12 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Keagenan
Penelitian ini didasarkan pada teori keagenan yang menjelaskan pola hubungan antara agent serta principal. Menurut Jensen dan Meckling (1976) hubungan keagenan adalah kesepakatan yang dilakukan antara principal dengan agent, dimana agent mewakili kepentingan principal dalam pengambilan
keputusan sesuai dengan kewenangannya.
Agency Theory juga bisa digunakan dalam public sector. Negara yang
demokrasi mempunyai ikatan keagenan antara masyarakat dan pemerintah, serta hubungan antara pemda dan pusat. Pemerintah pusat memberi kewenangan kepada pemda, dan pemda juga wajib mempertanggungjawabkan kewajibannya terhadap pusat. Selain itu, pemda juga wajib meningkatkan kesejahteraannya (Zelmiyanti, 2016). Dengan kata lain, pusat memberikan wewenang kepada pemda sebagai daerah otonom.
Arifianti, Payamta, dan Sutaryo (2013) menambahkan bahwa dalam proses otorisasi ada hubungan antara masyarakat/principal dan pemerintah/agent, antara legislatif/principal dan pemda/agent, serta antara masyarakat/principal dan legislatif/agent. Kepentingan yang berbeda dari setiap peran dapat menimbulkan konflik yang disebut konflik keagenan.
commit to user
2.1.2 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ialah rencana keuangan tahunan pemda yang dibahas serta disetujui bersama oleh pemda dengan DPRD, serta ditetapkan dengan peraturan daerah. Pada Pasal 21 Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 dapat diketahui bahwa APBD ialah dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa satu tahun anggaran terhitung mulai 1 Januari-31 Desember.
Komponen APBD terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah, serta pembiayaan daerah. Selanjutnya, Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dijelaskan dalam Pasal 183 bahwa perubahan APBD bisa dilakukan apabila terjadi perkembangan yang tidak sejalan dengan asumsi kebijakan APBD, kondisi yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja, serta kondisi yang menyebabkan SiLPA tahun sebelumnya harus dipakai untuk pembiayaan dalam tahun anggaran berjalan.
2.1.3 Teori Flypaper Effect
Iskandar (2012) menyebutkan bahwa flypaper effect ialah suatu keadaan stimulus pada belanja daerah yang diakibatkan oleh terjadinya perubahan pada jumlah transfer dari pemerintah pusat lebih besar dari yang diakibatkan oleh perubahan pada PAD. Istilah flypaper effect itu sendiri menurut Dollery dan Worthington (1995) dikembangkan oleh Courant, Gramlich, Rubinfield, dan Oates pada tahun 1979 yang menjelaskan bahwa politisi dan birokrat memaksimalkan anggaran menggunakan pendapatan hibah (transfer) untuk
commit to user
memperluas pengeluaran publik dari pada menggunakan pendapatan daerahnya, baik secara langsung melalui potongan maupun tidak langsung melalui pengurangan pajak.
Hamilton (1983) pun menjelaskan flypaper effect sebagai hibah tak terbatas pada daerah-daerah yang diperoleh dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi, dimana hibah tersebut melekat di tempat mereka mendarat sehingga daerah- daerah lebih bergantung kepada dana hibah dari pada pendapatan lokalnya.
Dengan demikian, flypaper effect ialah suatu keadaan dimana pemda mengeluarkan belanja lebih besar serta lebih boros dengan memanfaatkan dana transfer dibandingkan dengan menggunakan dana lokal atau pendapatan asli daerah.
2.1.4 Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan Asli Daerah (PAD) ialah pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan Perda sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan (Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004). Kang dan Setyawan (2012) menambahkan bahwa PAD ialah salah satu sumber yang harus dipertahankan guna memacu pertumbuhan. Pada era otonomi, pemda dituntut lebih berdaulat baik dalam pembiayaan pembangunan daerah maupun peningkatan pelayanan masyarakat, sehingga peningkatan pertumbuhan investasi di daerah menjadi salah satu prioritas utama, karena dapat berdampak positif bagi peningkatan perekonomian nasional.
commit to user
Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 PAD bersumber dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, serta lain-lain PAD yang sah. Selanjutnya, lain-lain PAD yang sah itu sendiri terdiri dari hasil penjualan kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, serta komisi, potongan, maupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan barang atau jasa oleh Daerah.
