• Tidak ada hasil yang ditemukan

UJI DETERIORASI KAYU DI KAWASAN MANGROVE PERCUT SEI TUAN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP SIFAT KIMIA KAYU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "UJI DETERIORASI KAYU DI KAWASAN MANGROVE PERCUT SEI TUAN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP SIFAT KIMIA KAYU"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

UJI DETERIORASI KAYU DI KAWASAN MANGROVE PERCUT SEI TUAN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP

SIFAT KIMIA KAYU

SKRIPSI

M. AKBAR MAULANA 131201172

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2018

(2)

SKRIPSI

Oleh:

M. AKBAR MAULANA 131201172

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2018

(3)

SKRIPSI

Oleh:

M. AKBAR MAULANA 131201172

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan

Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2018

(4)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Uji Deteriorasi Kayu Di Kawasan Mangrove Percut Sei Tuan Serta Pengaruhnya Terhadap Sifat Kimia Kayu.

Nama : M. Akbar Maulana

NIM : 131201172

Departemen : Teknologi Hasil Hutan

Disetujui oleh, Komisi Pembimbing

Dr. Iwan Risnasari, S.Hut., M.Si. Ridwanti Batubara, S.Hut., M.P.

Ketua Anggota

Mengetahui

Ketua Departemen Teknologi Hasil Hutan Arif Nuryawan, S.Hut., M.Si., Ph.D.

(5)

Mangrove Area and The Effect Towards Chemical Properties of Wood. Under Academic Supervision by IWAN RISNASARI and RIDWANTI BATUBARA.

The information from the wood resistance seen from the chemical properties of wood and the intensity of attacks in mangrove area has never existed before, this is the reason why this research should be done. Research purposes to evaluate 3 type of wood resistance from resin (Agathis dammara), mahogany (Swietenia macrophylla), meranti (Shorea sp.) which is used in the mangrove area. The method used is comparing woods control (without soaking) with woods that has been soaked for 6 months in the mangrove area. The research included identification of wood damaging organisms, wood resistance based on the intensity of the attacks and chemical properties of wood.

The resulted showed surface area reduced in three type woods causes by wood damaging organisms. The resin wood (Agathis dammara) and meranti (Shorea sp.) remain in class I and mahogany (Swietenia macrophylla) are in class II. Overall, the chemical properties of wood in these three types of wood experience a stable condition after soaking, but in mahogany (Swietenia macrophylla) suffered severe physical nor chemical damage.

Keywords: deterioration, soaking, mangrove, mahogany, meranti, resin, wood borer, wood chemistry.

(6)

Sei Tuan Serta Pengaruhnya Terhadap Sifat Kimia Kayu. Dibawah Bimbingan IWAN RISNASARI dan RIDWANTI BATUBARA.

Informasi dari ketahanan kayu yang dilihat dari sifat kimia kayu dan intensitas serangan di kawasan mangrove belum pernah ada sebelumnya, hal ini yang menyebabkan penelitian ini perlu dilakukan. Tujuan penelitian adalah untuk mengevaluasi 3 jenis ketahanan kayu damar (Agathis dammara), mahoni (Swietenia macrophylla), meranti (Shorea sp.) yang digunakan di lingkungan mangrove. Metode yang digunakan adalah membandingkan kayu - kayu kontrol (tanpa direndam) dengan kayu - kayu yang sudah direndam selama 6 bulan di kawasan mangrove. Penyelidikan meliputi identifikasi organisme perusak kayu, ketahanan kayu berdasarkan intensitas serangan dan sifat kimia kayu.

Hasil penelitian menunjukkan berkurangnya luas permukaan pada ketiga jenis kayu yang disebabkan oleh organisme perusak kayu. Kayu damar (Agathis dammara) dan meranti (Shorea sp.) tetap berada pada kelas I dan kayu mahoni (Swietenia macrophylla) berada pada kelas II. Secara keseluruhan sifat kimia kayu pada ketiga jenis kayu ini mengalami kondisi yang cukup stabil setelah direndam, namun pada kayu mahoni (Swietenia macrophylla) mengalami kerusakan fisik maupun kimia yang cukup parah.

Kata kunci: deteriorasi, perendaman, mangrove, mahoni, meranti, damar, penggerek kayu, sifat kimia kayu.

(7)

Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Adapun judul skripsi ini adalah “Uji Deteriorasi Kayu Di Kawasan Mangrove Percut Sei Tuan Serta Pengaruhnya Terhadap Sifat Kimia Kayu”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Iwan Risnasari, S.Hut., M.Si. dan Ibu Ridwanti Batubara, S.Hut., M.P. selaku komisi pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun diharapkan oleh penulis.

Medan, April 2018

Penulis

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... i

DAFTAR GAMBAR... iii

DAFTAR TABEL... iv

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Pengenalan Kayu Mahoni (Swietenia macrophylla King.) ... 4

Pengenalan Kayu Meranti ( Shorea spp. ) …. ... … 4

Pengenalan Kayu Damar (Agathis damara)...……... ... 5

Deskripsi Kawasan Mangrove Percut Sei Tuan ... . 5

Komponen Kimia Kayu ... 6

Selulosa……….. ... 7

Hemiselulosa……… ... 7

Lignin…….. . ... 8

Zat Ekstraktif ... 9

Abu... ... ... 9

Faktor Perusak Kayu ... 10

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat……. ... 14

Alat dan Bahan ... 14

Prosedur Penelitian ... 15

Persiapan Bahan Baku ... 15

Identifikasi Organisme Perusak Kayu ... 16

Pengujian Sifat Kimia ... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Organisme Perusak kayu... 23

Ketahanan Kayu Berdasarkan Intensitas Serangan 1. Damar ... 27

2. Meranti ... 28

3. Mahoni ... 29

Analisis Kimia Kayu 1. Lignin. ... 31

2. Selulosa ... 33

3. Hemiselulosa ... 35

4. Kelarutan NaOH 1% ... 37

5. Kelarutan Air Panas ... 38

6. Kelarutan Air Dingin... 40

7. Kadar Abu... ... 41

(9)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 43 Saran ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 44

(10)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1 Contoh Uji Ketahanan Terhadap Serangan di Mangrove ... 17

2 Skema Rangkaian Contoh Uji dalam Proses Perendaman ... 18

3 Organisme Teredo navalis(A) dan Taksonomi Teredo navalis(B)... 24

4 Teritip (Balanus sp)... 25

5 Damar Terserang Balanus sp... 28

6 Damar Terserang T. Navalis... 28

7 Meranti Terserang Balanus sp... 29

8 Meranti Terserang T. Navalis... 29

9 Mahoni Terserang Balanus sp... 30

10 Mahoni Terserang T. Navalis... 30

11 Grafik Rata-Rata Nilai Kandungan Lignin pada 3 Jenis Kayu... 31

12 Grafik Rata-Rata Nilai Kandungan Selulosa pada 3 Jenis Kayu... 33

13 Grafik Rata-Rata Nilai Kandungan Hemiselulosa pada 3 Jenis Kayu.. 35

14 Grafik Kadar Ekstrak pada Kelarutan NaOH 1%... 37

15 Grafik Kadar Ekstrak pada Kelarutan Air Panas... 38

16 Grafik Kadar Ekstrak pada Kelarutan Air Dingin... 40

17 Grafik Rata-Rata Nilai Kadar Abu pada 3 Jenis Kayu... 41

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman 1 Tingkat Ketahanan Kayu Berdasarkan Intensitas Serangan ... 17 2 Tingkat Intensitas Serangan Kayu... 27

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penelitian ini dilatar belakangi karena sedikitnya informasi tentang kayu yang sesuai penggunaannya terhadap kawasan mangrove, serta organisme perusak kayu yang menyebabkan menurunnya kualitas kayu di kawasan mangrove, yang dapat dilihat dari sifat kimia kayunya, menjadi alasan mengapa uji deteriorasi perlu dilakukan terhadap kayu di kawasan mangrove. Hutan mangrove adalah tempat yang memiliki tingkat salinitas berbeda dengan jenis hutan lainnya karena kawasan hutan mangrove berada di daerah pesisir pantai dan terkena pasang surut air laut yang mengakibatkan munculnya organisme perusak kayu yang tidak ditemui di laut dan kawasan hutan lainnya.

Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Menurut FAO, hutan mangrove adalah komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut.

Penggunaan kayu di kawasan pesisir atau mangrove sendiri masih belum bisa ditentukan dari segi kecocokannya terhadap kondisi kawasan mangrove, masyarakat masih banyak menggunakan kayu mangrove untuk membuat bangunan konstruksi di kawasan tersebut.

Kayu dimanfaatkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan, mulai dari kayu bakar sampai bahan bangunan yang semakin meningkat. Hal ini disebabkan

(13)

karena kayu merupakan sumberdaya alam yang mudah diperoleh, penampilan yang dekoratif dan disamping sifat-sifat yang menguntungkan kayu juga memiliki kelemahan, yaitu sangat mudah diserang atau dirusak oleh faktor biologis seperti jamur, bakteri, serangga dan cacing laut maupun mangrove sehingga dapat menurunkan kekuatan dan masa pakai kayu.Kayu dapat dianalisis dari berbagai pendekatan ilmu, seperti sifat mekanik kayu, sifat fisis kayu, dan sifat kimia kayu.

Sifat kimia kayu akan lebih berfokus pada sel serat, yaitu sel trakeid pada pohon daun lebar (hardwood) dan sel libriform pada pohon daun jarum (softwood). Sifat kimia kayu umumnya membahas mengenai sel serat pada bagian mikrofibril sampai tingkat molekul.

Pada proses penelitian ini bahan yang digunakan yaitu kayu meranti, mahoni, dan damar sebagai contoh uji sifat kimia kayu dan sampel kayu dibuat dengan ukuran 5cm x 2,5cm x 30 cm untuk contoh uji secara lapangan dengan menggunakan standar SNI 01-7207-2006 yang direndam terlebih dahulu di kawasan mangrove Percut Sei Tuan. Kayu meranti termasuk kayu daun lebar (hardwood) dan tergolong sebagai kayu keras. Kayu meranti yang digunakan dalam penenelitian ini adalah kayu meranti kuning yang biasa disebut dalam bahasa latin adalah Shorea spp, berasal dari famili Dipterocarpaceae. Kayu ini banyak ditemukan di daerah Sumatera dan Kalimantan. Kayu mahoni juga termasuk sebagai kayu daun lebar (hardwood) dan tergolong sebagai kayu keras.

Kayu ini memiliki nama latin Swietenia macrophylla, berasal dari famili Meliaceae. Biasanya daerah penyebaran untuk kayu ini sendiri terdapat di daerah Jawa. Untuk kayu damar sendiri merupakan kayu daun jarum (softwood) dan tergolong bukan kayu keras. Damar sendiri bernama latin Agathis dammara.

(14)

Berasal dari famili Araucariaceae. Daerah penyebaran pohon damar di Indonesia cukup banyak yaitu terdapat di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa, Kalimantan Tengah, Sulawesi, Maluku, dan Papua.

Susunan kimia kayu digunakan sebagai pengenal ketahanan kayu terhadap serangan makhluk perusak kayu. Selain itu dapat pula menentukan pengerjaan dan pengolahan kayu, sehingga didapat hasil yang maksimal.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ketahanan kayu terhadap serangan organisme perusak kayu di kawasan mangrove dan pengaruhnya terhadap sifat kimia kayu.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi yang ilmiah dan akurat tentang sifat kimia kayu meranti, mahoni, dan damar setelah direndam di kawasan mangrove.

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengenalan Kayu Mahoni (Swietenia macrophylla King.)

Tanaman Mahoni merupakan salah satu tanaman yang dianjurkan untuk pengembangan HTI (Hutan Tanaman Industri). Mahoni dalam klasifikasinya termasuk famili Meliaceae. Ada dua spesies yang cukup dikenal yaitu Swietenia machrophylla (mahoni daun lebar) dan Swietenia mahagoni (mahoni daun sempit). Kedudukan mahoni dalam taksonomi tumbuhan berada pada Kingdom (Plantae), Divisi (Magnoliophyta), Kelas (Magnoliopsida), Ordo (Sapindales), Famili (Meliaceae), Genus (Swietenia) Spesies (Swietenia macrophylla King) (Soerianegara dkk, 2002).

Pengenalan Kayu Meranti ( Shorea spp. )

Meranti merupakan kayu yang populer dalam industri kayu pertukangan.

Kayu ini tergolong dalam kayu keras dengan berat jenis sekitar 0,3-0,86 pada kandungan air 15% dan kayu meranti ini tergolong dalam kayu kelas kuat II-IV dan kelas awet III-IV. Kedudukan meranti dalam taksonomi tumbahan berada pada Kingdom (Plantae), Divisi Angiospermae, Kelas (Rosidae), Ordo (Malvales), Famili (Dipterocarpaceae), Genus (Shorea), Spesies (Shorea spp.) (Soerianegara dkk, 2002).

Pengenalan Kayu Damar (Agathis damara)

Damar adalah sejenis pohon anggota tumbuhan angiospermae yg merupakan tumbuhan asli Indonesia. Kayu damar tidak terlalu kuat dan tidak

(16)

terlalu awet tergolong dalam kayu dengan kelas kelas kuat III. Pada umumnya kayu ini ditanam untuk diambil resinnya dan kemudian diolah menjadi kopal.

Damar dalam taksonomi tumbuhan berada pada Kingdom (Plantae), Divisi (Pinophyta), Kelas (Pinopsida), Ordo (Pinales), Famili (Araucariaceae), Genus (Agathis), Spesies (Agathis dammara) (Soerianegara dkk, 2002).

Deskripsi Kawasan Mangrove Percut Sei Tuan

Menurut fungsinya ekosistem dapat dikelompokan menjadi empat, uaitu ekosistem laut, estuari, air tawar dan ekosistem teresterial. Ekosistem estuari merupakan suatu tempat pertemuan air tawar dan air asin, dan merupakan tempat peralihan antara dua ekosistem akuatik di bumi (Nybakken, 1988). Estuari adalah ekosistem muara sungai tempat pertemuan air tawar dan air laut yang masih dipengaruhi oleh pasang surut. Contoh dari estuari adalah muara sungai, teluk dan rawa pasang-surut (Bengen, 2004).

Desa Percut Sei Tuan memiliki panjang 3,820 meter, dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan merupakan tempat alur kapal, tempat persinggahan kapal dan terdapat aktivitas wisata dengan sanilitas rata-rata 7,33. Desa Percut Sei Tuan merupakan air berpayau yang ditumbuhi berbagai jenis hutan bakau, perubahan salinitas, temperatur, arus, dan gelombang pada setiap tahunnya relatif sama tidak menunjukan perbedaan yang mencolok sehingga populasi teritip dan organisme organisme perusak lainnya di perairan tersebut dapat berkembang dengan baik.

Temperatur merupakan sarana penting dalam masa kawin dan setiap spesies memiliki temperatur optium untuk bertelur dan perkembangan larvanya, sedangkan gelombang dan arus laut untuk mengatur sirkulasi perairan dan

(17)

menetralisirkan adanya pencemaran air laut sehingga menguntungkan bagi pertumbuhan dan perkembangan penggerek dilaut (Muslich dan Sumarni, 2008).

