• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengantar yang filsafat pendidikan Fix

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengantar yang filsafat pendidikan Fix"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

Hidup tanpa filsafat memang bisa berjalan. Tidak berfilsafat tidak akan membuat manusia mati, sebagaimana banyak makhluk hidup, seperti berbagai jenis hewan yang bertahan hidup dan masih bisa memperpanjang kelangsungan spesiesnya. Untuk membuat hidup terus jelas, filsafat tak begitu dibutuhkan. Akan tetapi, untuk hidup terus berjalan lebih baik dan manusia menempati suatu kehidupan yang harus diatur, direncanakan dan dihiasi oleh pemahaman tentang alam dan hubungan antara sesama manusia, mungkin filsafat sangat dibutuhkan.

Filsafat diperlukan ketika kita ingin mendapat satu pemahaman rasional dan menyeluruh mengenai dunia yang kita diami ini, dan untuk proses-proses dasar yang bekerja di alam, masyarakat, dan cara kita untuk memandangnya. Maka, persoalannya akan jadi lain. Jadi filsafat dipahami untuk memahami kehidupan, alam, dan hubungan-hubungan di dalamnya. Juga memahami bagaimana manusia berpikir dan mendapatkan pengetahuan. Seperti yang dikatakan Socrates “hidup yang tak dipikirkan adalah hidup yang tak pantas dijalani”.

Dalam kehidupan manusia dari zaman ke zaman, atau dalam kehidupan manusia dari berbagai kelompok sosial yang berbeda, berbagai cara pandang filsafat juga muncul, sesuai dengan perkembangan sosial kelompok masing-masing. Kita melihat negara-negara atau kawasan yang berbeda perkembangan budayanya dengan ditunjukkan oleh tingkat capaian teknologinya, juga akan menunjukan perbedaan cara pandangnya. Tak terkecuali dalam dunia pendidikan.

(2)

B. Rumusan masalah

Sesuai yang telah dibahas sebelumnya dalam latar belakang, maka penentuan rumusan masalah yang menjadi rujukan literasi adalah sebagai berikut:

1. Apakah pengertian filsafat yang didasarkan menurut para ahli? 2. Bagaimana model-model atau cara berpikir filsafat yang sedang ada

saat ini?

3. Apakah misi dan tindakan yang mencerminkan filsafat?

4. Bagaimanakah dengan ruang lingkup dari lapanngan filsafat itu sendiri dilihat dari metafisika, epistemologi dan aksiologi?

C. Tujuan penelitian

Dengan adanya makalah ini maka penulis berharap:

1. Mahasiswa atau pembaca dapat mengetahui ruang lingkup dan cara pandang dunia filsafat

(3)

BAB II PEMBAHASAN A. PENGERTIAN FILSAFAT

Hatta mengemukakan pengertian filsafat itu lebih baik tidak dibicarakan lebih dulu (Hatta, 1966. Dalam ahmad tafsir, 2013: 9). Nanti, bila orang telah banyak membaca atau mempelajari filsafat, orang itu akan mengerti dengan sendirinya apa itu filsafat menurut konotasi yang ditangkapnya. Langeveld juga berpendapat setelah orang berfilsafat sendiri, barulah ia maklum apa filsafat. Dan makin ia berfilsafat, akan makin mengerti ia apa filsafat itu (Langeveld, 1961 dalam Ahmad Tafsir, 2013:9).

Pendapat Hatta dan Langeveld itu benar. Akan tetapi, untuk menyesuaikan isi bab dengan tujuannya akan dicoba juga membahas tentang pengertian filsafat. Kata “filsafat” berasal dari bahasa yunani kuno, yaitu dari kata “philos” dan “shopia”. Philos artinya cinta yang sangat mendalam, dan shopia artinya kearifan atau kebijakan. Jadi, arti filsafat secara harfiah adalah cinta yang sangat mendalam terhadap kearifan atau kebijakan. Istilah filsafat sering dipergunakan secara populer dalam kehidupan sehari-hari, baik secara sadar maupun tidak. Dalam penggunaan secara populer, filsafat dapat diartikan sebagai suatu pendirian hidup (individu), dan dapat juga disebut pandangan hidup (masyarakat). Secara populer misalnya kita sering mendengar “ saya tidak suka terhadap filsafat anda tentang bisnis”, “pancasila merupakan satu-satunya falsafah hidup bangsa Indonesia”. Henderson (melalui Uyoh. 2012:16) mengemukakan “ populary, philosophy means one’ general view of life of women, of ideals, and of values, n the sense everyone has a philosophy of life”.

