BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum dalam Hukum Kemiliteran 1. Militer/Kemiliteran
a) Pengertian Militer/Kemiliteran
Istilah Militer berasal dari kata “Miles”, yang dalam bahasa Yunani memiliki arti orang bersenjata yang siap untuk bertempur dan berperang, yang mana orang-orang tersebut terlatih untuk menghadapi ancaman dari pihak musuh yang mengganggu keutuhan pada suatu wilayah negara.
Militer merupakan prajurit bersenjata dari suatu negara.
Militer juga biasa disebut tentara atau angkatan bersenjata karena dalam kehidupan militer sangat identik dengan benda yang disebut dengan senjata, guna menjaga keamanan wilayah negaranya.
Istilah lain yang sangat erat kaitannya dengan militer ialah militersime. Memiliki arti perilaku yang tegas, kaku, agresif, dan otoriter. Hal tersebut dikarenakan Militer dilatih untuk bersikap kemiliteran, disiplin, dan tegas yang memiliki peran penting dimedan perang untuk menjaga keamanan wilayah negara.
Menurut Amiroeddin Syarif, “istilah Militer berarti orang yang dididik, dilatih, dan disiapkan untuk bertempur. Oleh karenanya, bagi para anggota militer ada norma atau kaidah yang khusus, mereka harus tunduk pada tata kelakuan yang telah diatur dan pelaksanaan aturan tersebut diawasi dengan ketat”.1
b) Pengertian Anggota Militer
Militer terdiri dari para prajurit bersenjata atau angkatan bersenjata. Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah sebutan untuk anggota militer dari negara Indonesia. Disebutkan bahwa dalam Pasal
1 Amiroeddin Sjarif, Hukum Disiplin Militer Indonesia, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2006), Hlm. 2
1 Angka 13 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, anggota militer merupakan anggota tentara Nasional Indonesia.2 Esensi dari kedudukan TNI sudah diatur secara rinci dalam Undang-Undang Tentang sistem Pertahanan Negara yang dapat dilihat dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara.3 Prajurit TNI memiliki peran penting sebagai komponen utama uang berfungsi melindungi keutuhan wilayah, menegakkan dan menjaga kedaulatan negara berdasarkan Undang- undang Dasar Nergara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pancasila.
Tentara Nasional Indonesia terbagi atas tiga matra, diantaranya ialah Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkata Udara yang senantiasa melaksanakan tugas secara matra maupun gabungan dibawah pimpinan Panglima TNI, dan pada masing- masing angkatan dipimpin oleh seorang kepala staff angkatan.
2. Hukum Acara Peradilan Militer a) Pengertian Peradilan Militer
Kedudukan peradilan militer dalam sebuah negara merupakan bagian dari pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Yang menjadi ciri khas dan pembeda antara peradilan umum dan peradilan militer ialah penyelenggaraan peradilan militer memiliki karakter yang khusus dan terpisah. Hal tersebut disebabkan oleh sifat yang membedakan antara subjek hukum militer dan subjek hukum sipil. Oleh karena anggota militer terbentuk melalui didikan, pelatihan dan dipersiapkan untuk bertempur guna melindungi negara, maka diadakan aturan-aturan dan kaidah-kaidah yang khusus.
2 Lihat Pasal 1, angka 13 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia secara lebih lengkap.
3 Lihat Pasal 1 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara, Bab I, Ketentuan umum, Point nomor. 5 yang menyebutkan bahwa “Komponen utama adalah Tentara Nasional Indonesia yang siap digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas pertahanan”.
Menurut Rain Lijova, ada beberapa alasan eksistensi sistem peradilan militer pada saat ini “pertama, jumlah yang sangat signifikan bahwa kebanyakan negara yang menganut sistem common law telah memutuskan untuk memiliki Pengadilan Militer. Kedua, Pengadilan militer cenderung terbentuk di negara-negara di mana angkatan bersenjatanya mendapat posisi khusus di masyarakat.”4
Dari pendapat tersebut menjadi dasar terhadap keberadaan peradilan militer dalam suatu negara. Eksistensi peradilan militer yang dipandang sebagai peradilan khusus, tentu memiliki spesifikasi tertentu, baik secara yurisdiksi, legal structure maupun proses pennyelesaian perkaranya.
Dalam Pasal 5 Undang-undang No. 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer menyebutkan bahwa “peradilan militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Tentara Nasional Indonesia untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara” 5
Pelaksana pembinaan teknis pengadilan dalam lingkungan peradilan militer ialah Mahkamah Agung. Sedangkan yang melaksanakan fungsi pembinaan organisasi dan prosedur, administrasi, finansial badan-badan Pengadilan Oditurat ialah Panglima. Pelaksanaan pembinaan dilakukan dengan tidak mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
b) Wewenang Peradilan Militer
Secara umum, wewenang Peradilan Militer adalah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer
4 Lijova, Rain, The Oxford Handbook of Criminal Law. (England : Cambridge University Press)
5 Lihat Pasal 5 Undang-undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, selanjutnya pada ayat (2) menjelaskan tentang Oditurat yaitu, “merupakan badan pelaksana kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan dan penyidikan pada lingkungan Angkatan Bersenjata berdasarkan pelimpahan dari Panglima, dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan”.
maupun tindak pidana umum sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan yang dilakukan oleh seorang prajurit militer.
Secara spesifik telah diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang menejelaskan terkait wewenang peradilan militer. “Pada pasal tersebut wewenangnya sebagai berikut :
1) Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah :
i. Prajurit;
ii. Yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit;
iii. Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan undang-undang;
iv. Seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf (a), huruf (b), dan huruf (c) tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
2) Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
3) Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut dalam satu putusan.” 6
Dalam menjalankan amanah untuk mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit militer, Peradilan Militer mempunyai yuridiksi yang telah tercantum pada Pasal 10 Undang- Undang No.
31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, yaitu:
1) Tempat kejadiannya berada didaerah hukumnya; atau
6 Lihat Pasal 9 Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer secara lebih lengkap.
2) Terdakwanya termasuk dalam suatu kesatuan yang berada didaerah hukumnya7
Bilamana lebih dari 1 (satu) pengadilan berwenang mengadili sebuah perkara dengan syarat-syarat yang sama kuatnya, maka pengadilan yang lebih dulu menerima perkara tersebutlah yang harus mengadili perkara itu.
