• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Ulama dalam Penumpasan Pemberontakan DI/TII di Tasikmalaya Oleh: Dewi Adawiyah ( ) Abstract

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Peran Ulama dalam Penumpasan Pemberontakan DI/TII di Tasikmalaya Oleh: Dewi Adawiyah ( ) Abstract"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1

Peran Ulama dalam Penumpasan Pemberontakan DI/TII di Tasikmalaya 1948-1962

Oleh: Dewi Adawiyah

(12407141027) Abstract

Declaration of DI/TII in Tasikmalaya by Kartosuwiryo has brought changes the society Tasikmalaya. Society and community leaders, including clerics initially provide support to DI/TII. However, as a movement based on Islam, attitudes and activities of DI/TII many are against the teachings of Islam. The ulama‟s who initially supported the existence of DI/TII began to attract its support. The existence of DI/TII has disrupted security in Tasikmalaya, because of murder, robbery and burning of houses. To solve the security problems caused by DI / TII, then in 1956 a meeting was held attended by ulama, umara, and military. study which contains a prohibition to join the DI/TII and the importance of the unity of Indonesia became a major theme in any circle of society. In fact, ulama of NU insist deny the existence of DI/TII is a rebel against a legitimate government. Therefore, Ulama of NU in every area in Tasikmalaya instructed the youth of NU to follow the basics of military training to face the forces DI/TII. Finally the ulama in Tasikmalaya together with the community directly involved „Pagar Betis” this operation performed by TNI troops at Mount Galunggung.

Keywords: Ulama, DI/TII, Tasikmalaya

A. Pendahuluan

Tasikmalaya merupakan sebuah Afdeeling1 yang didirikan Belanda pada tahun 1821. Afdeeling Tasikmalaya merupakan gabungan dari Kabupaten

1 Afdeeling adalah sebuah wilayah administratif pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda setingkat Kabupaten. Administratornya dipegang oleh seorang asisten residen. Afdeeling merupakan bagian dari suatu karesidenan.

Sumedang, yang terbagi menjadi dua wilayah yaitu Ciawi dan Tasikmalaya. Secara geografis sebagian besar wilayah Tasikmalaya adalah pegunungan. Sehingga, mata pencaharian masyarakat pada umumnya yaitu bertani, berkebun, kolam ikan, berdagang, buruh, dan menjadi pengrajin tembikar, batik, dan

(2)

2 berbagai anyaman.2 Pada 1 Oktober 1901, Pemerintah Tasikmalaya mengalami perubahan kekuasaan dengan dikeluarkannya surat resmi dari Pemerintah Belanda untuk memindahkan ibu kota Kabupaten Sukapura dari Manonjaya ke Tasikmalaya. Raden Tumenggung Prawira Adiningrat yang menjabat Sebagai Bupati Sukapura XIV menjadi bupati pertama yang berkedudukan di Tasikmalaya.3

2Itje Marlina, Perubahan Sosial di Tasikmalaya; Suatu Kajian Sosiologis Sejarah, (Jatinangor: Alqa Prisma Interdelta, 2007), hlm. 33.

3 Pengurus Yayasan Pusaka Wakaf Sukapura, “Sejarah Soekapoera:

Soekapoera Ngadaun Ngora

(Rioengmoengpoloeng Deukeut-Deukeut Urat Taleus)” dalam Kumpulan Sejarah Tasikmalaya, (Tasikmalaya: Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah, 2012), hlm. 87.

Masuknya agama Islam sekitar abad 15 di Tasikmalaya, telah membawa perubahan dalam kehidupan keagamaan masyarakat Tasikmalaya, hampir sebagian besar masyarakat memeluk agama Islam.4 Agama Islam semakin berkembang di Tasikmalaya pada abad 20 ditandai dengan munculnya pondok pesantren dan organisasi Islam. Diantara pondok pesantren yang berpengaruh yaitu Pesantren Suryalaya, Pesantren Cipasung, dan Pesantren Sukamanah. Organisasi Islam yang mempunyai pengaruh yang besar bagi masyarakat diantaranya, Sarekat Islam (SI), Persatuan Islam (PERSIS), Muhammadiyah, dan Nahdatul Ulama

4Dudung Abdurahman, “Ulama dan Umara di Tasikmalaya (1901-1945)” dalam Jurnal Penelitian Agama, No. 20 Bulan September-Desember 1998, hlm. 146.

