• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan manusia / trafficking in persons (khususnya perempuan dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan manusia / trafficking in persons (khususnya perempuan dan"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. L a t a r B e l a k a n g

Perdagangan manusia / trafficking in persons (khususnya perempuan dan anak) merupakan masalah yang hingga saat ini belum terpecahkan. Kecenderungan global menunjukkan bahwa masalah tersebut semakin mengkhawatirkan. Dalam catatan International Information Program, U.S. Department of State (2004) masalah perdagangan anak dan perempuan merupakan bentuk kejahatan terorganisire terbesar nomor tiga di dunia setelah kejahatan perdagangan obat bius dan perdagangan senjata. 1

Salah satu alasan yang kuat adanya sindikat perdagangan manusia antar negara ini adalah adanya keuntungan yang besar disamping masih banyak juga negara atau perusahaan-perusahaan lintas negara yang memerlukan tenaga-tenaga kerja murah dan illegal. PBB menyebutkan bahwa sindikat perdagangan (trafficking) perempuan dan anak meraup keuntungan tujuh milliar dolar AS setiap tahunnya dan sekitar dua juta orang diperdagangkan tiap tahunnya. Sementara itu, di Indonesia sendiri, diperkirakan sekitar 40 ribu sampai 70 ribu perempuan dan anak menjadi korban perdagangan. Ada banyak faktor penyebab yang mendorong terjadinya tindak kejahatan trafficking dan memberi andil bagi keberhasilan jaringan kejahatan yang

1

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia, Penghapusan

(2)

terlibat dalam perdagangan manusia. Kebanyakan orang-orang yang menjadi korban Trafficking itu adalah orang miskin dan tidak cukup memiliki peluang kehidupan ekonomi, kurang pendidikan.2

Praktek perdagangan orang di Indonesia, sebenarnya sudah ada sejak lama, hanya saja karena kurangnya kesadaran masyarakat dan belum adanya ketentuan yang komprehensif bagi penegak hukum serta kurang sensitifnya aparatur pemerintah terhadap praktek perdagangan orang, menyebabkan tingginya kasus perdagangan orang. Intenational Organization for Migration (IOM) sampai saat ini telah mengidentifikasikan dan memberikan bantuan bagi 3.339 korban perdagangan orang sepanjang 4 tahun terakhir (data Maret 2005 – Desember 2009). Hampir 90% diantaranya adalah perempuan dan lebih dari 25% diantaranya anak-anak yang memang paling rentan untuk diperdagangkan. Data tersebut tentu saja tidak mencerminkan jumlah korban yang sesungguhnya, karena perdagangan orang adalah jenis underreported crime. Hal ini disebabkan karena banyak korban yang tidak mempunyai kesempatan melaporkan kasusnya ke kepolisian atau merasa takut melaporkan kasus yang menimpanya.3

Indonesia tidak hanya dikenal sebagai negara pengirim, namun juga transit dan penerima. Artinya beberapa daerah di Indonesia, dikenal sebagai daerah korban berasal dan ada beberapa daerah yang menjadi tempat korban dieksploitasi. Mereka

2

IOM International Organization for Migration, Pedoman Penegakan Hukum dan

Perlindungan Korban dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Jakarta 2008,hal 33

3

(3)

tidak hanya diperdagangkan dalam wilayah Indonesia namun juga keluar wilayah negara Indonesia misalnya Malaysia, Arab Saudi dan Jepang.

Perdagangan orang (trafficking) merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Dimasa lalu perdagangan orang hanya dipandang sebagai pemindahan secara paksa ke luar negeri untuk tujuan prostitusi. Para traffiker tergiur dengan keuntungan bebas pajak dan tetap menerima income dari korban yang sama dengan tingkat resiko kecil.

Berdasarkan penelitian di lapangan, sekurang-kurangnya ada tujuh modus operandi perdagangan orang (trafficking) yang paling sering ditemukan, yaitu : a. Eksploitasi buruh migran.

TKW / TKI yang dijanjikan pekerjaan sebagai pekerja informal seperti pembantu rumah tangga, pelayan toko, pekerja pabrik, atau pelayan restoran, lalu dikirim dan diterima oleh Agen di negara tujuan. Di negara tersebut mereka dipekerjakan layaknya seperti budak, tidak mendapatkan haknya sebagai pekerja seperti gaji dan waktu istirahat, tidak boleh meninggalkan tempat kerja ditambah dengan siksaan fisik, psikologis maupun seksual.

b. Eksploitasi Prostitusi.

Calon tenaga kerja dijanjikan sebagai pekerja informal seperti pembantu rumah tangga, pelayan restoran, engasu anak dan sebagainya, ternyata dilacurkan baik didalam maupun di luar negeri. Pelaku Perdagangan Orang, tidak hanya

(4)

melacurkan korban di lokalisasi-lokalisasi prostitusi biasa, namun juga mengorganisir kejahatan ini dengan cara membawa korban ke hotel-hotel dan melakukan transaksi disana. Korban biasanya dikurung disebuah hotel kamar apartemen, kemudian dibawa keluar untuk melayani pelanggan dihotel-hotel tempat pelaku bertemu dengan pelanggan dan pelanggan bebas memilih korban. Pelakulah yang bertransaksi langsung dengan pelanggan sementara korban tidak memiliki kekuasaan untuk menolak, apalagi dengan penjagaan ketat dari para bodyguard, dipaksa untuk melayani pelanggan. Walaupun kadang korban tahu bahwa dia akan bekerja sebagai prostitusi, namun biasanya karena ditipu oleh pelaku, seperti tentang kondisi pekerjaannya, dijerat utang, dipaksa melayani sejumlah laki-laki dalam satu hari dan dilarang meninggalkan lokalisasi sebelum membayar sejumlah besar uang yang dianggap utang kepada mucikari, maka korban tidak dapat berbuat apa-apa. Eksploitasi prostitusi juga dapat terjadi dilokasi perkebunan, dimana pelaku mengorganisir kegiatan ini dilokasi perkebunan terpencil dengan target pelanggan para pekerja perkebunan tersebut. c. Kerja Paksa.