(4)

cita-cita dan kultur masyarakat tertentu. Seperti halnya Karl Marx dan Federick Engels telah menciptakan komunisme, thomas Jefferson dan Jhon Stuart Mill telah mengembangkan suatu teori yang dianut dalam masyarakat demokratis. Jhon Dewey adalah peletak dasar kehidupan dasar pragmatis Amerika.

Filsafat dapat dipelajari secara akademis, artinya sebagai pandangan kritis yang sangat mendalam sampai keakar-akarnya (radix) mengenai segala sesuatu yang ada (wujud). “ philosophy means the attempt to conceive and present inclusive and systematic view of universe and man’s in it” (Henderson, melalui Uyoh. 2012). Demikian Henderson mengatakan. Filsafat mencoba mengajukan suatu konsep tentang alam semesta secara sistematis dan inklusif darimana manusia berada didalamnya. Oleh karena itu, filosof lebih sering menggunakan intelegensi yang tinggi dibandingkan dengan ahli sains dalam memecahkan masalah-masalah hidupnya.

Filsafat dapat diartikan juga sebagai “ berpikir reflektif dan kritis “ (reflektif and critical thinking). Namun Randall dan Buchler (1942, melalui Uyoh. 2012) memberikan krtitik terhadap pengertian tersebut, dengan mengemukakan bahwa definisi tersebut tidak memuaskan karena beberapa alasan yaitu: 1) tidak menunjukkan karakteristik yang berbeda antara berpikir filosofi dengan fungsi-fungsi kebudayaan dan sejarah, 2) para ilmuwan juga berpikir reflektif dan kritis, padahal antara sains dan filsafat berbeda, 3) ahli hukum, ahli ekonomi juga ibu rumah tangga sewaktu-waktu berpikir reflektif dan kritis, padahal mereka bukan filosof atau ilmuwan.

(5)

Pada bagian lain Harold Titus mengemukakan makna filsafat yaitu: 1. Filsafat adalah suatu sikap tentang hidup dan alam semesta

2. Filsafat adalah suatu metode berpikir reflektif dan penelitian penalaran 3. Filsafat adalah seperangkat teori dan sistem berpikir

4. Filsafat adalah suatu perangkat masalah-masalah

Berfilsafat merupakan salah satu kegiatan manusia peran yang penting dalm menentukan dan menemukan eksistensinya. Dalam kegiatan ini manusia akan berusaha untuk mencapai kearifan dan kebajikan, kearifan merupakan buah yang dihasilkan filsafat dan usaha mencapai hubungan-hubungan antara berbagai pengetahuan dan menentukan implikasinya baik yang tersurat maupun yang tersirat dalam kehidupan.

Berfilsafat berarti berpikir, tetapi tidak semua berpikir dapat dikategorikan berfilsafat. Berpikiran yang dikategorikan berfilsafah adalah apabila berpikir tersebut mengandung tiga ciri, yaitu radikal, sistematis dan universal. Seperti dijelaskan oleh Sidi Gazalba (1973: 43 melalui Uyoh. 2012).

Berpikir radikal, berpikir sampai keakar-akarnya, tidak tanggung-tanggung, sampai pada konsekuensi yang terakhir. Berpikir itu tidak separuh-separuh. Tidak berhenti di jalan, tetapi terus mengalir keujungnya. Berpikir sistematis adalah berpikir logis yang bergerak selangkah demi selangkah dengan penuh kesadaran dengan urutan yang bertanggung jawab dan saling berhubungan dengan teratur. Berpikir universal tidak berpikir khusus, yang hanya terbatas kepada bagian-bagian tertentu , melainkan mencakup keseluruhan.

Berfilsafat adalah berpikir dengan sadar, yang mengandung pengertian secara teliti dan teratur, sesuai dengan aturan dan hukum hukum berpikir yang berlaku. Berpikir filosofi harus dapat menyerap secara keseluruhan apa yang ada pada alam semesta, tidak sepotong-potong.

B. MODEL-MODEL FILSAFAT

(6)

dapat dibedakan menjadi tiga model yaitu filsafat spekulatif, filsafat preskriptif dan filsafat analitik.