(3)

3 (NU). Kehadiran organisasi-organisasi ini tidak mendapat rintangan yang berarti dari masyarakat. Perkembangan organisasi-organisasi ini mempunyai peran penting sebagai gerakan kebangkitan Islam Indonesia abad 20.5

Perkembangan keagamaan di Tasikmalaya tidak selalu membawa dampak yang positif. Kehidupan agama Islam yang kuat di kalangan masyarakat

Tasikmalaya dimanfaatkan oleh

sebagian kelompok tertentu untuk mendirikan Negara Islam. Sebuah konsep negara untuk Indonesia yang

dianggap lebih ideal, yaitu Darul Islam

(DI) atau yang dikenal dengan Negara

Islam Indonesia (NII). Darul Islam (DI)

5 M.C Ricklefs, “A History Of Modern Indonesia”, a.b, Dharmono Hardjowidjono, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press: 2011), hlm. 198.

merupakan sebuah gerakan yang

diproklamirkan di Tasikmalaya pada tahun 1949. Gerakan ini muncul dikarenakan ada sebagian kelompok

yang merasa tidak puas dengan

pemerintah pusat. Kelompok ini

dipelopori oleh Sekarmadji Mardijan Kartosuwiryo yang merupakan salah

satu tokoh Partai Masyumi.6

Gerakan DI ini mempunyai pasukan militer yang bernama Tentara Islam Indonesia (TII). Pasukan TII ini

berasal dari tentara Hizbullah dan

Sabilillah yang merupakan laskar

pertahanan organisasi Masyumi.7 Dalam

perkembangannya gerakan ini banyak

6Adrian Vickers, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Insan Madani, 2001), hal. 183.

7 Ruslan, dkk, Mengapa Mereka Memberontak? Dedengkot Negara Islam Indonesia, (Yogyakarta: Bio Pustaka, 2008), hlm. 26.

(4)

4

melakukan pemberontakan.8

Pemberontakan yang dilakukan DI

berupa teror yang meresahkan

masyarakat dengan cara membakar desa, menggarong, dan membunuh. Pemberontakan ini telah menganggu keamanan dan stabilitas masyarakat Tasikmalaya dan juga pemerintah pusat. Pemberontakan DI/TII di Tasikmalaya baru bisa dihentikan setelah di adakan Operasi Pagar Betis yang melibatkan

seluruh komponen masyarakat,

termasuk ulama.

B. Gambaran Umum Tasikmalaya

Secara geografis Tasikmalaya terletak antara 7º02‟ dan 7º50‟ Lintang Selatan serta 109º97‟ dan 108º25‟ Bujur

8 Asia Report, Daur Ulang Militan Di Indonesia: Darul Islam Dan Bom Kedutaan Australia, dalam

www.crisisgroup.org, hlm. 2, diakses pada

27 Oktober 2015.

Timur. Tasikmalaya berbatasan dengan Kabupaten Sumedang sebelah utara, Kabupaten Garut sebelah barat, Kabupaten Ciamis sebelah timur, dan sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Hindia. Pada awal abad ke-20 luas wilayah Tasikmalaya sekitar 2.748.992 kilometer persegi, terdiri dari 10 distrik yaitu, Tasikmalaya, Ciawi, Singaparna, Manonjaya, Taraju, Karangnunggal, Cikatomas, Cijulang, Pangandaran, dan Banjar. Pada tahun 1938 luas wilayah Tasikmalaya mengalami perubahan menjadi 2.680.470 kilometer persegi. Hal ini dikarenakan ada tiga distrik yang masuk menjadi bagian wilayah Kabupaten Ciamis, yaitu Banjar, Pangandaran, dan Cijulang.9 Sebagian besar wilayah

9

Dudung Abdurahman, op.cit., hlm. 145.

(5)

5 Tasikmalaya merupakan pegunungan dan perbukitan. Selain bukit, ada tiga kawah baru di Gunung Galunggung paska ledakan tahun 1882 yaitu Kawah Karso, Kawah Cekok, dan Kawah Hejo.10

Kehidupan perekonomian masyarakat umumnya merupakan petani, pedangan, berkebun, buruh, dan sebagai pengrajin. Pada tahun 1950 perekenomian di Tasikmalaya mengalami kemunduran, yang disebabkan politik ekonomi nasional yang menyebabkan nilai tukar rupiah terhadapi valuta asing menurun. Keadaan ini mempengaruhi harga 10 Igan S Sutawidjaja, “Perkembangan Wisata di Kawasan Gunung Galunggung Pasca Letusan 1982-1983” dalam Menyelamatkan Alam Sunda dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda, (Bandung: Pusat Studi Sunda, 2007), hlm. 160.