Pembukaan dan konversi lahan hutan mangrove yang berada di sekitar estuari menjadi lahan pertanian, pemukiman pertambakan, perkebunan dan pengambilan batang pohon sebagai sumber bahan baku arang tidak hanya menyebabkan pengurangan areal hutan, tetapi juga menyebabkan pemasukan bahan-bahan terlarut seperti nitrogen dan bahan organik yang berasal dari aktivitas lainnya. Salah satu ancaman yang serius terhadap kualitas lingkungan estuari adalah berlangsungnya proses pelumpuran dan turbiditas dari daerah sungai (Prasetyo dkk, 2000).

Komponen Kimia Kayu

Selulosa adalah zat penyusun tanaman yang jumlahnya banyak, sebagai material struktur dinding sel semua tanaman. Selulosa adalah karbohidrat utama yang disintesis oleh tanaman dan menempati hampir 60% komponen penyusun struktur kayu. Selulosa merupakan serat-serat panjang yang bersama-sama hemiselulosa, pektin, dan protein membentuk struktur jaringan yang memperkuat dinding sel tanaman. Secara kimia, selulosa merupakan senyawa polisakarida yang terdapat banyak di alam. Bobot molekulnya tinggi, strukturnya teratur berupa polimer yang linear terdiri dari unit ulangan β-D-Glukopiranosa.

Karakteristik selulosa antara lain muncul karena adanya struktur kristalin dan amorf serta pembentukan mikro fibril dan fibril yang pada akhirnya menjadi serat selulosa. Sifat selulosa sebagai polimer tercermin dari bobot molekul rata-rata, polidispersitas dan konfigurasi rantainya (Brazier, 1986).

(18)

Selulosa

Selulosa hampir sama dengan amilosa yaitu sama-sama polimer berantai lurus hanya saja berbeda pada jenis ikatan glukosidanya. Selulosa bila dihidrolisis oleh enzim selobiase yang cara kerjanya serupa denga beta- amilase akan menghasilkan dua molekul glukosa dari ujung rantai sehingga dihasilkan selobiosa beta-1,4 - G-G. Beberapa molekul selulosa akan membentuk mikrofibril dengan diameter 2-20 nm dan panjang 100-40000 nm yang sebagian berupa daerah teratur (kristalin) dan diselingi daerah amorf yang kurang teratur. Beberapa mikrofibril membentuk fibril yang akhirnya menjadi serat selulosa. Selulosa memiliki kekuatan tarik yang tinggi dan tidak larut dalam kebanyakan pelarut. Hal ini berkaitan dengan struktur serat dan kuatnya ikatan hidrogen (Kurniawan, 2012).

Hemiselulosa

Hemiselulosa adalah polisakarida pada dinding sel tanaman yang larut dalam alkali dan menyatu dengan selulosa. Hemiselulosa terdiri atas unit D- glukosa, D-galaktosa, D-manosa, D-xylosa, dan L-arabinosa yang terbentuk bersamaan dalam kombinasi dan ikatan glikosilik yang bermacam-macam.

Hemiselulosa terdapat bersama-sama dengan selulosa dalam struktur daun dan kayu dari semua bagian tanaman dan juga dalam biji tanaman tertentu.

Hemiselulosa yang terhidrolisis akan menghasilkan heksosa, pentosa dan asam uronat. Jumlah hemiselulosa biasanya antara 15-30% dari berat kering bahan lignoselulosa. Hemiselulosa mengikat lembaran serat selulosa membentuk mikrofibril yang meningkatkan stabilitas dinding sel. Hemiselulosa juga berikatan

(19)

silang dengan lignin membentuk jaringan kompleks dan memberikan struktur yang kuat (Kurniawan, 2012).

Lignin

Lignin merupakan salah satu komponen kimia penyusun kayu selain dari selulosa, hemiselulosa dan ekstraktif. Lignin adalah gabungan beberapa senyawa yang hubungannya erat satu sama lain, mengandung karbon, hidrogen dan oksigen, namun proporsi karbonnya lebih tinggi dibanding senyawa karbohidrat.Sifat kimia lignin yang penting untuk diketahui diantaranya adalah kadar lignin dan reaktifitasnya. Metode Klason merupakan prosedur umum yang digunakan dalam penentuan kadar lignin. Prosedur ini memisahkan lignin sebagai material yang tidak larut dengan depolimerisasi selulosa dan hemiselulosa dalam asam sulfat 72% yang diikuti oleh hidrolisis polisakarida terlarut dalam asam sulfat 3% yang dipanaskan. Bagian dari lignin yang larut menjadi filtrat disebut lignin terlarut asam (Isroi, 2010).

Lignin terlarut asam merupakan parameter yang dapat menunjukkan tingkat reaktivitas monomer penyusun polimer lignin. Lignin terlarut asam juga sangat penting untuk dianalisis mengingat hubungannya dengan kandungan lignin dan proses pulping. Lignin terlarut asam merupakan bagian dari kandungan total lignin dalam kayu, akan tetapi seringkali diabaikan karena jumlahnya yang relative kecil khususnya pada jenis softwood. Lignin adalah salah satu komponen utama sel tanaman, karena itu lignin juga memiliki dampak langsung terhadap karakteristik tanaman. Misalnya saja, lignin sangat berpengaruh pada proses pembuatan pulp dan kertas. Di alam keberadaan lignin pada kayu berkisar antara 25-30%, tergantung pada jenis kayu atau faktor lain yang mempengaruhi

(20)

perkembangan kayu. Pada kayu, lignin umumnya terdapat di daerah lamela tengah dan berfungsi pengikat antar sel serta menguatkan dinding sel kayu. Kulit kayu, biji, bagian serabut kasar, batang dan daun mengandung lignin yang berupa substansi kompleks oleh adanya lignin dan polisakarida yang lain. Kadar lignin akan bertambah dengan bertambahnya umur tanaman (Isroi, 2010).

Zat Ekstraktif

Zat ekstraktif merupakan komponen non-struktural pada kayu dan kulit tanaman terutama berupa bahan organik yang terdapat pada lumen dan sebagian pada dinding sel. Dengan menggunakan air dingin atau panas dan bahan pelarut organik netral seperti alkohol atau eter maka dapat dilakukan ekstraksi. Jumlah dan jenis zat ekstraktif terdapat tanaman tergantung pada letaknya dan jenis tanaman. Pada kayu konvensional, zat ekstraktif banyak terdapat pada kayu teras.

Getah, lemak, resin, gula, lilin, tanin, alkaloid merupakan beberapa contoh zat ekstraktif. Selain bahan organik, pada kayu juga terdapat bahan anorganik berupa mineral dan silika yang tidak larut dalam air atau pelarut organik (Mustamin, 2013).

Abu

Di samping persenyawaan-persenyawaan organik, di dalam kayu masih ada beberapa zat organik, yang disebut bagian-bagian abu (mineral pembentuk abu yang tertinggal setelah lignin dan selulosa habis terbakar). Kadar zat ini bervariasi antara 0,2 – 1% dari berat kayu (Dumanauw.J.F, 2001).

Kayu hanya mengandung komponen-komponen anorganik dengan jumlah yang agak rendah, diukur sebagai abu yang jarang melebihi 1% dari berat kayu kering. Namun kandungan abu dalam tugi, daun, dan kulit dapat jauh lebih tinggi.

(21)

Abu ini asalnya terutama dari berbagai garam yang diendapkan dalam dinding- dinding sel dan lumen. Endapan yang khas adalah berbagai garam-garam logam, seperti karbonat, silikat, oksalat, dan fosfat. Komponen logam yang paling banyak jumlahnya adalah kalsium diikuti kalium dan magnesium (Sjostrom.E, 1995).

Penggerek Kayu di Laut (Marine Borer)

Organisme perusak kayu di laut sering disebut dengan marine borer.

