• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Hakikat Anak Usia Dini

Anak adalah amanah dan karunia Allal Swt, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Artinya anak juga mempunyai hak untuk dapat hidup dan berkembang sesuai dengan pertumbuhannya. Anak usia dini merupakan sosok individu yang sedang menjalani suatu proses perkembangan dengan pesat dan fundamental bagi kehidupan selanjtunya. Anak usia dini adalah anak yang baru dilahirkan sampai usia 6 tahun. Usia ini merupakan usia yang sangat menentukan dalam pembentukan karakter dan kepribadian anak (Sujiono, 2009:7). Pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini perlu diarahkan pada aspek fisik, kognitif sosioemosinal, kreativitas, bahasa dan komunikasi yang khusus sesuai pola-pola tertentu yang seimbang sebagai peletak dasar pembentukan pribadi.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang di tunjukan kepada anak sejak lahir sampai enam tahun. Anak usia dini individu yang unik karena memiliki pola tumbuh kembang anak sejak lahir sampai enam tahun. Anak usia dini individu yang unik karena memiliki pola tumbuh kembang khusus sesuai tahapan yang dilaluinya.

(2)

2.1.2 Karakteristik anak usia dini

Anak usia dini memiliki karakteristik yang khas baik secara psikis, fisik, sosial, moral, dan sebagainya. Masa kanak-kanak juga merupakan masa paling penting untuk sepanjang usia hidupnya., karena masa kanak-kanak adalah masa pembentukkan fondasi dan dasar kepribadian yang akan menentukan pengalaman anak selanjutnya.

Menurut Masitoh dkk. (2009:1.12– 1.13) adalah :, “karakteristik anak usia dini yaitu: (1) anak bersifat unik, (2) anak bersifat egosentris, (3) anak bersifat aktif dan energik, (4) anak ingin memiliki rasa ingin tahu yang kuat dan antusias terhadap banyak hal, (5) anak bersifat eksploratif dan berjiwa pertualangan, (6) anak mengekspresikan perilaku secara relatif spontan, (7) anak senang dan berkarya dengan fantasi/daya khayal, (8) anak masih mudah frustasi, (9) anak masih kurang pertimbangan dalam melakukan sesuatu, (10) anak memiliki daya perhatian yang pendek, (11) anak bergairah untuk belajar dan banyak belajar dari pengalaman, (12) anak semakin menunjukan minat terhadap teman”.

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa karateristik anak usia dini diantaranya anak memiliki banyak sifat-sifat seperti anak yang bersifat unik atau berbeda dengan yang lain, anak yang bersifat ego yang tinggi, anak yang bersifat aktif serta ingin tahu yang inggi dan masih banyak sifat-sifat lainnya yang dimiliki oleh anak usia dini.

(3)

2.1.3 Hakikat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) a. Pengertian pendidikan anak usia dini

Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1 Pasal 1 Butir 14 dinyatakan bahwa “Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan ruhani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.”

Menurut Siti Aisyah dkk., (2007: 1.17 – 1.23) merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar kearah pertumbuhan dan perkembangan fisik dan kecerdasan, daya pikir, daya cipta, emosi, spiritual, berbahasa/komunikasi, dan sosial. Menurut Santrock (2013) Pendidikan Anak Usia Dini merupakan pendidikan melibatkan seluruh anak mencakup kepedulian akan perkembangan fisik, kognitif, dan social anak. Pembelajaran diorganisasikan sesuai dengan minat-minat dan gaya belajar anak.

Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan

(4)

rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal. Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.

2.1.4 Tujuan pendidikan anak usia dini

Secara umum, tujuan pendidikan anak usia dini adalah mengembangkan berbagai potensi anak sejak dini sebagai persiapan untuk hidup dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Pendidikan anak pun bisa dimaknai sebagai usaha mengoptimalkan

(5)

potensi-potensi luar biasa anak yang bisa dibingkai dalam pendidikan, pembinaan terpadu, maupun pendampingan.

Pendidikan anak usia dini bertujuan; (1) membangun landasan bagi berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkepribadian luhur, sehat, berilmu, cakap, kritis, kreatif, inovatif, mandiri, percaya diri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab; dan (2) mengembangkan potensi kecerdasan spiritual, intelektual, emosional, kinestetis, dan social peserta didik pada masa emas pertumbuhannya dalam lingkungan bermain yang edukatif dan menyenangkan.

2.2 Tinjauan Tentang Pola Asuh Orang Tua 2.2.1 Pengertian pola asuh orang tua

Menurut Harlock (2013:98) orang tua adalah orang dewasa yang membawa anak ke tahap dewasa, terutama dalam masa perkembangan. Tugas orang tua melengkapi dan mempersiapkan anak menuju ke fase kedewasaan dengan memberikanbimbingan dan pengarahan yang dapat membantu anak dalam menjalani kehidupan. Dalam memberikan bimbingan dan pengarahan kepada anakakan berbeda pada masing-masingorang tua karenasetiap keluarga memiliki kondisi-kondisi tertentu yang berbeda corak dan sifatnya antara keluargayang satu dengan keluarga yang lain.

(6)

Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya menjadi orang yang berkepribadian baik, sikap mental yang sehat serta akhlak yang terpuji. Orang tua sebagai pembentuk pribadi yang pertama dalam kehidupan anak dan harus menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya. Pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap tersebut meliputi cara orang tua memberikan aturan-aturan dan memberikan perhatian untuk mendidik anaknya dalam keseharian. Hal ini sejalan dengan pendapat Maccoby dalam Shocib (2010:15) mengemukakan istilah “pola asuh orang tua untuk menggambarkan interaksi orang tua untuk menggambarkan interakasi orang tua dan anak yang didalamnya orang tua mengekspresikan sikap-sikap,nilai-nilai, minat-minat, dan harapan-harapannya dalam mengasuh dan memenuhi kebutuhan anak-anaknya.

Berdasarkan penjelasan pendapat diatas dapat disimpulkan, bahwa pola asuh orang tua merupakan proses interaksi antara orang tua dengan anaknya dalam pembelajaran dan pendidikan yang nantinya sangat bermanfaat, dimana orang tua mencerminkan sikap dan prilakunya dalam mengarahkan pertumbuhan perkembangan anak agar anak menjadi mendiri, tumbuh dan berkembang secara sehat dan optimal.

(7)

2.2.2 Jenis-jenis pola asuh

Masing-masing orang tua mempunyai tipe dan pola pengasuhan yang berbeda-beda. Menurut Hurlock (dalam Thoha 2013:112-113) pada dasarnya ada tiga jenis pengasuhan anak, yaitu :

1) Pola asuh demokratis

Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.