Laki-laki dewasa dan anak ditawari pekerjaan diperkebunan, pabrik kayu atau sebagai pekerja bangunan di luar negeri dan dijanjikan mendapatkan gaji tinggi dan fasilitas mess yang disiapkan oleh perusahaan. Sesampainya di lokasi kerja, ternyata korban dipaksa bekerja tanpa gaji dan istirahat yang cukup, dilarang meninggalkan tempat kerja dan tidak mendapatkan tempat tinggal yang layak,

(5)

atau mereka yang dieksploitasi diwilayah perkebunan, biasanya tinggal digubuk-gubuk tidak permanen dan dilarang meninggalkan tempat kerja sebelum mereka menyelesaikan kontrak (biasanya 2 tahun). Lebih mengenaskan lagi, kadang-kadang, ketika pekerjaan hampir selesai, pelaku melaporkan kepada polisi setempat tentang keberadaan meeka yang biasanya tidak berdokumen. Akhirnya mereka ditangkap polisi dan dianggap melanggar peraturan keimigrasian dan tentu saja pelaku tidak perlu membayar gaji mereka.

d. Training atau Pelatihan.

Anak-anak yang dikirim ke luar negeri dengan alasan training atau pelatihan ternyata kemudian dipaksa bekerja di hotel, restoran, di kapal nelayan dan jermal tanpa gaji dan waktu istirahat yang cukup. Disamping merupakan suatu situasi yang eksploitatif yang dapat dianggap sebagai perdagangan manusia dewasa, situasi-situasi seperti itu melanggar hak-hak anak berdasarkan perundang-undangan Indonesia. Korban ditipu dengan alasan sebagai duta budaya, ternyata kemudian dilacurkan atau dipaksa menjadi penari erotis.

e. Penculikan.

Anak perempuan remaja diculik saat pulang sekolah lalu dibius dan dipindahkan untuk kemudian dilacurkan. Pembiusan yang sering terjadi terhadap perempuan dewasa, biasanya di kendaraan umum,misalnya di dalam bus-bus antar kota.

(6)

Korban dijanjikan untuk dinikahkan dengan warga negara asing namun kemudian oleh suaminya dijadikan pembantu rumah tangga atau bahkan dilacurkan.

g. Kawin kontrak.

Korban dikawin kontrak dan dieksploitasi sebagai prostitusi oleh suaminya.

Protokol Palermo (UNICEF) menjelaskan bahwa perdagangan orang didefinisikan sebagai: perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan seseorang melalui penggunaan ancaman atau tekanan, atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, kecurangan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberikan atau menerima pembayaran sehingga mendapatkan persetujuan dari seseorang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi mencakup, paling tidak eksploitasi pelacuran oleh orang lain, atau bentuk lain dari ekspolitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktek-praktek yang mirip perbudakan, penghambaan, atau pengambilan organ tubuh.4

Penyebaran kasus trafficking hampir merata di seluruh wilayah Indonesia baik di kota-kota besar maupun di pedesaan. Perempuan dan anak adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban Trafficking, hal ini akan mengancam kualitas penerus

4

Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Undang-undang Republik Indonesi a Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan

(7)

bangsa serta memberi dampak negatif bagi bangsa yang mengalaminya dimata dunia.5

Trafiking in person (TIP) Report yang dikeluarkan oleh Department of State, USA, June 2004, memposisikan Indonesia pada Tier III (terburuk ke III) artinya Indonesia dievaluasi sebagai negara pemasok perdagangan perempuan dan anak, berkomitmen rendah, kurang serius dan kurang kepeduliannya dalam pemberantasan TIP. Kasusnya banyak tetapi belum ada upaya strategis yang dilaksanakan. Suatu tantangan bagi Indonesia untuk menyelamatkan anak bangsa. TIP Report yang dikeluarkan tanggal 3 Juni 2005, memposisikan Indonesia pada Tier II (terburuk ke II), artinya Indonesia telah dinilai selangkah lebih maju dalam melakukan langkah dan upaya signifikan untuk pemberantasan TIP dan memenuhi standart minimum yang ditetapkan walaupun belum sepenuhnya.6

Salah satu daerah yang menyimpan banyak permasalahan perdagangan (trafficking) perempuan dan anak di Indonesia adalah daerah Propinsi Sumatera Utara. Hal ini dikarenakan Propinsi Sumatera Utara dalam praktek perdagangan (trafficking) perempuan dan anak memiliki tiga fungsi strategis, yaitu sebagai daerah asal (sending area), daerah penampungan sementara (transit) dan juga sebagai daerah tujuan trafiking. Disisi lain berkaitan dengan posisi geografis daerah Sumatera Utara

5

Edy Ikhsan dkk, RencanaAksi Propinsi Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan

dan Anak, Yayasan Pusaka Indonesia, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Medan, 2005.hal 91

