• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

City branding merupakan strategi dari suatu kota atau wilayah untuk membuat positioning yang kuat di dalam benak target pasar mereka, seperti positioning sebuah produk atau jasa, sehingga kota dapat dikenal secara luas baik regional maupun global. City branding adalah proses atau usaha membentuk merek dari suatu kota untuk mempermudah pemilik kota tersebut dalam memperkenalkan kotanya kepada target pasar (investor, tourist, talent, event) kota tersebut dengan menggunakan kalimat

positioning, slogan, ikon, eksibisi, dan berbagai media lainnya. City branding merupakan bagian dari perencanaan kota melalui berbagai upaya untuk membangun diferensiasi dan memperkuat identitas kota agar mampu bersaing dengan kota lainnya demi menarik perhatian turis, penanam modal, SDM yang handal (Yananda & Salamah, 2014, hal. 34)

Jauh sebelum konsep city branding muncul, kota-kota di Indonesia telah memiliki positioning jati diri kuat yang dapat dianggap sebagai cikal bakal sebuah citra (branding), misalnya ‘Kota Kembang’ atau ‘Paris van Java’ untuk Kota Bandung; ‘Kota Pelajar’ atau ‘Kota Budaya’ untuk Yogyakarta; ‘Pulau Dewata’ untuk Kota Denpasar sebagai ibukota Provinsi Bali (Pontoh, 2012).

Pemahaman mengenai bagaimana konsep city branding

diaplikasikan di kota-kota Indonesia menjadi menarik untuk diteliti. Pemahaman konsep city branding kota-kota di Indonesia perlu ditingkatkan karena terdapat indikasi bahwa penerapan dari city branding

masih parsial dengan sekedar penggunaan logo atau slogan. Hal tersebut dikarenakan outcome dari city branding adalah membangun citra positif tentang tempat melalui pembangunan spasial dan non-spasial yang membuat perencanaan dan pengelolaan kota lebih fokus dan terintegrasi pada produksi dan penyampaian pesan yang tepat kepada pemangku

(2)

2

kepentingan internal dan eksternal kota (Yananda & Salamah, 2014, hal. 34).

Sadar atau tidak, banyak orang menyebut Yogyakarta dengan nama berbeda-beda seakan Yogyakarta memiliki banyak ‘nama panggilan’. Para orang tua menyebut Ngayogyakarta, orang-orang Jawa Timur dan Jawa Tengah menyebut Yogja atau Yojo. Disebut Jogja dalam slogan Jogja Never Ending Asia. Bahkan belakangan muncul sebutan baru, yaitu

Djokdja. Sekilas memang membingungkan, namun menunjuk pada daerah yang sama yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dibalik nama-nama yang bervariasi tersebut, ada 3 perkembangan yang bisa diuraikan. Utomo (2006) mengatakan bahwa nama

Ngayogyakarta dipastikan muncul tahun 1755, ketika Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I mendirikan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kraton yang berdiri sebagai wujud Perjanjian Giyanti yang dilakukan dengan Pakubuwono III dari Surakarta.

Yogyakarta secara resmi telah dipakai sejak awal kemerdekaan Indonesia. Ketika menjadi ibukota Indonesia pada tahun 1949, kota yang juga bergelar kota pelajar ini sudah disebut Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga menggunakan nama Yogyakarta ketika mengumumkan bahwa kerajaan ini merupakan bagian dari Republik Indonesia.

Berbagai macam penamaan muncul seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, seperti Yogja, Jogja, Jogya, Yokya dan Yogya. Bisa dikatakan bahwa variasi nama itu muncul akibat pelafalan yang berbeda-beda antar orang dari berbagai daerah di Indonesia. Uniknya, hampir semua orang bisa memahami tempat yang ditunjuk meski cara pengucapannya berbeda.

Karena kepentingan bisnis, nama Jogja kemudian menguat dan digunakan dalam slogan Jogja Never Ending Asia (Utomo, 2006). Slogan tersebut dibuat untuk membangun citra Yogyakarta sebagai kota wisata yang kaya akan pesona alam dan budaya. Alasan dipilih 'Jogja' adalah

(3)

3

karena nama ini diasumsikan lebih mudah dilafalkan oleh banyak orang, termasuk para wisatawan asing.

Dengan berbagai cara pengucapan dan cara penulisannya, bisa dikatakan Yogyakarta merupakan daerah yang paling banyak memiliki variasi nama. Jakarta hanya memiliki satu nama yaitu Jayakarta, sementara Bali tidak memilikinya sama sekali. Kota wisata lain di dunia seperti Bangkok, Singapura, Cartagena, Venesia bahkan tak terdengar memiliki nama-nama variasi. Kota-kota metropolitan seperti New York, Los Angeles, dan London juga tidak mempunyai nama variasi, tidak seperti yang terjadi di Yogyakarta.

