Volume 2, Nomor 1, Maret 2011 ISSN : 2088-3137
PERIKANAN DAN KELAUTAN
Pengaruh Salinitas Terhadap Pertumbuhan Benih Ikan Rainbow Kurumoi (Melanotaenia parva)
Fortifikasi Tepung Tulang Nila Merah Terhadap Kandungan Kalsium Dan Tingkat Kesukaan Mie Kering
Efektivitas Biji Nimba (Azadirachta indica A. Juss) Untuk Pengobatan Penyakit Rontok Insang (gill rot) Akibat Infeksi Flexybacter columnaris Pada Ikan Mas (Cyprinus carpio) Pengaruh Perbedaan Salinitas Terhadap Pertumbuhan Ikan Mas (Cyprinus carpio) Stadia Pendederan
Pengawetan Filet Nila Merah Menggunakan Es Germisidal
Penambahan Probiotik Pada Media Budidaya Dan Implikasinya Terhadap Kualitas Air, Sintasan Dan Pertumbuhan Larva Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii)
Pengaruh Tingkat Kepadatan Terhadap Laju Pertumbuhan Dan Rasio Konversi Pakan Benih Ikan Nila Nirwana (Oreochromis niloticus)
Pengaruh Lama Perendaman Kulit Ikan Nila Dalam Larutan Asam Asetat Terhadap Kuantitas dan Kualitas Gelatin Yang Dihasilkan
Pengaruh Lama Perendaman Larutan Filtrat Simplisia Biji Jintan Hitam Terhadap Infeksi Aeromonas hydrophila Sebagai Penyebab Penyakit M.A.S (Motile Aeromonas Septicemia) Pada Ikan Mas (Cyprinus carpio)
Potensi Ekstrak Thalassia hemprichii Sebagai Anti Bakteri Vibrio harveyi Penyebab Penyakit Pada Larva Udang Windu
Pengaruh Tingkat Penggunaan Bungkil Kelapa Hasil Fermentasi Oleh Ragi Saccharomyces cerevisiae Dalam Pakan Buatan Terhadap Pertumbuhan Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
Uji Efektifitas Lidah Buaya (Aloe vera) Melalui Pakan Komersial Sebagai Immunostimulan Pada Benih Lele Dumbo ( Clarias gariepinus) Terhadap Infeksi Bakteri Aeromonas hydrophila
Pengaruh Perbedaan Tekstur Sedimien Terhadap Kalitas Air, Kelangsungan Hidup, Dan Pertumbuhan Udang Windu (Penaeus monodon)
Pengaruh Penggunaan Pupuk Urea Dengan Dosis Berbeda Terhadap Kepadatan Sel Pada Kultur Fitoplankton Chaetoceros gracilis
Kebiasaan Makanan Ikan Karang Di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu
Pengaruh Lama Perendaman Sargassum duplicatum Dalam Larutan HCl 1% Terhadap Mutu Natrium Alginat
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JURNAL PERIKANAN DAN KELAUTAN
Pembina : Ayi Yustiati Penanggung Jawab : Junianto Ketua Dewan Redaksi : Indah Riyantini Editor Pelaksana : Dulmi’ad Iriana
Anggota : Otong Suhara Djunaedi Maman Herman Suparta Amin Setiawan
Eddy Afrianto Iwang Gumilar
Ankiq Taufiqurohman Pelaksana Tata Usaha : Iis Rismawati
Pembantu Pelaksana : Erna Setianingsih
Alamat Penerbit/Redaksi :
Jl. Raya Bandung-Sumedang KM.21 Jatinangor, UBR 40600 E-mail : [email protected]
Website : www.fpik.unpad.ac.id
(Terbit empat kali dalam satu tahun : Maret, Juni, September, Desember)
JURNAL PERIKANAN DAN KELAUTAN Vol 2. No. 1, Maret 2011
DAFTAR ISI
Pengaruh Salinitas Terhadap Pertumbuhan Benih Ikan Rainbow Kurumoi (Melanotaenia parva)
Irawati Limbong, Amin Setiawan dan Nia kurniawati
1 - 8
Fortifikasi Tepung Tulang Nila Merah Terhadap Kandungan Kalsium Dan Tingkat Kesukaan Mie Kering
Adi Ngudiharjo, Ayi Yustiati, dan Evi Liviawaty
9 - 20
Efektivitas Biji Nimba (Azadirachta indica A. Juss) Untuk Pengobatan Penyakit Rontok Insang (gill rot) Akibat Infeksi Flexybacter columnaris Pada Ikan Mas (Cyprinus carpio)
Luqman Eka Pebriana, Bachrulhajat Koswara dan Rosidah
21 - 36
Pengaruh Perbedaan Salinitas Terhadap Pertumbuhan Ikan Mas (Cyprinus carpio) Stadia Pendederan
Putra Humosir Siregar, Dulmiad Iriana, dan Titin Herawati
37 - 44
Pengawetan Filet Nila Merah Menggunakan Es Germisidal Annisaa Purnama Sari, Eddy Afrianto dan Suzy Anna
45 - 62
Penambahan Probiotik Pada Media Budidaya Dan Implikasinya Terhadap Kualitas Air, Sintasan Dan Pertumbuhan Larva Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii)
Soffian Rahmat, Ibnu Dwi Buwono dan Indah Riyantini
63 – 70
Pengaruh Tingkat Kepadatan Terhadap Laju Pertumbuhan Dan Rasio Konversi Pakan Benih Ikan Nila Nirwana (Oreochromis niloticus)
Gilang Dwi Setiawan, Ika Susangka dan Iskandar
71 – 79
Pengaruh Lama Perendaman Kulit Ikan Nila Dalam Larutan Asam Asetat Terhadap Kuantitas dan Kualitas Gelatin Yang Dihasilkan
Sarah Nurfitriana, Junianto dan Herman Hamdani
81 – 88
Pengaruh Lama Perendaman Larutan Filtrat Simplisia Biji Jintan Hitam Terhadap Infeksi Aeromonas hydrophila Sebagai Penyebab Penyakit M.A.S (Motile Aeromonas Septicemia) Pada Ikan Mas (Cyprinus carpio)
Muchamad Ramdani, Maman Herman Suparta dan Roffi Grandiosa
89 – 96
Potensi Ekstrak Thalassia hemprichii Sebagai Anti Bakteri Vibrio harveyi Penyebab Penyakit Pada Larva Udang Windu
Karina Beiby Yuliani, Masyamsir dan Yeni Mulyani
97-114
Pengaruh Tingkat Penggunaan Bungkil Kelapa Hasil Fermentasi Oleh Ragi Saccharomyces cerevisiae Dalam Pakan Buatan Terhadap Pertumbuhan Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
