• Tidak ada hasil yang ditemukan

Buku Sosiologi Pedesaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Buku Sosiologi Pedesaan"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

Pengertian Sosiologi Pedesaan Menurut Para Ahli

Sebelum lebih jauh memahami pengertian sosiologi pedesaan menurut para ahli, mengetahui pengertian desa sangatlah penting karena merupakan obyek dari sosiologi pedesaan itu sendiri. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan daerah, desa didefinisikan sebagai suatu wilayah yang ditempati sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum, yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah, langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Cermati juga pengertian sosiologi menurut para ahli. Perkembangan sosiologi pedesaan sebagai salah satu cabang dari sosiologi, tidak lepas dari peranan para akademisi di Amerika Serikat saat itu yang kurang lebih setengah abad telah mengembangkannya dan menjadi bidang akademik yang terpandang dan professional, seperti pada tulisan Smith dan Zopf (1970), Galeski (1972).Sosiologi pedesaan tumbuh dan berkembang untuk pertama kalinya di Amerika Serikat, bermula dari para pendeta Kristen yang hidup di daerah pedesaan, yang kemudian aktif menuliskan bagaimana kondisi sosial ekonomi masyarakat pedesaan yang hidup di bagian utara Amerika. Mari kita simak dan telaah pengertian sosiologi pedesaan menurut para ahli :

 Menurut T. Lynn Smith dan Paul E. Zapt menguraikan bahwa sosiologi pedesaan adalah kumpulan pengetahuan yang telah disistematisasi yang dihasilkan lewat penerapan metode ilmiah ke dalam studi tentang masyarakat pedesaan, struktur organisasinya, proses-prosesnya, sistem sosialnya yang pokok dan perubahan-perubahannya (Rahardjo, 1999).

 Menurut Jhon M. Gillette (1922:6) Sosiologi pedesaaan adalah cabang sosiologi yang secara sistematis mempelajari komunitas-komunitas pedesaan untuk mengungkapkan kondisi-kondisi serta kecenderungan-kecenderungannya dan merumuskan prinsip-prinsip kemajuan.

 Sosiologi pedesaan merupakan studi yang melukiskan hubungan manusia di dalam dan antar kelompok yang ada di lingkungan pedesaan (Priyotamtomo, 2001)

 Sosiologi pedesaan didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari fenomena masyarakat dalam setting pedesaan (Rogers)

 Sosiologi pedesaan adalah studi tentang hubungan manusia dalam lingkungan pedesaan (Bertand)

 Sosiologi pedesaan adalah studi tentang penduduk pedesaan, organisasi sosial pedesaan dan proses-proses sosial komparatif, dalam masyarakat pedesaan (F. Stuard Chapin)  Sosiologi pedesaan adalah ilmu masyarakat pedesaan. Dikemukakan pula bahwa

sosiologi pedesaan merupakan ilmu tentang hukum perkembangan masyarakat pedesaan (AR Desai)

 Sosiologi pedesaan adalah ilmu kemasyarakatan yang mempelajari kehidupan di lingkungan pedesaan (D. Samderson).

(2)

 NL. Sims (dalam Rahardjo, 1999), mengemukakan bahwa sosiologi pedesaan adalah studi tentang asosiasi persekutuan antara orang-orang yang hidupnya lebih kurang tergantung pada pertanian

Hakekatnya ada dua versi sosiologi pedesaan, yang lama (klasik) dan yang baru (modern). Semua definisi atau pengertian sosiologi pedesaan menurut para ahli di atas adalah definisi sosiologi pedesaan yang lama atau klasik yakni menggambarkan keadaan Barat secara umum memperlihatkan perbedaan yang jelas dan bahkan dikotomis antar kawasan pedesaan dan perkotaan.

Di era globalisasi ini, perbedaan antara kota dan desa makin kabur terutama disebabkan makin majunya teknologi transportasi dan komunikasi sehingga sosiologi pedesaan memiliki pemahaman berbeda dengan yang lama. Karl Kautsky dalam karyanya “The Agrarian Question” mengutarakan bahwa kita harus mencari perubahan-perubahan yang dialami pertanian di bawah dominasi produksi kapitalis. Sosiologi pedesaan yang baru seyogyanya merupakan studi berkaitan dengan bagaimana masyarakat desa (bukan hanya desa pertanian) dapat menyesuaikan diri terhadap masuknya kapitalisme modern di tengah kehidupan mereka (Rahardjo, 1999).

Sosiologi Pedesaan

Sosiologi Pedesaan merupakan suatu cabang sosiologi yang mempelajari gejala sosial di pedesaan, berawal dari kata desa maka pengertian desa harus terlebih dahulu di pahami karena objek bagian dari ilmu sosiologi pedesaan adalah desa. Menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1979 Tentang pemerintah daerah Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum, yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah, langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia. Pengertian desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri (Sutardjo Kartohadikusumo).

C.S. Kansil, Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerntahan terendah langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sedangkan sosiologi pedesaan, banyak sekali ahli mengemukakan definisi sosiologi pedesaan dengan segala kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Merupakan suatu cabang sosiologi yang mempelajari gejala sosial di pedesaan sedangkan menurut beberapa ahli, Menurut T. Lynn Smith dan Paul E. Zapt sosiologi pedesaan adalah kumpulan pengetahuan yang telah disistematisasi yang dihasilkan lewat penerapan metode ilmiah ke dalam studi tentang masyarakat pedesaan, struktur organisasinya, proses-prosesnya, sistem sosialnya yang pokok dan perubahan-perubahannya (Rahardjo, 1999).

(3)

Priyotamtomo (2001) sosiologi pedesaan merupakan suatu studi yang melukiskan hubungan manusia di dalam dan antar kelompok yang ada di lingkungan pedesaan. Pengertian “pedesaan” mencakup wilayah yang disebut “rural” dibedakan dengan “urban”. Secara lengkap pedesaan diartikan sebagai kawasan tempat tinggal dan kerja yang secara jelas dapat dipisahkan dari kawasan yang lain yang disebut “kota".

Smith dan Zopt (1970) melahirkan Sosiologi Pedesaan dan melahirkan definisi ilmu yang mengkaji hubungan anggota masyarakat di dalam dan antara kelompok kelompokdilingkungan pedesaan Rogers Ilmu yang mempelajari fenomena masyarakat dalam setting pedesaan.

Berbeda sosiolog telah mendefinisikan sosiologi pedesaan dalam berbagai cara. Beberapa definisi dapat dipelajari di sini.

1. Sanderson mengatakan bahwa "adalah sosiologi pedesaan sosiologi pedesaan hidup di lingkungan pedesaan".

2. Bertand mengatakan bahwa dalam arti luas, "sosiologi pedesaan adalah studi tentang hubungan manusia dalam lingkungan pedesaan".

3. F. Stuard Chapin mendefinisikan sosiologi pedesaan sebagai berikut: "sosiologi pedesaan yang hidup adalah studi tentang penduduk pedesaan, organisasi sosial pedesaan dan proses-proses sosial komparatif, dalam masyarakat pedesaan".

4. AR Desai mengatakan bahwa " sosiologi pedesaan adalah ilmu masyarakat pedesaan ... Ini adalah ilmu tentang hukum perkembangan masyarakat pedesaan".

Hal ini jelas dari definisi yang disebutkan di atas bahwa studi sosiologi pedesaan interaksi sosial, aktivitas dan lembaga-lembaga dan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat pedesaan. Ini studi pedesaan organisasi sosial, struktur dan mensetup. Memberikan kita bahwa pengetahuan tentang fenomena sosial pedesaan.

"Sosiologi adalah studi tentang kehidupan sosial manusia, kelompok dan masyarakat. Hal ini yang memukau dan menarik perusahaan, karena sebagai subyek perilaku kita sendiri sebagai makhluk sosial. Ruang lingkup sosiologi sangat luas, mulai dari analisis lewat pertemuan antara individu di jalan sampai penyelidikan di seluruh dunia proses sosial ". Anthony Giddens ( "Sosiologi", 1989).

Ada pendapat yang selalu menekankan bahwa desa dianggap sebagai desa pertanian, padahal pada kenyataan ada juga desa yang nonpertanian.

Definisi lain masih menggambarkan desa dengan ideal yang artinya desa secara eksplisit berbeda dengan kota. Dengan banyaknya faktor-faktor eksternal yang masuk dan mempengaruhi kehidupan desa maka dapat dikatakan bahwa komunitas desa mulai berkembang

(4)

ke arah komunitas kota, di mana adat-istiadat, tradisi atau pola kebudayaan tradisional desa mengalami proses perubahan.

Howard Newby mengatakan bahwa dalam mempelajari sosiologi pedesaan hendaknya diarahkan pada studi tentang adaptasi masyarakat desa terhadap pengaruh-pengaruh kapitalisme modern yang masuk ke desa.

CIRI-CIRI MASYARAKAT DESA

Seorang ahli sosiologi yang bernama Talcott Persons menggambarkan masyarakat desa sebagai masyarakat tradisional yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

a. Afektivitas, yaitu merupakan perasaan kasih sayang, cinta, kesetiaan, dan kemesraan, yang ditunjukkan dalam sikap kehidupan sehari-hari yang saling tolong menolong, perasaan simpati terhadap musibah yang diderita orang lain, menolong orang lain tanpa pamrih.

b. Orientasi kolektif, sifat ini mewujudkan konsekuensi dari sifat efektivitas, yaitu meningkatkan kebersamaan tidak suka memanjakan diri, tidak suka berbeda pendapat dengan sesama warga desa.

c. Partikularisme, yaitu semua hal yang ada hubungannya dengan apa yang khusus berlaku untuk tempat atau daerah tertentu saja, ada hubungannya dengan perasaan subyektif dan rasa kebersamaan.

d. Kekaburan, yaitu sesuatu yang tidak jelas terutama dalam hubungan antara pribadi tanpa ketegasan yang dinyatakan secara eksplisit (penggunaan bahasa yang tidak langsung). e. Askripsi, yaitu berhubungan dengan berdasarkan usaha yang disengaja (direncanakan),

tetapi lebih merupakan suatu keadaan yang sudah merupakan kebiasaan atau keharusan. Dari sifat ini masyarakat desa sukar berubah sesuatu diterima sebagaimana adanya dan berkembang secara tradisionalisme dan konservalisme.

