• Tidak ada hasil yang ditemukan

DASAR-DASAR ILMU. Ilmu dan filsafat memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaan tersebut antara lain:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DASAR-DASAR ILMU. Ilmu dan filsafat memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaan tersebut antara lain:"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

DASAR-DASAR ILMU

Mencari suatu kebenaran tidaklah mudah. Bukan berarti suatu kebenaran itu tidak dapat dicari. Tetapi menuju sesuatu yang konkret dan riil membutuhkan suatu pemikiran yang dewasa untuk menghadapi hambatan-hambatan dalam pencarian suatu kebenaran, seperti halnya seorang ilmuwan yang sedang melakukan eksperimen untuk tujuan mendapatkan hasil atau mendapatkan suatu jawaban dari permasalahan yang telah dirumuskan.Jawaban tesebut berawal dari hipotesis-hipotesis yang masih menjadi pertimbangan hingga akhir eksperimen. Ketika seluruh kegiatan eksperimen dilaksanakan, barulah akan muncul hasil yang bisa menjawab perumusan masalah. Namun tidak selalu eksperimen berhasil dalam satu kali kegiatan. Eksperimen yang tidak berhasil akan diulang sampai beberapa kali untuk mencapai keberhasilan, sehingga semua perumusan masalah yang memiliki hipotesa dapat terjawab. Dari sini dapat dilihat bahwa suatu kebenaran itu tidak didapat melalui sekali pembuktian, tetapi memerlukan pemikiran dan logika yang matang sehingga suatu maksud yang dicari dapat ditemukan jawaban yang konkret dan riil. Seperti filsafat, ilmu yang mempelajari tentang suatu kebenaran.

Filsafat bukanlah ilmu yang terisolasi dari disiplin ilmu yang lain. Menjadi filosof tidaklah semata-mata merenungkan segala sesuatu di suatu tempat. Filosof juga beorientasi kepada kenyataan-kenyataan yang realistis, fenomena yang ada didalam kesemestaan hidup manusia. Filsafat bukanlah sesuatu yang steril, sesuatu yang suci dari persoalan-persoalan dalam arena kehidupan. Filsafat justru mencari jawaban atas rahasia-rahasia yang ada didalam kehidupan manusia. Tujuannya untuk menemukan kebenaran yang memuaskan tuntutan rohaniah manusia. Karena berfilsafat adalah aktivitas pikir murni, jadi merupakan fungsi rohaniah. Bagi manusia pada perkembangan dan tingkat kematangan tertentu, kecenderungan berfilsafat akan nampak. Dan dorongan ini tak terlepas dari keseluruhan anta aksi social didalam kehidupan manusia.

Ilmu filsafat dibutuhkan untuk mencari hakikat atau kebenaran sesuatu. Berfilsafat diumpamakan seseorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang, dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kemestaan galaksi (Jujun, 2003:20). Maka diperlukanlah suatu pengetahuan yang mengarah pada keinginan seseorang dalam menemukan suatu kebenaran dalam dirinya. Disini akan dijelaskan mengenai dasar-dasar yang akan menelusuri filsafat dalam kajian keilmuan yang meliputi epistimologi yang berarti cara, ontologi yang berarti hakikat, dan aksiologi yang berarti nilai atau guna.

2.1 Hubungan Ilmu dengan Filsafat

Dasar manusia mencari dan menggali ilmu pengetahuan bersumber pada tiga pertanyaan. Sedangkan filsafat mempelajari masalah ini sedalam-dalamnya dan hasil pengkajianya merupakan dasar bagi eksistensi ilmu. Ketiga pertanyaan tersebut beserta jawabannya antara lain: Apa yang ingin kita ketahui? Pertanyaan ini merupakan dasar pembahasan dalam filsafat dan biasa disebut dengan Ontologi; bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan? Pertanyaan kedua ini merupakan dasar lain dari filsafat yang disebut dengan Epistimologi; dan apakah nilai atau manfaat dari pengetahuan tersebut bagi kita? Pertanyaan terakhir ini merupakan landasan lain dari filsafat yang disebut dengan Aksiologi. Ketiga hal ini merupakan landasan bagi filsafat dalam membedah setiap jawaban dan seterusnya membawa kepada hakikat buah pemikiran tersebut. Hal ini juga berlaku untuk ilmu pengetahuan, kita mempelajari ilmu ditinjau dari titik tolak yang sama untuk mendapatkan gambaran yang sedalam-dalamnya.

