dalam metode ini senyawa yang dianalisis keberadaannya adalah senyawa alkaloid, flavonoid, tanin dan polifenol, saponin, dan senyawa kuinon.

a. Senyawa Alkaloid

Serbuk simplisia dibebaskan dengan amonia, kemudian ditambahkan kloroform dan digerus kuat-kuat. Lapisan kloroform dipipet sambil disaring, kemudian kedalamnya ditambahkan asam klorida (HCl) 2N. Campuran dikocok 

(15)

kuat-kuat hingga terdapat dua lapisan. Lapisan asam dipipet, kemudian dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama ditambahkan pereaksi Mayer, setelah itu amati adanya endapan atau kekeruhan yang terjadi. Bila terjadi kekeruhan atau endapan berwarna putih berarti dalam simplisia kemungkinan terkandun g

alkaloid. Bagian kedua ditambahkan pereaksi Dragendroff. Terjadinya endapan  jingga kuning atau kekeruhan kemungkinan simplisia tersebut mengandung

alkaloid. Bagian ketiga digunakan sebagai blanko.

 b. Senyawa Polifenolat

Sejumlah kecil serbuk simplisia dalam tabung reaksi dipanaskan d alam  penangas air, kemudian disaring. Kepada filtrat ditambahkan larutan pereaksi besi

(III) klorida. Adanya senyawa fenolat ditandai dengan terjadin ya warna hijau-biru hitam hingga hitam.

c. Senyawa Tanin

Sejumlah kecil serbuk simplisia dalam tabung reaksi dipanaskan dalam  penangas air, kemudian disaring. Setelah itu kedalam filtrat ditambahkan larutan

larutan pereaksi besi (III) klorida sehingga terjadi warna hijau-biru hitam hingga hitam, kemudian ditambahkan larutan gelatin 1%. Adanya senyawa tanin ditandai dengan terjadinya endapan berwarna putih.

d. Senyawa Flavonoid

Simplisia dipanaskan dengan campuran Magnesium (Mg) dan asam

klorida (HCl) 5N, kemudian disaring. Adanya flavonoid akan menyebabkan filtrat  berwarna merah yang dapat ditarik oleh amil alkohol.

e. Senyawa kuinon

Sejumlah kecil serbuk simplisia dalam tabung reaksi dipanaskan dalam  penangas air, kemudian disaring. Kedalam filtrat ditambahkan larutan KOH 5%.

Adanya senyawa kuinon ditandai dengan terjadinya warna kuning hingga merah.

f. Senyawa Saponin

Sejumlah kecil serbuk simplisia dalam tabung reaksi dipanaskan dalam  penangas air, kemudian disaring. Setelah dingin filtrat dalam tabung reaksi

dikocok kuat-kuat selama kurang lebih 30 detik. Pembentukkan busa sekurang-kurangnya setinggi 1 cm dan persisten hilang selama beberapa menit serta tidak 

(16)

hilang pada penambahan tetes demi tetes asam klorida encer menunjukkan adanya saponin dalam simplisia.

Pembuatan Salep Ekstrak Etanol Rimpang Kunyit.

Ekstrak kental etanol kunyit yang telah dihasilkan kemudian ditimbang dan dihomogenisasi dengan vaselin kuning menggunakan mortar. dilakukan homogenisasi hingga merata dan tidak terasa lagi butiran serbuk kunyit. Setelah itu disimpan dalam tabung dan diberi label.

Mencit Untuk Perlakuan

Mencit yang digunakan berjumlah 45 ekor dan dibagi menjadi 3 kelompok   perlakuan; 1) kontrol negatif, yaitu kelompok mencit yang dilukai namun tidak 

diberikan pengobatan, 2) kontrol positif, yaitu kelompok mencit yang diberikan salep neomycin sulfat 5%, dan 3) kelompok mencit yang dilukai dan diberikan sediaan salep ekstrak etanol kunyit.

Perlukaan Pada Mencit

Sebelum melakukan perlukaan, rambut di sekitar punggung mencit dicukur. Sebelum disayat kulit mencit diulas dahulu dengan menggunakan alkohol 70%. Mencit diberi anastesia perinhalasi dengan eter, kemudian

dilakukan penyayatan pada punggung mencit sepanjang satu centimeter sejajar os. Vertebraedengan menggunakan pisau bedah steril.

