• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar belakang proyek MIFEE juga masih terkait dengan agenda lokal, yakni proyek Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) untuk meningkatkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Latar belakang proyek MIFEE juga masih terkait dengan agenda lokal, yakni proyek Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) untuk meningkatkan"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

MIFEE: Perampasan Tanah Luas dan Menggusur Hak Orang Papua. Oleh: Y.L. Franky

Tanggal 11 Agustus 2010 lalu, Menteri Pertanian RI meluncurkan proyek

Merauke Integrated Food and Energy Estate, selanjutnya disebut MIFEE. MIFEE adalah proyek nasional untuk pembangunan pangan dan energy skala luas yang dilakukan secara terpadu dan berlokasi di kampung-kampung di wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Barat.

Proyek MIFEE merupakan program ekonomi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang disampaikan pertama kali melalui Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi Tahun 2008-2009. Presiden SBY meminta Menteri Pertanian RI untuk melaksanakan kebijakan Peningkatan Investasi Pangan melalui Program Fasilitasi Investasi Pangan dan tindakan penyusunan kebijakan food estate1. Selain itu, Presiden SBY menginstruksikan kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Gubernur Papua untuk Penetapan Tata Ruang Kawasan Merauke guna mendukung peningkatan investasi pertanian dan penyediaan lahan pangan.

Dalam Dokumen Grand Design MIFEE (2010), disebutkan tujuan program MIFEE adalah: (a) untuk memperkuat stock atau cadangan pangan dan bio energi nasional dalam rangka memantapkan dan melestarikan ketahanan pangan nasional, serta memasuki pasar bahan pangan dunia melalui ekspor produk pangan yang dihasilkan, ditempuh dengan memanfaatkan keunggulan komparatif wilayah berupa potensi lahan pertanian skala luas dan subur dengan tetap menjaga dan melestarikan lingkungan hidup; (b) untuk meningkatkan kesejahteraan Masyarakat Merauke; (c) untuk menghemat dan menghasilkan devisa bagi negara; (d) untuk mempercepat pemerataan pembangunan di Kawasan Timur Indonesia sekaligus mengurangi kesenjangan antar wilayah dalam rangka memperkuat keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (e) untuk menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha; (f) meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah sekaligus memberi kontribusi kepada pertumbuhan perekonomian nasional. Latar belakang proyek MIFEE juga masih terkait dengan agenda lokal, yakni proyek Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) untuk meningkatkan

1

Program serupa pernah dilakukan pada era pemerintahan Orde Baru dengan program pembangunan lahan gambut sejuta hektar untuk sentra produksi padi melalui kebijakan Keppres Nomor 82 Tahun 1995.

(2)

2 kesejahteraan dan ketahanan pangan masyarakat setempat, agenda nasional untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan ketahanan pangan nasional, serta agenda global berhubungan dengan meningkatnya permintaan pasar dunia untuk pangan dan energi, menyusul terjadinya krisis pangan dan energi dunia. Krisis tersebut dianggap sebagai peluang untuk meraup keuntungan dari bisnis pangan dan energi.

Diketahui mega proyek MIFEE menggunakan sistem pengelolaan usaha budidaya tanaman skala luas (diatas 25 ha) dan sistem industrial berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), modal besar, organisasi dan manajemen modern. Usaha budidaya tanaman skala luas ini dikelola atas dasar keterpaduan sektor dan subsektor dalam suatu sistem agribisnis dengan memanfaatkan sumber daya secara optimal dan lestari, dikelola secara professional, didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas, teknologi tepat guna yang berwawasan lingkungan dan kelembagaan yang kokoh. (Buku Pintar Food Estate, 2010).

Pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, MIFEE masih menjadi program andalan pemerintah Indonesia Hebat.2 Sebelumnya, kritik masyarakat adat korban dan organisasi masyarakat sipil meminta agar program MIFEE dihentikan dan ditinjau kembali karena permasalahan dan dampak yang telah ditimbulkan dari program ini sejak awal hingga pelaksanaannya. Bukannya melakukan kajian dan konsultasi yang luas untuk melakukan review, melainkan pemerintah semakin gencar menerima berbagai tawaran pelaku usaha untuk pengembangan industri pertanian modern3 dan melakukan negosiasi dan survey untuk perolehan lahan luas.4

Kebijakan yang Merampas Tanah Skala Luas

Sejak awal, sistem pengelolaan proyek MIFEE berskala luas ini telah menimbulkan kekhawatiran dan kritik masyarakat. Alasannya, bahwa: (1) masyarakat belum mendapatkan informasi yang memadai tentang dampak proyek tersebut dan belum ada sosialisasi yang luas; (2) masyarakat mengkhawatirkan terhadap dampak negatif dari penggunaan lahan/hutan skala

2

Lihat RPJMN 2015 – 2019 Buku III Agenda Pengembangan Wilayah, Bab II Arah Pengembangan Wilayah Papua.