Kemudian, Peradilan Militer memiliki kompetensi relatif sebagaimana diatur dalam 12 Susunan Pengadilan Militer dalam Kekuasaan Kehakiman Kedudukan Wilayah Pengadilan Militer di Indonesia. Yang disebut Kompetisi Relatif ialah sebuah kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara sesuai dengan wilayah hukumnya. Sama seperti kompetensi relatif pengadilan lainnya, sebuah perkara yang dilakukan oleh prajurit militer, yang terjadi disuatu wilayah akan diadili menyesuaikan dengan wilayah hukum perkara tersebut terjadi.
Selanjutnya, untuk susunan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer terdiri dari :
1) Pengadilan Militer;
2) Pengadilan Militer Tinggi;
3) Pengadilan Militer Utama;
4) Pengadilan Militer Pertempuran.
Berdasarkan Susunan Pengadilan Militer dalam Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, wilayah hukumnya sebagai berikut :
7 Lihat Pasal 10 Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer secara lebih lengkap.
MAHKAMAH AGUNG
PENGADILAN MILITER UTAMA (DILMILTAMA)
Tabel 1. Kedudukan Wilayah Pengadilan Militer di Indonesia
Kedudukan Wilayah Pengadilan Militer di Indonesia8
8 Kompetensi Relatif sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
DILMILTI DILMIL WILAYAH HUKUM
DILMILTI I MEDAN
I-01 Banda Aceh Seluruh Provinsi NAD
I-02 Medan Provinsi Sumut
I-03 Padang Sumbar, Riau, Kepri I-04 Palembang Sumsel, Lampung,
Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung I-05 Pontianak Kalimantan Barat I-06 Banjarmasin Kalsel dan Kalteng I-07 Balikpapan Kalimantan Timur DILMILTI II
JAKARTA
II-08 Jakarta DKI, Tangerang, Bekasi
II-09 Bandung Provinsi Jawa Barat (dikurangi Bekasi, Banten, dan Tangerang)
II-10 Semarang Provinsi Jawa Tengah II-11 Yogyakarta DIY
DILMILTI III SURABAYA
III-12 Surabaya Provinsi Jawa Timur (dikurangi Blitar, Madiun, Kediri, Ngawi dan Jombang)
III-13 Madiun Blitar, Madiun, Kediri, Ngawi dan Jombang III-14 Denpasar Bali dan NTB
III-15 Kupang NTT
III-16 Makassar Sulsel dan Sultra
PENGADILAN MILITER TINGGI PENGADILAN MILITER PERTEMPURAN
PENGADILAN MILITER
1) P e
n11) Pengadilan Militer
Kedudukan Pengadilan Militer berada didaerah komando militer yang terdiri dari 19 Peradilan Militer yang telah tersebar di seluruh Indonesia, seperti yang telah disebutkan pada tabel diatas. Pengadilan Militer berwenang untuk memeriksa dan memutus kasus pada Tingkat Pertama untuk anggota TNI yang pangkatnya Kapten kebawah.
2) Pengadilan Militer Tinggi
Terdiri dari Pengadilan Militer Tinggi I, Pengadilan Militer Tinggi II, dan Pengadilan Militer III yang kedudukan dan wilayah hukumnya meliputi yang telah disebutkan pada tabel diatas. Pengadilan Militer Tinggi memiliki wewenng memeriksa dan memutus perkara di Tingkat Pertama (untuk terdakwa anggota TNI yang berpangkat mayor keatas), dan juga memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata, serta sebagai peradilan tingkat banding terhadap putusan Pengadilan Militer.
3) Pengadilan Militer Utama
Pengadilan Militer Utama berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia, Jakarta. Wilayah hukumnya meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Ruang lingkupnya sebagai Peradilan tingkat banding sengketa Tata Usaha Militer yang telah diputus oleh Pengadilan Militer Tinggi, memutus tingkat pertama dan terakhir sengketa wewenang mengadili antar Pengadilan Militer dalam daerah Pengadilan Militer Tinggi yang berbeda, serta juga memutus perbedaan
III-17 Manado Sulut, Gorontalo, dan Sulteng
III-18 Ambon Maluku dan Maluku Utara
III-19 Jayapura Papua dan Papua Barat
pendapat antara Perwira Penyerah Perkara dengan Oditur tentang sebuah perkara.
Bilamana perlu, Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer Tinggi bisa melaksanakan persidangan di luar tempat kedudukannya. Selain itu Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer Tinggi juga bisa bersidang diluar daerah hukumnya atas izin Kepala Pengadilan Militer Utama.
4) Pengadilan Militer Pertempuran
Pengadilan Militer Pertempuran adalah pengadilan yang bersifat mobile, yang mana kedudukannya menyesuaikan tempat atau daerah dimana terjadi pertempuran berdasarkan Surat Keputusan Panglima Angkatan Perang yang berkedududkan di Tingkat Pengadilan Militer. Tugas dan wewenang Pengadilan Militer Pertempuran ialah memeriksa dan memutus perkara pada Tingkat Pertama dan terakhir perkara pidana yang dilakukan oleh anggota TNI didaerah pertempuran sesuai dengan pasal 9 ayat (1) di daerah pertempuran.
c) Satuan Penegak Hukum di Lingkungan Militer
Berjalannya sebuah proses pada peradilan militer sangat berhubungan erat dengan Hukum acara pada peradilan militer yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997.9 Dalam proses penyelesaiannya tentu saja melibatkan peran lembaga- lembaga lainnya yang berhubungan dengan administrasi peradilan seperti satuan penegak hukum.
Muladi berpendapat bahwa “Administrasi peradilan dapat bermakna ganda. Yang pertama, dapat berarti sebagai court administration, yaitu pengelolaan yang berkaitan dengan organisasi, administrasi, dan pengaturan finansial badan-badan peradilan.
Kemudian yang kedua, dalam arti administration of justice yang
9 Lihat Pasal 69 sampai dengan Pasal 264 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang mengatur mengenai hukum acara pidana militer.
mencakup proses penanganan perkara (caseflow management), dan prosedur serta praktik litigasi dalam kerangka kekuasaan mengadili (judicial power)”.10
Kemudian, kekuasaan mengadili dalam Peradilan Militer juga berhubungan erat dengan proses penegakan hukum. Pada sebuah sistem administrasi peradilan memiliki ciri-ciri meninjol yaitu bahwa lembaga-lembaga yang terlibat cukup banyak oleh karenanya, memerlukan pengelolaan yang terstruktur dan terorganisir. Menurut Satjipto Raharjo, “Masalah yang paling rumit yaitu cara mengorganisasikan badan-badan atau lembaga kedalam satu satuan kerja, di sisi lain masing-masing badan telah memiliki wewenang dan tugas yang berbeda.”11
Salah satu bentuk kekhususan dalam sebuah proses penyelesaian perkara di ranah peradilan militer, yaitu peran komandan atau atasan dari anggota militer yang berperkara itu sendiri, dan tanpa menghilangkan fungsi dari polisi militer dan oditur militer sebagai penegak hukum. Karena hal tersebut merupakan ciri- ciri tata kehidupan Angkatan Bersenjata yang mencerminkan substansi keseimbangan antara Asas kesatuan komando, dan kesatuan penuntutan.
