• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Pemenuhan Kebutuhan Psikologis Tentara dan PNS di Instansi Militer

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perbedaan Pemenuhan Kebutuhan Psikologis Tentara dan PNS di Instansi Militer"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Militer

Anissa F Wardhani & Dewa Fajar Bintamur

Program Studi S1 Reguler Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

E-mail: afwardhani@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk melihat perbedaan pemenuhan kebutuhan psikologis dasar pada tentara dan PNS di instansi militer berdasarkan jenis golongan jabatan dengan menggunakan alat ukur Basic Psychological Needs Scale (BPNS). Partisipan penelitian ini berjumlah 277 orang yang diambil dengan menggunakan teknik accidental sampling. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa baik variabel status pekerjaan ataupun variabel jenis golongan tidak berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan psikologis dasar. Hasil penelitian ini juga tidak menunjukkan adanya perbedaan pemenuhan kebutuhan psikologis dasar antara tentara dan PNS yang dipengaruhi oleh interaksi antara variabel status pekerjaan dan jenis golongan. Berdasarkan penemuan tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan pemenuhan kebutuhan psikologis dasar yang signifikan, baik pada dimensi kemandirian, kompetensi, dan keterhubungan antara tentara dan PNS di instansi militer dan berdasarkan golongan.

Kata kunci: pemenuhan kebutuhan psikologis dasar; kemandirian; kompetensi; keterhubungan

Differences of Basic Psychological Need Fulfillment between Soldiers and Civil Servant in Military Institution

Abstract

The objective of this research is to examine the difference of basic psychological needs fulfillment between soldiers and civil servants in Military Institution based on work level measured by Basic Psychological Needs Scale (BPNS). Data were gathered from 277 respondents using the accidental sampling method. The result showed that work status and work level have no significant influence to basic psychological needs fulfillment. There were also no differences of basic psychological needs fulfillment between soldiers and civil servants that influenced by the interaction between work status and work level variabel. Based on this study, we can conclude that there are no significant differences on autonomy, competency, and relatedness between soldiers and civil servants in imilitary institution based on levels.

(2)

PENDAHULUAN

Di dalam instansi militer yaitu TNI, terdapat dua pegawai negeri yang terdiri dari tentara dan PNS (Pegawai Negeri Sipil). Kedudukan PNS di instansi militer merupakan komplemen yang memiliki peran dan tanggung jawab yang sama dengan tentara (PNS TNI merupakan Komplemen dari Prajurit, 2010). Keberadaan PNS di instansi militer merupakan bagian yang tidak terpisahkan satu sama lainnya dan secara bersama-sama dengan tentara mengabdi kepada negara di bidang pertahanan. Dua pegawai tersebut memiliki persamaan dalam lingkungan kerja, tanggung jawab menyelesaikan tugas, dan kesetaraan dalam bekerja sesuai golongan jabatan yang dimiliki. Dalam penugasannya, PNS di instansi militer lebih diarahkan pada bidang administrasi, pelayanan, dan bidang lain sesuai keahlian yang dimilikinya untuk mendukung kelancaran serta bertanggung jawab dalam pelaksanaan tugas tentara.Penggunaan PNS di lingkungan militer merupakan pertimbangan adanya beberapa jabatan tertentu yang lebih efektif dan efisien dijabat oleh PNS yang dapat menjamin kontinuitas pelaksanaan tugas pokok instansi, karena tugas yang diberikan bersifat stasioner, yang berarti tidak terkena alih tugas secara geografi. Kemudian PNS sebagai komplemen di sini juga berarti rekan kerja yang telah disejajarkan atau disetarakan dengan tentara (Kolonel Kes. Sriyanto, komunikasi personal, 14 April 2014).

Persamaan golongan atau kedudukan pada tentara dan PNS di instansi militer terkadang menjadi penghambat karir bagi PNS di instansi militer, karena PNS tidak pernah terlibat dalam pengambilan keputusan di tingkat pimpinan (eselon III ke atas). Hal ini menjadi pengaruh terhadap motivasi PNS di instansi militer dalam kehidupan pekerjaan dan sehari-hari, mengingat jenjang karir PNS tidak lebih baik dari tentara. Karena menurut Deci dan Ryan (2000) adanya ancaman dapat menghambat kemandirian individu, seperti menurunnya motivasi intrinsik serta kreativitas, dan lemahnya kemampuan dalam menyelesaikan masalah. Perbedaan latar belakang profesi, menyebabkan adanya perbedaan dalam job description yang merujuk pada perasaan internal diantara keduanya yang mengakibatkan munculnya perasaan dikesampingkan atau dibedakan oleh rekan kerja, atasan atau bawahan, hingga instansi. Hal ini dikarenakan dalam job description PNS, pekerjaan PNS lebih kepada tugas administratif, stasioner, dan tugas pelayanan. Sehingga hal ini menimbulkan sikap tentara yang kurang menghargaidan menganggap bahwa keberadaan PNS didalam lingkungan militer bukan sebagai rekan kerja melainkan sebagai pelengkap yang merujuk pada konflik kepentingan dalam pelaksanaan tugas. Adanya persoalan tersebut tidak menutup kemungkinan PNS yang