Aplikasi Obat

Aplikasi obat luka komersil yang mengandung neomicin sulfat 5%,  plasenta, danjelly base, dilakukan dengan mengoleskan obat pada luka dengan

menggunakancotton buds. Begitupula dengan aplikasi obat luka salep ekstrak  etanol rimpang kunyit dilakukan dengan cara yang sama. Aplikasi sediaan obat tersebut dilakukan setiap hari sebanyak dua kali sehari selama 21 hari pasca  perlukaan.

(17)

Pengamatan patologi Anatomi

Mencit perlakuan dan mencit kontrol diamati setiap hari khususnya pada hari ke 2, 4, 7, 14 dan 21 setelah perlukaan. Pengamatan patologi anatomi

dilakukan terhadap mencit perlakuan dan mencit kontrol menggunakan metode deskriptif dengan membandingkan proses persembuhan yang terjadi parameter  yang diamati adalah menyempitnya luka, panjang luka, keringnya luka, warna luka, keberadaan rambut, dan keberadaan keropeng.

Pengambilan sampel kulit

Sampel kulit diambil pada hari ke 2, 4, 7, 14 dan 21 paska perlukaan setelah mencit dieuthanasi dengan menggunakkan eter dosis berlebih perinhalasi. Daerah punggung yang diambil kulitnya dibersihkan dari rambut yang mulai tumbuh. Kemudian kulit disekitar luka dipotong dengan ukuran ± 1.5 cm

(sentimeter) dengan menggunakan skapel yang telah disterilkan terlebih dahulu. Kulit yang sudah dipotong difiksasi dengan larutan BNF ( Buffer Neutral 

 Formaline) 10 % selama ± 48 jam.

Fiksasi sediaan kulit dan pembuatan preparat histopatologi

Potongan sediaan kulit dimasukkan ke dalam kaset tisue dan didehidrasi dengan cara merendam sediaan secara berturut-turut ke dalam alkohol 70%, 80%, 90%, alkohol absolut I, alkohol absolut II, xylol I, xylol II, parafin I, dan terakhir  ke dalam parafin II. Proses perendaman pada setiap bahan dilakukan selama 2 jam untuk masing-masing sediaan.

Jaringan kemudian dimasukkan ke dalam alat pencetak berisi parafin cair . Letak jaringan diatur sedemikian rupa agar tetap berada di tengah blok parafin. Setelah mulai membeku, parafin ditambah kembali hingga alat pencetak penuh dan dibiarkan hingga parafin mengeras.

Pemotongan dengan mikrotom dilakukan dengan ketebalan 5 mikron. Hasil  pemotongan yang berbentuk pita diletakkan di atas permukaan air hangat 45 º

C dengan tujuan menghilangkan lipatan-lipatan pada pita akibat pemotongan. Setelah itu sediaan diangkat dari permukaan air dengan gelas objek yang telah

(18)

diulasi larutan albumin yang berguna untuk merekatkan sediaan. Kemudian  preparat dikeringkan semalam dalam inkubator bersuhu 60ºC. Selanjutnya

dilakukan pewarnaan umumHaematoxylin Eosindan pewarnaan khususMasson Trichrome.

Pembuatan sediaan Haematoxilin Eosin (HE)

Sediaan histopatologi yang telah didapatkan kemudian dimasukkan ke dalam xylol dua kali selama dua menit. Kemudian sediaan direhidrasi yang

dimulai dari alkohol absolut sampai alkohol 80 % dengan waktu masing-masing 2 menit. Selanjutnya sediaan dicuci dalam air mengalir dan dikeringkan.

Setelah sediaan kering kemudian diberi pewarna Mayer’s Hemaktosilin selama 8 menit, kemudian dibilas dengan air mengalir dan dicuci dengan lithium karbonat selama 15-30 detik, dibilas dengan air, dan akhirnya diwarnai dengan  pewarna Eosin selama 2 menit. Pewarna Eosin yang berlebihan dihilangkan

dengan cara mencuci sediaan pada air yang mengalir, setelah itu sediaan

dikeringkan. Kemudiaan sediaan dicelupkan ke dalan alkohol 90% sebanyak 10 kali celupan, alkohol absolut I 10 kali celipan, alkohol absolut II selama 2 menit, xylol I selama I menit, dan xylol II selama 2 menit. Sediaan lalu dikeringkan terlebih dahulu sebelum ditetesi dengan perekat permount dan kemudian ditutup dengan gelas penutup dan disimpan beberapa menit hingga zat perekatnya

mengering. Preparat siap untuk diamati dibawah mikroskop cahaya.