3 Lihat: http://setkab.go.id/arifin-panigoro-undang-presiden-jokowi-panen-sawah-sistem-modern-di-papua/ 4 Lihat: http://www.jpnn.com/read/2015/04/06/296434/Kembangkan-Food-Estate,-Kementerian-BUMN-Bidik-Papua

(3)

3 luas dan sistem pertanian modern berbasiskan modal besar akan menyingkirkan corak produksi masyarakat adat serta pembatasan akses masyarakat dalam pemanfaatan hasil hutan; (3) masyarakat masih belum siap dan mengkhawatirkan proyek besar dengan sistem pertanian modern tersebut hanya menguntungkan kaum pemodal dan masyarakat yang baru datang dari luar Merauke; (4) masyarakat mengharapkan adanya perubahan kebijakan afirmatif yang mengutamakan pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan hak-hak masyarakat adat Papua; (5) masyarakat adat setempat masih trauma dengan pendekatan keamanan dalam proyek pembangunan di masa lalu (memoria passionis), terjadinya kekerasan, praktik diskriminasi dan penyingkiran masyarakat.

Pemerintah pusat dan pemerintah daerah menampik kekhawatiran dan kritik masyarakat dengan menciptakan ‘impian’ janji perubahan sosial, seperti: pembangunan daerah tertinggal untuk kemajuan daerah, lumbung pangan nasional dan internasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan produktifitas tanah-tanah tidak produktif, dan sebagainya.

Guna mewujudkan impian tersebut, pemerintah aktif mengundang investor dan menjanjikan ketersediaan lahan, memproduksi kebijakan perizinan perolehan lahan berskala luas dan kemudahan berinvestasi.

Hingga tahun 2013, jumlah lahan untuk proyek MIFEE sebesar 1.553.492 ha untuk 36 perusahaan modal asing dan dalam negeri, yang umumnya berinvestasi di sektor perkebunan kelapa sawit, perkebunan tebu dan hutan tanaman industri. Diantaranya sudah diberikan izin oleh Kementerian Kehutanan seluas 448.191 ha. Jumlah ini lebih luas dibandingkan pada tahun 2010, yang mana Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Daerah Kabupaten Merauke, menerbitkan Izin Lokasi dan Surat Rekomendasi kepada 32 perusahaan yang berinvestasi di sektor perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman, perkebunan tebu, ubi kayu dan jagung, dengan luas lahan mencapai 1.094.000 hektar.

Perusahaan memperoleh lahan tersebut melalui persyaratan dan prosedur ‘legal’, seperti: izin lokasi, izin usaha perkebunan, izin pelepasan kawasan hutan dan izin pemanfaatan hasil hutan, hak guna usaha, kebijakan penataan

(4)

4 ruang hingga standard kompensasi pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu yang nilainya sangat rendah dari nilai jual di pasar.5

Kebijakan peraturan yang legal tersebut terkesan ‘normal’, padahal bertentangan dengan konstitusi dan terjadi ketidakadilan sosial. Faktanya, beberapa badan usaha yang berada dalam satu payung group usaha dapat menguasai, mengendalikan, memiliki dan memanfaatkan lahan puluhan ribu hektar, dibandingkan lahan usaha pertanian yang dikelola masyarakat adat setempat. Kesempatan masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan tanah oleh masyarakat dan atau badan hukum lainnya menjadi hilang, dan tanah yang menjadi hajat hidup orang banyak tidak tersedia secara merata bagi orang yang lebih banyak. Dalam hal ini pemerintah sangat lemah melindungi dan menjamin hak-hak masyarakat adat atas tanah.

Hak-hak atas Informasi dan Kebebasan Berpendapat

Proyek MIFEE secara sistematis mengabaikan hak-hak Orang Papua sejak awal. Semestinya, masyarakat berhak mendapatkan dan memperoleh informasi yang memadai sejak awal sebelum proyek dimulai, masyarakat juga berhak mendapat konsultasi sebelum kebijakan diselenggarakan. Informasi tersebut menjadi dasar masyarakat untuk menilai, menentukan dan memberi persetujuan proyek secara bebas dan memahami konsekuensinya. Faktanya, pemberian dan perolehan informasi proyek sangat rumit dikarenakan hambatan birokrasi dan belum ada mekanisme pelayanan informasi publik yang mudah dan terbuka.

Masyarakat tidak bebas berpendapat dan tidak punya pilihan lain selain menerima kebijakan dan proyek yang ditetapkan pemerintah. Masyarakat takut dan merasa tidak aman untuk menolak proyek pembangunan karena berhubungan dengan pengalaman pendekatan pembangunan dan cara-cara represif yang selalu dikenang warga (memoria passionis) jika bertentangan dengan proyek pembangunan. Mereka kaget dan tidak bisa menolak mengetahui tanah-tanah mereka sudah beralih penguasaannya kepada perusahaan. Mereka terpaksa menerima proyek, kompensasi uang dan janji-janji pembangunan, tanpa punya pilihan untuk menolak proyek dan menegosiasikan kerugian.

5

Lihat: Kebijakan Pemerintah di Papua: Ancaman Kehancuran Hutan dan Memiskinkan Masyarakat Adat, Y.L. Franky, PUSAKA, Oktober 2014.