(3)

bekerja di instansi militer merasa dibedakan. Permasalahan lain yang dirasakan adalah perbedaan dari segi kedisiplinan antara tentara dan PNS yang merujuk pada perbedaan hukuman pelanggaran. Tentara merasa pelanggaran yang dilakukan PNS tidak mendapat tindakan tegas dan hukuman yang setara. Kemudian adapula masalah diluar pekerjaan seperti perbedaan gaji dan fasilitas. Masalah ini dikhawatirkan berdampak pada kinerja dan kehidupan sehari-hari tentara dan PNS militer, mengingat keduanya berada di lingkungan kerja dan lingkungan sosial yang sama. Menurut Gagne (2010) bahwa dukungan sosial di lingkungan kerja memprediksi motivasi kerja. Sehingga perlu adanya hubungan yang harmonis diantara keduanya. Dalam masalah ini, peneliti mengkaitkan tentara dan PNS di instansi militer dengan pemenuhan kebutuhan psikologis dasar yang terdiri dari kebutuhan untuk mandiri, kompeten, dan terhubung dengan orang lain. Karena teori kebutuhan psikologis dasar melihat sejauh mana individu dapat memenuhi kebutuhan dalam lingkungan sosial. Menurut Deci (2001) terpenuhinya kebutuhan pekerja untuk mandiri, kompeten, dan terhubung dengan orang lain, memiliki hubungan yang positif dengan kepuasan dan kesejahteraan di tempat kerja.

Berdasarkan penjelasan diatas bahwa perbedaan diantara keduanya disebabkan kemungkinan tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis dasar yang berdampak tidak munculnya kesejahteraan tentara dan PNS militer dalam bekerja dan kehidupan sehari-hari. Karena kesejahteraan individu di tempat kerja memiliki hubungan dengan kesejahteraan di kehidupannya (Page, 2005). Yang nantinya instansi tidak perlu khawatir dengan masalah kebutuhan primer, karena kesejahteraan individu merupakan prediktor yang tepat untuk melakukan perhitungan gaji yang sesuai, evaluasi kinerja, dan dukungan sosial (Staw, 1994). Wright dan Cropanzano (2000) juga menyatakan bahwa kesejahteraan berhubungan dengan performa kerja, pegawai yang menunjukkan performa kerja yang baik dalam organisasi seringkali juga memiliki kebahagiaan yang tinggi. Dengan demikian kepuasan ketiga kebutuhan psikologis dasar berkaitan dengan kesejahteraan individu, sehingga diperlukan penelitian untuk mengetahui apakah ada perbedaan pemenuhan kebutuhan psikologis dasar diantara tentara dan PNS di instansi militer yang nantinya berdampak kepada kesejahteraan keduanya secara seimbang dan kedepannya dapat melaksanakan serta menyelesaikan tugas instansi dengan kerjasama yang baik.

(4)

TINJAUAN TEORITIS

Teori Kebutuhan Psikologis Dasar

Teori kebutuhan psikologis dasar merupakan salah satu mini teori dari teori besar determinasi diri yang berfokus pada pemenuhan kebutuhan psikologis dasar individu. Dalam kerangka teori determinasi diri, kebutuhan didefinisikan sebagai nutrisi, yaitu asupan yang penting untuk keberlangsungan pertumbuhan, integritas, dan kesejahteraan individu (Deci & Ryan, 2000). Kebutuhan ini merupakan kebutuhan bawaan yang melekat pada sifat manusia, bukan suatu kebutuhan yang dipelajari (Deci & Ryan, 2000). Berdasarkan definisi kebutuhan pada perspektif teori determinasi diri, kebutuhan psikologis dasar didefinisikan sebagai kebutuhan yang bersifat bawaan dan universal pada level psikologis untuk memenuhi nutrisi yang memunculkan keberlangsungan pertumbuhan, integritas, dan kesejahteraan individu (Deci & Ryan, 2000). Kebutuhan akan tiga elemen dasar ini dinyatakan sebagai akar kebutuhan jika dibandingkan dengan kebutuhan psikologis lainnya, seperti self-esteem,

purposefulness, dan meaningfulness (Evans, 2009).

Terdapat tiga kebutuhan psikologis dasar manusia yang terdiri dari kebutuhan untuk mandiri (need for autonomy), kebutuhan untuk kompeten (need for competency), dan kebutuhan (need for relatedness) untuk terhubung dengan orang lain (Deci & Ryan, 2000). Berikut kebutuhan psikologis dasar,

1. Kemandirian

Kemandirian merupakan sebuah perasaan bahwa individu dapat mengendalikan kehidupannya sendiri (King, 2011). Kebutuhan ini mengacu pada kebutuhan individu untuk merasakan bahwa tingkah lakunya berasal dari dirinya sendiri (Deci & Ryan, 2000). Kebutuhan ini merupakan kebutuhan individu untuk menjadi self-determined, yang berartiindividu memiliki pilihan dalam memulai, mempertahankan, dan meregulasi kegiatan yang ia lakukan (Ryan & Deci, 2002). Kebutuhan ini bertujuan untuk individu dapat membuat suatu keputusan sendiri dan bebas melakukan suatu aktivitas tanpa terkait dengan peraturan eksternal (kontrol dari orang lain) yang berkenaan dengan area-area dalam kehidupan yang penting bagi individu tersebut (Deci & Ryan, 2000). Akan tetapi bukan berarti menjadi mandiri tidak lepas dari pengaruh orang lain, melainkan adanya perasaan pada individu bahwa dirinya memiliki pilihan dalam menentukan tingkah lakunya, baik tingkah laku yang muncul dari diri sendiri maupun bentuk respon atas keinginan orang lain (Deci & Vansteenkiste, 2004).