Danang Prasetyo, Otong Suhara, dan Kiki Haetami
115-1 26
Uji Efektifitas Lidah Buaya (Aloe vera) Melalui Pakan Komersial Sebagai Immunostimulan Pada Benih Lele Dumbo ( Clarias gariepinus) Terhadap Infeksi Bakteri Aeromonas hydrophila
Yonna Destriana, Rosidah dan Walim Lili
127-144
Pengaruh Perbedaan Tekstur Sedimien Terhadap Kalitas Air, Kelangsungan Hidup, Dan Pertumbuhan Udang Windu (Penaeus monodon)
Arini Hapsari, Sri Astuty dan Otong Suhara Dj
145-150
Pengaruh Penggunaan Pupuk Urea Dengan Dosis Berbeda Terhadap Kepadatan Sel Pada Kultur Fitoplankton Chaetoceros gracilis
Muhammad Kamal Fakhri Sofyan, Sukaya Sastrawibawa dan Zahidah Hasan
151-162
Kebiasaan Makanan Ikan Karang Di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu Eryanti Farida, Suryadi dan Sriati
163-174
Pengaruh Lama Perendaman Sargassum duplicatum Dalam Larutan HCl 1%
Terhadap Mutu Natrium Alginat
Rizky Dwi Kurniawati, Yayat Dhahiyat dan Nia Kurniawati
175-184
Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 2. No. 1, Maret 2011: 151-161 ISSN : 2088-3137
PENGARUH PENGGUNAAN PUPUK UREA DENGAN DOSIS BERBEDA TERHADAP KEPADATAN SEL PADA KULTUR FITOPLANKTON Chaetoceros gracilis Muhammad Kamal Fakhri Sofyan*, Sukaya Sastrawibawa** dan Zahidah Hasan**
*Alumni Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unpad
** Staf Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unpad
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mengetahui dosis urea terbaik yang mendekati pupuk Conwy dalam kultur Chaetoceros gracilis pada skala laboratorium. Penelitian menggunakan metode eksperimental, yaitu menggunakan rancangan acak lengkap dengan lima perlakuan yaitu Perlakuan A pupuk Conwy 1 ml/l (control), Perlakuan B pupukpertanian dengan komposisi urea 20 mg/l, ZA 30 mg/l dan TSP 10 mg/l; Perlakuan C pupukpertanian dengan komposisi urea 30 mg/l, ZA 30 mg/l dan TSP 10 mg/l Conwy 20 mg/l, Perlakuan D pupuk pupukpertanian dengan komposisi urea 40 mg/l, ZA 30 mg/l dan TSP 10 mg/l dan Perlakuan E pupuk pertanian dengan komposisi urea 50 mg/l, ZA 30 mg/l dan TSP 10 mg/. Parameter yang diamati adalah kepadatan sel, laju pertumbuhan harian, waktu generasi, kualitas air dan kandungan klorofil.
Analis data dilakukan dengan menggunkan sidik ragam dan uji jarak berganda Duncan pada taraf kepercayaan 95 %. Kualitas air dan kandungan klorofil dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian memperlihatkan adanya perbedaan pada Chaetoceros gracilis yang dikultur dengan pupuk Conwy dan pupuk pertanian. Penggunaan dosis urea pada konsentrasi 50 mg/l secara signifikan menghasilkan kepadatan sel Chaetoceros gracilis tertinggi, yaitu 2800 x 103 sel/ml mendekati pupuk Conwy, yaitu 2888,4 x 103 sel/ml
Kata kunci : urea, pupuk Conwy, Chaetoceros gracilis, kepadatan sel ABSTRACT
EFFECT OF UREA FERTILIZER USAGE WITH DIFFERENT DOSE FOR CELL DENSITY ON THE CULTURE OF PHYTOPLANKTON Chaetoceros gracilis
This study was conducted to determine the best dose of urea fertilizer used in Chaetoceros gracilis cultures in laboratory scale. The experimental study using completely randomized design with five treatments and five replications. The treatment is different doses of urea fertilizer with the composition of TSP ZA 30 mg/l and 10 mg/l. A treatment Conwy 1 ml/l (control), treatment B (20 mg/l), treatment C (30 mg/l), treatment D (40 mg/l), and treatment E (50 mg/l). The container used in the study are glass jars with a capacity of 3 liters. Observations were cell density, growing daily rate, generation time, water quality, and chlorophyll. The data were analyzed using analysis of variance and Duncan multiple range test at 5% level. Water quality and chlorophyll content were analyzed descriptively. The results showed a difference in C. gracilis cultured with Conwy fertilizers and agricultural fertilizers. The use of doses of urea at a concentration of 50 mg/l significantly produced the highest cell density Chaetoceros gracilis, which is approaching 2800 x103 sel/ml nearly Conwy fertilizer, which is 2888.4 x103 sel/ml.
Key words: urea, fertilizer Conwy, Chaetoceros gracilis, cell density
152 Muhammad Kamal Fakhri Sofyan, Sukaya Sastrawibawa dan Zahidah Hasan
PENDAHULUAN
Keberhasilan usaha pembenihan umumnya sangat ditentukan oleh penyediaan pakan alami yang sesuai dengan kualitas, kuantitas, dan ketepatan dalam pemberian. Persyaratan pakan alami yang memiliki nilai gizi tinggi, ukurannya sesuai dengan bukaan mulut ikan, cepat berkembangbiak dan mudah disediakan, serta memiliki toleransi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan selama dikultur, merupakan sumber pakan yang sangat penting dalam usaha pembenihan baik larva, juvenil molusca maupun crustacea (Erlina dan Hastuti, 1986). Chaetoceros gracilis merupakan salah satu alga yang memenuhi persyaratan sebagai pakan alami.