barang mentah dan kegiatan produksi di daerah.11 Kemunculan DI/TII juga menyebabkan jenis usaha di Tasikmalaya mengalami kemunduran, diantaranya kondisi sektor perkebunan, penginapan, hiburan (bioskop), kontraktor, dan angkutan (transportasi). Akan tetapi, beberapa ekonomi tidak mengalami perubahan yang berarti dengan keberadaan DI/TII, seperti industri batik. Hal ini dikarenakan industri batik dikelola dengan baik oleh para pengusaha lokal yang bernaung di bawah organisasi Mitra Batik.12

C. Gerakan DI/TII di Tasikmalaya

11 Listio Ali, “Produksi dan Distribusi di Tengah Kekacauan: Kondisi Sosial Ekonomi Tasikmalaya pada Masa Gejolak DI/TII 1949-1962”, Skripsi, (Yogyakarta: UGM, 2012), hlm. 46.

12

Pinardi, Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo, (Jakarta: Aryaguna, 1964), hlm. 73.

(6)

6 Penantian panjang akan berdirinya sebuah negara Islam akhirnya terjawab dengan diproklamirkannya DI secara resmi pada 7 Agustus 1949 (12 Syawal 1368 H). Proklamasi ini dibacakan oleh Kartosuwiryo di Desa Cisampah, Kecamatan Cilugalar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya atas nama umat Islam Bangsa Indonesia.13 Proklamasi ini dilakukan ketika situasi politik dan militer Indonesia dianggap berada di bawah kepemimpinan nasional yang carut-marut. Menurut Konstitusi DI Indonesia merupakan “Karunia Ilahi”, artinya Negara Karunia Allah.14 Hal-hal yang berhubungan dengan struktur

13Ibid., hlm. 73.

14 Irfan S. Awwas, Jejak Jihad SM. Kartosuwiryo: Mengungkap Fakta yang didustakan, (Yogyakarta: Uswah, 2007), hlm. 214.

politik DI akan diatur dalam Konstitusi Kanun Azasy (Hukum Dasar DI/TII).

Pada 1949 Kartosuwiryo mendeklarasikan Jawa Barat sebagai daerah de facto DI/TII. Siapapun yang masuk ke daerah kekuasaannya ini harus mengakui kedaulatan DI/TII atau dilucuti.15 Sementara itu, wilayah Tasikmalaya dijadikan sebagai wilayah utama gerilya gerombolan DI/TII. Salah satu daerah utama yang masih dijadikan basis DI/TII adalah komplek Gunung Galunggung/Talagabodas – Gunung Kratjak – Gunung Sadakeling di Tasikmalaya. Daerah ini merupakan daerah segitiga dan memegang peranan penting bagi perkembangan gerombolan DI/TII sebagai tempat pelaksanaan adminsitrasi dan operasi DI/TII. Selain

(7)

7 itu, daerah ini sering dijadikan tempat menetap Kartosuwiryo dan merupakan basis pertahanan bagi Bataliyon 841 SK dan 227 KP DI/TII,16 serta sebagai pusat perhubungan antara staf kuasa usaha komandemen tertinggi Haji Ahmad Djamaluudin dengan kesatuan bawahannya dengan perantara staf Djadja Sudjadi Umar Said (DSUS) pimpinan Djadja Sudjadi Umar Said.17

Keberadaan DI/TII di Tasikmalaya telah membuat resah masyarakat. Anggota DI/TII banyak yang melakukan tindakan perampokan, pembakaran rumah, dan pembunuhan. Di Kampung Naga, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, gerombolan DI/TII

16

Disjarahad, Laporan D.I, Dokumen Sejarah DI/TII, SP.0039/D/03/01, no.31.

17Ibid.

melakukan perampokan dan sebanyak 94 empat rumah penduduk dibakar. Kerugian dari kejadian ini diperkirakan sekitar Rp. 662.000.00.18 Pada 23 Januari 1953 di Cihideung, Tasikmalaya, terjadi pembunuhan kepada seorang warga bernama Warkas oleh gerombolan DI/TII pukul 18.30 WIB.19 Tidak hanya orang dewasa, anak-anak juga menjadi korban pembunuhan gerombolan DI/TII. Perampokkan yang dilakukan gerombolan DI/TII di Kampung Naga

18Disjarahad, DI/TII 1950 Kejadian DI tertanggal 1-7 Januari, 1952 Dokumen Sejarah DI/TII Jawa Barat, SP. 006/D/03/01, no. 22.