6

Departemen Luar Negeri AS : Laporan mengenai Perdagangan Manusia [Bagian III],

(8)

yang strategis dan mempunyai aksesibilitas tinggi ke jalur perhubungan dalam dan luar negeri serta kondisi perkembangan daerah Sumatera Utara yang cukup baik di berbagai bidang. Dari 28 Kabupaten/Kota se Sumatera Utara, yang teridentifikasi daerahnya rawan trafficking sebanyak 12 Kabupaten Kota, antara lain : Medan, Binjai, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Asahan, Batu Bara, Tanjung Balai, Langkat, Tebing Tinggi, Labuhan Batu, Pematang Siantar dan Simalungun. 7

Klasifikasi yang termasuk daerah Sumber : Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Simalungun, Binjai, Pematang Siantar, Asahan, Batu Bara, Tanjung Balai, Langkat, Tebing Tinggi, Labuhan Batu. Daerah Transit: Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Asahan, Batu Bara, Tanjung Balai dan Kabupaten Labuhan Batu. Daerah Tujuan/Penerima : Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Tebing Tinggi dan Simalungun.8

Menurut keterangan dari Kompol Fransisca Munthe selaku Kanit Pelayanan Perempuan dan Anak Polda Sumut, bahwa bentuk praktek Trafficking yang ditangani di Sumatera Utara diantaranya adalah trafficking untuk prostitusi/pelacuran, perdagangan bayi, pekerja rumah tangga, pekerja jermal dan penipuan buruh migran, namun dari sejumlah data dan bentuk praktek trafficking yang berkembang sebagian besar kasusnya adalah untuk pelacuran, mulai dari trafficking domestik maupun lintas

7

Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Op cit, hal 18

8

Pusat Kajian dan Perlindungan Anak – IOM International Organization for Migran,

Peraturan Daerah Sumatera Utara Nomor 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan

(9)

negara. Sebagai contoh kasus pada bulan Januari tahun 2009 yang dilaporkan oleh seorang bapak bernama TOGU PANJAITAN, melaporkan anaknya sudah menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (trafficking), bahkan telah meninggal dunia dan dikubur di negara Malaysia, dimana korban anaknya ROMATUA usia 16 thn, alamat Jalan H.M Joni Medan Kelurahan Medan Amplas, telah ditipu oleh tetangganya sendiri yang bernama SANTI, korban Romatua ditawari pekerjaan sebagai pelayan Restaurant di negara Melaysia dengan gaji besar, namun hanya beberapa bulan saja Romatua bekerja di negara Malaysia, datang kabar bahwa Romatua sudah meninggal dunia, Romatua dikabarkan kena suatu penyakit menular yang membahayakan dan karena itu korban Romatua harus dikuburkan segera di negara Malaysia, karena Pelapor TOGU PANJAITAN dalam kondisi kesulitan ekonomi dan minimnya informasi kemana harus mengadukan permasalahan tersebut, pelapor baru mengetahui setelah ada surat dari negara Malaysia untuk penguburan anaknya dengan alasan anaknya jatuh sakit dan meninggal dunia dirumah sakit, pihak yang membawa anaknya atau pelaku memang memberi biaya TOGU PANJAITAN ke negara Malaysia untuk menyaksikan penguburan anaknya, namun pelapor merasa kecewa kepada pelaku yang membawa anaknya tersebut ke Malaysia, karena tidak dari awal memberitahukan bahwa anaknya sedang sakit di Malaysia, sehingga pelapor dapat bertemu dengan anaknya pada saat masih hidup, maka Pelapor atas saran pihak keluarga akhirnya membuat pengaduan ke pihak Kepolisian, namun ironisnya dalam perjalanan proses penyidikannya, kasus tersebut

(10)

banyak mendapat kendala, salah satunya kurangnya persamaan persepsi antara aparat penegak hukum, padahal faktanya korban ROMATUA, usia 16 thn, alm Jalan H.M Joni Medan Kelurahan Medan Amplas berangkat ke negara Malaysia dengan menggunakan identitas palsu atau bukan identitas dirinya sendiri, melainkan identitas atas nama SITI, usia 23 tahun, alamat Jalan Titipanan, Medan Marelan, fakta hukum ini saja seharusnya sudah dapat menjadi dasar/pedoman untuk menjerat sipelaku dengan undang-undang No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan tindak pidana Perdagangan Orang dan menuntut si pelaku sampai ke tingkat persidangan, namun karena kurangnya persamaan persepsi antara penyidik dengan Jaksa penuntut umum akhirnya berkas perkara belum bisa maju ke persidangan, tetap saja ada kekurangan dari pihak Kejaksaan yang harus dipenuhi oleh penyidik, sehingga kasus tersebut bolak-balik dari pihak Kejaksaan dan sampai sekarang belum dapat dipenuhi oleh pihak penyidik, ironis sekali disatu pihak pelapor sudah kehilangan anaknya, pada saat yang sama pelapor juga belum mendapatkan keadilan dengan terlaksananya penegakan hukum kepada si pelaku untuk mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Keadilan yang diharapkan pelapor masih membutuhkan jawaban yang panjang dan waktu yang lama. 9

Permasalahan seperti contoh kasus diatas sering dialami oleh pihak Kepolisian sehingga menarik untuk diteliti dan dijadikan bahan analisa, sehingga diharapkan

9

Fransisca Munthe, Kanit PPA Polda Sumut, wawancara di Polda Sumut tanggal 02 Maret 2010, Pukul 10.00 Wib.