2.1.5 Intergovernmental Revenue
Intergovernmental Revenue atau yang biasa disebut Dana Perimbangan ialah
dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
Dana Perimbangan terdiri dari DBH, DAU, serta DAK (Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004).
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (2006) dalam Iskandar (2012) menambahkan bahwa transfer atau dana perimbangan dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu unconditional grant serta conditional grant.
Unconditional grant digunakan untuk memastikan kemampuan fiskal antardaerah
menjadi rata, sehingga setiap daerah dapat melakukan urusan daerahnya sendiri pada tingkat yang layak. Sedangkan conditional grant ditujukan untuk kebutuhan yang dianggap penting oleh pusat namun kurang dianggap penting oleh pemda.
DAU dan DBH termasuk dalam unconditional grant, sedangkan DAK termasuk dalam conditional grant.
commit to user
Berikut merupakan definisi serta klasifikasi dari komponen dana perimbangan:
a. Dana Bagi Hasil (DBH)
Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 DBH ialah dana yang berasal dari pendapatan APBN yang diberikan kepada pemda berdasarkan persentase tertentu guna mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Selanjutnya, DBH dapat bersumber dari pajak serta sumber daya alam. Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak sebagaimana dimaksud terdiri dari PBB, BPHTB, serta PPh Pasal 25/29 dan PPh Pasal 21.
Sedangkan DBH yang bersumber dari SDA sebagaimana dimaksud berasal dari kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, serta pertambangan panas bumi.
b. Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana Alokasi Umum ialah dana yang berasal dari pendapatan APBN yang diberikan agar kemampuan keuangan antar daerah semakin rata di setiap daerah dan untuk memadai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004). Pengalokasian DAU ini diberikan untuk Pemprov, Pemkab, serta Pemkot. Dimana keseluruhan jumlah DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri Neto.
Kusumadewi dan Rahman (2007) menambahkan bahwa DAU memiliki peran dalam horizontal equalization yaitu dengan menutup celah fiskal yang ada di antara kebutuhan fiskal serta potensi ekonomi daerah. Dengan demikian,
commit to user
kebutuhan DAU suatu daerah ialah selisih antara kebutuhan daerah dengan potensi pendapatan daerah, sehingga besaran DAU tiap daerah tidak akan sama. Daerah dengan PAD yang sedikit akan memperoleh jumlah DAU yang lebih besar, sedangkan daerah dengan PAD yang tinggi akan memperoleh DAU yang lebih sedikit (Kang dan Setyawan, 2012).
c. Dana Alokasi Khusus (DAK)
Dana Alokasi Khusus ialah dana yang berasal dari pendapatan APBN yang diberikan kepada daerah tertentu yang bertujuan untuk membantu pendanaan kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah serta sesuai dengan prioritas nasional (Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004). Kang dan Setyawan (2012) menambahkan bahwa daerah berkapasitas keuangan rendah (di bawah rata-rata kapasitas nasional) akan diprioritaskan sebagai domain DAK.
Selanjutnya, Kriteria DAK terdiri dari kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Kemudian, daerah yang menerima DAK harus menyediakan dana pendamping minimal 10% dari DAK yang diterima, tetapi bagi daerah dengan kemampuan fiskal tertentu tidak diwajibkan. Selain itu, DAK tidak dapat digunakan untuk mendanai administrasi kegiatan, penyiapan kegiatan fisik, riset, training, serta perjadin.
2.1.6 Keselarasan Partai Politik
Dixit dan Londregan (1998) mengemukakan hipotesis swing voters, dimana pemerintah tingkat pusat ditunjukkan mempunyai insentif untuk mengalokasikan
commit to user
dana yang lebih besar kepada provinsi ataupun negara bagian yang memiliki banyak penduduk yang secara khusus tidak terikat dengan partai tertentu. Lain hal dengan Cox dan McCubbins (1986) yang mengajukan hipotesis core supporters, dimana pemerintah pusat dipercaya bersifat risk averse, sehingga dana alokasi akan lebih difokuskan kepada negara bagian ataupun provinsi dimana penduduknya secara jelas tergabung dengan partai yang berkuasa di tingkat pusat.