19

Holk H. Dengel, “Kartosuwiryo Kampf um Einen Islamischen Darul Islam Staat Indonesien”, a.b, Sinar Harapan, Darul Islam-NII dan Kartosuwiryo: Angan-Angan yang Gagal, (Jakarta: PT. Pustaka Sinar Harapan, 2011), hlm. 186.

(8)

8 diakhiri dengan dibunuhnya seorang anak berusia tiga tahun.

D. Ulama Dan Penumpasan DI/TII Di Tasikmalaya 1962

Pada tahun 1951, M. Natsir mengirim Wali Alfatah bersama tiga orang pembantunya (Tasik Wira, Muslikh, dan Zainuddin) sebagai utusan resmi pertama untuk menemui Kartosuwiryo di daerah Pagerageung (Tasikmalaya).20 Pertemuan ini gagal dilaksanakan karena Kartosuwiryo berada di Gunung Galunggung. Kemudian, TNI melakukan penyerbuan besar-besaran ke daerah Pagerageung,

20Van Dijk, “Rebellion Under The Banner of Islam (The Darul Islam in Indonesia)”, a.b, Grafiti Pers, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011), hlm.104.

yang menyebabkan Toha Arsjad (Kepala Majelis Penerangan DI) hilang, bahkan jenazahnya tidak ditemukan.21 Perundingan yang kedua dilakukan dengan mengirim A. Hassan (Tokoh Persis Bandung). Pertemuan kedua ini kembali mengalami kegagalan. Perundingan selanjutnya dilakukan secara langsung oleh M. Natsir, dan berhasil bertemu dengan Kartosuwiryo. Dalam pertemuan ini M. Natsir membujuk Kartosuwiryo untuk mencabut proklamasi DI, akan tetapi ajakan tersebut ditolak oleh Kartosuwiryo.22 Penolakan ini berakibat ditetapkannya DI/TII sebagai musuh

21 ANRI, Hasil Pelaksanaan Tugas Meninjau Soal-Soal Umum dan Keadaan Keamanan Daerah Djawa Barat dan Tengah, Tanggal 22-31 Desember 1954, No. 380.

22Irfan S. Awwas, Kesaksian Pelaku Sejarah Darul Islam (DI/TII), (Yogyakarta: Darul Uswah, 2015), hlm. 226.

(9)

9 negara dalam sidang DPR di bawah Perdana Menteri Ali Sastro Amidjojo pada bulan September 1953.23

Menyikapi aktivitas DI/TII yang semakin meresahkan, maka pada tahun 1956 para ulama dan militer mengadakan sebuah pertemuan di Gedung Mitra Batik, Tasikmalaya. Sebelumnya, pemerintah pusat mengadakan konferensi ulama di Cipanas untuk membahas kedudukan Soekarno sebagai kepala negara. Konferensi ini dilaksanakan pada tahun 1954 yang dimotori oleh K.H Masjkur (Menteri Agama). Konferensi ulama ini dihadiri oleh 21 ulama dari 13 provinsi yang didominasi oleh Ulama NU.24

23Holk H. Dengel. op.cit., hlm. 165. 24 Muhamad Hisyam, “Nahdatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara Diawal Kemerdekaan RI”, dalam

Diadakannya konferensi ini merupakan upaya Soekarno memperoleh legitimasi untuk menumpas gerakan DI/TII yang dianggap sebagai buhgat25.26. Soekarno meminta fatwa alim ulama tentang keabsahannya sebagai presiden Republik Indonesia berdasarkan syari'at Islam. Bantuan ulama diperlukan oleh

Jurnal Lektur Keagamaan, (Vol. 12, No. 1, 2014), hlm. 180.

25

Bughat Menurut Imam Syafi‟I adalah kaum muslimin yang menyalahi imam (Pemimpin) dengan jalan memberontak kepadanya, tidak mentaatinya, atau mencegah hak yang yang seharusnya wajib mereka tunaikan (kepada imam), dengan syarat mereka mempunyai kekuatan (syaukah), ta`wil, dan pemimpin yang ditaati (muthaa’) dalam kelompok tersebut. Lihat di Dian Dwi Ok Putera, “Hukuman Bagi Pelaku Tindak Pidana Bughat (Studi Komperatif Antara Imam Syafi‟i Dan Imam Abu Hanifah)”, Skripsi, Riau: UIN Sultan Syarif Kasmi, 2011, hlm. 47.

26Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M Kartosoewirjo, (Jakarta: Darul Falah, 1999). hlm. 119.

(10)

10 Soekarno untuk dijadikan landasan yang memperkuat penumpasan DI/TII. Hasil dari konferensi ini salah satunya mengangkat Soekarno sebagai waliy al-amr al-daruribi al-syaukah27 (pemegang pemerintahan sementara dengan kekuasaan penuh).

Sementara itu, pertemuan ulama priangan di Tasikmalaya berhasil mendirikan Badan Musyawarah Alim Ulama (BMAU) pada 18 Maret 1957 di Tasikmalaya atas prakarsa Letkol Syafei Tjakradipura dan kepala stafnya Mayor Poniman. Letkol Syafei merupakan Komandan Resimen 11 Galuh yang memiliki wilayah kerja di Tasikmalaya

27

Pemberian gelar waliy amr al-daruribi al-syaukah kepada Soekarbo pada awalnya diberikan berhubungan dengan pelaksanaan teknis hukum fiqih tentang kewenangan menunjuk dan mengangkat wali hakim dalam akad pernikahan bagi perempuan yang tidak memiliki wali nasab (genealogis).

dan Ciamis (Priangan Timur).28 BMAU dideklarasikan di Gedung Mitra Batik, setelah para ulama dan militer bertemu dengan pihak pemerintah. Tujuan berdirinya BMAU salah satunya adalah untuk memulihkan keamanan di Priangan Timur. BMAU juga memiliki beberapa fungsi diantaranya menyelenggarakan kegiatan pengajian, pendidikan, dan dakwah. Melalui BMAU, para ulama Tasikmalaya berusaha untuk mewujudkan keutuhan NKRI dengan jalur ishlah bainan naas (perdamaian antara sesama manusia).

Pada 12 Juli 1958 staf penguasa perang Daerah Swatantra I Jawa Barat mengeluarkan pedoman Majelis Ulama. Pedoman tersebut berisi Majelis Ulama

28 Disjarahad, Penumpasan Pemberontakan DI/TII S.M Kartosuwiryo di Jawa Barat, (Bandung: Disjarahad, 1985), hlm. 131.

(11)

11 akan bekerjasama dengan alat negara sesuai bidangnya berdasarkan ajaran Islam. Peran ulama diperlukan, karena permasalahan DI/TII bukan hanya urusan politik dan militer, akan tetapi menyangkut ajaran Islam.29 Pada 11 Agustus 1958 penguasa perang Daerah Swatantra I Jawa Barat memberikan intruksi kepada semua Pelaksana Kuasa Perang daerah Swatantra I Jawa Barat untuk membentuk Majelis Ulama disetiap daerahnya.30 Sebagai tindak lanjut dari pertemuan-pertemuan beberapa ulama daerah di Jawa Barat, maka pada tanggal 7-9 Oktober 1958 diadakan sebuah konferensi alim ulama

29 Nina Lubis, dkk, Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat, (Bandung: UNPAD), hlm. 316, diakses dari www.pustaka.unpad.ac.id, pada 1 April 2016, pukul 09.56 WIB.

30Ibid.

di Lembang, Bandung. Kongres ini diselenggarakan oleh panitia yang dipimpin oleh Let.Kol Omon Abdurrachman (Pimpinan Brigade XII/Siliwangi).31 kongres ini juga menghasilkan tiga keputusan penting, yaitu:

1. Usaha menyempurnakan pemulihan keamanan dan pemeliharaannya,

2. Usaha menyempurnakan pembangunan, dan

3. Usaha penyempurnaan pendidikan dan kebudayaan.32

31 Aan Ratmanto, Pasukan Siliwangi: Loyalitas, Patriotisme, dan Heroisme, (Yogyakarta: Mata Padi Pressindo, 2012), hlm. 118.