Gambar 1 Logo Jogja Istimewa

Setelah melalui dinamika dan proses panjang pergantian bentuk logo dan tagline Yogyakarta, pada tahun 2015 ini Yogyakarta akhirnya melakukan rebranding dengan tagline ‘Jogja Istimewa’, sehingga tagline

Jogja Never Ending Asia’ tidak lagi dipergunakan. Perubahan ini dimotori oleh Tim 11 sebagai salah satu aktor dalam proses rebranding

Yogyakarta. Perubahan tagline tersebut dilakukan dengan banyak pertimbangan, diantaranya adalah dengan dicetusnya ‘Jogja Renaisans’ yang kemudian juga disebut dengan ‘Jogja Gumregah’ berisikan visi dan misi dari Sri Sultan HB X mengenai arah pembangunan Yogyakarta. Pembangunan Jogja Renaisans memiliki 9 arah, yakni pendidikan, ekonomi, kesehatan, pariwisata, energi, keterlindungan warga, teknologi, pangan, serta tata ruang dan lingkungan. Logo dan tagline baru itu tidak hanya berfungsi untuk memasarkan pariwisata DIY, tetapi juga menjadi simbol bagi perubahan Yogyakarta secara progresif.

Perubahan logo dan tagline yang dilakukan juga tidak lepas dari adanya pergantian arah pembangunan dari Yogyakarta saat ini. Saat

(4)

4

menyandang logo dan tagline lama Jogja Never Ending Asia, arah tujuannya lebih ke fungsi pemasaran dan pendukung sektor pariwisata Yogyakarta. Sedangkan pada logo dan tagline baru Istimewa, arah tujuannya lebih ke internalisasi nilai-nilai keistimewaan dari Yogyakarta pada benak setiap masyarakatnya. Hal ini ditujukan untuk membangun Yogyakarta ‘dari dalam’ dan hal ini dimulai dari dalam diri masyarakatnya.

Dalam proses branding ini, kota atau suatu wilayah tertentu ‘dikemas’ dengan suatu brand identity. Melalui brand identity inilah identitas kota berupa nilai, sejarah, kultur, karakter dan kondisi sosialnya dirangkum dalam visual (logo dan ikon) maupun verbal (naming dan

tagline). Dengan kata lain, wilayah tersebut menunjukkan nilai dan etos melalui citra yang diusung brand identity-nya. Bagi khalayak, city brand

adalah suatu pembeda antara satu wilayah dengan wilayah lain dan memiliki kepentingan praktis yang beragam, terutama ekonomi. Dengan demikian, publik termasuk pelaku bisnis akan lebih mudah menentukan destinasi sesuai tujuan yang ingin dicapai(Basicludo, 2015).

Oleh karenanya, hal penting dalam city branding ini bukan sekadar sebagai media pemasaran kota maupun promosi. City branding adalah cerminan dari gaya hidup, bahkan wujud kerjasama antar berbagai elemen di masyarakat yang kemudian hadir sebagai unique selling point tersendiri. Dengan begitu, sebuah wilayah boleh berbangga hati ketika mewujudkan identitasnya melalui sebuah city brand, karena harapan di balik proses

branding ini salah satunya adalah pembangunan internal yang semakin progresif dan kepercayaan publik pun lebih mudah diraih. Maka, semakin banyak pula pihak yang tertarik untuk beraktivitas, tinggal, hingga berinvestasi di wilayah tersebut.

Dalam talkshow WEX yang diadakan oleh Teknik Arsitektur UGM di bulan April 2015 lalu, M. Arief Budiman selaku salah satu anggota Tim 11 untuk rebranding Yogyakarta mengatakan bahwa sebenarnya tanpa melakukan rebranding pun Yogyakarta akan tetap baik-baik saja, tetapi

(5)

5

dia (Yogyakarta) tidak akan bisa kemana-mana. Proses rebranding ini menurutnya dapat diartikan sebagai proses pengisian ‘bahan-bakar’ agar kedepannya Yogyakarta bisa bergerak maju dan menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Untuk menanamkan semangat perubahan di benak masyarakat Yogyakarta, maka pemerintah provinsi melakukan suatu gerakan citizen branding yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai keistimewaan yang dimiliki oleh Yogyakarta. Hal ini dilakukan bukan tanpa alasan, Herry Zudianto memaparkan hal ini dalam suatu acara tanya jawab mengenai keistimewaan Yogyakarta. Beliau mengatakan bahwa citizen branding ini dilakukan mengingat timbul keresahan di benak masyarakat bahwa perjuangan selama 2 tahun guna mendapatkan label ‘daerah istimewa’ dirasa hanya digunakan untuk mendapatkan dana keistimewaan saja (DANAIS) semata. Citizen branding ini menurut beliau juga penting dilakukan untuk internalisasi nilai-nilai dan menanamkan semangat keistimewaan di benak setiap masyarakat Yogyakarta.