1. Filsafat spekulatif

Filsafat spekulatif adalah cara berpikir sistematis tentang segala yang ada. Mengapa mereka menggunakan cara berpikir demikian? Mengapa mereka tidak mencari kandungan yang tersurat, seperti ahli sains mempelajari aspek khusus realita? Jawabannya adalah bahwa jiwa manusia ingin melihat segala sesuatu sebagai gejala keseluruhan. Mereka ini memahami bagaimana menemukan totalitas yang bermakna dari realitas yang berbeda dan beraneka ragam.

Filsafat spekulatif tergolong filsafat tradisional. Dalam hal ini filsafat dianggap sebagai suatu bangunan pengetahuan (body of knowledge). Filsafat yunani kuno, seperti filsafat Socrates, Plato, Aristoteles dan filsafat yang lainya. Dapat dijadikan paradigma bagi seluruh filsafat spekulatif. Filsafat spekulatif merenungkan secara rasional spekualitf seluruh persoalan manusia dalam hubungannya dengan segala yang ada dijagat raya ini.filsafat spekulatif memiliki rasa kebebasan untuk membicarakan apa saja yang ia sukai. Mereka berasumsi bahwa manusia memiliki kekuatan intelektual yang sangat tinggi, sehingga Aristoteles sendiri mengemukakan bahwa manusia merupakan: animal rationale. Dengan penalaran intelektualnya, mereka berusaha membangun suatu pemikiran tentang manusia dan masyarakat.

(7)

tidak sampai pada pembicaraan supranatural. Pada dasarnya, Dewey berpikir spekulatif, walaupun pada akhirnya ia berpandangan eksperimental.

Filsafat spekulatif mencari keteraturan dan keseluruhan yang diterapkan, bukan pada suatu item pengalaman khusus, melainkan kepada semua pengalaman dan pengetahuan. Singkatnya, filsafat spekulatif adalah suatu upaya mencari dan menemukan hubungan dalam keseluruhan alam berpikir dan keseluruhan pengalaman.

2. Filsafat preskriptif

Filsafat preskriptif berusaha untuk menghasilkan suatu ukuran (standard) penilaian tentang nilai-nilai, penilaian tentang perbuatan manusia dan penilaian tentang seni. Filsafat preskriptif menguji apa yang disebut baik dan jahat, benar dan salah, bagus dan jelek. Ia menyatakan bahwa nilai dari suatu benda pada dasarnya inheren dalam dirinya, atau hanya merupakan suatu gambaran dari pikiran manusia.

Bagi ahli psikologi eksperimen keanekaragaman perbuatan manusia secara moral bukan baik dan juga bukan jahat, melainkan merupakan suatu bentuk sederhana dari tingkah laku yang dipelajari secara empiris. Bagi pendidik dan ahli filsafat preskriptif menilai sesuatu ada yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat, Ahli preskriptif berusaha menemukan dan mengajarkan prinsip-prinsip perbuatan yang bermanfaat dan mengapa harus demikian. Jadi, filsafat preskriptif, memberi resep tentang perbuatan atau perilaku manusia yang bermanfaat.

3. Filsafat analitik

(8)

satunya fungsi filsafat. Para filsuf analitik seperti G.E Moore, Bertand Russell, G. Ryle, dan yang lainnya berpendapat bahwa tujuan filsafat adalah menyingkirkan kekaburan-kekaburan dengan cara menjelaskan arti istilah atau ungkapan yang dipakai dalam ilmu pengetahuan dan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka berpendirian bahwa bahasa merupakan laboratorium para filsuf, yaitu tempat menyemai dan mengembangkan ide-ide. Menurut Wittgenstein tanpa penggunaan logika bahasa, pernyataan-pernyataan akan tidak bermakna.

a. Analitik linguistik

Pendekatan analitik linguistik memusatkan perhatianya pada analisis bahasa, kata-kata, istilah-istilah dan pengertian-pengertian dalam bahasa. Dengan pendekatan analitik akan menguji suatu ide atau gagasan, seperti: istilah/ide kebebasan akademik, hak asasi manusia, demokrasi, potensi anak dan sebagainya. Menurut pendekatan analitik linguistik gagasan/ide tersebut memiliki makna yang berbeda dalam konteks berlainan. Pendekatan ini lebih bertujuan mengklarifikasi bahasa dan pemikiran yang ada daripada membuat pendapat-pendapat yang baru tentang hakikat kenyataan.