32 Staff MUI Jawa Barat, “Sejarah Singkat MUI Jawa Barat”,

https://muijabar.wordpress.com, diakses

(12)

12 Pada masa DI/TII mencapai masa kejayaan di Tasikmalaya (1957-1958), para ulama yang menolak keberadaan DI/TII mulai melakukan perlawanan. Sebagai upaya penolakan dan perlawanan terhadap DI/TII, para ulama memberikan arahan lewat pengajian, bahwa para ulama tidak merestui siapapun yang terlibat dengan DI/TII. Oleh karena itu, setiap mengisi pengajian di kampung-kampung para ulama menyampaikan himbauan untuk tidak bergabung dengan DI/TII. Para ulama juga menyampaikan mendukung persatuan NKRI. Pengajian yang dilakukan oleh para ulama di Tasikmalaya tidak lepas dari perhatian DI/TII. Jamaah sebuah mesjid di Sukaratu bahkan ditembaki oleh gerombolan DI/TII karena dianggap

membahayakan.33 Bahkan, K.H Ruhiyat pernah dipaksa untuk dibawa oleh pasukan DI/TII dengan menggunakan mobil karena dianggap mempengaruhi masyarakat Cipasung untuk menolak keberadaan DI/TII. Akan tetapi, peristiwa ini gagal, gerombolan DI/TII tidak berhasil membawa K.H Ruhiyat.34 Selama tiga tahun, K.H Ruhiyat harus diungsikan setiap malam supaya terhindar dari gangguan DI/TII.35

Perlawanan terhadap DI/TII juga ditunjukkan oleh ulama dari Pondok Pesantren Sukamanah K.H Fuad Muhsin. Meskipun Pondok Pesantren

33 H. Atang Suryana, wawancara di Tasikmalaya, 1 Desember 2016.

34

K.H. Abdul Khobir, wawancara di Tasikmalaya, 2 Desember 2016.

35 Abdullah Alawi, “Abah Ruhiat, Pendidik, dan Pejuang dari Cipasung”,

http://www.nu.or.id, diakses pada Senin 12

(13)

13 sedang mengalami masa patrah (kekosongan kekuasaan setelah K.H Zaenal Musthafa wafat), sebagai ketua Ansor (organisasi kepemudaan NU) Cimerah, K.H Fuad Muhsin memberikan pernyataan tegas menentang gerombolan DI/TII yang sudah melenceng dari ajaran Islam.36 Bahkan, para ulama NU memerintahkan para pemuda Nahdiyin untuk bergabung dengan Banser (Barisan Ansor Serbaguna). Sebagai ketua Ansor, K.H Fuad Muhsin memerintahkan hal yang sama kepada para pemuda Nahdiyin Cimerah. Pelatihan Banser ini mencakup latihan kader dasar dan latihan kader tinggi. Dalam latihan kader ini, diajarkan pula Pelatihan

36K.H Masykur, loc.cit.

Baris-Berbaris (PBB), latihan kemiliteran dasar, dan Bela Negara.37

Anjuran Pemuda Nahdiyin untuk terlibat dalam Banser, supaya bisa menjaga keamanan masyarakat di desanya masing-masing ketika pasukan DI/TII masuk ke desa-desa. Kader Banser bukan merupakan kader sembarangan mereka merupakan para pemuda Nahdiyin yang mendapat latihan militer dan berani mati. Salah satu kader Banser yang terlibat secara aktif dalam perlawanan melawan DI/TII adalah Bapak Haji Atang dari Cimerah. Keinginannya bergabung dengan Banser tidak bisa dilepaskan dari peran ajengan setempat (Ajengan Wahab Muhsin, Pimpinan Pesantren Sukahideng) yang menjelaskan betapa

(14)

14 pentingnya membela keutuhan NKRI dan menjaga keselamatan masyarakat. Ketika pemerintah memerintahkan masyarakat untuk terlibat dalam Operasi Pagar Betis di Gunung Galunggung (1962).

E. Kesimpulan

DI/TII diproklamasikan secara resmi pada 7 Agustus 1949 (12 Syawal 1368 H). Proklamasi ini dibacakan oleh Kartosuwiryo di Desa Cisampah, Kecamatan Cilugalar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya atas nama umat Islam Bangsa Indonesia. Proklamasi ini dilakukan ketika situasi politik dan militer di Indonesia dianggap berada di bawah pemerintahan yang carut-marut, sehingga, proklamasi DI/TII dianggap merupakan cara yang tepat untuk mengatasi keadaan ini. Proklamasi ini

didukung oleh para pengikut Kartosuwiryo yang merupakan tokoh-tokoh penting dikalangan masyarakat Tasikmalaya seperti Ghazali Tuzy, Sanusi Partawidjaya, R. Oni, dan Toha Arsjad.