Bracco et al. (2015) menyajikan teori baru tentang hibah antar pemerintah diskresioner, berdasarkan model principal-agent dari pemerintah multilevel dengan partai politik. Dalam teori tersebut, hibah adalah sinyal, bukan suap, seperti dalam teori ekonomi politik standar tentang hibah oleh Cox dan McCubbins (1986) serta Dixit dan Londregan (1998). Secara khusus, hibah yang lebih tinggi meningkatkan penyediaan barang publik lokal atau belanja daerah, dan yang terakhir menandakan kemampuan pertahana lokal yang lebih tinggi kepada para pemilih. Dengan asumsi bahwa pemerintah pusat peduli dengan keuntungan pemilu dari pertahana yang selaras secara politik, hal ini memberikan insentif bagi pusat untuk menyumbang ke Kabupaten/Kota dengan pertahana yang selaras. Dengan melakukan hal tersebut, pusat meningkatkan sinyal untuk pertahana yang selaras, sehingga meningkatkan kemungkinan mereka untuk terpilih kembali. Bagi Kabupaten/Kota yang tidak selaras secara politik dengan pusat, efeknya akan bekerja sebaliknya. Hibah yang lebih rendah melemahkan sinyal kualitas untuk pertahana yang tidak selaras, sehingga meningkatkan peluang penantang untuk terpilih dalam pemilihan kepala daerah. Dengan
commit to user
demikian, flypaper effect dapat diidentifikasi dengan instrumen hibah dengan status keberpihakan pemerintah daerah.
2.1.7 Belanja Daerah
Belanja Daerah ialah seluruh kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih pada tahun anggaran yang bersangkutan, dimana dimanfaatkan untuk mendanai urusan pemerintah dalam rangka memberikan pelayanan umum kepada masyarakat.
Selama proses pemberian layanan umum tersebut, pemda perlu melakukan suatu pengeluaran yang disebut Belanja Daerah. Belanja ini dapat diartikan sebagai pengeluaran pemerintah pada periode yang bersangkutan (Al Khoiri, 2015), sehingga belanja daerah merupakan pengeluaran daerah yang digunakan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Selanjutnya, Belanja Daerah dibagi dua yaitu belanja tidak langsung yang terdiri dari belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah, bansos, belanja bagi hasil, bantuan keuangan, serta belanja tidak terduga, dan belanja langsung yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, serta belanja modal.
2.2 Penelitian Terdahulu
Berdasarkan Lampiran 1, di banyak negara penelitian terdahulu terkait flypaper effect telah dilakukan oleh banyak peneliti baik dari dalam negeri
maupun luar negeri. Penelitian dari luar negeri misalnya di India dilakukan oleh Lalvani (2002) serta Karnik dan Lalvani (2008). Penelitian di Kolombia dilakukan
commit to user
oleh Melo (2002). Penelitian di Argentina dilakukan oleh Acosta (2010).
Penelitian di Mexico dilakukan oleh Cárdenas dan Sharma (2011) serta Abbott, Cabral, Jones, dan Palacios (2015). Penelitian di Italia dilakukan oleh Gennari dan Messina (2014) serta Bracco et al. (2015). Penelitian di Jepang dilakukan oleh Kakamu, Yunoue, dan Kuramoto (2014). Penelitian di Brazil dilakukan oleh Ferreira, Serrano, dan Revelli (2019), Cruz dan Silva (2020), serta Prado dan da Silva (2020). Sementara itu, penelitian di Taiwan dilakukan oleh Liu (2020).
Seluruh penelitian tersebut menghasilkan simpulan bahwa telah terjadi flypaper effect di negara-negara tersebut, karena negara-negara tersebut sangat bergantung
kepada dana transfer dari pusat, akibatnya negara-negara tersebut kurang mengembangkan potensi penerimaan daerahnya. Lain halnya dengan riset yang diteliti oleh Amusa, Mabunda, dan Mabugu (2008) di Afrika Selatan, Delgado dan Mayor (2011) di Spanyol, serta Thornton (2012) di Amerika Serikat. Penelitian mereka menghasilkan simpulan bahwa tidak terjadi fenomena flypaper effect di Afrika Selatan, Spanyol, dan Amerika Serikat. Hal ini dikarenakan dana transfer dari pemerintah pusat tidak memiliki pengaruh terhadap belanja daerah. Dengan kata lain Afrika Selatan, Spanyol, dan Amerika Serikat sudah memanfaatkan pendapatan asli daerahnya dengan cukup baik.