Dalam penelitian ini, penulis tidak hanya melakukan penelitian terkait dengan logo atau tagline yang dipergunakan untuk melakukan

rebranding citra Yogyakarta, akan tetapi juga upaya apa saja yang dilakukan oleh pemerintah provinsi untuk mendukung upaya rebranding

citra Yogyakarta tersebut.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana strategi city rebranding yang dilakukan oleh pemerintah provinsi untuk meningkatkan citra Yogyakarta?

BATASAN MASALAH

Dalam penelitian ini peneliti membatasi masalah pada strategi city rebranding yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan citra Yogyakarta. Sehingga untuk mengetahui dampak strategi yang dilakukan

(6)

6

membutuhkan penelitian lebih lanjut yang bisa menggunakan hasil penelitian ini sebagai referensi.

TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis strategi city

rebranding yang dilakukan oleh pemerintah provinsi untuk meningkatkan citra Yogyakarta.

MANFAAT PENELITIAN

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

Penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu komunikasi dalam bidang city branding.

Penelitian ini dapat bermanfaat bagi pemerintah provinsi Yogyakarta sebagai saran untuk mengembangkan strategi city branding Yogyakarta

Penelitian ini dapat menjadi acuan dan referensi bagi kota-kota lain yang belum dan akan melakukan city branding di kemudian hari.

KERANGKA PEMIKIRAN

Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau meyoroti suatu masalah. Untuk itu perlu disusun kerangka pemikiran yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disoroti. Kerangka pemikiran bermanfaat sebagai dasar dalam menjelaskan berbagai fenomena-fenomena yang penting dalam bidang yang diteliti.

(7)

7 Brand

Definisi Brand

Brand adalah suatu kesan yang dirasakan oleh konsumen mengenai suatu produk atau jasa. Brand adalah keseluruhan dari nilai-nilai tangible maupun intangible yang menjadi keunikan pada suatu produk maupun jasa. Brand bukan hanya sebuah simbol yang membedakan produk satu dengan lainnya, namun brand adalah segala atribut yang datang kedalam pikiran konsumen saat memikirkan produk tertentu (Moilanen & Rainisto, 2009, hal. 6).

Proses Brand Diciptakan

Brand diciptakan dan dibentuk didalam pikiran seseorang. Suatu brand dapat tercipta ketika sekumpulan orang dalam kelompok tertentu memiliki pikiran yang sama akan kepribadian dari suatu brand. Brand tidak diciptakan oleh desainer ataupun jajaran managerial suatu perusahaan, melainkan dibentuk didalam pikiran konsumen. (Moilanen & Rainisto, 2009, hal. 7)

Masyarakat secara konstan mengamati lingkungan di sekitarnya. Jika pengamatan tersebut berhubungan dengan suatu brand, hal tersebut dinamakan brand contacts. Untuk mengklasifikasikan sumber dari brand contacts, maka dibagi 4 kategori yaitu :

1. Planned messages (advertising, brochures) Product messages (physical settings, features) Service messages (contacts in the service process)

Unplanned messages word-of-mouth, newspaper articles)

Menurut Rainisto (2009) perkembangan suatu brand di benak konsumen diibaratkan seperti menyusun potongan-potongan

(8)

8

maupun kesan dari pelayanan yang dirasakan oleh konsumen dari suatu brand, merepresentasikan satu potong puzzle. Lambat laun potongan-potongan puzzle tersebut akan terkumpul dan membentuk suatu gambaran besar, dimana hal tersebut dapat diibaratkan sebagai proses pembentukan brand image suatu produk di benak konsumen. Baik buruknya brand image yang terbentuk akan sangat ditentukan dari proses yang terjadi, sehingga proses merupakan faktor yang paling penting dari terbentuknya suatu

brand image.

Perbedaan Fokus Terbentuknya Brand antara Produk Fisik dan Jasa

Gambar 2 Perbedaan Fokus

(Sumber : How to Brand Nations,Cities and Destinations)

Dari gambar diatas terlihat bahwa proses terbentuknya

brand pada produk fisik lebih berfokus pada hubungan antara konsumen dan perusahaan yang dilakukan dengan menggunakan komunikasi pemasaran. Pada produk fisik, komunikasi pemasaran memiliki pengaruh signifikan terhadap brand contacts pada konsumen, sedangkan peran personil/karyawan perusahaan disini kurang signifikan.