Ciri-Ciri/Karakteristik Masyarakat Desa

1. Jumlah penduduk tidak terlalu padat dan bersifat homogeny 2. Kontrol sosial masih tinggi

3. Sifat gotong royong masih kuat 4. Sifat kekeluargaannya masih ada

(5)

ASPEK-ASPEK KULTURAL MASYARAKAT DESA 1. KEBUDAYAAN

Obyek studi pokok sosiologi adalah masyarakat, dan masyarakat tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan.

Defenisi kebudayaan menurut ahli :

1. Horton dan Hunt mendefinisikan masyarakat adalah suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu sama lain, sedangkan kebudayaan adalah sistem norma dan nilai yang terorganisasi yang menjadi pegangan masyarakat itu.

2. Ralph Linton, kebudayaan diartikan sebagai way of life suatu masyarakat. Meliputi way of thinking (cara berpikir, mencipta), way of feling (cara mengekspresikan rasa), way of doing (cara berbuat, berkarya).

3. Selo Soemardjan dan Soelaeman Sumardi, kebudayaan sebagai semua hasil karya, cipta dan karya masyarakat.

Jadi kebudayaan adalah suatu yang berwujud berupa alat dan berbagai teknologi untuk keperluan hidup manusia, tata nilai dan berbagai aturan tertib sosial untuk menjaga keberlangsungan sistem yang ada baik ekonomi, sistem sosial dan berbagai sisi kehidupan manusia lainnya.

Menurut Koentjaraningrat, unsur-unsur kebudayaan terdiri dari : 1. Sistem kepercayaan

2. Sistem organiasi kemasyarakatan 3. Sistem pengetahuan

4. Bahasa 5. Kesenian

6. Sistem mata pencaharian hidup 7. Sistem teknologi

Mayor Polak = aspek kultural masyarakat adalah analog dengan aspek rohani sedangkan aspek strukturalnya adalah analog dengan aspek jasmani suatu makhluk

Aspek kultural masyarakat desa terorientasi pada jangkauan mengenai gambaran-gambaran asli masyarakat desa, yaitu masyarakat pertanian.

Masyarakat petani secara umum sering dipahami sebagai suatu kategori sosial yang seragam dan bersifat umum, artinya sering tidak disadari adanya diferensiasi atau perbedaan-perbedaan dalam berbagai aspek yang terkandung dalam komunitas petani. Contoh, diferensiasi dalam komunitas petani itu akan terlhat berdasar perbedaan dalam tingkat perkembangan

(6)

masyarakatnya, jenis tanaman yang mereka tanam, teknologi atau alat-alat yang mereka gunakan, sistem pertanian yang mereka pakai, topografi atau kondisi fisik-geografik lainnya. Gambaran umum betuk deferensiasi msyarakat petani terbagi menjadi dua :

a. Petani bersahaja yang disebut juga petani tradisional golongan peasant

Kaum petani yang masih tergantung dan dikuasai alam karena rendahnya tingkat pengetahuan dan teknologi mereka, produksi mereka ditujukan pada suatu usaha untuk menghidupi keluarga.

b. Petani modern atau agricultural enterpreneur

Kaum petani yang menggunakan teknologi dan sistem pengelolaan modern dan menanam tanaman yang laku dipasaran. Sistem pengelolaanpertanian mereka dalam bentuk agribisnis, agroindustri dan berusaha mengejar keuntungan.

2. KEBUDAYAAN TRADISIONAL MASYARAKAT DESA

Konsep tradisional masyarakat desa mengacu pada gambaran tentang cara hidup (way of Life) masyarakat desa yang hidupnya masih tergantung pada alam. Paul H.Landis mengemukakan bahwa besar kecilnya pengaruh alam terhadap pola kebudayaan masyarakat desa ditentukan oleh tiga faktor :

1. Sejauh mana ketergantungan mereka terhadap pertanian 2. Tingkat teknologi mereka

3. Sistem produksi yang diharapkan

Dari faktor di atas, maka terciptanya kebudayaan tradisional apabila masyarakat amat tergantung kepada pertanian , tingkat teknologinya rendah dan produksinya hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Ciri-ciri Kebudayaan Tradisional :

1. Pengembangan adaptasi yang kaut terhadap lingkunagn alam.

Masyarakat desa (petani) mengembangkan tingkat dan bentuk adaptasi terhadap pelbagai kekhususan lingkungan alam, sehingga dalam kaitan ini dapat dipahami bahwa pola kebudayaan masyarakat desa terikat dan mengikuti karakteristik khas lingkungan (alam).

2. Rendahnya tingkat inovasi masyarakat karena adaptasi pasif terhadap alam.

Tingkat kepastian terhadap elemen alam (jenis tanah, tingkat kelembaban, ketinggian tanah, pola geografis, dll) cukup tinggi sehingga merek tidak terlalu memerlukan hal-hal yang baru karena terasa telah diatur dan ditentukan oleh alam.

3. Faktor alam juga mempengaruhi kepribadian masyarakatnya.

Sebagai akibat dari kedekatannya dengan alam, orang desa umumnya mengembangkan filsafat hidup yang organis. Artinya mereka cenderung memandang segala sesuatu sebagai suatu kesatuan dan tebalnya rasa kekeluargaan.

(7)

Hal ini disebabkan oleh kebiasaan yang dipengaruhi oleh irama alam yang tetap dan lamban. Tanaman yang tumbuh secara alami, semenjak tumbuh hingga berbuah selalu melewati proses-proses serta tahapan tertentu yang tetap.

5. Tebalnya kepercayaah terhadap takhayyul.

Konsepsi takhayyul merupakan proyeksi dari ketakutan atau ketundukan mereka terhadap alam disebabkan karena tidak dapat memahami dan menguasai alam secara alam.

6. Sikap yang pasif dan adaptif masyarakat desa terhadap alam juga nampak dalam aspek kebudayaan material mereka yang bersahaja. Kebersahajaan itu nampak misalnya pada arsitetktur rumah dan alat-alat pertanian.

7. Rendahnya kesadaran akan waktu.

Faktor ini didasari oleh keterikatan mereka terhadap alam yang memliki irama sendiri yang tidak terikat oleh waktu. Tanamam memiliki proses alami dengan peket waktu tersendiri terlepas dari pengaturan dan campur tangan manusia. Orang tinggal menanti proses yang alami itu. Akibatnya mereka tidak memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya waktu.

8. Kecenderungan masyarakat yang serba praktis.

Dalam segala hal mereka tidak terbebani ahl-hal yang kompleks, mereka tidak perlu berbicara panjang lebar dan berbasa basi satu sama lain. Hal ini mendorong tumbuh dan berkembangnya sifat-sifat jujur, terus terang, dan suka bersahabat.

9. Terciptanya standar moral yang kaku dikalangan masyarakat desa.

Moralitas dalam pandangan masyarakat desa adalah sesuatu yang absolut, tidak ada kompromi antara baik dan buruk serta cenderung pada pemahaman clear-cut definition (pemahaman hitam putih).

3. Aspek-Aspek Kultural Lainnya

Untuk sebagian, pola kebudayaan dari suatu kelompok masyarakat tidak terlepas ( dan bahkan merupakan refleksi) dari cara hidup atau sistem mata pencaharian masyarakat itu. untuk sebagian lain, agama atau kepercayaan sering merupakan elemen pokok yang menjadi cultural focus pola kebudayaan suatu masyarakat, lebih-lebih untuk masyarakat yang relatif masih bersahaja. Bersumber atau terkait pada agama/kepercayaan ini terciptalah adat-istiadat atau berbagai bentuk tradisi (termasuk sistem kekerabatan) yang mengatur seluruh kehidupan masyarakatnya.

Bagi masyarakat desa yang secara umum pengelompokannya relatif kecil, adat-istiadat atau tradisi adalah identik dengan kebudayaan. Sebab, dalam adat-istiadat atau tradisi tersebut telah terkandung sistem nilai, norma, sistem kepercayaan, sistem ekonomi dan lainnya, yang cukup lengkap menjadi pedoman perilaku kehidupan mereka. Untuk sbagian lainnya lagi, pola kehidupan masyarakat Indonesia umunya, dan desa khususnya, harus dirunut asal-muasal nenek

(8)

moyang kita yang ternyata berasal dari tempat dan suku bangsa yang berbeda-beda. Denagn sendirinya pula dengan pola kebudayaan yang beragam.

Mengacu pada keadaan masa lampau, dengan berorientasi pada pola dasar mata pencaharian masyarakat, W.F Wertheim (dalam Rahardjo, 1999), membedakan adanya tiga daerah peradaban di Indonesia. Pertama, sebagian besar Jawa Tengah dan Jawa Timur yang telah sekian lamanya memiliki teknik dan system pertanian sawah. Kedua sepanjang pantai Jawa, Sumatera dan Malaya, Kalimantan (di muara-muara sungai) yang merupakan daerah-daerah tempat berkembangnya kota-kota pelabuhan. Kota-kota pelabuhan ini mengadakan hubungan dengan India, Cina, dan bahkan Jepang. Kegiatan perdagangan laut inilah yang merupaka unsur penentu corak peradaban daerah-daerah ini. Ketiga, daerah-daerah pedalaman dari kota-kota pelabuhan. Daerah-daerah ini pendudukya jarang.Desa-desa pertanian sawah yang berada di Jawa Tengah dan Timur, yang umumnya disebut daerah pedalaman (hinterland), dapat diperkirakan lebih bersifat tertutup, statis dan kurang berorientasi kepada keuntungan dibanding dengan masyarakat desa-desa di daerah peradaban ke dua.