Penelitian terkait flypaper effect juga telah banyak dilakukan oleh peneliti dari dalam negeri, misalnya penelitian di Papua Barat dilakukan oleh Pentury (2011). Penelitian di Kalimantan Selatan dilakukan oleh Amalia, Nor, dan Nordiansyah (2015). Penelitian di Aceh dilakukan oleh Iskandar (2015).
Penelitian di Sulawesi dilakukan oleh Armawaddin, Rumbia, dan Afiat (2017).
commit to user
Penelitian di Jawa Timur dilakukan oleh Kusuma (2017). Penelitian di Jawa Tengah dilakukan oleh Subadriyah (2017). Penelitian di Pulau Bali dan Nusra dilakukan oleh Ansori dan Muthmainah (2018). Penelitian di Sulawesi dilakukan oleh Hapsoro dan Yoduke (2019) serta penelitian Fikri et al. (2020) di Jawa Timur. Selain itu, penelitian terkait flypaper effect juga pernah dilakukan pada seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Widarjono (2006), Kusumadewi dan Rahman (2007), Solikin (2016), Amalia (2017), serta Inayati dan Setiawan (2017). Seluruh penelitian tersebut menghasilkan simpulan bahwa telah terjadi fenomena flypaper effect di berbagai daerah tersebut. Lain halnya dengan riset yang diteliti oleh Iskandar (2012) dan Al Khoiri (2015) di Jawa Barat, Purbarini dan Masdjojo (2015) pada pemerintah Kota di Indonesia, serta Ekawarna (2017) di Jambi yang menyatakan bahwa tidak ditemukan adanya fenomena flypaper effect. Penelitian-penelitian dari dalam negeri tersebut menghasilkan simpulan yang berbeda-beda. Hal ini dikarenakan penelitian-penelitian tersebut tidak bisa disamaratakan pada setiap daerah yang ada di Indonesia karena masing-masing daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda, seperti dari aspek ekonomi, demografi, geografi, maupun keadaan politiknya. Sehingga berdasarkan Lampiran 1, perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu yaitu penelitian ini dilakukan di Pulau Jawa serta menambahkan variabel baru yaitu Keselarasan Partai Politik dimana variabel tersebut pertama kali dikembangkan dan digunakan oleh Bracco et al. (2015) di Italia, sehingga belum pernah diterapkan pada penelitian serupa di Indonesia.
commit to user
2.3 Kerangka Pemikiran
Gambar di bawah ini merupakan kerangka pemikiran yang akan dilakukan pada penelitian ini:
Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran
2.4 Perumusan Hipotesis
2.4.1 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Daerah Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu komponen pendapatan daerah yang diperoleh daerah sesuai dengan potensi yang ada di setiap daerah.
Kang dan Setyawan (2012) menambahkan bahwa PAD ialah salah satu sumber yang harus dipertahankan guna memacu pertumbuhan. Dengan demikian,
commit to user
pemerintah daerah diharapkan dapat mengelola Pendapatan Asli Daerahnya dengan baik.
Kusumadewi dan Rahman (2007), Solikin (2016), serta Fikri et al. (2020) memberikan simpulan bahwa PAD memiliki pengaruh positif terhadap Belanja Daerah. Semakin besar PAD, maka semakin besar dana yang bisa digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui Belanja Daerah. Dengan demikian, berarti pemerintah daerah sudah memanfaatkan Pendapatan Asli Daerahnya (PAD) dengan cukup baik. Di sisi lain, Widarjono (2006) serta Amalia et al. (2015) memberikan simpulan bahwa PAD tidak memiliki pengaruh terhadap Belanja Daerah, karena pemerintah daerah yang diteliti kurang mampu mengelola kekayaan daerahnya, sehingga potensi pendapatan daerah baik yang bersumber dari retribusi maupun yang bersumber dari pajak daerah kurang dikelola secara maksimal.