(11)

dapat memberikan solusi atau bahan masukan demi tercapainya tujuan dari penegakan hukum sendiri, yaitu mendapatkan keadilan, dimulai pada saat pelapor datang ke kantor polisi membuat pengaduan, sampai ke tahap penuntutan dan persidangan. Data yang telah dihimpun oleh peneliti sejak tahun 2007 Kepolisian Daerah Sumatera Utara telah menangani kasus tindak pidana perdagangan orang sebanyak 7 (tujuh) kasus yang terus meningkat sangat cepat di tahun 2008 menjadi 32 (tiga puluh dua) kasus perdagangan orang, namun dari 32 kasus tersebut hanya 19 (sembilan belas ) kasus yang bisa sampai ke persidangan dan memperoleh putusan hakim, sisanya masih ada 13 (tiga belas) kasus yang belum sampai ke tingkat penuntutan dikarenakan berbagai macam kendala yang dialami oleh penyidik untuk melengkapi berkas perkara, antara lain korban dan tersangka masih berada di negara Malaysia dan tidak diketahui keberadaannya sampai saat ini, kemudian petunjuk agar menghadirkan alat bukti yang seperti tiket, paspor yang tidak diketemukan lagi pada korban, dikarenakan sampai di negara tujuan Malaysia, korban tidak pernah memegang paspor maupun tiketnya, paspor dan tiket tersebut dipegang oleh Majikan, namun karena Jaksa penutut umum meminta alat bukti tersebut dihadirkan dan hal tersebut tidak dapat dipenuhi oleh penyidik membuat berkas perkara tidak bisa dilanjutkan ke persidangan, dan lain sebagainya.10

Salah satu faktor terjadinya trafficking adalah kemiskinan dan pendidikan rendah. Kondisi seperti ini cenderung dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk

10

(12)

kepentingan bisnis dengan memangsa perempuan dan anak, karena mudah diiming-imingi/bujukan, ditakut-takuti, dibohongi, ditipu, dan pekerja dengan upah murah. Selain itu terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia menyebabkan perempuan dan anak cenderung ingin menjadi TKI/TKW ke Luar Negeri, dengan tujuan memperoleh penghasilan untuk menutupi beban ekonomi keluarga. 11

Disisi lain ada persepsi masyarakat bahwa bekerja ke luar negeri akan mendapatkan gaji yang relatif lebih besar sekalipun sebagai pembantu rumah tangga, dibandingkan bekerja di dalam negeri. Kondisi seperti ini selalu dimanfaatkan oleh sindikat trafficking untuk mengeksploitasi perempuan dan anak dalam posisi

Situasi semacam inilah yang merupakan kesempatan untuk mendapat keuntungan yang besar bagi sindikat trafficking untuk melakukan perekrutan, bahkan nyaris jauh dari jangkauan hukum. Biasanya sindikat diawali dengan transaksi utang piutang antara pemasok/agen tenaga kerja ilegal dengan korban/keluarga. Jika korban/keluarga tidak mampu untuk menyelesaikan transaksi yang telah disepakati maka keluarga terpaksa mengorbankan perempuan dan anak untuk pelunasannya, karena pelakunya selalu melibatkan orang-orang terdekat, kuat, berpengaruh di dalam masyarakat, seperti keluarga terdekat, tetangga, teman, orang yang berpengaruh/dipercaya. Oleh karena itu kasus trafficking sulit untuk diketahui dan

11

(13)

diberantas, maka perlu tindakan serius dan kontinyu dengan melibatkan seluruh komponen bangsa untuk memerangi dan memberantasnya.12

Untuk memerangi kejahatan transnasional terorganisir dengan sumber daya yang kuat seperti itu, diperlukan komitmen Pemerintah yang lebih kuat, bertindak dengan langkah-langkah yang terencana dan konsisten serta melibatkan jaringan luas baik antar daerah didalam negeri maupun dengan pemerintah negara sahabat dan lembaga internasional. Sikap Pemerintah RI sejak Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, perbudakan dan perhambaan telah dinyatakan sebagai tindakan yang melanggar hukum dan dinyatakan sebagai kejahatan terhadap kemerdekaan seseorang, sebagaimana termaktub dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wet boek van Strafrecht) untuk selanjutnya disingkat KUHP.13

Mengingat Fungsi Polri dalam struktur kehidupan masyarakat sebagai pengayom masyarakat, penegakan hukum, mempunyai tanggung jawab khusus untuk memelihara ketertiban masyarakat dan menangani kejahatan baik dalam bentuk tindakan terhadap kejahatan maupun bentuk pencegahan kejahatan agar para anggota masyarakat dapat hidup dan bekerja dalam keadaan aman dan tentram, khususnya dalam penegakan hukum bagi pelaku perdagangan orang sebagaimana tercantum

12

Komisi Nasional Perlindungan Anak, Beberapa isu Hukum Kejahatan Perdagangan

Orang, hal 1.

13

(14)

dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. (UU PTPPO) 14

Sesuai dengan Pasal 2 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002, Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakkan hukum, perlindungan dan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Dan Pasal 14 ayat (1) huruf (g) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa Polri bertugas untuk melakukan Penyelidikan dan Penyidikan terhadap semua Tindak Pidana, termasuk pelaku perdagangan orang.