Desa-desa di sekitar daerah peradaban kedua karena terbiasa pada situasi yang tercipta oleh hubungan (dagang) dengan luar, dapat diperkirakan cenderung mengembangkan sikap yang tebuka dan berorientasi pada keuntungan. Orientasi pada keuntungan ini juga dapat diperkirakan terdpat dalam masyarakat desa-desa sekitar daerah peradaban ketiga, sekalipun daerah ini dilekati oleh adat-istiadat lokal yang cukup kuat. Pada desa-desa sekitar dua peradaban terakhir ini “derajat ketundukannya” terhadap kekuatan supra desa kurang besar disbanding dengan masyarakat desa-desa sekitar daerah peradaban pertama. Maka pada era diterapkannya program-program pembangunan desa yang pendekatannya bersifat top-down, desa-desa di daerah tersebut kurang dapat mengadopsi program-program itu dengan baik

A. STRUKTUR

Struktur sosial ialah konsep perumusan asas-asas hubungan antar individu dalam kehidupan masyarakat yang merupakan pedoman bagi tingkah laku individu.pengertian ini tidak jauh berbeda dengan dalam sosiologi dalam dictionary of sociologi an related sciences (h.p, 1975), stuktur sosial diartikan sebagai pala yang mapan dari organisasi internal setiap kelompok sosial. Dalam rumusan ini telah mencakup pengertian mengenai karakter atau pola dari semua hubungan yang ada antara nanggota dalam suatu kelompok maupun antara kelompok.

Stuktur sosial sangat erat kaitannya dengan kebudayaan. J. B. A. F. Mayor polak lewat pendapat bahwa antara kebudayaan dan struktur terdapat kolerasi fungsional. Artinya, antara kebudaan dan struktur dalam suatu masyarakat terjadi keadaan saling mendukung dan membenarkan.

(9)

Stuktur sosial di bagi menjadi dua yakni stuktur sosial vertikal dan horisontal. Struktur sosial vertikal atau stratifikasi sosial, atau pelapisan sosial menggambarkan kelompok-kelompok sosial dalam dalam susunan yang bersifat hirarkis, berjenjang. Sehingga dalam dimensi struktur terdapat kelompok masyarakat yang berkedudukan tinggi (lapisan ata), sedang (lapisan menengah), dan rendah(lapisan bawah). Struktur sosial horisontal atau diferensiasi sosial, menggambarkan kelompok –kelompok sosial tidak di lihat dari tinggi rendahnya kedudukan kelompok satu sama lain, melainkan lebih tertuju kepada variasi atau kekayaan pengolompokan yang ada dalam suatu masyarakat. Semakin maju atau berkembangnta masyarakat semakin bervariasi dan komples pengelompokannya, bukan saja secara kuantitatif tetapi juga kualitatif.

B. STRUKTUR PHISIK DESA

Struktur phisik suatu desa berkaitan erat dengan lingkungan phisik desa itu dalam pelbagai aspeknya. Seecara agak lebih khusus ia berkaitan dengan lingkungan geografisdengan segala ciri-cirnya seperti : iklim, curah hujan, keadaan atau jenis tanah, ketinggian tanah, tingkat kelembaban udara, topografi, dan lainnya. Variasi dalam perbedaan ciri-ciri fisik akan menciptakan pula perbedaan dalam jenis tanaman yang di tanam, sistem pertanian yang di terapkan, dan lebih lanjut pola kehidupan dari masing-masing kelompok masyarakatnya. Lingkungan geografis yang memberi kemungkinan untuk budi daya tanaman padi akan menciptakan masyarakat petani sawah yang berbeda dengan lingkungan geografis yang cocok untuk budi daya tanaman gandum dengan petani gandungmnya. Tanah-tanah yang kurang subur akan cenderung menciptakan desa-desa kecil yang terpencar, berjauhan satu sama lain, dengan penduduk yang jarang titik. Sebaliknya, tanah-tanah yang subur akan cenderung menciptakan desa-desa yang besar, berdekatan satu sama lain, dan berpenduduk padat.

Pola pemukiman tersebut merupakan salah satu aspek yang dapat mengambarkan dengan jelas keterkaitan antara struktur fisik desa dengan pola kehidupan internal masyarakatnya. Pola pemukiman menurut smith dan zopf adalah berkaitan dengan hubungan-hubungan keruangan antara pemukiman yang satu dengan yang lain dan dengan lahan pertanian mereka. Dalam bentuknya terdapat 2 pola pemukiman yakni :

1. Yang pemukiman penduduknya berdekatan satu sama lain dengan lahan pertanian berada di luar dan terpisah dari lokasi pemukiman.

2. Yang pemukiman penduduknya terpencar dan terpisah satu sama lain, dan masing-masing berada di dalam atau di tengah lahan pemukiman mereka.

Pola pemukiman menurut paul H. Landis iya memperkirakan empat pola pemukiman yang terdapat di dunia, yakni :

1. The farm village type atau yang menurut smith dan Zopf (FVT) ialah pola pemukiman dalam mana penduduk (petani) tinggal bersama-sama dan berdekatan di suatu tempat dengan lahan pertanian berada di luar lokasi pemukiman.

(10)

2. The nebulous farm type (NFT) hampir sama dengan pola FVT DI atas. Bedanya, di samping yang tinggal bersama-sama di suatu tempat , terdapat penduduk yang tinggal tersebar di luar pemukiman, kecuali bagi penduduk yang tinggal di luar pemukiman itu. 3. The arranged isolated farm type (AIFT) adalah pola pemukiman dalam mana penduduk

tinggal di sekitar jalan dan masing-masing berada di lahan pertanian mereka, dengan suatu trde center di antara mereka.

4. The pure isolated farm type (PIFT) adalah pola pemkiman yang penduduknya tinggal dalam lahan pertanian mereka masing-masing, terpisah dan berjahuan satu sama lain dengan suatu trade center.

C. STRATIFIKASI SOSIAL

Stratifikasi sosial, pelapisan sosial, atau struktur sosial vertikal adalah penggambaran kelompok-kolompok sosial dalam susunan yang hirarkis, berjenjang. Dalam masyarakat terjadi pelapisan-pelapisan karna kehidupan manusia di dekati oleh nilai. Keberadaan nilai selalu mengandung kelangkaan, tidak mudah di dapat, dan oleh karnanya memberi harga pada penyandangnya. Secara umum hal-hal yang mengandung nilai berkaitan dengan harta/kekayaan, jenis mata pencaharian, pengetahuan atau pendidikan, keturunan, keagamaan, dan dalam masyarakat yang masih bersahaja juga unsur-unsur biologis (usia, jenis kelamin). Bagi masyarakat desa yang di pandang bernilai adalah lahan pertanian. Maka seberapa besar pemilikan atau penguasaan seseorang terhadap lahan pertanian akan menentukan seberapa tinggi kedudukannya di tengah masyarakat mereka keberadaan pelapisan sosial ini juga tidak terlepas dari tingkat diferensiasi masyarakatnya. Apabila tingkat diferensiasinya rendah maka pelapisan sosialnya juga kurang terlihat. Kalau adapun jarak sosialnya tidak terlalu tajam.

1. Struktur biososial

Di antara sejumlah faktor yang menciptakan stratifikasi sosial (struktur sosial vertikal) adalah faktor biologis. Faktor biologis tidak hanya berkaitan dengan struktur vertikal melainkan juga dengan struktur sosial horisontal. Yang berkaitan dengan faktor-faktor biologisseperti jenis kelamin, usia, perkawinan, suku bangsa dan lainnya.

Keterkaitan antara faktor biologis dan struktur sosial vertikal (stratifikasi sosial) dapat di tunjukan lewat sifat mata pencaharian masyarakat bersangkutan. Dalam masyarakat yang masih bersahaja yakni dari ketika masyarkat masih dalam tingkat food gathering economics (hunting, fishing, meramu ) sampai pada ketika mereka telah mengalami era pertanian ( tradisional ), masyarakat manusia masih mengandal kepada kekuatan fisik dan pengalaman.

Dalam hal kekuatan fisik kaum laki-laki tergolong lebih kuat di banding dengan wanita. Keterampilan dan kekuatan fisik yang di butuhkan untuk perburuan secara dominan di miliki kaum laki-laki. Kaum wanita yang memiliki kemampuan tersebut

(11)

merupakan perkecualian seklipun juga ada yang berpendapat bahwa kelemahan kaum wanita di sebabkan oleh kebudayaan yang menciptakan kaum wanita sebagai kaum lemah (peminim). Maka menurut pendapat ini kaum wanita menjadi lemah krena penyesuaian dengan tuntutan budaya. Akibatnya, kaum laki-laki lebih banyak berperang dan dominan dalam kehidupan masyarakatnya. Dalam eknologi terdapat konsep potlach, yakni semacam prinsip bahwa siapa yang berada di pihak memberi akan berkedudukan lebih tinggi di banding dengan pihak yang menerima pemberian itu.dengan demikian di sebabkan oleh peranannya yang besar dan berada dalam kedudukan memberi, maka kaum laki-laki memiliki ke dudukan yang lebih tinggi dari pada kaum wanita.

Kedudukan sosial yang tinggi dari kaum pria tidak semata-mata di sebebkan oleh keunggulan fisiknya. Foktor lain yang ikut menonjol adalah keterkaitan dengan komposisi jenis kelamin penduduk desa yang dalam hal ini merupakan salah satu aspek struktur horisontal masyarakat desa.