Pola pendidikan demokratis adalah suatu cara mendidik/mengasuh yang dinamis, aktif dan terarah yang berusaha mengembangkan setiap bakat yang dimiliki anak untuk kemajuan perkembangannya. Pola ini menempatkan anak sebagai faktor utama dan terpenting dalam pendidikan. Hubungan antara orang tua dan anaknya dalam proses pendidikan diwujudkan dalam bentuk human relationship yang didasari oleh prinsip saling menghargai dan saling menghormati. Hak orang tua hanya memberi tawaran dan pertimbangan dengan segala alasan dan

(8)

argumentasinya, selebihnya anak sendiri yang memilih alternatif dan menentukan sikapnya.

Anak diberi kesempatan mengembangkan kontrol internalnya sehingga sedikit demi sedikit berlatih untuk bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri. Selain itu anak juga dilibatkan dan diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam mengatur hidupnya. Sehingga memungkinkan anak dapat belajar secara aktif dalam mengembangkan dan memajukan potensi bawaannya. Serta anak dapat kreatif dan inovatif.

Akan tetapi tidak semua pendidikan yang diberikan oleh orang tua harus disajikan dengan demokratis tetapi harus dogmatis seperti penanaman akidah Islam pada anak, orang tua harus mengajarkan dengan dogmatis apalagi ketika anak masih kecil.

Menurut Prof. Dr. Abdul Aziz el-Qussy, Contoh perilaku orang tua yang demokratis dalam mendidik anaknya, yaitu orang tua mengutamakan musyawarah dalam keluarga, mengedepankan hubungan saling menghormati, menentukan aturan dan disiplin dengan mempertimbangkan keadaan, perasaan dan pendapat anak serta memberikan alasan yang dapat diterima dan dimengerti oleh anak. Adanya komunikasi dua arah, orang tua memperhatikan pendapat dan keinginan anak, serta membimbing dan mengarahkannya.

(9)

Sedangkan indikator dari pola asuh demokratis adalah sebagai berikut:

1) Peraturan dari orangtua lebih luwes

Salah satu ciri-ciri pola asuh demokratis adalah peraturan dari orangtua lebih luwes yaitu orangtua menentukan peraturan-peraturan dan disiplin dengan memperhatikan dan mempertimbangkan keadaan, perasaan dan pendapat si anak serta memberikan alasan-alasan yang dapat dipahami, diterima dan dimengerti anak.

Selain itu semua larangan dan perintah yang disampaikan kepada anak menggunakan kata-kata yang mendidik, bukan menggunakan kata-kata kasar, seperti kata tidak boleh, wajib, harus dan kurang ajar. Dan memberikan pengarahan, perbuatan yang baik perlu dipertahankan dan yang jelek supaya ditinggalkan

2) Menggunakan penjelasan dan diskusi dalam berkomunikasi dengan anak

Indikator dari pola asuh demokratis adalah orangtua menggunakan penjelasan dan diskusi dalam berkomunikasi dengan anak. Artinya ketika terjadi suatu masalah dalam keluarga maka orangtua dan anak mendiskusikannya dan mencari jalan keluarnya dengan berdiskusi. Dan ketika sang anak berbuat salah maka orangtua tidak langsung menghukum

(10)

anak tersebut akan tetapi menjelaskan terlebih dahulu bahwa apa yang telah dilakukannya salah dan menasehatinya supaya tidak mengulanginya lagi. Selain itu juga terjadi komunikasi dua arah yang baik sehingga antara orangtua dan anak terjalin keakraban.

3) Adanya sikap terbuka antara orangtua dan anak

Sikap terbuka antara orangtua dan anak adalah ketika orangtua melakukan sesuatu dalam keluarga secara musyawarah dan kalau terjadi sesuatu pada anggota keluarga selalu dicarikan jalan keluarnya (secara musyawarah), juga dihadapi dengan tenang, wajar, dan terbuka.

4) Adanya pengakuan orangtua terhadap kemampuan anak-anaknya

Orangtua yang baik adalah orangtua yang mengakui kemampuan anak, ia memandang anak sebagai individu yang sedang berkembang sehingga memberikan kesempatan kepadanya untuk mengembangkan dirinya dengan segala kemungkinan yang dimilikinya. Orangtua seperti ini memahami hakekat perkembangan anak yakni mencapai kedewasaan fisik, mental, emosional dan sosial. Orangtua yang memahami hal ini akan menanggapi secara positif seluruh ekspresi anak dalam bentuk apapun, memberi kebebasan kepada anak untuk berkreasi, mengembangkan bakatnya, serta mendukung seluruh

(11)

keinginan anak yang positif dengan terus memantau dan mengarahkan anak agar jangan menyusuri jalan hidup yang sesat.

5) Memberi kesempatan untuk tidak tergantung dengan orangtua Indikator dari pola asuh demokratis berikutnya adalah orangtua memberi kesempatan kepada anak untuk tidak tergantung dengan orangtua. Dengan kata lain orangtua melatih anak untuk mandiri yaitu dengan memberi anak kesempatan untuk mengembangkan kontrol internalnya sehingga sedikit demi sedikit anak berlatih untuk bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.

Selain itu anak juga dilibatkan dan diberi kesempatan untuk berpartisipasi mengatur hidupnya. Sehingga anak dapat belajar secara aktif dalam mengembangkan dan memajukan potensi bawaannya serta anak dapat inovatif dan kreatif.

Adapun manfaat pola demokratis bagi pembentukan pribadi anak adalah:

1. Anak menjadi kreatif dan mempunyai daya cipta (mudah berinisiatif).

2. Anak patuh dengan sewajarnya. 3. Anak mudah menyesuaikan diri. 4. Anak tumbuh percaya diri.

(12)

Memang pola asuh demokratis merupakan pola asuh yang paling banyak memiliki sisi positif dibandingkan dengan pola asuh yang lain. Bahkan pola asuh demokratis merupakan pola asuh yang ideal yang baik digunakan untuk mendidik anak. Akan tetapi setiap hal pasti memiliki sisi negatif, begitu juga pola asuh demokratis juga memiliki sisi negatif, yaitu jika diterapkan dalam penanaman aqidah pada anak kecil. Dikhawatirkan anak kecil tersebut akan melenceng dari aqidah karena anak kecil tersebut belum mengerti secara pasti mana yang benar dan mana yang salah tentang ketauhidan.

2) Pola asuh otoriter

Pola asuh ini cendrung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Orang tua tipe ini cenderung memaksa dan menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi dan dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah dan tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai anaknya.