Proses terbentuknya brand pada produk jasa berbeda dengan produk fisik. Fokus proses terbentuknya brand akan melebar dan bergeser ke interaksi konsumen dengan personil/karyawan, karena brand contacts pada produk jasa terbentuk pada proses interaksi antara konsumen, karyawan, dan

(9)

9

juga konsumen lainnya. Ketika konsumen menggunakan produk jasa, maka banyak brand contacts yang ia dapatkan ketika proses itu berlangsung. Sehingga dapat disimpulkan bahwa proses interaksi yang terjadi antara konsumen dan perusahaan memiliki peran penting dalam terbentuknya brand, dan peran komunikasi pemasaran bergeser dari peran sentral ke peran pendukung.

Manfaat Brand

Sebuah brand tentu dibentuk dan diciptakan untuk memberikan manfaat, dimana manfaat tersebut adalah sebagai berikut :

1. Sebuah brand merupakan suatu pembeda antara produk satu dengan produk (pesaing) lainnya.

Sebuah brand menciptakan suatu emotional benefits untuk konsumen.

Sebuah brand dapat menjadi faktor penentu keputusan dari konsumen.

Sebuah brand melindungi sektor pemasaran dari suatu perusahaan dan memberikan keuntungan strategis jangka panjang.

City Branding

Definisi City Branding

City branding dapat dikatakan sebagai strategi dari suatu negara atau daerah untuk membuat positioning yang kuat didalam benak target pasar mereka, seperti layaknya positioning sebuah produk atau jasa, sehingga negara dan daerah tersebut dapat dikenal secara luas diseluruh dunia. City branding dapat diartikan sebagai sebuah proses pembentukan merek kota atau suatu daerah agar dikenal oleh target pasar (investor, tourist, talent, event) kota tersebut dengan menggunakan ikon, slogan, eksibisi, serta

positioning yang baik, dalam berbagai bentuk media promosi. Sebuah city branding bukan hanya sebuah slogan atau kampanye

(10)

10

promosi, akan tetapi suatu gambaran dari pikiran, perasaan, asosiasi dan ekspektasi yang datang dari benak seseorang ketika seseorang tersebut melihat atau mendengar sebuah nama, logo, produk layanan, event, ataupun berbagai simbol dan rancangan yang menggambarkannya (Gobe, 2012, hal. 12)

City branding merupakan sebuah bagian gambaran dari pemikiran, perasaan, asosiasi dan ekspektasi yang datang dari seseorang ketika melihat sebuah nama, logo, produk layanan ataupun berbagai simbol dan rancangan yang menggambarkannya memaparkan bahwa inti atau maksud dari pembuatan city branding

adalah strategi untuk memperkuat suatu negara, kota maupun daerah dengan positioning yang baik. Jika negara telah memiliki

positioning yang baik dan menjual maka akan mudah bagi negara tesebut untuk mengenalkan semua potensi yang ada ke seluruh dunia.

Hal yang membuat suatu kota atau daerah untuk melakukan

city branding adalah untuk mengenalkan kota atau daerah dengan secara mendalam serta memperbaiki citra kota itu sendiri. Selain itu dapat menarik wisatawan baik wisatawan asing maupun domestik. Dalam pembuatan branding kota dapat menarik minat investor untuk berinvestasi di kota tersebut dan tentunya dapat meningkatkan nilai perdagangan (Gobe, 2012, hal. 12).

Gobe (2012) menyebutkan bahwa strategi city branding

yang baik dengan melakukan survei persepsi dan ekspektasi tentang suatu daerah baik dari masyarakat daerah itu sendiri maupun pihak-pihak luar yang mempunyai keterkaitan dengan daerah, serta melakukan analisis daya saing baik dilevel makro maupun mikro daerah itu sendiri.

Pada setiap city branding yang sukses, pemerintah kota harus melakukan pemeriksaan strategis mengenai tren didalam lingkungan masyarakat dan ekonomi. Menentukan dimana

(11)

11

kesempatan, ketrampilan, sumber daya, dan kemampuan yang dimiliki kota tersebut; mencari tahu mengenai core values, sikap, sifat, dan karakteristik kota didalam mencapai tujuan yang diinginkan; dan mencari bagaimana kombinasi yang tepat sehingga menciptakan suatu diferensiasi yang menarik bagi berbagai kalangan (Dinnie, 2010, hal. 15)

City branding merupakan upaya membangun identitas sebuah kota. Identitas adalah sebuah kontruksi, sebuah konsekuensi dari sebuah proses interaksi antar manusia, institusi dan praktis dalam kehidupan sosial. City branding merupakan pembicaraan mengenai merek, karena city branding identik sebagai bagian dari konsep merek itu sendiri. Kegiatan city branding ini menuntut setiap daerah berlomba menciptakan citra tertentu dibenak masyarakat luas dalam merepresentasikan karakter kota. Citra kota memiliki kekuatan dalam membentuk merek sebuah kota, bahkan mempengaruhi kota itu sendiri. Merek yang melekat pada kota sangat bergantung pada identitas kota (Gobe, 2012, hal. 16).

