• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A.Tinjauan Pustaka 1. Tinjauan Anak Kesulitan Belajar Matematika

a. Pengertian Anak Kesulitan Belajar

Kesulitan belajar merupakan sebutan yang diperuntukkan bagi anak maupun orang dewasa yang mengalami kesulitan ataupun hambatan dalam belajarnya. Sedangkan seseorang yang mengalami kesulitan pada mata pelajaran tertentu biasanya kelompok mata pelajaran yang serumpun termasuk dalam kesulitan belajar spesifik.

Hammill (1981) dalam Subini (2011: 14) mengemukakan bahwa: Kesulitan belajar adalah beragam bentuk kesulitan yang nyata dalam aktivitas mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, menulis, menalar, dan/atau berhitung. Gangguan tersebut berupa gangguan intrinsik yang diduga karena adanya disfungsi sistem saraf pusat. Kesulitan belajar bisa terjadi bersamaan dengan gangguan lain (misalnya gangguan sensoris, hambatan sosial, dan emosional) dan pengaruh lingkungan (misalnya perbedaan budaya atau proses pembelajaran yang tidak sesuai). Gangguan-gangguan eksternal tersebut tidak menjadi faktor penyebab kondisi kesulitan belajar, walaupun menjadi faktor yang memperburuk kondisi kesulitan belajar yang sudah ada.

Sedangkan menurut ACCALD (Association Committee for Children and Adult Learning Disabilities) dalam Subini (2011:14) menyatakan bahwa:

Kesulitan belajar khusus adalah suatu kondisi kronis yang diduga bersumber dari masalah neurologis, yang mengganggu perkembangan kemampuan mengintegrasikan dan kemampuan bahasa verbal atau nonverbal. Individu berkesulitan belajar memiliki inteligensi tergolong rata-rata atau di atas rata-rata dan memiliki cukup kesempatan untuk belajar. Mereka tidak memiliki gangguan sistem sensoris.

Definisi kesulitan belajar yang lebih dikenal dengan Public Law (PL) yang dikutip oleh Hallahan, Kauffman , dan Lioyd (1985) dalam Abdurrahman (2003: 5) mengatakan bahwa:

(2)

Kesulitan belajar spesifik adalah suatu gangguan dalam satu atau lebih dari proses psikologis dasar yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa ujaran atau tulisan. Gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk kesulitan mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja, atau berhitung. Batasan tersebut mencakup kondisi-kondisi seperti gangguan perseptual, luka pada otak, disleksia dan afasia perkembangan. Batasan tersebut tidak mencakup anak-anak yang yang memiliki problema belajar yang penyebab utamanya berasal dari adanya hambatan dalam pengelihatan, pendengara, atau motorik, hambatan karena tunagrahita, karena gangguan emosional, atau karena kemiskinan lingkungan, budaya, atau ekonomi.

Sedangkan menurut Irham dan Wiyani (2013:2 54), “Kesulitan belajar merupakan sebuah permasalahan yang menyebabkan seorang siswa tidak dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik seperti siswa lain pada umumnya yang disebabkan faktor-faktor tertentu sehingga ia terlambat atau bahkan tidak dapat mencapai tujuan belajar dengan baik sesuai dengan yang diharapkan”.

Secara garis besar kesulitan belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, (1) kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan (developmental learning disabilities) dan (2) kesulitan belajar akademik (akademic learning disabilities). Kesulitan belajar akademik menunjuk pada adanya kegagalan-kegagalan pencapaian prestasi akademik yang sesuai dengan kapasitas yang diharapkan. Kegagalan-kegagalan tersebut mencakup penguasaan keterampilan dalam membaca, menulis, dan atau matematika.

Dari beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa anak kesulitan belajar adalah anak yang mengalami hambatan dalam dalam belajar, yang ditandai dengan hasil belajar yang rendah pada pelajaran-pelajaran tertentu. Hambatan tersebut mungkin disadari atau tidak disadari oleh yang bersangkutan, tidak hanya anak yang memiliki kemampuan dibawah rata-rata saja yang bisa mengalaminya, tetapi anak yang memiliki kemampuan diatas rata-rata juga bisa mengalaminya.

(3)

b. Faktor Penyebab Kesulitan Belajar

Subini (2011, 15-40) mengemukakan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan kesulitan belajar pada anak, yaitu faktor internal (daya ingat rendah, terganggunya alat-alat indera, usia anak, kecerdasan,jenis kelamin, kebiasaan belajar/rutinitas, tingkat kecerdasan/inteligensi, minat, emosi/perasaan, motivasi/cita-cita, sikap dan perilaku, konsentrasi belajar, kemampuan unjuk hasil belajar, rasa percaya diri, kematangan atau kesiapan, serta kelelahan) dan faktor eksternal (faktor keluarga (cara mendidik anak, relasi antaranggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orangtua, latar belakang kebudayaan), faktor sekolah (guru, metode mengajar, instrumen/fasilitas, kurikulum sekolah, relasi guru dengan anak, relasi antaranak, disiplin sekolah, pelajaran dan waktu, standar pelajaran, kebijakan penilaian, keadaan gedung, tugas rumah), faktor masyarakat (kegiatan anak dalam masyarakat, teman bergaul, bentuk kehidupan dalam masyarakat)).

Selain itu, Irham dan Wiyani (2013) juga mengemukakan bahwa faktor-faktor penyebab kesulitan belajar pada siswa dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor eksternal.

1. Faktor internal yang dapat menyebabkan kesulitan belajar bagi siswa antara lain, kemampuan intelektual, perasaan dan kepercayaan diri, motivasi, kematangan untuk belajar, usia jenis kelamin, kebiasaan belajar, kemampuan mengingat, serta kemampuan mengindera seperti melilhat, mendengarkan, membau dan merasakan.

2. Faktor eksternal, yang dapat menyebabkan kesulitan belajar bagi siswa dapat berupa guru, kualitas pembelajaran, instrumen dan fasilitas pembelajaran (hardware dan software), serta lingkungan sosial dan alam.