Oleh karena penyelesaian perkara pada lingkungan militer didalam proses pelaksanaannya terdapat aturan-aturan yang khusus, selama tidak bertentangan dengan sistem Peradilan Pidana Nasional peraturannya tertuang dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 yaitu mencakup :
1) Tahap penyidikan
2) Tahap penyerahan perkara
3) Tahap pemeriksaan dalam persidangan, dan 4) Tahap pelaksanaan putusan
10 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995) hlm. 36.
11 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2014), hlm. 185.
Tahapan-tahapan tersebut berkaitan dengan pembagian tugas dan fungsi dari satuan aparat penegak hukum atau institusi di lingkungan TNI seperti Polisi militer, Ankum dan/atau Papera, Oditur, dan Hakim militer, yang masing-masing wewenangnya meliputi : 1) Polisi Militer
Di Indonesia, Polisi Militer merupakan bagian dari prajurit Tentara Nasional Indonesia yang masuk dalam korps Polisi Militer. Selain sebagai penegak hukum, Polisi Militer juga memiliki tugas untuk menegakan tata tertib dan disiplin prajurit, menjaga keamanan wilayah khusus dan juga sebagai penyidik pada institusi militer atau Tentara Nasional Indonesia.
Pada Undang-Undang Peradilan Militer No. 31 Tahun 1997, Pasal 1 menyebutkan bahwa “Penyidik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau disebut dengan Penyidik adalah Atasan yang berhak Menghukum, pejabat Polisi Militer tertentu, dan Oditur, yang diberi wewenng khusus oleh Undang- Undang untuk melakukan penyidikan”.12
Seperti yang telah dijelaskan pada pasal tersebut, dalam hal penyelesaian perkara di ranah Peradilan militer, Polisi militer melaksanakan tugas penyidikan. Selain itu juga memiliki tugas sebagai pelaksana pengawalan khusus, seperti salahsatu contohnya pengawalan terhadap Presiden Republik Indonesia dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Polisi Militer juga dapat melakukan kerjasama dalam hal operasi penegakan hukum seperti razia lalulintas/ operasi gabungan.
Sesuai dengan keberadaan tiga matra Tentara Nasional Indonesia, Polisi Militer juga terbagi menjadi tiga pada masing- masing matra yaitu Polisi Militer Angkatan Darat (POMAD), Polisi Militer Angkatan Laut (POMAL), dan Polisi Militer
12 Lihat Pasal 1 Undang-undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer secara lebih lengkap.
Angkatan Udara (POMAU)13. Dimana dalam hal penyidikan, akan dilaksanakan oleh polisi Militer pada masing-masing matra.
2) Ankum dan Papera
Ankum (Atasan yang berhak menghukum), dan Papera (Perwira Penyerah Perkara) juga memiliki wewenang dalam penyidikan, namun dalam hal ini keduanya bertindak selaku komandan atasan, yang bertanggung jawab dan mendampingi bawahannya sebagai tersangka untuk diselidiki. Untuk itu penyidikan tetap dilakukan oleh Satuan Polisi Militer dan/atau Oditur. Untuk kedudukan Ankum sendiri berada di kesatuan masing-masing prajurit bertugas.
Keberadaan Ankum tertuang dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Peradilan militer dan Undang- Undang Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer. Pada kedua Undang-undang tersebut mencakup batasan pengertian dari Ankum sebagai atasan langsung prajurit, yang mempunyai dua kewenangan yaitu menjatuhkan hukuman disiplin militer dan melaksanakan penyidikan bersama Polisi Militer dan Oditur.
Kemudian, yang dimaksud dengan hukum disiplin militer yaitu semua tindakan yang dilakukan oleh anggota militer yang melanggar hukum dan/atau peraturan disiplin militer dan/atau melakukan perbuatan yang bertentangan dengan lingkup kehidupan militer yang berdasarkan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit.14
13 Sesuai dengan Keputusan Panglima TNI No. KEP/1/III/2004 tentang penyelenggaraan fungsi Kepolisian Militer di Lingkungan TNI, telah menentukan penyelenggaraan fungsi Polisi Militer pada masing-masing angkatan, yaitu Polisi Militer Angkatan Darat (POMAD), Polisi Militer Angkatan Laut (POMAL), dan Polisi Militer Angkatan Udara (POMAU).
14 Sebagaimana telah di ikrarkan pada Sumpah Prajurit, dan pada Sapta Marga sebagai pedoman beretika prajurit militer, perbuatan yang bertentangan dengan sendi-sendi kehidupan militer antara lain adalah;
perbuatan yang bertentangan dengan perintah dinas, perbuatan yang tidak sesuai dengan tata tertib militer, perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan pidana yang sifatnya ringan, sehingga dikenakan tindakan disiplin militer dan/atau hukuman disiplin militer. Lihat Mulyana, Asep. Hukum Pidana Militer Kontemporer, (Jakarta : PT. Grasindo, 2020) hlm. 75.
Berdasarkan Undang-undang No. 26 Tahun 1997 tentang Disiplin Prajurit, disebutkan bahwa “ankum diberi kewenangan menjatuhkan hukuman disiplin pada prajurit dibawah komandonya yang melakukan pelanggaran hukum disiplin”.15
Selain Ankum, pemegang peran penting pada proses penyelesaian perkara pada lingkup TNI ialah Perwira Penyerah Perkara, atau disingkat Papera yang memiliki wewenang dalam penentuan penyelesaian sebuah perkara pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI yang berada dibawah komandonya untuk diselesaikan pada jalur hukum, dalam hal ini adalah penyelesaian pada Pengadilan Militer, atau akan diselesaikan diluar Pengadilan Pengadilan Militer.
Sebagai contoh, jika terjadi sebuah pelanggaran pidana yang dilakukan oleh seorang prajurit, maka ankum selaku komandan akan bertindak sebagai Papera atau Perwira Penyerah Perkara. Dilihat dari penyebutannya, tugas Papera yaitu menyerahkan perkara dengan mempertimbangkan pendapat dan saran Oditur Militer.