C. gracilis merupakan diatom yang memiliki peranan penting dalam plankton laut. Selain sebagai penyedia oksigen terlarut dan sumber nutrien di perairan laut, C. gracilis merupakan pakan alami bagi larva udang dan kerang (Hindarti, 2008). C.
gracilis menjadi tumpuan hidup (langsung atau tidak langsung) bagi sebagian besar biota laut, terutama udang dan kerang (Nontji, 2008). C. gracilis memiliki kandungan nutrisi yang tinggi, yaitu protein (40 – 50%), karbohidrat (20 – 50%), dan lipida (20 – 25%) (Ketchum dan Redfield, 1949 dalam Priyanto, 1999). Selain itu, C.
gracilis memiliki kandungan kolesterol dan fukosterol yang paling tinggi diantara jenis diatom lainnya (Stewart, 1974). Disamping itu, kandungan asam lemak rata–rata untuk C. gracilis adalah 2 x10-12 g/sel lebih tinggi dari kandungan rata–rata Skeletonema sp.
yang hanya 1,7 x 10-12 g/sel (Volkman dkk, 1989 dalam Stottrup dan Mc Evoy, 2003).
Sampai saat ini, masih banyak usaha pembenihan udang dan kerang yang mengalami kegagalan. Hal ini dikarenakan kurang baiknya kualitas pakan alami yang diberikan pada larva. Faktor yang menentukan kualitas kultur C. gracilis adalah kultur murni yang juga berkualitas baik. Untuk meningkatkan produksi dan kualitas C. gracilis, perlu adanya pupuk atau zat kimia yang memiliki daya rangsang untuk mempercepat produksi, sehingga diharapkan dapat selalu tersedia pada saat diperlukan (Aslianti, 1986).
Hara merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada komposisi biokimia alga. Kondisi hara yang optimum sangat penting untuk mendapatkan nilai produktivitas kultur alga yang tinggi yang disertai dengan kualitas biomassa yang baik (Dhoe dkk., 2002). Kultur C. gracilis yang sudah dilakukan menggunakan pupuk Conwy yang harganya relatif mahal, sehingga perlu dicari alternatif pupuk lain.
Menurut Sugianto (2010), sumber hara yang bisa digunakan untuk medium kulturnya adalah yang kandungan unsur haranya memenuhi kebutuhan C. gracilis dan mudah didapat serta kontinuitas untuk kultur berkelanjutan. Salah satu sumber hara yang bisa digunakan untuk kultur C.
gracilis adalah pupuk pertanian (Urea, ZA, dan TSP). Nitrogen yang terkandung dalam pupuk Urea dan ZA serta fosfat yang terkandung dalam pupuk TSP mudah larut dalam air (Hakim dkk., 1986). Menurut Buckman dan Brady (1982), unsur hara yang dibutuhkan pada kultur alga berupa unsur hara makro dan mikro, dan unsur terpentingnya adalah nitrogen dan fosfat yang berfungsi untuk mempercepat pertumbuhan. Penelitian ini bertujuan untuk mencari dosis pupuk urea yang tepat yang diharapkan mempunyai kemampuan hampir sama dengan pupuk Conwy, sehingga hasilnya dapat dijadikan pilihan dalam kultur C. gracilis pada skala laboratorium.
BAHAN DAN METODE
Bahan – bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Inokulum C. gracilis yang berasal dari stok murni (BBPAP Jepara)., Media pupuk, yaitu Conwy dan Pupuk Pertanian (Urea, ZA, dan TSP), FeCl3, Formalin 3% , Aquades., Alkohol 70%, Air laut dan air tawar steril, serta Sabun Cuci Piring. Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan yaitu Perlakuan A pupuk Conwy 1 ml/l (control), Perlakuan B pupukpertanian dengan komposisi urea 20 mg/l, ZA 30 mg/l dan TSP 10 mg/l; Perlakuan C pupukpertanian dengan komposisi urea 30 mg/l, ZA 30 mg/l dan TSP 10 mg/l Conwy 20 mg/l, Perlakuan D pupuk pupukpertanian
153 Pengaruh penggunaan pupuk urea dengan dosis berbeda terhadap kepadatan sel
dengan komposisi urea 40 mg/l, ZA 30 mg/l dan TSP 10 mg/l dan Perlakuan E pupuk pertanian dengan komposisi urea 50 mg/l, ZA 30 mg/l dan TSP 10 mg/.
Prosedur penelitian terdiri dari beberapa tahapan yaitu :
Sterilisasi Alat dan Bahan : Untuk alat – alat yang berbahan dasar gelas (kecuali toples) setelah dicuci dikeringudarakan, kemudian dikeringkan dengan autoclave dengan suhu 121oC selama 15 menit dengan tekanan 1 kg/cm2. Untuk alat yang berukuran kecil (selang aerasi, percabangan aerasi, tutup toples, dan batu pemberat) dicuci dengan deterjen, dibilas dengan air tawar bersih dan direbus sampai mendidih, lalu diangkat dan ditiriskan sampai kering, kemudian disemprot dengan alkohol 70%. Untuk alat yang berukuran besar (ember plastik, gayung, dan panci) dicuci bersih dikeringudarakan, kemudian disemprot dengan alkohol 70% dan setelah itu dikeringudarakan lagi. Untuk bahan yang akan disterilisasi adalah air tawar dan air laut. Air tersebut harus disaring sampai bersih, setelah itu direbus sampai mendidih, kemudian sebelum dimasukkan ke dalam toples, disaring lagi dengan kertas saring ukuran 20 mikron, setelah itu air baru bisa digunakan.
Pembuatan Larutan Media Pupuk : Langkah – langkah dalam pembuatan larutan media pupuk adalah sebagai berikut; Aquades sebanyak 800 mL, dimasukan ke dalam gelas ukur.
Bahan – bahan untuk membuat media pupuk ditimbang satu per satu sesuai dengan dosis masing – masing perlakuan, kemudian disimpan di piring plastik yang sudah dipersiapkan. Bahan – bahan yang sudah ditimbang dimasukkan satu per satu ke dalam gelas ukur yang sudah diisi aquades sesuai dengan urutannya agar tidak terjadi penggumpalan. Bahan – bahan tersebut dilarutkan dengan menggunakan stirer. Larutan pupuk tersebut ditambahkan aquades sebanyak 200 ml, sehingga volumenya menjadi 1000 ml. Larutan pupuk diaduk lagi dengan menggunakan stirer agar semua bahan tercampur. Terakhir larutan pupuk yang sudah dibuat tadi, dimasukkan ke dalam botol yang sudah steril dan berwarna gelap.
Setelah larutan media pupuk selesai,
selanjutnya dilakukan pembuatan larutan silikat 2% dengan cara melarutkan 20 ml silikat ke dalam 1000 ml aquades.