(5)

5 Di Kampung Yowid, Distrik Tubang, warga setempat secara diam-diam dipaksa oleh petugas perusahaan (PT. Mayora Group) dan anggota TNI untuk menerima dan menandatangani persetujuan pengalihan hak atas tanah. Mereka diancam dituduh sebagai anggota OPM (Organisasi Papua Merdeka), sehingga mudah di kriminalisasi. Hal tekanan yang melibatkan TNI bersama anggota Tripika juga dialami oleh warga pemilik lahan di Distrik Muting pada saat bernegosiasi dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Tekanan terhadap orang kampung juga melibatkan orang-orang suruhan perusahaan yang tinggal di kampung, sebagaimana terjadi di Kampung Domande, Distrik Malind. Mereka yang menolak pengalihan hak atas tanah dibatasi untuk terlibat dalam pertemuan dan diserang dengan kata-kata yang merendahkan. Penyimpangan, pembatasan dan tekanan terhadap anggota masyarakat atas hak kebebasan dan hak untuk berpartisipasi dalam menentukan pembangunan tersebut sangat bertentangan dengan UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, antara lain: “Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam semangat persaudaraaan” (Pasal 3) dan Pasal 44, disebutkan: “Hak setiap orang baik sendiri maupun secara bersama-sama untuk mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan dan atau usulan kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintah yang bersih, efektif, efisien, baik dengan lisan maupun dengan tulisan”.

Hilangnya Kemandirian Orang Malind

Pemerintah telah mengatur secara khusus Hak-hak Orang Papua melalui Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (selanjutnya disebut UU Otsus). Kebijakan UU Otsus dianggap bagian kompromi dan pemberian pemerintah Indonesia untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua.

Hak-hak Orang Papua dalam UU Otsus tersebut, yakni: (1) hak atas perekonomian (Lihat Pasal 38 dan 42); (2) hak atas tanah (Lihat Pasal 43); (3) hak atas kekayaan intelektual (Lihat Pasal 44); (4) hak asasi manusia (Lihat Pasal 45); (5) hak perempuan (Lihat Pasal 47); (6) hak kekuasaan peradilan adat, (Lihat Pasal 50 dan 51); (7) hak Kebebasan memeluk agama dan kepercayaan, (Lihat Pasal 53 dan 54); (8) hak atas pendidikan dan

(6)

6 kebudayaan, (Lihat Pasal 57); (9) hak atas kesehatan yang bermutu, (Lihat Pasal 59 dan 60); (10) hak atas pekerjaan, (Lihat Pasal 62); (11) hak atas pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup, (Lihat Pasal 63 dan 64). Praktiknya, proyek MIFEE dikendalikan oleh manajemen perusahaan dan dikelola menggunakan tenaga kerja yang lulus syarat administrasi perusahaan untuk menghasilkan komoditi komersial tersebut justeru mengabaikan hak-hak orang Papua dalam UU Otsus.

Sistem ekonomi lokal dan mata pencaharian orang kampung yang mandiri semakin hilang dikarenakan pembatasan akses untuk memanfaatkan lahan, berkurangnya daerah berburu, digusurnya kawasan perairan rawa tempat ikan dan sumber-sumber pangan dari dalam hutan. Sebagian masyarakat yang terseleksi terpaksa menjadi buruh harian lepas dan tergantung pada pekerjaan dan upah rendah yang ditentukan perusahaan. Sistem perekonomian yang baru ini justeru menurunkan pendapatan masyarakat dan hilangnya sumber-sumber pangan masyarakat.

Sebelum ada perusahaan, masyarakat di Zanegi bisa memperoleh pendapatan hingga Rp. 6.000.000 per bulan dari menjual daging hasil usaha berburu hewan liar yang rata-rata mendapatkan 400 kilogram perbulan dan harga daging di kampung Rp. 15.000 perkilogram. Bandingkan setelah menjadi buruh perusahaan hutan tanaman PT. SIS (Selaras Inti Semesta), mereka hanya mendapatkan sekitar Rp. 1 juta perbulan dari upah harian Rp. 50.000 perhari dengan lama kerja 20 hari.

Sebelum ada perusahaan, konsumsi pangan masyarakat juga masih dengan mudah diperoleh dari hutan dan lahan pertanian, begitu juga dengan pengobatan tradisional. Setelah ada perusahaan, masyarakat terpaksa membeli bahan-bahan pangan, seperti: beras, mi instan, ikan kering, daging kering dan basah, yang cukup mahal.

Pada kasus tertentu di Kampung Zanegi, Baad dan Koa, kampung disekitar lokasi PT. SIS, terjadi kelaparan akut dan kasus kekurangan gizi anak yang kronis. Diketahui lima anak balita dari kampung Zanegi meninggal antara bulan Januari – April 2013 akibat kekurangan gizi parah dan penyakit terkait. Untuk mendapatkan tanah dan syarat perizinan, perusahaan melakukan manipulasi, janji-janji dan pemberian uang penghargaan yang nilainya tidak adil dibandingkan kerugian dan hilangnya mata pencaharian masyarakat. Di

(7)

7 Zanegi, perusahaan SIS memberikan uang penghargaan Rp. 300 juta untuk mendapatkan restu pengolahan lahan/hutan 169.000 ha selama 35 tahun. Perusahaan SIS hanya membayar kompensasi kayu Rp. 2.000 per kubik pada tahap awal pembukaan hutan. Di Domande, perusahaan Rajawali Group hanya membayar uang tali asih Rp. 3 milyar untuk mendapatkan lahan seluas 40.000 ha selama 35 tahun.