Organisme ini dapat menyebabkan kerusakan yang luas pada bagian- bagian tiang-tiang dan kayu-kayu dermaga yang bersentuhan dengan air asin atau setengah air asin dan perahu- perahu yang terbuat dari kayu. Binatang ini tersebar luas di sebagian besar perairan asin di dunia dan lebih banyak merusak di daerah- daerah tropis dari pada di daerah sub tropis (Hunt dan Grarrat, 1986 ).

Di daerah tropis organisme ini dapat berkembang dengan subur dan dijumpai sepanjang tahun. Pada umumnya organisme ini hidup pada perairan yang mempunyai salinitas sekitar 10-40 per mil. Aktivitas perkembangan penggerek kayu di laut dipengaruhi oleh suhu, salinitas, arus, pasang surut, gerakan ombak dan lain sebagainya (Muslich dan Sumarni, 2005).

Adapun penggerek kayu di laut yang sering dijumpai dan banyak menimbulkan kerusakan pada kayu terdiri atas dua golongan yaitu crustaceae dan mollusca. Kedua golongan ini masing-masing mempunyai karakteristik yang berbeda, demikian pula cara menyerangnya. Dua tipe serangan yang dikenal adalah shipworn dan gribble. Tipe shipworn merupakan tipe penyerangan pada crustaceae dengan menempel pada bagian kayu dengan pengeboran yang cenderung lebih pendek sedangkan tipe gribble merupakan tipe penyerangan pada mollusca dengan merusak kayu dengan cara mengebor dan membuat serambi

(22)

kecil untuk tempat tinggalnya (Muslich dan Sumarni, 2006).

Crustaceae

Kira- kira ada lebih dari 25.000 spesies Crustacea, kebanyakan kecil dan hampir mikroskopik. Di dalam ekosistem kolam atau danau dan terutama dalam ekosistem laut, konsumen tingkat pertama terutama terdiri atas sejumlah besar hewan crustaceae. Hewan- hewan ini menjadi makanan utama hewan-hewan lain, dari ikan yang sangat kecil sampai ikan paus raksasa. Teritip (Lepas sp) wujudnya sangat berbeda dengan hewan- hewan crustacea yang lain. Walaupun larvanya hidup dengan berenang- renang bebas, tetap larva ini segera beristirahat dan selanjutnya hidup melekat pada suatu permukaan yang keras di laut, misalnya lunas kapal, malahan dapat melekat pada punggung hewan lain, misalnya penyu (Muslich dan Sumarni, 2005).

Kelas Crustaceae memiliki tiga genera yang penting yaitu limnoria, chelura, dan shpaeroma. Ketiga genera ini memperbanyak diri dengan bertelur.

Limnoria disebut juga gribble merusak kayu dengan cara mengebor dan membuat serambi kecil untuk tempat tinggalnya. Serangan limnoria terlihat seperti bunga karang. Semakin besar gerakan air laut akan semakin besar dorongan limnoria membuat lubang untuk tempat berlindungnya. Jenis lain dari kelas crustaceae adalah chelura dan sphaeroma (Muslich dan Sumarni, 2006).

Sphaeroma lebih destruktif dibandingkan dengan limnoria, umumnya terdapat di perairan tropik dan subtropik. Struktur badannya hampir sama dengan limnoria, tetapi ukurannya jauh lebih besar dan kuat. Saluran-saluran serangan pada kayu lebih lebar dan dapat mencapai kedalaman tiga sampai empat inchi (Muslich dan Sumarni, 2006).

(23)

Mollusca

Mollusca memperlihatkan keanekaragaman yang luas dalam pola strukturnya. Beberapa mollusca mempunyai dinding yang terbagi- bagi menjadi banyak bagian. Tetapi ada pula anggota-anggotanya yang tidak mempunyai dinding. Beberapa jenis merayap pada permukaan yang keras. Jenis lainnya bergerak sangat perlahan- lahan dengan susah payah melalui pasir dan lumpur, sedangkan ada lagi yang menggunakan pancaran air untuk maju, seperti ikan gurita dan cumi-cumi. Beberapa genera terpenting dari kelas Mollusca yaitu bankia, teredo, martesia dan xylophage. Bankia dan teredo termasuk dalam famili teredinidae sedangkan martesia dan xylophege termasuk dalam famili pholadidae.

Teredo dan bankia sering disebut terenide borer atau shipworn, binatang ini dapat hidup dan berkembang normal di air yang mempunyai salinitas 10 – 30 per mil.

Jenis lain dari mollusca adalah martesia dan xylophage. Martesia striata linne merupakan salah satu species yang dijumpai di perairan pantai yang mempunyai bentuk seperti buah pir. Sedangkan Xylophage dorsalis selain merusak kayu juga merusak kawat yang ada di laut. Jenis ini mempunyai panjang tidak lebih dari 40 mm (Muslich dan Sumarni, 2006).

Larva dari organisme ini bebas bergerak dalam air dan menempel pada tiang- tiang dan kayu lain yang terendam, kemudian melubangi kayu dan masuk ke dalam kayu. Sekali berada dalam kayu, binatang ini melanjutkan pengeboran dan menerobos kayu yang cukup untuk pertumbuhan tubuhnya (Hunt dan Garratt, 1986). Lubang yang terbentuk dari kegiatan pengeboran binatang ini biasanya tegak lurus dari permukaan, panjang dan diameternya sesuai dengan ukuran cangkangnya. Kerusakan yang disebabkannya dapat dengan mudah dikenal

(24)

berupa lubang kayu yang dangkal pada permukaan kayu yang diserang dan kadang- kadang hewan tersebut juga terlihat.

Larva cacing kapal menempel pada permukaan kayu dan hanya membuat lubang masuk yang kecil di permukaan kayu tersebut. Sekali ada di dalam, cacing- cacing tersebut membuat lubang-lubang yang tidak teratur sepanjang serat. Jika organisme ini tumbuh, lubang-lubang tersebut menjadi bertambah besar hingga kayu menyarang lebah seluruhnya. Lubang-lubang dilapisi dengan bahan yang terbentuk seperti kerang. Cacing kapal sering terpusat dekat garis lumpur pada tonggak atau pancang dan meninggalkan bukti luar yang kecil tentang kehadirannya hingga kerusakan menjadi berat (Hunt dan Garratt, 1986).

Kulit dan kepala cacing kapal mengikis habis kayu untuk membentuk lubang-lubang. Bagian belakang tubuhnya tetap berada pada kedua dekat lubang masuk untuk dapat memperoleh air dan mengeluarkan sisa-sisa. Jika cacing kapal memanjang dan bersembunyi lebih dalam dari lubang masuknya, panjangnya dapat mencapai beberapa kaki (Muslich dan Sumarni, 2005). Kerusakan oleh folad serupa dengan kerusakan oleh cacing kapal kecuali bahwa pengeborannya cenderung lebih pendek. Folad mencapai panjang sampai 2,5 inchi. Folad tetap tampak seperti kerang berkatup dua ketika tumbuh, sedangkan cacing kapal hanya mempunyai satu kulit pada kepalanya. Folad menyerang pangkal- pangkal kayu dengan kerusakan yang lebih besar daripada Limnoria karena lebih mudah dikenal dan terdapat pada lapisan permukaan. Penyerangan utama adalah kayu yang terkena pasang surut (Muslich dan Sumarni, 2006).