Persiapan Media Kultur : Untuk menentukan volume inokulum yang akan dimasukkan ke dalam toples, dapat dicari dengan rumus yang dikembangkan oleh Villegas dan De La Pena (1986), yaitu :
Keterangan :
V1 = Volume inokulum (mL)
V2 = Volume media kultur yang diinginkan 2000 (mL)
N1= Jumlah inokulum stok murni 1.095.000(sel/mL)
N2 = Kepadatan awal yang diinginkan 500.000 (sel/mL)
Sehingga didapat :
= 456,621 mL
Jadi, volume bibit yang dimasukkan ke dalam toples sebanyak 456,521 mL, sedangkan air laut yang dimasukkan ke dalam toples :
V2 – V1 – volume pupuk
2000 mL – 456,621 mL – 1000 mL
543,38 mL
Setelah didapat hasilnya, masukkan air laut dan pupuknya terlebih dahulu ke dalam toples yang telah disiapkan kemudian masukkan inokulum C. gracilis. Tiap toples diberi FeCl3 sebanyak 0,04 g dan silikat 2%
sebanyak 2 mL. Toples diletakkan pada rak yang sama. Pada rak tersebut telah terpasang lampu TL yang posisinya di pinggir toples dengan intensitas cahaya 5320 lux. Setelah itu tiap toples diberi aerasi. Suhu air dalam media kultur adalah 250C dengan salinitas 27‰.
Pengamatan dilakukan terhadap kepadatan populasi, laju pertumbuhan harian, waktu generasi, kualitas air dan intensitas cahaya, dan kandungan klrofil.
Pengamatan terhadap kepadatan populasi C. gracilis dilakukan 1 kali selama 24 jam mulai hari ke – 1 sampai pertumbuhan mengalami penurunan. Pengambilan sampel pengamatan dilakukan dengan
154 Muhammad Kamal Fakhri Sofyan, Sukaya Sastrawibawa dan Zahidah Hasan
menggunakan pipet tetes, lalu diteteskan pada haemositometer, kemudian permukaan haemositometer ditutup dengan menggunakan cover glass, dan dihitung di bawah mikroskop dengan pembesaran 10 x 10 dengan bantuan handcounter.
Laju pertumbuhan harian dihitung dengan persamaan yang dikembangkan oleh Stevenson (1986) dalam Kurniastuty dan Julinasari (1995) :
Ln Wt – Ln Wo g = t Keterangan :
g = Laju pertumbuhan harian (sel/mL/hari) t= Waktu (hari) atau waktu dari Wo sampai Wt
Wo = Kepadatan awal (sel/mL) Wt = Kepadatan akhir (sel/mL)
Waktu generasi dihitung dengan persamaan yang dikemukakan oleh Hadioetomo dkk. (1986), sebagai berikut :
t G =
3,3 (log Nt – log N0) Keterangan :
G = Waktu generasi (jam)
t = Waktu mencapai populasi maksimal (hari)
Nt = Kepadatan populasi pada waktu t (sel/mL)
No = Kepadatan populasi awal (sel/mL) 3,3 = Konversi log 2 menjadi log 10
pengukuran kualitas air, meliputi suhu, DO, pH, salinitas, amoniak, nitrat, fosfat. Pengukuran dilakukan di awal dan akhir penelitian. Selain itu, dilakukan pula pengukuran cahaya yang dilakukan pada awal penelitian saja. Alat ukur yang digunakan dalam pengukuran kualitas air dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Parameter Kualitas Air yang Diamati
Parameter Satuan Alat Ukur
Suhu 0C Termometer
DO mg/L Dometer
pH - pH meter
Salinitas ‰ Refraktometer
Amoniak mg/L Spektrofotometer
Nitrat mg/L Spektrofotometer
Fosfat mg/L Spektrofotometer
Intensitas Cahaya Lux Lux meter
Pengamatan kandungan klorofil untuk membandingkan kandungan klorofil sel C. gracilis yang dikultur dengan menggunakan media Conwy dan pupuk pertanian. Berikut langkah – langkah dalam menghitung kandungan klorofil (Parsons dkk., 1989) :
Persiapan Sampel : 200 ml sampel disaring dengan kertas saring GF/F menggunakan vacum pump. Kemuduian Ekstrak klorofil yang ada di kertas saring dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang sudah diisi 10 mL aceton. Selanjutnya tabung lalu dibungkus dengan aluminium foil dan disimpan dalam suhu dingin selama 1 hari.
Pengujian Sampel : Cuvet dibilas dengan aceton kemudian dibilas lagi dengan
ekstraksi sampel yang ada dalam aceton.
Kemudian cuvet diisi dengan larutan ekstraksi sampel, diukur dengan Spektometer pada λ 665 dan λ 750.
Selanjutnya ditambahkan dengan dua tetes HCL 10% ke dalam cuvet di atas, ditunggu 1 menit kemudian diukur lagi dengan Spektometer pada panjang gelombang yang sama (λ 665 nm dan λ 750 nm).
Perhitungan : Kandungan klorofil dihitung dengan persamaan yang dikemukakan oleh Parsons dkk. (1989), sebagai berikut :
26,7 (6650 – 665a) x v Klorofil (µg/l) =
V x l Keterangan :
6650 = Nilai absorbance pada λ 665 nm dikurangi nilai absorbance λ 750
155 Pengaruh penggunaan pupuk urea dengan dosis berbeda terhadap kepadatan sel
(sebelum pengasaman)
665a = Nilai absorbance pada λ 665 nm dikurangi nilai absorbance λ 750 (setelah pengasaman)
V = Volume ekstrak dalam aceton (mL) V = Volume sampel yang disaring (liter) L = Tinggi cuvete (cm)
Analisis data dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian pupuk pertanian terhadap kepadatan sel, laju pertumbuhan, dan waktu generasi dalam kultur C. gracilis. Untuk mengetahui pengaruh setiap perlakuan, digunakan analisis sidik ragam dengan uji F. Apabila terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (LSR test) dengan taraf 5% (Gasperz, 1995). Untuk mengetahui hubungan antara pemberian pupuk pertanian dengan dosis urea berbeda terhadap kepadatan sel C. gracilis, digunakan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Secara statistik, hasil penelitian menujukkan bahwa kepadatan populasi Chaetoceros gracilis yang dipupuk dengan pupuk Conwy (1 ml/l) tidak berbeda nyata dengan penggunaan pupuk pertanian dengan dosis urea tertinggi (50 mg/l) maupun dengan dosis urea 30 mg/l dan 40 mg/l, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan B (20 mg/l). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pupuk pertanian dengan dosis urea 50 mg/l, ZA 30 mgl/, dan TSP 10 mg/l (perlakuan E) adalah yang paling mendekati pupuk Conwy (perlakuan A). Kepadatan populasi tertinggi didapat pada media pupuk Conwy karena unsur hara yang terkandung di pupuk Conwy lebih lengkap dibandingkan dengan pupuk pertanian yang hanya mengandung unsur hara makro sebagaimana ditunjukkan pada
Tabel 2.