Ditempat lain, seperti di Distrik Ngguti, Muting, Ulilin dan Bupul, perusahaan memberikan uang ketuk pintu atau uang kompensasi penggunaan lahan Rp. 250.000 per hektar selama 35 tahun. Banyak dari ‘perjanjian penggunaan lahan tersebut’ tersebut tidak mencantumkan masa sewa, tidak juga jelas apakah tanah akan kembali kepada pemilik semula atau berubah status menjadi tanah negara begitu masa sewa habis. Bahkan jika kelak lahan dikembalikan kepada komunitas, hutan di atasnya sudah tidak ada lagi dan tidak cocok untuk kegiatan tradisional. Selain itu, sewa tersebut dinegosiasikan dengan sepenuh pengetahuan bahwa bagaimanapun perusahaan akan mendapatkan lahan tersebut, terlepas apakah kompensasi/ganti rugi akan dibayarkan, mengikuti hukum Indonesia dan perijinannya.

Diskriminasi dan Kekerasan Pekerja Lokal

Kegagalan negara untuk mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat atas tanah membawa dampak terhadap perubahan corak produksi di kampung. Masyarakat adat setempat secara terpaksa mengikuti dan menjadi buruh perusahaan. Permasalahannya, MIFEE tidak dirancang untuk menyediakan pekerjaan atau pembangunan bagi masyarakat setempat karena pola hidup mereka yang mengandalkan lahan sebagai pemburu-peramu dan petani kecil. Mereka tidak dipersiapkan untuk bertani secara komersial atau tidak melengkapi mereka dengan ketrampilan atau pengetahuan teknis.

Tidak ada banyak orang kampung yang beruntung lulus seleksi dan menjadi karyawan perusahaan. Perusahaan telah membuat sejumlah persyaratan administrasi untuk membatasi orang kampung, seperti: ijasah pendidikan formal dan pengalaman bekerja. Praktik diskriminasi juga terjadi dengan mengutamakan pekerja penduduk yang baru datang dari pada penduduk asli setempat.

Mereka menjadi sasaran psikologis dan fisik untuk melakukan pekerjaan secara terpaksa untuk bertahan hidup, yang mana mereka tidak memiliki kebebasan memilih dan bekerja dibawah tekanan eksploitasi (kondisi kerja

(8)

8 yang buruk, upah rendah dan tidak adanya jaminan social). Paksaan psikologis dapat berupa “paksaan untuk bekerja, didukung oleh ancaman denda/hukuman jika tidak patuh.”

Di Kampung Zanegi, semenjak PT. SIS beroperasi tahun 2010, jumlah tenaga kerja asal Zanegi keseluruhannya hanya 39 orang hingga Mei 2013, itupun sebagian masih baru diterima sebagai buruh harian rendahan, menyusul ancaman warga untuk tidak memalangi aktifitas perusahaan. Di Domande, hanya ada 6 orang kampung yang dipekerjakan perusahaan perkebunan tebu Rajawali Group.

Manuel Samkakai (almarhum), buruh perusahaan SIS asal Zanegi yang melakukan protes terhadap diskriminasi dan ketidakasilan perusahaan mendapat intimidasi dan mengalami kekerasan oleh aparat TNI. Buruh perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Dongin Prabhawa di Distrik Ngguti, terpaksa mengkonsumsi air hujan di penampungan dan tercemar limbah minyak sisa kendaraan.

Kehadiran para pekerja yang didatangkan dari luar telah menimbulkan masalah sosial baru. Meningkatnya ketegangan social dan kecurigaan antara suku dan kelompok. Para pendatang menjadi agen perusahaan di kampung, banyak diantara pendatang tersebut sudah mulai mengambil tanah Orang Malind dan berbagai sumber daya usaha masyarakat serta peluang-peluang untuk keberlangsungan hidup masyarakat. Diperkirakan antara 2 - 4 juta pekerja akan masuk ke Merauke – suatu proses yang sudah berlangsung – untuk bekerja di dalam proyek MIFEE. Jumlah pendatang ini sangat besar dan mengancam lebih jauh hak-hak dan kesejahteraan masyarakat Malind yang berjumlah sekitar 52.000 orang.

Kerusakan Hutan yang Luas dan Tempat Penting

Perusahaan telah membuka kawasan hutan yang luas untuk perkebunan kelapa sawit, perkebunan tebu dan hutan tanaman industrik. Pembukaan hutan tersebut dipastikan mengakibatkan terjadinya kerusakan dan hilangnya hutan yang luas. Tidak ada laporan yang mengawasi pembukaan hutan tersebut yang diduga telah terjadi penebangan dan pembukaan hutan diluar areal konsesi. Perusahaan SIS di Zanegi, Rajawali Group di Domande dan Dongin Prabhawa di Distrik Ngguti serta perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit di hulu Kali Bian, telah melakukan pembongkaran dan penggusuran hutan setempat, yang mana terdapat tempat-tempat penting masyarakat, seperti:

(9)

9 dusun sagu, rawa tempat ikan dan tempat keramat orang Malind, serta bernilai konservasi tinggi.

