• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Lampiran 1. Kuisioner penelitian

KUISIONER PENELITIAN

ANALISIS KELAYAKAN EKONOMI PEMBIBITAN MANGROVE (WAHANA BAHARI) DI DESA PERCUT KECAMATAN PERCUT

SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG

PENELITI: Rijal F Banjarnahor 081201056/Manajemen Hutan

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012

(3)

A. PEMILIK USAHA PEMBIBITAN MANGROVE Hari : Tanggal : / / 2012 I. Identitas Responden: 1. Nama/usia : 2. Jenis kelamin : 3. Agama : 4. Pendidikan : 5. Pekerjaan : 6. Alamat :

II.Informasi Umum Usaha:

1. Nama usaha : 2. Bentuk usaha : 3. Alamat : 4. Pemilik : 5. Tahun berdiri : 6. Luas lahan :

7. Jumlah tenaga kerja : 8. Sumber dana/modal : 9. Visi dan misi : III. Pembibitan Mangrove

1. Dari mana buah mangrove diperoleh?

……... ... 2. Apa saja jenis mangrove yang dibibitkan?

... ...

(4)

3. Bagaimana urutan proses pembibitan mangrove?

... ... 4. Bagaimana kriteria lokasi persemaian/pembibitan?

... ... 5. Bagaimana kriteria buah mangrove yang disemaikan?

... ... 6. Berapa kali pemupukan sampai bibit panen/layak jual?

... ... 7. Bagaimana sistem pengendalian hama penyakit?

... ... 8. Usia berapa bibit bisa dipanen?

... ... 9. Apa sistem/cara pengelolaan yang dilakukan?

a. Tradisional b. Modern (Menerapkan IPTEK) 10. Apa saja alat dan bahan yang digunakan dalam proses pembibitan?

... ... 11. Periode pembibitan.../tahun

IV. Pengeluaran

1. Upah tenaga kerja Rp...

2. Bahan baku (buah mangrove) Rp... 3. Polibeg (media tanam) Rp...

4. Pemupukan dan penegendalian hama penyakit Rp.../periode 5. Sewa lahan Rp...

(5)

7. Pungutan dan pajak

Jenis pungutan Nilai (Rp) Periode Keterangan Formal

Non formal

8. Biaya perawatan alat Rp……… 9. Biaya lai-lain Rp………

V. Pendapatan

Jenis bibit Jumlah bibit/periode Harga (Rp)/bibit Total (Rp)

VI. Keterkaitan Dengan Instansi Pemerintah/Terkait, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan Masyarakat

Pihak terkait Bentuk keterkaitan Sifat keterkaitan Keterangan Pemerintah

LSM

Masyarakat

VII. Analisis SWOT

1. Apa kelebihan usaha pembibitan mangrove ini dibandingkan dengan usaha-usaha pembibitan lain?

... ...

(6)

2. Apa kendala utama dalam menjalankan usaha pembibitan mangrove ini? ... ... 3. Bagaimana keberadaan usaha tentang:

a. Ketersediaan bahan baku

... ... b. Modal ... ... c. Perijinan ... ... d. Teknologi yang digunakan

... ... e. Tingkat pesaing ... ... f. Pemasaran bibit ... ... g. Pengaruh eksternal (pemerintah, LSM dan masyarakat)

... ... h. Aspek manajemen ... ... i. Kontinuitas produksi ... ...

(7)

4. Sebutkan masalah utama yang dihadapi oleh usaha ini!

... ... 5. Apa solusi dari masalah yang dihadapi?

... ... 6. Sebutkan 5-10 indikator faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan

faktor eksternal ( peluang dan ancaman) yang ada pada usaha pembibitan mangrove ini (berhubungan dengan no. 1, 2, 3 dan 4 bagian VII).

a. Faktor Internal

No Indikator Bobot* Skoring*

1 2 3 4 1 2 3 4 Kekuatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Kelemahan 1 2 3 4 5

(8)

6 7 8 9

* Berikan tanda (√) pada bobot dan scoring b. Faktor Eksternal

No Indikator Bobot* Skoring*

1 2 3 4 1 2 3 4 Peluang 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Ancaman 1 2 3 4 5 6

(9)

7 8 9 10

* Berikan tanda (√) pada bobot dan skoring

Ketentuan batasan nilai bobot dan skoring faktor SWOT; - Pembobotan faktor SWOT :

Skala 1 – 2 – 3 – 4 – 5

Sangat tidak berpengaruh – Agak berpengaruh – Cukup berpengaruh Berpengaruh – Sangat berpengaruh

- Skoring (scoring) faktor SWOT : Skala 1 – 2 – 3 – 4

Sangat kecil– Sedang – Besar – Sangat besar Keterangan:

- Skor masing-masing poin faktor dilakukan secara saling bebas. Saling bebas mengandung maksud bahwa penilaian terhadap sebuah poin faktor tidak boleh dipengaruhi atau mempengaruhi penilaian terhadap poin faktor yang lainnya. Untuk menghitung bobot masing-masing poin faktor dilaksanakan secara saling berketergantungan. Artinya, penilaian terhadap satu poin faktor adalah dengan membandingkan tingkat kepentingannya dengan poin faktor lainnya.

(10)

B. TENAGA KERJA/STAF ADMINISTRASI Hari : Tanggal : / / 2012 I. Identitas Responden: 1. Nama/usia : 2. Jenis kelamin : 3. Agama : 4. Pendidikan : 5. Pekerjaan utama : 6. Pekerjaan sampingan : 7. Pengahasilan per bulan : II.Informasi Umum:

1. Berapa besar upah yang diterima per bulan?

2. Bagaiman sistem upah kerja?

a. Per jam b. harian c. bulanan 3. Sudah berapa lama Bapa/Ibu bekerja di tempat ini?

... ... 4. Apakah Bapak/Ibu betah bekerja di tempat ini?

... ... 5. Bagaimana persepsi Bapak/Ibu terhadap keberadaan usaha ini?

... ... 6. Apa kendala yang Bapak/Ibu alami selama bekerja di tempat ini?

... ...

(11)

Lampiran 2. Perhitungan biaya produksi

1. Jenis Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata , Soneratia dan Brugueira Sp.

Biaya Variabel

Komponen Biaya Besaran (Rp)

Buah mangrove = 40000 @ Rp 100 4.000.000 Polibag = 55 kg @ Rp 14.000 770.000 Pengadaan alat

- Compresor = 1 @ Rp 3.000.000 - Handsprayer = 1 @ Rp 300.000 - Alat penggali lumpur = 2 @ Rp 50.000

3.000.000 300.000 50.000 Upah tenaga kerja :

- Pengorek lumpur = 2 @ Rp 60 - Pembibit ( Rp 35/polibag) = 40000 @ Rp 35 - Pemupukan = 2 @ Rp 30.000 - Perawatan = 4 @ Rp 30.000 120.000 1.400.000 60.000 120.000

Biaya pupuk dan insektisida 100.000

Total 9.920.000

Biaya Tetap

Komponen Biaya Besaran (Rp)

Gaji pimpinan 2.5 x Rp 2.000.000 5.000.000

Pemeliharaan peralatan 100.000

Sewa lahan 700.000

Pungutan non formal 100.000

Total 5.900.000 TC = TVC + TFC = Rp 9.920.000,00 + Rp 5.900.000,00 TC = Rp 15.820.000,00 TR = P x Q = Rp 500,00 x 40000 = Rp 20.000.000,00 Keuntungan (I) = TR – TC = Rp 20.000.000,00 – Rp 15.820.000,00 = Rp 4.180.000,00

(12)

2. Jenis Rhizophora mucronata Biaya Variabel

Komponen Biaya Besaran (Rp)

Buah mangrove = 40000 @ Rp 100 4.000.000 Polibag = 80 kg @ Rp 14.000 1.120.000 Pengadaan alat - Compresor = 1 @ Rp 3.000.000 - Handsprayer = 1 @ Rp 300.000 - Alat penggali lumpur = 2 @ Rp 50.000

3.000.000 300.000 50.000 Upah tenaga kerja :

- Pengorek lumpur = 2 @ Rp 60 - Pembibit ( Rp 35/polibag) = 40000 @ Rp 35 - Pemupukan = 2 @ Rp 30.000 - Perawatan = 4 @ Rp 30.000 120.000 1.400.000 60.000 120.000

Biaya pupuk dan insektisida 100.000

Total

10.270.000 Biaya Tetap

Komponen Biaya Besaran (Rp)

Gaji pimpinan 5.000.000

Pemeliharaan peralatan 100.000

Sewa lahan 700.000

Pungutan non formal 100.000

Total 5.900.000 TC = TVC + TFC = Rp 10.270.000,00 + Rp 5.900.000,00 TC = Rp 16. 170.000,00 TR = P x Q = Rp 1000,00 x 40000 = Rp 40.000.000,00 Keuntungan = TR – TC = Rp 40.000.000,00 – Rp 16.170.000,00 = Rp 23.830.000,00

(13)

3. Jenis Avicenia marina Biaya Variabel

Komponen Biaya Besaran (Rp)

Buah mangrove = 40000 @ Rp 50 2.000.000 Polibag = 55 kg @ Rp 14.000 770.000 Pengadaan alat

- Compresor = 1 @ Rp 3.000.000 - Handsprayer = 1 @ Rp 300.000 - Alat penggali lumpur = 2 @ Rp 50.000

3.000.000 300.000 50.000 Upah tenaga kerja :

- Pengorek lumpur = 2 @ Rp 60 - Pembibit ( Rp 35/polibag) = 40000 @ Rp 35 - Pemupukan = 2 @ Rp 30.000 - Perawatan = 4 @ Rp 30.000 120.000 1.400.000 60.000 120.000

