SKRIPSI
Oleh :
DWI KURNIYAWATI
K 100 040 126
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
SURAKARTA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat
ke pasien yang mengacu kepada pelayanan kefarmasian (pharmaceutical
care). Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada
pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif
yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (Anonim, 2004).
Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut
untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan perilaku untuk dapat
melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut
antara lain adalah melaksanakan pemberian informasi, monitoring penggunaan
obat dan mengetahui tujuan akhirnya sesuai harapan dan terdokumentasi
dengan baik (Anonim, 2004).
Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya
kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan. Medication
error adalah kejadian yang merugikan pasien akibat pemakaian obat selama
dalam penanganan tenaga kesehatan yang sebetulnya dapat dicegah (Anonim,
2004).
Oleh sebab itu apoteker dalam menjalankan praktik harus sesuai standar
yang ada untuk menghindari terjadinya hal tersebut. Apoteker harus mampu
berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi
untuk mendukung penggunaan obat yang rasional (Anonim, 2004).
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa peresepan yang salah,
informasi yang tidak lengkap tentang obat, baik yang diberikan oleh dokter
maupun apoteker, serta cara penggunaan obat yang tidak benar oleh pasien
dapat menyebabkan kerugian dan penderitaan bagi pasien yang juga dapat
mempengaruhi lingkungan sekitarnya. Kerugian yang dialami pasien mungkin
tidak akan tampak sampai efek samping yang berbahaya. Karena itu perlu
diberikan perhatian yang cukup besar untuk mengantisipasi dan atau
mengatasi terjadinya kesalahan peresepan (Zairina dan Ekarina, 2003).
Apoteker bertanggung jawab atas kebenaran dan ketepatan obat yang
diterima oleh pasien; takaran, cara, aturan, dan jadwal pemakaiannya; tempat
serta cara penyimpanannya; dan masalah-masalah lain terkait obat tersebut
termasuk cara pengatasannya (misalnya efek samping, ketidakpatuhan,
interaksi). Intinya apoteker bertanggung jawab untuk menyerahkan obat yang
benar, kepada pasien yang benar, dan pada waktunya yang benar (the right
medicine to the right patient at the right time) (Scott, 2000).
Hasil penelitian oleh Zairina dan Ekarina (2003), yang melibatkan 2445
lembar resep di 3 apotek kota Surabaya dari sampel yang diteliti diperoleh
prosentase kejadian tertinggi yaitu pada penulisan aturan pemakaian yang
tidak ditulis lengkap, tidak sesuai atau tidak ditulis sebagai aturan pakai/signa
sebanyak 35,29%. Hasil penelitian oleh Sari (2006), yang melibatkan 6104
prosentase kejadian tertinggi yaitu pada tidak dituliskannya umur sebanyak
73%.
Menurut Hartayu, (2003) tingginya tingkat kesibukan dokter sehubungan
dengan banyaknya pasien (rata-rata 60 pasien per dokter) dapat menyebabkan
kesalahan dalam penulisan resep obat. Menurut indikator Indonesia sehat 2010
yang ditetapkan oleh pemerintah pusat rasio ideal antara dokter umum dan
pasien adalah 1:2.500 (Anonim, 2003).
Penelitian ini dilakukan di apotek-apotek Kecamatan Ampel yang
memiliki jumlah penduduk sebanyak 67.579 jiwa dengan jumlah dokter
sebanyak 12 orang. Dari data ini diketahui terjadi ketidakseimbangan antara
jumlah penduduk dengan dengan jumlah dokter (rata-rata 5.632 pasien per
dokter). Banyaknya pasien yang harus dilayani membatasi waktu dokter dalam
memberikan pelayanan kepada pasien khususnya dalam penulisan resep obat,
sehingga hal ini memungkinkan terjadinya kesalahan dalam penulisan resep
obat.
Berpijak dari fenomena tersebut maka perlu dilakukan penelitian agar
dapat diidentifikasi kesalahan yang terjadi dalam penulisan resep obat serta
frekuensi kejadiannya.
Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai, masukan kepada
penulis resep (dokter, dokter gigi, dokter hewan) untuk meminimalkan
kesalahan penulisan resep, serta masukan bagi apoteker guna meningkatkan
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diperoleh rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Apa saja kesalahan yang terjadi dalam penulisan resep di apotek
Kecamatan Ampel ?
2. Berapakah frekuensi kesalahan dalam penulisan resep di apotek
Kecamatan Ampel ?
3. Bagaimanakah alur pelayanan resep di apotek Kecamatan Ampel ?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengidentifikasi jenis kesalahan yang terjadi dalam penulisan resep
di apotek Kecamatan Ampel.
2. Untuk mengetahui frekuensi kesalahan dalam penulisan resep di apotek
Kecamatan Ampel.