(5)

2. Kompetensi

Kompetensi merupakan kebutuhan untuk merasa berhasil dan efektif dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya serta mendapatkan kesempatan untuk melakukan dan menunjukkan kapasitas dirinya (Deci & Ryan, 2000). Kebutuhan ini berkonsentrasi pada kemampuan menggunakan peluang untuk berlatih, memperluas dan mengekspresikan kemampuan seseorang (McGregor, 2010). Kebutuhan kompetensi ini dapat dipenuhi saat individu merasa bahwa ia mampu untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan atau diharapkan (Reise, et al, 2000 dalam King, 2011). Kompetensi mengarahkan individu untuk mempertahankan dan meningkatkan keterampilan serta kemampuan diri secara kontinu dengan melakukan suatu kegiatan (Ryan & Deci, 2002). Kebutuhan ini tercermin dari kecenderungan individu untuk mengejar tantangan yang melewati tingkat keberfungsian individu dengan kegiatan yang dapat mengembangkan rasa percaya diri dan harga dirinya (Ryan & Powelson, 1991).

3. Keterhubungan

Kebutuhan keterhubungan merupakan kebutuhan individu untuk terlibat dalam sebuah hubungan yang hangat dengan orang lain (King, 2011). Kebutuhan akan keterhubungan dengan orang lain mengacu pada perasaan individu yang merasa diperhatikan dan dapat memperhatikan orang lain (Ryan & Deci, 2002). Beberapa psikolog mengatakan bahwa hubungan antar individu merupakan sumber motivasi yang terkuat (King, 2011). McGregor (2010) menyatakan bahwa individu akan merasa paling terhubung dengan sekitarnya ketika ia merasa diperhatikan dan signifikan bagi orang lain. Karena apabila individu merasa dirinya terkucilkan, kemungkinan besar ia akan menunjukkan perilaku negatif yang cenderung bersifat merusak diri sendiri (King, 2011).

Pemenuhan Kebutuhan Psikologis Dasar

Berdasarkan teori determinasi diri, tingkah laku manusia dipengaruhi oleh interaksi individu dengan konteks sosialnya. Konteks sosial yang berbeda seperti lingkungan keluarga, sekolah, dan pekerjaan dapat memberikan atau menghambat kesempatan individu untuk memenuhi kebutuhan psikologis dasar (Ryan & Deci, 2002). Karena individu akan melakukan kegiatan, melakukan pencapaian tujuan, dan menjalin hubungan dengan orang lain yang dapat mendukung pemenuhan kebutuhan psikologis dasarnya (Deci & Ryan, 2000).

Konteks untuk mendukung kemandirian individu adalah konteks yang menyediakan pilihan, memberikan kesempatan individu memilih, memberikan umpan balik yang sesuai serta kompeten, meminimalkan hadiah eksternal, dan evaluasi yang menekan (Reeve & Jang,

(6)

2006). Kemandirian dikembangkan saat individu mendapatkan dukungan untuk mandiri, yaitu memberikan kebebasan kepada individu untuk menentukan perilaku yang mereka lakukan (Deci & Ryan, 2000). Strategi motivasi seperti pemberian hadiah, imbalan, dan ancaman dapat menghambat kemandirian individu, seperti menurunnya motivasi intrinsik serta kreativitas, dan lemahnya kemampuan dalam menyelesaikan masalah (Deci & Ryan, 2000).

Dalam konteks kerja, para pekerja diberikan kesempatan dalam mengembangkan kompetensinya melalui tugas yang diberikan tempat ia bekerja. Selain melalui tugas, pekerja akan memiliki perasaan untuk kompeten karena saat melaksanakan dan menyelesaikan tugas ada proses yang terjalin didalamnya, seperti diskusi dengan rekan kerja hingga pujian dari orang sekitar. Kebutuhan untuk kompeten dapat didorong saat individu merasakan bahwa lingkungannya optimal dalam menyediakan informasi tentang cara yang efektif mencapai hasil yang diinginkan (Deci & Ryan, 2000).

Kebutuhan untuk terhubung dengan orang lain meliputi kehidupan sosial lingkungan seseorang (Hetland & Hetland, 2011). Dalam konteks kerja, tempat kerja merupakan area yang memberikan dukungan sosial, karena pekerja mengahabiskan sebagian besar waktunya dan usahanya di tempat kerja antara rekan kerja, atasan, dan bawahan (Hetland & Hetland, 2011). Gagne (2010) menunjukkan bahwa dukungan sosial di lingkungan kerja memprediksi motivasi kerja seseorang.