Keberadaan DI/TII ini awalnya disambut hangat oleh masyarakat dan pengikutnya di Jawa Barat. Kepergian pasukan TNI dari Jawa Barat, membuat masyarakat kecewa kepada pemerintah. Menggantungkan harapan kepada DI/TII merupakan cara satu-satunya untuk mempertahankan wilayah Jawa Barat dari tangan Belanda. Pasukan DI/TII berhasil merebut kembali wilayah Jawa Barat dari Belanda. Banyak masyarakat Tasikmalaya yang memilih untuk bergabung menjadi anggota DI/TII. Dukungan juga diberikan masyarakat

(15)

15 Tasikmalaya dengan cara memberikan makanan dan kebutuhan lainnya yang dibutuhkan anggota DI/TII selama bergerilya. Tidak jarang masyarakat juga membantu anggota DI/TII bersembungi dari kejaran Pasukan TNI. Hubungan baik juga terjaga.

Keberadaan DI/TII ini awalnya disambut hangat oleh masyarakat dan pengikutnya di Jawa Barat. Kepergian pasukan TNI dari Jawa Barat, membuat masyarakat kecewa kepada pemerintah. Menggantungkan harapan kepada DI/TII merupakan cara satu-satunya untuk mempertahankan wilayah Jawa Barat dari tangan Belanda. Pasukan DI/TII berhasil merebut kembali wilayah Jawa Barat dari Belanda. Banyak masyarakat Tasikmalaya yang memilih untuk bergabung menjadi anggota DI/TII.

Dukungan juga diberikan masyarakat Tasikmalaya dengan cara memberikan makanan dan kebutuhan lainnya yang dibutuhkan anggota DI/TII selama bergerilya. Tidak jarang masyarakat juga membantu anggota DI/TII bersembungi dari kejaran Pasukan TNI. Hubungan baik juga terjaga antara masyarakat yang bukan anggota dengan DI/TII.

Hubungan yang harmonis diantara masyarakat dan DI/TII harus kandas, ketika banyak anggota DI/TII yang melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Masyarakat juga mulai diresahkan dengan aktivitas DI/TII yang melakukan teror dengan cara penculikan dan pembunuhan. DI/TII juga merugikan kehidupan ekonomi masyarakat. Hasil dari pertanian dan

(16)

16 perkebunan secara paksa harus dibagi dua dengan DI/TII dengan porsi yang tidak seimbang. DI/TII juga melakukan penggarongan ke kampung-kampung dan mencuri uang dari masyarakat. Terkadang DI/TII menghentikan mobil-mobil yang melewati daerah-daerah kekuasaannya dan mengambil barang-barang yang ada di dalamnya secara paksa. DI/TII bahkan melakukan beberapa kali penyerangan terhadap markas kepolisian dan TNI di Tasikmalaya untuk merampas senjata.

Perlawanan terhadap gerakan DI/TII oleh para ulama Tasikmalaya dilakukan pada tahun 1956 dengan mengadakan petemuan antara ulama, umara, dan militer. Pertemuan ini menjadi landasan bagi Komanda Daerah Swatantra I Jawa Barat untuk mengeluarkan pedoman Majelis Ulama

pada 12 Juli 1958. Untuk memperkuat pedoman Majelis Ulama, maka dilaksanakan Kongres Alim Ulama Umara dari tanggal 7-9 Oktober 1958 di Lembang, Bandung. Diantara hasil kongres ini adalah membentuk Seksi Rohani dan Pendidikan (Lembaga Kesejahteraan Umat) sebagai badan kerja sama Ulama, Militer, dan Umara, dan menyempurnakan pemulihan keamanan Jawa Barat dan pemeliharaannya. Setelah Kongres Alim Ulama di Lembang, melalui ketetapan MPRS No.11/MPRS/1960 lahirlah konsep Perang Wilayah yang berada di bawah tanggungjawab Ibrahim Adji (Pangdam Siliwangi). Konsep Perang Wilayah merupakan cikal bakal adanya Operasi Pagar Betis yang melibatkan seluruh eleman masyarakat.

(17)

18 Daftar Pustaka

Arsip

ANRI, Hasil Pelaksanaan Tugas Meninjau Soal-Soal Umum dan Keadaan Keamanan Daerah Djawa Barat dan Tengah, Tanggal 22-31 Desember 1954, No. 380. Disjarahad, DI/TII 1950 Kejadian DI tertanggal 1-7 Januari, 1952 Dokumen Sejarah

DI/TII Jawa Barat, SP. 006/D/03/01, no. 22.