Tabel 2. Pengaruh Komposisi Pupuk Terhadap Kepadatan Populasi Maksimum C. gracilis (x103 sel/mL)
Perlakuan Waktu Mencapai Puncak Populasi (hari)
Kepadatan Populasi Maksimum (x103 sel/mL)
A 9 2888,4 (± 433,655) b
B 9 2206,6 (± 236,886) a
C 8 2621,2 (± 167,173) b
D 8 2707 (± 371,182) b
E 8 2800 (± 241,703) b
Keterangan : Nilai rata – rata yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%.
Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), bahwa pertumbuhan suatu jenis fitoplankton sangat erat kaitannya dengan ketersediaan hara makro dan mikro serta dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Unsur hara mikro sebenarnya hanya dibutuhkan dalam jumlah sedikit, tetapi penting peranannya dalam pertumbuhan sel C.
gracilis. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Fogg (1975), bahwa unsur – unsur yang diperlukan dalam media untuk pertumbuhan diatom terdiri dari unsur makro, yaitu N, P, K, C, S, Si, dan Mg serta unsur hara mikro, yaitu Zn, Cu, Mn, Co, Na, dan Bo. Kandungan unsur hara yang terdapat pada media pupuk pertanian sudah dapat dikatakan lengkap karena dalam pernyataan Buckman dan Brady (1982),
bahwa dalam urea, ZA, dan TSP mengandung unsur N, P, dan K yang merupakan unsur yang harus tersedia dalam kultur mikroalga terutama N dan P yang biasanya tersedia dalam bentuk nitrat dan fosfat.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa unsur N yang berikatan dengan unsur H lebih mudah diurai dibandingkan dengan yang berikatan dengan unsur O. Pada pupuk pertanian unsur N didapat dari pupuk urea [(NH2)2CO] dan ZA (NH4SO4). Kedua senyawa tersebut memiliki N yang berikatan dengan unsur H, sedangkan pada pupuk Conwy didapat dari NaNO3 dimana unsur N berikatan dengan unsur O. Unsur P di pupuk pertanian didapat dari pupuk TSP [Ca(H2PO4)], sedangkan pada pupuk
156 Muhammad Kamal Fakhri Sofyan, Sukaya Sastrawibawa dan Zahidah Hasan
Conwy didapat dari NaH2PO4.2H2O. Pada pupuk TSP, reaksi kimianya lebih sederhana dibandingkan dengan pupuk Conwy sehingga unsur P pada TSP lebih cepat untuk diurai.
Laju Pertumbuhan Harian
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa laju pertumbuhan harian C. gracilis yang dikultur dengan pupuk Conwy tidak berbeda nyata dengan penggunaan pupuk urea dosis 20 mg/l dan 30 mg/l, tetapi
berbeda nyata dengan penggunaan pupuk urea dosis 40 mg/l dan 50 mg/l, sedangkan pada penggunaan dosis urea 20 mg/l berbeda nyata dengan penggunaan dosis urea 30, 40, dan 50 mg/l. Meski hasil statistik menyatakan tidak berbeda nyata, pemberian pupuk Conwy dan pupuk pertanian berpengaruh terhadap laju pertumbuhan harian C. gracilis sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Pengaruh Komposisi Pupuk Terhadap Laju Pertumbuhan Harian C. gracilis (sel/mL/hari) pada Saat Puncak Populasi
Perlakuan Laju Pertumbuhan Harian (sel/ml/hari)
A 0,2181 ab
B 0,1850 a
C 0,2365 bc
D 0,2402 c
E 0,2457 c
Keterangan : Nilai rata – rata yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 5%.
Hasil perhitungan rata – rata laju pertumbuhan harian C. gracilis menunjukkan bahwa penggunaan dosis urea 50 mg/l mempunyai laju pertumbuhan harian tertinggi, sedangkan yang terendah adalah penggunaan dosis urea 20 mg/l (Tabel 3). Pengaruh tersebut disebabkan oleh kemampuan sel dalam menyerap hara yang terdapat di media kultur. Hal ini sangat berhubungan dengan kecepatan pupuk dalam menguraikan unsur – unsur haranya.
Menurut Suriawiria (1986), bahwa tidak semua bahan yang telah tersedia secara langsung dapat diserap dan dipergunakan oleh sel. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ada beberapa persyaratan untuk menentukan bahan – bahan pembuatan pupuk, yaitu bentuk bahan, sifat bahan, konsentrasi bahan, enzim, dan lingkungan yang menyertainya.
Waktu Generasi
Pertumbuhan populasi biasanya terjadi secara eksponensial, yang berarti setelah sel membelah menjadi 2 anak sel, dan masing – masing anak sel kemudian membelah lagi menjadi 2 dan seterusnya.
Biasanya, kecepatan pertumbuhan eksponensial dinyatakan dalam waktu
generasi, yaitu waktu yang dibutuhkan oleh suatu populasi sel untuk bertambah jumlahnya menjadi 2 kalinya (Fardiaz, 1992). Lebih lanjut dijelaskan bahwa perbedaan dalam sifat – sifat sel suatu
organisme dan mekanisme
pertumbuhannya menyebabkan perbedaan dalam kecepatan pertumbuhan rata – rata, sedangkan pertumbuhan populasi ditentukan oleh kemampuan genetik dari anggota populasi itu.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa waktu generasi C. gracilis pada perlakuan A (Conwy) tidak berbeda nyata dengan perlakuan C (30 mg/l) dan perlakuan D (40 mg/l), tetapi berbeda nyata dengan perlakuan B (20 mg/l) dan perlakuan E (50 mg/l, sedangkan perlakuan C dan D tidak berbeda nyata dengan perlakuan E. Perbedaan dosis tersebut berpengaruh terhadap waktu generasi C.
gracilis. Hasil perhitungan rata – rata waktu generasi C. gracilis menunjukkan bahwa penggunaan dosis urea 50 mg/l mempunyai waktu generasi tercepat, yaitu 68,29 jam, sedangkan yang terendah adalah penggunaan dengan dosis urea 20 mg/l, yaitu 90,8109 jam (Tabel 4).