Keberfungsian manusia secara optimal tergantung pada pemenuhan tiga kebutuhan psikologis dasar (Ryan & Deci, 2000). Pemenuhan dari kebutuhan dasar ini seperti suplai makanan bergizi yang mengarahkan orang kepada perilaku sosial yang lebih kompeten, vital, dan terintegrasi (Evans, 2009). Terpuaskannya tiga kebutuhan psikologis dasar pada individu dapat menghasilkan individu yang sehat, individu dengan perkembangan psikologis yang baik, dan individu yang sejahtera (Deci & Ryan, 2000). Sejumlah penelitian menunjukan bahwa kepuasan ketiga elemen kebutuhan psikologis dasar meningkatkan kesejahteraan, sedangkan ketika ketiga elemen tersebut diabaikan, maka akan menciptakan gangguan dalam hidupnya (Kasser & Ryan, 1993, 1996; A. M. Ryan, 2000 dalam Damon, Lerner, Renninger, & Sigel, 2006). Pemuasan tersebut dapat memberikan perubahan regulasi perilaku yang awalnya tidak termotivasi secara intrinsik menjadi perilaku yang termotivasi secara intrinsik. Deaux dan Snyder (2012) menyatakan bahwa semua motivasi dan suatu pencapaian memiliki efek terhadap kesejahteraan yang berhubungan dengan pemuasan kebutuhan psikologis dasar, yang dengan kata lain kebutuhan psikologis dasar berkontribusi dalam menghasilkan perbedaan kesejahteraan setiap orang. Menurut beberapa penelitian, pemenuhuan kebutuhan psikologis dasar berkorelasi secara positif dengan kesejahteraan psikologis (Sheldon &

(7)

Niemiec, 2006), harga diri (Thogersen-Ntoumani & Ntoumanis, 2007), kepuasan hidup (Meyer, Enstrom, harstveit, Bowles, & Beevers, 2007), dan berkolerasi secara negatif dengan depresi (Wei, Philip, Shaffer, Young, & Zakalik, 2005).

Keterkaitan Kebutuhan Psikologis Dasar dengan Tentara dan PNS di Instansi Militer

Adanya perbedaan yang berasal dari perasaan yang dikesampingkan atau dibedakan, memberikan pengaruh kepada hubungan diantara keduanya. Dalam hal ini, adapula pengaruh dari kedudukan tentara dan PNS sebagai pekerja di instansi yang terlihat dari golongan jabatan yang bersifat strata. Dengan demikian tidak menutup kemungkinan adanya ketergantungan atau lepas tanggung jawab terkait tugas. Karena PNS ataupun tentara dengan golongan jabatan rendah merasa bahwa yang memiliki tanggung jawab dari dilaksanakan atau tidaknya perintah tugas adalah atasan. Dan sebaliknya, PNS ataupun tentara dengan golongan jabatan tinggi juga merasa bahwa bawahan akan melaksanakan perintah apapun selama perintah tersebut diberikan olehnya, sehingga bila tidak dilaksanakan atasan memiliki wewenang dalam mengambil keputusan pemberian hukuman. Sehingga dapat dikatakan kemandirian, kompetensi, dan keterhubungan pada pekerja di instansi belum terpenuhi. Kebutuhan akan mandiri bukan berarti harus menjadi bawahan yang dapat mengerjakan segala sesuatu atau sebaliknya menjadi atasan yang dapat memutuskan sesuatu. Akan tetapi untuk menjadi mandiri, individu memiliki pilihan dalam memulai. Dalam kasus ini bukan atas dasar perintah kerjakan kemudian baru dikerjakan, sehingga ada paksaan di dalamnya, tetapi bagaimana individu tau kapan ia harus memulai mengerjakan apa yang diminta. Kemudian individu tau mengapa ia mempertahankan apa yang dipertahankan, seperti hak, yang dampaknya pada instansi dan rekan kerja yaitu tidak ada kecurangan atau ketidakadilan dari segi tugas, jabatan, materi. Dan individu meregulasi kegiatan yang telah ia lakukan. Menjadi mandiri dibutuhkan untuk dirinya memiliki pilihan dalam menentukan tingkah lakunya, baik tingkah laku yang muncul dari diri sendiri maupun bentuk respon atas keinginan orang lain (Deci & Vansteenkiste, 2004). Meskipun berada dibawah mata rantai komando, tentara dan PNS memiliki pilihan dalam bertingkah laku untuk tercapainya kesejahteraan di dalam diri.

Pada instansi militer, jelas terlihat perbedaan kompetensi pada kedua pegawai negeri tersebut, mengingat keduanya memiliki perbedaan latar belakang profesi sehingga memiliki

job description yang berbeda. Akan tetapi, berbeda dengan maksud kompetensi pada

kebutuhan psikologis dasar. Karena kompetensi disini merupakan kebutuhan individu untuk mengejar tantangan yang melewati tingkat keberfungsian individu dengan kegiatan yang dapat mengembangkan rasa percaya diri dan harga dirinya (Ryan & Powelson, 1991).

(8)

Kemudian di dalam lingkungan kerja, pekerja tidak lepas dengan komunikasi diantara pekerja lainnya. Hal ini disebabkan adanya tujuan yang sama. Meskipun di dalam instansi militer memiliki pekerja yang berprofesi berbeda, akan tetapi komunikasi tetap terjalin. Disini terlihat bahwa, individu membutuhkan orang lain untuk melakukan suatu kegiatan. Maka kebutuhan terhubung dengan orang lain perlu dipenuhi sehingga perasaan terkucilkan yang cenderung merusak diri tidak muncul, karena apabila muncul akan berdampak kepada kedisiplinan tentara atau PNS dalam bekerja, menghadiri kegiatan kantor, dan absen kerja.