Pembongkaran hutan mengakibatkan semakin sulitnya mendapatkan hewan buruan, terganggunya relasi spritual antara masyarakat dan alam, hilangnya sumber pangan masyarakat dan kesulitan mendapatkan air bersih. Pada musim kering, masyarakat sulit mendapatkan air dan sebaliknya pada musim hujan terjadi banjir dan air menjadi kotor berlumpur. Pembukaan lahan yang luas dan penggunaan bahan kimia juga membuat air dan tanah tercemar. Masyarakat di Zanegi mengalami penyakit gatal-gatal dan gizi buruk diduga terkait dengan pembukaan hutan, hilangnya akses ke hutan dan pencemaran air rawa.

Dalam hal kerusakan hutan dan hilangnya tempat-tempat penting ini, pemerintah dan perusahaan telah melanggar hak warga untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kehancuran hutan dipercepat dan diperparah dengan adanya Peraturan Gubernur (Pergub) Provinsi Papua Nomor 184 tahun 2004 tentang Standar Pemberian Kompensasi Bagi Masyarakat Adat, yang sudah direvisi dan dirubah dengan Pergub Nomor 64 tahun 2012, tertanggal 31 Desember 2012, tentang Standar Kompensasi atas Hasil Hutan Kayu dan Hasil Hutan Bukan Kayu yang Dipungut Pada Areal Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Perubahan Perub 184 ini dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan perekonomian.

Meskipun sudah berubah terkait penerapan nilai kompensasi kayu, akan tetapi masih dianggap rendah karena dibawah standard harga kayu pasar local. SK Gubernur Papua No. 184 tahun 2004 menetapkan antara lain: nilai kayu merbau Rp. 50.000 per m3, kayu non merbau Rp. 10.000 per m3. Sedangkan Pergub 64 tahun 2012, harga kayu merbau meningkat menjadi Rp. 65.000 per m3, kayu non merbau Rp. 12.500 per m3, kayu bulat kecil Rp. 2.500 per m3, kayu bahan baku serpih (Hutan Alam) Rp. 2.500 per m3. Sedangkan untuk komoditas sagu sebesar Rp. 15.000, per pohon. Bandingkan dengan harga pasar lokal untuk kayu jenis rahai Rp. 1.200.000 per m3 dan harga kompensasi pemanfaatan kayu rahai Rp. 200.000 per m3.

Rendahnya nilai kompensasi dan dapat dijangkau oleh perusahaan pemodal besar, sehingga akan mempercepat pengalihan hak dan pengrusakan hutan di Merauke.

(10)

10 Pemerintah juga melangsungkan program besar MP3EI untuk pembangunan jalan, jembatan dan kanal-kanal irigasi untuk mendukung pergerakan barang dan sumber daya ke dan dari proyek MIFEE, semuanya berada di tanah adat dan semua tanpa peran serta maupun persetujuan mereka. Presiden SBY juga telah mengeluarkan Perpres Nomor 40 tahun 2013, yang melibatkan pihak militer Indonesia peran legal dan utama dalam pembangunan infrakstuktur terkait proyek MIFEE tersebut. Keterlibatan langsung militer sangat merisaukan mengingat sejarah dan perilaku mereka di Papua (sebagaimana dipaparkan di atas) dan karena dukungan terbuka mereka terhadap perusahaan perkebunan dalam proyek MIFEE.

Pelaksanaan pembangunan infrastruktur tersebut dilaksanakan tanpa dan tidak diketahui menggunakan dokumen AMDAL. Padahal pembangunan tersebut berdampak luas bagi masyarakat dan lingkungan setempat.

Rekomendasi:

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kami memandang dan menolak proyek MIFEE :

1. Kami meminta dan mendesak pemerintah untuk menghentikan dengan segera setiap bagian proyek yang dapat mengancam kelangsungan hidup masyarakat adat terdampak dan untuk meninjau kembali perizinan perusahaan yang terancam alat-alat bertahan hidupnya;

2. Mendesak pemerintah untuk terlibat dalam dialog resmi dengan perwakilan masyarakat adat Papua yang dipilih secara bebas mengenai cara-cara terbaik untuk menyikapi dan mengembangkan sumber daya alamnya dengan memprioritaskan dialog yang konstruktif serta pendekatan tanpa kekerasan dalam menyikapi konflik di Papua;

3. Mendesak pemerintah untuk sesegera mungkin mengsahkan dan melaksanakan secara penuh dan dengan partisipasi masyarakat adat RUU PPHMA sebagaimana diadopsi oleh DPR RI pada tanggal 16 Desember 2011. Mendesak pemerintah untuk melaksanakan keputusan Mahkamah Konstitusi tanggal 16 mei 2013 yang menjamin standar hukum nasional untuk mengatur penerapan undang-undang oleh pemda dalam kaitannya dengan pelaksanaan keputusan tersebut;

(11)

11 4. Meminta Pemerintah untuk melakukan review atas kebijakan dan izin-izin lokasi dan pemanfaatan kawasan hutan, yang telah menimbulkan konflik dan mengancam kerusakan hutan Papua.