(4)

c. Anak Berkesulitan Belajar Matematika

1) Pengertian Anak Berkesulitan Belajar Matematika

Anak yang mengalami gangguan dalam menyelesaikan masalah matematika disebut diskalkulia. Lerner (1988) dalam Abdurahman (2003:224) mengemukakan istilah diskalkulia memiliki konotasi medis, yang memandang adanya keterkaitan dengan gangguan sistem saraf pusat. Selain itu Subini (2011:65) menyatakan bahwa Dyscalculia learning adalah kesulitan dalam menggunakan bahasa simbol utuk berpikir, mencatat, dan mengkomunikasikan ide-ide yang berkaitan dengan jumlah atau kuantitas.

Sedangkan Sudha (2014: 913) mengemukakan bahwa, “Dyscalculia is difficulty in learning or comprehendending arithmetic such as difficulty in understanding numbers, learning how to manipulate numbers, and learning math’s facts”, maksud dari pernyataan tersebut adalah diskalkulia merupakan kesulitan dalam belajar atau memahami aritmatika seperti kesulitan dalam memahami angka, belajar bagaimana untuk memanipulasi angka, dan belajar fakta matematika.

Kesulitan belajar matematika atau diskalkulia menurut Suharmini (2005) dalam Ayuningtyas (2016: 2), adalah kesulitan belajar matematika yang dialami oleh peserta didik yang menunjukkan prestasi yang rendah namun tidak bodoh, memiliki intelegensi normal sehingga peserta didik harus segera mendapat penanganan supaya potensi yang dimiliki dapat berkembang lebih optimal

Dari beberapa pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa anak kesulitan belajar matematika adalah anak yang mengalami gangguan dalam menyelesaikan masalah matematika, dalam menyelesaikan masalah matematika mereka membutuhkan metode khusus dan waktu lebih.

(5)

2) Karakteristik Anak Berkesulitan Belajar Matematika

Lerner (1981) dalam Abdurahman (2003: 224) mengemukakan bahwa, “Karakteristik anak kesulitan belajar matematika yaitu (1) adanya gangguan dalam hubungan keruangan, (2) abnormalitas persepsi visual, (3) asosiasi visual-motor, (4) perseverasi, (5) kesulitan mengenal dan memahami simbol, (6) gangguan penghayatan tubuh, (7) kesulitan dalam bahasa dan membaca, dan (8) sekor performance IQ jauh lebih rendah daripada sekor Verbal IQ”.

Anak-anak kesulitan belajar matematika memiliki ciri-ciri diantaranya, sulit melakukan hitungan matematis, sulit melakukan proses-proses matematis dan kemampuan berbahasa yang kurang (Ayuningtyas,2016).

Suparno (2006: 56) mengemukakan bahwa, “beberapa karakteristik yang terkait dengan kesulitan belajar matematika atau diskalkulia adalah (1) kesulitan proses informasi, (2) kelemahan kemampuan membaca dan berbahasa, (3) kecemasan dalam berhitung seperti sulit membedakan tanda-tanda dan sulit mengoperasikan hitungan”.

Dijelaskan pula dalam DSM IV untuk mendiagnosis apakah anak mengalami kesulitan belajar spesifik dalam matematika, ada 3 kriteria pokok yaitu: (1) intelegensi normal atau tinggi, umur, kemampuan matematika dibandingkan dengan standar tes tidak sesuai tigkatannya, (2) mengalami gangguan dalam melakasanakan tugas-tugas matematika sesuai dengan umur dan tingkat kelasnya, sehingga prestasi di bidang matematika menjadi rendah, dan (3) kesulitan belajar di bidang matematika ini disebabkan karena kondisi sensory deficit secara medis karena gangguan neurology (Suharmini, 2005)

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa anak kesulitan belajar mengalami kesulitan dalam hal perhitungan, pendengaran dan pengelihatan (tidak mampu mengasosiasikan tertulis dengan simbol-simbol visual), keterampilan berhitung, dan bahasa.

(6)

2. Tinjauan Prestasi Belajar Matematika a. Pengertian Belajar

Suprihatiningrum (2013:15) mengatakan bahwa, belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan individu secara sadar untuk memperoleh perubahan tingkah laku tertentu, baik yang dapat diamati secara langsung maupun yang tidak dapat diamati secara langsung sebagai pengalaman (latihan) dalam interaksinya dengan lingkungan.

Hilgard (1984) dalam Suprihatiningrum (2013:13) mengatakan bahwa:

Learning is the process by which an activity originates or is changed through responding to a situation, provide the changes can not be attributed to growth or the temporary state or the organism as in fatique or under drugs.

Selain itu, Winkel (2007) dalam Suprihatiningrum (2013:15) mengatakan bahwa :

Belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan sejumlah perubahan dalam pengetahuan-pemahaman, keterampilan dan nilai-sikap.

Hamalik (2003) dalam Susanto (2013:3) menjelaskan bahwa: Belajar adalah modifikasi atau memperteguh perilaku melalui pengalaman (learning is defined as the modificator or strengthening of behavior through experiencing). Menurut pengertian ini, belajar merupakan suatu proses, suatu kejadian, dan bukan merupakan suatu hasil atau tujuan.

Selanjutnya Susanto (2013:4) mengatakan bahwa “Belajar adalah suatu aktivitas yang dilakukan seseorang dengan sengaja dalam keadaan sadar untuk memperoleh suatu konsep, pemahaman, atau pengetahuan baru sehingga memungkinkan seseorang terjadinya perubahan perilaku yang relatif tetap baik dalam berpikir, merasa, maupun dalam bertindak”.

(7)

Berdasarkan berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan proses perubahan perilaku yang berasal dari pengalaman dan latihan yang terus-menerus yang berlangsung seumur hidup.

b. Pengertian Prestasi Belajar

Prestasi belajar merupakan hasil dari penguasaan materi oleh siswa yang diperoleh dari proses pengukuran. Menurut Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2001:895), “Prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru”.

Sedangkan menurut Sukmadinata (2006: 102) berpendapat bahwa “Prestasi belajar atau achievement merupakan realisasi dari kecakapan-kecakapan potensial yang dimiliki seseorang”.

Femi (2011: 73) berpendapat bahwa “Prestasi belajar adalah puncak hasil belajar yang dapat mencerminkan hasil keberhasilan belajar siswa terhadap tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan”.