Pembuatan Sediaan Masson Trichrome (MT)

Sediaan histopatologi dideparafinasi dan rehidrasi hingga pencucian dengan air dan akuades dilakukan terlebih dahulu sebelum diwarnai. Sediaan kemudian dimasukkan ke dalam larutan Mordant selama 30-40 menit lalu dicuci dengan akuades. Selanjutnya sediaan dimasukk an ke dalam larutan Carrazi’s Hematoksilin selama 40 menit dan dicuci dengan akuades. Setelah itu sediaan dimasukkan ke dalam larutan Orange G 0.75 % selama 1 sampai 2 menit lalu dicuci dengan asam asetat 1% sebanyak 2 kali dengan cara menggoyangnya sebentar. Kemudian sediaan dimasukkan ke dalam larutan Ponceau Xylidine

(19)

Fuchsin selama 15 menit dan dicuci dengan asam asetat 1% sebanyak 2 kali. Selanjutnya sediaan dimasukkan ke dalam larutanPhosphotungstic Acid selama 10 menit lalu dicuci dengan asam asetat 1% sebanyak 2 kali dan terakhir 

dimasukkan ke dalam alkohol 95 %. Berikutnya adalah sediaan dimasukkan ke dalam Anilin Blueselama 15 menit dan dibilas dengan asam asetat 1% sebanyak  dua kali. Kemudian sediaan dicelupkan ke dalam alkohol 95% selama tiga menit. Sediaan didehidrasi dan clearing terlebih dahulu sebelum ditetesi perekat

 permount dan ditutup dengan gelas penutup.

Pengamatan Histopatologi

Pengamatan histopatologi dilakukan pada sampel kulit yang telah diambil  pada hari ke 2, 4, 7, 14, dan, 21 dengan men ghitung sel polimorfonuklear 

(Netrofil), jumlah neovaskularisasi, persentase reepitelisasi, dan persentase luasan  jaringan ikat kolagen.

Pengamatan terhadap jumlah sel polimorfonuklear menggunakan mikroskop Olympus BX51TF, Japan dan pemotretan dengan videophoto dalam 10 lapang pandang dimana luas tiap lapang pandang adalah 20450µm2. Pengukuran panjang luka dan reepitelisasi menggunakan video mikrometer FDR-A IV-560 dengan perbesaran objektif empat kali. Ketebalan dan luasan jaringan ikat dilihat dengan menggunakan preparat yang memakai pewarnaan Masson Trichrome. Presentase reepitelisasi dan jaringan ikat menggunakan video micrometer JVC, Japan dengan perbesaran objektif empat k ali.

Perhitungan panjang jaringan ikat kolagen dan reepitelisasi ditentukan dengan cara mengkonfersi skala bar yang digunakan pada video mikrometer  dengan perbesaran 180x, yaitu 200 µm menjadi 3,6 cm.

200µm X 180x = 3.6 x 104 µm = 3.6 cm

Kemudian dibuatlah pola kotak-kotak dengan ukuran 3.6 X 3.6 cm dengan kertas plastik (Gambar 7) . Kertas plastik yang sudah berpola ditempelkan pada monitor video micrometer. Setelah itu, untuk menyamakan standar perhitungan

(20)

ditentukan tiga kotak untuk setiap panjang luka yang akan dihitung yang diambil dari tengah bagian luka.

Gambar 7. Metode penentuan luasan jaringan ikat pada pengamatan histopatologis jaringan luka hari ke 14. Jaringan ik at terlihat  berwarna biru pada sediaan Masson Trichrome.Pada tampilan

gambar video mikrometer dibuat pola kotak-kotak yang tiap sisinya berukuran 200µm.