(25)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian sifat kimia kayu ini dilaksanakan di kawasan mangrove Percut Sei Tuan, Laboratorium Teknologi Hasil Hutan, Program Studi Kehutanan Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara dan Laboraturium Kimia Hasil Hutan, Departemen Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dimulai pada bulan November 2016 sampai dengan Mei 2017.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah gelas piala 500 ml, gelas piala 400 ml, gelas piala 300 ml, gelas piala 100 ml, magnetic stirrer, gelas filter (pori 3), gelas filter (pori 2), erlenmayer 300 ml, erlenmayer 1000 ml, erlenmeyer 250 ml, erlenmeyer 200 ml, erlenmeyer 50 ml, buret 15 ml, pengaduk kaca, beker glas 500 ml, pipet 25 ml, waterbath, kertas siphon (extraction thimbles), peralatan ekstraksi, cawan porselen, kaki tiga dan lempengan asbes, kertas lakmus, karet gelang, botol semprot, termometer, oven, desikator, gas burner, bath, hot plate, botol vakum, kalkulator, timbangan analitik, kamera digital, masker, sarung tangan, software, filtration flask, blender laboratory, paralon, pelampung, tambang plastik, pemberat, tisu gulung, plaster pipa, double tip, kain penutup, karet gelang.

(26)

Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam melaksanakan kegiatan penelitian ini adalah asam sulfat (H2SO4) 72%, NaOH 1%, asam asetat 10%, alkohol benzene.

Kayu yang diuji dalam penelitian ini adalah kayu mahoni, damar, dan meranti, lalu dibuat menjadi serbuk dan bahan-bahan lain yakni, pasir, air aquades, kertas selulosa, alumunium foil, pelarut metanol, n-heksana.

Prosedur Penelitian

Persiapan Bahan Baku

Sebelum melakukan identifikasi organisme perusak kayu, intensitas serangan dan analisis sifat kimia kayu, dilakukan perendaman kayu terelebih dahulu di kawasan mangrove, kayu-kayu yang akan direndam sebelumnya dirangkai dengan ukuran yang sesuai dengan standar SNI 01-7207-2006 dengan panjang 30cm, lebar 5cm, tebal 2,5cm seperti Gambar 1.

Gambar 1. Contoh Uji Ketahanan terhadap Serangan di Mangrove.

Untuk rangkaian kayunya sendiri akan dirangkai sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan oleh SNI 01-7207-2006.

(27)

Gambar 2. Skema Rangkaian Contoh Uji dalam Proses Perendaman.

Identifikasi Organisme Perusak Kayu (SNI 01-7207-2006)

Penelitian ini menggunakan contoh uji berupa balok-balok kayu yang dikeringkan dengan oven. Contoh uji berukuran panjang 30 cm, lebar 5 cm, dan tebal 2,5 cm serta bagian tengah dilubangi dengan diameter 1.5 cm (SNI 01-7207- 2006). Contoh uji tersebut berjumlah 3 setiap jenis kayu dengan kedalaman yang sama. Semua contoh uji disusun satu sama lain dengan cara memasukkan tali tambang pada lubang dibagian tengah contoh uji dan dipasang selang plastik dengan panjang 2,5 cm sebagai sekat di antara contoh uji lalu di ikat di tiang dermaga pada kondisi laut sedang surut agar memudahkan dalam proses pemasangan contoh uji (Muslich dan Sumarni 2005). Contoh uji yang sudah disusun, lalu direndam di laut secara vertikal (Gambar 1). Intensitas serangan dapat di peroleh melalui rumus sebagai berikut:

IS(100 %) =LA

LB × 100 %

(28)

IS adalah intensitas serangan pada contoh uji, LA adalah luas permukaan yang terserang dan LB adalah luas total permukaan contoh uji.

Tabel 1. Tingkat Ketahanan Kayu Berdasarkan Intensitas Serangan

Kelas Intensitas serangan

(persen)

Selang intensitas serangan

I II III IV V

<7 7 - 27 27 – 55 55 – 80

>80

Sangat tahan Tahan Sedang Buruk Sangat buruk Ket: Sumber SNI 01-7207-2006

Pengujian Sifat Kimia Kayu

Sifat kimia diuji pada kayu yang tidak direndam sebagai kontrol dan kayu yang sudah direndam di kawasan mangrove Percut Sei Tuan, dijadikan serbuk berukuran 40 mesh dan dianalisis sesuai dengan metode analisis kayu yang ditetapkan oleh SNI.

Penetapan Kadar Lignin (Metode Klason)

Ditimbang 1 gram contoh uji dalam bentuk serbuk kayu, lalu dimasukkan dalam gelas piala 100 ml dan direndam dalam air yang telah diberi es selama 20 menit, lalu ditambahkan H2SO4 72% sebanyak 15 ml, diaduk pelan-pelan sambil digerus selama 2 jam selanjutnya ditambahkan 560 ml aquades, sehingga H2SO4 konsenterasinya menjadi 3% dan dipanaskan sampai hampir mendidih dan biarkan selama 4 jam dengan api kecil, sehingga volumenya tetap, lalu dibiarkan

(29)

endapan mengendap sempurna dan dekantasi filtratnya dan dipindahkan secara kuantitatif ke kertas saring yang telah diketahui berat keringnya. Selanjutnya dicuci endapan dengan air panas sampai bebas asam. Masukan endapan dengan kertas saring ke dalam botol timbang, lalu dikeringkan di dalam oven pada suhu 105 ± 30C selama 3 jam lalu ditimbang sampai beratnya tetap.

Perhitungan :

Lignin = (a/b) x 100%

Keterangan :

a : Berat serbuk setelah diuji (g) b: Berat serbuk mula-mula (g)

Penetapan Kadar Holoselulosa (SNI 14-0444-2009)

Awalnya ditimbang contoh uji 2 gram dalam bentuk serbuk kayu, lalu bungkus dengan kertas saring dan diikat dengan benang dan masukan ke dalam beaker gelas yang telah diisi alkohol benzene, sehingga terendam semuanya selama ± 12 jam, lalu dimasukan ke dalam oven pada suhu 105 ± 30C selama 3 jam. Selanjutnya contoh yang telah bebas sari dicuci dengan air panas, lalu dicuci dengan air dingin (air es), lalu ke tahap khlorinasi selama 5 menit, kemudian direndam dalam alkohol, lalu dicuci dengan air es sambil dihisap dengan pompa vakum dan rendam dalam monoetanolamin 3% panas, lalu dicuci dengan alkohol 2 kali, air es 4 kali dan alkohol 2 kali dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105

± 30C selama 3 jam. Selanjutnya ditimbang sampai berat tetap.

(30)

Perhitungan :

Kadar holoselulosa = (a/b) × 100 %

Keterangan :

a : Berat serbuk setela diuji (g) b : Berat kering (g)

Penetapan Kadar Selulosa (SNI 14-0444-2009)

Selulosa yang didapat dari pengujian kadar holoselulosa dimasukan kedalam beaker glass 150 ml lalu ditambahkan 16 ml NaOH 17,5% pada suhu 200C, lalu tekan – tekan selama 15 menit pada suhu 20 0C dan ditambahkan lagi 16 ml NaOH 17,5% pada suhu 200C, lalu tekan – tekan selama 1 menit dan biarkan selama 45 menit, kemudian disaring dengan cawan masir, lalu dicuci dengan 125 ml NaOH 8 %, penyaringan dilakukan dalam waktu 5 menit dan dihisap menggunakan pompa vakum dan dicuci dengan 500 ml air dingin dengan menggunakan pompa vakum dan dinetralkan dengan 100 ml CH3COOH 10 % dan dihisap menggunakan pompa vakum, kemudian dicuci lagi dengan 500 ml air panas menggunakan pompa vakum dilanjutkan dicuci dengan 50 ml alkohol 95%

menggunakan pompa vakum dan keringkan dalam oven pada suhu 105 ± 30C selama 4 jam, untuk selanjutnya ditimbang sampai berat tetap.