(12)

12

Daftar Perusahaan Berinvestasi dalam Proyek MIFEE, Update

2014

PT. Berkat Cipta Abadi untuk investasi Perkebunan Sawit di Distrik Ulilin

 Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 238/Menhut-II/2011, tanggal 11 Juni 2011, tentang Izin Pelepasan Kawasan dengan luas kawasan hutan seluas 14.525,80 ha;

 SK Kadishutbun No. 522.1/1459/2011, tanggal 17 November 2011, tentang Izin Pemanfaatan Kayu;

PT. Inocin Abadi untuk investasi IUPHHK – HA di Distrik Ulilin:

 Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 606/Menhut-II/2011, tanggal 21 Oktober 2011, tentang IUPHHK – HA, dengan luas kawasan hutan seluas 99.665 ha;

PT. Papua Agro Lestari untuk investasi perkebunan Kelapa Sawit di Distrik Ulilin:

 Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 552/Menhut-II/2012, tanggal 4 Oktober 2012, tentang pelepasan kawasan hutan seluas 32.347,40 ha; PT. Bio Inti Agrindountuk investasi perkebunan Kelapa Sawit di Distrik Ulilin, dengan luas lahan 36.400,90 ha.

 SK Kadishutbun No. 522.3/111/2011, tanggal 25 Januari 2011 tentang Izin Pengelolaan Kayu;

 SK BPN RI No.81/HGU/BPN RI/2011, 15 Desember 2011, tentang Hak Guna Usaha;

 Surat Keputusan Kadishut Prov. Papua No. KEP-522.1/301/2012, tanggal 26 Januari 2012, tentang Izin Pemanfaatan Kayu.

PT. Agrinusa Persada Mulia untuk investasi perkebunan kelapa sawit di Distrik Muting:

 SK Gubernur No.125 tahun 2012, tanggal 11 Juli 2012, tentang AMDAL, UKL-UPL;

 SK Bupati No. 91 tahun 2013, tanggal 5 April 2013 tentang Izin Lokasi dengan luas lahan 39.692 ha;

PT. Hardaya Sugar Papua Plantation untuk investasi perkebunan tebu di Distrik Jagebob dengan luas lahan 37.898 ha:

 SK BKPM Prov. No.04/94/I/P/I/PMDN/2012, tanggal 25 Juni 2012, tentang Izin Prinsip tentang Perkebunan Tebu;

(13)

13

 SK BKPM Prov. Papua No.570/306, tanggal 27 Juli 2012, tentang Izin Usaha Perkebunan, luas lahan 37.898 ha;

PT. Hardaya Sawit Papua Plantation untuk investasi perkebunan kelapa sawit di Distrik Jagebob:

 SK Bupati No. 323 tahun 2011, tanggal 8 November 2011, tentang Izin Lokasi seluas 62.150 ha;

 SK BKPM Prov. No.03/94/I/P/I/PMDN/2012, tanggal 25 Juni 2012, tentang Izin Prinsip tentang Perkebunan Tebu;

 SK BKPM Prov. Papua No.570/305, tanggal 27 Juli 2012, tentang Izin Usaha Perkebunan, luas lahan 44.740 ha;

PT. China Ghate Agriculture Development untuk investasi perkebunan ubi kayu, padi di Distrik Okaba, luas lahan 20.000 ha.

 SK BKPM Prov No.521/602, tanggal 3 Oktober 2011, tentang Persetujuan Izin Prinsip;

 SK BKPM Prov No.017/P.IUP/TP/2012, tanggal 28 September 2012, tentang Persetujuan Izin Prinsip;

 Rekomendasi Gubernur No. 522/1872/SET, tangggal 5 April 2013, luas lahan 20.000 ha.

PT. Wanamulia Sukses Sejati untuk investasi IUPHHK-HTI di Distrik Kaptel dan Muting, seluas 96.553, 56 ha.

 Surat Rekomendasi Gubernur No. 79 tahun 2011, tangggal 6 Juli 2011, tentang AMDAL, UKL - UPL

PT. Plasma Nutfah Marind Papua untuk investasi IUPHHK-HTI di Distrik Ngguti dan Okaba, luasnya 64.050 ha;

 SK BKPM SP.No. 9/1/IP/PPM/V/PMA/2011, tanggal 30 Juni 2011, tentang IUPHHK - HTI;

 SK Menhut No.648/Menhut II/2011, tanggal 14 November 2011, tentang IUPHHK HTI, luas lahan 64.050 ha.

PT. Cendrawasih Jaya Mandiri untuk investasi perkebunan tebu di Distrik Malind dan Kurik, seluas 22.117 ha.

 Surat Rekomendasi Gubernur No. 570/94/1/IP/PMDN/2012 tentang Izin Prinsip;

 SK Gubernur No. 179 tahun 2011, tanggal 30 Desember 2011, tentang AMDAL, UKL - UPL;

 SK Menhut No.36/Menhut-II/2012, tanggal 30 Januari 2012, tentang Pelepasan Kawasan Hutan, luas lahan 22.117 ha;

 Surat BKPM Prov No. 570.199/94/IUP/I/PMDN/2012, tanggal 7 Mei 2012, tentang Izin Usaha Perkebunan;

(14)

14

 SK Gubernur No.522.1/3622, tanggal 24 September 2012, tentang Izin Pemanfaatan Kayu.