Pola asuh otoriter ditandai dengan cara mengasuh anak dengan aturanaturan yang ketat, seringkali memaksa anak untuk berperilaku seperti dirinya (orangtua), kebebasan untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi. Anak jarang diajak berkomunikasi

(13)

dan bertukar fikiran dengan orangtua, orangtua menganggap bahwa semua sikapnya sudah benar sehingga tidak perlu dipertimbangkan dengan anak Dalam pola otoriter, hukuman merupakan sarana utama dalam proses pendidikan, sehingga anak melaksanakan perintah atau tugas dari orang tua atas dasar takut memperoleh hukuman dari orang tuanya. Sedangkan indikator dari pola asuh otoriter adalah sebagai berikut:

1) Peraturan dan pengaturan yang keras (kaku)

Salah satu Indikator dari pola asuh otoriter adalah peraturan yang diberikan orangtua kepada anak sangat ketat. Kebebasan untuk bertindak atas nama dirinya dibatasi bahkan cenderung memaksa dan terkadang keras. Anak harus mematuhi segala peraturan orangtua dan tidak boleh membantah dan apabila membantah maka anak tersebut dianggap memberontak dan akan menimbulkan masalah. Orangtua yang seperti ini biasanya hanya cenderung memberikan perintah dan larangan, orangtua cenderung menentukan segala sesuatu untuk anak sehingga anak hanya sebagai pelaksana. Dengan peraturan yang kaku anak merasa terkekang di rumah sehingga bisa bersifat agresif di luar rumah.

2) Pemegang semua kekuasaan adalah orangtua

Indikator dari pola asuh otoriter berikutnya adalah pemegang semua kekuasaan adalah orangtua yaitu orangtua menjadikan

(14)

dirinya di dalam keluarga sebagai seorang pemimpin yang absolut. Orangtua juga cenderung menentukan segala sesuatu untuk anak dan anak hanya sebagai pelaksana (orangtua sangat berkuasa). Semua kegiatan yang akan dilakukan oleh anak ditentukan oleh orangtua, bahkan sampai ke hal-hal yang kecil misalnya selalu mengatur jadwal kegiatan anak, cara membelanjakan uang, teman-teman bermain dan lain-lain. Anak-anak yang dibesarkan dalam suasana seperti ini, jika mereka dewasa akan memiliki sifat rendah diri dan tidak bisa memikul suatu tanggung jawab.

3) Anak tidak mempunyai hak untuk berpendapat

Indikator dari pola asuh otoriter lainnya adalah anak tidak mempunyai hak untuk berpendapat. orangtua merasa bahwa dirinya paling benar, sehingga orangtua sedikit atau bahkan tanpa melibatkan pendapat dan inisiatif anak. Kalau terdapat perbedaan pendapat antara orangtua dan anak, maka anak dianggap sebagai orang yang suka melawan dan membangkang.

Sehingga anak menjadi tidak berani mengeluarkan pendapat, pasif, dan kurang sekali berinisiatif bahkan cenderung ragu-ragu dalam mengambil keputusan (tidak berani mengambil keputusan) dalam hal apa saja. Sebab anak terbiasa

(15)

bertindak harus dengan persetujuan dari orangtua dan tidak terbiasa mengambil keputusan sendiri.

4) Hukuman dijadikan alat jika anak tidak menurut

Salah satu ciri-ciri orangtua yang otoriter adalah selalu menghukum anaknya ketika anaknya berbuat salah bahkan hukuman tersebut terkadang cenderung keras dan mayoritas hukuman tersebut sifatnya hukuman badan. Orangtua seringkali mengancam dan menghukum anaknya ketika anak tersebut tidak menurut dengan orangtua.

5) Seringkali memaksa anak untuk berperilaku seperti dirinya (orangtua)

Salah satu indikator orangtua yang otoriter adalah seringkali memaksa anak untuk berperilaku seperti dirinya (orangtua). Hal ini disebabkan karena orangtua merasa dirinya yang paling benar dan anak harus mencontoh (meniru) segala perilaku yang dilakukan orangtua. Walaupun terkadang perilaku orangtua salah, akan tetapi orangtua merasa hal itu benar dan anak harus menurutinya.

Perilaku orang tua otoriter, antara lain:

1. Anak harus mematuhi peraturan orang tua dan tidak boleh membantah.

2. Orang tua cenderung mencari kesalahan anak dan kemudian menghukumnya.

(16)

3. Perbedaan pendapat pada anak, dianggap sebagai perlawanan dan pembangkangan pada orang tua.

4. Orang tua cenderung memberikan perintah dan larangan terhadap anak, serta cenderung memaksakan disiplin pada anak tanpa memandang situasi dan kondisi.

5. Orang tua cenderung menentukan segala sesuatu untuk anak dan anak hanya sebagai pelaksana perintah (orangtua sangat berkuasa).

Akibat-akibat negatif dalam pola asuh otoriter adalah: 1. Anak pasif dan kurang berinisiatif.

2. Anak tertekan dan merasa ketakutan, kurang pendirian dan mudah dipengaruhi.

3. Anak ragu-ragu, bahkan tidak berani mengambil keputusan dalam hal apapun, karena dia terbiasa mengambil keputusan sendiri.

4. Di luar lingkungan rumah, anak menjadi agresif, karena anak merasa bebas dari kekangan orang tua.

5. Pelaksanaan perintah dari orang tua oleh anaknya, atas dasar takut pada hukuman.

6. Anak suka menyendiri dan mengalami kemunduran kematangan.

Menurut Yusuf (2013), menolong anak dalam memenuhi kehidupan mereka merupakan kewajiban setiap orangtua, akan

(17)

tetapi tidak boleh berlebih-lebihan dalam menolong anak sehingga anak tidak kehilangan kemampuan untuk berdiri sendiri nanti. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ada orangtua yang suka mencampuri urusan anak sampai masalah yang kecil-kecil.

Misalnya mengatur jadwal perbuatan anak, jam istirahat, cara membelanjakan uang, warna pakaian yang cocok, memilihkan teman untuk bermain, macam sekolah yang harus dimasuki. Anak yang dibesarkan dalam suasana semacam ini akan besar dengan sifat yang ragu-ragu, lemah kepribadian dan tidak sanggup mengambil keputusan tentang apa saja.

Walaupun pola asuh otoriter cenderung banyak yang berdampak negatif, akan tetapi pola asuh otoriter juga mempunyai dampak positif dalam hal penanaman aqidah pada anak kecil. Sebab apabila penanaman aqidah kepada anak kecil dilakukan dengan pola asuh demokratis atau permisif maka dikhawatirkan anak kecil tersebut dapat melenceng dari agama.

Demikian pula terhadap hal-hal yang sangat prinsip mengenai pilihan agama, pilihan nilai hidup yang bersifat universal dan absolut, orangtua dapat memaksakan kehendaknya terhadap anak karena anak belum memiliki alasan cukup mengenai hal itu. Karena itu tidak semua materi pelajaran agama seluruhnya diajarkan secara demokratis terhadap anak.