Jaringan ikat yang tampak pada video micrometer ditentukan dengan ketetapan sebagai berikut:

Jika luas jaringan ikat memenuhi lebih dari setengah bagian kotak maka dihitung satu luasan, namun jika luasannya kurang dari setengah kotah maka tidak dihitung sebagai

luasan

Perhitungan presentase jaringan ikat ditentukan dengan menggunakan rumus:

Luas jaringan ikat kolagen yang terbentuk  Luas luka

Sedangkan untuk presentase reepitelisasi ditentukan dengan rumus:

(21)

Luas luka yang telah ditutupi epitel X 100% Luas luka

Analisis Data

Hasil pengamatan patologi anatomi diuji secara deskriptif .Hasil

 pengamatan histopatologi berupa data banyaknya jumlah sel polimorfonuklear, neovaskularisasi, persentase luasan jaringan ikat kolagen, dan presentase

reepitelisasi. Selanjutnya data diuji secara statistika menggunakan uji sidik ragam ANOVA yang dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan untuk 

mengetahui hasil yang diperoleh berbeda secara nyata atau tidak.

(22)

Penapisan Fitokimia

Hasil pengamatan penapisan fitokimia dilakukan untuk mengetahui senyawa pada kunyit yang dapat tertarik oleh pelarut etanol yang disajikan pada Tabel 1. Senyawa-senyawa yang dilakukan pengujian adalah alkaloid, flavonoid, tanin dan polifenol, saponin, serta kuinon. Etanol yang merupakan pelarut polar  hanya dapat menarik senyawa-senyawa yang juga bersifat polar (Houghton dan Raman 1998).

 Netrofil (Gambar 9) merupakan sel pertahanan pertama terhadap kontaminasi mikroba pada peradangan. Fungsi netrofil adalah membersihkan daerah luka dari benda asing dan bakteri (Singer dan Clark 1999). Menurut Spector dan Spector (1993) keberadaan netrofil di daerah luka sangat singkat, sehingga setelah dihasilkannya sitokin, monosit masak akan berubah menjadi makrofag di jaringan dan menggantikan fungsi netrofil. Keberadaan makrofag menjadi prasyarat terjadinya proses persembuhan.

Keberadaan netrofil sudah terlihat pada awal perlukaan (Tabel 2).  Netrofil sudah muncul pada hari ke-2 pada ketiga kelompok baik kontrol positif,

negatif maupun perlakuan dengan salep ekstrak etanol rimpang kunyit. Jumlah netrofil tertinggi pada kontrol positif maupun perlakuan menggunakan salep

ekstrak etanol rimpang kunyit terjadi pada hari ke-7, sedangkan kelompok kontrol negatif jumlah netrofil tertinggi terjadi pada hari ke-2. Pada hari ke -14

(23)

   J  u  m    l  a    h    S  e    l    P  o    l    i  m   o   r    f  o  n   u    k    l  e  a   r

kelompok kontrol positif dan perlakuan salep ekstrak etano l rimpang kunyit memperlihatkan penurunan yang cukup signifikan, sedangkan pada kontrol negatif jumlahnya lebih tinggi dari perlakuan lainnya. Penurunan jumlah netrofil  pada kontrol positif dan dengan menggunaka sediaan salep ekstrak etanol

rimpang kunyit, dapat disebabkan karena adanya zat anti inflamasi yaitu

neoimicin sulfat 5% pada kontrol positif, sedangkan pada sediaan salep ekstrak  etanol rimpang kunyit mengandung senyawa kuinon yang berfungsi sebagai anti mikrobial (Robinson 1995).

Jika dibandingkan ketiga perlakuan baik kontrol positif, kontrol negatif, maupun perlakuan dengan salep ekstrak etanol rimpang kunyit terlihat  bahwa pada hari pertama kontrol positf dan perlakuan salep ekstrak etanol

rimpang kunyit memperlihatkan jumlah netrofil yang rendah di hari pertama dan hari ke-4, namun kemudian meningkat pada hari ke-7 dan turun secara signifikan pada hari ke -14 dan 21. Sedangkan pada kontrol negatif jumlah netrofil tertinggi justru terjadi pada hari pertama, sedangkan jumlah netrofil dari hari ke-7 menuju hari ke-14 penurunan jumlah netrofil tidak sebesar pada kelompok kontrol positif maupun perlakuan menggunakan salep ekstrak etanol rimpang kunyit. Perbandingan rataan jumlah sel polimorfonuklear disajikan pada grafik pada Gambar 10 berikut ini :

18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 Kontrol Positif  Kontrol Negatif  Salep Ekstrak Etanol 2 4 7 14 21 Rimpang