Perhitungan :

Kadar α-selulosa = (a/b) × 100 %

(31)

Keterangan :

a :Berat serbuk setelah diuji (g) b :Berat kering (g)

Penentuan Ekstraktif Kayu

Penetapan Kelarutan dalam NaOH 1 % (SNI 14-1032-1989)

Ditimbang contoh uji 2 gram dalam bentuk serbuk kayu, lalu dimasukkan contoh ke dalam gelas piala 200 ml dan ditambahkan larutan NaOH sebanyak 100 ml, kemudian direndam dalam penangas air selama 1 jam dan dilakukan pengadukan pada menit ke 10; 15 dan 25. Setelah 1 jam, disaring dengan corong masir yang sudah diketahui beratnya dan dihisap dengan menggunakan pompa vakum. Kemudian dibersihkan sisa contoh yang dengan botol semprot, lalu dicuci dengan air panas 500 ml, netralkan 50 ml asam cuka 10 % dan dicuci lagi dengan air panas sampai bebas asam. Setelah contoh kering dimasukkan dalam oven pada suhu 105 ± 30C selama 4 jam kemudian ditimbang.

Perhitungan :

Kelarutan = (a-b)/a × 100%

Keterangan :

a :Berat serbuk mula-mula (g) b :Berat serbuk setelah dilarutkan (g)

(32)

Penetapan Kelarutan dalam Air Panas (SNI 14-1032-1989)

Timbang 2 gram contoh uji dalam bentuk serbuk kayu, lalu dipindahkan ke dalam gelas piala 400 ml dan ditambahkan 300 ml air suling, kemudian didiamkan selama 48 jam pada suhu kamar sambil sesekali diaduk, setelah itu disaring dengan corong masir lalu cuci dengan air suling dan dikeringkan dalam oven selama 4 jam suhu 105° C, lalu didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang.

Perhitungan :

Kelarutan = (a-b)/a × 100%

Keterangan :

a :Berat serbuk mula-mula (g) b :Berat serbuk setelah dilarutkan (g)

Penetapan Kelarutan dalam Air Dingin (SNI 14-1032-1989)

Timbang 2 gram contoh uji dalam bentuk serbuk kayu, lalu dipindahkan ke dalam gelas piala 400 ml dan ditambahkan 300 ml air suling, kemudian didiamkan selama 48 jam pada suhu kamar sambil sesekali diaduk, setelah itu disaring dengan corong masir lalu cuci dengan air suling dan dikeringkan dalam oven selama 4 jam suhu 105° C, lalu ddiinginkan dalam desikator kemudian ditimbang.

Perhitungan :

Kelarutan = (a-b)/a × 100%

(33)

Keterangan :

a :Berat serbuk mula-mula (g) b :Berat serbuk setelah dilarutkan (g)

Penetapan Kadar Abu (SNI 14-0442-2009)

Pertama ditimbang contoh uji sebanyak 5 gram, masukkan ke dalam cawan pengabuan yang telah diketahui berat keringnya dan masukkan ke dalam tanur pada suhu 575 ± 25ºC selama 3 jam lalu didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang beratnya dengan neraca analitik sampai didapat berat tetap.

Perhitungan:

Kadar Abu = (A1-A2)/A x 100 % Keterangan :

A : Berat contoh uji sebelum diabukan dinyatakan dalam gram.

A1 :Berat contoh uji ditambah cawan sesudah diabukan.

A2 : Berat cawan kosong.

(34)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Organisme Perusak Kayu

Terdapat dua jenis organism perusak kayu yang berada pada sampel penelitian seperti jenis cacing laut (Teredo navalis) dan teritip (Balanus sp).

Organisme yang sangat berpengaruh pada penurunan kualitas kayu adalah T.

navalis, sedangkan untuk jenis Balanus sp tidak memberikan kerusakan yang sangat nyata hanya membuat koloni atau membuat kayu sebagai tempat tinggal.

Teredo navalis

T. navalis adalah organisme yang dapat beradaptasi dengan kadar salinitas dengan kisaran salinitas 5-45 ppt (4-8 salinitas praktis unit). Kematian larva T.

navalis terjadi di bawah salinitas 5 ppt dan bias bertahan hingga enam minggu anoksia dengan menghentikan pemberian makan dan penyegelan di dalam tabun gnya sendiri.

T. navalis yang bertahan dengan metabolism glikogen yang tersimpan telah ditemukan di Suhu serendah 0,7 0C dan bias bertahan sampai suhu 30 0C.

Pertumbuhannya berhenti di atas 25 0C dan rentang suhu reproduksi kira-kira 11- 15 0C. T. navalis memiliki kedalaman kisaran 0 – 150 meter (Michael, 2009).

(35)

Gambar 3. Organisme Teredo navalis(A) dan Taksonomi Teredo navalis(B)

Klasifikasi Kingdom: Animalia, Phylum: Mollusca, Class: Bivalvia, Ordo: Myoida, Family: Teredinidae, Genus: Teredo, Spesies: T. Navalis. T.

Navalis hidup di dalam kayu yang terendam di perairan yang terkena pasang surut air laut atau perairan payau. T. navalis masuk ke dalam kayu melalui sela-sela lubang teritip. T. navalis menjadikan kayu sebagai sumber bahan makanan dan sebagai tempat tingga l.

Cacing kapal adalah organism laut dan muara yang mendiami berbagai substrat kayu yang terendam termasuk kayu apung, kapal laut atau dermaga.

Bagian dari tahap larva cacing laut dihabiskan dengan berenang bebas di air.T.

navalis dapat mentolerir kadar garam rendah (sampai 5 ppt) dan berkembang pada tingkat yang lebih besar yaitu 9 ppt. Kisaran suhu optimal mereka adalah 15-25 0C dan T. navalis dapat ditemukan di daerah beriklim sedang dan tropis (Didziulis, 2007).

Larva dari organisme ini bebas bergerak dalam air dan menempel pada tiang- tiang dan kayu yang terendam, kemudian melubangi kayu dan masuk ke dalam kayu. Setelah berada dalam kayu, binatang ini melanjutkan pengeboran dan menerobos kayu yang cukup untuk pertumbuhannya dengan mengkonsumsi

(36)

selulosa karena binatang ini memproduksi enzim selulase semasa pertumbuhannya (Michael, 2009).

Balanus sp

Klasifikasi Balanus sp; kingdom (Animalia), Filum (Invertebrata), Kelas (Crustaceae), Ordo (Thoraciceae), Famili (Ballonoidae), Genus (Balanus), Spesies (Balanus sp). Teritip (Balanus sp) merupakan biota avertebrata yang menempel pada kayu dan benda-benda keras lain di laut dan perairan payau yang menjadi habitat tempatnya menempel dan mencari makanan. Hal ini dapat menimbulkan masalah bagi aktivitas di laut.

Kerusakan bangunan pantai dan kapal juga disebabkan adanya serangan binatang laut atau organisme penempel (biofouling) pada bagian lambung kapal seperti Balanus sp. Pereira dkk. (2002) menyebutkan walaupun penempelan organisme merupakan proses alami, tetapi organisme penempel bisa berkoloni pada struktur-struktur buatan manusia sehingga menimbulkan permasalahan, misalkan perubahan permukaan kayu. Serangan yang disebabkan oleh Balanus sp disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4.Teritip (Balanus sp)

(37)

Balanus sp merupakan jenis dari kelas Crustacea dengan ciri berwarna putih sampai coklat kemerah-merahan. Pada setiap cangkangnya terdapat 3-4 strip putih yang terbentuk dari zat kapur, mempunyai sisi yang lembut dan di bagian atas menganga tumpul. Dominasi Balanus sp disebabkan senyawa arthropodine yang dikeluarkannya sehingga spesies teritip yang sama akan berkumpul dan tumbuh hingga terjadi penumpukan.