Peranan Pemerintah Propinsi Sumatera Utara membantu penyidik Polri dalam upaya penghapusan perdagangan (trafficking) salah satunya dengan mengeluarkan Perda No. 6 Tahun 2004, tentang Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak dan Peraturan Gubernur Sumatera Utara No. 24 Tahun 2005 tentang Rencana Aksi Provinsi Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak dan dalam Peraturan Gubsu tersebut terbentuk Gugus Tugas Rencana Aksi Provinsi Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak (RAP-P3A), sebagaimana yang diamanatkan Keputusan Presiden No. 88 Tahun 2002 tentang

14

Kendala Dana Selalu Dijadikan Alasan Polisi untuk Menangani Kasus Trafiking,

(15)

Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (trafficking) perempuan dan anak (RAN –P3A). 15

RAN-P3A tersebut merupakan landasan pedoman bagi Pemerintah dan Masyarakat dalam melaksanakan Penghapusan Perdagangan (trafficking) Perempuan dan Anak. Hakekat dan tujuan RAN-P3A adalah untuk :

1) Menjamin peningkatan dan pemajuan atas upaya perlindungan terhadap korban perdagangan (trafficking) perempuan dan anak.

2) Mewujudkan kegiatan-kegiatan baik yang bersifat preventif maupun represif dalam upaya melakukan pencegahan dan penanggulangan atas praktek-praktek perdagangan (trafficking) perempuan dan anak.

3) Mendorong untuk adanya pembentukan dan /atau penyempurnaan peraturan yang berkaitan dengan tindakan perdagangan (trafficking) perempuan dan anak. Untuk menjamin terlaksananya RAN-P3A dibentuk satu gugus tugas nasional sementara untuk menjamin terlaksananya RAN-P3A didaerah dilakukan oleh gugus tugas daerah.

Pemerintah Propinsi Sumatera Utara telah mengeluarkan Peraturan Gubernur Sumatera Utara No. 24 Tahun 2005 tentang Rencana Aksi Propinsi Penghapusan Perdagangan (trafficking) perempuan dan anak (RAP-P3A). Hal terpenting dalam Peraturan Gubsu tersebut adalah Stakeholders (pihak-pihak terkait) di Provinsi

15

Republik Indonesia, Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 88 Tahun 2002 Tentang

Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak, Kementerian

(16)

Sumatera Utara. Dalam upaya penghapusan perdagangan (trafficking) perempuan dan anak, pihak terkait berperan dan bertanggung jawab sesuai dengan tugas pokok dan fungsi serta kewenangannya masing-masing.16

Aksi Provinsi Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak (RAP-P3A) di Sumatera Utara, sangat penting dalam upaya memerangi perbudakan modern trafficking secara terencana, terintegrasi dengan langkah-langkah untuk mengatasi akar permasalahan yakni : kemiskinan, kurangnya pendidikan dan ketrampilan, kurangnya akses kesempatan dan informasi serta nilai-nilai sosial budaya yang memarginalkan dan mensubordinasikan kaum perempuan, dimana sebagai penggiat (Focal Point) dari pihak Pemerintah Provinsi Sumatera Utara adalah Biro Pemberdayaan Perempuan dan Anak serta Keluarga Berencana Sekretariat Daerah Provinsi Sumatera Utara.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk membahas : “Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking) oleh Kepolisian Daerah Sumatera Utara.”

B. Perumusan Masalah

Permasalahannya perlu jelas dan tegas sehingga proses penelitian benar-benar terarah dan terfokus kepermasalahan yang jelas. Berdasarkan latar belakang tersebut

16

Republik Indonesia, Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 88 Tahun 2002 Tentang

Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak, Kementerian

(17)

diatas, jelas bahwa Penanganan tindak pidana Perdagangan Orang (Trafficking) oleh Kepolisian Daerah Sumatera Utara merupakan hal yang sangat penting dan signifikan dalam upaya penghapusan perdagangan (Trafficking) di Sumatera Utara. Mengingat luasnya permasalahan tersebut maka perlu dilakukan perumusan masalah yang bersifat spesifik, yang dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Undang-undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO).

2. Bagaimana Upaya Kepolisian Daerah Sumatera Utara dalam penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking).

C. T u j u a n P e n e l i t i a n

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui Upaya Kepolisian dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (trafficking) dan secara khusus bertujuan untuk mengetahui :

1. Untuk mengetahui tentang pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang menurut Undang-undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO).

2. Untuk mengetahui upaya Kepolisian Daerah Sumatera Utara dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking).

(18)

D. M a n f a a t P e n e l i t i a n

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Secara Teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam melatih diri dan mengembangkan pemahaman dan kemampuan berpikir melalui penulisan karya ilmiah serta menambah khasanah pengetahuan, wawasan khususnya yang berkaitan dengan penelitian dibidang hukum dengan menerapkan pengetahuan dan pengalaman praktis yang diperoleh selama ini. 2. Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan

dan referensi bagi Kepolisian Daerah Sumatera Utara dan masyarakat dalam melakukan evaluasi terhadap berbagai upaya yang telah dilakukan oleh Kepolisian Daerah Sumatera Utara untuk Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking).

E. K e a s l i a n P e n e l i t i a n

Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh penulis terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan dan secara khusus di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai “Penanganan Tindak Pidana perdagangan (Trafficking) oleh Kepolisian Daerah Sumatera Utara“ belum pernah dilakukan dalam pendekatan terhadap permasalahan yang sama, walaupun ada beberapa topik penelitian tentang perdagangan orang namun pendekatan permasalahan yang diteliti berbeda. Obyek penelitian yang dilakukan merupakan

(19)

suatu kajian ilmiah dan belum pernah dianalisis secara komprehensif dalam suatu penelitian ilmiah.