Hari Ke- Kunyit

Gambar 10. Perbandingan rataan jumlah sel polimorfonuklear pada proses  persembuhan luka

(24)

2 0.00±0.00 0.00±0.00 0.67±1.15 7 8.00±1.73 6.00±1.00 21 0.00±0.00  Neovaskularisasi

Menurut Singer dan Clark (1999) pembentukan pembuluh darah baru memiliki arti penting dalam proses persembuhan luka. Hasil pen gamatan

mikroskopis jumlah relatif rataan neovaskularisasi, akan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan jumlah relatif neovaskularisasi pada pemeriksaan mikroskopis Salep Ekstrak Etanol Hari Kontrol Positif Kontrol Negatif 

a a 4 0.33±0.58a 0.00±0.00a a b 14 6.33±2.52a 5.00±1.00a a b Rimpang Kunyit 0.00±0.00a 0.00±0.00a 1.67±0.58b 6.67±1.15a 1.67±1.53a Keterangan: Huruf supersript yang sama pada baris yang sama menunjukkan

tidak ada perbedaan nyata. (P>0.05)

Pada hari ke-2 maupun hari ke-4 terlihat ketiga perlakuan baik kontrol  positif, kontrol negatif maupun kelompok perlakuan menggunakan salep ekstrak 

etanol rimpang kunyit tidak memperlihatkan perbedaan nyata (P>0.05) (Tabel 4) .Pada hari ke-2 belum terlihat munculnya neovaskularisasi pada ketiga kelompok. Hari keempat mulai terbentuk pembuluh darah baru pada kontrol positif,

meskipun jumlahnya relatif masih sedikit.

Pada hari ke-7 terjadi perbedaan nyata (P<0.05) antara kontrol positif  dengan kontrol negatif dan perlakuan menggunakan salep ekstrak etanol rimpang kunyit (Tabel 4). Menurut Martin (1997), keberadaan makrofag yang mengeluarkan FGF2 danvaskular endotelial growth faktor (VEGF) akhirnya memicu pertumbuhan neovaskularisasi (Gambar 11). Menurut Spector dan Spector (1993) Pembuluh darah baru mulai terlihat tanda-tandanya dalam satu minggu. Pembuluh darah baru tumbuh ke dalam luka sebagai pita padat dari sel-sel endotel yang tumbuh ke luar sebagai kuncup dari kapiler yang utuh pada tepi luka. Kuncup endotel yang terbentuk kemudian mengalami mitosis dan

membentuk simpai serta lengkungan. Pita endotel padat kemudian berkembang menjadi saluran dalam beberapa jam dan darah mulai mengalir. Proses

(25)

luka. Jaringan vaskuler yang melakukan invasi kedalam luka merupakan suatu respon untuk memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di daerah luka, karena  biasanya pada daerah luka terjadi keadaan hipoksia (Singer dan Clark 1999).

Pada hari ke-14 ketiga perlakukan kembali tidak memperlihatkan  perbedaan yang nyata (P>0.05). Menurut Spector dan Spector (1993), setelah

dua minggu arteriola yang baru sudah mulai terbentuk dan memberikan suplai  bagi saraf vasomotorik. Pada hari ke-21 terlihat terjadi perbedaan nyata (P<0.05)

antara kontrol negatif dengan kontrol positif dan perlakuan menggunakan salep ekstrak etanol kunyit (Tabel 4). Hasil ini menunjukkan bahwa kontrol positif dan  perlakuan menggunakan salep ekstrak etanol rimpang kunyit memberikan hasil

yang lebih baik daripada kontrol negatif. Hal ini terjadi kemungkinan karena fase  peradangan yang lebih cepat pada kontrol positif dan perlakuan menggunakan

salep ekstrak etanol rimpang kunyit sehingga memberikan hasil yang lebih baik  daripada kontrol negatif.

Gambar 11 Neovaskularisasi yang yang terbentuk pada jaringan luka dengan  perlakuan salep ekstrak etanol rimpang kunyit pada hari ke 14.