Ilmu dan filsafat memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaan tersebut antara lain:

(2)

1. Filsafat dan ilmu, keduanya menggunakan metode berpikir reflektif (reflective thinking) dalam menghadapi fakta-fakta dunia dan hidup.

2. Keduanya tertarik terhadap pengetahuan yang terorganisasi dan tersusun secara sistematis.

3. Ilmu membantu filsafat dalam mengembangkan sejumlah bahan-bahan deskriptif dan faktual serta esensial bagi pemikiran filsafat.

4. Ilmu mengoreksi filsafat dengan jalan menghilangkan sejumlah ide-ide yang bertentangan dengan pengetahuan ilmiah.

Filsafat merangkum pengetahuan yang terpotong-potong, yang menjadikan beraneka macam ilmu yang berbeda, serta menyusun bahan-bahan tersebut kedalam suatu pandangan tentang hidup dan dunia yang menyeluruh dan terpadu.

Sedangkan perbedaannya adalah:

1. Ilmu bersifat analisis dan hanya menggarap salah satu pengetahuan sebagai objek formalnya. Filsafat bersifat pengetahuan sinopsis, artinya melihat segala sesuatu dengan menekankan secara keseluruhan, karena keseluruhan memiliki sifat tersendiri yang tidak ada pada bagian-bagiannya.

2. Ilmu bersifat deskriptif tentang objeknya agar dapat menemukan fakta-fakta, netral dalam arti tidak memihak pada etnik tertentu. Filsafat tidak hanya menggambarkan sesuatu, melainkan membantu manusia untuk mengambil putusan-putusan tentang tujuan dan nilai dari tentang apa yang harus diperbuat manusia. Filsafat tidak netral, karena faktor-faktor subjektif memegang peranan yang penting dalam berfilsafat.

3. Ilmu mengawali kerjanya dengan bertolak dari suatu asumsi yang tidak perlu diuji, sudah diakui dan diyakini kebenarannya. Filsafat bisa merenungkan kembali asumsi-asumsi yang telah ada untuk dikaji ulang tentang kebenaran asumsi.

Ilmu menggunakan eksperimentasi terkontrol sebagai metode yang khas. Verifikasi terhadap teori dilakukan dengan jalan menguji dalam praktik berdasarkan metode-metode ilmu yang empiris. Selain menghasilkan suatu konsep atau teori, filsafat juga menggunakan hasil-hasil ilmu, dilakukan dengan menggunakan akal pikiran yang didasarkan pada semua pengalaman insani, sehingga dengan demikian filsafat dapat menelaah yang tidak dicarikan penyelesaianya oleh ilmu.

2.2 Pngertian dan Jenis-Jenis Dasar-Dasar Keilmuan

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (Depdikbud 1988), ilmu memiliki dua pengertian, yaitu:

1. Ilmu diartikan sebagai suatu pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerapkan gejala-gejala tertentu dibidang (pengetahuan) tersebut, seperti ilmu hukum, ilmu pendidikan, ilmu ekonomi dan sebagainya.

2. Ilmu diartikan sebagai pengetahuan atau kepandaian, tentang soal duniawi, akhirat, lahir, bathin, dan sebagainya, seperti ilmu akhirat, ilmu akhlak, ilmu bathin, ilmu sihir, dan sebagainya.

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun secara sistematis, dengan menggunakan metode-metode tertentu.

Ilmu memiliki karakteristik, Ernest van den Haag (Harsojo, 1977) mengemukakan ciri-ciri ilmu, yaitu:

1. Bersifat rasional, karena hasil dari proses berpikir dengan menggunakan akal (rasio).

2. Bersifat empiris, karena ilmu diperoleh dari dan sekitar pengalaman oleh panca indera.

(3)

4. Bersifat akumulatif, hasil ilmu dapat dipergunakan untuk dijadikan objek penelitian selanjutnya.

Ada dua jenis ilmu menurut Aristoteles.Ilmu diklasifikasikan berdasarkan tujuan dan objeknya. Berdasarkan tujuan ilmu dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu:

1. Ilmu-ilmu teoritis yang penyelidikannya bertujuan memperoleh pengetahuan tentang kenyataan.

2. Ilmu-ilmu praktis atau produktif yang penyelidikannya bertujuan menjelaskan perbuatan yang berdasarkan pada pengetahuan.