3. Untuk mengetahui alur pelayanan resep di apotek Kecamatan Ampel.
D. Tinjauan Pustaka 1. Resep
a. Definisi Resep dan Penulis Resep
Menurut Anief, (1997) resep adalah permintaan tertulis dari seorang
dokter kepada apoteker untuk membuat dan atau menyerahkan obat
1027/MENKES/SK/IX/2004, Resep adalah permintaan tertulis dari dokter,
dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan dan
menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
Resep harus ditulis dengan jelas dan lengkap. Apabila resep tidak
dapat dibaca dengan jelas atau tidak lengkap, apoteker harus menanyakan
kepada dokter penulis resep (Anief, 1997).
Yang berhak menulis resep adalah :
1). Dokter.
2). Dokter gigi, terbatas pengobatan gigi dan mulut.
3). Dokter hewan, terbatas pengobatan hewan (Anief, 1997).
b. Isi Resep
Dalam resep harus memuat :
1). Nama, alamat dan nomor ijin praktek dokter, dokter gigi dan dokter
hewan.
2). Tanggal penulisan resep (inscriptio).
3). Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep. Namun setiap obat
atau komposisi obat (invocatio).
4). Aturan pemakaian obat yang tertulis (signature).
5). Tanda tangan atau paraf dokter penulis resep, sesuai dengan perundang
- undangan yang berlaku (subscriptio).
6). Jenis hewan dan nama serta alamat pemiliknya untuk resep dokter
7). Tanda seru dan paraf dokter untuk resep yang mengandung obat yang
jumlahnya melebihi dosis maksimal (Anonim, 2004).
c. Kaidah – kaidah penulisan resep
Menurut Joenes, (2001) kaidah penulisan resep adalah sebagai berikut;
1). Sebaiknya untuk suatu obat dalam resep tidak menuliskan gr.
Bilamana yang dimaksud adalah gram. Suatu angka di belakang
nama obat otomatis berarti gram sedangkan gr adalah granum yang
beratnya hanya 65mg.
2). Penggunaan titik desimal untuk dosis obat sebaiknya ditempatkan
dengan tepat. Kesalahan penempatan titik desimal dapat
menyebabkan dosis/kekuatan menjadi 10 kali dari dosis/kekuatan
yang dimaksud.
3). Nama obat dituliskan dengan jelas. Penulisan nama obat tidak jelas
dapat menyebabkan obat keliru diberikan kepada penderita.
4). Menuliskan dengan jelas kekuatan serta jumlah obat dalam resep.
5). Sebaiknya berhati-hati bila memberikan beberapa obat secara
bersamaan berupa :
a). beberapa bahan obat yang dicampurkan dalam satu resep
racikan.
b). beberapa bentuk sediaan yang diberikan dalam beberapa resep
dalam satu kertas resep, dimana setiap sediaan itu oleh
6). Dosis tiap obat yang diberikan seharusnya diperhitungkan dengan
tepat serta diperhitungkan juga semua faktor individual pasien,
terutama umur dan berat badannya.
7). Mengetahui lebih dahulu kondisi pasien secara akurat
(patofisiologi) sebelum menentukan pengobatan.
8). Terapi dengan obat diberikan hanya bila ada indikasi yang jelas
dan tidak karena pasien mendesak meminta suatu obat tertentu.
9). Menuliskan aturan pemakaian obat dengan jelas di atas resep
sehingga nanti akan tertera pada etiket yang dipasang pada wadah
obat.
10). Sebaiknya menghindari pemberian obat terlalu banyak karena bisa
berbahaya.
11). Sebaiknya menghindari pemberian obat dalam jangka waktu yang
terlalu lama.
12). Pasien diberi informasi dengan jelas tentang tatacara penggunaan
obatnya.
13). Pasien diberi informasi akan kemungkinan bahaya bila meminum
obat lain di samping obat yang diberikan dokter.
14). Pasien diberi informasi bila obat yang diberikan akan
d. Definisi Copie Resep dan Penulisan Copie Resep
1). Definisi copie resep
Copie resep ialah salinan tertulis dari suatu resep. Istilah lain dari
copie resep tersebut ialah apograph, exemplum, afschrift (Anief,
1997).
2). Penulisan copie resep
Salinan memuat semua keterangan yang ada dalam resep asli,
copie resep harus memuat pula :
a). Nama dan alamat apotek.
b). Nama dan nomor S.I.K Apoteker pengelola apotek.
c). Tanda tangan atau paraf Apoteker pengelola apotek.
d). Tanda det = detur untuk obat yang sudah diserahkan, atau
tanda ne det. = ne detur untuk obat yang belum diserahkan.
e). Nomor resep dan tanggal pembuatan (Anief, 1997).
e. Pelayanan Resep Obat
Pelayanan resep obat oleh apoteker meliputi :
1). Skrining resep
a). Persyaratan administratif :
(1). Nama, SIP dan alamat dokter.