Struktur sosial masyarakat desa di indonesia juga di pengaruhi faktor biologis. Kedudukan sosial yang tinggi dari kaum laki-laki sering kali di topan dan di perkuat dengan ketentuan-ketentuan adat istiadat ataupun sistem kekerabatan.

2. Desa satu kelas dan dua kelas

Berkaitan dengan sistem pemilikan atau penguasan tanah pertaniannya, maka ada desa-desa yang tidak atau kurang memperlihatkan adanya pelapisan sosial. Dalam hal ini smith dan zopf mengegemukakan adanya dua tipe desa, yakni apa yang dia sebut one-class system (tipe satu kelas) dan two-class system (tipe dua kelas) secara garis besarnya desa tipe satu kelas dapat digambarkan sebagai tipe desa yang pemilikan lahan pertanian warganya rata-rata sama. Sedangkan desa tipe dua kelas secera garis besarnya digambarkan sebagai desa yang di dalamnya terdapat sejumlah kecil warga yang memiliki lahan yang amat luas, dan selebihnya dalam jumlah besar merupakan warga yang tidak memiliki lahan pertanian. Dengan lain perkataan, dalam desa tipe dua kelas ini terdapet pemilik tanah yang amat luas atau tuang tanah.

3. Dimensi-dimensi pelapisan sosial

Stratifikasi sosal merupakan bagian dari proses perubahan dan perkembangan sosial. Namun terdapat perbedaan mendasar antara stratifikasi yang terdapat dalam desa tipe satu-kelas dan desa tipedua kelas. Apabila di lihat dari kesenjangan yang ada serta kecenderungan yang antagonostik antara dua kelompok ini, maka plorisasi sosial lebih mengena untuk menandai situasi yang demikian itu. Smith dan Zopfdalam kaitan ini mengunakan istilah kasta (caste) untuk mengambarkan kekakuan hubungan antara dua kelompok tersebut. Di sebut kasta karena antara kedua kelas itu, di samping jarak sosialnya tajam dan jauh juga tidak terjdi mobilita sosial vertikal. Sedangkan konsep stratifikasi yang dilihat sebagai suatu piramida sosial lebih memperlihatkan perbedaan

(12)

gradual, tidak hanya terpilah dalam dua lapisan sosial, ada interseksi antara lapisan yang satu dengan yang lain, dan ada kemungkinan terjadinya mobilita sosial vertikal dalam strata itu.

Stratifikasi sosial sebagai suatu piramida sosial akan lebih terlihat dalam desa tipe satu-kelas, yakni apabila setidaknya memenuhi dua persyarakatan.

a) Apabila kesamaan dalam pemilikan tanah warganya tidak berifat mutlak ( sepenuhnya sama ). Keseragaman dan kesamaan penguasaan tanah yang jelas di antara petani, umumnya lebih terlihat di negara-negara sosialis.

b) Apabila tidak ada okupasi-okupasi lain di luar sektor pertanian yang dapat menjadi alternatif bebas warganya. Sebab apabila demikian, tanah pertanian tidak lagi menjadi faktor determinan bagi sistem pelapisan sosial masyarakatnya.

Luas sempitnya pemilikan tanah pertanian memang merupakan faktor yang sangat menentukan dalam sistem pelapisan sosial masyarakat desa pertanian. Dalam kaitan ini, Smith dan Zopf mengetengahkan adanya lima faktor yang determinan terhadap sistem pelapisan sosial masyarakat desa.

a) Luas pemilikan tanah dan sejauh mana pemilikan itu terkonsentrasi di tangan sejumlah kecil orang atau sebaliknya terbagi merata pada warga desa.

b) Pertautan antara sektor pertanian dan industri. c) Bentuk-bentuk pemilikan atau penguasaan tanah.

d) Frekuensi perpindahan petani dari lahan pertanian satu ke lainnya. e) Komposisi rasial penduduk.

Faktor pemilikan tanah merupakan faktor yang sangat determinan terhadap sistem pelapisan masyarakat desa pertanian. Menegaskan apa yang telah di jelaskan di atas, faktor pemilikan tanah ini mengandung dua kemungkinan yang berbeda pengaruhnya terhadap sistem stratifikasi sosial masyarakatnya.

Ø Apabila pemilikan tanah ( sangat luas ) berada di satu atau sejumlah kecil orang ( tuang tanah ), sedangkan lainnya berada dalam kedudukan sebagai petani penggarap ( buruh ) yang tidak memiliki tanah (desa tipe dua-kelas). Muncul fenomena kekastaan. Struktur sosial vertikal tertutup pintunya untuk proses mobilita vertikal. Sekali menjadi petani penggarap, tidak ada harapan baginya untuk menjadi tuan tanah. Antara kelompok tuan tanah dan petani penggarap hakekatnya merupakan dua kelompok masyarakat yang berbeda secara kategoris.

Ø Apabila pemilik tanah secara umum rata-rata sama ( desa tipe satu-kelas ). Perbedaan dalam pemilikan, kalaupun ada hanya bersifat gradual, tidak kontras seperti di atas. Perbedaan yang ada di sini justru menciptakan lapisan-lapisan sosial yang mengindikasikan dinamika masyarakat karena di dalamnya terjadi proses mobilita vertikal.

Bagaimana pertautan antara sektor pertanian dan industri dapat berpengaruh sekali terhadap stratifikasi sosial masyarakat desa ? apabila suatu desa tergantung sepenehunya terhadap sektor pertanian, maka faktor tanah memang sangat menentukan

(13)

sistem stratifikasi sosial masyarakatnya. Terlebih apabila situasi ini terdapat dalam tipe desa dua-kelas. Namun apabila di desa itu (atau di tempat lain dalam mana desa itu memiliki akses terhadapnya) terdapat industri atau lapangan kerj lain yang memberikan alternatif bagi mereka, maka keadaan ini akan berpengaruh terhadap pola stratifikasi sosial masyarakatnya. Stratifikasi sosialnya tidak lagi didasarkan atas luas-sempitnya pemilikan tanah, melaingkan juga oleh kedudukan sosial-ekonomis mereka selalu pekerja industri atau jenis pekerja lainnya. Dengan demikian garis-garis batas demarkasi antara lapisan-lapisan sosial yang semula kaku dan eksklusif menjadi semakin tidak jelas dan transparan.

Bagaimana bentuk-bentuk hak milik atas tanah (land tenure) berpengaruh terhadap stratifikasi sosial masyarakatnya? Hak milik atas tanah (land tenure) yang dimaksud di sini adalab berkaitan dengan hak-hak yang dimiliki seseorang atas tanah, yakni hak yang sah untuk mengunakannya, mengolahnya, menjualnya, dan memanfatkan bagian-bagian tertentu dari permukaan tanah itu (smith dan Zopf). Dengan batasan pengertian semacam ini maka land tenure tidak hanya mengenai hak-milik (eigendom) melaingkan juga termasuk hak-guna atas tanah. Hak –guna atas tanah adalah hak untuk memperoleh hasil dari tanah bukan miliknya dengan cara menyewa, menyakap, dan lainnya. Aturan atau pengaturan mengenai bentuk-bentuk pemilikan serta penguasaan tanah inilah status-status sosial petani dapat dinilai tinggi-rendahnya dalam sistem pelapisan sosial yang ada.

Bagaiman frekuensi perpindahan dari petak lahan pertanian satu ke lainnya dapat mempengaruhi pelapisan sosial masyarakatnya? Menurut Smith dan Zopf, frekuensi perpindahan lahan pertanian ini tidak jarang memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap stratifikasi sosial daripada yang tercipta oleh luas sempitnya pemilikan atas tanah. Seorang petani penggarap (bukan tanah miliknya) atau petani penyewa yang mapan dapat memiliki kedudukan yang (hampir) sama dengan pemilik tanah (luas). Namun petani penggarap atau penyewa yang sering berpindah-pindah memiliki kedudukan yang lebih rendah, yang di pandang hanya sebagai petani penggarap sambilan (sementara).

Bagaimana komposisi rasial penduduk dapat menpengaruhi stratifikasi sosial masyarakat desa? Stratifikasi sosial akan cenderung bersifat eksklusif terhadap yang lain. Stratifikasi sosial akan cenderung terjadi dalam masin-masing kelompok rasial. Kecuali apabila di antara ras-ras itu terdapat hubungan superioritas-inferioritas, seperti misalnya antara orang kulit putih dan kulit hitam (negro). Dalam situasi terakhir ini satu piramida sosial yang terbentuk dari kelompok-kelompok rasial yang berbeda, dapat terjadi.

(14)

Sutardjo Kartohadikoesoemo (1965) memberikan gambaran tentang penggolongan masyarakat desa di Jawa yang berlandaskan pemilikan tanah ini sebagai berikut.

Ø Warga baku, adalah warga desa yang memiliki tanah pertanian, rumah, dan tanah pengarangan (orang baku, sikep, gogol kenceng, kuli/wong kenceng).

Ø Warga desa yang mempunyai rumah dan tanah pekarangan (lindung, angguran kampung, kuli, sikep, buri/sikep nomor dua, wong setengah kenceng)

Ø Warga desa yang mempunyai rumah di atas pekarangan orang lain (wong dempel, menumpamg, numpang karang)

Ø Warga desa yang kawin dan mendok di rumah orang lain, orang tua, penganten baru, orang baru (rangkepan, kumpulan, nusup, kempitan).

Pelapisan sosial masyarakat desa (jawa) yang didasarkan atas pemilikan atau penguasaan tanah sebagaimana digambarkan sutardjo Kartohadikoesoemo itu juga dikemukakan oleh sejumlah pakar lainnya. M. Jaspan mengambarkan adanya empat pelapisan sosial yang terdapat di kalangan masyarakat desa di daerah yogyakarta.