Filsafat terdiri atas tiga cabang besar yang membentuk suatu dasar-dasar keilmuan, yaitu: ontologi, epistimologi, dan aksiologi. Ketiga cabang tersebut merupakan suatu kesatuan. Ontologi membicarakan hakikat, yaitu berupa pengetahuan tentang segala sesuatu yang meliputi: logika, metafisika, kosmologi, teologi, antropologi, etika, estetika, filsafat pendidikan, filsafat hukum, dan lain-lain. Epistimologi merupakan cara untuk memperoleh pengetahuan itu, sedangkan aksiologi membicarakan tentang nilai atau guna dari pengetahuan itu. Untuk itu disini akan dibahas mengenai keilmuan dalam ketiga cabang tersebut.

2.3 Ontologi Keilmuan

Objek filsafat adalah sesuatu, meliputi kesemestaan. Jangkauan filsafat yang amat luas dan tak terbatas obyeknya itu, perlu adanya pembidangan untuk intensifikasi penyelidikan. Pembidangan atau sistematika filsafat yang pertama ialah Ontologi.

Pengertian ontologi, menurut Amsal Bakhtiar menyimpulkan sebagai berikut: 1. Menurut bahasa, ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu On/Ontos yang berarti

ada, dan Logos yang berartiilmu. Jadi ontologi adalah ilmu tentang yang ada. 2. Menurut istilah, ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada,

yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk jasmani (kongkret) maupun rohani (abstrak).

Ontologi kadang-kadang disamakan dengan metafisika. Metafisika ini disebut juga sebagai prote-filosofia atau filsafat pertama. Sebelum manusia menyelidiki yang lain, manusia manusia berusaha mengerti hakikat sesuatu. Manusia dalam antaraksinya dengan semesta raya, melahirkan pertanyaan-pertanyaan filosofis. Apakah sesungguhnya hakikat realita yang ada ini. Apakah realita yang menampak ini suatu realita materi saja. Ataukah ada sesuatu dibalik realita itu, suatu “rahasia” alam. Apakah wujud semesta ini bersifat tetap, kekal tanpa perubahan. Ataukah hakikat semesta ini adalah perubahan semata-mata. Apakah realita ini terbentuk atas satu unsur (monoisme), atau dua unsur (dualisme). Ataukah lebih dari dua unsur, yakni serba banyak (pluralisme).

Dalam pemahaman ontologi, ditemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran sebagai berikut:

1. Monoisme, paham ini menganggap bahwa hakikat yang berasal dari keseluruhan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa rohani. Istilah monoisme oleh Thomas Davidson disebut dengan block universe. Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran:

a. Materialisme, aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Aliran yang sering juga disebut dengan naturalisme beranggapan bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta. Yang ada hanyalah materi, yang lainnya jiwa dan ruh bukan merupakan suatu kenyataan yang berdiri sendiri. Jiwa dan ruh itu hanyalah merupakan akibat dari proses gerakan kebenaran dengan salah satu cara tertentu.

(4)

Dalam perkembangannya, sebagai aliran yang paling tua, paham ini timbul tenggelam seiring roda kehidupan manusia yang selalu diwarnai oleh filsafat dan agama. Alasan mengapa aliran ini dapat berkembang, sehingga memperkuat dugaan bahwa yang merupakan hakikat adalah:

- Pada pikiran yang masih sederhana, apa yang kelihatan yang dapat diraba, biasanya dijadikan kebenaran terakhir.

- Penemuan-penemuan menunjukkan betapa bergantungnya jiwa pada badan. Oleh sebab itu, peristiwa jiwa selalu dilihat sebagai peristiwa jasmani.

- Dalam sejarahnya, manusia memang bergantung pada benda seperti padi. b. Idealisme, idealisme diambil dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam

jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh atau sejenisnya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Alasan aliran ini yang menyatakan bahwa hakikat benda adalah ruhani, spirit dan sebagainya adalah:

- Nilai ruh lebih tinggi dari badandan materi bagi kehidupan manusia. Ruh itu dianggap sebagai hakikat sebenarnya.