(2). Tanggal penulisan resep.
(3). Tanda tangan/paraf dokter penulis resep.
(5). Nama obat, potensi, dosis, jumlah obat yang diminta.
(6). Cara pemakaian yang jelas.
(7). Informasi lainnya.
b). Kesesuaian farmasetik : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas,
inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.
c). Pertimbangan klinis : adanya alergi, efek samping, interaksi,
kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain lain) (Anonim,
2004).
Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan
kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan
alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah
pemberitahuan (Anonim, 2004).
2). Penyiapan obat.
a). Peracikan. Merupakan kegiatan menyiapkan menimbang,
mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam
melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap
dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan
etiket yang benar.
b). Etiket. Etiket harus jelas dan dapat dibaca.
c). Kemasan. Obat yang diserahkan hendaknya dikemas dengan rapi
d). Penyerahan obat. Sebelum obat diserahkan pada pasien harus
dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat
dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai
pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien.
e). Informasi obat. Apoteker harus memberikan informasi yang benar,
jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan
terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi:
cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu
pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus
dihindari selama terapi.
f). Konseling. Apoteker harus memberikan konseling, mengenai
sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya,
sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang
bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau
penggunaan obat yang salah. Untuk penderita penyakit tertentu
seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma dan penyakit kronis
lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara
berkelanjutan.
g). Monitoring penggunaan obat. Setelah penyerahan obat kepada
pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan
obat, terutama untuk pasien tertentu seperti kardiovaskular,
f. Kesalahan dalam Penulisan Resep Obat
Semua pemesanan permintaan dalam resep sebaiknya dapat dibaca
jelas, tidak membingungkan, diberi tanggal, serta ditandatangani dengan
jelas untuk memudahkan komunikasi optimal antara dokter penulis resep,
apoteker dan perawat (Katzung, 1997).
Terdapat beberapa jenis kesalahan penulisan resep yang sering di
jumpai. Kesalahan tersebut meliputi kelalaian pencantuman informasi
yang diperlukan, penulisan resep yang buruk (yang dapat mengakibatkan
kesalahan pemberian dosis obat atau waktu pemberian), serta penulisan
yang tidak tepat (Katzung, 1997).
Kesalahan didefinisikan sebagai kegagalan dari tindakan yang telah
direncanakan sebagaimana yang diharapkan atau penggunaan rencana
yang salah untuk mencapai tujuan. Kesalahan dapat terjadi pada semua
tahap, mulai dari diagnosis sampai pemberian obat. Tidak semua
kesalahan membahayakan. Kesalahan terjadi sebagai akibat dari dua jenis
kegagalan: tindakan yang benar tidak sesuai dengan yang diharapkan
(kesalahan pelaksanaan) atau tindakan sebenarnya yang diharapkan tidak
benar (kesalahan perencanaan) (Nadeem, 2000).
Berkaitan dengan masalah penulisan resep, diantaranya adalah
kesalahan penulisan dan kesalahan pemesanan. Kesalahan penulisan
adalah dimana suatu resep tidak lengkap sedangkan kesalahan pemesanan
menunjukkan kesalahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
menggunakan komputer (Nadeem, 2000).
Beberapa jenis kesalahan memang cukup banyak dijumpai dalam
penulisan resep misalnya: masih banyak resep obat yang ditulis tanpa ada
signa atau aturan pakai, kadang kala signa yang dituliskan kurang jelas
atau kurang lengkap. Hal ini terutama banyak terdapat pada resep-resep
yang ditulis oleh dokter yang berpraktek di rumah sakit (Zairina dan
Ekarina, 2003).
Beberapa jenis kesalahan yang terjadi pada penulisan resep :
1). Aturan pakai tidak ditulis lengkap, tidak sesuai atau tidak ditulis
sebagai aturan pakai/signa.
2). Tidak menyebutkan nama obat yang diminta dengan jelas,
misalnya obat ditulis dengan kode-kode tertentu (biasanya untuk
obat dengan resep yang diulang atau copie resep).
3). Resep tidak menyebutkan kekuatan obat yang diminta padahal
obat tersedia dalam bermacam-macam kekuatan.
4). Takaran obat tidak sesuai, terlalu kecil atau terlalu besar,
misalnya untuk pembuatan sediaan racikan tidak menuliskan dtd
(da tales dosis).
5). Tidak ada umur pasien terutama untuk pasien anak.
6). Tidak ada paraf dokter/prescriber.