Berdasarkan kerangka pemikiran serta penelitian terdahulu, maka hipotesis pada penelitian ini ialah PAD berpengaruh positif terhadap belanja daerah.
Pasalnya, semakin besar nilai PAD yang diperoleh pemerintah daerah maka semakin besar pula dana yang dikeluarkan pemerintah daerah melalui Belanja Daerah. Dengan kata lain, peningkatan PAD pada pemerintah daerah berarti pemerintah daerah tersebut sudah cukup baik dalam memanfaatkan Pendapatan Asli Daerahnya, sehingga diperoleh hipotesis sebagai berikut:
H1: PAD berpengaruh positif terhadap Belanja Daerah.
commit to user
2.4.2 Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Belanja Daerah
Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan dana yang dialokasikan agar kemampuan keuangan antar daerah semakin rata di setiap daerah dan untuk memadai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Kusumadewi dan Rahman (2007) menjelaskan bahwa DAU memiliki peran dalam horizontal equalization yaitu dengan menutup celah fiskal yang ada di antara
kebutuhan fiskal serta potensi ekonomi daerah. Dengan demikian, kebutuhan DAU suatu daerah merupakan selisih antara kebutuhan daerah dengan potensi pendapatan daerah.
Kusumadewi dan Rahman (2007), Solikin (2016), Inayati dan Setiawan (2017), serta Fikri et al. (2020) memberikan simpulan bahwa DAU memiliki pengaruh positif terhadap Belanja Daerah, karena DAU pada dasarnya memiliki tujuan untuk mengembangkan kapasitas daerah dalam membiayai belanja daerah.
Ditambah lagi Ansori dan Muthmainah (2018) menjelaskan bahwa DAU mempunyai pengaruh yang paling tinggi dalam pengeluaran Belanja Daerah daripada PAD, DAK, dan DBH. Di sisi lain, Purbarini dan Masdjojo (2015) memberikan simpulan bahwa DAU tidak memiliki pengaruh terhadap salah satu komponen Belanja Daerah yaitu Belanja Modal, karena pemda yang diteliti memiliki celah fiskal yang kecil, sehingga daerah tersebut menerima Dana Alokasi Umum (DAU) yang sedikit. Dengan kata lain, daerah tersebut sudah cukup baik dalam mengelola potensi ekonomi yang dimilikinya.
Berdasarkan kerangka pemikiran serta penelitian terdahulu, maka hipotesis pada penelitian ini ialah DAU berpengaruh positif terhadap Belanja Daerah,
commit to user
karena semakin besar DAU yang diperoleh, maka semakin besar dana yang akan dikeluarkan oleh pemda melalui Belanja Daerah, sehingga diperoleh hipotesis sebagai berikut:
H2: DAU berpengaruh positif terhadap Belanja Daerah.
2.4.3 Pengaruh Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap Belanja Daerah Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan dana yang dialokasikan kepada daerah tertentu yang bertujuan untuk membantu pendanaan kegiatan khusus yang ada pada suatu daerah. Berdasarkan Pasal 60 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2005, DAK tidak bisa digunakan untuk mendanai administrasi kegiatan, penyiapan kegiatan fisik, riset, training, serta perjadin.
Ansori dan Muthmainah (2018) memberikan simpulan bahwa DAK memiliki pengaruh positif terhadap Belanja Daerah yang mengindikasikan bahwa perilaku Belanja Daerah dipengaruhi dari sumber penerimaan DAK. Penelitian tersebut sejalan dengan riset yang diteliti oleh Armawaddin et al. (2017) yang memberikan simpulan bahwa DAK memiliki pengaruh positif serta signifikan terhadap Belanja Daerah. Namun, pengaruh DAK terhadap Belanja Daerah tersebut sangat kecil dibandingkan dengan pengaruh dari PAD, DAU, serta DBH.