Perbedaan City Brand dan Product Brand

Terdapat perbedaan mendasar antara city brand dan

product brand (Tabel 1). Hal yang ditawarkan oleh city brand

cenderung tidak tangible; Atribut didalamnya pun lebih rumit untuk didefinisikan dan dideskripsikan; Manfaat yang diterima oleh audiens pun cenderung lebih emosional daripada fungsional; Tidak seperti product brand yang memiliki kekuatan hukum pada produknya, pemilik dari city brand tersebut juga tidak jelas karena melibatkan banyak pihak dan stakeholder, sehingga kota itu sendiri tidak memiliki kontrol atas pemanfaatan (atau penyalahgunaan) dari city brand yang ada.

(12)

12 Tabel 1 Perbedaan City Brand dan Product Brand

City branding just a compilation of marketable assets? (Cozmuic, 2011)

City Brand Product Brand Hal yang

ditawarkan

intangible Sebuah produk atau

jasa

Keuntungan Lebih ke emosional Fungsional dan emosional

Citra Rumit dan bermacam-macam Sederhana dan Jelas Tujuan Meningkatkan dan

mempromosikan citra kota

Meningkatkan penjualan dan membina hubungan Pemilik Samar; dimiliki banyak

stakeholder

Satu pemilik

Target Lebih rumit untuk didefinisikan

Segmentasi jelas

Citizen Branding

Gobe (2012) seorang pakar emotional branding citizen branding sebagai konsep yang berusaha membawa spirit merek sehingga setiap konsumen merasa ingin menjadi bagian dari merek tersebut yang akhirnya akan menciptakan budaya yang saling menghargai, tidak hanya factual honesty melainkan juga emotional honesty. Untuk itu pemerintah harus peka dan harus tahu apa yang menjadi harapan dan impian warganya, bagaimana kehidupan mereka sehari-hari, apa yang membuat mereka bahagia dan takut. Perusahaan harus bisa memperoleh informasi yang bersifat humanistis tidak sekedar permukaan dan angka-angka saja.

Strategi Rebranding

Rebranding bertujuan untuk membentuk citra (image) dan atau merefleksikan perubahan identitas. Kata rebranding itu sendiri dapat diartikan secara etimologis, yang merupakan kombinasi kata

(13)

13

yaitu re dan brand. Re berarti kembali sedangkan brand berarti merek, jadi jika diartikan berdasarkan asal katanya rebranding

memilki arti pemberian nama merek kembali. Rebranding

mengindikasikan adanya tujuan penghapusan pernyataan atas sesuatu yang sebelumnya, misalnya penghapusan citra atau reputasi yang terbentuk sebelumnya. Dorongan atas rebranding

adalah untuk mengirimkan sinyal kepada pasar,

mengkomunikasikan kepada pemegang modal (stakeholder) bahwa sesuatu mengenai organisasi telah berubah (Arzia, 2007, hal. 7)

Rebranding adalah suatu upaya atau usaha yang dilakukan oleh perusahaan atau lembaga untuk merubah total atau memperbaharui sebuah brand yang telah ada agar menjadi lebih baik. Dengan kata lain, ketika melakukan rebranding maka yang berubah ialah nilai-nilai dalam merek itu sendiri. Rebranding

bukan hanya sebuah perubahan logo, namun rebranding juga meliputi perubahan pesan, perubahan cara pendekatan pada konsumen, pemberian jasa-jasa baru, atau bahkan perubahan mengenai apa yang dijanjikan pada konsumen.

Rebranding sebagai sebuah perubahan merek, seringkali identik dengan perubahan logo ataupun lambang sebuah merek. Perubahan logo merupakan salah satu langkah rebranding produk yang paling banyak dilakukan oleh para produsen. Rebranding atau perancangan kembali sebuah brand, sebenarnya adalah keinginan sebuah perusahaan untuk menetapkan dan menata kembali nilai-nilai yang ada dalam identitas perusahaan. Salah satu hasil dari

rebranding itu adalah logo, namun dari sebuah logo itu, masih ada proses panjang yang masih terus dilakukan. Proses panjang itulah yang sering diistilahkan sebagai proses branding, penerapan nilai-nilai yang dibawa dalam penciptaan brand (Knapp, 2000, hal. 18)

(14)

14 Citra (Image)

Citra merupakan tujuan pokok sebuah perusahaan atau institusi. Terciptanya suatu citra perusahaan (corporate image) yang baik dimata khalayak atau publiknya akan banyak menguntungkan. Pengertian citra itu sendiri abstrak atau

intangible, tetapi wujudnya bisa dirasakan dari hasil penilaian, penerimaan kesadaran dan pengertian, baik semacam respek dari publik sekelilingnya atau dari masyarakat luas terhadap perusahaan sebagai sebuah badan usaha ataupun terhadap personelnya (dipercaya, professional dan dapat diandalkan dalam pemberian pelayanan baik) (Ruslan, 2003, hal. 50).