7). Keterangan tentang alat kesehatan yang diresepkan tidak sesuai
8). Obat-obat yang tidak tersedia dalam bentuk generik ditulis dalam
nama generik.
9). Obat yang diresepkan telah discontinued lebih dari 3 bulan (tidak
diproduksi lagi) dan stok obat tidak ada.
10). Bentuk sediaan yang diresepkan tidak sesuai atau berbeda dengan
yang diminta oleh pasien.
11). Nama obat tidak jelas karena tulisan yang sulit dibaca atau
kesalahan dalam membaca obat.
12). Tanggal resep tidak ditulis atau salah menuliskan tanggal.
13). Penulisan obat dengan khasiat sama lebih dari 1 kali dalam 1
lembar resep, baik dengan nama sama atau merk berbeda.
14). Pasien tidak cocok atau mengalami efek samping selama
pemberian obat untuk jangka pendek.
15). Obat-obat dalam satu resep dapat berinteraksi dan
membahayakan pasien, diubah setelah berkonsultasi dengan
dokternya.
16). Kekuatan atau dosis sediaan tidak jelas dimana sediaan tersebut
terdiri dari bermacam-macam obat dengan perbandingan yang
ada, contoh : cotrimoksazol (trimetroprim 800 mg +
sulfametoksazol 400 mg) : augmentin (amoxicilin 250 mg / 500
17). Tidak menyebutkan untuk sediaan yang diminta padahal obat
tersebut tersedia dalam bermacam-macam bentuk (Nadeem,
2000).
Penggunaan singkatan-singkatan tidak lazim untuk nama obat masih
sering dijumpai dalam resep, sehingga kadang kala pihak apotek perlu
menghubungi dokter penulis resep tersebut. Seharusnya penulisan resep
ini sesuai dengan peraturan penulisan resep yang berlaku. Dengan
demikian akan tercapai fungsi resep sebagai alat komunikasi dan juga
perwujudan hubungan profesi antara dokter dengan apoteker (Zairina dan
Ekarina, 2003).
2. Apotek
a. Definisi Apotek
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
922/MENKES/PER/X/1993 mengenai Ketentuan dan Tata Cara
Pemberian Izin Apotek, yang dimaksud dengan apotek adalah suatu
tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian penyaluran
perbekalan farmasi kepada masyarakat.
Menurut Anief, (1997) Apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat
dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran perbekalan farmasi
b. Tugas dan Fungsi Apotek
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.25 tahun 1980, tugas dan fungsi
apotek adalah sebagai berikut:
1). Tempat pengabdian profesi apoteker yang telah mengucapkan
sumpah jabatan. Sarana farmasi yang telah melaksanakan
peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, dan penyerahan obat
atau bahan obat.
2). Sarana penyaluran perbekalan farmasi yang harus menyalurkan
obat yang diperlukan masyarakat secara luas dan merata.
3). Sebagai sarana pelayanan informasi obat dan perbekalan farmasi
lainnya kepada masyarakat (Anonim, 1980).
c. Pengelolaan dan Pelayanan Apotek
1). Pengelolaan Apotek
Pengelolaan apotek menurut ketentuan umum Undang-Undang
Kesehatan No. 23 tahun 1992, meliputi pembuatan, pengolahan,
peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan dan
penyerahan obat atau bahan obat; pengadaan, penyimpanan,
penyaluran dan penyerahan perbekalan farmasi lainnya dan pelayanan
informasi mengenai perbekalan farmasi yang terdiri atas obat, bahan
obat, obat asli Indonesia (obat tradisional), bahan obat asli Indonesia
Salah satu tugas dalam pekerjaan kefarmasian apoteker dalam
pengelolaan apotek adalah pelayanan resep di apotek, yang telah
mendapatkan surat ijin apotek (SIA) dan diberikan oleh menteri
kepada apoteker yang bekerja sama dengan pemilik sarana apotek
(PSA) (Anonim, 1993).
2). Pelayanan Apotek
Aspek pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) adalah bentuk
pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam
pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Dalam aspek pelayanan kefarmasian pengelolaan resep menjadi
prioritas utama (Anonim, 2004).
Apotek wajib melayani resep dokter, dokter gigi dan dokter hewan.
Pelayanan resep adalah menjadi tanggung jawab apoteker pengelola
apotek. Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab
dan keahlian profesinya dan dilandasi pada kepentingan masyarakat.
Apoteker wajib memberi informasi tentang penggunaan obat secara
tepat, aman, rasional, kepada pasien atas permintaan masyarakat.
Apoteker pengelola apotek, apoteker pendamping atau apoteker
pengganti diizinkan menjual obat keras tanpa resep yang dinyatakan
sebagai Daftar Obat Wajib Apotek (Daftar OWA). Daftar Obat Wajib