- Manusia lebih dapat memahami dirinya daripada dunia luar dirinya. - Materi adalah kumpulan energi yang menempati ruang. Benda tidak ada,

yang ada energi itu saja.

2. Dualisme, aliran ini memandang bahwa hakikat itu ada dua. Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruh. Materi bukan berasal dari ruh, dan ruh bukan berasal dari benda. Keduanya sama-sama hakikat.

3. Pluralisme, paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas.

4. Nihilisme, nihilisme berasal dari bahasa latin yang berarti tidak ada. Doktrin tentang nihilisme sudah ada sejak zaman Yunani Kuno, yaitu pada pandangan Gorgias yang memberikan tiga proposisi tentang realitas, yaitu:

- Tidak ada sesuatupun yang eksis. Realitas itu sebenarnya tidak ada. - Bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui.

- Sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.

5. Agnostisisme, paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda, baik itu hakikat materi maupun hakikat rohani. Kata agnostisisme berasal dari bahasa Grik Agnostos yang berarti unknown. Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara kongkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal. Aliran ini dengan tegas menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat transcendent. Jadi agnostisisme adalah paham pengingkaran atau penyangkalan terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat benda baik materi maupun rohani.

Dalam bidang keilmuan, pandangan ontologi ini secara praktis akan menjadi masalah utama terutama di dalam pendidikan. Sebab, anak bergaul dengan dunia lingkungannya dan mempunyai dorongan yang kuat untuk mengerti sesuatu. Anak-anak, baik masyarakat maupun di sekolah selalu menghadapi realita, obyek pengalaman yang meliputi: benda mati, benda hidup, sub-human, dan human.

(5)

Bagaimana asas-asas pandangan religius tentang adanya makhluk-makhluk hidup yang berakhir dengan kematian dapat dimengerti. Begitu pula realita semesta dan eksistensi manusia yang memiliki jasmani dan rokhani. Bahkan bagaimana sebenarnya eksistensi Tuhan Maha Pencipta.

Memang bukanlah kewajiban sekolah atau pendidikan semata-mata membimbing pengertian anak-anak untuk memahami realita dunia yang nyata ini. Kewajiban sekolah juga untuk membina kesadaran tentang kebenaran yang berpangkal atas realita itu tadi.Ini berarti realita itu sebagai tahap pertama, sebagai stimulus untuk menyelami kebenaran. Anak-anak secara sistematis wajib dibina potensi berpikir kritis untuk mengerti kebenaran itu. Mereka harus mampu mengerti perubahan-perubahan di dalam lingkungan hidupnya, baik tentang adat istiadat, tentang tata sosial dan pola-pola masyarakat, maupun tentang nilai-nilai moral dan hukum. Daya pikir yang kritis akan sangat membantu pengertian tersebut. Kewajiban pendidikan melalui latar belakang ontologis ini ialah membina daya pikir yang tinggi dan kritis itu.

2.4 Epistimologi Keilmuan

Epistimologi merupakan cabang filsafat yang bersangkut paut dengan teori pengetahuan. Istilah epistimologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu episteme yang berarti pengetahuan atau kebenaran dan logos yang berarti kata, pikiran, teori atau ilmu. Dengan demikian epistimologi berarti teori atau filsafat tentang pengetahuan. Istilah ini dalam bahasa Inggris dikenal dengan sebutan “theory of knowledge” (teori pengetahaun). Epistimologi adalah bidang studi filsafat yang mempersoalkan tentang pengetahuan yang meliputi antara lain: bagaimana memperoleh pengetahuan, sifat hakikat pengetahuan dan kebenaran pengetahuan. Dari persoalan-persoalan yang dikemukakan oleh epistimologi itu terkandung nilai, yaitu berupa jalan atau metode penyelidikan ke arah tercapainya pengetahuan yang benar. Dengan kata lain bahwa secara umum, epistimologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu. Ilmu sebagai proses adalah usaha pemikiran yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek. Dalam rumusan yang lebih rinci disebutkan bahwa epistimologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mengkaji secara mendalam dan radikal tentang asal mula pengetahuan, struktur, metode dan validasi pengetahuan. Jadi, pernyataan mengenai apakah obyek kajian ilmu itu dan seberapa jauh tingkat kebenaran yang bisa dicapainya serta kebenaran obyektif, subyektif absolut dan relatif merupakan lingkup dan medan kajian epistimologi.