METODE PENELITIAN

Masalah utama pada penelitian ini yaitu apakah terdapat perbedaan pemenuhan kebutuhan psikologis dasar antara tentara dan PNS di instansi militer berdasarkan golongannya. Golongan terdiri dari tiga golongan jabatan, yaitu golongan II, III, dan IV. Variabel dalam penelitian ini adalah kebutuhan psikologis dasar sebagai varibel terikat dan status pekerjaan (tentara & PNS) serta golongan jabatan (golongan II, III, IV) sebagai variabel bebas. Penelitian ini menggunakan partisipan dengan karakteristik tentara dan PNS dengan golongan II, III, dan IV. Penelitian ini mempunyai 2 hipotesis yaitu hipotesis alternatif (Ha) dan hipotesis null (H0). Ha Terdapat perbedaan pemenuhan kebutuhan psikologis dasar dimensi kemandirian, kompetensi, dan keterhubungan yang signifikan pada alat ukur BPNS antara tentara dan PNS di instansi militer berdasarkan golongan. Sementara H0 menyebutkan tidak terdapat perbedaan pemenuhan kebutuhan psikologis dasar dimensi kemandirian, kompetensi, dan keterhubungan yang signifikan pada alat ukur BPNS antara tentara dan PNS di instansi militer berdasarkan golongan.

Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik non-random sampling. Teknik sampling ini digunakan karenatidak semua anggota populasi memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi partisipan dalam penelitian (Kumar, 2005). Peneliti mengambil sampel dengan berkordinasi terlebih dahulu dengan pekerja di bagian personil untuk mendapatkan izin pengambilan data. Kemudian pengambilan sampel tentara dan PNS militer dengan golongan jabatan yang telah ditentukan dilakukan pada saat setelah apel pagi dan waktu istirahat siang. Dikarenakan di beberapa kantor instansi militer tidak semua dapat diakses dengan mudah dalam perizinan, peneliti menggunakan teknik pengambilan sampel accidental sampling, yaitu pengambilan sampel berdasarkan pada ketersediaan atau kemudahan mengakses partisipan (Kumar, 2005).

(9)

Pengumpulan data dilakukan dengan memberikan kuesioner secara langsung berupa

hardcopy. Kuesioner yang akhirnya dapat diolah berjumlah 277 kuesioner yang terdiri dari

126 tentara dan 151 PNS di instansi militer seluruh golongan. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program Statistical Package for the Social Sciences (SPSS).

Basic Psychological Needs Scale

Basic Psychological NeedsScale (BPNS) merupakan alat ukur yang dibuat oleh Deci

dan Ryan (1992) untuk mengukur derajat kepuasan yang dimiliki seseorang terhadap pemenuhan ketiga kebutuhan psikologis dasar. Tujuannya adalah untuk melihat sejauh mana kebutuhan psikologis dasar individu terpenuhi atau tidak. Peneliti menggunakan alat ukur BPNS yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Desela (2013).

Alat ukur terdiri dari 21 item yang menggambarkan 3 kebutuhan psikologis dasar manusia dengan jawaban yang diukur menggunakan skala likert dengan nilai 1 (sangat tidak sesuai) hingga 7 (sangat sesuai). Sebanyak tujuh aitem mengukur pemenuhan kebutuhan untuk kemandirian, salah satu contoh item pada alat ukur yaitu “Orang-orang di kantor mengatakan bahwa saya menguasai pekerjaan saya”. Lalu enam item mengukur pemenuhan kebutuhan untuk kompeten, salah satu contoh item pada alat ukur yaitu “Saya merasa tidak kompeten ketika saya bekerja”. Dan delapan item mengukur pemenuhan kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain, salah satu contoh item pada alat ukur yaitu “Saya sangat menyukai orang-orang di tempat kerja saya”.

Uji reliabilitas pada alat ukur merujuk pada konsistensi skor yang dicapai oleh individu yang sama saat diuji ulang menggunakan tes yang sama pada kesempatan yang berbeda, atau dengan seperangkat aitem ekuivalen yang berbeda, atau pada saat kondisi pengujian yang berbeda (Anastasi & Urbina, 1997). Uji realibilitas menggunakan internal

consistency. Peneliti menggunakan alat yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia

oleh Desela (2013), kemudian disebarkan kepada 325 partisipan tentara dan pegawai negeri sipil di instansi militer, dan menghasilkan 277 data yang dapat diolah. Alat ukur BPNS yang telah di uji pertama menghasilkan nilai cronbach’s alpha sebesar 0,46. Menurut Kaplan dan Saccuzzo (2005), nilai realibitas minimal 0,7 hingga 0,8 sudah dianggap baik. Melihat nilai

cronbach’s alpha sebesar 0,46 peneliti mengatasinya dengan melihat corrected item-total correlation. Item dibawah 0,2 dihapus dan dihitung kembali untuk mendapatkan nilai

signifikan (Aiken & Groth-Marnat, 2006). Signifikan berarti item dianggap memiliki daya diskriminasi yang baik. Item yang dihapus adalah item 4 0,509), item 5 0,408), item 11 (-0,367), item 13 (-0,047), item 14 (-0,45), item 15 (-0,541), dan item 19 (0,043). Tiga item

(10)

yang dihapus yaitu item 4, item 11, dan item 14 merupakan item pada dimensi kemandirian dan empat item yang dihapus yaitu item 5, item 13, item 15, dan item 19 merupakan aitem pada dimensi kompetensi. Dari hasil perhitungan selanjutnya didapatkan nilai cronbach’s

alpha naik menjadi 0,843, yang berarti alat ukur sudah baik.

Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan dua macam teknik penghitungan statistik untuk menginterpretasi data penelitian yaitu statistika deskriptif untuk distribusi frekuensi, mean, standar deviasi, dan range data demografis partisipan yaitu usia, jenis kelamin, status pekerjaan (tentara dan PNS), dan golongan yang dibagi menjadi empat golongan jabatan (golongan II, III, dan IV), dan Two-way Anova untuk menguji apakah variabel status pekerjaan partisipan (PNS atau tentara), variabel jenis golongan (golongan II, III, dan IV), serta interaksi antara variabel status pekerjaan dengan variabel jenis golongan memiliki peran terhadap variabel kebutuhan psikologis dasar (kemandirian, kompetensi, dan keterhubungan).

HASIL PENELITIAN

Gambaran Umum Partisipan

Dari 325 kuesioner yang disebarkan dan dikumpulkan, hanya 277 yang dapat diolah datanya oleh peneliti. Total partisipan tentara adalah 126 orang dan total partisipan PNS di instansi militer adalah 151 orang. Penyebab berkurangnya data yang dapat diolah dikarenakan tidak diisinya item-item dalam kuesioner secara lengkap oleh partisipan. Dapat diketahui bahwa sebagian besar partisipan (58%) adalah laki-laki, (55%) adalah partisipan PNS militer, dan (40%) adalah golongan IV. Seluruh partisipan berusia berkisar 24 tahun sampai 57 tahun (M = 44,23, SD = 6,924).

Gambaran Kebutuhan Psikologis Dasar Partisipan

Peneliti mendapatkan gambaran deskriptif statistik untuk melihat perbandingan kebutuhan psikologis dasar dimensi kemandirian, kompetensi, dan keterhubungan pada tentara dan PNS yang bekerja di instansi militer berdasarkan golongan. Terdapat tiga golongan yang membedakan tingkatan jabatan, yaitu mulai dari golongan terendah golongan II, hingga golongan tertinggi golongan IV. Dengan membandingkan nilai mean, nilai mean tertinggi pada kebutuhan psikologis dasar dimensi kemandirian, kompetensi, dan keterhubungan diperoleh tentara golongan IV dan PNS militer golongan IV.

(11)

Analisis Data

Pengujian hipotesis dilakukan dengan menganalisis kebutuhan psikologis dasar dimensi kemandirian, kompetensi, dan keterhubungan pada tentara dan PNS militer berdasarkan golongannya menggunakan two-way Anova. Berikut hasil analisis data.

Dependent

Variable F Sig.

Corrected Model Kemandirian 22.246 .000

Kompetensi 12.993 .000 Keterhubungan 9.739 .000 Intercept Kemandirian 7096.235 .000 Kompetensi 6660.059 .000 Keterhubungan 12994.95 9 .000

Status Pekerjaan Kemandirian 2.148 .144

Kompetensi .000 .996 Keterhubungan 3.279 .071 Golongan Kemandirian 54.139 .000 Kompetensi 31.948 .000 Keterhubungan 22.220 .000 Status Pekerjaan* Golongan Kemandirian 2.324 .100 Kompetensi .303 .739 Keterhubungan .006 .994

Jadi, dapat disimpulkan bahwa variabel status pekerjaan (PNS atau tentara) tidak berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan psikologis dasar, baik pada komponen kemandirian, kompetensi, mau pun keterhubungan. Untuk variabel golongan juga tidak ditemukan pengaruh dari golongan II, III, atau IV terhadap pemenuhan kebutuhan psikologis dasar, baik pada komponen kemandirian, kompetensi, mau pun keterbukaan. Juga tidak ditemukan interaksi antara variabel status pekerjaan dan variabel jenis golongan terhadap pemenuhan kebutuhan psikologis dasar untuk semua komponennya.

DISKUSI

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan dalam pemenuhan kebutuhan psikologis dasar diantara tentara dan PNS militer. Padahal dari hasil wawancara tentara dan PNS, terdapat perbedaan perasaan dibedakan oleh rekan kerja. Melihat kondisi ini, peneliti menduga bahwa perbedaan pemenuhan kebutuhan psikologis dasar tidak tampak dikarenakan selain golongan jabatan mempengaruhi ada hal lain yang mempengaruhi, yaitu

(12)

informasi gambaran situasi pekerja di instansi militer yang masih kurang mendalam dan jalur masuk profesi. Untuk jalur masuk profesi, khususnya tentara, terdapat tiga jalur masuk yang berbeda, yaitu jalur perwira melalui pendidikan 4 tahun yang berasal dari lulusan SMA/SMK, perwira karir merupakan lulusan S1, dan jalur beasiswa. Tentara yang masuk lewat jalur perwira termasuk dalam golongan III dan IV. Meskipun memiliki golongan yang sama, ada gengsi tersendiri bagi tentara yang masuk jalur perwira melalui pendidikan 4 tahun, perwira karir, dan beasiswa. Hal ini menjadikan golongan III dan IV pada tentara tidak setara.