Koloni Balanus sp yang menempel pada kayu meninggalkan bekas berwarna putih pada permukaan kayu dan tidak menimbulkan kerusakan yang berarti pada kayu. Balanus sp menjadikan kayu sebagai substrat yang dapat dijadikan sarang untuk menempel. Nelson (2003) menyebutkan bahwa penempelan organisme dapat berlangsung dengan cepat. Perbedaan ini disebabkan ketahanan kayu terhadap serangan perusak kayu oleh susunan kimianya. Terbukti teritip menempel pada ketiga jenis kayu yang di rendam yaitu kayu meranti (Shorea spp), kayu mahoni (Swietenia macrophylla) dan kayu damar (Agathis dammara).

Ketahanan Kayu Berdasarkan Intensitas Serangan

Intensitas serang yang disebabkan cacing laut (T. navalis) diukur setelah kayu dibelah menjadi 2 bagian dan dihitung satu sisinya dengan menggunakan kertas millimeter dan dilakukan pengukuran dengan parameter SNI101-7207-2006 kemudian kerusakan kayu dihitung berdasarkan masing–masing jenis kayu.

(38)

Tabel 2. Tingkat Intensitas Serangan Kayu

Nama IS

(%)

Kelas Intensitas serangan (%)

Selang intensitas serangan

Luas permukaan ditutupi teritip (cm²)

Damar 1 1,72 I <7 Sangat tahan 140

Damar 2 1,64 I <7 Sangat tahan 11,5 Damar 3 0,37 I <7 Sangat tahan 59

Meranti 1 2,65 I <7 Sangat tahan 88 Meranti 2 2,08 I <7 Sangat tahan 53 Meranti 3 0,5 I <7 Sangat tahan 42.5

Mahoni 1 15,05 II 7 – 27 Tahan 89

Mahoni 2 5,72 I <7 Sangat tahan 85,5

Mahoni 3 17,32 II 7 – 27 Tahan 90

1. Kayu Damar

Tabel 2 menunjukkan nilai rata-rata kayu dammar dengan intensitas serangannya (IS) 1,24% termasuk ke dalam kelas 1, rata-rata intensitas serangannya <7%. Selang intensitas seranganya termasuk sangat tahan dan rata- rata luas permukaan yang ditutupi teritip 70,16 cm². Kayu damar yang terserang teritip dapat dilihat pada Gambar 5. Kayu damar yang terserang T. Navalis dapat dilihat pada Gambar 6.

(39)

Gambar 5.Damar 1 (A), damar 2 (B), damar 3 (C)

Gambar 6.Damar 1 (A), damar 2 (B), damar 3 (C)

2. Kayu Meranti

Tabel 2 menunjukkan nilai rata-rata serangannya pada kayu meranti (IS) 1,74%, rata-rata intensitas serangan <7%. Berdasarkan nilai rata-ratanya, kayu meranti termasuk ke dalam kelas I dan selang intensitas serangannya termasuk sangat tahan dan rata-rata luas permukaan yang ditutupi teritip 61,16 cm². Gambar kayu meranti yang terserang teritip dapat dilihat pada Gambar 7 dan yang terserang T. Navalis dapat dilihat pada Gambar 8.

C

A B

B C A

(40)

Gambar 7.Meranti 1 (A), meranti 2 (B), meranti 3 (C)

Gambar 8.Meranti 1 (A), meranti 2 (B), meranti 3 (C)

3. Kayu Mahoni

Tabel 2, nilai rata-rata intensitas serangan (IS) 12,69%, intensitas serangan di kisaran 7-27% termasuk ke dalam kelas II dan selang intensitas serangannya termasuk tahan dan nilai rata-rata luas permukaan yang ditutupi teritip 91,16 cm².

Kayu mahoni yang terserang teritip dapat dilihat pada Gambar 9 dan kayu yang terserang T. Navalis dapat dilihat pada gambar 10.

A C

B

B C A

(41)

Gambar 9.Mahoni 1 (A), mahoni 2 (B), mahoni 3 (C)

Gambar 10.Mahoni 1(A), mahoni 2(B), mahoni 3(C)

Kayu yang mengalami kerusakan tinggi adalah kayu mahoni dikarenakan kayu tersebut biasa digunkan untuk, alat musik, lemari dan perbotan rumah tangga lainnya sehingga kayu ini tidak cocok untuk kostruksi bangunan di daerah perairan mangrove dikarenakan setelah dihitung dengan parameter SNI101-7207- 2006 dihasilkan bahwa kayu mahoni termasuk ke dalam kelas II rata-rata intensitas serangan 7-27% rata-rata IS 12,69% dan rata-rata luas permukaan yang ditutupi teritip 91,16 cm².

C B

A

A B C

(42)

Analisis Kimia Kayu

Pengujian sifat kimia pada ketiga kayu disini meliputi, pengujian lignin, selulosa, hemiselulosa, kandungan ekstraktif dan abu. Hasil pengujian sifat kimia kayu yang meliputi pengujian lignin, selulosa, hemiselulosa, kandungan ekstraktif dan abu pada ketiga jenis kayu yang direndam di kawasan mangrove memiliki perubahan pada sifat kimia kayunya.

1. Lignin

Gambar 11. menunjukkan bahwa ketiga jenis kayu tersebut mengalami penurunan kadar lignin yang relatif kecil dan tidak jauh berbeda pada setiap jenis kayu.

Gambar 11. Grafik Rata-Rata Nilai Kandungan Lignin pada 3 Jenis Kayu.

Untuk kandungan lignin yang terbesar terdapat pada kayu meranti sebesar 38,18% pada kayu kontrol dan penurunan kadar lignin terbesar juga terjadi pada kayu meranti yaitu sebesar 3,92%, kayu damar mengalami penurunan sebesar 0,48%, sementara penurunan kadar lignin terkecil terjadi pada kayu mahoni yaitu

32.07 33.62

38.18

31.72 32.78 34.26

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

Mahoni Damar Meranti

Kadar Lignin (%)

Contoh Uji

Kontrol Rendam

(43)

sebesar 0,35%, namun kayu meranti juga masih memili kadar lignin yang terbesar setelah direndam yaitu sebesar 34,26%. Perbedaan ini disebabkan setiap jenis kayu memiliki kadar lignin awal yang berbeda yang terdapat pada kayu kontrol dan memang secara karakteristik kayunya juga berbeda pula antara kayu daun jarum dan kayu daun lebar. Kayu daun jarum biasanya memiliki rata-rata persentase kadar lignin sebesar 25-35%, dan kayu daun lebar memiliki rata-rata persentase kadar lignin sebesar 20-30%. Penurunan kadar lignin disini terjadi karena adanya beberapa faktor, diantaranya disebabkan karena adanya mikroor ganisme yang menyerang kayu yang mengandung lignin sehingga menyebabkan degradasi lignin pada ketiga jenis kayu yang diuji pada penelitian ini. Faktor lain yang juga menyebabkan penurunan kadar lignin pada penelitian ini adalah kandungan lignin didalam kayu yang diuji pada penelitian ini ikut terlarut oleh air di kawasan perairan mangrove.

Kayu damar yang masuk kedalam kelompok softwood memiliki persentase kandungan lignin rata-ratanya sekitar 25-35% dan bisa dikatakan sesuai dengan persentase rata-rata, sementara kayu mahoni dan kayu meranti merupakan kayu daun lebar yang seharusnya persentase rata-rata kadar ligninnya sekitar 20-30%, tetapi pada Gambar 11. persentase kayu kontrol untuk mahoni adalah sebesar 32,07% dan 38,18% pada kayu meranti. Hal ini disebabkan lignin sangat stabil dan sulit dipisahkan dan mempunyai bentuk yang bermacam-macam, disamping susunan lignin yang pasti didalam kayu tetap tidak menentu. Penurunan kadar lignin pada ketiga jenis kayu diatas bisa dikatakan relatif kecil karena lignin juga berpengaruh dalam mempertinggi sifat racun kayu yang membuat kayu tahan terhadap serangan cendawan dan serangga (Haygreen.J.G, 1987).