157 Pengaruh penggunaan pupuk urea dengan dosis berbeda terhadap kepadatan sel
Tabel 4. Pengaruh Media Pupuk Terhadap Waktu Generasi C. Gracilis (Jam) Pada Saat Puncak Populasi
Perlakuan Waktu Generasi (jam)
A 77,2365 bc
B 90,8109 d
C 70,8920 abc
D 70,0756 ab
E 68,2900 a
Keterangan : Nilai rata – rata yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%.
Pada media Conwy, waktu generasinya lebih lama dibandingkan dengan media pupuk pertanian pada perlakuan C, D, dan E. Hal ini dikarenakan unsur hara yang terkandung dalam media Conwy membutuhkan waktu yang lebih lama dalam proses penguraian dibandingkan dengan pupuk pertanian. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suriawiria (1986), bahwa kecepatan pertumbuhan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu biologis (bentuk dan sifat jasad) dan nonbiologis (nutrien dalam media, suhu, cahaya, oksigen, dan lain – lain). Dhoe (1997), mengemukakan bahwa dengan kondisi unsur hara yang cukup akan terjadi pembelahan sel dengan cepat diikuti dengan pembentukkan autospora yang menyebabkan bentuk selnya baik dan relatif besar.
Kualitas Air dan Intensitas Cahaya
Parameter air yang diamati pada penelitian ini dilakukan meliputi suhu, DO, pH, salinitas, amoniak, nitrat, dan fosfat.
Setiap parameter diamati 2 kali, yaitu pada saat awal penelitian dan akhir penelitian, sedangkan untuk intensitas cahaya dilakukan 1 kali pada saat awal penelitian.
Hasil pengukuran suhu berkisar antara 25 – 26 0C. Hal ini sesuai dengan pernyataan Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), bahwa kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan fitoplankton adalah antara 25 – 320C.
Hasil pengukuran DO selama penelitian berkisar 5,50 – 5,86 mg/L.
Kisaran ini sesuai dengan standar mutu air laut untuk budidaya, yaitu > 5 mg/L (Dhoe dkk., 2002). Pada akhir penelitian terjadi penurunan DO, karena pada akhir penelitian jumlah sel C. gracilis meningkat sehingga kebutuhan oksigen pun makin tinggi yang mengakibatkan penurunan DO.
Hasil pengukuran pH selama penelitian berkisar 8,04 – 8,16. Kisaran ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sugianto (2010), bahwa kisaran pH optimum untuk Chaetoceros sp. adalah antara 7 – 9. Penurunan pH terjadi diduga akibat adanya CO2 bebas dari sistem aerasi menjadi HCO3- untuk proses fotosintesis melalui enzim carbonic anhydrase yang terdapat pada permukaan sel, dan mikroalga pengguna CO2 memiliki enzim di dalam selnya (Miyachi dkk., 1983 dalam De La Houe dan De Pauw, 1988). Sementara dalam Wikipedia (2011), terjadi penurunan pH dikarenakan pupuk ZA mengandung ion sulfat yang mudah larut dalam air, sedangkan ion amonium lebih lemah sehingga pupuk pertanian ini berpotensi menurunkan pH air yang terkena aplikasinya. Reaksi kimianya adalah : NH4SO4 + H2O NH4OH + H2SO4
Hasil pengukuran salinitas selama penelitian berada pada kisaran 27 – 29‰.
Perubahan salinitas selama penelitian masih dalam kisaran normal untuk mendukung pertumbuhan C. gracilis. Hal ini sesuai dengan pernyataan Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), bahwa C. gracilis mempunyai toleransi terhadap kisaran salinitas yang lebar, yaitu 6 – 50 ‰, sedangkan kisaran salinitas 17 – 30 ‰ merupakan salinitas yang optimal untuk pertumbuhannya. Pada akhir penelitian, terjadi kenaikkan salinitas sebesar 1 – 2 ‰.
Hal ini dikarenakan adanya pemekatan yang disebabkan oleh proses penguapan sehingga mengakibatkan peningkatan salinitas.
Hasil pengukuran kandungan nitrat selama penelitian berada pada kisaran 0,013 – 4,1 mg/L. Semakin tinggi kandungan nitrat akan merangsang pertumbuhan fitoplankton sebagai
158 Muhammad Kamal Fakhri Sofyan, Sukaya Sastrawibawa dan Zahidah Hasan
konsumen utama zat hara ini, yang nantinya akan meningkatkan kandungan klorofil (Brotowidjoyo dkk., 1995). Pada akhir penelitian, kandungan nitrat mengalami penurunan. Pada perlakuan A mengalami penurunan sebanyak 2,242 mg/L, sedangkan perlakuan B, C, D, dan E berturut – turut 0,374, 0,377, 0,382, dan 0,399 mg/L. Penurunan ini terjadi karena adanya penyerapan unsur nitrat oleh sel C.
gracilis untuk melakukan pembelahan sel.
Hasil pengukuran kandungan fosfat selama penelitian berada pada kisaran 0,01 – 3,47 mg/L. Hasil ini sesuai dengan yang dikemukakan Illahude dkk. (1997), bahwa kandungan optimum fosfat pada fitoplankton berkisar 0,27 - 5,51 mg/L. Pada akhir penelitian, kandungan fosfat mengalami penurunan. Pada perlakuan A mengalami penurunan sebanyak 1,696 mg/L, sedangkan perlakuan B, C, D, dan E berturut – turut 0,246, 0,164, 0,198, dan 0,19 mg/L. Sama halnya dengan penurunan yang terjadi pada nitrat, penurunan ini terjadi karena adanya penyerapan unsur fosfat oleh sel C. gracilis untuk melakukan pembelahan sel.
Hasil pengukuran kandungan amoniak selama penelitian berada pada kisaran 0,112 – 0,384 mg/L. Pada akhir penelitian terjadi kenaikan kandungan amoniak yang disebabkan oleh proses metabolisme dari sel C. gracilis. Selain itu, pada saat fase kematian kandungan
amoniak mengalami peningkatan karena banyak sel yang mati.
Cahaya diperlukan untuk melakukan proses fotosintesis. Hasil pengukuran intensitas cahaya pada penelitian ini adalah 5.320 lux. Hasil ini sesuai dengan yang dikemukakan Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), bahwa intensitas sebesar 500 – 10.000 lux akan memberikan laju pertumbuhan fitoplankton yang maksimum.
Kandungan Klorofil
Kandungan klorofil pada akhir penelitian berkisar 2,17 – 5,18 (µg/l) sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 5.