Secara tradisional, yang menjadi pokok persoalan epistimologi adalah: sumber, asal mula dan sifat dasar pengetahuan; bidang, batas dan jangkauan pengetahuan; serta validasi dan rehabilitas dari berbagai klaim terhadap pengetahuan. Oleh sebab itu, rangkaian pertanyaan yang biasa diajukan untuk mendalami permasalahan yang dipersoalkan di dalam epistimologi adalah: apakah pengetahuan itu? Apakah yang menjadi sumber dan dasar pengetahuan? Apakah pengetahuan itu berasal dari pengamatan, pengalaman atau akal budi? Dan apakah pengetahuan itu kebenaran yang pasti atau hanya merupakan dugaan?

Epistimologi atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Pengetahuan yang diperoleh manusia melalui akal, indera, dan lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, di antaranya adalah:

1. Metode Induktif. Induksi adalah suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan-pernyataan yang lebih umum.

(6)

2. Metode Deduktif. Deduksi adalah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal yang harus ada dalam metode deduktif adalah adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Ada penyelidikan bentuk logis teori itu dengan tujuan apakah teori itu bersifat empiris atau ilmiah, ada perbandingan dengan teori-teori lain dan ada pengujian teori dengan jalan menerapkan secara empiris kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari teori tersebut.

3. Metode Positivisme. Metode yang dikeluarkan oleh August Comte ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, dan yang positif. Ia mengenyampingkan segala uraian atau persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu, metode ini menolak metafisika. Apa yang diketahui secara positif, adalah segala yang tampak dan segala gejala.

4. Metode Kontemplatif. Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun akan berbeda-beda harusnya dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi.

5. Metode Dialektis. Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat. Kini, dialektika berarti tahap logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan. Dalam kehidupan sehari-hari, dialektika berarti kecakapan untuk melakukan perdebatan. Dalam teori pengetahuan, ini merupakan bentuk pemikiran yang tidak tersusun dari satu pikiran, tetapi pemikiran itu seperti dalam percakapan, bertolak paling kurang dua kutub.

Jika dikatakan seseorang mengetahui sesuatu, berarti dia telah memiliki pengetahuan tentang sesuatu itu. Dengan demikian pengetahuan adalah suatu kata yang digunakan untuk menunjuk kepada apa yang diketahui oleh seseorang. Pengetahuan senantiasa memiliki subyek, yaitu yang mengetahui dan obyek, yaitu sesuatu yang diketahui. Pengetahuan juga bertautan erat dengan kebenaran, karena demi mencapai kebenaranlah maka pengetahuan itu eksis. Kebenaran adalah kesesuaian antara pengetahuan dengan obyeknya. Ketidaksesuaian pengetahuan dengan obyeknya disebut kekeliruan. Suatu obyek yang ingin diketahui senantiasa memiliki begitu banyak aspek yang amat sulit diungkapkan secara serentak. Kenyataannya, manusia hanya mengetahui beberapa aspek dari suatu obyek itu, sedangkan yang lainnya tetap tersembunyi baginya. Dengan demikian jelas bahwa amat sulit untuk mencpai kebenaran yang lengkap dari obyek tertentu, apalagi mencapai seluruh kebenaran dari segala sesuatu yang dapat dijadikan obyek pengetahuan.

Menurut Jan Hendrik Rapar (1996:38) bahwa pengetahuan itu dapat dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu:

1. Pengetahuan biasa (ordinary knowledge). Ini terdiri dari “nir-ilmiah” dan “pra-ilmiah”. Pengetahuan nir-ilmiah adalah hasil penyerapan dengan indera terhadap obyek tertentu yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan termasuk pula pengetahuan intuituf. Pengetahuan pra-ilmiah merupakan hasil penyerapan inderawi dan pengetahuan yang merupakan hasil pemikiran rasional yang tersedia untuk diuji lebih lanjut kebenarannya dengan menggunakan metode-metode ilmiah.

2. Pengetahuan ilmiah (scientific knowledge), pengetahuan yang diperoleh lewat penggunaan metode-metode ilmiah yang lebih menjamin kepastian kebenaran yang dicapai. Inilah pengetahuan yang sering disebut sains (science).