Pendekatan analitik linguistik akan menjelaskan pernyataan-pernyataan spekulatif dan preskriptif. Misalnya menguji rasionalitas yang berkaitan dengan ide-ide atau gagasan-gagasan pendidikan dan menguji bagaimana konsistensinya dengan gagasan lain.

(9)

Amerika dan Inggris. Di daratan Eropa pada umumnya masih berlaku pendekatan spekulatif.

b. Analitik positivistik logis

Model analitik positivistik logis dikenal dengan neopositivisme dikembangkan oleh Bertrand Russel yang berakar dan meneruskan filsafat posotivime dari Conte yang merupakan peletak dasar pendekatan kuantitatif dalam pengembangan ilmu (science). Dengan meletakan matematika sebagai dasar bagi semua cabang ilmu. Di atas matematika secara berurutan ia tunjukkan astronomi, fisika, kimia dan biologi dengan penyediaan dana dan fasilitas dalam skala prioritas utama.

Menurut Kunto Wibisono (1997 melalui Uyoh, 2012) Positivisme merupakan suatu model dalam pengembangan ilmu pengetahuan (knowledge) yang di dalam langkah kerjanya menempuh jalan melalui observasi, eksperimentasi, dan komparasi sebagaimana diterapkan dalam ilmu kealaman, dan model ini dikembangkan dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial. Positivisme menggunakan presisi, verifiabilitas, konfirmasi dan eksperimentasi dengan derajat optimal, dengan maksud agar sejauh mungkin dapat melakukan prediksi dengan derajat ketepatan optimal pula. Dengan demikian keberhasilan dan kebenaran ilmiah diukur secara positivistik, dalam arti yang benar dan yang nyata haruslah konkret, akurat dan memberi kemanfaatan. Yang nyata haruslah konkret, eksak, akurat dan memberi kemanfaatan.

(10)

Implikasi dalam pengembangan ilmu pendidikan, bagi positivisme tidak mengenal ilmu pendidikan (satu ilmu yang utuh), namun yang ada adalah ilmu-ilmu pendidikan, seperti psikologi pendidikan, sosiologi pendidikan, antropologi pendidikan, administrasi pendidikan, pengukuran pendidikan dan sebagainya. Ilmu-ilmu tersebut merupakan aplikasi dari ilmu-ilmu murni sebagai mana ilmu dasarnya.

Positivisme merupakan model pendekatan ilmiah kuantitatif dalam keilmuan, para penganutnya menyebut dirinya berparadigma ilmiah (scientific paradigm). Hal ini ditunjukan dari beberapa hal (Moleong dalam Uyoh. 2012)

 Teknik yang digunakan kuantitatif yang mendasarkan diri pada  Kriteria kualitasnya bersifat “rigor” (kaku) yaitu harus memenuhi

prinsip validitas eksternal-internal, reliabilitas, dan obyektivitas. Berdasarkan kriteria kualitas ini membawa konsekuensi kepada penyusunan desain yang bagus untuk suatu eksperimen.

 Persoalan kualitasnya menunjuk “dapatkah X menyebabkan Y?”  Lebih pada pengetahuan proporsional yaitu dalam bentuk hipotesis  Pendiriannya adlah reduksionis, yaitu menyempitkan penelitian

pada fokus yang relatif kecil dengan formulasi hipotesis dan hipotesis ini diuji secara empirik

 Maksudnya untuk menemukan pengetahuan melalui verifikasi hipotesis yang dispesifikasi secara apriori.

Kritik terhadap positivisme disampaikan oleh Lincoln dan Guba (1985) 1) Positivisme menghasilkan penelitian dengan responden manusia,

namun kurang mengindahkan kemanusiaan. Hal ini dapat dikatakan bahwa pendekatan positivisme tidak memiliki implikasi etis.

2) Positivisme kurang berhasil menggarap formulasi empiris dan konseptual dari berbagai bidang ilmu (terutama ilmu sosial dan humaniora)

(11)

a) Asumsi ontologis tentang terjadinya realitas tunggal yang dapat dipecah-pecah dan dapat diselidiki secara terpisah

b) Asumsi epistemologis tentang kemungkinan tentang kemungkinan terpisahnya pengamat dari yang diamati

c) Asumsi tentang keterpisahan observasi secara temporal dan kontekstual, sehingga yang benar pada suatu waktu dan tempat, benar juga pada waktu dan tempat yang lain.

d) Asumsi hubungan kausal yang linier, yang satu merupakan sebab dan yang lain merupakan akibat

e) Asumsi aksiologis tentang bebas nilai, yakni metodologi menjamin bahwa hasil-hasil suatu penilaian secara esensial bebas dari pengaruh sistem nilai.