DAK yang berpengaruh positif berarti pemerintah daerah yang diteliti sedang memiliki program khusus yang akan dijalankan, besarnya akan berbeda-beda tiap daerah karena setiap daerah memiliki program kerjanya masing-masing. Di sisi lain, Ekawarna (2017) menghasilkan simpulan DAK tidak memiliki pengaruh terhadap Belanja Daerah. Pada riset Ekawarna tersebut PAD dan DAU lebih
commit to user
signifikan terhadap Belanja Daerah. Hal ini dikarenakan DAK hanya digunakan untuk membantu mendanai kegiatan khusus suatu daerah, jika suatu daerah hanya memiliki sedikit program khusus atau bahkan tidak memiliki program khusus maka akan berakibat menerima DAK yang lebih sedikit, sehingga tidak berpengaruh terhadap Belanja Daerah.
Berdasarkan kerangka pemikiran serta penelitian terdahulu, maka hipotesis pada penelitian ini ialah DAK berpengaruh positif terhadap Belanja Daerah, karena semakin besar DAK yang diperoleh, maka pemda akan mempunyai dana lebih untuk melakukan pengeluaran melalui Belanja Daerah, sehingga diperoleh hipotesis sebagai berikut:
H3: DAK berpengaruh positif terhadap Belanja Daerah.
2.4.4 Pengaruh Dana Bagi Hasil (DBH) terhadap Belanja Daerah
Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan dana yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Selanjutnya, DBH dapat bersumber dari pajak serta sumber daya alam.
Armawaddin et al. (2017), Inayati dan Setiawan (2017), Ansori dan Muthmainah (2018), serta Fikri et al. (2020) memberikan simpulan bahwa DBH memiliki pengaruh positif terhadap Belanja Daerah. Hal ini berarti daerah yang diteliti sudah mengelola pajak dan kekayaan sumber daya alam daerahnya dengan cukup baik, karena besaran DBH disesuaikan dengan prinsip by origin (daerah penghasil), sehingga daerah dengan penghasil pajak serta SDA yang lebih banyak
commit to user
akan memperoleh alokasi DBH yang lebih banyak pula. Di sisi lain, Ekawarna (2017) menghasilkan kesimpulan bahwa DBH tidak memiliki pengaruh terhadap Belanja Daerah. Hal tersebut dikarenakan daerah yang diteliti kurang mampu mengelola pajak dan potensi sumber daya alam daerahnya dengan baik, sehingga menyebabkan penerimaan DBH yang sedikit.
Berdasarkan kerangka pemikiran serta penelitian terdahulu, maka hipotesis pada penelitian ini ialah DBH berpengaruh positif terhadap Belanja Daerah, karena semakin tinggi DBH yang diterima, maka pemda akan mempunyai dana lebih untuk melakukan pengeluaran melalui Belanja Daerah, sehingga diperoleh hipotesis sebagai berikut:
H4: DBH berpengaruh positif terhadap Belanja Daerah.
2.4.5 Pengaruh Keselarasan Partai Politik terhadap Belanja Daerah
Bracco et al. (2015) menyajikan teori baru tentang hibah antarpemerintah, jika suatu pemerintahan di daerah secara politik selaras dengan partai yang berkuasa di pusat, pemerintah daerah tersebut akan diberi lebih banyak dana transfer dari pada pemerintah daerah yang tidak selaras. Selanjutnya pemerintah daerah menggunakan dana tersebut untuk menambah pembiayaan. Hal tersebut dikonfirmasi oleh Ferreira et al. (2019) serta Cruz dan Silva (2020) dimana dalam penelitiannya juga menggunakan variabel Keselarasan Partai Politik.
Berdasarkan kerangka pemikiran dalam penelitian tersebut, maka hipotesis dalam penelitian ini yaitu Keselarasan Partai Politik berpengaruh positif terhadap Belanja Daerah, karena pemda yang secara politik selaras dengan pemerintah
commit to user
pusat ada kemungkinan memiliki keistimewaan dengan mendapatkan dana transfer dari pusat yang lebih tinggi, dimana selanjutnya dana tersebut dipakai untuk meningkatkan belanja daerah pemerintahan tersebut, sehingga diperoleh hipotesis sebagai berikut:
H5: Keselarasan Partai Politik berpengaruh positif terhadap Belanja Daerah.
commit to user