(7)

3. Pengetahuan filsafat (philosophical knowledge), yang diperoleh lewat pemikiran rasional yang didasarkan pada pemahaman, penafsiran, spekulasi, penilaian kritis serta pemikiran-pemikiran yang logis, analitis dan sistematis. Pengetahuan filsafat ini berkaitan dengan hakikat, prinsip dan asas seluruh realitas yang dipersoalkan selaku obyek yang hendak dicapai atau diketahui.

Proses terjadinya pengetahuan menjadi masalah mendasar dalam epistimologi, sebab hal ini akan mewarnai pemikiran kefilsafatan. Pandangan yang sederhana dalam memikirkan proses terjadinya pengetahuan, yaitu dalam sifatnya baik yang apriori maupun aporteriori. Pengetahuan apriori adalah pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau melalui pengalaman, baik pengalaman indera maupun pengalaman bathin. Sedangkan pengetahuan aporteriori adalah pengetahuan yang terjadi karena adanya pengalaman. Dalam mengetahui sesuatu diperlukan alat-alat, seperti pengalaman indera (sense experience), nalar (reason), otoritas (othority), intuisi (intuition), wahyu (revelation) dan keyakinan (faith).

Apakah sebenarnya yang menjadi sumber pengetahuan? Dalam hal ini para filsuf memberi jawaban yang berbeda. Plato, Descartes, Baruch Spinoza dan Leibniz mengatakan bahwa sumber pengetahuan adalah akal budi (ratio), bahkan ada yang secara ekstrim mengemukakan bahwa akal budi adalah satu-satunya sumber dari pengetahuan. Para filsuf yang mendewakan akal budi itu berpendapat bahwa setiap keyakinan atau pandangan yang bertentangan dengan akal budi tidak mungkin benar. Bagi mereka pikiran memiliki fungsi sangat penting dalam proses mengetahui.

Pengetahuan didapat dari pengamatan. Dalam pengamatan inderawi tidak dapat ditetapkan apa yang subyektif dan apa yang obyektif. Jika kesan-kesan subyektif dianggap sebagai kebenaran maka hal itu mengakibatkan adanya gambaran-gambaran yang kacau di dalam imajinasi. Segala pengetahuan dimulai dengan gambaran-gambaran inderawi, kemudian ditingkatkan hingga sampai kepada yang lebih tinggi, yaitu pengetahuan rasional dan pengetahuan intuitif. Dalam pengetahun rasional orang hanya mengambil kesimpulan-kesimpulan, sedang dalam intuisi orang memandang kepada ide-ide yang berkaitan dengan Tuhan. Demikian pendapat Baruch Spinoza. Hal ini berbeda dengan pendapat Thomas Hobbes (1588-1679), salah seorang tokoh emperisme, yang mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh karena pengalaman. Menurutnya pengalaman adalah awal segala pengetahuan, segala ilmu pengetahuan diturunkan dari pengalaman dan hanya pengalamanlah yang memberi jaminan akan kepastian. Yang disebut pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas segala pengamatan yang disimpan dalam ingatan dan digabungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan, sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa lampau. Pengalaman inderawi terjadi karena gerak benda-benda diluar kita menyebabkan adanya suatu gerak di dalam indera kita. Gerak itu diteruskan kepada otak, dari otak dilanjutkan ke jantung. Di dalam jantung timbul suatu reaksi, suatu gerak dalam jurusan yang sebaliknya. Pengamatan yang sebenarnya terjadi pada awal gerak reaksi tadi.

2.5 Aksiologi Keilmuan

Secara etimologis, aksiologi berasal dari perkataan Yunani “axios” yang berarti nilai dan ”logos” yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai.Menurut Suriasumatri, aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari ilmu pengetahuan yang diperoleh.Ilmu sebagai dimensi masyarakat menunjukan adanya kelompok elit yang dalam kehidupannya sangat mendambakan inpertives, yakni universalisme, komunalisme desinterestedness, dan skeptisme yang teratur.