PT. Karya Bumi Papua untuk investasi perkebunan tebu, di Distrik Malind dan Kurik, seluas 15.628 ha;

 SK Gubernur No. 178 tahun 2011, tanggal 30 Desember 2011, tentang AMDAL, UKL - UPL;

 SK Menhut No.172/Menhut-II/2012, tanggal 4 April 2012, tentang Pelepasan Kawasan Hutan, luas lahan 15.628 ha;

 SK Gubernur No.522.1/3622, tanggal 24 September 2012, tentang Izin Pemanfaatan Kayu.

 Surat Rekomendasi Gubernur No. 570.198/94/1/IP/PMDN/2012, tanggal 7 Mei 2012, tentang Izin Prinsip;

 Surat Bupati No. 63 tahun 2013, tanggal 20 Maret 2013, pembaruan Izin Lokasi;

PT. Karisma Agri Pratama untuk investasi pertanian tanaman padi di Distrik Tubang seluas 37.786 ha;

 Surat BKPM Prov. No. 03/P.IUP/TP/2013, tanggal 23 Januari 2013 tentang PPIUP (Izin Usaha Perkebunan) dengan luas lahan 37.786 ha;

 Surat BKPM No.04/94/I/IP/I/PMDN/2013, tanggal 25 Januasri 2013, tentang Izin Prinsip.

PT. Agri Surya Agung untuk investasi perkebunan tebu di Distrik Tubang seluas 36.774 ha;

 Surat BKPM Prov. No. 05/P.IUP/TP/2013, tanggal 23 Januari 2013 tentang PPIUP (Izin Usaha Perkebunan) dengan luas lahan 36.774 ha;

 Surat BKPM No.06/94/I/IP/I/PMDN/2013, tanggal 25 Januasri 2013, tentang Izin Prinsip.

PT. Nusantara Agri Resources untuk investasi perkebunan tebu di Distrik Ilwayab dan Ngguti, luas lahan 39.005 ha;

 Surat Bupati No. 279 tahun 2009, tanggal 16 November 2009, tentang Izin Lokasi lahan luas 40.000 ha;

 Surat BKPM Prov. No. 04/P.IUP/TP/2013, tanggal 23 Januari 2013 tentang PPIUP (Izin Usaha Perkebunan) dengan luas lahan 39.005 ha;

 Surat BKPM No.05/94/I/IP/I/PMDN/2013, tanggal 25 Januasri 2013, tentang Izin Prinsip.

PT. Mega Surya Agung untuk investasi perkebunan tanaman kedelai dan jagung di Distrik Kaptel dan Ngguti, dengan luas 24.697 ha;

(15)

15

 SK Bupati No. 407 tahun 2012, tanggal 27 September 2012, tentang Izin Lokasi lahan luas 24.697 ha;

 Surat BKPM Prov. No. 06/P.IUP/TP/2013, tanggal 23 Januari 2013 tentang PPIUP (Izin Usaha Perkebunan);

 Surat BKPM No.07/94/I/IP/I/PMDN/2013, tanggal 25 Januari 2013, tentang Izin Prinsip.

PT. Agriprima Cipta Persada untuk investasi perkebunan kelapa sawit di Distrik Muting dan Ulilin, dengan luas lahan 33.540 ha;

 SK Gubernur No.126 tahun 2012, tanggal 17 Juli 2012 tentang AMDAL/UKL-UPL;

 SK Bupati No. 6 tahun 2013, tanggal 17 Januari 2013, tentang Izin Prinsip;

 Surat BKPM No.03/94/IUP/I/PMA/2013, tanggal 27 Maret 2013, tentang Izin Usaha Perkebunan.

PT. Anugerah Rezeki Nusantara untuk investasi perkebunan tebu di Distrik Animha dan Tanah Miring, luas lahan 27.457 ha;

 Surat Bupati No: 27/2012, tanggal 31 Januari 2012, tentang Izin Lokasi, luas lahan 27.457,27 ha;

 Surat BKPM Provinsi No.521.005, tanggal 10 Mei 2012.

 Sudah Konsultasi AMDAL pada Februari 2014.

PT. Medco Papua Alam Lestari untuk investasi IUPHHK-HTI di Distrik Kaptel, seluas 74.219 ha;

 Surat Rekomendasi Gubernur No.522.1/58/29/SET, tanggal 21 Desember 2012;

PT. Lestari Subur Indonesia untuk investasi perkebunan tebu di Distrik Jagebob dan Sota, sebelumnya berlokasi di Distrik Tabonji, seluas 25.102 ha;

 Surat Bupati No.27 tahun 2013, tanggal 12 Februari 2013, tentang Izin Lokasi, luas lahan 25.102, 285 ha; Pindah dari Distrik Tabonji ke Distrik Jagebob dan Sota.

PT. Swarna Hijau Indah untuk investasi perkebunan tebu di Distrik Tubang dan Kimaam, dengan luas 36.363 ha;

 SK Bupati No. 249 tahun 2012, tanggal 7 Juli 2012, tentang Izin Lokasi seluas 36.363 ha;

 SK BKPM Provinsi No.14/94/IP/I/PMDN/2013, tanggal 26 Maret 2013, tentang Izin Prinsip;

 SK BKPM Provinsi No.13/P.IUP/TB/2013, tanggal 26 Maret 2013, tentang Izin Usaha Perkebunan.