Menurut Lawrence L. Steinmeitz mengartikan citra sebagai pancaran atau reproduksi jati diri dari bentuk perorangan, benda atau organisasi. Bagi perusahaan citra juga dapat diartikan sebagai persepsi masyarakat terhadap jati diri perusahaan. Anggota masyarakat itu sendiri beraneka ragam termasuk konsumen, pelanggan, bank kreditur, investor, perusahaan saingan, karyawan, calon pelamar pekerjaan atau instansi swasta dan pemerintah. Selain itu ada juga pendapat Seitel yang dikutip oleh Soemirat dan Ardianto yang menyatakan kebanyakan perusahaan meyakini bahwa citra perusahaan yang positif adalah esensial, sukses yang berkelanjutan dan dalam jangka panjang (Soemirat, 2003, hal. 111) Jefkins (1999) mengatakan bahwa citra perusahaan adalah citra dari suatu organisasi secara keseluruhan, jadi bukan citra atas produk dan pelayanannya.

Citra perusahaan terbentuk oleh banyak hal. Hal-hal positif yang dapat meningkatkan citra sebuah institusi antara lain:

1. Sejarah atau riwayat hidup perusahaan yang gemilang Keberhasilan di bidang keuangan yang pernah diraihnya Keberhasilan ekspor

(15)

15

Reputasi sebagai pencipta lapangan kerja dalam jumlah besar Kesediaan turut memikul tanggung jawab sosial

Komitmen mengadakan riset

Mau tidak mau setiap perusahaan atau institusi mempunyai citra di masyarakat. Citra itu sendiri dapat berperingkat baik, sedang atau buruk, bisa berupa citra positif dan citra negative. Citra buruk akan melahirkan dampak negative bagi operasi bisnis perusahaan dan citra yang baik merupakan investasi perusahaan dalam jangka panjang.

Citra perusahaan yang baik dan kuat mempunyai manfaat-manfaat antara lain (1) Daya saing jangka menengah dan panjang yang mantap; (2) Menjadi perisai selama masa kritis; (3) Menjadi daya tarik eksekutif handal; (4) Meningkatkan efektifitas strategi pemasaran; (5) Penghematan biaya operasional.

Jefkins (1999) juga berpendapat bahwa ada 4 hal dalam mengukur suatu citra perusahaan yaitu :

1. Kepercayaan

Dalam perkembangan dan kemajuan suatu perusahaan tidak terlepas dari dukungan publiknya yaitu adanya kepercayaan. Artinya kepercayaan menjadi kelanjutan nafas kehidupan sebuah perusahaan.

Realitas

Perusahaan melakukan kegiatan yang jelas wujudnya, dapat diukur dan hasilnya dapat dirasakan serta dapat dipertanggung jawabkan dengan perencanaan yang matang dan sistematis. Kerjasama saling menguntungkan

Yaitu saling memberikan keuntungan sesama pihak baik bagi perusahaan maupun khalayak. Suatu kegiatan yang dilaksanakan yang mendatangkan kesuksesan dan keuntungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.

(16)

16

Kesadaran

Adanya kesadaran khalayak tentang produk yang dihasilkan.

KERANGKA KONSEP

Dalam penelitian ini, kerangka konsep terbagi ke dalam tiga isu penting, yaitu (1) bagaimana proses terbentuknya citra kota di benak konsumen; (2) area aktifitas kegiatan dalam suatu city branding; dan (3) proses komunikasi dalam pembentukan citra kota dalam konteks city branding.

Proses Terbentuknya Citra Kota di Benak Konsumen

Pada dasarnya proses terbentuknya citra di konteks pemasaran dan konteks ruang memiliki kesamaan. Sehingga berbagai teori-teori dari konteks pemasaran juga bisa digunakan untuk konteks ruang.

Gambar 3 Proses Terbentuknya Citra

(Sumber : How to Brand Nations,Cities and Destinations)

Gambar diatas menjelaskan bahwa terdapat kesamaan antara proses terbentuknya brand pada perusahaan jasa dan kota/tempat. Pada dasarnya sebuah kota/tempat terdiri dari berbagai macam perusahaan jasa, sehingga brand contacts terjadi antara konsumen dan banyak faktor dan aktor, sehingga terbentuknya brand tentu dipengaruhi oleh banyak aktor yang berperan didalamnya.

(17)

17 Area Aktifitas untuk Pengembangan City Branding

Dari hexagon diatas terlihat berbagai area aktifitas yang dapat dilakukan oleh sebuah kota/tempat untuk melaksanakan dan mengembangkan aktifitas city branding. Sebuah kota bisa melakukan kegiatan ataupun kebijakan yang terkait dengan poin-poin yang terdapat pada hexagon tersebut, baik itu turisme, brand, warga, kebijakan, budaya, ataupun investasi, demi tercapainya keberhasilan dalam upaya city branding yang dilakukan.