(8)

Dalam aspek aksiologi, tujuan dasarnya adalahmenemukan kebenaran atas fakta “yang ada” atau sedapat mungkin ada kepastian kebenaran ilmiah. Contohnya, ada Ilmu Mekanika Tanah dikatakan bahwa kadar air tanah mempengaruhi tingkat kepadatan tanah tersebut. Setelah dilakukan pengujian laboratorium dengan simulasi berbagai variasi kadar air ternyata terbukti bahwa teori tersebut benar.

Amsal bakhtiar telah mengutip beberapa pendapat ahli mengenai definisi aksiologi dan menyimpulkan bahwa dalam aksiologi, permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.

Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada dua permasalahan, yaitu nilai etika dan nilai estetika.

1. Etika

Etika sebagai cabang filsafat disebut juga filsafat moral. Secara etimologis etika berasal dari kata Yunani ethos yang berarti watak, sedang moral berasal dari kata latin mos (tunggal), mores (jamak) yang bararti kebiasaan atau kesusilaan. Dalam sejarah filsafat Barat, etika adalah cabang filsafat yang sangat berpengaruh sejak jaman Sokrates(470-399 SM). Etika membahas baik dan buruk atau benar tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban - kewajiban manusia.

Makna “etika” dipakai dalam dua bentuk arti. Pertama, etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Kedua, etika merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia yang lain.

Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia. Dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normatif, yaitu kondisi yang melibatkan norma-norma.

2. Estetika

Estetika sebagai cabang filsafat juga disebut filsafat keindahan. Secara etimologi estetika bersal dari kata Yunani aisthetika yang berarti hal-hal yang dicerap dengan indra atau aisthesis yang berarti cerapan indra. Kalau etika digambarkan sebai teori tentang baik dan jahat, maka estetika digambarkan sebagai kajian filsafati tentang keindahan dan kejelekan.Istilah estetika diperkenalkan oleh seorang filsuf Jerman Alexander Gottlieb Baumgarten lewat karyanya Reflections on Poetry. Baumgarten mengembangkan filsafat estetika yang didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan tentang keindahan lewat karyanya yang berjudul Aesthetica Acromatika(1750- 1758).

Estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya. Menurut Kattsoff (2004), estetika merupakan suatu teori yang meliputi: penyelidikan mengenai yang indah, penyelidikan mengenai prinsip-prinsip yang mendasari seni, dan pengalaman yang bertalian dengan seni, termasuk di dalamnya masalah penciptaan seni, penilaian terhadap seni dan perenungan terhadap seni.

Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan,aksiologi disamakan dengan Value and Valuation. Ada tiga bentuk Value and Valuation, antara lain:

a. Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik, dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakupi sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran.

(9)

b. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai yang dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai. Seperti nilainya, nilai dia dan sistem nilai dia.

c. Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, dan nilai. Menilai umumnya bersinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif digunakan untuk menilai perbuatan.

Dari definisi definisi mengenai aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang di maksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.

KESIMPULAN

Suatu kebenaran itu tidak didapat melalui sekali pembuktian, tetapi memerlukan pemikiran dan logika yang matang sehingga suatu maksud yang dicari dapat ditemukan jawaban yang konkret dan riil. Seperti filsafat, ilmu yang mempelajari tentang suatu kebenaran.

Dapat disimpulkan beberapa jawaban dari rumusan permasalahan yang telah dirangkum dalam makalah ini, antara lain:

a. Filsafat memiliki hubungan dengan ilmu. Filsafat merangkum pengetahuan yang terpotong-potong, yang menjadikan beraneka macam ilmu yang berbeda, serta menyusun bahan-bahan tersebut kedalam suatu pandangan tentang hidup dan dunia yang menyeluruh dan terpadu. Selain menghasilkan suatu konsep atau teori, filsafat juga menggunakan hasil-hasil ilmu, dilakukan dengan menggunakan akal pikiran yang didasarkan pada semua pengalaman insani, sehingga dengan demikian filsafat dapat menelaah yang tidak dicarikan penyelesaianya oleh ilmu.

b. Filsafat terdiri atas tiga cabang besar yang membentuk suatu dasar-dasar keilmuan, yaitu: ontologi, epistimologi, dan aksiologi. Ketiga cabang tersebut merupakan suatu kesatuan. Ontologi membicarakan hakikat, yaitu berupa pengetahuan tentang segala sesuatu yang meliputi: logika, metafisika, kosmologi, teologi, antropologi, etika, estetika, filsafat pendidikan, filsafat hukum, dan lain-lain. Epistimologi merupakan cara untuk memperoleh pengetahuan itu, sedangkan aksiologi membicarakan tentang nilai atau guna dari pengetahuan itu.