(18)

3) Pola asuh permisif

Pola asuh ini memberikan pengawasan yang sangat longgar, memberikan kesempatan pada anaknya tanpa pengawasan yang cukup darinya. Orang tua cenderung tidak menegur atau tidak memperingatkan anaknya apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan dari mereka. Namun, orang tua tipe ini biasanya bersifat hangat sehingga disukai oleh anaknya.

Pola permisif diartikan sebagai cara mendidik dengan membiarkan anak berbuat sekehendaknya, jadi orang tua tidak memberi pimpinan, nasehat maupun teguran terhadap anaknya.45 Orang tua tidak memperdulikan perkembangan psikis anak tetapi memprioritaskan kepentingan dirinya dan anak diabaikan serta dibiarkan berkembang dengan sendirinyaPermisivitas terlihat pada orang tua yang membiarkan anak berbuat sesuka hati dengan sedikit kekangan, sehingga menciptakan suatu rumah tangga yang berpusat pada anak. Orang tua dalam keluarga hanyalah sebagai orang tua yang tidak memiliki kewajiban atau tanggung jawab mendidik anak.

Pola pendidikan ini ditandai dengan pemberian kebebasan tanpa batas pada anak, anak berbuat menurut kemauannya sendiri, tidak terarah dan tidak teratur sehingga keluarga sebagai lembaga pendidikan informal tidak memiliki fungsi edukatif.

(19)

Cara mendidik ini tidak tepat jika dilaksanakan secara murni di lingkungan keluarga karena dapat mengakibatkan anak berkepribadian buruk. Bentuk perilaku permisif, antara lain membiarkan anak bertindak sendiri tanpa monitor (mengawasi) dan membimbingnya, mendidik anak secara acuh tak acuh, bersifat pasif atau bersifat masa bodoh, dan orang tua hanya mengutamakan pemberian materi semata bagi anak.

Sedangkan indikator dari pola asuh permisif adalah sebagai berikut:

1) Orangtua tidak memberikan aturan atau pengarahan kepada anak

Salah satu indikator pola asuh permisif adalah tidak memberikan aturan atau pengarahan kepada anak dengan membiarkan apa saja yang dilakukan anak. Dengan kata lain orangtua terlalu memberikan kebebasan kepada anak untuk mengatur diri sendiri tanpa ada peraturan-peraturan dan norma-norma yang digariskan oleh orangtua.

2) Kontrol orangtua sangat lemah

Maksud dari kontrol orangtua sangat lemah adalah orangtua membiarkan anak bertindak sendiri tanpa memonitor dan membimbimbingnya.50 Seperti orangtua membiarkan anak bermain sampailarut malam tanpa pengawasan. Sikap orangtua

(20)

yang seperti ini sangat berbahaya dan menjadikan anak bersikap sesuka hati.

3) Orangtua mendidik anak secara bebas

Pola asuh permisif juga ditandai dengan orangtua mendidik anaknya secara bebas yaitu dengan mendidik acuh tak acuh, bersifat pasif atau bersifat masa bodoh. Hal tersebut menyebabkan kurang sekali keakraban dan hubungan yang hangat dalam keluarga. Sehingga anak merasa kurang menikmati kasih sayang orangtua.

4) Orangtua tidak memberikan bimbingan yang cukup

Pola asuh permisif juga ditandai dengan orangtua tidak memberikan bimbingan yang cukup kepada anaknya, sehingga anak merasa kurang mendapat perhatian yang cukup dari orangtuanya. Oleh karena itu, pertumbuhan jasmani, rohani dan sosial sangat jauh berbeda atau bahkan di bawah rata-rata jika dibandingkan dengan anak-anak yang diperhatikan orangtuanya. Biasanya orangtua bersikap demikian karena orangtua terlalu sibuk dengan pekerjaan, karir dan urusan sosial. Oleh karena itu walaupun sibuk, orangtua harus memberi perhatian dan bimbingan yang cukup kepada anak agar anak tersebut merasa mendapat kasih sayang dan tumbuh berkembang menjadi anak yang baik.

(21)

5) Semua yang dilakukan anak sudah benar tidak perlu diberikan teguran

Indikator dari pola asuh permisif berikutnya adalah orangtua menganggap semua yang dilakukan anak sudah benar dan tidak perlu diberikan teguran. Biasanya orangtua bersikap demikian karena menganggap bahwa anak tersebut sudah dewasa sehingga sudah bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Akan tetapi sikap demikian tidak cocok diterapkan pada anak, karena kalau diterapkan pada anak-anak atau remaja maka anak-anak tersebut akan bertindak sesuka hati dan sangat berbahaya sekali terhadap perkembangan anak.

Dampak negatif pola permisif bagi pembentukan pribadi anak, adalah:

1. Anak merasa kurang mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya.

2. Anak sering mogok bicara dan tidak mau belajar, serta bertingkah laku menentang.

3. Anak mudah berontak dan keras kepala.

4. Anak kurang memperhatikan disiplin, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun dalam pergaulan di masyarakat.

Walaupun pola asuh permisif memiliki banyak dampak negatif, khususnya bagi anak, akan tetapi pola asuh permisif juga memiliki dampak positif khususnya jika diterapkan dengan anak

(22)

yang sudah dewasa dan sudah matang pemikirannya. Sebab dengan pola asuh permisif itu akan melatih anak yang sudah dewasa dan sudah matang pemikirannya menjadi insan yang mandiri. Selain itu anak tersebut juga akan merasa hidupnya tidak terkekang oleh aturanaturan dari orangtua.

Akan tetapi, apabila pola asuh permisif tidak sesuai jika diterapkan pada remaja, apalagi pada anak kecil sangat tidak sesuai. Hal ini dikarenakan apabila pola asuh permisif diterapkan pada remaja atau anak kecil maka dikhawatirkan dapat mengakibatkan anak berkepribadian buruk. Dari ketiga pola asuh yang telah diterangkan tadi, dapat disimpulkan bahwa pola asuh yang paling baik dan paling ideal digunakan untuk mendidik anak adalah pola demokratis. Akan tetapi tidak semua pendidikan yang diberikan oleh orang tua harus disajikan dengan demokratis tetapi harus dogmatis seperti penanaman akidah Islam pada anak, orang tua harus mengajarkan dengan dogmatis apalagi ketika anak masih kecil. Selain itu orangtua juga harus memberikan pola asuh dengan dilandasi kasih sayang dan bimbingan dan keamanan karena dengan pola asuh yang dilandasi dengan kasih sayang, bimbingan dan keamanan diharapkan bisa berkesan baik pada masa kanak-kanak dan mampu mempengaruhi kecenderungan anak untuk berperilaku ihsan.