Kandungan klorofil tertinggi didapat pada penggunaan pupuk Conwy, karena unsur – unsur hara yang terdapat pada pupuk Conwy lengkap, yaitu terdapat unsur hara makro dan mikro. Selain itu, di dalam pupuk Conwy sudah terdapat unsur Fe yang diserap dalam jumlah yang cukup yang memiliki fungsi sebagai pembentuk klorofil, sedangkan pada pupuk pertanian hanya terdapat unsur hara makro. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Sediadi dan Edward (1998), bahwa unsur nitrat dan fosfor yang terkandung dalam air merupakan nutrien utama bagi fitoplankton yang nantinya akan menghasilkan klorofil.
Pada penggunaan pupuk pertanian, kandungan klorofil tertinggi didapat pada penggunaan dosis urea 30 mg/L.
Tabel 5. Hasil Pengamatan Kandungan Klorofil
Perlakuan Kandungan Klorofil (µg/L)
A 5,18
B 2,66
C 2,99
D 2,17
E 2,33
Kandungan klorofil tertinggi didapat pada penggunaan pupuk Conwy, karena unsur – unsur hara yang terdapat pada pupuk Conwy lengkap, yaitu terdapat unsur hara makro dan mikro. Selain itu, di dalam pupuk Conwy sudah terdapat unsur Fe yang diserap dalam jumlah yang cukup yang memiliki fungsi sebagai pembentuk klorofil, sedangkan pada pupuk pertanian hanya terdapat unsur hara makro. Hal ini sesuai
dengan yang dikemukakan Sediadi dan Edward (1998), bahwa unsur nitrat dan fosfor yang terkandung dalam air merupakan nutrien utama bagi fitoplankton yang nantinya akan menghasilkan klorofil.
Pada penggunaan pupuk pertanian, kandungan klorofil tertinggi didapat pada penggunaan dosis urea 30 mg/L.
Pada penggunaan pupuk pertanian, hasil penelitian menujukkan perlakuan C
159 Pengaruh penggunaan pupuk urea dengan dosis berbeda terhadap kepadatan sel
memiliki kandungan klorofil lebih besar dibandingkan dengan perlakuan E yang dosis ureanya lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan C. Hal ini dikarenakan pada perlakuan E kepadatan populasinya lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan C, sehingga semakin padat populasi sel maka semakin banyak pula kebutuhan DO.
Kandungan DO pada perlakuan E lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan C.
Kemungkinan hal ini yang menyebabkan proses nitrifikasi pada perlakuan E lebih lambat dibandingkan perlakuan C, sehingga proses nitrifikasi perlakuan C lebih optimal dan kandungan nitratnya lebih baik sehingga menghasilkan kandungan klorofil yang lebih baik.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat adanya perbedaan pada Chaetoceros gracilis yang dikultur dengan pupuk Conwy dan pupuk pertanian. Penggunaan dosis urea pada konsentrasi 50 mg/l secara signifikan menghasilkan kepadatan sel Chaetoceros gracilis tertinggi, yaitu 2800 x 103 sel/ml mendekati pupuk Conwy, yaitu 2888,4 x 103 sel/ml
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, saran yang dapat diajukan adalah digunakan dosis urea 50 mg/l untuk mendapatkan kepadatan maksimum C.
gracilis. Perlu dilakukan analisis proksimat agar diketahui kualitas sel C. gracilis yang dikultur dengan media Conwy dan pupuk pertanian.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, T. M. 2008. Pengaruh Cahaya Terhadap Senyawa Antibakteri dari C. gracilis. Skripsi. IPB.
Alianto. 2006. Produktivitas Primer Fitoplankton dan Keterkaitannya Dengan Unsur Hara dan Cahaya Di Perairan Teluk Banten. Tesis. IPB.
Aslianti, T. S. R. 1986. Pengaruh Zat Perangsang Tumbuh terhadap Kepadatan Tetraselmis chuii di
Laboratorium. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai Maros, hlm 108- 112.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 1985. Budidaya Phytoplankton. Seri ke sembilan.
Sebuah Kerjasama antara Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Sub Balai Penelitian Budidaya Pantai Bojonegara dengan Japan International Cooperation Agency (JICA). Serang, Banten.
Balai Budidaya Laut Lampung. 2002.
Budidaya Fitoplankton dan Zooplankton. Dirjen Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan.
Brotowidjoyo, D. M., Triwibowo, Eko, M.
1995. Pengantar Lingkungan Perairan dan Budidaya Air. Liberty, Yogyakarta.
Buckman, H. O. dan N. C. Brady. 1982.
Ilmu Tanah. Bharata Karya Aksara.
Jakarta. 531 hlm.
De La Noue, J. dan N. De Pauw. 1988. The Potential Microalgal Biotechnology : A Review of Production and Uses of Microalgae. Journal of Biotechnology Advances. Vol 6.
Pergemon Press. Britain.
Dhoe, S. B. 1997. Pengaruh Beberapa Macam Media Pupuk terhadap Pertumbuhan Phytoplankton Chlorella sp. pada Kondisi Laboratorium. Skripsi. Sekolah Tinggi Pertanian Surya Dharma.
Lampung.
Dhoe, S. B., N. Dwiyanti, dan S. Sudjiharno.
2002. Persyaratan Budidaya Fitoplankton. Seri Budidaya Laut No.
9. Budidaya Laut Lampung, Departemen Kelautan dan Perikanan. Dirjen Budidaya Lampung.
Dwijoseputro, D. 1986. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: Gramedia
160 Muhammad Kamal Fakhri Sofyan, Sukaya Sastrawibawa dan Zahidah Hasan
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air, Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta:
Kanisius. hlm 145-166.
Erlina, A dan W. Hastuti. 1986. Kultur Plankton. Dirjen Perikanan. Manual seri, no. 31, 1986.
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Fay, P. 1983. The Blue Green (Cyanophyta
– Cyanobacteria). Studies in Biology. Institut of Biology. Bogor. 88 hlm.
Fogg, G. E. 1975. Algae Culture and Phytoplankton Ecology. 2nd Ed.
Wisconsin: The University of Wisconsin Press. 175 pp.
Gasperz, V. 1995. Teknik Analisis dalam Perancangan Percobaan Edisi I.
Tarsito. Bandung. 623 hlm.
Golterman, H. L. 1975. Development In Water Science. An Approach to the Physiology of Lake Ecosystems.
U.S.A: Universiy of Illinois Urbana.
Hadioetomo, R. S. Imas, T. S. S.
Tjitrosomo, dan S. L. Angka. 1986.