Dalam Pasal 122 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, disebutkan siapa saja yang termasuk Papera. “Pada pasal tersebut yang termasuk Papera, yaitu:
a) Panglima
b) Kepala Staf Tentara Nasional Republik Indonesia Angkatan Darat (KASAD), Kepala Staf Tentara Nasional Republik Indonesia Angkatan Laut (KASAL), Kepala Staf Tentara Nasional Republik Indonesia Angkatan Udara (KASAU), dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (KAPOLRI)”16
Panglima atau Kepala Staf pada masing-masing angkatan inilah yang menunjuk komandan/kepala kesatuan bawahan
15 Lihat Undang-Undang No. 26 Tahun 1997 tentang Disiplin Prajurit secara lebih lengkap.
16 Pasal 122 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer
masing-masing matra, paling rendah setingkat dengan Komandan Komando resor Militer yang bertindak sebagai perwira Penyerah Perkara. Wewenang penyerahan perkara itu dilaksanakan dengan selalu dipantau dan dikendalikan oleh Panglima selaku Perwira Penyerah Perkara Tertinggi.
3) Oditur Militer
Pada Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 menyebutkan bahwa “yang dimaksud dengan Oditur militer adalah pejabat yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum, yang bertugas untuk melaksanakan putusan atau penetapan Pengadilan dalam lingkup peradilan militer atau dalam lingkup peradilan umum dalam perkara pidana, serta sebagai penyidik sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang yang dimaksud.”17
Oditurat Militer (Otmil) merupakan bagian dari struktur organisasi TNI yang memegang wewenang pemerintahan negara di bidang penuntutan, berdasarkan perintah dari Panglima TNI maupun Papera lainnya. Dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer telah diatur terkait kewenangan Oditur Militer dalam melakukan penuntutan yang meliputi penuntutan terhadap prajurit TNI berpangkat Kapten kebawah.18
Selain Oditurat Militer, juga terdapat Oditurat Tinggi, Oditurat Jenderal Angkatan Bersenjata Indonesia yang pada saat ini disebut Oditurat Jenderal TNI, dan Oditurat Militer Pertempuran yang selanjutnya disebut dengan Oditurat.
17 Lihat Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
18 Lihat Pasal 64 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, kewenangan penuntutan lainnya yang diatur dalam pasal ini antara lain ialah “Oditur militer berwenang menuntut yang penuntutannya berdasarkan Undang-Undang kepada mereka yang dipersamakan dengan prajurit yang pangkatnya juga Kapten kebawah, penuntutan pada anggota suatu golongan atau badan yang dipersamakan atau dianggap prajurit dengan pangkat kapten kebawah, dan penuntutan terhadap seseorang dengan keputusan Panglima dan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oles suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan militer”.
Kesemuanya memiliki wewenang untuk melakukan penyidikan, pelaksanaan keputusan pengadilan baik dalam lingkungan peradilan militer, serta berwenang untuk melakukan pemeriksaan tambahan.
Kemudian seperti yang telah disebutkan diatas, selain Otmil juga terdapat organ lainnya dalam struktur Oditurat yang merupakan badan pelaksana kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan dan penyidikan dalam lingkungan TNI di antaranya meliputi:
a) Oditurat Militer Tinggi
Bertugas melaksanakan penuntutan terhadap prajurit TNI yang apabila dalam sebuah perkara, terdapat salah satu terdakwa yang berpangkat mayor ke atas.
b) Oditurat Jenderal TNI
Memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan pembinaan, pengendalian, pemantauan fungsi dan wewenang Oditurat, menyelenggarakan pengkajian masalah kejahatan untuk kepentingan penegakan dan kebijaksanaan pemidanaan, kemudian juga berwenang untuk melakukan koordinasi dengan badan penegak hukum lain seperti Satuan Polisi Militer, dan Kejaksaan Agung dalam hal penyidikan dan melaksanakan penuntutan perkara tindak pidana tertentu yang hukum acaranya telah diatur secara khusus.
c) Oditurat Militer Pertempuran
Tugas dan wewenang Oditurat Militer Pertempuran yaitu untuk melaksanakan penyidikan dan juga penuntutan pada perkara pidana yang wilayahnya berada di daerah pertempuran, melaksanakan keputusan Pengadilan Militer Pertempuran, bilamana terdapat perintah langsung dari Panglima atau Komandan Operasi Pertempuran maka,
Oditurat Militer Pertempuran bisa melaksanakan penyidikan dari awal yang mana dilakukan tanpa ada perintah dari Oditur Jenderal TNI terlebih dahulu.
4) Hakim Militer
Pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer telah ditentukan bahwa yang disebut Hakim Militer ialah pejabat yang melaksanakan kekuasaan kehakiman pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer.19
Seorang Hakim Militer juga merupakan Prajurit TNI yang telah memenuhi syarat sebagaimana telah ditentukan pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.20
Dalam Pengadilan Militer, Seorang Hakim Ketua dalam pelaksanaan persidangan berpangkat serendah-rendahnya Mayor, sedangkan hakim anggota dan oditur militer berpangkat paling rendah Kapten. Kemudian, Panitera dalam persidangan paling rendah berpangkat Pembantu Letnan Dua (Pelda) dan paling tinggi berpangkat Kapten.
Hakim Militer pada Pengadilan Militer diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara Republik Indonesia atas usul dari Panglima TNI dan berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
3. Hukum Pidana Militer
a) Pengertian Hukum Pidana Militer
Berbicara mengenai Hukum Militer di Indonesia, hukum militer juga merupakan bagian dari hukum nasional. Yang mana norma-norma pada hukum militer Indonesia pada asasnya merupakan bagian dari hukum perdata, hukum pidana, hukum tata negara, hukum tata usaha negara, dan hukum internasional yang
19 Lihat Pasal 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
20 Lihat Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang mengatur ketentuan bagi pejabat dalam hal ini adalah Hakim Militer.
khusus mengenai kehidupan militer Indonesia dan TNI.21 Itu berarti, Hukum Pidana Militer juga merupakan bagian dari Hukum Pidana pada umumnya. Norma yang terdapat pada hukum pidana militer lebih luas cakupannya dari hukum disiplin militer. Apabila seorang anggota militer melalukan pelanggaran hukum pidana militer, sudah pasti ia melanggar hukum disiplin militer juga. Akan tetapi, jika ia melakukan pelanggaran hukum disiplin militer maka belum tentu ia melanggar hukum pidana militer.