Ø Kuli kenceng, yakni mereka yang memiliki tanah pekarangan dan sawah, Ø Kuli gundul, yakni mereka yang hanya memiliki sawah

Ø Kuli karangkopek, yakni mereka yang memiliki pekarangan saja, dan

Ø Indung tlosor, yakni mereka yang memiliki rumah saja di atas tanah orang lain. Sedangkan menurut Koentjaraningrat (1964) pelapisan sosial masyarakat desa digambarkan sebagai berikut :

Ø Keturunan cikal bakal desa dan pemilik tanah (kentol) Ø Pemilik tanah di luar golongan kentol (kuli)

Ø Yang tidak memiliki tanah.

Sebagaimana telah dijelaskan diatas, masih sangat luasnya tanah dalam perbandingan dengan masih sangat jarangnya penduduk, telah menyebabkan tanah kurang cukup bernilai untuk menjadi basis terciptanya pelapisan sosial. Di samping itu, kuatnya adat-istiadat dan tradisi mencegah atau paling tidak menahan lajunya proses pemilikan tanah secara perorangan. Di kalangan suku masyarakat ( khususnya desa Bontoramba) yang secara umum memilki susunan kelas sosial yang tajam, namun basis pengelompokannya bukan terutama pemilikan tanah melainkan kekerabatan.

Mengenai pengaruh pertautan antara sektor pertautan antara sektor pertanian dan industri terhadap stratifikasi sosial masyarakat desa dapat di simpulkan memiliki relevansi yang cukup tinggi di indonesia, terutama untuk daerah-daerah yang telah memiliki akses bagi bagi mobilita penduduknya, melainkan juga di tunjang oleh tekanan penduduk dan semakin sempitnya lahan pertanian. Semakin banyaknya jumlah buruh tani dari tahun ke tahun merupakan salah satu indikasi tentang bertambah beratnya tekanan penduduk di pedesaan jawa. Ikatan daerah yang kuat di satu pihak, dan kekurang pastian kelestarian kerja di sektor industri di lain pihak, menyebabkan banyak dari mereka yang melakukan migrasi musiman.

Sudah barang tentu gambaran-gambaran stratifikasi sosial yang banyak berkaitan dengan keadaan-keadaan masa lalu ini, kini telah mengalami sejumlah perubahan.

(15)

Modernisasi pertanian dengan mekanisasi dan pola produksinya, proses urbanisasi yang terjadi, semakin transparanya desa-desa baik oleh semakin merebaknya pengaruh-pengaruh luar lewat media massa ataupun oleh semakin tingginya mobilita horisontal penduduknya, adalah merupakan sekian faktor yang merubah pelbagai aspek kehidupan masyarakat desa termasuk sistem stratifikasi sosialnya. Mengenai hal-hal yang berkaitan dengan perubahan-perubahan ini, akan dibahas dalam Bab kemudian.

D. DIFERENSIASI SOSIAL

Diferensiasi sosial atau struktur sosial horisontal suatu masyarakat adalah berkaitan dengan banyaknya pengelompokan-pengelompokan sosial yang ada dalam masyarakat itu tanpa menempatkannya dalam jenjang hierar-khis. Maka dapat disimpulkan bahwa struktur sosial horisontal suatu masyarakat adalah gambaran dari heteroginitas sosial masyarakatnya. Bagaimana memahami pola dasar pengelompokan-pengelompokan sosial (social groupings) masyarakat desa ini ? langkah awal untuk memahaminya adalah dengan menegaskan terlebih dulu : apakah yang dimaksud dengan kelompok sosial itu. Menurut Smith dan Zopf pengertian kelompok sosial harus mencakup tiga elemen : (1) pluralitas subyek; (2) interaksi antara subyek-subyek itu; dan (3) solidarita atau kohesi sosial mereka.

Pluralitas subyek artinya, eksistensi pengelompokan mensyaratkan adanya pluralitas dalam elemen-elemen pembentukannya. Diman plualitas subyek menjadi salah satu faktor determinan terhadap tingkat diferensiasi masyarakat.

Interaksi di samping pluralitas adalah sangat penting untuk eksistensi kelompok sosial. Kelompok tanpa adanya interaksi antar anggota-anggotanya bukanlah merupakan kesatuan yang fungsional dan karenanya bukan kelompok sosial yang sebenarnya.

Solidarita atau kohesi sosial ialah solidarita yang menciptakan apa yang dalam sosiologi di sebut “we feeling group”, perasaan “kekitaan”, perasaan yang membawa seseorang menjadi bagian dari suatu kelompok.Emile Durkheim mengetengahkan dua tipe solidarita sosial, yakni

Ø Solidarita mekanik, sosial yang pertama dilandasi oleh solidarita yang terbentuk oleh kesamaan-kesamaan para anggota kelompok

Ø Solidarita organik, sosial yang kedua dilandasi oleh solidarita yang terbentuk justru oleh perbedaan namun saling tergantung di antara para anggota kelompok.

Khusus mengenai solidarita mekanik ini, Sorokin, Zimmerman, dan Galpin telah mengadakan invetarisasi 14 (variabel) kesamaan yang membentuk solidarita mekanik, yakni :

1. Kekerabatan dan hubungan darah 2. Perkawinan

3. Kesamaan dalam agama atau kepercayaan 4. Kesamaan dalam bahasa dan adat setempat 5. Pemilikan dan penggunaan tanah bersama 6. Proksimitas atau kedekatan dalam suatu daerah 7. Adanya rasa tanggung jawab bersama

(16)

9. Kebersamaandalam kepentingan ekonomi

10. Sama –sama menjadi bawahan dari seorang tuan (tanah) 11. Kesamaan dalam akses terhadap suatu lembaga atau keagenan 12. Pertahanan dan keamanan bersama

13. Saling tolong-menolong

14. Hidup dan pengalaman bersama-sama.

Pengertian Stratifikasi Sosial

Di dalam setiap masyarakat pasti memiliki sesuatu yang dianggap memiliki penghargaan lebih tinggi mengenai hal-hal tertentu. Penghargaan lebih mengenai sesuatu tersebut bisa dalam wujud material maupun yang on-material. Dalam konsep stratifikasi sosial, penghargaan nilai material bisa berwujud sebuah materi. Misalnya saja orang akan dihargai lebih ketika memiliki uang yang jumlahnya lebih banyak dari warga yang ada disekitarnya, memiliki rumah mewah, mobil mewah dan barang-barang lainnya yang berwujud materi yang mana itu dihargai lebih tinggi oleh masyarakat yang ada disekitarnya. Sedangkan dalam konsep stratifikasi sosial yang terbentuk bukan karena kepemilikan benda material dapat berupa prestise maupun kewibawaan yang dimiliki oleh seseorang yang berada didalam masyarakat. Misalnya saja, ada seseorang yang dihargai lebih tinggi oleh warga yang ada disekitarnya karena dia merupakan tokoh masyarakat, misalnya kyai, guru ngaji, ustad dan lain-lain. Dalam konteks ini, mereka mendapat penghargaan lebih tinggi oleh masyarakat bukan karena mereka memiliki kekayaan material yang lebih banyak dari warga yang lain. Akan tetapi mereka mendapat penghargaan tinggi karena ilmu yang dimiliki, sikap sopan santunnya dan kewibawaanya di dalam masyarakat. Setiap masyarakat memiliki stratifikasi yang berbeda dengan masyarakat yang ada di daerah lainnya. Dikatakan oleh sosiolog Pitirim A. Sorokin dalam buku Sosiologi Suatu Pegantar karangan Soerjono Soekanto, dia mengatakan bahwa sistem lapisan merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur. Barang siapa yang memiliki sesuatu yang berharga dalam jumlah yang sangat banyak dianggap masyarakat berkedudukan dalam lapisan atas. Mereka yang hanya sedikit sekali atau tidak memiliki sesuatu yang berharga dalam pandangan masyarakat memiliki kedudukan yang rendah.[1]

Dalam aspek ini, individu yang ada didalam masyarakat dapat dihargai lebih atau tidak tergantung atas kepemilikan sesuatu yang dianggap berharga dalam masyarakat. Kepemilikan

(17)

sesuatu yang berharga itu dapat berupa kepemilikan benda material. Namun sesuatu yang dianggap berharga oleh masyarakat tidak hanya berkutat pada seberapa banyak jumlah material yang dimiliki oleh masyarakat, akan tetapi jabatan, gengsi dan prestise juga merupakan basis yang dihargai dalam masyarakat. Dengan adanya kepemilikan sesuatu yang dianggap berharga dalam masyarakat dengan jumlah yang berbeda-beda. Maka terciptalah stratifikasi atau pelapisan sosial dalam masyarakat.

Menurut ter Har dalam buku Pengantar sosilogi pedesaan dan pertanian karangan rahardjo. Pelapisan Sosial masyarakat yang ada di desa dapat dibedakan atas golongan pribumi pemilik tanah, golongan yang hanya memiliki rumah dan pekarangan saja atau tanah pertanian saja, golongan yang hanya memiliki rumah saja diatas tanah orang lain. Sedangkan menurut Koentjaraningrat pelapisan sosial masyarakat desa dapat digambarkan melalui keturunan atau cikal bakal desa dan pemilik tanah (kentol), pemilik tanah diluar golongan kentol, dan yang tidak memiliki tanah.[2] Dalam aspek ini, terlihat bahwa stratifikasi sosial pada masyarakat desa terbentuk karena adanya kepemilikan tanah. Seseorang yang memiliki tanah dalam jumlah banyak akan memperoleh strata atas dalam masyarakat desa. Sedangkan seseorang yang tinggalnya numpang di atas tanah orang lain atau tidak memiliki tanah memiliki strata sosial bawah.