Proses Komunikasi dalam Membentuk Citra Kota

Mikhail Kavaratzis menawarkan sebuah kerangka kerja yang menggambarkan bagaimana brand berkomunikasi melalui pilihan dan perlakuan yang sesuai, baik itu fungsional maupun bermakna simbolik. Identitas yang dikomunikasikan terdiri dari komunikasi primer (pengalaman langsung konsumen terhadap barang atau jasa); komunikasi sekunder (iklan dan kegiatan promosi lainnya); dan komunikasi tersier (word of mouth atau getok tular)

Gambar 4 Hexagon aktifitas dalam city branding (Kavaratzis, dalamYananda & Salamah, 2014)

(18)

18

Kerangka kerja untuk melakukan komunikasi citra kota ditawarkan oleh Kavaratzis (Yananda & Salamah, 2014) yang berupaya menggabungkan antara pemasaran kota dengan branding. Terdapat 3 (tiga) jenis komunikasi yaitu primer, sekunder dan tersier.

METODE PENELITIAN Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah kualitatif. Menurut Moleong (2007) yang dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan kualitatif dipergunakan untuk menganalisis pokok permasalahan yang ada dan tidak menguji suatu hipotesis.

Penelitian kualitatif ini secara spesifik lebih diarahkan pada penggunaan metode studi kasus. Sebagaimana pendapat Lincoln dan Guba yang menyebutkan bahwa pendekatan kualitatif dapat juga disebut dengan case study ataupun qualitative, yaitu penelitian

(19)

19

yang mendalam dan mendetail tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan subjek penelitian.

Menururt Lincoln dan Guba penggunaan studi kasus sebagai suatu metode penelitian kualitatif memiliki beberapa keuntungan, yaitu :

1. Studi kasus dapat menyajikan pandangan dari subjek yang diteliti.

Studi kasus menyajikan uraian yang menyeluruh yang mirip dengan apa yang dialami pembaca kehidupan sehari-hari. Studi kasus merupakan sarana efektif untuk menunjukkan

hubungan antara peneliti dan responden.

Studi kasus dapat memberikan uraian yang mendalam yang diperlukan bagi penilaian atau transferabilitas.

Pada dasarnya penelitian dengan jenis studi kasus bertujuan untuk mengetahui tentang sesuatu hal secara mendalam. Maka dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode studi kasus untuk menganalisis strategi city branding yang dilakukan oleh pemerintah provinsi untuk meningkatkan citra Yogyakarta.

Dalam penelitian ini penulis menganalisis mengenai strategi city branding yang dilakukan oleh pemerintah provinsi untuk meningkatkan citra Yogyakarta. Jenis penelitian ini dipilih karena peneliti ingin memaparkan fakta dan peristiwa yang terjadi dalam strategi city branding yang dilakukan pemerintah provinsi Yogyakarta, kemudian peneliti mencatat, mendeskripsikan, dan menganalisis strategi-strategi city branding baik yang akan atau telah dilakukan.

(20)

20 Jenis Data

Data kualitatif yang akan dikumpulkan didalam penelitian ini dibagi menjadi dua jenis yaitu :

Data Primer

Data primer merupakan data utama yang akan digunakan untuk menjelaskan fenomena penelitian. Data tersebut akan dikumpulkan peneliti dengan cara wawancara dan observasi. Wawancara dilakukan kepada beberapa narasumber. Narasumber yang akan diwawancara antara lain Kabid Perencana Wilayah BAPPEDA Daerah Istimewa Yogyakarta Bp. M Taufiq AR, dan Bp. H. Herry Zudianto selaku koordinator dari Tim 11.

Data Sekunder

Data sekunder merupakan data pendukung yang turut digunakan peneliti untuk menjelaskan fenomena penelitian. Data sekunder ini dapat diperoleh peneliti dari studi literatur, majalah, internet, buku dan lainnya mengenai informasi-informasi yang terkait dengan penelitian ini. Penggunaan data sekunder ini diperlukan untuk memperluas sudut pandang peneliti yang digunakan sebagai bahan pertimbangan dan referensi tambahan terhadap berbagai fakta yang terjadi selama penelitian berlangsung.

Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan teknik sebagai berikut:

Wawancara

Menurut Burhan (2001) yang dimaksud dengan teknik wawancara adalah proses percakapan dengan maksud untuk mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, motivasi, perasaan dan sebagainya yang dilakukan dua pihak yaitu

(21)

21

pewawancara yang mengajukan pertanyaan dengan yang diwawancarai.