(23)

2.2.3 Dimensi-dimensi Pola Asuh

Dimensi-dimensi besar yang menjadi dasar dari kecenderungan macam pola asuh orang tua ada dua, yaitu:

a. Tanggapan atau responsiveness

Dimensi ini menurut Baumrind (Papalia 2009) berkenaan dengan sikap orang tua yang menerima, penuh kasih sayang, memahami, mau mendengarkan, berorientasi pada kebutuhan anak, menentramkan dan sering memberikan pujian. Orang tua yang menerima dan tanggap dengan anak-anak, maka memungkinkan untuk terjadi diskusi terbuka, memberi dan menerima secara verbal diantara kedua belah pihak. Contohnya mengekspresikan kasih sayang dan simpati.

Baumrind (santrock 2013) mengemukakan bahwa parental responsiveness refers to “the extent to which parents intentionally foster individuality, self-regulation, and acquiescent to childern’s special needs and demands”. Kalimat tersebut memiliki arti bahwa respon orang tua mengacu pada sejauh mana orang tua mengasuh seorang anak, sirkulasi diri serta khususnya kebutuhan anak dan tuntutan.

b. Tuntutan atau demandingness

Dimensi demandingness menurut Baumrind (Hurlock 2013) yaitu “the claims parents make on childern to become integrated into the family whole, by their maturity demands, supervision,

(24)

disciplinary efforts and willingness to confront the child who disobeys”. Kalimat tersebut memiliki maksud tuntutan orang tua kepada anak untuk menjadikan kesatuan ke seluruh keluarga, melalui tuntutan mereka, pengawasan, upaya disiplin dan kesediaan untuk menghadapi anak yang melanggar.

Kontrol orang tua dibutuhkan untuk mengembangkan anak menjadi individu kompeten, baik secara sosial maupun intelektual. Beberapa orang tua membuat standar yang tinggi dan mereka menuntut anaknya untuk memenuhi standar tersebut. Namun, ada juga orang tua yang sangat sedikit memberikan tuntutan kepada anak. Tuntutan-tuntutan orang tua yang ekstrim cenderung menghambat tingkah laku sosial, kreativitas, inisatif, dan fleksibilitas dalam pendekatan masalah-masalah pendidikan maupun praktis.

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ada dua dimensi yang mempengaruhi pola asuh orang tua yaitu tanggapan atau responsiveness dan tuntutan atau demandingness.

2.2.4 Kelebihan dan Kekurangan Pola Asuh Orang Tua

Baumrind (Desmita,2013:97) mengatakan bahwa setiap pola asuh yang diterapkan memiliki akibat positif dan negatif. Berdasarkan ciri-ciri yang disebutkan pada pola asuh otoriter, maka akibat negatif yang timbul pada pola asuh ini akan cenderung lebih dominan. Hal yang senada juga disampaikan oleh Bjorklund dan Bjorklund (Yusuf,

(25)

2013) yang mengatakan bahwa pola asuh otoriter menjadikan seorang anak menarik diri dari pergaulan serta tidak puas dan tidak percaya terhadap orang lain. Namun, tidak hanya akibat negatif yang ditimbulkan, tetapi juga terdapat akibat positif atau kelebihan dari pola asuh otoriter yaitu anak yang dididik akan menjadi disiplin yakni menaati peraturan. Meskipun, anak cenderung disiplin hanya di hadapan orang tua.

Pola asuh otoritatif atau pola asuh yang bersifat demokratis memiliki kelebihan yaitu menjadikan anak sebagai seorang individu yang mempercayai orang lain, bertanggungjawab terhadap tindakannya, tidak munafik, dan jujur. Pendapat Papalia Diane, (2009) memperkuat pendapat Baumrind bahwa pola asuh otoritatif juga menjadikan anak mandiri, memiliki kendali diri, bersifat eksploratif, dan penuh dengan rasa percaya diri. Namun, terdapat kekurangan dari pola asuh otoritatif yaitu menjadikan anak cenderung mendorong kewibawaan otoritas orang tua, bahwa segala sesuatu harus dipertimbangkan antara anak dan orang tua.

Pada pola asuh permisif, orang tua memberikan kebebasan yang sebebas-bebasnya kepada anak. Sehingga dapat dikatakan bahwa kelebihan pola asuh ini adalah memberikan kebebasan yang tinggi pada anak dan jika kebebasan tersebut dapat digunakan secara bertanggung jawab, maka akan menjadikan anak sebagai individu yang mandiri, kreatif, inisiatif, dan mampu mewujudkan aktualisasinya. Di samping

(26)

kelebihan tersebut, akibat negatif juga ditimbulkan dari penerapan pola asuh ini yaitu dapat menjadikan anak kurang disiplin dengan aturan-aturan sosial yang berlaku. Sejalan dengan Santrock (2013) juga menyampaikan bahwa pola asuh permisif menjadikan anak kurang dalam harga diri, kendali diri dan kecenderungan untuk bereksplorasi.

Setiap pola asuh yang diterapkan orang tua memiliki dampak positif dan negatif terhadap perilaku dan kondisi emosi seorang anak. Agar anak berkembang dengan baik, maka setiap orang tua perlu memilih jenis pola asuh yang sesuai dengan karakteristik anak.

2.3 Pengertian Ekspresi emosi

Ekspresi emosi adalah salah satu dari sekian banyak kelainan pada kebiasaan-kebiasaan anak, sebagai suatu usaha untuk memaksakan kehendaknya pada orang tua, yang biasanya tampak dalam bentuk menjerit-jerit, berteriak dan menangis sekeras-kerasnya, berguling-guling di lantai dan sebagainya (Goleman, 2009: 13).

Ekspresi emosi merupakan luapan emosi yang meledak-ledak dan tidak terkontrol. Kejadian ini seringkali muncul pada anak usia 15 bulan sampai 5 tahun. Ekspresi emosi terjadi pada anak yang aktif dengan energi yang melimpah (Goleman, 2009: 185).

Menurut Hurlock (2013: 211) ekspresi emosi adalah ledakan amarah yang kuat, ketakutan yang hebat dan iri hati yang tidak masuk akal. Hal ini tampak mencolok pada anak-anak usia 2,5 sampai 3,5 dan 5,5 sampai 6,5

(27)

tahun. Ledakan amarah mencapai puncaknya antara usia dua dan empat tahun, setelah itu amarah berlangsung tidak terlampau lama.

Ekspresi emosi merupakan gangguan tingkah laku yang terjadi pada anak usia tiga sampai tujuh tahun, gangguan ini ditandai dengan adanya suatu pola tingkah laku dissosial, agresif atau menentang yang berulang dan menetap (Juntika 2013:41).

Ekspresi emosi merupakan suatu ledakan emosi yang kuat sekali, disertai rasa marah, serangan agresif, ,menangis, menjerit-jerit, menghentak-hentakkan kedua kaki dan tangan pada lantai atau tanah (Yusuf,2013:114).