Dengan demikian penelitian ini dapat dikatakan penelitian yang pertama kali dilakukan, sehingga keaslian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Dalam pembahasan mengenai Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (trafficking) oleh Kepolisian Daerah Sumatera Utara, teori utama yang digunakan adalah teori Lawrence M.Friedman, dalam bukunya yang berjudul “The Legal System A Social Science Perspective”, menyebutkan bahwa sistem hukum terdiri atas perangkat struktur hukum, substansi hukum (perundang-undangan) dan kultur hukum atau budaya hukum. Ketiga komponen ini mendukung berjalannya sistem hukum disuatu negara. Secara realitas sosial, keberadaan sistem hukum yang terdapat dalam masyarakat mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat pengaruh, apa yang disebut dengan modernisasi atau globalisasi baik itu secara evolusi maupun revolusi.17

Analisis yuridis terhadap perdagangan orang, dapat juga dilakukan melalui pendekatan legal system (sistem hukum) yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman. Sistem Hukum Harus Memuat Substantive Law, Legal Structure, dan

17

(20)

Legal Culture. Secara substansi hukum masalah perdagangan manusia diatur dalam kerangka hukum Internasional dan hukum nasional.

Ketiga komponen ini mendukung berjalannya sistem hukum disuatu negara. Secara realitas sosial, keberadaan sistem hukum yang terdapat dalam masyarakat mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat pengaruh, apa yang disebut dengan modernisasi atau globalisasi baik itu secara evolusi maupun revolusi.18

Menurut Lawrence M.Friedman, tegaknya hukum tergantung kepada budaya hukum masyarakatnya, sementara itu budaya hukum masyarakat tergantung kepada budaya hukum anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan, budaya, posisi atau kedudukan dan kepentingan-kepentingan.19

Menurut Mahmud Mulyadi dalam bukunya “Kepolisian dalam sistem Peradilan Pidana” bahwa pihak Kepolisian merupakan salah satu komponen sistem peradilan pidana yang menjadi ujung tombak dalam penanggulangan kejahatan dan Peranan Kepolisian kelihatannya lebih besar bila dibandingkan dengan komponen lainnya, sehingga Kepolisian disebut sebagai the gate keeper of Criminal Justice. 20karena Kepolisian merupakan subsistem yang secara langsung berhubungan dengan pelaku kejahatan dan masyarakat.

18

Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung : Refika Aditama,2007), hal 26

19

Bismar Nasution, Ekonomi Mengkaji Ulang Hukum sebagai Landasan Pembangunan

Ekonomi, disampaikan pada “Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Hukum Ekonomi

Universitas Sumatera Utara”, (Medan : Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara, 17 April 2004), hal 21.

20

Mahmud Mulyadi, Peranan Kepolisian dalam Penegakan hukum pidana, Medan 2009, hal 12

(21)

Fungsi Kepolisian (Pasal 2 UU No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI ) adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang :

1. Pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, 2. Penegakan hukum,

3. Perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Tujuan Kepolisian RI (Pasal 4 UU No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI) adalah mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi :

1. terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, 2. tertib dan tegaknya hukum,

3. terselenggaranya perlindungan, pengayoman, 4. dan pelayanan kepada masyarakat,

5. serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Pasal 5 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebutkan :

(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebutkan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Repulik Indonesia adalah :

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Menegakkan hukum;

c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

(22)

Pasal 14 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebutkan :

(1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia brtugas :

a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas jalan;

c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;

d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;

e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

f. melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khususnya penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;

g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidna sesuai hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;

h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian,kedokteran kepolisian,laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk

kepentingan tugas kepolisian;

i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk membrikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum

ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;

k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian, serta melaksanakan tugas lain sesuai peraturan perundang-undangan.21

Khusus mengenai penyidikan menurut Pasal 6 ayat (1) UU No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang.

21

(23)

Fungsi Kepolisian sebagai Penyelidik dalam Pasal 1 KUHAP ayat 1 dan 4, menyatakan bahwa kedudukan Polri dalam sistem peradilan pidana adalah sebagai penyelidik dan penyidik. Pada Pasal 1 ayat 4 KUHAP dinyatakan bahwa penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan. Yang dimaksud dengan penyelidikan dalam pasal ini adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam KUHAP.22

Penyelidikan bukanlah fungsi tersendiri yang terpisah dari penyidikan, tetapi hanya merupakan salah satu cara atau metode dari fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada Penuntut Umum.23

Latar belakang dibuatnya fungsi penyelidikan antara lain adanya perlindungan dan jaminan terhada hak asasi manusia, adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa, ketatnya pengawasan dan adanya lembaga ganti kerugian dan rehabilitasi. Tidak semua peristiwa yang terjadi dapat diduga adalah tindak pidana, maka sebelum melangkah lebih lanjut dengan melakukan penyidikan dengan konsekuensinya digunakan upaya paksa, dengan berdasarkan data

22

Mahmud Mulyadi, Op Cit , hal 10

23

(24)

atau keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan ditentukan terlebih dahulu bahwa peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu benar-benar merupakan tindak pidana sehingga dapat dilanjutkan dengan penyidikan.24

Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 (KUHAP) memberikan peran utama kepada Kepolisian Negara republik Indonesia untuk melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan tindak pidana (secara umum) tanpa batasan lingkungan kuasa soal-soal sepanjang masih termasuk dalam lingkup hukum publik, sehingga pada dasarnya Polri oleh KUHAP diberikan kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana.25

Istilah penyelidikan dan penyidikan dipisahkan artinya oleh KUHAP walaupun menurut bahasa Indonesia kedua kata itu berasal dari kata dasar sidik, yang artinya memeriksa, meneliti. Menurut Pasal 1 UU No.8 tahun 1981 KUHAP yang dikutip oleh Andi Hamzah bahwa definisi sebagai berikut :

“ Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur menurut undang-undang ini.”