Model apapun dalam pendekatan filosofis semua penting. Kebanyakan ahli pikir sepakat bahwa semua model diatas bermanfaat dalam mengkaji segala sesuatu. Spekulatif tanpa analitik hanya merupakan cita-cita yang muluk (utopis), tidak relevan dengan dunia realitas. Sebaliknya analitik tanpa spekulatif akan kecil, kerdil, steril tidak akan memiliki makna hakiki. Spekulatif dan analitik tanpa preskriptif akan kering dalam nilai, yang merupakan inti dalam kehidupan manusia.

C. MISI FILSAFAT

Para filosof berusaha menemukan masalah-masalah yang penting bagi manusia, baik langsung maupun tidak langsung. Melalui pengujian yang kritis, filosof mencoba mengevakuasi informasi-informasi dan kepercayaan yang kita miliki tenatang alam semesta serta kesibukan dunia manusia, filosof mencoba membuat generalisasi, sistematisasi, dan gambaran-gambaran yang konsisten tentang semua hal yang ia ketahui dan ia pikirkan.

(12)

 Filosof yang yang menjadi pemimpin/imam gereja, seperti St. Agustinus, Berkeley, yang mencoba memberikan sudut pandang filsafatnya dari agama.  Filosof berasal dari bidang ilmuan (sains), seperti Rene Descartes yang

mencoba menafsirkan arti pentingnya berbagai teori dan penemuan ilmiah.  Filosof dengan maksud mempengaruhi perubahan tertentu dalam organisasi

politik dalam kehidupan masyarakat seperti Jhon Locke, Thomas Hobbes, Karl Marx dan yang lainnya.

 Filosof Djamaludin Al-afghany dan Mohammad Iqbal membawa perubahan besar dalam sistem pemikiran islam. Pemikiran Iqbal banyak memberikan andil dalam pembentukan negara pakistan yang memisahkan diri dari India. Dari sudut pekerjaanya, kita dapat melihat bahwa diantara mereka ada yang menjadi guru (guru besar), seperti Thomas Aquino pada zaman Scholastik. Jhon Dewey seorang guru besar di Universitas Colombia. Al-Ghazali sebagai guru besar di Nizamiyah Bagdhad. Ada yang menjadi tabib (dokter medis) seperti Ibnu Sina, seorang filosof muslim yang mendapat pengukuhan sebagai bapak kedokteran Dunia oleh UNISCO. Kemudian ada yang sebagai penulis surat kabar, seperti Jhon Stuart Mill. Ia pernah menjadi anggota parlemen sedangkan filosof terkemuka banyak berprofesi sebagai ilmuwan atau ahli matematika, seperti Immanuel Kant, Bertrand Russel, Einsten. Ada juga filosof sebagai seorang sastrawan seperti Mohammad Iqbal dari Pakistan.

Tanpa melihat tujuan, pekerjaan, latar belakang sosialnya, para filosof telah menyumbangkan sesuatu keyakinan mengenai pentingnya pengujian dan analisis yang kritis terhadap pendangan-pandangan manusia, baik yang bersumber dari pengalaman sehari-hari, berdasarkan penemuan ilmiah, maupun yang berasal dari kepercayaan ajaran agama. Titus (1959 melalui Uyoh. 2012) mengemukakan bahwa terdapat tiga tugas utama filsafat, yaitu:

a) Mendapatkan pandangan yang menyeluruh

(13)

Filsafat mencoba memadukan hasil-hasil dari berbagai sains yang berbeda kedalam pandangan dunia yang konsisten. Filosof cenderung tidak menjadi spesialis seperti para ilmuwan. Ia menganalis benda-benda atau masalah-masalah dengan suatu pandangan yang menyeluruh.

Filsafat tertarik terhadap aspek-aspek kuantitatif segala sesuatu, terutama berkaitan dengan makna dan nilai-nilainya. Filsafat menolak untuk mengabaikan setiap aspek yang otentik dari pengalaman manusia. Hidup mendorong kita untuk menentukan pilihan dan bertindak berdasarkan skala nilai. Filsafat berusaha memformulasikan makna dan nilai dalam cara yang paling dapat diterima akal. Filsafat mencoba mencari dan menemukan kebenaran dengan pengujian secara kritis (critical) terhadap asumsi-asumsi, konsep-konsep, dan semua lapangan sains.