Menurut Salkind (2002: 408) ekspresi emosi adalah perilaku destruktif dalam bentuk luapan yang bisa bersifat fisik (memukul, menggigit, mendorong), maupun verbal (menangis, berteriak, merengek) atau terus menerus merajuk.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ekspresi emosi adalah suatu ledakan amarah yang sering terjadi pada anak usia tiga sampai enam tahun yang ditandai dengan tindakan menangis, menjerit-jerit, melempar benda, berguling-guling, memukul dan aktivitas destruktif lainnya.

2.3.1 Penyebab Ekspresi emosi

Hampir setiap anak mengalami ekspresi emosi dan pada umumnya hal ini terjadi pada hampir seluruh periode awal masa kanak-kanak (Hurlock, 2013:114). Ekspresi emosi sering terjadi karena anak merasa frustasi dengan keadaannya, sedangkan ia tidak mampu

(28)

mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata atau ekspresi yang diinginkannya (Hasan, 2011: 187).

Menurut Goleman (2009:411), ekspresi emosi terjadi pada anak yang pemalu, penakut, dan sering cemas terhadap orang asing. Keterlambatan dalam perkembangan bahasa, gangguan pendengaran, gangguan system syaraf pusat dapat menyebabkan temper tantrum. Lingkungan anak akan mempengaruhi intensitas dan frekuensi ekspresi emosi.

Pada anak usia 2-3 tahun, ekspresi emosi terjadi karena anak usia tersebut biasanya sudah mulai mengerti banyak hal dari yang didengar, dilihat maupun dialaminya, tetapi kemampuan bahasa atau berbicaranya masih sangat terbatas (Hasan, 2011: 187).

Berikut adalah beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya ekspresi emosi menurut Hasan (2011:187); (1) Terhalangnya keinginan untuk mendapatkan sesuatu;(2) Ketidakmampuan anak mengungkapkan diri; (3) Tidak terpenuhinya kebutuhan; (4) Pola asuh orang tua.; (5) Anak merasa lelah, lapar atau dalam keadaan sakit yang dapat menyebabkan anak menjadi rewel; (5) Anak sedang stress dan merasa tidak aman.

Menurut Gunarsa (2013:89), beberapa penyebab ekspresi emosi adalah; (1) Masalah keluarga, keluarga yang tidak harmonis akan membuat anak kehilangan kehangatan keluarga, yang dapat mengganggu kestabilan jiwa anak; (2) Anak yang dimanja akan

(29)

membuat anak dapat memanfaatkan orang tuanya; (3) Anak yang kurang tidur, kelelahan, memiliki tubuh dan keadaan fisik yang lemah akan membuatnya cepat marah.; (4) Masalah kesehatan, ketika anak mengalami kurang enak badan, ada masalah kesehatan atau tubuh cacat, semua yang mempengaruhi kekuatan pengendalian dirinya, atau hal yang tidak sesuai dengan dirinya, akan mudah membuat anak marah; (5) Masalah makanan, beberapa makanan dapat membuat anak peka atau alergi yang membuat anak menjadi kehilangan kekuatan untuk mengendalikan diri, seperti makanan yang mengandung zat pewarna atau pengawet, dan coklat; (6) Kekecewaan, saat anak menyadari keterbatasan kemampuan dirinya dalam menyatakan keinginannya dan tidak dapat melakukan sesuatu hal, membuat anak mudah marah; (5) Meniru orang dewasa, ketika melihat ada orang dewasa yang tidak dapat menyelesaikan atau menghadapi kesulitan, lalu marah-marah, ditambah di rumah orang tua dan di sekolah guru juga mudah marah, akan membuat anak meniru mereka menjadi anak yang mudah marah.

Menurut Hurlock (2013:222) situasi yang menimbulkan ekspresi emosi antara lain; (1) Rintangan terhadap gerak yang diinginkan anak, baik rintangan itu berasal dari orang lain atau dari ketidakmampuan diri sendiri, (2) Rintangan terhadap aktivitas yang sudah mulain berjalan, (3) Rintangan terhadap keinginan, rencana, dan niat yang ingin dilakukan anak.

(30)

Maka dapat disimpulkan faktor penyebab anak mengalami ekspresi emosi antara lain: (1) Faktor fisiologis, yaitu lelah, lapar atau sakit; (2) Faktor psikologis, antara lain anak mengalami kegagalan, dan orangtua yang terlalu menuntut anak sesuai harapan orangtua; (3) Faktor orangtua, yakni pola asuh; (4) Faktor lingkungan, yaitu lingkungan keluarga dan lingkungan luar rumah.

2.3.2 Ciri-ciri Anak yang Mudah Mengalami Ekspresi emosi

Menurut Hasan (2011:185) ekspresi emosi terjadi pada anak yang aktif dengan energi yang berlimpah. ekspresi emosi juga lebih mudah terjadi pada anak-anak yang dianggap lebih sulit, dengan ciri-ciri sebagai berikut:

(1) Memiliki kebiasaan tidur, makan, dan buang air besar tidak teratur (2) Sulit menyukai situasi, makanan, dan orang-orang baru

(3) Lambat beradaptasi terhadap perubahan (4) Suasana hati lebih sering negative

(5) Mudah terprovokasi, gampang merasa marah, dan kesal (6) Sulit dialihkan perhatiannya.

2.3.3 Perilaku Ekspresi Emosi Menurut Tingkatan Usia

Ekspresi emosi termanifestasi dalam berbagai perilaku. Perilaku tantrum dibawah usia 3 tahun yaitu menangis dengan keras, menendang segala sesuatu yang ada di dekatnya, menjerit-jerit, menggigit, memukul, memekik-mekik, melengkungkan punggung, melemparkan

(31)

badan ke lantai, memukul-mukulkan tangan, menahan nafas, membentur-benturkan kepala, dan melempar-lempar barang.

Perilaku ekspresi emosi usia 5-6 tahun yaitu perilaku-perilaku pada kategori usia 3 tahun di atas, menghentak-hentakkan kaki, berteriak-teriak, meninju, membanting pintu, mengkritik dan merengek. Usia 5 tahun ke atas yaitu perilaku-perilaku pada 2 kategori usia di atas, memaki, menyumpah, memukul kakak/ adik atau temannya, mengkritik diri sendiri, memecahkan barang dengan sengaja, dan mengancam (Hasan, 2011: 185).

Dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk perilaku ekspresi emosiadalah sebagai berikut: menangis dengan keras, menendang segala sesuatu yang ada di dekatnya, memukul benda, dirinya sendiri, maupun orang lain, membentur-benturkan kepala, melempar-lempar dan merusak barang, menghentak-hentakkan kaki, berteriak- teriak dan menjerit, membanting pintu, merengek, mengancam dan memaki.