Sejalan dengan pendapat sebelumnya, Lanawati (1999) dalam Hawadi (2006: 168) berpendapat bahwa “Prestasi belajar adalah hasil penilaian pendidik terhadap proses belajar dan hasil belajar siswa sesuai dengan tujuan istruksional yang menyangkut isi pelajaran dan perilaku yang diharapkan dari siswa”. Sedangkan Suprihatin (2014:18) mengemukakan bahwa, “Prestasi belajar yaitu suatu hasil yang telah dicapai siswa terhadap sejumlah materi tertentu dalam rangka untuk memperoleh suatu perbuatan, baik perubahan segi pengetahuan, keterampilan maupun sikap.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah hasil belajar yang dicapai oleh siswa dalam proses belajar mengajar yang ditunjukkan dengan angka nilai tes yang diberikan oleh guru.

(8)

c. Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar

Lie (2008:68) mengemukakan bahwa,“Ada dua faktor yang mempengaruhi prestasi belajar anak, yaitu kemampuan intelektual dan kepribadian anak. Kedua aspek ini bisa dideteksi oleh ahli yang berkompeten seperti misalnya psikolog”.

Syah (2006) berpendapat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu:

1) Faktor internal (faktor dari dalam diri siswa), yakni keadaan atau kondisi jasmani dan rohani siswa.

2) Faktor eksternal (faktor dari luar siswa), yaitu kondisi lingkungan di sekitar siswa, seperti faktor keluarga, faktor sekolah dan faktor masyarakat yang menunjang proses belajar mengajar.

a) Faktor keluarga

Cara orangtua mendidik dan membimbing memegang peranan penting terhadap kesuksesan belajar anaknya. Agar anak dapat belajar dengan baik, perlu diciptakan suasanan rumah yang tentram, disertai keadaan ekonomi keluarga yang memadai dan perhatian cukup.

b) Faktor sekolah

Sekolah sebagai tempat pendidikan formal merupakan tempat pembinaan anak dalam mewujudkan prestasi belajar yang optimal. Karena didasari oleh adanya tenaga professional dalam menangani masalah pendidikan anak.

c) Faktor masyarakat

Masyarakat tempat mengaktualisasi diri pengalaman belajar yang diperoleh akan turut berpengaruh dalam mempengaruhi minat anak. Anak akan belajar dengan baik jika memiliki rasa keinginan karena adanya tuntutan kompetitif positif dari lingkungan.

3) Faktor pendekatan belajar (approach to learning), yakni jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran.

(9)

Pendekatan belajar sangat berpengaruh terhadap taraf keberhasilan proses pembelajaran siswa, karena strategi yang digunakan siswa dapat menunjang efektivitas dan efisiensi proses pembelajaran materi tertentu.

Menurut Hamdani (2011: 139) faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu faktor dari dalam (intern) dan faktor dari luar (ekstern).

1) Faktor Internal

Faktor intern adalah faktor yang berasal dari siswa. Faktor ini antara lain sebagai berikut:

a) Kecerdasan (intelegensi)

Kecerdasan adalah kemampuan belajar disertai kecakapan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapinya. Kemampuan ini sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya intelegensi yang normal selalu menunjukkan kecakapan sesuai dengan tingkat perkembangan sebaya.

b) Faktor jasmaniah atau faktor fisiologis

Kondisi jasmaniah atau fisiologis pada umumnya sangat berpengaruh terhadap kemampuan belajar seseorang.

c) Sikap

Siswa harus mempunyai sikap yang positif (menerima) kepada sesama siswa atau kepada gurunya. Sikap positif ini akan menggerakannya untuk belajar. adapun siswa yang sikapnya negatif (menolak) kepada sesama siswa atau gurunya tidak akan mempunyai kemauan untuk belajar.

d) Minat

Minat menurut para ahli psikologi adalah suatu kecenderungan untuk selalu memperhatikan dan mengingat sesuatu secara terus menerus. Minat ini erat kaitannya dengan perasaan, terutama perasaan senang. Apabila seseorang mempunyai minat yang lebih tinggi terhadap sesuatu, akan terus berusaha untuk melakukan sehingga apa yang diinginkan dapat tercapai.

(10)

e) Bakat

Tumbuhnya keahlian tertentu pada seseorang sangat ditentukan oleh bakat yang dimilikinya. Bakat mempengaruhi tinggi rendahnya prestasi belajar bidang-bidang studi tertentu. Dalam proses belajar, terutama belajar keterampilan, bakat memegang peranan penting dalam mencapai suatu hasil akan prestasi yang baik.

f) Motivasi

Motivasi dalam belajar adalah faktor yang penting karena hal tersebut merupakan keadaan yang mendorong keadaan siswa untuk melakukan belajar. Persoalan mengenai motivasi dalam belajar adalah bagaimana cara mengatur agar motivasi dapat ditingkatkan. Demikian pula, dalam kegiatan belajar menagajar seorang anak didik akan berhasil jika mempunyai motivasi untuk belajar.

2) Faktor Eksternal

Faktor eksternal terdiri atas dua macam, yaitu lingkungan sosial dan lingkungan nonsosial. Lingkungan membentuk kepribadian anak karena dalam pergaulan sehari-hari, seorang anak akan selalu menyesuaikan dirinya dengan kebiasaan-kebiasaan lingkungannya. Apabila seorang siswa bertempat tinggal di suatu lingkungan temannya yang rajin belajar, kemungkinan besar hal tersebut akan membawa pengaruh pada dirinya sehingga ia akan turut belajar sebagaimana semestinya.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa faktor penentu prestasi belajar adalah faktor internal dan faktor eksternal, yang termasuk faktor internal adalah faktor psikologis, faktor jasmani, faktor kelelahan, faktor kecerdasan, faktor sikap, faktor minat, faktor bakat, dan faktor motivasi sedangkan faktor eksternal meliputi kondisi lingkungan di sekitar siswa, seperti faktor keluarga, faktor sekolah, faktor faktor masyarakat yang menunjang proses belajar mengajar.

(11)

d. Pengertian Matematika

Kata matematika berasal dari bahasa Latin, manthanein atau mathema yang berarti “belajar atau hal yang dipelajari,” sedang dalam bahasa Belanda, matematika disebut wiskunde atau ilmu pasti, yang kesemuannya berkaitan dengan penalaran (Depdiknas,2001:7) dalam Susanto (2013).