Kemudian, Peradilan militer sebagai lembaga peradilan yang masih dibawah Mahkamah agung Republik Indonesia berwenang untuk mengadili dan memutus tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit militer. Sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan militer, semua tindak pidana yang dilakukan oleh anggota militer dalam hal ini adalah TNI, atau orang yang dipersamakan dengan prajurit militer, baik tindak pidana umum yang diatur dalam KUHP dan perundang-undangan pidana lainnya, juga tindak pidana militer sebagaimana terdapat dalam KUHPM maka akan diadili di Peradilan Militer .
Oleh karenanya, hukum militer di Indonesia memiliki dasar, sumber-sumber dan cakupan yang sejalan dengan Pancasila, undang- Undang Dasar 1945 dan substansi hukum nasional. Tindak pidana militer yang termasuk dalam yurisdiksi peradilan militer yaitu tindak pidana umum atau tindak pidana yang telah dikodifikasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dilakukan oleh anggota militer, dan tindak pidana khusus yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan pidana lain, serta tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM).
21 Prof. Dr. A.S.S. Tambunan, S.H., Hukum Militer Indonesia, (Jakarta : Pusat Studi Hukum Militer, 2013), hlm. 49-50.
Kemudian, objek yang diatur oleh hukum militer meliputi:
Hukum pidana militer, hukum disiplin militer, dan hukum tata usaha militer. Oleh karena itu, setiap anggota militer senantiasapatuh pada hukum negara pada umumnya (hukum pidana umum), hukum pidana militer, hukum tata usaha militer, dan hukum disiplin militer.
Sedangkan subyek hukum militer ialah berbeda-beda pada setiap negara. Sebagai contoh, di negara Inggris sumber hukum military law yaitu sebatas anggota militer saja. Menurut A.W Bradley dan K.D Ewing menyebutkan bahwa, “stricley speaking, military law applies to the army alone”22 yang berarti hukum militer hanya berlaku bagi subyek anggota militer saja dan tidak berlaku bagi warga sipil, termasuk didalamnya pegawai sipil yang bekerja dilingkungan militer/ tentara. Akan tetapi, menurut pendapat dari O.
Hood Phillips, Jackson dan Leopold yang mengatakan “di Inggris warga sipil biasa juga dapat menjadi subyek”.23 Sedangkan di Negara Indonesia pun memperbolehkan subyek warga sipil tertentu dapat diadili diranah Pengadilan Militer.
Hukum Pidana Militer adalah hukum pidana Khusus (lex spesialis), sedangkan Hukum Pidana Umum merupakan (lex generalis). Kekhususan Hukum Pidana Militer yaitu berdasarkan atas pemberlakuaannya yang diperuntukan pada kelompok justisiabel tertentu, pada perihal tentang ini yaitu Tentara Nasional Indonesia (TNI). Hal utama yang diatur dalam hukum militer adalah terkait dengan pembinan disiplin militer dan aturan dan norma di lingkungan militer sendiri. Hal administratif yaitu meliputi persmasalahan seperti masa dinas, pemberhentian, pemecatan, dan lain sebagainya.24 Yang menjadikan hukum Acara Pidana Militer
22 A.W Bradley dan K.D Ewing, Constitutional and Administrative Law, (Harlow, England:
Pearson. Longman, edisi 14, 2007), hlm. 332.
23 O. Hood Phillips, Jackson dan Leopold, Constitutional And Administrative Law, (London Academic(India) : 2001), hlm 390
24 Dr. Dini Dewi Heniarti, S.H., M.H., Sistem Peradilan Militer di Indonesia, (Bandung : PT Refika Aditama, 2017), hlm. 42.
memiliki sebuah kekhususan ialah peran komandan atasan, dalam hal ini disebut dengan Ankum (atasan yang berhak menghukum) dan Papera (Perwira penyerah perkara) dimana keduanya memiliki wewenang khusus dalam proses penyelesaian sebuah perkara pidana yang dilakukan oleh anggota TNI berawal dari tahap penyidikan, penahanan sementara, penuntutan , sampai dengan tahap pelaksanaan putusan pengadilan.
B. Tinjauan Umum tentang Proses Penyelesaian Perkara
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah ‘proses’ memiliki arti runtutan perubahan (peristiwa) dalam perkembangan sesuatu. Kemudian arti dari istilah ‘penyelesaian’ menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses, cara, perbuatan, menyelesaikan, membereskan, pemecahan. Dari penjelasan tersebut, maksud dari ‘Proses Penyelesaian Perkara’ ialah sebuah peristiwa runtut yang menggambarkan cara-cara atau perbuatan untuk membereskan sebuah perkara.
Menurut Chairudin, “Hukum sebagai perlindungan kepentingan manusia harus dilaksanakan dan ditegakan. Sebutan ‘penegakan hukum’
merupakan proses guna mencapai cita-cita hukum menjadi nyata, maksud dari cita-cita hukum ialah pikiran-pikiran badan pembuatan undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan hukum. Dapat disebutkan bahwa penegakan hukum merupakan sebuah usaha guna mewujudkan ide-ide dan konsep menjadi sebuah kenyataan. Proses inilah yang menjadi hakikat dari penegakan hukum di tengah-tengah masyarakat”.25
Dalam hal terjadi pelanggaran hukum atau sebuah perkara, guna mewujudkan penegakan hukum, proses penyelesaiannya diserahkan kepada pihak yang berwenang, mengenai perihal kekuasaan kehakiman untuk menyelesaian masalah hukum terkhusus pada perkara pidana yang diterapkan dalam Pengadilan Militer oleh Majelis Hakim mengacu pada KUHPM (Kitab
25 Chairudin,dkk. Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi. (Bandung : PT.Refika Aditama, 2008), hlm 55.
Undang-Undang Hukum Pidana Militer), KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan proses beracaranya diatur pada Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Selanjutnya, juga menggunakan ketentuan lain yang berlaku di Indonesia seperti Peraturan Perundang- undangan.
Dalam hal Majelis Hakim harus memutuskan sebuah kasus, maka wajib berpedoman pada peraturam, hukum, dan norma yang ada. Seperti pada asas hukum pidana, bilamana suatu undang-undang memiliki aturan secara khusus terkait dengan sebuah tindak kejahatan, maka dapat membelakangi KUHP yang mana bersifat umum, hal tersebut biasanya dikenal dengan asas lex specialis derogat legi generalis.