(26)

   J  u  n    l  a    h    N  e   o   v   a   s    k  u    l  a  r

Apabila dibandingkan antara ketiga perlakuan (Gambar 12), terlihat

 bahwa kontrol positif mulai membentuk neovaskularisasai pada hari ke-4 berbeda dengan kontrol negatif dan perlakuan salep ekstrak etanol rimpang kunyit yang  baru membentuk neovaskularisasi pada hari ke-7. Pada kontrol positif puncak   jumlah neovaskularisasi terjadi pada hari ke-7 sedangkan pada kelompok negatif 

maupun perlakuan dengan ekstrak etanol kunyit jumlah pembentukan neovaskularisasi tertinggi terjadi pada hari ke-14. Pada hari ke -21 terlihat  penurunan jumlah neovaskularisasi pada kontrol positif dan perlakuan dengan

salep ekstrak etanol rimpang kunyit, sedangkan pada kontrol negatif jumlahnya masih relatif tinggi. Hal tersebut dapat menggambarkan persembuhan luka yang relatif lebih cepat pada kontrol positif maupun perlakuan dengan salep ekstrak  etanol rimpang kunyit. Terjadinya keadaan seperti ini kemungkinan karena pada hari ke-14 dan 21 makrofag telah memfagositosis reruntuhan sel, terbukti dengan  jumlah netrofil yang menurun pada kontrol positif maupun perlakuan dengan

salep ekstrak etanol rimpang kunyit pada hari ke- 14 dan 21, sedangkan kontrol negatif pada hari yang sama jumlah netrofilnya masih relatif lebih tinggi daripada yang lain. Fagositosit oleh makrofag inilah yang memicu pembentukan pembuluh darah baru (Spector dan Spector 1993).

10 8 6 4 2 0 Kontrol Positif  Kontrol Negatif  Salep Ekstrak 2 4 7 14 21 Etanol

Hari Ke- Rimpang

Kunyit Gambar 12. Perbandingan rataan jumlah neovaskularisasi pada

 persembuhan luka

(27)

2 33.33±33.35 4 33.33±33.35

44.43±19.28 33.33±33.35

Reepitelisasi

Proses reepitelisasi merupakan serangkaian peristiwa yang terkoordinasi dan terstruktur. Reepitelisasi pada kulit dicapai dengan meningkatkan aktivitas mitosis epitel di tepi luka (Spector dan Spector 1995). Hasil pengamatan

mikroskopis mengenai gambaran reepitelisasi pada ketiga perlakuan ditunjukkan  pada Tabel 5 berikut ini:

Tabel 5. Persentase (%) reepitelisasi pada pemeriksaan mikroskopis

Salep Ekstrak Etanol Hari Ke- Kontrol Positif Kontrol Negatif Rimpang Kunyit

a a 7 77.80±19.23a 14 66.67±57.74a 21 100.00±0.00a a a 77.80±19.23a 88.90±19.23a 100.00±0.00a 55.57±19.28a 22.20±19.23a 44.47±38.51a 77.77±38.51a 100.00±0.00a

Keterangan: Huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata. (P>0.05)

Pada proses reepitelisasi terjadi migrasi dan proliferasi dari fibroblas yang akam mengeluarkankeranocyte growth factor,citokin dan reseptor yang akan memproduksi metalloprotein matiks dan inhibitor. Matriks ekstraselular kemudian akan mensintesis fibronectins, vitronectin, dan kolagen (Middelkoop 2005).

Menurut Tawi (2008) keratinocyte growth factor (KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis sel epidermal. Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka dan akhirnya membentuk barrier yang menutupi permukaan luka. Dengan sintesa kolagen oleh fibroblas, pembentukan lapisan dermis ini akan disempurnakan

kualitasnya dengan mengatur keseimbangan jaringan granulasi dan dermis. Untuk  membantu jaringan baru tersebut menutup luka, fibroblas akan merubah

strukturnya menjadi myofibroblast yang mempunyai kapasitas melakukan kontraksi pada jaringan. Fungsi kontraksi akan lebih menonjol pada luka yang ekstrim dibandingkan dengan luka biasa.

Reepitelisasi (Gambar 13) pada ketiga perlakuan telah terjadi semenjak  hari ke-2. Secara statistik ketiga perlakuan tersebut tidak memperlihatkan

(28)

hari setelah perlukaan epitel permukaan di bagian tepi mulai melakukan

regenerasi, kemudian lapisan epitel yang tipis akan bermigrasi menuju permukaan atas luka. Setelah itu epitel akan menjadi matang sehingga menyerupai kulit di  bawahnya.