Sedangkan menurut Susanto (2013:185), “Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir dan berargumentasi, memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah sehari-hari dan dalam dunia kerja, serta memberikan dukungan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi”.

Suwarsono (2005:10) mengemukakan bahwa, “Matematika adalah ilmu yang memiliki sifat khas yaitu; objek bersifat abstrak, menggunakan lambang-lambang yang tidak banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, dan proses berpikir yang dibatasi oleh aturan-aturan yang ketat”.

Selain itu Sutrisna (2005) mengatakan bahwa, “Matematika merupakan ilmu yang berfungsi untuk mengembangkan kemampuan menghitung dan mengukur dengan menggunakan rumus matematika dan turunannya (melalui materi pengukuran dan geometri, aljabar, serta trigonometri). Suatu gagasan bisa dituangkan dalam bahasa matematika melalui model matematika yang dapat berupa kalimat dan persamaan matematika, diagram, grafik atau tabel”.

Sedangkan menurut Johnson dan Myklebust dalam Abdurrahman (2012: 201) mengemukakan bahwa, “Matematika adalah bahasa simbolis yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan sedangkan fungsi teoritisnya adalah untuk memudahkan berpikir.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa matematika adalah ilmu yang yang mempelajari jumlah-jumlah yang diketahui melalui proses perhitungan dan pengukuran yang dinyatakan dengan angka-angka atau simbol-simbol.

(12)

e. Pembelajaran Matematika

Susanto (2013:186) berpendapat bahwa pembelajaran matematika adalah :

Suatu proses belajar mengajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreativitas berpikir siswa yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa, serta dapat meningkatkan kemampuan mengontruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasa yang baik terhadap materi matematika.

Fatimah (2009:8) berpendapat bahwa pembelajaran matematika adalah:

Membentuk logika berfikir, bukan sekedar pandai berhitung. Berhitung dapat dilakukan dengan alat bantu, seperti kalkulator dan komputer, namun menyelesaikan masalah perlu logika berfikir dan analisis. Oleh karena itu, anak-anak dalam belajar matematika harus memiliki pemahaman yang benar dan lengkap sesuai dengan tahapan, melalui cara yang menyenangkan dan menjalankan prinsip pembelajaran matematika.

Berdasarkan kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika adalah suatu rangkaian proses perbuatan guru dan siswa atau suatu dasar hubungan timbal balik yang berlangsung saat proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan pembelajaran matematika.

f. Tujuan Pembelajaran Matematika

Secara umum, tujuan pembelajaran matematika di sekolah dasar adalah agar siswa mampu dan terampil menggunakan matematika. Secara khusus tujuan pembelajaran matematika di sekolah dasar, sebagaimana yang disajikan oleh Depdiknas dalam Susanto (2013:190) yaitu:

1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep, dan mengaplikasikan konsep atau alogaritme.

2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

(13)

4) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk menjelaskan keadaan atau masalah.

5) Memililki sikap menghargai penggunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari.

Sedangkan menurut Fatimah (2009:15) tujuan pembelajaran matematika secara umum dibedakan menjadi 2, yaitu:

1) Anak pandai menyelesaikan permasalahan (menjadi problem solver). Hal ini dapat dicapai apabila dalam pembelajaran menerapkan prinsip pembelajaran matematika dua arah. Anak-anak akan dapat menguasai konsep matematika dengan baik.

2) Anak pandai dalam berhitung. Anak mampu melakukan perhitungan dengan benar dan tepat (cepat bukan tujuan utama).

Tujuan pembelajaran secara khusus seperti yang disampaikan oleh Sutrisna (2005: ) adalah sebagai berikut:

1) Melatih cara berfikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, seperti melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukkan kesamaan, perbedaan, konsistensi, dan inkonsistensi.

2) Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba.

3) Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah.

4) Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan, antara lain melalui pembicaraan lisan, catatan, grafik, peta dan diagram dalam menjelaskan masalah.

Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika bertujuan untuk memahamkan konsep matematika, membangun penalaran dalam belajar matematika dan memecahkan masalah matematis, tanpa membebani anak dengan hal-hal yang mematahkan kesenangan anak terhadap matematika.

(14)

g. Materi Pelajaran Matematika Anak Kesulian Belajar

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah menetapkan standar kompetensi untuk kelas IV Sekolah Dasar bagi Anak Kesulitan Belajar sebagai berikut:

1) Memahami dan menggunakan sifat-sifat operasi hitung bilangan dalam pemecahan masalah.

2) Memahami dan menggunakan faktor dan kelipatan dalam pemecahan masalah.

3) Menggunakan pengukuran sudut, panjang, dan berat dalam pemecahan masalah.

4) Menggunakan konsep keliling dan luas bangun datar sederhana dalam pemecahan masalah.

5) Menjumlahkan dan mengurangkan bilangan bulat. 6) Menggunakan pecahan dalam pemecahan masalah. 7) Menggunakan lambang bilangan romawi.

8) Memahami sifat bangun ruang sederhana dan hubungan antar bangun datar.

Tabel 2.1 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang digunakan dalam penelitian

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar

1. Memahami dan

menggunakan sifat-sifat operasi hitung bilangan dalam pemecahan masalah

1.3 Melakukan operasi perkalian

3. Tinjauan tentang Metode Kooperatif melalui Inklusi Model Kluster a. Pengertian Metode Kooperatif

Slavin dalam Suprihatiningrum (2013:191) mengemukakan bahwa, “Pembelajaran kooperatif atau cooperatif learning mengacu pada metode pembelajaran, yang mana siswa bekerja dalam kelompok kecil saling membantu dalam belajar. Anggota-anggota kelompok bertanggung jawab

(15)

atas ketuntasan tugas-tugas kelompok dan untuk mempelajari materi itu sendiri. Banyak terdapat pendekatan kooperatif yang berbeda satu dengan yang lainnya. Kebanyakan melibatkan siswa dalam kelompok yang terdiri dari empat siswa dengan kemampuan berbeda-beda”.