Di lingkungan TNI, aparat penegak hukum bukan hanya penyidik, oditur, dan hakim militer saja, namun terdapat penegak hukum yang disebut dengan Ankum (Atasan yang berhak menghukum) dan Papera (Perwira penyerah perkara) yang keduanya bertanggung jawab atas disiplin internal di bawah komandonya. Ankum dan Papera sebagai komandan yang bertanggung jawab terhadap satuannya dan juga sebagai pejabat yang paling mengerti kondisi satuannya,dan memiliki wewenang sebagai penegak hukum bagi prajurit yang berada dibawah komandonya. Namun, Ankum dan Papera tidak terdapat pada mekanisme Peradilan Umum.
Pada upaya penyelesaian perkara secara hukum telah tercantum pada Bab 1 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyebutkan:
(1) Pasal 1 : Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
(2) Pasal 2 : Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.26
26 Lihat Undang-Undang Nomor. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman secara lebih lengkap
Pada perkara pidana dengan terdakwa prajurit TNI sesuai dengan pasal diatas, maka penyelesaian perkaranya akan diproses pada wilayah hukum Pengadilan Militer.
Prosedur pada lingkungan pengadilan militer dilihat dari hukum acara pidana, pada alur pengoprasiannya ada kekhususan dalam peraturannya, akan tetapi tetap tidak bertentangan dengan sistem Peradilan Pidana Nasional.
Proses penyelesaian perkara dalam lingkup Peradilan Militer telah tertuang pada Undang-undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer di antaranya meliputi tahap penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di persidangan serta tahap pelaksanaan putusan pengadilan. Maka, proses penyelesaian perkara adalah sebuah kiat, cara atau proses penyelesaian suatu perkara pidana dengan menempuh jalur hukum di lingkungan Pengadilan Militer. Melewati beberapa tahapan proses seperti yang diatur dalam Undang- undang No. 31 tahun 1997, yang berlaku sejalan dengan hukum untuk menjatuhkan sanksi pidana terhadap suatu perkara, sehingga mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dalam sistem Peradilan Militer, proses penanganan perkara pidana militer dilaksanakan oleh beberapa organ seperti Satuan Polisi Militer, Oditur Militer dan Pengadilan Militer sebagaimana tercantum dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
C. Tinjauan Umum tentang Kejahatan terhadap Asal-Usul Perkawinan 1. Pengertian Kejahatan terhadap asal-usul Perkawinan
Dalam kitab undang-undang Hukum pidana, kejahatan terhadap perkawinan diatur dalam Pasal 279 ayat (1) KUHP, dasar hukum berlakunya KUHP di Indonesia terdapat pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor. 73 Tahun 1958 yang menyatakan berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana untuk seluruh Wilayah Republik Indonesia dan mengubah Kitab Undang-undang hukum Pidana.
Terbitnya Undang-undang tersebut kemudian berpengaruh pada peraturan hukum pidana yang berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia, termasuk didalamnya Kitab Undang-undang Hukum Pidana menurut Undang-undang No. 1 tahun 1946 Republik Indonesia. Seluruh warga negara Indonesia yang tunduk pada peraturan perundang-undangan, tanpa terkecuali prajurit Tentara Nasional Indonesia.
Kemudian pada Pasal 279 ayat (1) KUHP; Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun:
1) Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinanperkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu;
2) Barang siapa mengadakan perkawinan padahal megetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi pengahalang untuk itu.27
Pada butir ke (1) pada pasal tersebut, disebutkan bahwa seseorang akan dikenakan sanksi pidana jika melakukan sebuah perkawinan padahal ia tahu bahwa perkawinannya yang telah ada sebelumnya menjadi penghalang yang sah untuk itu. Artinya seseorang tidak dapat melakukan pernikahan apabila telah melakukan perkawinan sebelumnya, begitupula dengan anggota TNI.
Pada dasarnya, seseorang yang akan memiliki istri lebih dari seorang harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 dan 5 UU Nomor 1 Tahun 1974. Dalam pasal 4 ayat 2 disebutkan bahwa “alasan suami dapat berpoligami bilamana seorang istri tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan istri tidak dapat melahirkan keturunan”.28 Namun, seringkali persetujuan seorang istri menjadi persoalan yang menyebabkan seorang suami melakukan perkawinan untuk kedua kalinya tanpa terlebih dahulu memiliki izin dari istri tersebut. Perkawinan bawah
27 Lihat Pasal 279 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana secara lebih lengkap
28 Lihat Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
tangan atau yang biasanya disebut dengan “nikah siri” seperti inilah siri yang tidak sejalan dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam Pasal 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Dalam Lingkungan TNI, telah terdapat aturan terkait pernikahan bagi Prajurit TNI yaitu pada Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang/11/VII/2007 Tanggal 4 Juli 2007, Pasal 3 yang berbunyi “Pada asasnya seorang prajurit pria/wanita hanya diizinkan mempunyai seorang suami/istri” 29. Namun apabila seorang prajurit akan beristri lebih dari seorang maka wajib mengantongi izin dari pihak yang berwenang kemudian mengajukan permohonan pada pengadilan.
Dalam hal apabila seorang prajurit tidak mendapat izin, permohonannya ditolak oleh pengadilan, atau tidak memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang, jika seorang Prajurit tersebut tetap melakukan pernikahan dibawah tangan oleh sebab beberapa hal yang menjadi penghalang tersebut, maka secara jelas Prajurit tersebut telah melanggar pasal 279 ayat Kitab Undang-undang Hukum Pidana karena perkawinan dilaksanakan ketika secara sadar ia mengetahui bahwa ada perkawinan menjadi penghalang yang sah untuk perkawinan kedua tersebut.
2. Delik Aduan dan Delik Biasa
Delik merupakan sebuah perbuatan pelanggaran terhadap hukum yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya dan oleh Undang-undang telah dinyatakan sebagai sebuah tindakan atau perbuatan yang dapat dihukum. Pada dasarnya, pada sebuah tindak pidana pemrosesan perkaranya tergantung pada jenis deliknya. Terdapat 2 (dua) jenis delik
29 Lihat Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang/11/VII/2007 Tanggal 4 Juli 2007 kemudian selanjutnya ayat 2 berbunyi “dalam hal seorang prajurit akan beristri lebih dari seorang maka wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan dengan seizin pejabat yang berwenang apabila hal itu tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang yang berlaku”. artinya, apabila prajurit ingin menikahi lebih dari satu orang istri, maka wajib baginya memperoleh izin dari pejabat yang berwenang, dan wajib mengajukan permohonan pada pengadilan, kesemuanya juga harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang berlaku yang berkaitan.
yang berhubungan dengan pemrosesan perkara pidana yaitu Delik Aduan dan Delik Biasa:
a) Delik Aduan
Banyaknya peristiwa pidana terjadi yang mana hampir kesemuanya adalah tindak kejahatan. Namun, hanya dapat dituntut atas pengaduan dari seseorang yang mengalami peristiwa pidana atau orang yang merasa dirugikan atas terjadinya tindak pidana tersebut.