Kemudian menurut Hetland (2010) gaya kepemimpinan penting dalam memberikan perasaan untuk mandiri, kompeten, dan terhubung di tempat kerja. Gaya kepemimpinan yang dapat mencegah pemenuhan kebutuhan psikologis dasar kemandirian, kompetensi, danketerhubungan beresiko bagi kesejahteraan (Deci & Ryan, 2000). Begitu juga sebaliknya, kepemimpinan dapat menentukan bahwa kebutuhan pengikutnya terpenuhi (Hetland & Hetland, 2011). Sehingga gaya kepemimpinan juga menjadi faktor yang perlu dipertimbangkan.

Tempat pengambilan data juga dapat mempengaruhi hasil pada analisis ini. Kemungkinan mempengaruhi karena di setiap tempat memiliki tugas yang berbeda, jumlah pegawai yang bekerja tidak sama (proporsi tentara dan PNS), dan wilayah keberadaan kantor. Adapun komitmen kerja yang dapat mempengaruhi hasil, karena masing-masing pegawai di instansi militer diikat dengan sumpah janji dan komitmen merupakan suatu ikatan psikologis pegawai pada organisasi. Bila pegawai memiliki komitmen yang tinggi, ia akan merasa lebih memiliki ikatan yang kuat dengan organisasi dan akan menampilkan produktivitas yang tinggi (Mowday, Porter, & Steers, dalam Allen & Meyer, 1997).

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur yang telah diterjemahkan oleh Desela (2013). Dengan hasil yang menunjukkan tidak ada perbedaan pemenuhan kebutuhan psikologis diantara tentara dan PNS di instansi militer, peneliti menduga terjemahan alat ukur untuk pekerja perusahaan tidak bisa disamakan dengan pekerja di instansi militer, karena berbeda situasi dan kondisi.

KESIMPULAN

Hasil menunjukkan bahwa variabel status pekerjaan (PNS atau tentara) dan variabel jenis golongan (golongan II, III, dan IV) tidak berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan psikologis dasar (dimensi kemandirian, kompetensi dan keterhubungan). Selain itu, juga tidak didapatkan interaksi antara variabel status pekerjaan dengan variabel jenis golongan terhadap

(13)

variabel kebutuhan psikologis dasar. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap pemenuhan kebutuhan psikologis dasar baik dimensi kemandirian, kompetensi, dan keterhubungan antara tentara dan PNS di instansi militer dan berdasarkan golongan.

SARAN

Terdapat beberapa saran yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya, yaitu mengevaluasi kembali alat ukur yang digunakan, karena banyaknya penghapusan item pada alat ukur. Dengan mengevaluasi, alat ukur tidak harus dihapus melainkan diperbaiki agar reliabilitas alat ukur dan hasil lebih menunjukkan apa yang ingin diukur dari partisipan penelitian. Kemudian untuk pengambilan sampel, sebaiknya tidak hanya diperhatikan dari segi tentara atau PNS yang memiliki golongan jabatan II, III, atau IV saja, tetapi perlu diketahui juga jalur masuk profesi yang dilewati pekerja. Sehingga pada profesi dan golongan yang sama setara. Perlu adanya wawancara dan observasi pada tentara dan PNS di instansi militer untuk mengetahui informasi tentang gambaran situasi pekerja di instansi militer, mengingat sulitnya informasi yang dapat diakses secara personal, dan melihat gaya kepemimpinan di tempat kerja yang perlu jadi pertimbangan dalam pengambilan sampel, karena gaya kepemimpinan berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan psikologis pekerja.

DAFTAR PUSTAKA

Aiken, L. R., & Groth-Marnat, G. (2006). Psychological testing and assessment. Boston: Pearson Education.

Allen, Natalie J., & John P, Meyer. (1997). Commitment in the Workplace, Theory,

Reasearch, and Application. UK: Sage Publications.

Anastasia, A. & Urbina, S. (1997). Psychologycal Testing (7th Ed.). Upper Sadle River, NJ: Prentice-Hall International, Inc.

Brown, L. V. (2007). Psychology of Motivation. New York: Nova Publishers.

Damon, W., Lerner, R. M., Renninger, K. A., & Sigel, I. E. (2006). Handbook of Child

Psychology, Child Psychology in Practice. New Jersey: John Wiley & Sons.

Deaux, K., & Snyder, M. (2012). The Oxford Handbook of Personality and Social

(14)

Deci, E. L., & Ryan, R. M. (2008). Self-Determination Theory: Macrotheory of Human Motivation, development, and Health. Canadian Psychology, 182-185.

Deci, E., & Ryan, R. (Eds.), (2002). Handbook of self-determination research. Rochester, NY: University of Rochester Press.

Deci, E. L., Ryan, R. M., Gagne´, M., Leone, D. R., Usunov, J., & Kornazheva, B. P. (2001). Need satisfaction, motivation, and well-being in the work organizations of a former Eastern Bloc country. Personality and Social Psychology Bulletin, 27, 930–942.

Deci, E. L., & Ryan, R. M. (2000). The "What" and "Why" of Goal Pursuits: Human needs and the self-determination of behavior. Psychological Inquiry, 11, 227-268.

Deci, E. L., & Vansteenkiste, M. (2004). Self-determination theory and basic need satisfaction: Understanding human development in positive psychology. Ricerche di

Psicologia, 27, 23-40

Deci, E. L., & Ryan, R. M. (1992). The initiation and regulation of intrinsically motivated learning and achievement. Dalam A. K Boggiano & T. S. Pittman. Achievment and

motivation. New York: Cambridge University Press.