Apakah maksudnya ini sama dengan reserse ? Di dalam organisasi kepolisian justru istilah reserse ini dipakai. Tugasnya terutama tentang penerimaan laporan dan pengaturan serta menyetop orang yang dicurigai untuk diperiksa. Jadi penyelidikan ini tindakan untuk mendahului penyidikan. Kalau dihubungkan dengan teori hukum

24

Ibid, hal 10-11

25

(25)

acara pidana seperti dikemukakan oleh Van Bemmelen maka penyelidikan ini maksudnya ialah tahap pertama dalam tujuh tahap hukum acara pidana, yang berarti mencari kebenaran.26

Penyidikan suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian opsporing (Belanda) dan investigation (Inggris) atau penyiasatan atau siasat (Malaysia). KUHAP Pasal 1 UU No.8 tahun 1981 memberikan definisi sebagai berikut :

“ Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya.”27

Pengetahuan dan pengertian penyidikan perlu dinyatakan dengan pasti dan jelas, karena hal itu langsung menyinggung dan membatasi hak-hak asasi manusia. Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah sebagai berikut :

1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik.

2. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik. 3. Pemeriksaan ditempat kejadian.

4. Pemanggilan tersangka dan terdakwa. 5. Penahanan sementara.

6. Penggeledahan.

7. Pemeriksaan atau interogasi.

8. Berita acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat) 9. Penyitaan.

10. Penyampingan perkara.

26

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta 2009 hal 119.

27

(26)

11. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan.28

Kewenangan yang di miliki oleh Polri ini semata-mata digunakan hanya untuk kepentingan mencari kebenaran dari suatu peristiwa pidana. Dengan keluarnya hasil dari penyelidikan tentang tindak pidana perdagangan orang, harus diadakan penyidikan maka tindakan pertama yang diambil adalah pengumpulan bukti-bukti untuk membuat terang suatu tindak pidana perdagangan orang dan mencari serta menemukan pelaku tindak pidana tersebut. Penyidikan terhadap suatu tindak pidana perdagangan orang adalah suatu proses yang terdiri dari rangkaian tindakan yang dilakukan penyidik untuk membuat jelas suatu tindak pidana tersebut dan menemukan pelaku tindak pidana guna diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.29

2. Kerangka Konsepsi

a. Kepolisian Daerah Sumatera Utara adalah Segala hal ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga Polisi di Sumatera Utara sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 30

b. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

28

Ibid

29

Mahmud Mulyadi, Op Cit , hal 17

30

Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 1 angka 1.

(27)

menemukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.31

c. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.32

d. Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang ini.33

d. Polri merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.34

e. Tindak Pidana adalah perbuatan manusia yang dilarang oleh undang-undang ataupun peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku dimana perbuatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan oleh si pelaku. Jadi suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut, yaitu :

1) Harus merupakan suatu perbuatan manusia;

31

Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 2.

32

Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 2.

33

Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 1.

34

Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 5 angka 1

(28)

2) Perbuatan tersebut dilarang dan diberi ancaman hukuman baik oleh undang-undang maupun peraturan perundang-undang-undang-undangan lainnya;

3) Perbuatan tersebut dilakukan oleh orang yang dapat bertanggung jawab artinya dapat dipersalahkan karena melakukan perbuatan tersebut.35

f. Penanganan adalah proses, cara, perbuatan menangani, penggarapan;36

g. Perdagangan Orang (trafficking) adalah Setiap orang yang melakukan perekrutan,pengangkutan, penampungan,pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut diwilayah negara Repulik Indonesia.37

Penanganan Trafficking di Sumatera Utara tidak dapat dipisahkan dari kebijakan penanganan trafficking di tingkat Nasional. Sebelum dilahirkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pemerintah melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan Dan Anak. Lahirnya kebijakan Penanganan

35

Satochid.K, Hukum Pidana Bagian Kesatu, Balai Lektur Mahasiswa.

36

Daryanto,S.S.Op Cit, hal 575

37

(29)

Trafficking di tingkat Nasional ini tidak terlepas dari perhatian masyarakat Internasional yang telah menempatkan Indonesia sebagai negara yang cukup banyak warga negaranya memasok berbagai kebutuhan ketenagakerjaan di berbagai negara.

Dengan lahirnya rencana aksi di tingkat nasional, untuk menjamin terselenggaranya rencana aksi nasional (selanjutnya disebut RAN-P3A) di seluruh wilayah Indonesia, maka dibentuklah Gugus Tugas Daerah RAN P3A yang dibentuk melalui Keputusan Gubernur untuk Pemerintah Provinsi dan Keputusan Bupati/Walikota untuk Pemerintah Kabupaten/Kota.