Biaya pupuk dan insektisida 100.000

Total 7.920.000

Biaya Tetap

Komponen Biaya Besaran (Rp)

Gaji pimpinan 5.000.000

Pemeliharaan peralatan 100.000

Sewa lahan 700.000

Pungutan non formal 100.000

Total 5.900.000 TC = TVC + TFC = Rp 7.920.000,00 + Rp 5.900.000,00 TC = Rp 13.820.000,00 TR = P x Q = Rp 400,00 x 40000 = Rp 16.500.000,00 Keuntungan = TR – TC = Rp 16.500.000,00 – Rp 13.820.000,00 = Rp 2.680.000,00 PENDAHULUAN

(14)

Latar Belakang

Perubahan yang terjadi pada wilayah pesisir dan laut tidak hanya sekedar gejala alam semata, tetapi kondisi ini sangat besar dipengaruhi oleh aktivitas manusia yang ada di sekitarnya. Wilayah pesisir merupakan wilayah pintu gerbang bagi berbagai dampak dari aktivitas tersebut. Dengan kata lain wilayah pesisir merupakan wilayah yang pertama kali dan paling banyak menerima tekanan dibandingkan dengan wilayah lain. Tekanan tersebut muncul dari aktivitas pembangunan seperti pembangunan pemukiman dan aktivitas perdagangan karena wilayah pesisir paling rentan terhadap perubahan baik secara alami atau fisik sehingga terjadi penurunan kualitas lingkungan, salah satunya adalah ekosistem mangrove (Huda, 2008).

Ekosistem mangrove dikenal sebagai hutan yang mampu hidup beradaptasi pada lingkungan pesisir yang sangat ekstrim, tapi keberadaannnya rentan terhadap perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan tersebut disebabkan adanya tekanan ekologis yang berasal dari alam dan manusia. Bentuk tekanan ekologis yang berasal dari manusia umumnya berkaitan dengan pemanfaatan mangrove seperti konversi lahan menjadi pemukiman, pertambakan, pariwisata, pencemaran, dan penebangan hutan secara besar-besaran (Pratiwi 2009).

Kawasan mangrove merupakan suatu kawasan yang berfungsi sebagai penghubung antara lautan dan daratan. Kawasan ini perlu dilindungi, karena memiliki banyak fungsi dan manfaat bagi manusia. Kawasan mangrove juga layak untuk diperhatikan dan diprioritaskan sebagai devisa bagi masyarakat dan

(15)

negara, karena fungsi hutan mangrove dapat mensejahterakan masyarakat bukan hanya di pesisir pantai namun juga di daerah daratan (Arief, 2001).

Penurunan luas hutan mangrove terjadi secara terus menerus sepanjang tahun. Kerusakan mangrove dapat terjadi secara alamiah atau melalui tekanan masyarakat. Secara alami umumnya kadar kerusakannya jauh lebih kecil daripada kerusakan akibat ulah manusia. Kerusakan alamiah timbul karena peristiwa alam seperti adanya topan badai atau iklim kering berkepanjangan. Banyak kegiatan manusia di sekitar kawasan hutan mangrove yang berakibat perubahan karakteristik fisik dan kimiawi di sekitar habitat mangrove sehingga tempat tersebut tidak lagi sesuai bagi kehidupan dan perkembangan flora dan fauna di hutan mangrove (Irwanto, 2008).

Penurunan luas kawasan hutan mangrove yang terjadi saat ini adalah akibat banyaknya gangguan pada hutan mangrove seperti penebangan, alih fungsi mangrove menjadi tambak ikan, pemukiman dan lahan pertanian. Mengingat fungsi mangrove secara ekologis dan ekonomis sehingga perlu adanya pengkajian usaha-usaha yang memanfaatkan keberadaan mangrove dengan tidak merusak ekosistem mangrove tetapi justru memberi manfaat dalam pelestarian mangrove itu sendiri. Salah satu usaha yang memanfaatkan keberadaan mangrove adalah pembibitan mangrove yang bersifat mutualisme terhadap keberadaan mangrove itu sendiri. Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan penelitian mengenai analisis kelayakan ekonomi pembibitan mangrove untuk dapat dikembangkan sebagai usaha yang mendatangkan profit bagi masyarakat sekitar hutan mangrove pada umumnya.

(16)

Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah: 4. Bagaimana proses dan teknik pembibitan mangrove?

5. Bagaimana tingkat kelayakan finansial usaha pembibitan mangrove?

6. Bagaimana kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity) dan ancaman (threat) usaha pembibitan mangrove?

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

4. Untuk mengetahui proses dan teknik pembibitan mangrove

5. Untuk mengetahui tingkat kelayakan finansial usaha pembibitan mangrove 6. Untuk mengetahui kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang

(opportunity) dan ancaman (threat) usaha pembibitan mangrove Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

4. Sebagai sumber referensi untuk pengembangan usaha pembibitan mangrove

5. Membuka wawasan masyarakat sekitar hutan mangrove untuk mengembangkan usaha pembibitan mangrove

6. Memudahkan instansi pemerintah dan swasta untuk memporoleh bibit untuk kegiatan rehabilitasi mangrove yang terdegradasi

(17)

Kerangka Pemikiran

Hutan mangrove memiliki manfaat/fungsi ekonomi, ekologis dan fisik. Pemanfaatan mangrove secara ekonomi saat ini, kurang memperhatikan aspek ekologis dan fungsi fisik hutan mangrove. Bagaimana teknik pemanfaatan mangrove secara ekonomi dengan tetap memperhatikan kelestarian hutan mangrove belum banyak diteliti. Satu diantara beberapa unit usaha yang memanfaatkan keberadaan mangrove, yaitu usaha pembibitan mangrove yang di dalamnya tercakup aspek yang diteliti adalah pembibitan mangrove, analisis kelayakan finansial dan strategi pengembangan. Kerangka pelaksanaan penelitian ini secara garis besar disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka pemikiran HUTAN MANGROVE EKOLOGIS PEMBIBITAN MANGROVE MANFAAT/FUNGSI EKONOMI ANALISIS KELAYAKAN EKONOMI PROSES PEMBIBITAN FISIK ANALISIS SWOT

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Mangrove

Beberapa ahli mendefinisikan istilah “mangrove” secara berbeda-beda, namun pada dasarnya merujuk pada hal yang sama. Menurut Soerianegara dalam Noor et al. (2006) mendefinisikan hutan mangrove sebagai hutan yang terutama tumbuh pada tanah lumpur aluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan terdiri atas jenis-jenis pohon Aicennia,

Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria,

Xylocarpus, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa.

Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di daerah relindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pada saat surut yang komunitas tumbuhan bertoleransi terhadap garam. Hutan mangrove sering disebut juga hutan pasang surut, hutan payau atau hutan bakau. Istilah bakau sebenarnya hanya merupakan nama dari salah satu jenis tumbuhan yang menyusun hutan mangrove yaitu Rhizophora sp. (Kusmana, 1995).

Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah anaerob. Secara ringkas hutan mangrove dapat didefenisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhnya bertoleransi terhadap garam (Santoso et al. dalam Irmayeni, 2010).

(19)

Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan khusus untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ekstrim, seperti kondisi tanah yang tergenang, kadar garam yang tinggi serta kondisi tanah yang kurang stabil. Dengan kondisi lingkungan seperti itu, beberapa jenis mangrove mengembangkan mekanisme yang memungkinkan secara aktif mengeluarkan garam dari jaringan, sementara yang lainnya mengembangkan sistem akar napas untuk membantu memperoleh oksigen bagi sistem perakarannya. Beberapa jenis mangrove berkembang dengan buah yang sudah berkecambah sewaktu masih di pohon induknya (vivipar), seperti Kandelia, Bruguiera, Ceriops dan Rhizophora (Noor et al., 2006).

Habitat dan Struktur Vegetasi Mangrove

Habitat mangrove seringkali ditemukan di tempat pertemuan antara muara sungai dan air laut yang kemudian menjadi pelindung daratan dari gelombang laut yang besar. Sungai mengalirkan air tawar untuk mangrove dan pada saat pasang, pohon mangrove dikelilingi oleh air payau. Hutan mangrove ditemukan di sepanjang pantai daerah tropis dan subtropis, antara 32º Lintang utara dan 38º Lintang Selatan. Hidup pada suhu dari 19º sampai 40º C dengan toleransi fluktuasi tidak lebih dari 10º C (Irwanto, 2006).

Vegetasi mangrove secara khas memperlihatkan adanya pola zonasi. Sebagian besar jenis-jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah berlumpur, terutama di daerah dimana endapan lumpur terakumulasi. Kondisi salinitas sangat mempengaruhi komposisi mangrove. Berbagai jenis mangrove mengatasi kadar salinitas dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa diantaranya secara selektif mampu menghindari penyerapan garam dari media tumbuhnya, sementara

(20)

beberapa jenis yang lainnya mampu mengeluarkan garam dari kelenjar khusus pada daunnya (Noor et al., 2006).

Hutan mangrove memiliki formasi yang khas daerah tropika. Hutan mangrove terdapat di pantai rendah dan tenang, berlumpur atau sedikit berpasir yang mendapat pengaruh pasang surut air laut, dimana tidak ada ombak keras. Hutan ini disebut juga hutan bakau karena dominasi tegakannya jenis bakau atau disebut hutan payau karena hidup di lokasi yang payau akibat mendapat buangan air dari sungai atau air tanah. Pohon-pohon yang tumbuh pada hutan mangrove umumnya berdaun tebal dan mengkilat karena adaptasi evavotranspirasi. Tajuk pepohonan hanya satu dengan ketinggian umumnya rata-rata dapat mencapai 50 m. Komposisi hutan bakau terdiri atas asosiasi beberapa jenis tanaman yang khas mulai dari pantai menuju ke darat (Arief, 2001).