D. LAPANGAN FILSAFAT

Filsafat merupakan usaha berfikir manusia secara sistematis. Disini kita perlu mensistematiskan segala sesuatu yang ada. Kita perlu mengklarifikasikan segala sesuatu yang ada.

Al-Syaibani (1979 melalui Uyoh. 2012) mendefinisikan filsafat sebagai usaha mencari yang hak mengenai kebenaran, atau usaha untuk mengetahui sesuatu yang terwujud, atau usaha untuk mengetahui tentang nilai segala sesuatau yang mengelilingi manusia dalam alam semesta ini. Kehidupan, manusia dan pencipta alam semesta, sifat-sifat dan nilai-nilai kemanusiaan. Filsafat membahas tiga persoalan pokok, yaitu masalah wujud, masalah pengetahuan dan masalah nilai.

Selanjutnya butler (1957 melalui Uyoh. 2012) mengemukakan beberapa persoalan yang dibahas dalam filsafat, yaitu:

1. Metafisika, membahas: teologi, kosmologi dan antropologi

2. Epistemologi, membahas: hakikat pengetahuan, sumber pengetahuan dan metode pengetahuan.

(14)

Selanjutnya uraian berikut ini akan menjelaskan ketiga persoalan yang menjadi lapangan kajian filsafat.

1. Metafisika

Secara etimologi, metafisika berasal dari bahasa yunani kuno yang terdiri dari dua kata, “meta” dan “fisika” meta berarti sesudah, dibelakang atau melampaui dan fisika berarti alam nyata. Metafisika merupakan cabang filsafat yang mempersoalkan tentang hakikat yang tersimpul dibelakang dunia fenomena. Metafisika melampaui pengalaman objeknya diluar hal yang dapat ditangkap pancaindera.

Metafisika berhubungan dengan penjelasan hakikat dari realitas se-rasioanal dan se- komprehensif mungkin. Apakah realitas? Siapa tuhan? Apakah takdir/ siapa manusia? Ini merupakan pertanyaan-pertanyaan metafisika. Pertanyaan-pertanyaan metafisika seperti ini adalah jantung dari filsafat pendidikan

Metafisika dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu:

a. Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang berwujud dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab akibat yaitu ada manusia, ada alam, dan ada kuasa prima dalam suatu hubungan yang menyeluruh, teratur, dan tertib dalam keharmonisan (Suparlan Suhartono:2007). Dengan kata lain, ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu yang berwujud (yang ada) dengan berdasarkan pada logika semata.

(15)

Metafisika mempelajari manusia atau diluar fisiknya dan diluar gejala-gejala yang dialami manusia dan mencoba mengkaji secara mendalam.

2. Epistemologi

Istilah epistemologi berasal dari bahasa yunani kuno, dengan asal kata “episteme” yang berarti pengetahuan dan “logos” yang berarti teori. Secara etimologi, epistemologi berarti teori pengetahuan. Epistemologi merupakan cabang filsafat yang membahas atau mengkaji tentang asal, struktur, metode, serta keabsahan pengetahuan. Menurut Langeveld (1961melalui Uyoh. 2012) epistemologi membicarakan hakikat pengetahuan, unsur-unsur dan susunan berbagai jenis pengetahuan, pangkal, tumpuanya yang fundamental, metode-metode dan batasan-batasannya.

a. Jenis-jenis pengetahuan

1) Pengetahuan wahyu (revealed knowledge)

Manusia memperoleh pengetahuan dan kebenaran atas dasar wahyu yang diberikan tuhan kepada manusia. Tuhan telah memberikan pengetahuan dan kebenaran kepada manusia pilihanya, yang dapat dijadikan petunjuk bagi manusia dalam kehidupanya.

2) Pengetahuan intuitive (intuitive knowledge)

Pengetahuan yang diperoleh manusia dari dalam dirinya sendiri, pada saat menghayati sesuatu. Pengetahuan intuitif disusun dan diterima dengan kekuatan visi imaginatif dalam pengalaman pribadi seseorang. Seperti karya penulis besar Shakespeare.

3) Pengetahuan rasional (rational Knowledge)

(16)

paradigma pengetahuan rasional, kebenarannya dapat ditunjukkan dengan pemikiran yang abstrak.