Selain itu Nur dan Wikandari dalam Suprihatiningrum (2013:191) menyatakan bahawa:

Khas pembelajaran kooperatif, siswa ditempatkan pada kelompok-kelompok kooperatif dan tinggal bersama sebagai satu kelompok-kelompok untuk beberapa minggu atau bulan. Mereka biasanya dilatih keterampilan-keterampilan khusus untuk membantu mereka bekerja sana dengan baik, sebagai misal menjadi pendengar yang baik, memberikan penjelasan dengan baik, mengajukan pertanyaan dengan benar, dan sebagainya.

Sugiyanto (2009:37) mengemukakan bahwa, “Pembelajaran kooperatif (Cooperative learning) adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar.

Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa metode kooperatif adalah metode pembelajaran yang membagi siswa dalam kelompok-kelompok kecil untuk memaksimalkan pembelajaran dengan belajar bersama siswa lain dalam satu kelompok yang untuk selanjutnya skor setiap kelompok ditentukan dari skor setiap siswa di kelompok tersebut.

b. Kelebihan Metode Kooperatif

Suprihatiningrum (2013:201) mengemukakan bahwa, kelebihan strategi belajar kooperatif adalah:

a) Peserta didik lebih memperoleh kesempatan dalam hal meningkatkan hubungan kerja sama antar-teman

b) Peserta didik lebih memperoleh kesempatan untuk mengembangkan aktivitas, kreativitas, kemandirian, sikap kritis, sikap dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.

(16)

c) Guru tidak perlu mengajarkan seluruh pengetahuan kepada peserta didik, cukup konsep-konsep pokok karena dengan belajar secara kooperatif peserta didik dapat melengkapi sendiri.

Sedangkan menurut Slavin dalam Suprihatiningrum (2013:201) mengemukakan penerapan pembelajaran kooperatif diantaranya:

a) Siswa bekerja sama dalam mencapai tujuan dengan menjunjung tinggi norma-norma kelompok.

b) Siswa aktif membantu dan mendorong semangat untuk bersama-sama berhasil.

c) Aktif berperan sebagi tutor sebaya untuk lebih meningkatkan keberhasilan kelompok.

d) Interaksi antarsiswa seiring dengan peningkatan kemampuan mereka dalam berpendapat.

e) Interaksi antar-siswa juga membantu meningkatkan perkembangan kognitif yang nonkonservatif menjadi konservatif.

Selain itu Sugiyanto (2009:43) mengemukakan bahwa keuntungan menggunakan pembelajaran kooperatif yaitu:

a) Meningkatkan kepekaan dan kesetiakawanan sosial.

b) Memungkinkan para siswa saling belajar mengenai sikap, keterampilan, informai, perilaku sosial, dan pandangan-pandangan. c) Memudahkan siswa melakukan penyesuaian sosial.

d) Memungkinkan terbentuk dan berkembangnya nilai-nilai sosial dan komitmen.

e) Menghilangkan sifat mementingkan diri sendiri atau egois.

f) Membangun persahabatan yang dapat berlanjut hingga masa dewasa.

g) Berbagai keterampilan sosial yang diperlukan untuk memelihara hubungan saling membutuhkan dapat diajarkan dan dipraktekkan. h) Meningkatkan rasa saling percaya kepada sesama manusia.

i) Meningkatkan kemampuan memandang masalah dan situasi dari berbagai perspektif.

(17)

j) Meningkatkan kesediaan menggunakan ide orang lain yang dirasakan lebih baik.

k) Meningkatkan kegemaran berteman tanpa memandang perbedaan kemampuan, jenis kelamin, normal atau cacat, etnis, kelas sosial, agama, dan orientasi tugas.

c. Langkah-langkah Metode Kooperatif

Ibrahim dkk dalam Suprihatiningrum (2013:192) mengemukakan bahwa, langkah utama atau tahapan di dalam pelajaran yang menggunakan pembelajaran kooperatif adalah:

Fase Tingkah laku guru

Fase-1

Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa

Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa

Fase-2

Menyajikan informasi Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan

Fase-3

Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar

Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien

Fase-4

Membimbing kelompok bekerja dan belajar

Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka

Fase-5

Evaluasi Guru mengevaluasi hasil belajar

tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya Fase-6

Memberikan penghargaan Guru mencari cara-cara untuk menghargai, baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok

(18)

d. Jenis-Jenis Metode Kooperatif

Ada beberapa metode pembelajaran kooperatif diantaranya, 1) metode STAD, 2) metode Jigsaw, 3) metode GI (group investigation), 4) metode Struktural (Sugiyanto,2009: 41-48).

Berikut ini merupakan perbandingan empat pendekatan pembelajaran kooperatif yang dikemukakan oleh Sugiyanto (2009:63)

STAD JIGSAW GI STRUKTURAL

Tujuan Kognitif Pengetahuan akademis faktual Pengetahuan konseptual faktual dan akademis Pengetahuan Konseptual Akademis dan Keterampilan Menyelidiki Pengetahuan akademis faktual

Tujuan Sosial Kerja kelompok dan kerja sama

Kerja kelompok

dan kerja sama

Kerja sama

dalam kelompok

Keterampilan

kelompok dan

sosial Struktur Tim Tim-tim belajar

heterogen beranggota 4-5 orang Tim-tim belajar heterogen beranggota 4-5 orang; menggunakan im-tim asal dan im-tim-im-tim ahli Kelompok belajar beranggota lima sampai enam orang, mungkin homogen Bervariasi-pasangan, trio, kelompok beranggotakan 4-6 orang Pemilihan Topik Pembelajaran

Biasanya guru Biasanya guru Guru dan /atau

siswa

Biasanya guru

Tugas Utama Siswa mungkin menggunakan worksheet dan saling membantu dalam menguasai materi belajar Siswa menyelidiki berbagai materi dikelompok ahli; membantu anggota-anggota di kelompok asal untuk mempelajari berbagai materi Siswa menyelesaikan penyelidikan yang kompleks Siswa mengerjakan tugas yang diberikan sosial dan kognitif

e. Metode Student Team-Achievement Divisions (STAD)

Metode yang dikembangkan oleh Slavin ini melibatkan “kompetisi” antarkelompok. Siswa dikelompokkan secara beragam berdasarkan kemampuan, etnis, gender, dan ras. Untuk selanjutnya mempelajari materi ajar secara bersama-sama, kemudian mereka diuji secara individual melalui kuis-kuis. Perolehan nilai kuis setiap anggota menentukan skor yang diperoleh oleh kelompok mereka. Metode ini dapat diterapkan untuk beragam materi pelajaran (Huda, 2013: 116).