Jenis-jenis tumbuhan hutan mangrove dapat digolongkan ke dalam sejumlah jalur tertentu sesuai dengan tingkat toleransinya terhadap kadar garam dan fluktuasi permukaan air laut di pantai, dan jalur seperti itu disebut juga zonasi vegetasi. Jalur-jalur atau zonasi vegetasi hutan mangrove masing-masing disebutkan secara berurutan dari yang paling dekat dengan laut ke arah darat sebagai berikut (Indriyanto dalam Syahputri, 2010):

5. Jalur pedada yang terbentuk oleh jenis tumbuhan Avicenia spp. dan Sonneratia spp.

6. Jalur bakau yang terbentuk oleh jenis tumbuhan Rhizophora spp. Ceriops spp. dan Xylocarpus spp.

(21)

7. Jalur tancang yang terbentuk oleh jenis tumbuhan Bruguera spp. dan kadang-kadang juga dijumpai Xylocarpus spp., kandelia spp. dan Aegiceras spp.

8. Jalur transisi antar hutan mngrove dengan hutan dataran rendah yang umunya adalah hutan nipah dengan jenis Nypa fruticans.

Vegetasi mangrove dapat berupa habitus, pohon, herba atau semak, termasuk paku-pakuan dan palem, yang umum terlihat di rataan lumpur, tepian sungai di pesisir-pesisir tropika Indonesia (Saputro et al., 2009).

Menurut Noor et al (2006) secara sederhana, mangrove umumnya tumbuh dalam 4 zona, yaitu pada daerah terbuka, daerah tengah, daerah yang memiliki sungai berair payau sampai hampir tawar, serta daerah ke arah daratan yang memiliki air tawar.

5. Mangrove terbuka, yaitu mangrove yang berada pada bagian yang berhadapan dengan laut.

6. Mangrove tengah, yaitu mangrove yang terletak di belakang mangrove zona terbuka. Di zona ini biasanya didominasi oleh jenis Rhizophora. 7. Mangrove payau, yaitu mangrove yang berada di sepanjang sungai berair

payau hingga hampir tawar. Di zona ini biasanya didominasi oleh komunitas Nypa atau Sonneratia.

8. Mangrove daratan, yaitu mangrove yang berada di zona perairan payau atau hampir tawar di belakang jalur hijau mangrove yang sebenarnya. Jenis-jenis yang umum ditemukan pada zona ini termasuk Ficus microcarpus (F. retusa), Intsia bijuga, N. fruticans, Lumnitzera racemosa, Pandanus sp. dan Xylocarpus moluccensis (Noor et al., 2006).

(22)

Flora dan Keragamannya

Di Indonesia sendiri, terdapat perbedaan dalam hal keragaman jenis mangrove antara satu pulau dengan pulau lainnya. Dari 202 jenis mangrove yang telah diketahui, 166 jenis terdapat di Jawa, 157 jenis di Sumatera, 150 jenis di Kalimantan, 142 jenis di Irian Jaya, 135 jenis di Sulawesi, 133 jenis di Maluku dan 120 jenis di Kepulauan Sunda Kecil. Satu hal yang harus diperhatikan adalah bahwa pembangunan yang mengakibatkan kerusakan dan peralihan peruntukan lahan mangrove telah terjadi di mana-mana. Hal ini berarti jenis-jenis yang tercatat dalam daftar diatas kemungkinan sebenarnya sudah tidak ditemukan di pulau tertentu (Noor et al., 2006).

Untuk kepentingan konservasi serta pengelolaan sumberdaya alam, jenis-jenis yang bersifat langka dan endemik haruslah diberi perhatian lebih. Hanya sedikit jenis mangrove yang bersifat endemik di Indonesia. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena buah mangrove mudah terbawa oleh gelombang dan tumbuh di tempat lain. Selain Amyema anisomeres (mangrove sejati), masih terdapat 2 jenis endemik lainnya (mangrove ikutan), yaitu Ixora timorensis

(Rubiaceae) yang merupakan jenis tumbuhan kecil yang diketahui berada di Pulau Jawa dan Kepulauan Sunda Kecil, serta Rhododendron brookeanum (Ericaceae) yang merupakan epifit berkayu yang diketahui berada di Sumatera dan Kalimantan.

Dalam hal kelangkaan, di Indonesia terdapat 14 jenis mangrove yang langka, yaitu (Noor et al., 2009):

4. Lima jenis umum setempat tetapi langka secara global, sehingga berstatus rentan dan memerlukan perhatian khusus untuk pengelolaannya.

(23)

Jenis-jenisnya adalah Ceriops decandra, Scyphiphora hydrophyllacea, Quassia indica, Sonneratia ovata, Rhododendron brookeanum (dari 2 sub-jenis, hanya satu terkoleksi).

5. Lima jenis yang langka di Indonesia tetapi umum di tempat lainnya, sehingga secara global tidak memerlukan pengelolaan khusus. Jenis-jenis tersebut adalah Eleocharis parvula, Fimbristylis sieberiana, Sporobolus virginicus, Eleocharis spiralis dan Scirpus litoralis.

6. Empat jenis sisanya berstatus langka secara global, sehingga memerlukan pengelolaan khusus untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Jenis-jenis tersebut adalah Amyema anisomeres, Oberonia rhizophoreti, Kandelia candel dan Nephrolepis acutifolia. Dua diantaranya, A. anisomeres dan

N.acutifolia hanya terkoleksi satu kali, sehingga hanya diketahui tipe setempat saja.

Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove

Ekosistem hutan mangrove memiliki fungsi ekologis, ekonomis dan sosial yang penting dalam pembangunan, khususnya di wilayah pesisir. Pemanfaatan hutan mangrove dimanfaatkan terutama sebagai penghasil kayu untuk bahan kontruksi, kayu bakar dan bahan baku untuk membuat arang dan juga utnuk dibuat pulp. Di samping itu ekosistem mangrove dimanfaatkan sebagai pemasok larva ikan dan udang alam (LPP Mangrove, 2008).

Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro.

(24)

Sedangkan fungsi ekonominya antara lain: penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit (Rochana, 2009).

Hutan mangrove mempunyai fungsi-fungsi penting dan fungsi ganda, antara lain sebgai berikut;

1. Fungsi fisik, yakni sebagai pencegahan proses intrusi (pembebasan air laut) dan proses abrasi (erosi air laut).

2. Fungsi biologis, yakni sebagai tempat pembenihan ikan, udang, kerang dan tempat bersarang burung-burung serta berbagai jenis biota. Penghasil bahan pelapukan sebagai sumber makanan penting bagi kehidupan sekitar lingkungannya.

3. Fungsi kimia, yakni sebagai tempat proses dekomposisi bahan organik dan proses-proses kimia lainya yang berkaitan dengan tanah mangrove.

4. Ekonomi, yakni sebagai sumber bahan bakar dan bangunan, lahan pertanian dan perikanan, obat-obatan , dan usaha-usaha pembibitan.

Secara garis besar manfaat hutan mangrove dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu;

1. Manfaat ekonomis yang terdiri atas:

c. Hasil berupa kayu (kayu kontruksi, kayu bakar, arang, serpihan kayu untuk bubur kayu, tiang/pancang).

d. Hasil bukan kayu. Hasil hutan ikutan (non kayu) dan lahan (Ecotourisme dan lahan budidaya)

2. Manfaat ekologi, yang terdiri atas berbagai fungsi perlindungan lingkungan ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagai jenis fauna.

(25)

Hasil hutan mangrove non kayu sampai dengan sekarang belum banyak dikembangkan di Indonesia. Padahal apabila dikaji dengan baik, potensi sumberdaya hutan mangrove non kayu di Indonesia sangat besar dan dapat mendukung pengelolaan hutan mangrove (Junaidi dalam Irmayeni 2010).

Hutan Mangrove di Indonesia

Tekanan terhadap mangrove meningkat sejak tahun 1982. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal yang memiliki efek “domino” seperti pertambahan populasi manusia, peningkatan produksi pangan, peningkatan kebutuhan bahan industri dan peningkatan alih fungsi lahan mangrove menjadi lahan pemukiman, pertanian atau budidaya. Oleh karena itu, proporsi luas hutan mangrove menurun tajam. Dewasa ini diera teknologi modern diperkenalkan banyak bahan penghasil

chip atau pulp dieksploitasi dari hutan mangrove. Namun, kebanyakan dari kegiatan eksploitasi tersebut tidak diikuti oleh pertanggungjawaban atas kerusakannya. Akhirnya banyak di antara lahan-lahan konversi tersebut ditinggalkan begitu saja setelah tidak produktif lagi dan berubah menjadi lahan terlantar dan kritis (Saputro et al., 2009).

Di Indonesia perkiraan luas mangrove juga sangat beragam. Luas mangrove Indonesia 2,5 juta hektar, Direktorat Bina Program INTAG dalam

Noor et al (2006) menyebutkan 3.5 juta hektar dan Spalding, et aldalam Noor et al (2006) menyebutkan seluas 4,5 juta hektar. Dengan areal seluas 3,5 juta hektar, Indonesia merupakan tempat mangrove terluas di dunia (18 - 23%) melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 juta ha).

Umumnya mangrove dapat ditemukan di seluruh kepulauan Indonesia. Mangrove terluas terdapat di Irian Jaya sekitar 1.350.600 ha (38%), Kalimantan

(26)

978.200 ha (28 %) dan Sumatera 673.300 ha (19%). Di daerah-daerah ini dan juga daerah lainnya, mangrove tumbuh dan berkembang dengan baik pada pantai yang memiliki sungai yang besar dan terlindung. Walaupun mangrove dapat tumbuh di sistem lingkungan lain di daerah pesisir, perkembangan yang paling pesat tercatat di daerah tersebut (Noor et al., 2006).