Jenis wawancara yang dipilih adalah wawancara tak berstruktur. Ada beberapa pertimbangan khusus dalam menggunakan jenis teknik pengumpulan data ini. Pertama, wawancara bisa lebih spontan dalam pembicaraan. Selanjutnya, gambaran dari persoalan pokok terhadap pemikiran responden lebih siap diidentifikasi. Hasilnya pewawancara tidak mungkin melakukan penyimpangan atau mengalihkan pembicaraan dan menghalangi mengalirnya informasi. Ketiga, Lebih besarnya kesempatan untuk menjajagi berbagai aspek permasalahan dalam aneka permasalahan yang tidak terbatas.

Pada penelitian ini penulis melakukan wawancara kepada narasumber penelitian, dengan sebelumnya telah menyiapkan pedoman wawancara agar proses yang dilalui akan lebih terarah.

Dokumentasi

Moleong (2007) mengemukakan yang dimaksud dengan dokumentasi adalah teknik yang dilakukan untuk mendapatkan dokumen. Dokumen adalah setiap bahan yang tertulis.

Dokumen dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Foto-foto maupun tulisan yang berkaitan dengan kegiatan rebranding

yang dilakukan oleh pemerintah provinsi Yogyakarta di berbagai media.

Narasumber dan Informan Penelitian

Narasumber dalam penelitian ini dipilih berdasarkan peranannya dalam proses city branding Yogyakarta. Narasumber dalam penelitian ini adalah Kabid Perencana Wilayah BAPPEDA Daerah Istimewa Yogyakarta Bp. M Taufiq AR, dan anggota sekaligus koordinator dari Tim 11 yang merupakan aktor

(22)

22

penggerak dari kegiata city branding Yogyakarta Bp. H. Herry Zudianto.

TEKNIK ANALISIS DATA

Penelitian ini menggunakan analisis data berdasarkan model analisa interaktif yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman (Salim, 2006). Analisis pada model ini terdiri dari empat komponen yang saling berinteraksi, yaitu: pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan dan verifikasi. Proses siklusnya dapat dilihat pada

gambar berikut:

1. Pengumpulan Data

Tahap pertama yang dilakukan adalah dengan melakukan pengumpulan data. Pada tahap ini penulis melakukan pengambilan data melalui wawancara dan dokumentasi.

2. Pemilihan Data (Reduksi Data)

Pemilihan data dilakukan setelah tahap pengumpulan data selesai. Pemilihan data tersebut bertujuan untuk mendapatkan data yang sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti. 3. Penyajian Data

Bagan 2 Analisis data interaktif model Miles dan Huberman

(23)

23

Penyajian data dilakukan dengan cara menganalisis data yang telah dipilih dengan menggunakan analisis deskriptif. Penulis melakukan deskripsi terhadap data yang diperoleh sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini. 4. Pengambilan Kesimpulan

Tahap terakhir adalah pengambilan kesimpulan. Pada tahapan ini maka penulis melakukan suatu kesimpulan terhadap rumusan masalah yang ada, selain itu juga penulis memberikan saran untuk kepentingan penelitian.

Gambar

Gambar 2 Perbedaan Fokus
Tabel 1 Perbedaan City Brand dan Product Brand
Gambar 3 Proses Terbentuknya Citra
Gambar 4 Hexagon aktifitas dalam city branding  (Kavaratzis, dalamYananda & Salamah, 2014)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Ketiga tesis di atas secara substantif memang meneliti tentang pemasaran pendidikan di sebuah lembaga, baik pada sekolah tingkat menengah maupun sekolah tinggi. Akan

infeksi yang kurang serius, untuk penyakit-penyakityang terutama ditularkan secara langsung sebagai tambahan terhadap hal pokok yang dibutuhkan, diperlukan

Berdasarkan 4 konsep di atas, keberadaan Tuhan yang berbentuk kerajaan menandakan peninggalan kebudayaan masyarakat Hindu di Bali adalah berbentuk kerajaan dan hal

Argumennya adalah aturan etika yang fundamental dalam praktik perpajakan pada tingkat etika personal adalah praktisi pajak harus mengijinkan klien untuk membuat

Hasil penelitian adalah yang diperoleh adalah sebagai berikut: Fasilitas e-learning UNY telah dikembangkan dengan menggunakan LMS Moodle dan telah berfungsi dengan baik;

06 Koordinasi BKPRD Kota Ambon Tersedianya laporan 1 paket 1 paket 90.000.000 APBD II BAPPEKOT. koordinasi BKPRD

Dari hasil uji lebih lanjut dengan uji BNJ pada taraf 5% menunjukkan bahwa pemberian pupuk dekastar (DS) saja, maupun kombinasi perlakuan pemberian pupuk

 Setiap anggota Promosi Kesehatan Rumah Sakit (PKRS) berkewajiban membuat identifikasi kebutuhan promosi kesehatan dan menyarankan program kerja yang sesuai serta bertanggung