(19)

Guru yang menggunakan STAD, juga mengacu kepada belajar kelompok siswa setiap minggu menggunakan presentasi verbal atau teks. Siswa dalam satu kelas tertentu dipecah menjadi kelompok dengan anggota 4-5 orang, setiap kelompok haruslah heterogen. Anggota tim menggunakan lembar kegiatan untuk menuntaskan materi pelajarannya dan kemudian saling membantu satu sama lain untuk memahami bahan pelajaran melalui tutorial, kuis, satu sama lain, dan atau melakukan diskusi. Secara individual akan diberikan kuis untuk mengetahui skor perkembangan siswa pada materi yang diajarkan (Shoimin,2014).

Slavin (2011: 144) dalam metode pembelajaran STAD, siswa ditempatkan ke tim-tim belajar yang beranggotakan empat orang yang bercampur tingkat kinerja, jenis kelamin, dan suku bangsa. Guru menyajikan pelajaran dan kemudian siswa bekerja dalam tim mereka untuk memastikan semua anggota tim telah menguasai pelajaran tersebut. Akhirnya, semua siswa mengikuti ujian kecil sendiri-sendiri tentang bahan tersebut dan pada saat itu mereka tidak boleh membantu satu sama lain. STAD terdiri atas siklus pengajaran biasa, studi koperasi dalam tim gabungan kemampuan, dan ujian kecil, dengan penghargaan atau imbalan lain yang diberikan kepada tim yang anggotanya berkinerja sangat baik.

Slavin dalam Hamdayama (2014: 116) menjelaskan bahwa, STAD terdiri atas lima komponen untama, yaitu presentasi kelas, kerja kelompok (tim), kuis, skor kemajuan individual, rekognisi (penghargaan) kelompok. Langkah-langkah metode pembelajaran STAD menurut Hamdani (2011:93): 1) Membentuk kelompok yang anggotanya empat orang secara heterogen

(campuran menurut prestasi, jenis kelamin, suku dan lain-lain). 2) Guru menyajikan pelajaran.

3) Guru memberi tugas kepada setiap kelompok untuk dikerjakan oleh anggota kelompok. Anggota yang tahu menjelaskan kepada anggota lainnya, sampai semua anggota dalam kelompok itu mengerti.

4) Guru memberi kuis atau pertanyaan kepada seluruh siswa. Pada saat menjawab kuis, tidak boleh saling membantu.

(20)

5) Memberi evaluasi. 6) Penutup.

Beberapa kelebihan dari metode STAD menurut Hamdayama (2014: 118), diantaranya sebagai berikut :

2) Siswa bekerja sama dalam mencapai tujuan dengan menjunjung tinggi norma-norma kelompok.

3) Siswa aktif membantu dan memotivasi semangat untuk berhasil bersama.

4) Aktif berperan sebagai tutor sebaya untuk lebih meningkatkan keberhasilan kelompok.

5) Meningkatkan kecakapan individu. 6) Meningkatkan kecakapan kelompok. 7) Tidak bersifat kompetitif.

8) Tidak memiliki rasa dendam.

f. Pengertian Model Pembelajaran

Dalam mengajarkan suatu pokok bahasan (materi) tertentu harus dipilih model pembelajaran yang paling sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar (Trianto,2009: 22)

Arends (1997) dalam Trianto (2009: 22) mengemukakan bahwa: The term teaching model refers to a particular approach to instruction that includes its goals, syntax, enviroment, and management system. Istilah model pengajaran mengarah pada suatu pendekatan pembelajaran tertentu termasuk tujuannya, sintaksnya, lingkungannya, dan sistem pengelolaannya.

Sedangkan Adi (2004) dalam Suprihatiningrum (2013:142) mengemukakan bahwa “Model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur dalam mengorganisasikan pengalaman pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran. Model

(21)

pembelajaran berfungsi sebagai pedoman bagi guru dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan pembelajaran”.

Pendapat berbeda dikemukakan oleh Samatowa (2006) dalam Suprihatiningrum (2013:142) menurutnya “Model pembelajaran dapat dikatakan sebagai suatu deskripsi dari lingkungan belajar yang menggambarkan perancanaan kurikulum, kursus-kursus, desain unit-unit pelajaran dan pembelajaran, perlengkapan belajar, buku-buku pelajaran, buku-buku kerja program multimedia, dan bantuan melalui program komputer”.

Dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar.

g. Pendidikan Inklusi Model Kluster

Sistem pendidikan inklusi merupakan sistem pendidikan yang ada di sekolah reguler yang dirancang sedemikian rupa sehingga siswa reguler dan siswa ABK dapat belajar bersama-sama dalam satu kelas yang masing-masing mendapatkan pelayanan sesuai dengan potensi dan keterbatasannya (Yusuf & Choiri,2009: 68).

Ormrod (2008: 227) mengemukakan bahwa, “Inklusi merupakan praktik mendidik semua siswa, termasuk siswa yang mengalami hambatan yang parah dan majemuk, di sekolah-sekolah umum yang biasanya dimasuki anak-anak normal.

National Association of State Boards of Education (1992) dalam Slavin (2011: 231) mengemukakan bahwa, “Pendidikan inklusi berarti siswa yang menghadiri sekolah di tempat kediaman mereka bersama teman seusia dan sekelas mereka. Itu mengharuskan agar jumlah siswa yang dipisahkan untuk memperoleh layanan khusus relatif sama untuk semua sekolah dalam distrik tertentu. . . . siswa yang disertakan tersebut tidak diasingkan ke kelas khusus atau ruangan di samping sekolah”.

(22)

Individuals with Disabililties Education Act (IDEA) memberikan hak memperoleh pendidikan sejak lahir hingga usia 21 tahun untuk orang-orang yang mengalami hambatan kognisi, dan emosi, atau fisik. IDEA menjamin beberapa hak bagi siswa yang mengalami hambatan sebagai berikut: 1) bebas memperoleh pendidikan yang sesuai, 2) menjalani evaluasi yang fair dan tidak diskriminatif, 3) memperoleh pendidikan dalam suasana yang tidak mengekang, 4) memperhatikan kekhususan setiap individu program pendidikan, dan 5) menghargai hak asasi individu.