Tekanan yang berlebihan terhadap kawasan hutan mangrove untuk berbagai kepentingan tanpa mengindahkan kaidah-kaidah pelestarian alam telah mengakibatkan terjadinya penurunan luas hutan mangrove yang cukup drastis. Berdasarkan data tahun 1984, Indonesia memiliki mangrove dalam kawasan hutan seluas 4,25 juta ha, kemudian berdasar hasil interpretasi citra landsat (1992) luasnya tersisa 3,812 juta ha. Namun demikian, lebih dari setengah hutan mangrove yang ada (57,6 %), ternyata dalam kondisi rusak parah, di antaranya 1,6 juta ha dalam kawasan hutan dan 3,7 juta ha di luar kawasan hutan. Kecepatan kerusakan mangrove mencapai 530.000 ha/th (Anwar dan Gunawan, 2006).

Dalam hal struktur, mangrove di Indonesia lebih bervariasi bila dibandingkan dengan daerah lainnya. Dapat ditemukan mulai dari tegakan

Avicennia marina dengan ketinggian 1 - 2 meter pada pantai yang tergenang air laut, hingga tegakan campuran Bruguiera-Rhizophora-Ceriops dengan ketinggian lebih dari 30 meter (misalnya, di Sulawesi Selatan). Di daerah pantai yang terbuka, dapat ditemukan Sonneratia alba dan Avicennia alba, sementara itu di sepanjang sungai yang memiliki kadar salinitas yang lebih rendah umumnya ditemukan N. fruticans dan S. caseolaris. Umumnya tegakan mangrove jarang ditemukan yang rendah kecuali mangrove anakan dan beberapa jenis semak seperti Acanthus ilicifolius dan Acrostichum (Noor et al., 2006).

(27)

Sejauh ini di Indonesia tercatat setidaknya 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan 1 jenis paku. Dari 202 jenis tersebut, 43 jenis (diantaranya 33 jenis pohon dan beberapa jenis perdu) ditemukan sebagai mangrove sejati (true mangrove), sementara jenis lain ditemukan disekitar mangrove dan dikenal sebagai jenis mangrove ikutan (mangrove asociate). Di seluruh dunia, sebanyak 60 jenis tumbuhan mangrove sejati. Dengan demikian terlihat bahwa Indonesia memiliki keragaman jenis yang tinggi.

Pengelolaan Hutan Mangrove di Indonesia

Menurut Rochana (2009) pengelolaan mangrove di Indonesia didasarkan atas tiga tahapan utama (isu-isu). Isu-isu tersebut adalah : isu ekologi dan sosial ekonomi, kelembagaan dan perangkat hukum, serta strategi dan pelaksanaan rencana.

4. Isu ekologi dan isu sosial ekonomi

Isu ekologi meliputi dampak ekologis intervensi manusia terhadap ekosistem mangrove. Berbagai dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove harus diidentifikasi, baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi di kemudian hari. Adapun isu sosial ekonomi mencakup aspek kebiasaan manusia (terutama masyarakat sekitar hutan mangrove) dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove. Begitu pula kegiatan industri, tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan sebagainya di sekitar hutan mangrove harus diidentifikasi dengan baik.

(28)

5. Isu kelembagaan dan perangkat hukum

Di samping lembaga-lembaga lain, Departemen Pertanian dan Kehutanan, serta Departemen Kelautan dan Perikanan, merupakan lembaga yang sangat berkompeten dalam pengelolaan mangrove. Koordinasi antar instansi yang terkait dengan pengelolaan mangrove adalah mendesak untuk dilakukan saat ini. Aspek perangkat hukum adalah peraturan dan undang-undang yang terkait dengan pengelolaan mangrove. Sudah cukup banyak undang-undang dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah dan instansi-instansi yang terkait dalam pengelolaan mangrove. Yang diperlukan sekarang ini adalah penegakan hukum atas pelanggaran terhadap perangkat hukum tersebut.

6. Strategi dan pelaksanaan rencana

Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari. Kedua konsep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove (Bengen

dalam Rochana, 2009). Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka

perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai.

Dalam konteks di atas, berdasarkan karakteristik lingkungan, manfaat dan fungsinya, status pengelolaan ekosistem mangrove dengan didasarkan data tataguna hutan, terdiri atas: kawasan lindung (hutan, cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman laut, taman hutan raya, cagar biosfir) dan

(29)

kawasan Budidaya (hutan produksi, areal penggunaan lain). Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan mangrove dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya. Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah pola partisipatif meliputi : komponen yang diawasi, sosialisasi dan pengawasan, mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi (Santoso dalam Rochana, 2009).

Mengingat fungsi dan manfaat hutan mangrove yang sangat penting, maka perlu suatu strategi pengamanan dan pengembangannya, antara lain (Arief, 2001):

4. Mengamankan, yaitu melindungi genetik, spesies habitat, dan ekosistemnya terutama menjaga penurunan kualitas komponen-komponen utama dan mengembalikan spesies-spesies yang hilang ataupun punah ke habitat aslinya.

5. Mempelajari, yaitu berusaha mendokumentasikan karakteristik sifat biologis, ekologis dan sosial ekonomi yang berupa pengertian peran dan manfaat genetik, spesies dan ekosistem.

6. Memanfaatkan, yaitu pengembangan secara lestari dan seimbang dengan teknik-teknik yang mampu mempertahankan keberadaan ekosistemnya sebagai penunjang kehidupan secara adil.

Pembibitan Mangrove

Dalam penanaman mangrove, kegiatan pembibitan dapat dilakukan dan dapat tidak dilakukan. Apabila keberadaan pohon/buah mangrove disekitar lokasi

(30)

penanaman banyak, kegiatan pembibitan dapat tidak dilakukan. Apabila keberadaan pohon/buah disekitar lokasi penanaman sedikit atau tidak ada, kegiatan pembibitan sebaiknya dilaksanakan. Adanya kebun pembibitan akan menguntungkan terutama bila penanaman dilaksanakan pada saat tidak musim puncak berbuah atau pada saat dilakukan penyulaman tanaman. Selain itu, penanaman melalui buah yang dibibitkan akan menghasilkan persentase tumbuh yang tinggi.

Kegiatan pembibitan meliputi pemilihan lokasi persemaian, pembangunan bedeng persemaian, pembuatan bibit. pohon bakau yang baik sebagai sumber buah berasal dari tegakan berumur 10 tahun keatas, sedangkan pohon soneratia dan avicenia dari tegakan berumur sekitar 8 - 10 tahun (Khazali, 1999).

Analisis Kelayakan Usaha

Studi kelayakan adalah studi atau penelitian dalam rangka untuk menilai layak tidaknya investasi yang akan dilakukan dengan berhasil dan menguntungkan secara ekonomis. Investasi atau penanaman modal dalam suatu perusahaan tidak lain adalah menyangkut penggunaan sumber-sumber yang diharapkan akan memberikan imbalan (pengembalian) yang menguntungkan dimasa yang akan mendatang. Apapun bentuk investasi yang akan dilakukan diperlukan studi kelayakan meskipun intensitasnya berbeda. Adapun manfaat yang diharapkan dilakukannya studi kelayakan proyek adalah memberikan masukan informasi kepada decision maker dalam rangka untuk memutuskan dan menilai alternatif proyek investasi yang akan dilakukan (Suratman, 2001).

(31)

suatu aktivitas yang mengeluarkan uang dengan harapan untuk mendapatkan hasil (returns) di waktu yang akan datang dan yang dapat direncanakan, dibiayai dan dilaksanakan sebagai suatu unit. Aktivitas suatu proyek selalu ditujukan untuk mencapai suatu tujuan (objective), mempunyai suatu titik tolak (starting point) dan suatu titik akhir (ending point) baik biaya-biayanya maupun hasilnya yang dapat diukur (Kadariah et al., 1999).

Suatu usaha dikatakan baik dan layak bila dalam perhitungan kelayakan usaha memenuhi keriteria. Adapun beberapa perhitungan yang digunakan untuk menilai kelayakan usaha antara lain B/C ratio dan Break Evebt Point (BEP). Analisis SWOT

Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi usaha. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan. Dengan demikian perencanaan strategis (strategic planner) harus menganalisis faktor-faktor strategis usaha pembibitan (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini. Hal ini disebut dengan analisis situasi. Model yang paling populer untuk analisis situasi adalah analisis SWOT (Rangkuti, 1997).

Menurut Rangkuti (1997) penelitian menunjukkan bahwa kinerja pemilik usaha dapat ditentukan oleh kombinasi faktor internal dan eksternal. Kedua faktor tersebut harus dipertimbangkan dalam analisis SWOT. Analisis SWOT

(32)

membandingkan antara faktor eksternal peluang (opportunities) dan ancaman (threats) dengan faktor internal kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses).

Untuk dapat memenangkan sebuah persaingan, suatu unit usaha harus memliki keunggulan kompetitif (competitive advantage). Keunggulan kompetitif akan membedakan unit usaha dengan kompetitornya dalam hal bagaimana meraih sukses yang menyebabkan pemilik usaha tersebut mempunyai prestasi yang jauh lebih daripada kompetisinya. Keunggulan bersaing merupakan hasil dari kemampuan usaha tersebut menanggulangi faktor persaingan secara lebih ketimbang para kompetitornya. Bentuk kuadran analisis SWOT dapat dilihat pada Gambar 2 (Suratman, 2001).