Dasar Lapisan dalam Masyarakat

Untuk menentukan ukuran atau kriteria dalam menggolongkan masyarakat kedalam suatu pelapisan masyarakat. Ada beberapa cara yang digunakan dalam menggolongkannya. Misalnya saja stratatifikasi sosial masyarakat berdasarkan pada ukuran kekayaan yang dimiliki. Dalam konteks ini, seseorang yang memiliki ukuran kekayaan yang lebih banyak dibandingkan dengan orang yang ada disekitarnya, dalam hal ini basis material sangat dominan untuk menentukan status sosial individu di dalam masyarakat. Ukuran kekayaan material menjadi komoditas yang berharga di dalam masyarakat. Seseorang yang memiliki basis material yang lebih banyak akan masuk kedalam strata sosial tingkat atas. Ukuran kekayaan yang berbasis komoditas material itu dapat berupa rumah, mobil, uang dan lain sebagainya.

Ada juga cara yang digunakan untuk menggolongkan seseorang berada dalam strata tertentu berdasarkan atas ukuran kekuasaan. Seseorang yang memiliki kekuasaan tertentu akan memperoleh strata sosial atas, karena dengan kekuasaan tersebut seseorang akan memperoleh wewenang. Cara lain untuk menggolongkan seseorang kedalam strata sosial tertentu yaitu dengan ukuran kehormatan. Orang yang paling disegani dan dihormati dalam masyarakat akan memperoleh strata sosial atas. Biasanya orang ini merupakan sesepuh desa atau orang-orang tua yang dahulunya pernah berjasa dalam masyarakat. Misanya saja tokoh agama atau

(18)

kyai dan ustad, guru ngaji atau sesepuh desa. Orang- orang tersebut mendapat strata sosial atas bukan karena komoditas material yang dimilikinya. Akan tetapi mereka mendapat posisi strata atas dalam masyarakat karena kebijaksanaannya. Ini berbeda dengan penggolongan strata sosial berdasarkan ukuran kekayaan seperti yang ada pada penggolongan strata sosial berdasarkan jumlah kepemilikan atas basis materialnya. Cara yang terakhir untuk menggolongkan seseorang kedalam strata tertentu dalam masyarakat adalah dengan ukuran ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat. Seseorang menjadi dihargai dalam masyarakat karena tingkatan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Misalnya saja seseorang akan lebih dihormati ketika seseorang itu telah berhasil menempuh pedidikan tinggi[3]

DAFTAR PUSTAKA

Soekanto, Soerjono. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. Rahardjo. 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.

[1] Lihat dalam buku Sosiologi Suatu Pegantar karangan Soerjono Soekanto hal. 197 [2] Lihat dalam buku Pengantar sosilogi pedesaan dan pertanian karangan rahardjo hal. 117 [3] Dalam buku Sosiologi Suatu Pegantar karangan Soerjono Soekanto hal.237-238

(19)

STRATIFIKASI SOSIAL DALAM MASYARAKAT PEDESAAN Desa dan Masyarakat Desa

Pengertian tentang desa cukup beragam, beberapa tokoh sosiologi pedesaan dan antropologi memberikan pandangan tentang desa. Menurut Koentjaraningrat (1984), bahwa desa dimaknai sebagai suatu komunitas kecil yang menetap tetap di suatu tempat. Pemaknaan tentang desa menurut pandangan ini menekankan pada cakupan, ukuran atau luasan dari sebuah komunitas, yaitu cakupan dan ukuran atau luasan yang kecil. Pengertian lain tentang desa dikemukakan oleh Hayami dan Kikuchi (1987) bahwa desa sebagai unit dasar kehidupan kelompok terkecil di Asia, dalam konteks ini “desa” dimaknai sebagai suatu “desa alamiah” atau dukuh tempat orang hidup dalam ikatan keluarga dalam suatu kelompok perumahan dengan saling ketergantungan yang besar di bidang sosial dan ekonomi. Pemaknaan terhadap desa dalam konteks ini ditekankan pada aspek ketergantungan sosial dan ekonomi di masyarakat yang direpresentasikan oleh konsep-konsep penting pada masyarakat desa, yaitu cakupan yang bersifat kecil[3]dan ketergantungan dalam bidang sosial dan ekonomi (ikatan-ikatan komunal).

Desa mempunyai ciri atau karakteristik yang berbeda satu sama lain, tergantung pada konteks ekologinya. Pengkajian masyarakat pedesaan memberikan ciri atau karakteristik yang cenderung sama tentang desa. Pada aspek politik, masyarakat desa cenderung berorientasi “ketokohan”, artinya peran-peran politik desa pada umumnya ditanggungjawabkan atau dipercayakan pada orang-orang yang ditokohkan dalam masyarakat. Secara ekonomi, mata pencaharian masyarakat desa berorientasi pada pertanian artinya sebagian besar masyarakat desa adalah petani. Sedangkan dalam konteks religi-kultural masyarakat desa memiliki ciri nilai komunal yang masih kuat dengan adanya guyub rukun, gotong royong dan nilai agama atau religi yang masih kuat dengan adanya ajengan atau Kyai sebagai pemuka agama.

Secara historis, desa memerankan fungsi yang penting dalam politik, ekonomi dan sosial-budaya di Indonesia. Di sisi lain, pedesaan merupakan daerah yang dominan jumlahnya di Indonesia, dimana sebagian besar masyarakat Indonesia hidup di daerah pedesaan. Hal ini memberikan implikasi pada banyaknya program pembangunan yang diorientasikan pada masyarakat pedesaan. Dengan demikian, maka kajian mengenai masyarakat desa menjadi suatu hal yang sangat penting dilakukan sebagai kerangka dasar pembangunan nasional. Dua hal penting yang akan menjadi fokus kajian tentang pedesaan dalam kegiatan turun lapang ini yaitu struktur sosial dan dinamika masyarakat pedesaan. Struktur sosial yang dimaksudkan adalah hubungan antar status/peranan yang relatif mantap. Sementara itu, dinamika masyarakat dimaknai sebagai proses gerak masyarakat dalam keseharian, dalam konteks ruang dan waktu.

Sastramihardja (1999) menyatakan bahwa desa merupakan suatu sistem sosial yang melakukan fungsi internal yaitu mengarah pada pengintegrasian komponen-komponennya sehingga keseluruhannya merupakan satu sistem yang bulat dan mantap. Disamping itu, fungsi eksternal dari sistem sosial antara lain proses-proses sosial dan tindakan-tindakan sistem tersebut akan menyesuaikan diri atau menanggulangi suatu situasi yang dihadapinya. Sistem sosial tersebut mempunyai elemen-elemen yaitu tujuan, kepercayaan, perasaan, norma, status peranan, kekuasan, derajat atau lapisan sosial, fasilitas dan wilayah.

(20)

Masyarakat selalu dikaitkan dengan gambaran sekelompok manusia yang berada atau bertempat tinggal pada suatu kurun waktu tertentu. Pengertian ini menggambarkan adanya anggapan bahwa manusia tidak dapat dilepaskan dari faktor lingkungannya, baik yang bersifat fisik maupun sosial. Berdasarkan pandangan dari segi sosiologi, hal ini memperlihatkan adanya interaksi sosial antara manusia secara kelompok maupun pribadi. Masyarakat mengutamakan hubungan pribadi antara warganya, dalam arti bahwa masyarakat desa cenderung saling mengenal bahkan seringkali merupakan ikatan kekerabatan yang berasal dari suatu keluarga ”pembuka desa” tertentu yang merintis terbentuknya suatu masyarakat guyub. Pada masyarakat desa terdapat ikatan solidaritas yang bersifat mekanistik dalam arti bahwa hubungan antar warga seakan telah ada aturan semacam tata krama atau tata tertib yang tidak boleh dilanggar jika tidak ingin mendapat sanksi. Adanya tata tertib tersebut sesungguhnya ingin menjaga suatu comformity di kalangan masyarakat desa itu sendiri.

Menurut Geertz (1963) masyarakat desa di Indonesia identik dengan masyarakat agraris dengan mata pencaharian sektor pertanian, baik petani padi sawah (Jawa) maupun ladang berpindah (Luar Jawa). Selain itu, sejumlah karakteristik masyarakat desa yang terkait dengan etika dan budaya mereka, yang bersifat umum yang selama ini masih sering ditemui yaitu: sederhana, mudah curigai, menjunjung tinggi kekeluargaan, lugas, tertutup dalam hal keuangan, perasaan minder terhadap orang kota, menghargai orang lain, jika diberi janji akan selalu diingat, suka gotong royong, demokratis, religius. Kedudukan seorang dilihat dari berapa luasan tanah yang dimiliki.

Stratifikasi Sosial

Stratifikasi sosial merupakan pembedaan anggota masyarakat berdasarkan status (Susanto, 1993). Definisi yang lebih spesifik mengenai stratifikasi sosial antara lain dikemukakan oleh Sorokin (1959) dalam Soekanto (1990) bahwa pelapisan sosial merupakan pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah adanya kelas tinggi dan kelas rendah. Sedangkan dasar dan inti lapisan masyarakat itu adalah tidak adanya keseimbangan atau ketidaksamaan dalam pembagian hak, kewajiban, tanggung jawab, nilai-nilai sosial, dan pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat.

Teori Pembentukan Pelapisan Sosial

Diferensiasi dan ketidaksamaan sosial mempunyai potensi untuk menimbulkan stratifikasi sosial dalam masyarakat. Diferensiasi sosial merupakan pengelompokan masyarakat secara horizontal berdasarkan pada ciri-ciri tertentu. Berbeda dengan ketidaksamaan sosial yang lebih menekankan pada kemampuan untuk mengakses sumberdaya, diferensiasi lebih menekankan pada kedudukan dan peranan.