Peristiwa pidana semacam ini disebut dengan delik aduan.
Apabila dilihat dari sisi penuntutannya, delik aduan dibedakan dari delik yang dapat dituntut karena jabatan. Penuntutan sebuah delik aduan hanya dapat diterima apabila adanya pengaduan oleh penderita, korban, orang yang merasa dirugikan, atau dari seseorang yang berhak mengadu.
Kepentingan umum di dahulukan karena penuntutan sebuah delik dalam suatu perkara pada dasarnya di limpahkan pada penguasa karena kedudukannya. Tidak mengandalkan orang yang menjadi korban sebagai akibat dari suatu delik, sekalipun korban merasa keberatan, bukan menjadi halangan untuk dilakukan sebuah penuntutan. Namun, ada pengecualian dalam beberapa kasus. Hal ini bilamana suatu delik aduan diajukan ke pengadilan tanpa disertai pengaduan tertulis maupun lisan oleh petugas yang menerima aduan , maka harus dinyatakan ‘tidak dapat diterima’ (niet ontvankelijk verklaard).
Untuk itu tindak kejahatan terhadap asal-usul perkawinan merupakan delik aduan, karena perlu adanya pengaduan untuk menuntut peristiwanya. Permintaan pada sebuah pengaduan kadangkala dilakukan dengan rahasia. Sebab yang dituntut adalah peristiwanya, maka semua orang yang terlibat (melakukan, membujuk, membantu) dengan peristiwa itu harus dituntut, jadi delik aduan ini tidak dapat dipisahkan.
Dalam Delik aduan, ada atau tidaknya tuntutan terhadap delik tersebut bergantung pada ada dan tidaknya persetujuan dari pihak yang dirugikan, dengan kata lain, jaksa/penuntut hanya bisa menuntut setelah diterimanya aduan dari pihak yang dirugikan.
Selama yang dirugikan belum melakukan sebuah aduan maka jaksa/penuntut tidak dapat melakukan sebuah tuntutan.
b) Delik Biasa
Sedangkan Delik biasa berarti sebuah perkara tindak pidana yang dapat di proses tanpa adanya persetujuan atau laporan dari pihak yang di rugikan (korban) terlebih dahulu. Delik Biasa disebut juga dengan tindak kriminal murni, yaitu segala tindak pidana yang terjadi tidak dapat dihentikan proses hukumnya dengan alasan seperti yang ada dalam delik aduan. Sebagai contoh, pada sebuah perkara pembunuhan, meskipun pihak keluarga korban sudah memaafkan dan mengikhlaskan pelaku, namun proses hukum terus berlanjut sampai pada Pengadilan karena merupakan delik murni yang tidak bisa dicabut.
D. Tinjauan Umum tentang Pertanggungjawaban anggota Militer 1. Pengertian Pertanggungjawaban Anggota Militer
Pengertian pertanggungjawaban yang umum merupakan bentuk tanggung jawab seseorang atas sebuah tindakan yang dilakukannya.
Sedangkan pertanggungjawaban pidana adalah suatu bentuk pemidanaan bagi pelaku dengan tujuan untuk menentukan apakah tersangka dapat bertanggung jawab atas tindak pidana yang telah terjadi atau tidak.
Menurut Kanter E.Y dan S.R. Sianturi, “jika dilihat dari terjadinya perbuatan yang dilarang, seseorang akan dituntut atas perbuatan yang dilakukannya jika tindakan itu melawan hukum. Dari segi kemampuan bertanggungjawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggungjawab (toerekeningsvatbaar) pada umumnya:
1) Keadaan jiwanya: tidak terganggu oleh penyakit terus- menerus atau sementara (temporair), tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu/idiot), tidak terganggu karena terkejut, hypnotism, amarah yang meluap, pengaruh bawah sadar, melindur, mengigau karena demam.
2) Dengan perkataan lain bahwa subjek dalam keadaan sadar, kemampuan jiwanya: dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya, dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak, dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.”30
Kemudian, terkait pengertian pertanggungjawaban militer tidak diatur secara jelas dan tertulis pada peraturan perundang-undangan. Maka, dapat dikatakan bahwa jika dikaitkan pada pertanggungjawaban pidana, bentuk pertanggungjawaban militer merupakan sebuah kemampuan bertanggungjawab yang dilakukan oleh anggota militer atas perbuatan serta tindakan yang merujuk pada kesalahan yang ia diperbuat.
Dasar pertanggungjawaban pidana bagi militer merupakan sebuah tindakan yang dapat memberikan efek jera. Dapat juga diartikan sebagai pembalasan sebelum terpidana kembali ke dinas militer. Seorang militer yang telah selesai menjalani masa pidananya akan aktif menjadi seorang prajurit TNI kembali, dan harus menjadi seorang militer yang lebih baik dari sebelumnya, serta memiliki kesadaran sendiri maupun dari hasil tindakan pendidikan yang ia terima selama menjalani masa tahanan dalam lembaga pemasyarakatan militer.
Menurut Sianturi, “Hal seperti itu perlu menjadi dasar pertimbangan hakim untuk menentukan perlu tidaknya penjatuhan pidana tambahan pemecatan terhadap terpidana di samping dasar-dasar lainnya yang sudah ditentukan. Jika terpidana adalah seorang non-militer, maka
30 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana dan Penerapannya, (Jakarta : Storia Grafika, 2002)
hakekat pelaksanaan pertanggungjawaban pelak- sanaan pidananya sama dengan yang diatur dalam KUHAP”.31
Sebagai contoh, anggota militer yang melakukan tindak pidana desersi dapat di pidana apabila perbuatan yang telah dilakukan sudah memenuhi unsur-unsur rumusan tindak pidana desersi tersebut, sedangkan untuk pertanggungjawabannya tidak begitu dipertimbangkan karena pelaku adalah seorang anggota militer. Hukum menganggap bahwa seorang anggota militer secara jelas mampu bertanggung jawab, hal tersebut dikarenakan saat perbuatan pidana tersebut dilakukan, keadaan batin seorang militer dianggap dalam keadaan sehat dan normal.