2. Mendukung strategi 1. Mendukung strategi turn-arround agresif

3. Mendukung strategi 4. Mendukung strategi

difensif diversifikasi

Gambar 2. Analisis SWOT BERBAGAI PELUANG BERBAGAI ANCAMAN KELEMAHAN INTERNAL KEKUATAN INTERNAL

(33)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Desa Percut, Kecamatan Percut Seituan, Kabupaten Deli Serdang. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2012 sampai Juni 2012.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah kamera digital, kalkulator, alat-alat tulis dan perangkat komputer, kuisioner dan panduan wawancara. Bahan yang digunakan adalah usaha pembibitan mangrove Wahana Bahari.

Responden

Responden dalam penelitian ini adalah pemilik usaha, staf administrasi dan tenaga kerja.

Metode Pengambilan Data

Menurut Suratman (2001), jenis data yang diperlukan dalam studi kelayakan dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan, yaitu data kuantitatif dan data kualitatif.

Sumber data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer meliputi data umum tenaga kerja, proses pembibitan, biaya produksi, upah tenaga kerja, modal, serta data pendukung lainnya yang didapat dengan (1) wawancara dengan membuatan daftar pertanyaan (kuisioner) dan (2) observasi (pengamatan dilapangan). Data sekunder yang dibutuhkan meliputi data umum perusahaan dan data pendukung lainnya yang diperoleh melalui (3) studi pustaka.

(34)

Analisis Data

Proses pembibitan mangrove

Untuk mengetahui proses pembibitan mangrove Wahana Bahari. Diperoleh dengan observasi (pengamatan di lapangan), wawancara, dokumentasi dan kuisioner.

Analisis kelayakan usaha

Menurut Suratman (2001), analisis kelayakan usaha diperlukan untuk menilai layak tidaknya investasi yang dilakukan dengan berhasil dan menguntungkan secara ekonomi. Dalam studi kelayakan usaha, dilakukan analisis biaya produksi dan pendapatan. Setelah mengetahui biaya produksi dan pendapatan dilanjutkan dengan analisis R/C ratio dan Break Event Point (BEP)

4. Analisis biaya produksi dan pendapatan

Analisis biaya dan pendapatan dilakukan perhitungan biaya produksi total yang terdiri dari dua, yaitu biaya tetap total dan biaya variabel total. Setelah diketahui biaya produksi dilanjutkan dengan perhitungan penerimaan dan keuntungan. Menurut Aziz (2003) dalam perhitungan biaya produksi dan pendapatan digunakan rumus sebagai berikut:

- Biaya produksi TC = TFC + TVC Keterangan:

TC = Total cost (biaya total)

TFC = Total fix cost (biaya tetap total)

(35)

-Penerimaan TR = P x Q Keterangan:

TR = Total revenue (penerimaan total) P = Price per unit (harga jual per unit) Q = quantity (jumlah produksi)

-Pendapatan/keuntungan Keuntungan = TR – TC Keterangan:

TR = Total revenue (penerimaan total) TC = total cost (biaya total)

5. Revenue Cost Ratio (R/C)

Metode R/C ratio merupakan perbandingan penerimaan dengan biaya yang dikeluarkan. Menurut Kuswadi (2006), untuk menghitung R/C ratio dapat digunakan rumus sebagai berikut:

R/C = TC TR Keterangan: TR = Total Revenue TC = Total Cost Kriteria penilaian R/C :

R/C < 1 = Usaha tidak layak R/C > 1 = Usaha layak

(36)

6. Pendekatan Break Even Point (BEP)

Analisis Break Even Point (BEP) adalah suatu analisis yang bertujuan untuk menunjukkan biaya yang sama dengan pendapatan. Menurut Aswoko (2009) perhitungan BEP dapat dilakukan dengan dua rumus yaitu:

- BEP biaya produksi = Biaya total Harga produk - BEP harga produksi = Biaya total

Total produksi Analisis Strategi Pengembangan

Menurut Rangkuti (1997), proses penyusunan perencanaan strategis melalui tiga tahap analisis, yaitu: tahap pengumpulan data (identifikasi faktor internal dan eksternal), tahap analisis dan tahap pengambilan keputusan yang dilakukan dengan pendekatan kualitatif matrik SWOT dan pendekatan kuantitatif analisis SWOT.

4. Identifikasi faktor internal dan eksternal

Identifikasi faktor internal mencakup kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness) yang berasal dari dalam usaha pembibitan mangrove Wahana Bahari seperti, Sumber Daya Manusia (SDM), bahan baku, modal, pemasaran, sistem manajemen dan faktor lainnya. Sementara identifikasi faktor eksternal mencakup faktor peluang (opportunity) dan tantangan (threath) yang berasal dari luar usaha seperti kompetitor, peran serta pemerintah, kondisi sosial, dan data faktor lainnya. Identifikasi faktor internal dan faktor eksternal disajikan pada Tabel 1 dan 2. Tabel 1. Identifikasi faktor internal

No Kekuatan (strength) Kelemahan (weakness) 1

2

(37)

Tabel 2. Identifikasi faktor eksternal

No Peluang (opportunity) Tantangan (threat) 1

2 dst.

5. Pendekatan kualitatif matrik SWOT

Dari hasil identifikasi faktor internal dan eksternal dilakukan analisis kedalam matrik SWOT yang menggambarkan keterkaitan satu sama lain. Matrik analisis SWOT disajikan pada Tabel 3berikut.

Tabel 3. Matrik analisis SWOT Faktor eksternal Faktor internal Peluang (O) - - - Anacaman (T) - - - Kekuatan (S) - - -

Strategi (SO) (a) - - - Strategi (ST) (b) - - - Kelemahan (W) - - - Strategi (WO) (c) - - - Strategi (WT) (d) - - - Sumber : Rangkuti (1997) Keterangan:

(e) Strategi mengoptimalkan kekuatan untuk memanfaatkan peluang (f) Strategi menggunakan kekuatan untuk mencegah dan mengatasi

ancaman/tantangan

(g) Strategi mengurangi kelemahan untuk memanfaatkan peluang

(h) Strategi mengurangi kelemahan untuk mencegah/mengatasi ancaman/tantangan.

(38)

6. Pendekatan kuantitatif analisis SWOT.

Skoring dan bobot faktor internal dan eksternal dilakukan untuk mengetahui kondisi usaha yang diteliti dan prioritas strategi yang akan dilaksanakan untuk pengembangan usaha tersebut. Bentuk skoring dan pembobotan faktor internal dan eksternal disajikan pada Tabel 4 dan Tabel 5.

Tabel 4. Skoring dan pembobotan faktor internal

No Kekuatan (strength) Skor (a) Bobot (b) Total (c) 1

2 dst.

Total kekuatan

No Kelemahan (weakness) Skor Bobot Total

1 2 dst.

Total kelemahan

Selisih total kekuatan – Total kelemahan = S – W = x Tabel 5. Skoring dan pembobotan faktor eksternal

No Peluang (opportunity) Skor (a) Bobot (b) Total (c) 1

2 dst.

Total peluang

No Tantangan (threat) Skor Bobot Total

1 2 dst.

Total tantangan

Selisih total peluang – Total tantangan = O – T = y

Keterangan Tabel 4 dan Tabel 5:

- Melakukan perhitungan skor (a) dan bobot (b) poin faktor serta jumlah total perkalian skor dan bobot (c = a x b) pada setiap Faktor S-W-O-T. Menghitung skor (a) masing-masing poin faktor dilakukan secara saling bebas. Saling bebas mengandung maksud bahwa penilaian terhadap sebuah

(39)

poin faktor tidak boleh dipengaruhi atau mempengaruhi penilaian terhadap poin faktor yang lainnya. Untuk menghitung bobot (b) masing-masing poin faktor dilaksanakan secara saling berketergantungan. Artinya, penilaian terhadap satu poin faktor adalah dengan membandingkan tingkat kepentingannya dengan poin faktor lainnya. Dengan demikian, formulasi perhitungannya adalah nilai yang telah didapat (dengan rentang nilainya maksimal sama dengan banyaknya jumlah poin faktor) dibagi dengan banyaknya jumlah poin faktor.

- Melakukan pengurangan antara jumlah total faktor S dengan W (x = S-W) dan faktor O dengan T (e = O-T); Perolehan angka (d = x).

Ketentuan batasan nilai bobot dan skoring faktor SWOT; - Pembobotan faktor SWOT :

1 = Sangat tidak berpengaruh 2 = agak berpengaruh

3 = Cukup berpengaruh 4 = Berpengaruh 5 = Sangat berpengaruh

- Skoring (scoring) faktor SWOT : 1 = Sangat kecil

2 = Sedang 3 = Besar 4 = Sangat besar

(40)

Nilai x dan y dimasukkan kedalam anilisis SWOT berupa kuadran (Rangkuti, 1997). Bentuk kuadran Pearce dan Robinson dalam Rangkuti (1997) analisis SWOT dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Kuadran analisis SWOT Pearce dan Robinson dalam Rangkuti (1997) Keterangan Gambar 3 kuadran analisis SWOT:

Kuadran I : Merupakan situasi yang sangat menguntungkan. Usaha tersebut memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang harus diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif (Growth oriented strategy).

Kuadran II : Meskipun menghadapi berbagai ancaman, usaha ini masih memiliki peluang dari segi internal. Strategi yang harus diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang. Rekomendasi strategis yang diberikan

y II I x III IV

(41)

adalah ubah Strategi, artinya disarankan untuk mengubah strategi sebelumnya.

Kuadran III : Usaha tersebut rmempunyai peluang yang sangat besar, tetapi lain pihak, usaha menghadapi beberapa kendala/kelemahan internal. Fokus strategi usaha ini adalah meminimalkan masalah-masalah internal. Rekomendasi strategis yang diberikan adalah strategi bertahan, artinya kondisi internal organisasi yang lemah yang dihadapkan pada situasi eksternal yang sulit menyebabkan perusahaan berada pada pilihan dilematis.