Gambar 13. Reepitelisasi persembuhan luka dengan perlakuan salep ekstrak 

etanol rimpang kunyit pada hari ke-14 dengan menggunakan

 pewarnaan Masson Trichrome. Bar: 200 µm

Setiap hari pengamatan ketiga perlakuan masih menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0.05) (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa kandungan yang terdapat pada kontrol positif yang mengandung neomicin sulfat 5% maupun

kandungan dalam salep ekstrak etanol rimpang kunyit tidak memberikan  pengaruh pada proses reepitelisasi persembuhan luka.

Apabila kita membandingkan ketiga perlakuan, kontrol positif dan kontrol negatif memberikan hasil yang lebih baik pada hari ke-7 dibandingkan perlakuan  pemberian salep etanol rimpang kunyit (Gambar 13). Hal tersebut juga didukung

dari data patologi anatomi bahwa pada perlakuan pemberian salep ekstrak kulit etanol pada jaringan perlukaan masih terdapat keropeng dan jaringan parut,

(29)

sedangkan pada kelompok yang lain tidak. Menurut Price dan Wilson (1992) matangnya jaringan parut akan bersinergis dengan menebal dan matangnya epitel sehingga menyerupai kulit. Pada perlakuan luka yang diberikan salep ekstrak  etanol rimpang kunyit, jaringan parut yang masih hadir hingga hari ke-7 mengakibatkan melambatnya reepitelisasi.

Pada hari ke 14 kontrol negatif memperlihatkan reepitelisasi yang lebih  baik daripada kedua kelompok lainnya. Pada hari ke-21 reepitelisasi telah terjadi

secara sempurna. Hal ini dapat diperkuat dengan data patologi anatomis yang memperlihatkan luka yang telah menutup secara sempurna.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Ekstrak etanol rimpang kunyit mengandung senyawa alkaloid dan kuinon. 2. Sediaan ekstrak etanol rimpang kunyit memberikan hasil yang lebih baik 

untuk proses neovaskularisasi dibandingkan tidak dilakukan pengobatan. 3. Secara umum sediaan salep ekstrak etanol rimpang kunyit belum

mempercepat proses persembuhan luka.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui sediaan yang tepat  bagi ekstrak etanol rimpang kunyit agar dapat bekerja efektif sebagai sediaan  persembuhan luka.

Gambar

Gambar 5 Struktur kimia kurkumin (Sumber: Best 2008)
Gambar 6.  : Proses ekstraksi rimpang kunyit dengan pelarut etanol
Gambar 7.  Metode penentuan luasan jaringan ikat pada pengamatan histopatologis jaringan luka hari ke 14
Gambar 10.  Perbandingan rataan jumlah sel polimorfonuklear pada proses  persembuhan luka
+4

Referensi

Dokumen terkait

Nilai rata-rata porositas sampel A1-A6 sebesar 79% (A1-A3 merupakan sampel HAp berpori tanpa gelatin sebagai kontrol dan A4-A6 merupakan HAp berpori yang akan dicampurkan

Penambahan dasar kolam buatan dalam kolam budidaya bertujuan untuk membatasi ruang gerak lele masamo, sehingga energi yang dihasilkan dari pakan tidak habis

Sedangkan rendahnya kadar lemak pada jenis tepung jagung merah, kuning, dan putih hasil penelitian ini karena pada proses pembuatan tepung telah dilakukan

Setelah melakukan penelitian dengan berbagai temuan dilapangan, maka penulis memberikan saran terkait dengan Manajemen Konflik Pertanahan Alih fungsi Hutan Adat

Untuk menentukan secara objektif apakah nilai TRISS diatas 50,00 sudah dapat dipergunakan sebagai cut-off point bahwa korban saat itu sedang berada dalam bahaya

Gejala-gejala kanker payudara antara lain, terdapat benjolan di payudara yang nyeri maupun tidak nyeri, keluar cairan dari puting, ada perlengketan dan lekukan pada kulit

pelanggaran prinsip kesopanan, antara lain dicontohkan dalam dialog Pesbukers.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat dikemukakan sebuah simpulan yaitu pelaksanaan program pendidikan inklusif di SDN 20 Mataram menggunakan kurikulum 2013,