2.3.4 Indikator Penelitian

Ekspresi emosi semakin perlu dipahami, dimiliki serta diperhatikan dalm pengembangannya karena mengingat kondisi kehidupan saat ini semakin kompleks. Goleman (Desmita, 2013:170) menyebutkan ada lima komponen dalam kecerdasan emosi yaitu: a. Mengenali emosi diri - kesadaran diri (knowing one’s emotions -

self-awareness), yaitu mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat, dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan

(32)

sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat.

b. Mengelola emosi (managing emotions), yaitu menangani emosi kita sedemikian rupa sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati, sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, dan mampu bangkit dari tekanan emosi.

c. Motivasi diri (motivating oneself), yaitu menggunakan hasrat kita yang paling dalam untuk mengerakkan dan menuntun menuju sasaran, membantu kita mengambil inisiatif dan bertindak efektif, serta untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi.

d. Mengenali emosi orang lain atau empati (recognizing emotions in other), yaitu kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan orang banyak atau masyarakat.

e. Membina hubungan (handling relationships), yaitu kemampuan mengendalikan dan menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar, memahami dan bertindak bijaksana dalam hubungan antarmanusia.

(33)

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Syamsu Yusuf (2013: 113) yang mengutip pendapat Goleman dan disajikan dalam bentuk tabel di bawah ini:

Tabel 1. Aspek-aspek Emosi Aspek Karakteristik Perilaku

1. Kesadaran diri a. Mengenal dan merasakan emosi sendiri b. Memahami penyebab perasaan yang timbul c. Mengenal pengaruh perasaan terhadap tindakan

2. Mengelola emosi a. Bersikap toleran terhadap frustasi dan mampu mengelola amarah secara baik

b. Mampu mengungkapkan amarah dengan tepat tanpa berkelahi

c. Dapat mengendalikan perilaku agresif yang merusak diri sendiri dan orang lain

d. Memiliki perasaan yang positif tentang diri sendiri, sekolah dan keluarga

e. Memiliki kemampuan untuk mengatasi ketegangan jiwa f. Dapat mengurangi perasaan kesepian dan cemas dalam

pergaulan 3. Memanfaatkan

emosi secara produktif

a. Memiliki rasa tanggung jawab

b. Mampu memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan

c. Mampu mengendalikan diri dan tidak bersikap impulsif 4. Empati a. Mampu menerima sudut pandang orang lain

b. Memiliki kepekaan terhadap perasaan orang lain (empati) c. Mampu mendengarkan orang lain

5. Membina hubungan

a. Memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menganalisis hubungan dengan orang lain b. Dapat menyelesaikan konflik dengan orang lain c. Memiliki kemampuan untuk berkomunikasi d. Memiliki sikap bersahabat atau mudah bergaul e. Memiliki sikap tenggangrasa atau pehatian

f. Memperhatikan kepentingan sosial (senang menolong orang lain) dan dapat hidup selaras dengan kelompok g. Bersikap senang berbagi rasa dan bekerja sama

h. Bersikap demokratis dalam bergaul dengan orang lain.

Berdasarkan pemaparan dari para ahli, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek emosi ada lima, yaitu kesadaran diri, mengelola emosi,

(34)

memanfaatkan emosi secara produktif (motivasi yang tinggi), dan membina hubungan. Dari unsur-unsur tersebut, selanjutnya dijadikan pedoman bagi peneliti untuk membuat item-item pada instrumen.

2.4 Hubungan Pola Asuh Orangtua Dengan Ekpresi Emosi Anak

Santrock (2013:167) menjabarkan pengaruh setiap pola asuh yang diterapkan oleh orang tua terhadap sikap emosi anak yaitu:

1. Gaya Pengasuhan Otoritarian

Gaya pengasuhan otoritarian atau lebih dikenal dengan pola asuh otoriter, menurut Hart yang dikutip oleh Santrock menjadikan anak seringkali tidak bahagia, ketakutan, minder ketika membandingkan diri dengan orang lain, tidak mampu memulai aktivitas, dan memiliki kemampuan komunikasi yang lemah. Putra dari orang tua yang otoriter mungkin berperilaku agresif. Sikap-sikap di atas, mencerminkan kecerdasan emosi yang kurang baik.

1. Gaya Pengasuhan Otoritatif

Gaya pengasuhan otoritatif menjadikan anak ceria, bisa mengendalikan diri dan mandiri, dan berorientasi pada prestasi, mereka cenderung untuk mempertahankan hubungan yang ramah terhadap teman sebaya, bekerja sama dengan orang dewasa, dan bisa mengatasi stress dengan baik. Sikap yang ditimbulkan inilah yang dapat masuk pada golongan anak yang memiliki kecerdasan emosi positif.

(35)

2. Gaya Pengasuhan yang Mengabaikan

Gaya pengasuhan mengabaikan menjadikan anak merasa bahwa aspek lain kehidupan orang tua lebih penting dibandingkan dengan kehidupan meraka. Anak-anak ini cenderung tidak memiliki kemampuan sosial. Banyak diantara mereka memiliki pengendalian diri yang buruk dan tidak mandiri. Mereka seringkali memiliki harga diri yang rendah, tidak dewasa dan mungkin terasing dari keluarganya. Saat menginjak masa remaja mereka mungkin menunjukkan sikap yang suka membolos dan nakal.

5. Gaya Pengasuhan yang Menuruti

Gaya pengasuhan yang menuruti menjadikan anak jarang menghormati orang lain dan mengalami kesulitan untuk mengendalikan perilakunya. Mereka mungkin mendominasi, egosentris, tidak menuruti aturan, dan kesulitan dalam hubungan dengan teman sebaya.

Peck (Syamsu Yusuf, 2013:50) telah meneliti hubungan antara karakteristik emosi dan pola perlakuan keluarga dengan elemen-elemen struktur kepribadian remaja. Hasil temuannya adalah:

1. Remaja yang memiliki “ego strength” (kematangan emosi, integrasi pribadi, otonomi, bertingkah laku rasional, persepsi diri dan sosial yang akurat dan keinginan untuk menyesuaikan diri dengan harapan-harapan masyarakat), secara konsisten berkaitan erat dengan pengalamannya di lingkungan keluarga yang saling mempercayai dan menerima.

(36)

2. Remaja yang memiliki “superego strength” (berperilaku secara efektif yang dibimbing oleh kata hatinya), sangat berkaitan erat dengan keteraturan dan konsistensi kehidupan keluarganya.

3. Remaja yang “friendliness” dan “spontanetty” berhubungan erat dengan iklim keluarga yang demokratis.

4. Remaja yang bersikap bermusuhan dan memiliki perasaan gelisah atau cemas terhadap dorongan-dorongan dari dalam, berkaitan erat dengan keluarga yang otoriter.