Desela, Finishia. (2013). Hubungan antara pemenuhan kebutuhan dasar psikologis dan

kesejahteraan di tempat kerja pada karyawan penjualan. Depok: Universitas Indonesia.

Evans, P. A. (2009). Psychological Needs and Social-cognitive Influences on Participation in Music Activities. Psychology , 18-89.

Gagné, M., Forest, J., Gilbert, M.-H., Aubé, C., Morin, E., & Malorni, A. (2010). The Motivation at Work Scale: Validation evidence in two languages. Educational and

Psychological Measurement, 70, 628–646.

Gravetter, F. J., & Forzano, L. B. (2009). Research Methods for The Behavioral Sciences. Canada: Thomson Learning, Inc.

Hetland, H., Skogstad, A., Hetland, J. and Mikkelsen, A. (2010), “Leadership and learning climate in a worksetting”, European Psychologist.

Hetland, H., & Hetland, J. (2011). Leadership and fulfillment of the three basic psychological needs at work. Journal of Work and Organizational Psychology , 507-519.King, L. A. (2011). The science of psychology: An appreciative view (2nd ed.). New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Kaplan, R. M. & Sacuzzo. (2005). Psychological Testing: Principles, Application, and Issues. Belmont: Thomson Wadsworth.

King, L. A. (2011). The science of psychology: An appreciative view (2nd ed.). New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.

(15)

Kolonel Kes. Sriyanto, A. (2014, 14 April). Wawancara Kepala Bagian Personil DIPSI AU: Sistem Perekrutan Tentara dan PNS di Instansi Militer serta Isu Kinerja Pegawai di Instansi. (A. F. Wardhani, Pewawancara).

Kumar, R. (2005). Research Methodology: A Step-by-Step Guide for Beginners (2nd ed.). London: SAGE Publication Ltd.

McGregor, G. (2010). Wellbeing in Developing Countries: From Theory to Research. Cambridge: Cambridge University Press.

Meyer, B., Enstrom, m. K., Harstveit, M., Bowles, D. P., & Beevers, C. G. (2007). Happiness and despair on the catwalk: Need satisfaction, well-being, and personality adjusment among fashion models. The Journal of Positive Psychology, 2, 2-17.

Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2002). Overview of self-determination theory: An organismic dialectical perspective. Dalam E. L. Deci & R. M. Ryan, Handbook of self

determination research (pp. 3-33). New York: University of Rochester Press.

Ryan, R. M., & Powelson, C. L. (1991). Autonomy and relatedness as fundamental to motivation and education. The Journal of Experimental Education, 60 (1), 49-66.

Sheldon, K. M., & Niemeic, C. P. (2006). It’s not just the amount that counts: Balanced need satisfaction also affects well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 91, 331-341.

Thogerson-Ntoumani, C., & Ntoumanis, N. (2007). A self-determination theory approach to the study of body image concerns, self-presentation and self-perceptions in a sample of aerobic instructors. Journal of health Psychology, 12, 301-315.

Wei, M., Philip, A. S., Shaffer, A., Young, S. K., & Zakalik, R. A. (2005). Adult attachment, shame, depression, and loneliness: The mediation role of basic psychological needs satisfaction. Journal of Counseling Psychology, 52, 591-601.

Wright, T. A., & Cropanzano, R. (2000). Psychological Weil-Being and Job Satisfaction as Predictors of Job Performance. Journal nf Occupational Health Psychology , 05, 84-94. ____. “Kamus Besar Bahasa Indonesia”. http://kbbi.web.id/ (diakses 16 April 2014)

____. “Peran, Fungsi, dan Tugas”. http://www.tni.mil.id/pages-2-peran-fungsi-dan-tugas.html

(diakses 16 April 2014)

____. “Self Determination Theory”. http://www.selfdeterminationtheory.org/theory (diakses 16 April 2014)

____. (2010, 14 Juni). “PNS TNI Merupakan Komplemen dari Prajurit”. http://tni-au.mil.id/berita/pns-tni-merupakan-komplemen-dari-prajurit (diakses 5 mei 2014)

Referensi

Dokumen terkait

Saat ini, Anggota ASEAN telah bertambah menjadi 10 Negara yaitu Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar dan Kamboja.

Secara keseluruhan otomatisasi sistem manufakturing akan menuju ke arah Computer Integrated Manufacturing Plant yang on-line dimana seluruh kegiatan yang ada didalamnya,

Air cucian beras yang merupakan limbah ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber substrat penghasil nata yang diisebut nata de leri, akan tetapi dalam proses fermentasinya

Tenaga yang digunakan untuk memutar generator berasal dari energi panas hasil pembakaran bahan bakar dengan udara pada ruang bakar (combustor).. Energi panas dari pembakaran

Les femmes enceintes qui n’ont reçu que 3 doses de DTC au cours de la petite enfance doivent recevoir 2 doses d’un vaccin contenant de l’anatoxine téta- nique espacées d’au moins

Agar permohonan penyelidikan yang diajukan pihak berkepentingan dapat ditindaklanjuti dengan penyelidikan oleh Komite, maka permohonan tersebut harus dilengkapi dengan

Kelompok bahan makanan serta sandang mengalami penurunan indeks harga masing-masing sebesar 0,22 persen dan 0,05 persen, sementara pada periode yang sama kelompok