Pendidikan inklusi memiliki dua model (Ekeh, 2013) dalam Hadi (2011:52), yaitu (1) model inklusi penuh (full inclusion), dalam model ini menyertakan ABK untuk menerima pembelajaran individual dalam kelas reguler; (2) model inklusi parsial (partial inclusion), model ini mengikutsertakan ABK dalam sebagian pembelajaran yang berlangsung di kelas reguler dan sebagian lagi dalam kelas-kelas pull out dengan bantuan guru pendamping khusus. Dalam pendidikan inklusi, ABK disediakan berbagai alternatif layanan yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Anak berkebutuhan khusus dapat berpindah dari satu bentuk layanan ke bentuk layanan yang lain, seperti:

1) Kelas Reguler

Dalam kelas ini, ABK belajar bersama anak lain sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama. 2) Kelas Reguler dengan Cluster

Dalam kelas ini, ABK belajar bersama-sama anak lain di kelas reguler dalam kelompok khusus.

3) Kelas Reguler dengan Pull Out

Dalam kelas ini, ABK belajar bersama anak lain di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas tersebut ke ruang sumber untuk belajar bersama guru pembimbing khusus (GPK).

(23)

4) Kelas Reguler dengan Cluster dan Pull Out

Dalam kelas ini, ABK belajar bersama anak lain kelas reguler dalam kelompok khusus. Dalam waktu-waktu tertentu mereka ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan GPK.

5) Kelas Khusus dengan Berbagai Pengintegrasian

Dalam kelas ini, ABK belajar di kelas khusus di sekolah reguler namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama-sama dengan anak lain di kelas reguler.

6) Kelas Khusus Penuh

Dalam kelas ini, ABK belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler ( Hadi, 2014).

Sedangkan menurut Dikdasmen (2007) dalam Nuraeni (2014: 398), model pendidikan yang dilaksanakan dalam setting pendidikan inklusif diantaranya:

1) Kelas Inklusif Penuh (Full Inclusion)

Model ini menyertakan peserta didik berkebutuhan khusus untuk menerima pembelajaran individual dalam kelas reguler.

2) Kelas Inklusif Parsial (Partial Inclusion) atau Pull Out

Model ini mengikutsertakan peserta didik berkebutuhan khusus dalam sebagian pembelajaran yang berlangsung di kelas reguler dan sebagian lagi dalam kelas-kelas pull out dengan bantuan guru pendamping khusus.

3) Kelas Reguler dengan Cluster dan Pull Out

Anak berkebutuhan khusus bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.

(24)

4) Kelas Khusus dengan berbagai Pengintegrasian

Anak berkebutuhan khusus di dalam kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler.

5) Kelas Khusus Penuh

Anak berkebutuhan khusus di dalam kelas khusus pada sekolah reguler.

Inklusi penuh berarti siswa yang tidak mempunyai ketidakmampuan atau beresiko memperoleh semua pengajaran mereka dalam lingkungan pendidikan umum, layanan dukungan datang kepada siswa. Sedangkan inklusi sebagian berarti siswa memperoleh kebanyakan pengajaran mereka dalam lingkungan pendidikan umum, tetapi siswa mungkin saja dicopot ke lingkungan pengajaran lain jika lingkungan seperti itu dianggap sesuai dengan kebutuhan masing-masing siswa (Slavin, 2011: 232).

Gunarhadi (2014: 19) mengemukakan bahwa ”Dalam pendidikan inklusif, kluster dibentuk untuk memfasilitasi anak berkebutuhan khusus dalam proses pembelajaran adaptif, baik akademik maupun psikologis. Proses pembelajaran adaptif memberikan layanan kepada anak berkebutuhan khusus berdasarkan kebutuhan anak yang memang berbeda dengan anak-anak lainnya. Dengan demikian, pendidikan inklusi model kluster adalah pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan semua anak dengan memberikan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dalam kelompok.

Pendidikan inklusi model kluster dibentuk dengan memperhatikan pentingnya rasa sosial dan beban psikologis yang muncul. Pembentukan kluster dilakukan secara fleksibel sehingga memungkinkan dilakukannya pembelajaran terdiferensiasi. Menurut Gregory & Chapman (2007) dalam Gunarhadi (2014: 20) mengemukakan bahwa ada beberapa hal yang mendasar dalam pembentukan kluster antara lain, 1) pengetahuan tentang mata pelajaran, 2) kemampuan kinerja, 3) minat dan pembidangan, 4) tutor

(25)

sebaya, 5) pembelajaran kooperatif, dan 6) keberagaman anggota. Proses pembentukan kluster merupakan proses pemindahan atau penarikan sejumlah anak berkebutuhan khusus dari kelompok besar dalam kelas inklusif penuh di sekolah reguler ke ruang terpisah untuk belajar dalam kelompok kecil yang kemudian disebut kluster. Adapun langkah-langkah pembentukan kluster sebagai berikut:

1. melakukan kegiatan identifikasi anak-anak berkebutuhan khusus yang ada di kelas inklusif untuk menentukan kebutuhan-kebutuhan layanan khusus yang diperlukan.

2. Menempatkan anak-anak berkebutuhan khusus tersebut pada ruang belajar yang telah dipersiapkan.

3. Melakukan asesmen akademik dan nonakademik untuk menentukan kekuatan atau kelemahan dalam mendapatkan layanan sesuai kebutuhannya.

4. Menentukan program layanan, baik akademik maupun nonakademik dalam bentuk kelas kecil dan individual bagi yang memerlukannya. 5. Melakukan layanan, baik akademik maupun sosial psikologis, melalui

pendekatan yang paling sesuai dengan karakteristik individual maupun kelompok mereka.

6. Melakukan evaluasi pembelajaran akademik sesuai dengan hambatan yang dialami anak ketika berada di kelas reguler.

7. Mengembalikan anak-anak berkebutuhan khusus ke dalam kelas reguler dalam rangka pembauran dengan semua teman dalam kegiatan-kegiatan kebersamaan.