c. Menurut bahasa, ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu on/ontos yang berarti ada, dan logos yang berartiilmu. Jadi ontologi adalah ilmu tentang yang ada. Sedangkan menurut istilah, ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, baik yang berbentuk jasmani maupun rohani. Dalam pemahaman ontologi, ditemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran yang meliputi pemahaman: monoisme, dualisme, pluralisme, nihilism, dan agnostisisme.

d. Epistimologi merupakan cabang filsafat yang bersangkut paut dengan teori pengetahuan. Istilah epistimologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu episteme yang berarti pengetahuan atau kebenaran dan logos yang berarti kata, pikiran, teori atau ilmu. Dengan demikian, epistimologi berarti teori atau filsafat yang mempersoalkan tentang pengetahuan yang meliputi antara lain: bagaimana memperoleh pengetahuan, sifat hakikat pengetahuan dan kebenaran pengetahuan. Dari persoalan-persoalan yang dikemukakan oleh epistimologi itu terkandung nilai, yaitu berupa jalan atau metode penyelidikan ke arah tercapainya pengetahuan yang benar.

e. Secara etimologis, aksiologi berasal dari perkataan Yunani axios yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Nilai yang di maksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang

(10)

apa yang dinilai. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada dua permasalahan, yaitu nilai etika dan nilai estetika.

DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Ikhwan, Afiful. 2012. Makalah dan Artikel “Aksiologi”.

http://afifulikhwan.blogspot.com/2012_10_01_archive.html (online), diakses 1 April 2013.

Nurhariyanti, Dwi C. Epistemologi : Pengetahuan, Metode Ilmiah, Struktur Pengetahuan Ilmu.

http://dwicitranurhariyanti.wordpress.com/filsafat-ilmu/epistemologi-pengetahuan-metode-ilmiah-struktur-pengetahuan- ilmu/ (online), diakses 1 April 2013.

Salwinsah. 2011. Ontologi Ilmu. http://salwintt.wordpress.com/artikel/kisah-islami/ontologi-ilmu/ (online), diakses 15 April 2013.

Surajiyo. 2007. Filsafat Ilmu Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: bumi aksara.

Syam, M. Noor. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional Surabaya.

Yusrizalfirzal. 2011. Dasar-Dasar Ilmu.

http://yusrizalfirzal.wordpress.com/2011/12/30/dasar-dasar-ilmu/ (online), diakses 1 April 2013.

___________

Danik Agustin Elistyaningrum

(Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu dengan dosen Afid Burhanuddin, M.Pd.)

Referensi

Dokumen terkait

Antropologi berasal bahasa Yunani, yaitu antrophos, yang berarti orang atau manusia, dan logos berarti ilmu. Jadi antropologi adalah suatu i1mu yang membahas tentang manusia dan

Istilah aksiologi berasal dari bahasa Yunani, axios yang bermakna nilai, dan logos yang.

Istilah ontology berasal dari bahasa Yunani, ont yang bermakna keberadaan, dan logos yang bermakna teori, sedangkan dalam bahasa latin disebut ontologia, sehingga

Kata kredit berasal dari kata Yunani “Credere” yang berarti kepercayaan, atau berasal dari Bahasa Latin “Creditum” yang berarti kepercayaan akan kebenaran

Pengertian fonologi adalah bagian tata bahasa atau bidang ilmu bahasa yang menganalisis bunyi bahasa secara umum. Istilah fonologi, yang berasal dari gabungan kata yunani phone

Sosiologi merupakan sebuah istilah yang berasal dari kata latin socius yang artinya teman, dan logos dari kata Yunani yang berarti cerita, diungkapkan pertama kalinya dalam buku

Sosiologi (1839) yang berasal dari kata latin socius yang berarti “kawan” dan kata yunani logos yang berarti “kata” atau “berbicara”. Pitirim Sorokin 3

Secara etimologi, istilah metode berasal dari bahasa Yunani “Metadhos”. Kata ini berasal dari dua suku kata yaitu metha yang berarti melalui dan hodhos berarti jalan atau cara.