2. Bentuk Pertanggungjawaban Anggota Militer
Pertanggungjawaban pidana adalah dengan menerima segala bentuk pemidanaan yang telah diberikan melalui putusan pengadilan kepada pelaku. Dalam hal ini untuk pemidanaan atau sanksi bisa berupa pidana pemecatan, penurunan pangkat atau pencabutan hak-hak tertentu.32
Bentuk-bentuk pertanggungjawaban pidana bagi anggota TNI yang melakukan kejahatan dapat ditangani dengan hukum disiplin atau melalui pengenaan sanksi pidana oleh pengadilan militer. Hukuman disiplin militer adalah tindakan pendidikan bagi prajurit yang telah dijatuhi hukuman, dan bertujuan sebagai tindak pembinaan disiplin. Disisi lain, Tindak pidana militer lebih merupakan kombinasi pendidikan militer dan pemberian rasa jera, selama pelaku tidak dikeluarkan dari dinas militer.
Penyelesaian dengan hukum disiplin militer berarti tindakan yang dilakukan oleh seorang prajurit merupakan tindakan yang bersifat ringan dan bukan tindak pidana, melainkan perbuatan yang melanggar perintah kedinasan atau tidak sesuai dengan tata kehidupan kemiliteran sehingga perkara dapat diselesaikan di luar pengadilan, misalnya: prajurit yang
31 Sianturi, Sr, “Hukum Pidana Militer di Indonesia”, (Jakarta : Alumni AHM-PTHM, 1985) hlm.69.
32 Lihat Pasal 6 sampai dengan Pasal 3 Bab 2 KUHPM dan Pasal 8 Undang-Undang Hukum Disiplin Prajurit TNI yang berlaku untuk seluruh anggota TNI baik mengenai norma-normanya maupun mengenai sanksinya, diadakan penyatuan.
berpakaian seragam tidak lengkap, tidak hormat pada atasan, terlambat mengikuti apel pagi.
Pada pasal 8 Udndang-Undang Hukum Disiplin Prajurit TNI memuat aturan tentang Prajurit yang melakukan tindakan pelanggaran seperti yang disebutkan di atas bisa diselidiki untuk pertanggungjawaban pidana dan mengambil tindakan disiplin prajurit TNI, antaralain:
a) teguran,
b) penahanan ringan paling lama 14 (empat belas) hari, c) penahan berat paling lama 21 (dua puluh satu) hari.
Pidana militer ditujukan untuk pendidikan militer dan membuat jera pelaku kejahatan, yang mana pelanggaran tersebut sering dianggap mengganggu keseimbangan masyarakat. Pemberian hukuman pada sebuah tindak kejahatan dipandang sebagai jurus jitu terhadap pelaku.
Bentuk pertanggungjawaban pidana prajurit TNI yang melakukan tindak pidana aturannya terdapat pada Pasal 6 KUHPM diantaranya adalah :
1. Pidana Pokok:
a) Pidana Mati
Dalam Hukum Acara Pidana Militer, Pasal 225 menyebutkan, implementasi hukuman mati dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan bukan di depan umum. Apabila terpidana mati merupakan anggota TNI, maka ketika pelaksanaan pidana mati berpakaian dinas harian tanpa pangkat dan tanda kehormatan.
b) Pidana Penjara
Penjatuhan Hukuman berupa Pidana Penjara ini dilaksanakan dengan waktu minimal satu hari dan maksimal lima belas tahun dalam penjara, tempat pelaksanaan hukumannya bagi anggota TNI yaitu pada Lembaga Pemasyarakatan Militer.
c) Pidana Kurungan
Pidana kurungan ancaman hukumannya minimum satu hari dan maksimum satu tahun. Terhadap terpidana yang dijatuhkan pidana kurungan dalam peraturan kepenjaraan diadakan perbedaan, dimana kepada terpidana kurungan diberikan pekerjaan di dalam tembok rumah pemasyarakatan dan pekerjaan yang diberikan lebih ringan dibandingkan dengan terpidana yang dijatuhi hukuman penjara.
d) Pidana Tutupan
Pidana tutupan merupakan pidana yang dikenakan kepada pelaku tindak pidana dalam rangka melaksanakan tugas Negara, tetapi melakukannya secara berlebihan. Pidana tersebut dalam KUHPM dimaksudkan untuk mengimbangi itikad baik dari terpidana.
2. Pidana Tambahan
a) Pemecatan dari dinas militer dengan atau tanpa pencabutan haknya untuk memasuki Angkatan Bersenjata.
Dalam rangka penjatuhan pidana tambahan pemecatan dari dinas militer, sebaiknya pemecatan itu agar diikuti dengan pencabutan haknya untuk memasuki angkatan bersenjata. Karena kalau tidak diikuti dengan kata dicabut haknya untuk memasuki angkatan bersenjata, maka yang bersangkutan setelah dipecat dari suatu angkatan dikhawatirkan masuk angkatan yang lain.
Pemecatan tersebut menurut hukum berakibat hilangnya semua hak- hak yang diperolehnya dari angkatan bersenjata selama dinasnya yang dahulu.
Penjatuhan pidana pemecatan disamping pidana pokok dipandang hakim militer sudah tidak layak lagi dipertahankan dalam kehidupan masyarakat militer dan apabila tidak dijatuhkan pidana pemecatan dikhawatirkan kehadiran terpidana nantinya dalam militer setelah ia menjalani pidananya, akan menggoncangkan sendi- sendi ketertiban dalam masyarakat.
b) Penurunan pangkat.
Dalam pelaksanaanya, penjatuhan hukuman penurunan pangkat ini jarang diterapkan, sebab dirasakan kurang adil dan tidak banyak manfaatnya dalam rangka pembinaan militer, terutama bagi Bintara Tinggi dan Perwira-perwira.
c) Pencabutan hak-hak yang disebutkan pada Pasal 35 Ayat 1 nomor ke 1,2 dan 3 KUHP.
Ke-1, hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu adalah Pencabutan hak untuk memegang jabatan biasanya apabila yang bersangkutan melakukan kejahatan jabatan yang dihubungkan dengan Pasal 52 dan 52a KUHP.
Ke-2, hak memasuki angkatan bersenjata adalah Pencabutan hak untuk memasuki angkatan bersenjata, apabila menurut pertimbangan hakim bahwa orang tersebut tidak layak untuk berada dalam masyarakat militer.
Ke-3 hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum adalah pencabutan hak untuk memilih dan dipilih hal ini biasanya dijatuhkan terhadap seorang prajurit yang melakukan tindak pidana politik yang bertentangan dengan ideologi Negara terutama terhadap aktivis Gerakan 30 September , maka pada umumnya terhadap mereka dicabut haknya untuk memilih dan dipilih.