Tabel 1. Perbedaan antara Diferensiasi dan Ketidaksamaan Sosial:

Diferensiasi Sosial Ketidaksamaan Sosial

(21)

Berdasarkan ciri dan fungsi Distribusi kelompok

Kriteria biologis/fisik sosiokultural

vertikal

Berdasarkan posisi, status, kelebihan yang dimiliki,

sesuatu yang dihargai.

Distribusi hak dan wewenang Stereotipe

Kriteria ekonomi, pendidikan, kekuasaan, dan kehormatan.

Stratifikasi sosial dapat terjadi sejalan dengan proses pertumbuhan atau dibentuk secara sengaja dibuat untuk mencapai tujuan bersama. Seperti apa yang dikemukakan Karl Marx yaitu karena adanya pembagian kerja dalam masyarakat, konflik sosial, dan hak kepemilikan.

Pembagian Kerja

Jika dalam sebuah masyarakat terdapat pembagian kerja, maka akan terjadi ketergantungan antar individu yang satu dengan yang lain. Seorang yang sukses dalam mengumpulkan semua sumber daya yang ada dan berhasil dalam kedudukannya dalam sebuah masyarakat akan semakin banyak yang akan diraihnya. Sedangkan yang bernasib buruk berada di posisi yang amat tidak menguntungkan. Semua itu adalah penyebab terjadinya stratifikasi sosial yang berawal dari ketidaksamaan dalam kekuasaan dalam mengakses sumber daya.

Menurut Bierstedt (1970) pembagian kerja adalah fungsi dari ukuran masyarakat a) Merupakan syarat perlu terbentuknya kelas.

b) Menghasilkan ragam posisi dan peranan yang membawa pada ketidaksamaan sosial yang berakhir pada stratifikasi sosial.

2) Konflik Sosial

Konflik sosial di sini dianggap sebagai suatu usaha oleh pelaku-pelaku untuk memperebutkan sesuatu yang dianggap langka dan berharga dalam masyarakat. Pemenangnya adalah yang mendapatkan kekuasaan yang lebih dibanding yang lain. Dari sinilah stratifikasi sosial lahir. Hal ini terjadi karena terdapat perbedaan dalam pengaksesan suatu kekuasaan.

Hak Kepemilikan

Hak kepemilikan adalah lanjutan dari konflik sosial yang terjadi karena kelangkaan pada sumber daya. Maka yang memenangkan konflik sosial akan mendapat akses dan kontrol lebih lebih dan terjadi kelangkaan pada hak kepemilikan terhadap sumber daya tersebut.

(22)

Setelah semua akses yang ada mereka dapatkan, maka mereka akan mendapatkan kesempatan hidup (life change) dari yang lain. Lalu, mereka akan memiliki gaya hidup (life style) yang berbeda dari yang lain serta menunjukannya dalam simbol-simbol sosial tertentu.

Dasar Pelapisan Sosial

Ukuran atau kriteria yang biasa dipakai untuk menggolong-golongkan anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan. (Calhoun dalam Soekanto, 1990) adalah sebagai berikut :

1) Ukuran kekayaan, barang siapa yang memiliki kekayaan paling banyak, termasuk dalam lapisan teratas. Kekayaan tersebut, misalnya : rumah, kerbau, sawah, dan tanah.

2) Ukuran kekuasaan, barang siapa yang memiliki kekuasaan atau yang mempunyai wewenang terbesar menempati lapisan atas. Contoh: Pak Kades, Pak Carik, Tokoh masyarakat (Tomas).

3) Ukuran kehormatan, orang yang paling disegani dan dihormati, mendapat tempat yang teratas. Ukuran semacam ini banyak dijumpai pada maysarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua atau mereka yang pernah berjasa.

4) Ukuran pengetahuan, pengetahuan sebagai ukuran, dipakai oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Barang siapa yang berilmu maka dianggap sebagai orang pintar.

Sifat Sistem Pelapisan Masyarakat

Sifat sistem pelapisan di dalam suatu masyarakat menurut Soekanto (1990) dapat bersifat tertutup (closed social stratification) dan terbuka (open social stratification). Sistem tertutup membatasi kemungkinan pindahnya seseorang dalam suatu lapisan ke lapisan yang lain, baik yang merupakan gerak ke atas maupun ke bawah. Di dalam sistem yang demikian, satu-satunya jalan untuk menjadi anggota suatu lapisan dalam masyarakat adalah kelahiran (mobilitas yang demikian sangat terbatas atau bahkan mungkin tidak ada). Contoh masyarakat dengan sistem stratifikasi sosial tertutup adalah masyarakat berkasta, sebagian masyarakat feodal atau masyarakat yang dasar stratifikasinya tergantung pada perbedaan rasial.

Sistem terbuka, masyarakat di dalamnya memiliki kesempatan untuk berusaha dengan kecakapan sendiri untuk naik lapisan, atau bagi mereka yang tidak beruntung, untuk jatuh dari lapisan yang atas ke lapisan yang di bawahnya (kemungkinan mobilitas sangat besar). Contohnya adalah dalam masyarakat demokratis.

Unsur-Unsur Lapisan Masyarakat

Hal yang mewujudkan unsur dalam teori sosiologi tentang sistem lapisan masyarakat menurut Soekanto (1990) adalah kedudukan (status) dan peranan (role).

(23)

Kedudukan (status) diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial. Kedudukan sosial artinya tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestise-nya, dan hak-hak serta kewajibannya. Masyarakat pada umumnya mengembangkan dua macam kedudukan, yaitu :

1) Ascribed-status, yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan. Pada umumnya ascribed status dijumpai pada masyarakat dengan sistem lapisan yang tertutup, misalnya masyarakat feodal (bangsawan, kasta)

2) Achieved-status, yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-usaha yang disengaja. Kedudukan ini bersifat terbuka bagi siapa saja, tergantung dari kemampuan masing-masing dalam mengejar serta mencapai tujuan-tujuannya. Misalnya, setiap orang dapat menjadi hakim asalkan memenuhi persyaratan tertentu. Kadang-kadang dibedakan lagi satu macam kedudukan, yaitu Assigned status yang merupakan kedudukan yang diberikan. Assigned status sering memiliki hubungan erat dengan achieved stastus.

Peranan (role) merupakan aspek dinamis kedudukan. Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia menjalankan suatu peranan. Peranan melekat pada diri seseorang harus dibedakan dengan posisi dalam pergaulan kemasyarakatan. Posisi seseorang dalam masyarakat merupakan unsur statis yang menunjukkan tempat individu pada organisasi masyarakat.

Mobilitas Sosial

Soekanto (1990) mendefinisikan gerak sosial sebagai suatu gerak dalam struktur sosial yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Sorokin (1959) dalam Soekanto (1990) menyebutkan ada dua gerak sosial yang mendasar yaitu; pertama, gerak sosial horisontal yaitu peralihan status individu atau kelompok dari suatu kelompok sosial lainnya yang sederajat. Misalnya seorang petani kecil beralih menjadi pedagang kecil. Status sosial tetap sama dan relatif bersifat stabil. Kedua, gerak sosial vertikal yaitu peralihan individu atau kelompok dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan lainnya yang tidak sederajat.

Sorokin (1959) dalam Soekanto (1990) menyebutkan bahwa sesuai dengan arahnya gerak sosial vertikal secara khusus dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

1) Gerak sosial vertikal naik (sosial climbing), berupa: masuknya individu-individu yang mempunyai kedudukan rendah ke dalam kedudukan yang lebih tinggi yang telah ada sebelumnya atau pembentukan suatu kelompok baru yang kemudian ditempatkan pada derajat yang lebih tinggi dari kedudukan individu-individu pembentuk kelompok itu. 2) Gerak sosial vertikal turun (sosial sinking), berupa: turunnya kedudukan individu ke

kedudukan yang lebih rendah derajatnya atau turunnya derajat sekelompok individu yang dapat berupa suatu disintegrasi dalam kelompok sebagai kesatuan.

Menurut Sorokin (1959) dalam Soekanto (1990) mobilitas sosial vertikal mempunyai saluran-salurannya dalam masyarakat. Proses mobilitas sosial vertikal yang melalui saluran tertentu

(24)

dinamakan sirkulasi sosial. Saluran yang terpenting di antaranya adalah angkatan bersenjata, lembaga keagamaan (menaikkan kedudukan oarang-orang dari lapisan rendah), sekolah (menjadi saluran gerak sosial vertikal bagi orang-orang dari lapisan rendah yang berhasil masuk dari sekolah untuk orang-orang lapisan atas), organisasi politik, ekonomi, keahlian, dan perkawinan.

PROSES DAN INTERAKSI SOSIAL MASYARAKAT DESA A. Pengertian

Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis menyangkut hubungan antara orang-perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, dan antara orang dengan kelompok-kelompok masyarakat. Interaksi sosial terjadi apabila dalam masyarakat terjadi kontak sosial dan komunikasi. Interaksi terjadi apabila dua orang atau dua kelompok saling bertemu atau pertemuan antara individu dengan kelompok dimana komunikasi terjadi di antara kedua belah pihak. Karena keduanya yakni kontak sosial dan interaksi merupakan syarat dari proses sosial dan untuk kebutuhan pemahaman sosiologis kedepan definisi tersebut perlu untuk diperhatikan. Tanpa kedua kegiatan itu sangatlah mustahil interaksi sosial dapat terjadi (Soedjono Soekanto, 1990).

(25)

Interaksi sosial merupakan dasar dari proses sosial dimana proses sosial hanya akan terjadi apabila ada interaksi sosial. Interaksi sosial apabila tidak dilanjutkan dengan hubungan timbal balik antara kedua belah pihak tidak akan terjadi proses sosial. Oleh para ahli sosiologi, interaksi sosial dibedakan dalam beberapa bentuk yakni proses yang dissosiatif dan ossosiatif menurut Gillin dan Gillin (1954), oposisi (opposition), kerjasama (co-operation), dan deferensiasi (defferensiutton).