Tabel 2. Pengaruh “Parenting Style” terhadap Perilaku Anak Menurut Baumrind (Syamsu Yusuf, 2013: 51)

Parenting Styles Sikap atau Perilaku Orang tua Profil Perilaku Anak

1. Authoritarian 1. Sikap “acceptance” rendah, namun kontrolnya tinggi

2. Suka menghukum secara fisik 3. Bersikap mengomando

(mengharuskan/memerintah anak untuk untuk melakukan sesuatu tanpa kompromi)

4. Bersikap kaku (keras) 5. Cenderung emosi dan bersikap

menolak

1. Mudah tersinggung 2. Penakut

3. Pemurung, tidak bahagia 4. Mudah terpengaruh 5. Mudah stress 6. Tidak mempunyai arah

masa depan yang jelas 7. Tidak bersahabat

2. Permissive 1. Sikap “acceptance” tinggi, namun kontrolnya rendah

2. Memberi kebebasan kepada anak untuk menyatakan

dorongan/keinginannya

1. Bersikap impulsif dan agresif

2. Suka memberontak 3. Kurang memiliki rasa

percaya diri dan pengendalian diri 4. Suka mendominasi 5. Tidak jelas arah hidupnya 6. Prestasi rendah

3. Authoritative 1. Sikap “acceptance” dan kontrolnya tinggi

2. Bersikap responsif terhadap kebutuhan anak

3. Mendorong anak untuk menyatakan pendapat atau pertanyaan

4. Memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan yang buruk

1. Bersikap bersahabat 2. Memiliki rasa percaya diri 3. Mampu mengendalikan

diri (self control) 4. Bersikap sopan 5. Mau bekerjasama 6. Memiliki rasa ingin tahu

yang tinggi

7. Mempunyai arah/tujuan hidup yang jelas 8. Berorientasi terhadap

(37)

Menurut pendapat Anan, Barnett dan Fagan yang dikutip oleh Monks dan Fidelis (2009:37), pentingnya peran sosial, khususnya orang tua dan lingkungan masyarakat senantiasa perlu dijadikan bahan pertimbangan dalam upaya meningkatkan keterampilan seseorang untuk mengendalikan gejolak emosinya.

Penelitian yang telah dilakukan oleh Parke (Santrock, 2013:159) dapat memperkuat pernyataan-pernyataan di atas. Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut yaitu fakta bahwa penerimaan dan dukungan orang tua terhadap emosi anak berhubungan dengan kemampuan seorang anak untuk mengelola emosi dengan cara yang positif.

Berdasarkan pendapat para ahli dan hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa terdapat pengaruh untuk setiap macam pola asuh yang diterapkan terhadap kecerdasan emosi siswa. semakin baik pola asuh yang diterapkan orang tua, maka kecerdasan emosi yang dimiliki siswa semakin baik begitu juga sebaliknya.

2.4 Penelitian Yang Relevan

a. Fitriyati Kartika Sari (2014) hubungan pola asuh orang tua dengan temper tantrum Pada anak usia prasekolah (3 - 6 tahun) di tk puspa rita Ngipik kecamatan pringsurat, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudi Waluyo Ungaran.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pola asuh dominan di TK Puspa Rita ialah pola asuh demokratis 41 responden dan dominan

(38)

temper tantrum pada anak ialah temper tantrum sedang 36 anak, hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan temper tantrum pada anak usia prasekolah di TK Puspa Rita Ngipik, α (0,05) dan p value sebesar 0,129. Hendaknya orang tua dapat menerapkan pola asuh yang benar dalam mendidik anak sehingga perkembangan emosional anak tidak terganggu dan akan menimbulkan temper tantrum pada anak. Orang tua harus memahami dan mencari informasi tentang perkembangan emosi anak lebih mendalam

b. Kirana, Rizkia Sekar. 2013. Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Temper Tantrum pada Anak Pra Sekolah , Jurusan Psikologi. Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas temper tantrum pada anak pra sekolah di Dusun Ngemplak tergolong sedang dan pola asuh yang digunakan cenderung otoriter. Hasil penelitian menunjukkan jika terdapat hubungan yang signifikan antara model pola asuh tertentu dengan intensitas temper tantrum pada anak pra sekolah. Perhitungan korelasi product moment diperoleh nilai r -0,027 dan nilai p 0,800 pada pola asuh demokratis, nilai r 0,718 dan nilai p 0,000 pada pola asuh otoriter, nilai r 0,729 dan nilai p 0,000 pada pola asuh permisif. Maka anak yang dibesarkan dengan pola asuh demokratis memiliki intensitas temper tantrum yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang dibesarkan dengan pola asuh otoriter dan pola asuh permisif.

(39)

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa hubungan pola asuh orangtua terhadap ekpresi emosi anak di TK Al-Falah Kota Jambi. Meskipun strategi sebagian besar orang tua positif, orang tua masih menyatakan kesulitan untuk menemukan strategi ekpresi emosi yang baik dan tepat dalam mengatasi tantrum pada anak mereka sehingga mereka kadang-kadang menggunakan sebagian strategi negatif sebagai alternatif pemecahan masalah dalam menghadapi ekpresi emosi.

Gambar

Tabel 1. Aspek-aspek Emosi  Aspek   Karakteristik Perilaku
Tabel 2. Pengaruh “Parenting Style” terhadap Perilaku Anak Menurut  Baumrind (Syamsu Yusuf, 2013: 51)

Referensi

Dokumen terkait

Tabel V.12 Hubungan antara Adiksi dengan Perilaku Cybersex pada Remaja Di Sekolah Lanjut Tingkat Atas di Kubu Raya

Dari tabel VI.3. dapat kita lihat bahwasanya kedisiplinan yang terdapat pada PT. Ramayana Lestari Semtosa Panam Square dikategorikan bagus, adapun responden

Penderajatan utk NSCLC ditentukan menurut International Staging System For Lung Cancer berdasarkan sistem TNM. Pengertian T tumor yg dikatagorikan atas

Di dalam sistem ini, pemain dapat melihat hasil kerjanya dalam permainan ini yang berupa Trophy yang diperoleh dari pencapaiannya di Story Mode dan juga High Score yang

[r]

Fungsi dari aplikasi ini adalah untuk memasukan data barang masuk dan data barang keluar , pada aplikasi ini proses penginputan data barang dilakukan dengan cara memasukan

Unuk terciptanya integrasi nasional, perlu adanya suatu jiwa, suatu ass spiritual, suatu solidaritas yang besar yang terbentuk dari perasaan yang timbul sebagai akibat pengorbanan

Filsafat dimulai dengan ragu-ragu akan sesuatu dan rasa ingin tahu akan sesuatu ( kebenaran/kepastian). Pengertian filsafat secara garis besar adalah ilmu yang mendasari suatu