Kuadran IV : Merupakan situasi yang sangat tidak menguntungkan, usaha tersebut menghadapi berbagai ancaman dan kelemahan internal. Rekomendasi strategi yang diberikan adalah diversifikasi strategi artinya organisasi dalam kondisi mantap namun menghadapi sejumlah tantangan berat.

(42)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Usaha

Usaha pembibitan mangrove Wahana Bahari berlokasi di Dusun XVI Desa Percut, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang. Usaha ini berdiri pada tahun 1990. Berdirinya usaha ini atas dasar inisiatif pengusaha yang mempunyai kepedulian terhadap keberadaan hutan mangrove yang terus-menerus mengalami degradasi akibat ulah manusia seperti pembukaan tambak dan eksploitasi kayu mangrove sebagai bahan baku pembuatan arang.

Dulunya pembibitan mangrove ini berskala kecil, hanya untuk memenuhi kebutuhan penanaman mangrove dilahan sendiri yang secara terus-menerus mengalami perkembangan. Usaha ini semakin berkembang setelah adanya motivasi dari Yayasan Indonesia Untuk Kemajuan Masyarakat (YASIKA) dan pemerintah untuk menggalakkan penanaman mangrove dan pembibitan mangrove sehingga kebutuhan bibit mangrove semakin meningkat yang mempengaruhi terhadap perkembangan usaha pembibitan Mangrove Wahana Bahari.

Sebagai salah satu usaha yang bergerak dibidang pembibitan mangrove, Wahana Bahari terus mengembangkan usaha pembibitan dengan adanya kerja sama dengan Yayasan Gajah Sumatera (YAGASU) yang bersifat proyek sebagai lembaga swadaya yang berkonsentrasi dibidang lingkungan walaupun tidak berkelanjutan.

Tujuan Pembibitan Mangrove Wahana Bahari

Usaha pembibitan mangrove Wahana Bahari memanfaatkan keberadan hutan mangrove dan kondisi sosial yang kondusif. Keberlanjutan usaha ini sangat

(43)

bergantung pada keberadaan hutan mangrove. Jadi, kelestariannya harus tetap terjaga. Tujuan didirikannya usaha pembibitan mangrove Wahana Bahari, yaitu:

5. Memenuhi permintaan bibit dari pemerintah, lembaga swadaya dan masyarakat untuk kegiatan penanaman

6. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan fungsi dan manfaat hutan mangrove

7. Mengembangkan hutan mangrove yang lestari

8. Menambah pendapatan pemilik usaha dan masyarakat (tenaga kerja). Tenaga Kerja

Tenaga kerja usaha pembibitan Mangrove Wahana Bahari bersifat tidak tetap, artinya banyaknya tenaga kerja bergantung pada besarnya permintaan bibit yang akan diproduksi. Hal ini juga dipengaruhi oleh buah mangrove yang bersifat musiman sehingga pembibitan tidak dapat dilakukan setiap saat. Adapun sistem penggajian tenaga kerja terdapat dua sistem, yaitu harian dan borongan. Untuk harian menerima gaji setiap harinya dengan besaran yang sudah ditetapkan dan untuk penggajian borongan berdasarkan jumlah bibit yang dibibitkan (polibag). Jenis pekerjaan yang ada pada usaha pembibitan ini, yaitu pengorek lumpur, pembibit, pemupukan dan perawatan. Pada Tabel 6 disajikan sistem penggajian berdasarkan jenis pekerjaannya.

Tabel 6. Sitem penggajian berdasarkan jenis pekerjaan

Jenis pekerjaan Sitem penggajian Upah (Rp)

Pengorek lumpur Harian 60.000,00

Pembibit Borongan 35/polibag

Pemupukan Harian 30.000,00

(44)

Perbedaan upah kerja menurut jenis pekerjaannya ini berdasarkan tingkat kesulitan dan tenaga yang dibutuhkan dalam pengerjaannya. Upah pengorekan lumpur untuk tanah pembibitan lebih besar, yaitu Rp 60.000,00 karena tingkat kesulitan dan membutuhkan tenaga yang lebih besar. Sistem penggajian pemolibagkan bibit berbeda dengan sistem penggajian jenis pekerjaan lainnya. hal ini dilakukan untuk menghindari kerugian pemilik usaha.

Ketersediaan Bahan Baku

Ketersediaan bahan baku bersifat musiman. Pohon mangrove tidak dapat menghasilkan buah secara terus-menerus sehingga berpengaruh terhadap kapasitas pembibitan per tahunnya. Bahan baku berupa buah mangrove diperolah dari lahan milik dan hutan masyarakat. Buah yang berasal dari hutan masyarakat dibeli berdasarkan harga yang sudah ditetapkan. Besarnya harga buah mangrove berdasarkan jenisnya. Jenis mangrove yang biasa diproduksi dalam usaha pembibitan ini adalah jenis Rhizophora mucronata, R. stylosa, R. apiculata, Avicenia marina, Soneratia dan Bruguiera Sp.. Harga bahan baku berupa buah mangrove berdasarkan jenisnya dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Harga bahan bahan baku (buah mangrove) berdasarkan jenis

Jenis mangrove Harga (Rp)

Rhizophora muronata 100 Rhizophora stylosa 100 Rhizophora apiculata 100 Soneratia 100 Bruguiera Sp. 100 Avicenia marina 50

Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa harga jenis buah mangrove adalah sama meskipun tingkat kesulitan memperoleh bibit berbeda-beda. Terkecuali jenis A. marina seharga Rp 50,00- yang ketersediaannya melimpah.

(45)

Proses Pembibitan

Pemilihan lokasi persemaian

Lokasi persemaian pembibitan berada di pinggiran hutan mangrove seluas 4 ha yang merupakan lahan milik yang sebelumnya merupakan lahan kosong kemudian dilakukan rehabilitasi mangrove dengan bentuk agroforestry silvofishery dengan sistem empang parit. Lahan kosong yang dijadikan tambak ikan ditanami pohon bakau ditengah-tengah kolam dengan jarak tanam 2 x 3 dengan tujuan untuk meminimalisai biaya pakan, tempat pemijahan ikan dan menjaga kelestarian hutan bakau.

Lokasi pembibitan mangrove Wahana Bahari merupakan tanah lapang dan datar. Lokasi pembibitan terhindar dari jangkauan binatang ternak seperti kambing dan kepiting. Untuk menghindari hal tersebut lokasi pembibitan dibatasi oleh aliran air sehingga tidak bisa dijangkau oleh binatang ternak. Kriteria lokasi pembibitan terendam ketika pasang dan bebas genangan ketika surut, tanah berlumpur, terdapat cukup naungan dan sifat air asin. Lokasi pembibitan mangrove Wahana Bahari dapat dilihat pada Gambar 4.

(46)

Tempat persemaian

Dari luas areal pembibitan mangrove Wahana Bahari yang tersedia, sekitar 80 % dipergunakan untuk keperluan bedeng pembibitan, sisanya 20 % digunakan untuk jalan inspeksi, saluran air, gubuk kerja dan bangunan ringan lainnya. Tempat persemaian dibuat 2 x 2 meter untuk setiap plotnya. Atap atau naungan bibit menggunakan daun nipah. Pada lokasi pembibitan tidak membutuhkan banyak naungan karena banyak terdapat pohon yang sengaja ditanam sebagai naungan.

Untuk setiap plot ukuran 2 x 2 meter terdapat 1000 polibag bibit mangrove dengan tingkat persentase hidup sebesar 90 %. Artinya, untuk 1000 bibit per plot di dapat hasil 900 bibit yang siap jual. Antar plot dibuat jalan inspeksi untuk memudahkan dalam perawatannya. Lain hal dengan jenis Rhizophora mucronata terdapat 500 bibit per plot karena ukuran polibag yang digunakan lebih besar. Bentuk plot pembibitan dapat dilihat pada Gambar 5.

(47)

Pemilihan buah

Dalam rangkaian kegiatan penanaman mangrove, masing-masing jenis mangrove memiliki karakter yang berbeda. Pengumpulan buah mangrove akan mudah dan dalam jumlah banyak apabila dilakukan di musim puncaknya. Musim puncak berbuah ini berbeda-beda, tergantung pada jenis dan lokasi. Dilokasi pembibitan mangrove Wahana Bahari pengumpulan buah biasanya dilakukan setiap 2 kali dalam setahun pada pertengahan dan akhir tahun. Sumber buah berasal dari pohon mangrove yang sudah tua. Menurut Khazali (1999), pohon bakau yang baik sebagai sumber buah berasal dari tegakan berumur 10 tahun keatas, sedangkan pohon Soneratia dan Avicenia dari tegakan berumur sekitar 8 - 10 tahun.

Pemilihan buah pembibitan mangrove Wahana Bahari harus memenuhi beberapa kriteria. Buah mangrove yang layak untuk disemaikan harus sudah cukup tua dan bebas dari hama penyakit. Ciri-ciri buah yang sudah tua adalah sudah lepas dari bandulan (pericarp), warna kekuningan dan kelihatan bening atau mengkilat. Menurut Noor (1999) menyatakan bahwa buah yang dipilih sebaiknya sehat, tidak terserang hama penyakit, serta belum berdaun. Cirri kematangan propagul kotiledon berwarna hijau kekuning-kuningan berbentuk seperti cincin melinkar (untuk jenis Rhizophora).

Sebelum disemaikan, terlebih dahulu dilakukan pemeraman selama 2 hari untuk mematangkan buah yang mempengaruhi terhadap kualitas bibit yang akan dihasilkan. Hal ini tidak sesuai dengan pernyatan Simarmata (2011) bahwa lama penyimpanan sebaiknya kurang dari 10 hari untuk Rhizophora Mucronata dan 5 hari untuk R. Apiculata. Penyimpanan dimaksudkan untuk menghilangkan aroma

(48)

segar dan membuat benih berkerut. Dengan kondisi demikian maka kepiting/ketam tidak mau memakannya.