B. Proses dan Interaksi Sosial Masyarakat di Pedesaan

Proses dan interaksi di pedesaan dapat kita lihat dari kegiatan keija atau mata pencaharian mereka, sistem tolong menolong, jiwa gotong royong, musyawarah dan jiwa musyawarah (Koentjoroningrat, 1979).

Orang kota menganggap ketenangan dan ketentraman desa sebagai sebuah kondisi santai dan tidak menanggung beban yang berat atas kehidupan. Pandangan ini terpatahkan manakala kita mengamati bentuk besar beban yang harus ditanggung penduduk desa dan bagaimana mereka bekerja keras walau dengan kembalian yang tidak sebanding dengan pengorbanannya.

Di pedesaan kita mengenal sistem tolong-menolong yang menjadi ciri khas utama penduduknya. Tolong menolong sendiri dibedakan antara tolong menolong yang kompensasinya mengharapkan suatu saat akan ditoiong, dengan tolong-menolong yang benar-banar ikhlas tanpa harapan hai sempa dimasa datang.

Aktifitas masyarakat pedesaan lainnya yang masih kita lihat adalah gotong-royong. Kegiatan ini dilakukan terkait dengan keperiuan umum seperti perbaikan jalan, irigasi, perbaikan pemakaman dan kegiatan lain daiam lingkup kepentingan bersama.

Kebiasaan lain yang ada di pedesaan adalah kebiasaan musyawarah dan jiwa musyawarah yang melekat pada pikiran setiap hati penduduknya. Telah lama kebiasaan rembuk desa dilakukan untuk mengambil keputusan tentang pembangunan desa. Kebiasaan itu saat ini telah dilembagakan melalui Lembaga Musyawarah Desa, Lembaga Ketahanan Masyarakat.

Untuk melihat proses sosial yang ada di pedesaan kita juga harus melihat pada kategori apa proses sosial tersebut terjadi. Di bawah ini akan coba diungkapkan bentuk interaksi sosial asosiatif dan disosiatif dengan berbagai bentuknya di pedesaan. Asosiatif terdiri dari kerja sarna, akomodasi dan asimilasi, sementara dissosiatif terdiri dari persaingan, kontraversi dan konflik.

Proses assosiatif pertama adalah kerjasama dan merupakan proses sosial yang selalu ada di masyarakat termasuk masyarakat pedesaan. Dalam masyarakat pedesaan kita banyak

(26)

mengenal istilah sambatan, gugur gunung, soyo, dan masih banyak lagi sesuai dengan istilah setempat.

Kerjasama merupakan proses yang telah dipelajari dan dilakukan manusia sepanjang hidupnya. Bentuk kerjasama mulai dari pemenuhan kebutuhan fisik, keamanan dan kebutuhan lain termasuk kasih sayang. Dalam sebuah masyarakat yang kompleks bentuk-bentuk kerjasama itu setidaknya menurut Soedjono Soekanto (1999) terdiri atas kerjasama spontan fsonfaneous cooperation), kerjasama langsung (directed cooperation), kerjasama kontrak (contractual cooperation), dan kerjasama tradisional (traditional cooperation).

Kerjasama spontan merupakan bentuk kerjasama yang terjadi secara spontan dan serta merta di masyarakat. Kerjasama ini biasanya tidak terkoordinasi dengan baik dan merupakan hasil dari kepedulian atau keadaan yang menuntut kerjasama dengan mendadak. Di pedesaan kita mengenal tetulung kematian, tetulung sakit, kerjasama yang spontan terjadi pada saat suatu peristiwa teijadi atau sebuah kerjasama yang secara cepat menuntut orang untuk bekerjasama.

Kerjasama kedua yakni kerjasama langsung merupakan kerjasama yang terjadi karena sebuah perintah atau aturan tertentu. Sekelompok buruh pabrik atau buruh tani di pedesaan akan cendemng bekerjasama untuk dengan cepat menyelesaikan pekerjaannya. Bentuk kerjasama karena perintah inilah yang dinamakan kerjasama langsung.

Selanjutnya merupakan kerjasama kontrak yang mana kerjasama ini terjadi karena adanya perjanjian untuk melakukan sesuatu dengan bersama-sama. Biasanya bentuk kerjasama ini sangat rinci antara kewajiban dan tanggung jawab masing-masing. Sebagai contoh petani akan melakukan kerjasama kontrak dengan pabrik bajak untuk membuatkan bajak atau dengan pabrik peralatan lainnya. Kerjasama yang didasari oleh hal-hal semacan inilah yang dinamakan kerjasama kontrak yang mana kerjasama ini sangat mengikat antara satu dengan yang lainnya dan cenderung mempunyai konsekwensi yang jelas pada masing-masing. Hubungan buruh tani dan majikan adalah contoh bentuk kerjasama ini meski tidak ditulis secara langsung akan tetapi secara otomatis hak dan kewajiban antara keduannya masing-masing akan memenuhi untuk memperoleh kepuasan yang diinginkan. Kerjasama tradisional merupakan bentuk kerjasama sebagai hasil dari sebuah sistem sosial. Bentuk kerjasama ini biasanya dikemas dalam aturan adat istiadat dan mempunyai konsekwensi secara adat pula. Tolong-menolong dalam menyelesaikan kepentingan bersama seperti jalan, mata air, dan sarana umum lainnya termasuk dalam bentuk kerjasama ini. Gotong-royong dan kerukunan lainnya merupakan bentuk dari kerjasama yang lahir dari sebuah sistem sosial dan terikat secara sosial pula.

Bentuk kerjasama yang lain adalah :

(27)

2. Bargainmg yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang-barang atau jasa-jasa antara dua organisasi atau lebih.

3. Kooptasl suatu penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi, sebagai salah satu cara dalam menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas organisasi yang bersangkutan.

4. Koalisi yaitu kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan-tujuan yang sama. Koalisi akan menghasilkan keadaan yang tidak stabil dalam sementara waktu, hal itu disebabkan oieh perbedaan struktur dan kebiasaannya akan tetapi karena tujuannya adalah untuk mencapai tujuan bersama maka sifatnya adalah kooperatif. 5. Joint uenture yakni kerjasama dalam mengerjakan proyek-proyek tertentu seperti

pengeboran minyak, perfileman, perhotelan, properti dan lain-lain.

Dalam masyarakat pedesaan bentuk kerja sama banyak dilakukan sebagai contoh adalah contract farming dan berbagai kerja sama penyakapan lainnya. Kerjasama dalam bidang pertanian ini telah iama ada dan hampir ditemukan di selumh wilayah Indonesia dengan berbagai bentuk. Pada daerah yang berbeda akan diistilahkan berbeda juga model kerjasamanya. Bentuk proses assosiatif kedua adalah akomodasi.

Sebenarnya akomodasi merupakan teori yang didasari oleh analogi kehidupan biologis. Akomodasi merupakan proses dari individu untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.

Akomodasi sendiri menurut Soedjono Soekanto (1999) mempunyai tujuan untuk mengurangi pertentangan antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia sebagai akibat dari perbedaan faham. Akomodasi disini bertujuan untuk nnenghasilkan sebuah sintesa antara kedua faham tersebut sehingga teijadi pola yang baru. Selain itu akomodasi juga bertujuan untuk mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk sementara waktu atau secara temporer. Akomodasi juga dapat menjadi kondisi agar memungkinkan terjadinya kerjasama antara kelompok yang hidupnya terpisah sebagai akibat faktor-faktor sosial psikologis dan kebudayaan, seperti yang dijumpai pada masyarakat yang mengenal sistem kasta. Akomodasijuga dapat menjadi media peleburan antara kelornpok-kelompok sosial yang terpisah, misalnya lewat perkawinan campuran atau asimiiasi dalam arti luas.

Akomodasi terdiri dari berbagai bentuk yakni coersy atau bentuk akomodasi secara paksaan, compromise atau bentuk akomodasi yang mana pihak yang terlibat menurunkan tuntutannya agar tercapai penyelesaian terhadap pertentangan yang ada. Arbntcse merupakan cara untuk mencapai kompromise apabila pihak yang bertentangan tidak sanggup untuk menyelesaikan sendiri. Mediation juga bentuk akomodasi dimana berperannya pihak ketiga yang netral untuk menjembatani dan memfasilitasi pertentangan. Conciliation adalah usaha untuk mempertemukan keinginan-keinginan pihak yang bersengketa demi tercapas tujuan bersama. Toleransion merupakan bentuk akomodasi tanpa

Referensi

Dokumen terkait

Studi model permintaan energi biomassa rumah tangga pedesaan di Kabupaten Bogor Jawa.. Barat (Studi kasus 4 desa di wilayah Kecamatan

Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu perbandingan pencarian informasi kesehatan yang dilakukan oleh masyarakat pedesaan di wilayah Desa Bandungrejo, Kecamatan

memperhatikan tingkah laku klien dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri klien. Dari hakekatnya sebagai hubungan yang bersifat membantu dan sebagai proses

30 Pola perubahan kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan pada desa sasi laut dan desa non sasi laut di pedesaan Maluku pada rezim sentralisasi dan

Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam proses Implementasi Program Pembangunan Insfrastruktur Pedesaan Oleh Aparatur Pemerintah Desa di Desa Darmacaang Kecamatan Cikoneng

Oleh karena itu, pada penelitian ini diarahkan pada hubungan perkembangan industri di Desa nguwet dapat mengubah karakteristik wilayah pedesaan menjadi perkotaan baik

Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam proses Implementasi Program Pembangunan Insfrastruktur Pedesaan Oleh Aparatur Pemerintah Desa di Desa Darmacaang Kecamatan Cikoneng

Diferensiasi melibatkan proses perubahan yang bersifat kumulatif dan permanen dalam cara-cara beragam kelompok di masyarakat pedesaan—serta sebagian