Kebijakan Penanganan Trafficking di Sumatera Utara dilakukan dengan melahirkan regulasi di tingkat daerah berupa produk hukum sebagai berikut :

1. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Pencegahan Dan Penanggulangan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Bagi Anak;

2. Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan Dan Anak;

3. Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 24 Tahun 2005 Tentang Rencana Aksi Provinsi Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan Dan Anak; 4. Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 463/1211/K/2002 Tentang

Pembentukan Komite Aksi Provinsi Sumatera Utara tentang Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak.

Berbagai instrumen hukum di tingkat daerah sebagaimana diuraikan di atas antara yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan karena merupakan satu

(30)

kesatuan arah kebijakan yang ditempuh oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dalam penanganan trafficking khususnya terhadap perempuan dan anak.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian digunakan dalam suatu penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah ialah penalaran yang mengikuti suatu alur berpikir atau logika yang tertentu dan yang menggabungkan metode induksi (empiris), karena penelitian ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian empiris dan hipotesis-hipotesis atau teori yang disusun secara deduktif.38 Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian yuridis normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law is decided by the judge through judicial process).39 Penelitian hukum normatif berdasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

Adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research), sebagai suatu teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan perundang-undangan,

38

Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Rineka Cipta, 1994), hal. 105.

39

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Grafitti Press, 2006), hal.118

(31)

buku-buku, karya-karya ilmiah, bahan kuliah, putusan pengadilan, serta sumber data sekunder lain yang dibahas oleh penulis. Digunakan pendekatan yuridis normatif karena masalah yang diteliti berkisar mengenai keterkaitan peraturan yang satu dengan yang lainnya.

Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.40 Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri. Penelitian hukum ini dikatakan juga penelitian yang ingin menelaah sinkronisasi suatu peraturan perundang-undangan, yang dilakukan secara vertikal dan horizontal. Ditelaah secara vertikal berarti akan dilihat bagaimana hirarkisnya, sedangkan secara horizontal adalah sejauh mana peraturan perundang-undangan yang mengatur pelbagai bidang itu mempunyai hubungan fungsional secara konsisten.

1. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Tujuan penelitian deskriptif adalah menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu.41 Deskriptif analitis berarti bahwa penelitian ini menggambarkan suatu

40

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 57.

41

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta : Prenada Media, 1997), hal. 42.

(32)

peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanaanya, serta menganalisis fakta secara cermat tentang urgensi pidana trafficking kepada trafiker.

2. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Penelitian ini menggunakan pendekatan tersebut karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.42 Analisis hukum yang dihasilkan oleh suatu penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan, akan menghasilkan suatu penelitian yang akurat. Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan urgensi pidana trafficking kepada trafiker.

3. Sumber Data Penelitian

Sumber-sumber penelitian dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder, yang digunakan dalam penelitian ini.

a. Bahan Hukum Primer terdiri dari :

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.

42

(33)

Bahan hukum primer yang otoritasnya di bawah undang-undang adalah peraturan pemerintah, peraturan presiden atau peraturan suatu badan hukum atau lembaga negara. Putusan pengadilan merupakan konkretitasi dari perundang-undangan.

b. Bahan Hukum Sekunder:

Berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. Bahan hukum sekunder terutama adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai klasifikasi tinggi.43

c. Bahan hukum tersier :

Berupa bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, kamus kesehatan, majalah dan jurnal ilmiah.44

Jadi penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier sebagai sumber penelitian.

43

Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Pradnya Paramitha, 2005), hal 141.

44

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan

(34)

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara : Studi kepustakaan.

Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah, dan putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini. 45

5. Metode Analisis Data

Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum tersebut. Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan dan dianalisis berdasarkan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan :46 a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum

(konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut;

45

Riduan, Metode & Teknik Menyusun Tesis, (Bandung : Bina Cipta,2004), hal. 97.

46

(35)

b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau berkaitan. Kategori-kategori dalam penelitian ini adalah urgensi pidana trafficking kepada trafiker;

c. Menemukan hubungan di antara berbagai kategori atau peraturan kemudian diolah;

d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan di antara berbagai kategori atau peraturan perundang-undangan, kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif, sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan dan kesimpulan atas permasalahan.47

47

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil belajar siswa bila metode eksperimen diterapkan pada pokok bahasan Pengaruh Gaya Terhadap Gerak Benda di

Berdasarkan Surat Penetapan Pemenang Nomor : 10/ PENG-AK3/RSUD-SRL/2012 tanggal 28 Agustus 2012, dengan ini kami Pokja Pengadaan Barang pada Rumah Sakit Umum Daerah

Effect of decayed incorporated shoot residue of white top and Syrian sage on germination (G), stem length (SL) per plant, shoot dry weight (SHDWt.), and root dry weight (RDWt.) per

Sinferus, yang telah membantu saya dalam pemenuhan penelitian ini.. Kepada segenap keluarga besar saya yang telah mendoakan saya

The modified HZSM-5 by loading with Tungsten (W) enhanced its heat resistant performance, and the high reaction temperature (800 ◦ C) did not lead to the loss1. of W component

Karena keterbatasan penulis dalam menyusun Tugas Akhir ini yang berjudul “ ANALISIS PERBANDINGAN BIAYA DAN WAKTU PELAKSANAAN PEKERJAAN DINDING EKSTERIOR MENGGUNAKAN

[r]

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan ekstrak albedo kulit durian dengan sari buah markisa memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap kadar air, kadar