Dasar-Dasar Mikrobiologi I. UI – Press. Jakarta.
Hakim, N., Y. Nyakpa, A. M Lubis, S. G Nugroho, A. Dika B. H. Go dan H. H Bailey. 1986. Dasar – dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. 212 hal.
Hindarti, D. 2008. Uji Toksisitas Sedimen Dengan Diatom Planktonik, C.
gracilis. Indonesia Institut of Sciences (LIPI). Pusat Penelitian Oseanografi. Jakarta.
Hutagalung, H. P., D. Setiapermana dan S.
H. Riyono. 1997. Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan Biota. Buku 2.
P3O LIPI. Jakarta.
Ilahude, A. G., D. P. Praseno, O. H. Arinardi dan A. Nontji .1975. Peta
Oseanografi Hasil Pelayaran Selama Pelita I (1969-1974). Atlas Oseanoligi Perairan Indonesia dan Sekitarnya. Buku No. 2, LIPI:1-483.
Isnansetyo, A dan Kurniastuty. 1995.
Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton. Kanisius. Yogyakarta.
Kurniastuty dan Julinasari. 1995.
Pertumbuhan Alga Dunaliella sp.
Pada Media Kultur Yang Berbeda dalam Skala Massal (Semi Outdoor).
Buletin Budidaya Laut Nomor 9.
Balai Budidaya Laut. Lampung.
Kurniawati, A. R. 2006. Peningkatan Produktivitas Kultur Diatom C.
amami Melalui Optimasi Rasio N : P : Si. Tesis. ITB.
Jorgensen, E. G. 1997. Photosyntesis.
University of California Press.
Berkeley, California. pp 150-168.
Lingga, P. 1994. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Jakarta: Penebar Swadaya.
57 hlm.
Mc Vey, J. P. 1983. CRC Handbook of Mariculture Vol I Crustacean Aquaculture. CRC Series in Marine Science. In Moore. J. P. (Eds). Boca Raton: CRC. Press Inc.
Nontji, A. 2008. Plankton Laut. Indonesia Institut of Sciences (LIPI). Pusat Penelitian Oseanografi. Jakarta. hal 85-91.
Parsons, T. R., Y. Maita, dan C. M. Lalli.
1989. A Manual of Chemical and Biological Methods for Seawater Analysis. Pergamon Press.
Pelczar, M. J. Jr., E. S. C. Chan, and N. R.
Krieg. 1986. Microbiology. Fifth Edition. Singapore. 345 pp.
Poedjiadi, A. dan F. M. T. Supriyanti. 2006.
Dasar – Dasar Biokimia. Jakarta: UI Press. 476 hlm.
Priyanto, E. 1999. Pengaruh Beberapa Dosis Media Pupuk EDTA terhadap
161 Pengaruh penggunaan pupuk urea dengan dosis berbeda terhadap kepadatan sel
Pertumbuhan Phytoplankton Chlorella sp. Pada Kondisi Laboratorium. Skripsi. Sekolah Tinggi Pertanian Surya Dharma.
Lampung.
Roels, O. A., S. Laurence, M. W. Farmer and L. Van Hemelryek. 1978.
Organic Production Potential of Artificial Upwelling Marine Culture.
Process Biochemistry, Feb. Vol: 12 (2).
Rusyani, E. 2001. Pengaruh Dosis Zeolit Yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Isochrysis galbana klon Tahiti Skala Laboratorium dalam Media Komersil. Skripsi.
Institut Pertanian Bogor.
Sachlan, M. 1980. Planktonologi Edisi I.
Diktat Kuliah. Universitas Diponogoro. Semarang. 130 hlm.
Schwoerbel, J. 1987. Handbook of Limnology. Ellis Horwood Series in Water and Wastewater Technology.
Chichester: Halsted Press
Sediadi, A. dan Edward. 1998. Kandungan Klorofil-a Fitoplankton di Perairan Pulau – Pulau Lease Maluku Tengah. Indonesia Institut of Sciences (LIPI). Puslitbang Oseanologi. Jakarta. Hal 2-7.
Setiapermana, D. 2004. Laporan Akhir.
Studi Budget Air, Garam, dan Nutrien Perairan Teluk Klabat. Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI.
Jakarta: 107 – 117.
Standar Nasional Indonesia. 2002. Pupuk Amonium Sulfat. Badan Standarisasi Nasional: SNI 02-1760-90.
Stewart, W. D. P. 1974. Algal Physiology and Biochemistry. University of California Press. Barkeley. pp 560- 582.
Stottrup, J. G. and L. A. McEvoy. 2003. Live Feeds in Marine Aquaculture.
Blackwell Publishing Company.
Oxford. 318 pp.
Suantika, G., P. Adityawati, D. I. Astuti, dan Y. Sofyan. 2009. Pengaruh Kepadatan Awal Inokulum terhadap Kualitas Kultur C. gracilis (Schütt) Pada Sistem Batch. Jurnal Matematika dan Sains, 14 (1): 1 – 8.
Sugianto. 2010. Pertumbuhan C. amami dengan Berbagai Komposisi Pupuk Pertanian pada Skala Semi – massal. Skripsi. Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Surya Dharma. Lampung.
Suriadnyani, N.N, 2004. Teknik Kultur Fitoplankton Secara Tradisionaal.
Buletin
Teknik Litkayasa Akuakultur Vol.3 no.2: 21-25
Suriawiria, U. 1986. Mikrobiologi. Karunika.
Jakarta. 48 hlm.
Villegas and M. De La Pena. 1986. Role Screening and Culture of Natural Food Organism. Training and Extension Aquaculture Department.
Tigbaoan. Iloilo: Southeast Asian Development Center.
Wikipedia. 2011. TSP.
http://en.wikipedia.org/wiki/Triple_su perphosphate (Diakses 2 Januari 2011)
Wikipedia. 2011. Urea.
http://id.wikipedia.org/wiki/Urea (Diakses 2 Januari 2011) Wikipedia. 2011. ZA.
http://id.wikipedia.org/wiki/Za (Diakses 2 Januari 2011)
Winarti. 2003. Pertumbuhan Spirulina plantensis yang Dikultur Dengan Pupuk Komersial (Urea, TSP, dan ZA) dan Kotoran Ayam. Skripsi.
Institut Pertanian Bogor. 42 hlm.
Windiyani. 1985. Pengaruh Berbagai Tingkat Intensitas Cahaya terhadap Pertumbuhan Populasi Skeletonema costatum. Skripsi. Universitas Dipenogoro.