Pendidikan inklusi melalui model kluster jika diterapkan dengan baik maka akan berdampak positif terhadap anak berkebutuhan khusus terutama pada bidang akademik. Menurut Soodak dkk (2006) dalam Omrod (2008: 202) mengemukakan bahwa, Keuntungan dalam pendidikan inklusi adalah :

1) Siswa memiliki gambaran diri yang lebih positif 2) Siswa memiliki keterampilan sosial yang lebih baik

(26)

3) Siswa lebih sering berinteraksi dengan teman-teman sebaya yang normal

4) Siswa memiliki perilaku yang lebih sesuai di kelas

Siswa memiliki prestasi akademik yang setara (dan kadangkala lebih tinggi) dengan prestasi yang dicapai bila ditempatkan dalam kelas khusus.

Selain itu, menurut Gunarhadi (2014: 26) kelebihan-kelebihan pada pendidikan inklusif model kluster antara lain sebagai berikut:

1) Dari sisi akademik, pengelolaan pembelajaran anak-anak berkebutuhan khusus di kelas kecil lebih efektif dibandingkan mengelola kelas besar. 2) Pemahaman guru terhadap karakterisitik anak berkebutuhan khusus

lebih mendalam sehingga cara-cara melakukan intervensi lebih fokus pada kebutuhan masing-masing.

3) Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran lebih spesifik berdasarkan kemampuan dasar anak secara individu.

4) Perhatian guru terhadap kebutuhan anak berkebutuhan khusus bisa diberikan langsung terhadap perilaku belajar yang diharapkan.

5) Kesulitan –kesulitan yang muncul selama proses pembelajaran dapat langsung terdeteksi sehingga bantuan belajar langsung bisa diberikan. Dengan demikian, anak dapat mengahayati proses belajar yang bermakna.

6) Proses pengembangan diri anak dapat dilakukan dengan pendekatan yang humanistis untuk menggali potensi yang dapat meningkatkan motivasi dan rasa percaya diri mereka.

7) Kepentingan anak dari sisi sosial tetap terpelihara saat anak-anak berkebutuhan khusus melakukan kegiatan bersama anak lain di kelas besarnya di lingkungan sekolah.

B.Kerangka Berfikir

Kondisi anak berkesulitan belajar matematika yang memiliki hambatan dalam memahami konsep, prinsip dalam menyelesaikan

(27)

masalah-masalah matematika, sering kali membuat mereka kehilangan motivasi untuk belajar matematika, karena dari awal sudah menganggap bahwa matematika itu susah. Sehingga prestasi belajarnya buruk.

Perlu adanya strategi dalam menyajikan pembelajaran matematika, yakni dengan menggunakan metode kooperatif tipe Student Team Achievement Divisions (STAD) melalui inklusi model kluster. Dalam pembelajaran dengan metode ini, anak akan menjadi lebih bersemangat dalam belajar karena peran teman sebaya juga berpengaruh terhadap motivasi belajar anak. Anak menjadi lebih termotivasi untuk menunjukkan kemampuannya. Setting inklusi model kluster menambah motivasi anak, karena disini peniliti akan memfokuskan pengajarannya pada kelompok anak-anak berkesulitan belajar matematika. Melalui metode ini, proses pembelajaran menjadi menyenangkan dan mengesankan. Motivasi belajar anak pun semakin meningkat dan anak menjadi bersemangat untuk mengikuti proses belajar mengajar sehingga prestasi belajar anak pun meningkat.

Gambar. 2.4 Kerangka Berpikir

Prestasi belajar Matematika kelas IV anak berkesulitan belajar kelas IV di SD Negeri Gondang 7 Sragen materi Perkalian meningkat

Prestasi belajar Matematika kelas IV anak berkesulitan belajar kelas IV di SD Negeri Gondang 7 Sragen materi

Perkalian masih rendah

Pembelajaran Matematika materi Perkalian anak berkesulitan belajar kelas IV di SD Negeri Gondang 7 Sragen

Pembelajaran belum menerapkan Metode Kooperatif tipe Student Team Achievement Divisions (STAD) melalui inklusi

model kluster

Pembelajaran menggunakan Metode Kooperatif tipe Student Team Achievement Divisions (STAD) Melalui inklusi model

(28)

C.Hipotesis

Purwanto dan Sulistyastuti (2007: 137) mengemukakan bahwa “Hipotesis merupakan pernyataan sementara masalah penelitian yang kebenarannya belum tentu benar sehingga harus diuji secara empiris”.

Sugiyono (2011: 64) mengemukakan bahwa “Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan”.

Hipotesis adalah jawaban sementara atas masalah yang sedang diteliti dan disampaikan dalam kalimat pernyataan. Berdasarkan kerangka pemikiran diatas maka hipotesis dalam penelitian ini adalah penggunaan metode Kooperatif tipe Student Team Achievement Divisions (STAD) berpengaruh terhadap peningkatkan prestasi belajar matematika materi perkalian anak berkesulitan belajar matematika melalui inklusi model kluster di SD Negeri Gondang 7 Sragen Tahun Ajaran 2015/2016.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukan ada perbedaan yang signifikan berat badan pada kelompok kontrol, sebelum dan sesudah perawatan tanpa terapi massage dengan nilai p value

Menentukan sasaran satuan pendidikan yang akan didampingi anggota POKJA, dengan memprioritaskan pada satuan pendidikan yang telah menerima bantuan dana untuk penguatan ekosistem

Pemodelan sistem pakar deteksi dini resiko HIV/AIDS menggunakan metode Dempster-Shafer ini dapat mengetahui keputusan dari pakar dengan cara menghitung nilai

di P4S Nusa indah ada 4 kubung yang terdiri dari satu kubung kerja, satu kubung inkubasi, dan dua kubung budidaya. Bahan baku yang dibutuhkan dalam memproduksi jamur

Peran serta masyarakat dan partisipasinya dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan pemerintahan desa dari seluruh aspeknya, tidak akan dapat berjalan secara maksimal, bilamana

Terdapat sebilangan calon yang tidak dapat menjawab soalan dengan tepat dan sepenuhnya seperti dapat membantu memperjuangkan taraf wanita dalam sukan dengan

Tugas akhir ini diajukan untuk memenuhi persyaratan Pendidikan Sarjana Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang.. Penulis menyadari tugas akhir ini masih jauh

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa media poster kandungan gizi buah apel (Malus sylvestris) yang diperjualbelikan di kota