Pembuatan bibit

Dalam pembibitan, terlebih dahulu harus dipersiapkan media tanam yaitu tanah lumpur dari sekitar persemaian atau lumpur dari dasar tambak. Polibag dengan 10 x 15 cm untuk jenis Rhizophora stylosa, R. apiculata, Aviceni marina, Soneratia, Bruguiera Sp. dan ukuran 20 x 30 untuk jenis Rhizophora mucronata di isi dengan lumpur, kemudian dipadatkan. Sebelum disemaikan, buah diberi perlakuan perendaman dengan menggunakan pestisida yang dicampur dengan air. Tujuannya adalah untuk menghindar serangan hama seperti serangan jamur dan bakteri. Setelah disemaikan, bibit dipindahkan ke tempat persemaian ukuran 2 x 2 meter yang telah disiapkan.

Pengaturan naungan sangat penting untuk menghasilkan semai-semai yang berkualitas. Naungan berhubungan erat dengan temperatur dan evaporasi. Naungan bendeng persemaian mengunakan daun nipah dengan ketinggian antara 1-2 meter dan pohon-pohon yang ditanamai disekitar pembibitan sebagai naungan dengan intensitas cahaya 70 %. Hal ini tidak sesuai pernyataan Wibisono (2006) bahwa bendeng persemaian sebaiknya diberi naungan denagn intensitas cahaya sebesar 50% dengan lama pemberian naungan 1-2 bulan. Hal ini akan mempengaruhi pertumbuahn bibit dilapangan.

Untuk buah jenis Rhizophora stylosa, R. apiculata, Soneratia, Bruguiera benih dapat langsung disemaikan pada polibag yang sudah diisi dengan lumpur. Buah Avicenia marina yang juga langsung juga langsung disemaikan pada polibag tanpa walaupun ukuran buahnya relative kecil sehingga membutuhkan kontrol

(49)

karena buah sering keluar dari polibag sewaktu mau berkecambah. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Wibisono (2006) bahwa untuk benih yang kecil perlu dibuat bendeng tabur yang berfungsi untuk mengecambahkan benih. Untuk jenis Rhizophora mucronata ukuran media tanam (polibag) lebih besar karena ukuran buahnya yang relatif besar dan panjang.

Pemeliharaan

Kegiatan selanjutnya adalah pemeliharaan. Kegiatan pemeliharaan menyangkut kegiatan penyiraman, penyiangan, perlindungan dari hewan ternak dan pengendalian serangan hama penyakit..

Pada pembibitan mangrove Wahana Bahari tidak ada pemeliharaan yang bersifat rutinitas. Kegiatan penyiangan sangat jarang dilakukan. Bibit disiram setiap harinya pada sore hari jika bibit mengalami kekeringan. Hal nii sesuai dengan pernyataan Simarmata (2011) bahwa Apabila air pasang mencapai persemaian maka penyiraman tidak perlu dilakukan karena bibit akan tergenangi secara alami. Namun jika air pasang tidak mencapai persemaian maka penyiraman sebaiknya dilakukan dengan menggunakan air payau dari sumber terdekat pada pagi dan sore hariBibit yang sudah berumur diatas satu minggu dan belum menunjukkan pertumbuhan harus segera dilakukan pemupukan untuk meransang pertumbuhan vegetatifnya. Pupuk yang digunakan adalah jenis NPK jenis urea dan KCl yang dilarutkan dengan air dan dicampur dengan insektisida.

Serangan hama penyakit merupakan faktor utama penghambat keberhasilan pembibitan mangrove. Untuk menghindari serangan hama penyakit kemudian disemprot dengan menggunakan Solo pump. Kuantitas penyemprotan tergantung terhadap pertumbuhan bibit. Bibit yang berumur 2,5 bulan siap dan

(50)

layak untuk dijual. Contoh bibit mangrove yang layak jual dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Bibit mangrove yang berdaun 5 yang siap untuk dijual Analisis Finansial Pembibitan Mangrove Wahana Bahari

Analisis finansial digunakan untuk mengetahui tingkat kelayakan usaha pembibitan mangrove Wahana Bahari sehingga dapat digunakan sebagai acuan untuk pengembangan pembibitan mangrove di tempat lain. Analisis finansial yang telah dilakukan pada usaha pembibitan mangrove Wahana Bahari adalah sebagai berikut:

Biaya produksi dan pendapatan

Perhitungan biaya produksi dilakukan selama satu periode pembibitan dari awal sampai pemanenan, yaitu selama 2,5 bulan. Biaya total produksi terdiri atas biaya variabel dan biaya tetap. Biaya variabel adalah biaya yang besarnya tergantung terhadap jumlah produksi, seperti: bahan baku, pengadaan alat, upah tenaga kerja dan biaya perawatan. Sedangkan biaya tetap adalah biaya yang tidak

(51)

dipengaruhi oleh jumlah produksi, seperti: gaji pimpinan, sewa lahan, dan biaya perawatan peralatan. Hasil analisis biaya variabel dan biaya tetap dapat dilihat pada Lampiran 2.

Dari hasil analisis (Lampiran 2), diketahui bahwa pendapatan total berasal dari pengurangan penerimaan dengan biaya total. Perhitungan biaya produksi yang dikelompokkan kedalam tiga jenis bibit berdasarkan harga bahan baku dan harga jual bibit dengan jumlah produksi sebanyak 40000 bibit/jenis. Hasil rekapitulasi biaya produksi dan pendapatan untuk masing-masing jenis dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Biaya produksi dan pendapatan pembibitan mangrove Wahana Bahari

Jenis bibit TC (Rp) TR (Rp) I (Rp)

Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata, Soneratia dan Bruguiera Sp.

15.820.000 20.000.000 4.180.000

Rhizophora mucronata 16.170.000 40.000.000 23.830.000

Avicenia marina 13.820.000 16.500.000 2.680.000

Berdasarkan Tabel 8 diketahui biaya total (total cost) pembibitan paling besar adalah mangrove Rhizophora mucronata Rp 16.170.000,00. Hal ini disebabkan oleh biaya variabel berupa polibag lebih tinggi daripada jenis lainnya. Harga jual jenis bibit ini juga lebih tinggi yaitu Rp 1.000,00 sehingga menghasilkan penerimaan terbesar (total revenue) Rp 40.000.000,00 dan dapat mendatangkan keuntungan (income) Rp 23.830.000,00 per periode.

Penerimaan (total revenue) yang diperoleh dari jenis Avicenia lebih kecil daripada jenis lainnya yaitu Rp 16.500.000,00 dengan keuntungan (income) yang diperoleh Rp 2.680.000,00 Hal ini dipengaruhi oleh harga jualnya yang lebih rendah daripada jenis lainnya yaitu Rp 400/bibit. Tetapi biaya total (total cost) yang dikeluarkan jenis Avicenia marina yaitu Rp 13.820.000,00. Hal ini dipengaruhi oleh harga bahan bibit (buah) yang murah seharga Rp 50,00

(52)

Analisis R/C ratio

Analisi R/C ratio merupakan perbandingan penerimaan dengan biaya yang dikeluarkan yaitu biaya variabel dan biaya tetap. Sementara penerimaan merupakan perkalian antara harga produk dengan volume produksi. Tujuan dilakukan analisis R/C ratio adalah untuk mengetahui tingkat kelayakan suatu usaha dengan kriteria penilaian tertentu. Rekapitulasi nilai R/C ratio untuk setiap jenis bibit dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Nilai R/C ratio berdasarakan jenis bibit

Jenis bibit R/C ratio

Rhizophora stylosa,

Rhizophora apiculata, Soneratia, Bruguiera Sp.

1,2642

Rhizophora mucronata 2,4737

Avicenia marina 1,1939

Berdasarkan Tabel 9 dapat dilihat nilai R/C ratio lebih dari satu. Menurut Kuswadi (2006) menyatakan bahwa apabila nilai R/C lebih besar dari satu, usaha tersebut layak untuk dijalankan. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa usaha pembibitan mangrove Wahana Bahari layak untuk diusahakan.

Dari Tabel 9 dapat diketahui perbandingan nilai R/C ratio dari ketiga jenis bibit tersebur. Jenis bibit yang memberikan keuntungan yang lebih besar adalah Rhizophora mucronata. Dapat dinyatakan bahwa jenis tersebut yang paling layak untuk diusahakan karena memiliki nilai R/C ratio tertinggi sebesar 2,4737. Hal ini berarti setiap dengan modal sebesar Rp 16. 170.000,00 akan diperoleh hasil penjualan sebesar 2, 4737 kali jumlah modal. Berdasarkan nilai ini pendapatan yang diperoleh besar, hal ini dipengaruhi oleh modal yang kecil tetapi harga jual yang cukup tinggi.

(53)

Analisis Break Even Point (BEP)

Analisis Break Even Point (BEP) diperlukan dalam studi kelayakan adalah untuk menunjukkan titik impas dimana usaha tidak rugi dan tidak untung. Break Even Point (BEP) bertujuan untuk menunjukkan biaya yang sama dengan pendapatan. Nilai BEP untuk masing-masing jenis bibit disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Nilai BEP masing-masing jenis bibit

Jenis Bibit BEP Biaya Produksi (Bibit) Produksi (Bibit) BEP Harga Produksi (RP) Harga Peoduk (RP) Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata, Soneratia, Bruguiera Sp. 31640 40000 395,5 500 Rhizophora mucronata 16170 40000 404,2 1000 Avicenia marina 34550 40000 345,5 400

Dari Tabel 10 didapat nilai BEP terendah adalah jenis Rhizophora mucronata dengan BEP biaya produksi sebanyak 16170 bibit dan BEP harga produksi sebesar Rp 404,2,00 Dari hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa dengan penjualan 16170 bibit usaha pembibitan Wahana Bahari sudah mncapai titik impas dimana usaha tidak untung dan tidak rugi, dimana untuk memproduksi satu bibit diperlukan biaya sebesar Rp 404,2,00.