4) Pengetahuan empiris (empirical knowledge)

Pengetahuan empiris diperoleh atas bukti penginderaan, dengan penglihatan, pendengaran dan sentuhan indera-indera lainya, sehingga kita memiliki konsep dunia disekitar kita. Paradigma pengetahuan empiris adalah sains, dimana hipotesis-hipotesis sains di uji dengan observasi dan eksperimen.

5) Pengetahuan otoritas (authoritative knowledge)

Penerimaan suatu pengetahuan itu benar bukan karena telah mengeceknya diluar diri kita, melainkan telah dijamin oleh otoritas (suatu sumber yang berwibawa, memiliki wewenang, berhak) di lapangan.

b. Teori pengetahuan

Ada beberapa teori yang dapat dijadikan acuan untuk menentukan apakah pengetahuan itu benar atau salah, yaitu:

1) Teori korespondensi (correspondence theory)

Kebenaran merupakan persesuaian antara fakta dan situasi nyata. Kebenaran merupakan persesuaian antara pernyataan dalam pikiran dengan situasi lingkungannya. Kebenaran pengetahuan dapat diperoleh karena bersesuaian dengan pendapat orang lain sebelumnya atau karena diterima oleh banyak orang, melainkan karena bersesuaian dengan kenyataan sebenarnya.

2) Teori koherensi (coherence theory)

(17)

pendapat/pikiran kita dengan pengetahuan yang telah dimiliki. Teori ini pada umumnya diakui oleh golongan idealis.

Pengertian persesuian dalam teori ini berarti terdapat konsistensi (ketepatan, sehingga teori ini disebut juga teori konsistensi) yang merupakan ciri logis hubungan antara pikiran-pikiran (ide-ide) yang telah kita miliki satu dengan yang lain.

3) Teori pragmatisme (pragmatism theory)

Shiller, pengikut pragmatisme di inggris, mengemukakan bahwa kebenaran merupakan suatu bentuk nilai, artinya apabila kita menyatakan benar terhdap sesuatu, berarti kita memberikan penilaian terhadapnya. Istilah benar adalah sesuatu pernyataan yang berguna, sedangkan istilah salah adalah sesuatu yang tidak berguna. Seseorang menyatakan bahwa pendapatnya benar, karena telah memenuhi kepentingannya.

Menurut pragmatisme, kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis atau tidak. Artinya, pernyataan itu dikatakan benar kalau memiliki kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Suatu teori, pendapat atau hipotesis dikaatakan benar apabila menghasilkan jalan keluar dalam praktik, atau membuahkan hasil-hasil yang memuaskan.

3. Aksiologi

(18)

Mengenai hakikat nilai, teori voluntarisme mengatakan nilai adalah suatu pemuasan terhadap keinginan maupun kemauan. Menurut formalisme, nilai adalah kemauan yang bijaksana yang didasarkan pada akar rasional.

Tipe nilai dapat dibedakan antara nilai intrinsik dan nilai instrumental. Nilai intrinsik merupakan nilai akhir yang menjadi tujuan, sedangkan nilai instrumental adalah sebagai alat untuk mencapai nilai instrinsik.

Yang dimaksud dengan kriteria nilai adalah sesuatu yang menjadi ukuran dari nilai tersebut, bagaimana yang dikatakan baik dan bagaimana nilai yang dikatakan tidak baik.

Yang dimaksud status metafisik adalah nilai adalah bagaimana hubungan nilai-nilai tersebut dengan realitas. Dalam hal ini Dagobert Runes (1963 melalui Uyoh. 2012) mengemukaan jawaban, menurut subjektivisme, nilai itu berdiri sendiri, namun bergantung dan berhubungan dengan pengalaman manusia.menurut objektivisme logis, nilai itu suatu wujud, suatu kehidupan yang logis tidak terkait pada kehidupan yang dikenalnya namun tidak memiliki status dan gerak didalam kenyataan. Menurut objektivisme metafisik, nilai adalah suatu yang lengkap, objektif dan merupakan bagian aktif dari realitas metafisik.

a. Karakteristik nilai

Ada beberapa karakteristik yang berkaitan dengan teori nilai, yaitu: 1) Nilai objektif atau subjektif

Nilai itu objektif jika tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai, sebaliknya, nilai itu subjektif jika eksistensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun fisik.