(16)

16 PT. Dharma Agro Lestari untuk investasi perkebunan tebu di Distrik Tubang dan Okaba, dengan 50.000 ha;

 SK Bupati No. 373 tahun 2011, tanggal 5 Desember 2011, tentang Izin Lokasi seluas 50.000 ha;

 SK BKPM Provinsi No.19/94/IP/I/PMDN/2013, tanggal 17 April 2013, tentang Izin Prinsip;

 SK BKPM Provinsi No.16/P.IUP/TB/2013, tanggal 17 April 2013, tentang Izin Usaha Perkebunan.

PT. Internusa Jaya Sejahtera untuk investasi perkebunan kelapa sawit di Distrik Muting, Ulilin dan Eligobel seluas 18.587 ha.

 SK Bupati No. 339 tahun 2013, tanggal 1 Juli 2013, tentang Izin Lokasi seluas 18.587,05 ha;

 SUDAH Konsultasi AMDAL Februari 2014

PT. Purna Karsa Wibawa untuk investasi perkebunan tebu di Distrik Ngguti, Tubang dan Okaba, seluas 20.224 ha;

 SK Bupati No. 340 tahun 2013, tanggal 1 Juli 2013, tentang Izin Lokasi seluas 20.223,92 ha

PT. Kurnia Alam Nusantara untuk investasi perkebunan tebu di Distrik Tubang dan Ilwayab, seluas 50.000 ha;

 SK Bupati No. 251 tahun 2012, tanggal 7 Juni 2012, tentang Izin Lokasi seluas 50.000 ha;

 SK BKPM Provinsi No.15/94/P.IUP/I/TB/2013, tanggal 26 Maret 2013, tentang Izin Prinsip;

 SK BKPM Provinsi No.15/94/IP/I/PMDN/2013, tanggal 26 Maret 2013, tentang Izin Usaha Perkebunan.

PT. Randu Kuning Utama untuk investasi perkebunan tebu di Distrik Ilwayab, Tubang dan Kimaam seluas 40.000 ha;

 SK Bupati No. 250 tahun 2012, tanggal 7 Juni 2012, tentang Izin Lokasi seluas 40.000 ha;

 SK BKPM Provinsi No.14/94/P.IUP/I/TB/2013, tanggal 26 Maret 2013, tentang Izin Prinsip;

 SK BKPM Provinsi No.15/94/IP/I/PMDN/2013, tanggal 26 Maret 2013, tentang Izin Usaha Perkebunan.

PT. Bhakti Agro Lestari untuk investasi perkebunan tebu di Distrik Malind dengan luas lahan 26,098 ha;

 SK Bupati No. 374 tahun 2011, tanggal 5 Desember 2011, tentang Izin Lokasi seluas 26.098,13 ha;

(17)

17 PT. Rizki Kemilau Berjaya untuk investasi perkebunan tebu di Distrik Kurik dengan luas lahan 10.000 ha;

 SK Bupati No. 20 tahun 2012, tanggal 16 Januari 2012, tentang Izin Lokasi seluas 10.000 ha;

PT. Wahana Samudera Sentosa untuk investasi Hutan Tanaman Industri di Distrik Ngguti dan Kaptel seluas 79.033 ha;

 Surat Rekomendasi Bupati No. 522.2/226 tahun 2013, tanggal 18 Januari 2013, tentang Izin Lokasi seluas 79.033,99 ha;

PT. Indonesia Jaya Makmur Investasi untuk investasi perkebunan tebu di Distrik Ngguti dan Tubang dengan luas lahan 20.224 ha;

 SK Bupati No. 341 tahun 2013, tanggal 1 Juli 2013, tentang Izin Lokasi seluas 20.223,94 ha;

Referensi

Dokumen terkait

Pada halaman ini terdapat gambar logo, gambar background, gambar usia janin 12-16 minggu, dan table link fase-fase perkembangan janin.2. 3.4.7 Halaman 20 – 24 minggu Text Gambar Text

hasil yang berbeda ditunjukkan dengan studi yang dilakukan oleh (Dwiwiyati Astogini et al., 2011) yang mengatakan bahwa tingkat religiusitas tidak mempunyai pengaruh yang

Seterusnya, kajian yang berkaitan dengan semantik inkuisitif terhadap peribahasa yang telah dilakukan oleh Muhammad Zaid Daud (2019a) bertajuk “Domain rezeki dalam

Minggu, 18 Maret 2018, adalah hari yang istimewa bagi keluarga besar Bina Iman Anak (BIA) Wilayah V dan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) Pelangi Kasih Graha Raya Bintaro.. Hari

Guspri Devi Artanti, S.Pd, M.Si selaku Koordinator Program Studi Pendidikan Tata Boga, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Jakarta, sekaligus dosen pembimbing yang

Jumlah rata-rata karyawan yang diasuransikan dan pekerja yang dikirimkan tidak meningkat lebih dari 10 persen atau sebanyak 4 pekerja atau lebih dalam 3 bulan terakhir

Untuk dapat bersaing dengan program-program yang disajikan televisi lain, berbagai cara yang dilakukan oleh program JAM untuk meningkatkan mutu atau kualitas terhadap

Jika ditinjau dari bahan-bahan yang dibutuhkan dalam pembuatan keramik khususnya bahan pewarna yang digunakan, secara teori kemungkinan besar limbah cair yang dihasilkan