Analisis SWOT

Analisis strategi pengembangan menggunakan analisis SWOT untuk mengetahui kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity) dan ancaman (threat) usaha pembibitan mangrove. Dalam menjalankan suatu unit usaha harus memahami kondisi lingkungannya, baik lingkungan internal maupun lingkungan eksternal usaha untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Untuk itu

(54)

perlu ada identifikasi untuk mengetahui faktor internal (kekuatan, kelemahan) dan faktor eksternal (peluang, tantangan) tersebut sehingga didapat suatu strategi untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi di pembibitan mangrove Wahana Bahari di Dusun XVI Desa Percut, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang maka dibuat analisis strategi dengan menggunakan metode analisi SWOT.

Identifikasi faktor internal dan eksternal

Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lapangan maka dapat diketahui faktor internal, yaitu kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness) yang terdapat dalam tubuh usaha yang mempengaruhi mobilitas pembibitan Wahana Bahari. Kekuatan (strength) merupakan faktor yang mempengaruhi keberhasilan usaha baik dari keberlanjutan produksi maupun keuntungan yang diperoleh. Sedangkan kelemahan (weakness) merupakan faktor penghambat keberhasilan usaha tersebut. Pada Tabel 11 akan disajikan faktor-faktor internal, kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness) yang terdapat pada usaha pembibitan Wahana Bahari.

Tabel 11. Identifikasi faktor internal usaha pembibitan mangrove Wahana Bahari No Kekuatan (strength) Kelemahan (weakness) 1 Dekat dengan sumber bahan bibit Bahan bibit bersifat musiman 2 Potensi Sumber Daya Manusia (SDM) Kurangnya motivasi pelaku usaha 3 Tidak membutuhkan modal yang besar Serangan hama dan penyakit 4 Proses pembibitan yang sederhana Masih mengunakan cara tradisional 5 Tempat utau lokasi pembibitan Sistem manajemen yang kurang baik 6 Kualitas bibit yang dihasilkan Pemasaran yang belum optimal

Setelah identifikasi faktor internal, dilakukan indetifikasi faktor eksternal. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lapangan maka didapatkan

(55)

usaha yang ada pada waktu sekarang atau masa mendatang yang mempengaruhi keberhasilan pembibitan Wahana Bahari untuk mendapatkan tujuan yang diharapkan. Sedangkan tantangan (threat) merupakan faktor penghambat keberhasilan usaha tersebut. Pada Tabel 12 disajikan faktor-faktor eksternal, peluang (opportunity) dan tantangan (threat) yang terdapat pada usaha pembibitan Wahana Bahari.

Tabel 12. Identifikasi faktor eksternal usaha pembibitan mangrove Wahana Bahari

No Peluang (opportunity) Tantangan (threat)

1 Dukungan dari pemerintah dan LSM Tidak ada ijin usaha

2 Kondisi sosial yang cukup kondusif Munculnya kompetitor yang lebih unggul

3 Meningkatnya isu lingkungan Penanaman dari pemerintah/LSM yang bersifat proyek

4 Tingkat kompetitor yang rendah Kemampuan konsumen untuk membibitkan sendiri

5 Luas lahan mangrove yang terdegradasi Cakupan pasar yang terbatas (tidak bersifat umum)

Pendekatan kualitatif matrik analisis SWOT

Dari Tabel 11 dan Tabel 12 dibuat suatu analisis strategi dengan melihat fakor internal dan eksternal yang diadopsi kedalam matrik analisis SWOT (Tabel 13), sehingga dapat dilihat keterkaitan satu sama lain. Analisis strategi ini merupakan suatu analisis untuk mengidentifikasi berbagai kemungkinan untuk pengembangan dan pencapaian tujuan yang ingin didapatkan usaha pembibitan mangrove Wahana Bahari. Strategi-strategi tersebut adalah sebagai berikut:

5. Strategi S-O

Strategi ini didapat dengan memanfaatkan dan memaksimalkan kekuatan yang dimiliki untuk memanfaatkan peluang yang ada. Berdasarkan hasil analisis didapat rumusan strategi sebagai berikut:

(56)

- Lokasi yang dekat dengan sumber bahan bibit didukung dengan SDM yang baik dan proses pembbitan yang sederhana merupakan kekuatan untuk menangkap peluang berupa dukungan dari pemerintah dan LSM dan kondisi sosial yang kondusif

- Modal yang kecil dan didukung dengan lokasi atau tempat pembibitan dan kualitas bibit merupakan kekuatan untuk menangkap peluang tingkat kompetitor yang rendah, isu lingkungan dan kegiatan rehabilitasi

Perusahaan mempunyai banyak kelemahan, mau tidak mau perusahaan harus mengatasi kelemahan itu menjadi kuat. Sedangkan jika perusahan mengahadapi banyak ancaman maka perusahaan harus berusaha menghindarinya dan berusaha berkonsentrasi pada peluang yang ada (Umar, 2005). Dengan memanfaatkan keberadaan lokasi pembibitan, SDM, sistem pembibitan yang sederhana, modal yang kecil dan kualitas bibit diharapkan pembibitan Mangrove Wahana Bahari dapat memanfaatkan secara optimal keberadaan instansi pemerintah terkait, LSM dan kondisi sosial yang mendukung serta kompetitor yang rendah untuk menangkap peluang berupa kegiatan rehabilitasi akibat dari isu lingkungan seperti penurunan kualitas lingkungan.

6. Strategi S-T

Strategi ini didapat dengan memaksimalkan kekuatan yang dimiliki untuk mengantisifasi ancaman yang ada. Berdasarkan hasil analisis didapat rumusan stertegi sebagai berikut:

- Memanfaatkan potensi Sumber Daya Manusia (SDM) untuk membuat ijin usaha yang mempengaruhi terhadap kontinuitas usaha

(57)

- Meningkatkan kualitas bibit dengan memanfaatkan kondisi tempat pembibitan yang mendukung merupakan kekuatan untuk memperkecil ancaman kemapuan masyarakat membibitkan sendiri dan munculnya kompetitor baru

- Meningkatkan kegiatan pemasaran untuk memperluas cakupan pasar dengan memanfaatkan Sumber Daya Manusia (SDM) dan kualitas bibit merupakan kekuatan untuk menghindari produksi yang stagnan akibat dari penanaman yang bersifat proyek.

Strategi S-T bertujuan untuk menghindari atau mengurangi dampak dari ancaman-ancaman eksternal (Umar, 2002). Perijinan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam menjalankan suatu usaha karena mempengaruhi terhadap legalitas usaha dan kepercayaan (trust) konsumen untuk membeli bibit (porduk) yang diproduksi. Kualitas bibit merupakan salah satu pertimbangan konsumen untuk mau membeli produk usaha. Dengan kualitas bibit yang baik maka diharapkan akan semakin banyak konsumen yang mau bekerja sama (instansi pemerintah dan LSM) dan membeli sehingga menambah income pembibitan mangrove Wahana Bahari.

Pembibitan mangrove Wahana Bahari pada kenyataannya masih sangat kurang dalam kegiatan pemasaran. Hal ini dapat dilihat dari penjualan yang bersifat proyek, artinya permintaan tinggi ketika ada proyek rehabilitasi dari pemerintah ataupun lembaga swadaya tertentu. Perlu adanya strategi pemasaran (marketing) dengan membuat kerja sama terhadap instansi pemerintah yang terkait dalam hal ini dinas kehutanan dan dinas kelautan dan lembaga swadaya

Gambar

Gambar 1. Kerangka pemikiran HUTAN MANGROVE EKOLOGIS PEMBIBITAN MANGROVE MANFAAT/FUNGSI EKONOMI ANALISIS KELAYAKAN EKONOMI PROSES PEMBIBITAN  FISIK  ANALISIS SWOT
Tabel 2. Identifikasi faktor eksternal
Tabel 4. Skoring dan pembobotan faktor internal
Gambar 3. Kuadran analisis SWOT Pearce dan Robinson  dalam Rangkuti (1997)
+7

Referensi

Dokumen terkait

– Bozóky Mihály, Cantus catholici 1651, 1674, Dőri énekeskönyv, himnusz, Katolikus énekeskönyv (1768–1769), Katolikus énekeskönyv (1790), Magyar cantionale,

Salah satu permasalahan nasional yang kita hadapi dan harus dipecahkan serta dicarikan jalan keluarnya pada saat ini adalah masalah energi, baik untuk keperluan

1) Fungsi pernafasan. Penyuluhan meningkatkan kemampuan klien untuk batuk dan nafas dalam secara efektif. Penyuluhan meningkatkan kemampuan klien melakukan ambulasi dan

PENGADILAN AGAMA PEKANBARU : 402072 : 0900 WILAYAH/PROVINSI SATUAN KERJA Tgl.. NERACA PERCOBAAN TINGKAT

school. Penerapan green school di SMPN 26 Surabaya merupakan bagian dari strategi pemasaran pendidikan yaitu place yang berarti tempat atau lingkungan. Karena tempat dan

Pemilihan respirator harus berdasarkan pada tingkat pemaparan yang sudah diketahui atau diantisipasi, bahayanya produk dan batas keselamatan kerja dari alat pernafasan yang

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas kasih dan penyertaanNya penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul : Penerapan Pola Kemitraan dengan Sistem