2) Nilai absolut atau berubah

(19)

masa, serta akan berlaku bagi siapapun tanpa memperhatikan ras, maupun kelas sosial.

b. Nilai tingkatan (hierarki)

Terdapat beberapa pandangan yang berkaitan dengan nilai, yaitu

Kaum idealis berpandangan secara pasti terhadap tingkatan nilai, dimana nilai spiritual lebih tinggi daripada nilai non spiritual (material).

Kaum realis berpandangan bahwa nilai rasional dan empiris pada tingkatan atas, sebab membantu manusia menemukan realitas objektif, hukum-hukum alam, aturan-aturan berpikir logis.

Kaum pragmatis menolak tingkatan secara pasti. Menurut mereka suatu aktivitas dikatakan baik seperti lainnya, apabila memuaskan kebutuhan yang penting, dan memiliki nilai instrumental.

c. Jenis-jenis nilai

Aksiologi sebagai cabang filsafat dapat kita bedakan menjadi: 1. Etika

(20)

sebagainya, menjelaskan tujuan yang hendak dicapai manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan yang diperbuat.

Jadi etika merupakan cabang filsafat atau filsafat moral yang membicarakan perbuatan manusia. Cara memandangnya dari sudut baik dan tidak baik. etika merupakan filsafat tentang perilaku manusia.

2. Estetika

Estetika merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan kreasi seni dengan pengalaman-pengalaman kita yang berhubungan dengan seni. Kadang-kadang filsafat estetika diartikan dengan filsafat seni, tetapi kadang pula prinsip-prinsip yang berhubungan denga estetika dinyatakan sebagai hakikat keindahan.

Randall dan Buchler (1942 melalui Uyoh. 2012) mengemukakan bahwa ada tiga interpretasi tentang hakekat seni, yaitu:

a. Seni sebagai penebusan (penetasi) terhadap realitas, selain pengalaman. b. Seni sebagai alat untuk kesenangan hidup

(21)

BAB III KESIMPULAN

Filsafat merupakan kegiatan berpikir manusia yang berusaha mencapai kebaikan dan kearifan dengan secara reflektif dan kritis. Filsafat berusaha merenungkan dan membuat garis-garis besar dari masalah yang rumit dari pengalaman manusia. Model filsafat yang dibagi kedalam tiga yaitu spekulatif, preskriptif dan analitik merupakan model yang saling melengkapi dalam mengkaji fenomena masalah manusia yang dapat membawa kajian secara mendalam dan meluas.

Titus mengemukakan terdapat tiga misi utama yang relevan yaitu mendapatkan pandangan yang menyeluruh, mengemukakan makna dan nilai-nilai, menganalisis dan memadukan kritik terhadap konsep-konsep.

(22)

DAFTAR PUSTAKA

Rudi, Siswoyo. 2012. “makalah filsafat pendidikan” diunduh pada tanggal 22 februari 2015 dari

http://rudisiswoyoalfatih.blogspot.com/2012/02/makalah-flsafat-pendidikan-tentang_05.html

Sadulloh, Uyoh. 2012. Pengantar filsafat pendidikan. Bandung: Alfabeta

Referensi

Dokumen terkait

Demokrasi secara etimologis berasal dari bahasa yunani “Demokratia” yang dibagi dalam dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti

Istilah Helenisme adalah istilah modern yang diambil dari bahasa Yunani kuno hellenizein yang berarti “berbicara atau berkelakuan seperti orang Yunani” (to speak or

Istilah epistemologi berasal dari bahasa yunani, episteme yang bermakna pengetahuanan, dan logos yang bermakna ilmu atau eksplansi, sehingga epistemologi berarti teori

Secara etimologis kurikulum berasal dari bahasa yunani, yaitu curir yang artinya pelari dan curere yang berarti berpacu. Jadi istilah kurikulum pada awal berhubungan

Secara etimologis, kata Semantis berasal dari bahasa Yunani, yaitu “Semantikos” yang memiliki arti penting; berarti, yang diturunkan dari semainen yang berarti

Secara etimologis Ortopedagogik berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari tiga buah kata, yaitu pertama kata orto, yang berasal dari kata orthos yang berarti lurus, baik,

Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang berdasar

Secara etimologi, istilah empiris berasal dari bahasa Yunani Kuno empeiria dan diterjemahkan ke dalam bahasa Latin experientia yang darinya muncul kata experience dan experient yang