Disjarahad, Laporan D.I, Dokumen Sejarah DI/TII, SP.0039/D/03/01, no.31. Buku

Aan Ratmanto, Pasukan Siliwangi: Loyalitas, Patriotisme, dan Heroisme, Yogyakarta: Mata Padi Pressindo, 2012.

Adrian Vickers, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Insan Madani, 2001.

Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M Kartosoewirjo, Jakarta: Darul Falah, 1999.

Disjarahad, Penumpasan Pemberontakan DI/TII S.M Kartosuwiryo di Jawa Barat, Bandung: Disjarahad, 1985.

Helius Sjamsuddin, dkk, Menuju Negara Kesatuan: Negara Pasundan, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992.

Holk H. Dengel, “Kartosuwiryo Kampf um Einen Islamischen Darul Islam Staat Indonesien”, a.b, Sinar Harapan, Darul Islam-NII dan Kartosuwiryo: Angan-Angan yang Gagal, Jakarta: PT. Pustaka Sinar Harapan, 2011.

Igan S Sutawidjaja, “Perkembangan Wisata di Kawasan Gunung Galunggung Pasca Letusan 1982-1983” dalam Menyelamatkan Alam Sunda dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda, Bandung: Pusat Studi Sunda, 2007.

Irfan S. Awwas, Jejak Jihad SM. Kartosuwiryo: Mengungkap Fakta yang didustakan, Yogyakarta: Uswah, 2007.

_______, Kesaksian Pelaku Sejarah Darul Islam (DI/TII), Yogyakarta: Darul Uswah, 2015.

Itje Marlina, Perubahan Sosial di Tasikmalaya; Suatu Kajian Sosiologis Sejarah, Jatinangor: Alqa Prisma Interdelta, 2007.

(18)

19

Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press: 2011. Pengurus Yayasan Pusaka Wakaf Sukapura, Kumpulan Sejarah Tasikmalaya,

Tasikmalaya: Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah, 2012. Pinardi, Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo, Jakarta: Aryaguna, 1964.

Ruslan, dkk, Mengapa Mereka Memberontak? Dedengkot Negara Islam Indonesia, Yogyakarta: Bio Pustaka, 2008.

Van Dijk, “Rebellion Under The Banner of Islam (The Darul Islam in Indonesia)”, a.b, Grafiti Pers, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011.

Jurnal

Dudung Abdurahman, “Ulama dan Umara di Tasikmalaya (1901-1945)”, Jurnal Penelitian Agama, No. 20 Bulan September-Desember 1998.

Muhamad Hisyam, “Nahdatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara Diawal Kemerdekaan RI”, Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014.

Skripsi dan Tesis

Dian Dwi Ok Putera, “Hukuman Bagi Pelaku Tindak Pidana Bughat (Studi Komperatif Antara Imam Syafi‟i Dan Imam Abu Hanifah)”, Skripsi, Riau: UIN Sultan Syarif Kasmi, 2011.

Listio Ali, “Produksi dan Distribusi di Tengah Kekacauan: Kondisi Sosial Ekonomi Tasikmalaya pada Masa Gejolak DI/TII 1949-1962”, Skripsi, Yogyakarta: UGM, 2012.

Internet

Abdullah Alawi, “Abah Ruhiat, Pendidik, dan Pejuang dari Cipasung”,

http://www.nu.or.id, diakses pada Senin 12 Desember 2016, pukul 22.44. WIB.

Asia Report, Daur Ulang Militan Di Indonesia: Darul Islam Dan Bom Kedutaan Australia, dalam www.crisisgroup.org, diakses pada 27 Oktober 2015.

Nina Lubis, dkk, Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat, diakses dari

www.pustaka.unpad.ac.id, pada 1 April 2016, pukul 09.56 WIB.

Staff MUI Jawa Barat, “Sejarah Singkat MUI Jawa Barat”,

https://muijabar.wordpress.com, diakses pada 1 November 2016, pukul. 09.30

(19)

Referensi

Dokumen terkait

Kampanye Amnesty International Tindakan pelanggaran HAM terhadap pencari suaka membuat para aktivis Amnesty International di seluruh dunia mengadakan kampanye dengan nama “I Welcome”

b sebagai motivator; yakni upaya kepala sekolah untuk membangkitkan semangat para anggota dalam melaksanakan tugas-tugasnya dan juga meningkatkan semangat siswa untuk mengikuti program

Berdasarkan hal tersebut di atas, penting untuk memahami persepsi, peran dan strategi yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia beserta segala potensinya, terutama para ulamanya,