(44)

2. Selulosa

Gambar 12. menunjukkan bahwa terjadi perbedaan antara 3 jenis kayu, ada yang mengalami peningkatan kadar selulosa, ada pula yang mengalami penurunan kadar selulosa. Bisa dilihat pada Gambar 12. kandungan selulosa terbesar terdapat pada kayu damar yaitu sebesar 42,69% dan mengalami peningkatan kandungan selulosa hingga mencapai 43,28% setelah direndam di kawasan mangrove yang menjadikan kayu ini memiliki kandungan selulosa yang paling tinggi daripada kedua jenis yang lainnya.

Gambar 12. Grafik Rata-Rata Nilai Kandungan Selulosa pada 3 Jenis Kayu.

Pada kayu mahoni terjadi penurunan kadar selulosa yaitu sebesar 1,40%, sementara pada kayu damar dan kayu meranti mengalami peningkatan, yaitu sebesar 0,59% pada kayu damar, dan 2,48% pada kayu meranti.Bahan dasar selulosa ialah glukosa, dengan rumus C6H12O6. Molekul glukosa disambung menjadi molekul-molekul besar, panjang dan berbetuk rantai dalam susunan menjadi selulosa. Pengaruh dari organisme dan kondisi lingkungan yang ada di kawasan mangrove menyebabkan terjadinya perbedaan hasil persentase antara

39.61 42.69

40.33 38.21

43.28 42.81

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Mahoni Damar Meranti

Kadar Selulosa (%)

Contoh Uji

Kontrol Rendam

(45)

kayu mahoni, damar, meranti. Organisme yang menyerang ketiga jenis kayu (T.

navalis) adalah penyebab meningkatnya kandungan selulosa pada kayu damar dan meranti dikarenakan organisme ini memproduksi enzim selulase untuk melunakkan kayu ketika proses pencernaan. Faktor ini yang menyebabkan terjadinya peningkatan kadar selulosa terhadap kayu damar dan meranti, karena setelah dilakukannya perendaman, kerusakan yang dialami oleh kayu damar dan meranti jauh lebih sedikit daripada kayu mahoni dan ketika kedua jenis kayu ini diangkat dari perairan mangrove masih banyak organisme (T. navilis) yang mengkonsumsi selulosa tersebut masih menempel di bagian dalam kayu sehingga memungkinkan untuk terjadi penambahan kadar selulosa pada kedua jenis kayu ini. Dalam berbagai bentuk pulp, selulosa mewakili bahan baku untuk produksi berbagai tipe kertas dan karton, dan juga menghasilkan produk-produk selulosa yang dimodifikasi (Sjostrom, 1995).

3. Hemiselulosa

Gambar 13. menunjukkan nilai kadar hemiselulosa pada ketiga jenis kayu yang telah direndam di kawasan mangrove maupun kayu yang dijadikan sebagai kontrol. Untuk mendapatkan kadar hemiselulosa, perlu dilakukan pengurangan antara holoselulosa dengan selulosa.Terjadi perbedaan nilai kadar hemiselulosa pada ketiga jenis kayu, ada yang mengalami peningkatan, ada pula yang mengalami penurunan.

(46)

Gambar 13. Grafik Rata-Rata Nilai Kandungan Hemiselulosa pada 3 Jenis Kayu.

Terjadinya peningkatan kadar hemiselulosa hanya terjadi pada kayu mahoni yang sekaligus menjadikan kayu ini memiliki kandungan hemiselulosa yang paling besar diantara kedua jenis kayu lainnya yaitu sebesar 30,96% sebagai kayu kontrol dan mengalami peningkatan menjadi 31,09% setelah direndam, sementara terjadi penurunan pada kedua jenis kayu lainnya yaitu damar dan meranti. Pada kayu mahoni terjadi peningkatan kadar hemiselulosa sebesar 0,13%, pada kayu damar terjadi penurunan kadar hemiselulosa sebesar 1,42%, dan pada kayu meranti terjadi penurunan yang cukup signifikan sebesar 4,36%.

Kadar hemiselulosa berbeda pada jenis kayu daun jarum dan kayu daun lebar (Achmadi, 1990). Pada dasarnya kandungan hemiselulosa di dalam kayu berkisar antara 20-35% dan terdapat pada dinding sel kayu.

Hemiselulosa adalah polisakarida yang bukan selulosa, tesusun dari senyawa karbon yang terdiri dari 5 – 6 asam. Seperti halnya selulosa kebanyakan hemiselulosa berfungsi sebagai bahan pendukung dalam dinding sel (Sjostrom,

30.96

26.46 26.03

31.09

25.04

21.67

0 5 10 15 20 25 30 35

Mahoni Damar Meranti

KadarHemiselulosa(%)

Contoh Uji

Kontrol Rendam

(47)

1995)

.

Hemiselulosa larut dalam alkali dan relative lebih mudah didegradasi oleh hidrolisa asam membentuk gula-gula sederhana. Hemiselulosa berfungsi sebagai pelapis antar serat sehingga degradasi hemiselulosa menyebabkan rendahnya kekuatan antar serat, kandungan hemiselulosa dalam pulp akan mempermudah pelunakan dan pembentukan fibril serat (fibrilasi) selama penggilingan dan gelatinnya memudahkan terbentuknya sifat hidrofilik pulp sehingga memudahkan terjadinya ikatan antar serat (Fengel dan Wegener, 1995). Hal ini disebabkan oleh struktur non kristal, berat molekul yang rendah dan rantai yang bercabang.

Struktur non bercabang juga akan menyebabkan hemiselulosa lebih reaktif terhadap alkali dan hidrolisis asam dibandingkan dengan selulosa. Hal tersebut diatas yang menyebabkan terjadinya perbedaan dan perubahan nilai kadar hemiselulosa pada ketiga jenis kayu yang diuji pada penelitian ini, 1 jenis mengalami peningkatan, dan 2 lainnya mengalami penurunan. Faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan kadar hemiselulosa pada kayu mahoni karena terjadi depolimerisasi selulosa yang diurai oleh organisme (T. navilis) dengan menggunakan enzim selulase yang mereka produksi untuk mencerna selulosa yang mereka konsumsi.

4. Analisis pada pelarut NaOH 1%

Kelarutan dalam larutan NaOH 1 % menyatakan banyaknya komponen yang larut meliputi senyawa organik dan anorganik, antara lain karbohidrat yang mempunyai berat molekul rendah, tannin, kinom, zat warna dan sebagian lignin.

Gambar 14. menunjukkan kadar ekstraktif ketiga jenis kayu pada kelarutan NaOH 1%. Pada ketiga jenis kayu ini di kayu mahoni dan damar sama-sama mengalami

(48)

peningkatan yaitu masing-masing sebesar 0,10% dan 1,83%, sementara terjadi penurunan yang cukup signifikan pada kayu meranti yaitu sebesar 3,16%.

Gambar 14. Grafik Kadar Ekstraktif Ketiga Jenis Kayu pada Kelarutan NaOH 1%.

Terlihat pada Gambar 14. kayu meranti memiliki nilai yang paling besar pada kayu kontrol sebesar 20,62% namun mengalami penurunan setelah direndam hingga mencapai 17,46%. Berbeda halnya dengan kayu damar yang memiliki nilai pada kayu kontrol sebesar 19,40% dan mengalami peningkatan menjadi 21,23%

setelah direndam di kawasan mangrove hingga menjadi kayu damar meimiliki nilai yang paling besar diantara kedua kayu yang lainnya setelah direndam. Hal ini lebih dipengaruhi oleh kondisi lingkungan mangrove itu sendiri, yaitu daerah pasang surut, kayu tercuci oleh air laut sehingga menyebabkan perubahan kandungan karbohidrat, tannin, kinom, zat warna dan sebagian lignin. Hal ini yang menyebabkan terjadinya perbedaan kandungan ektraktif setelah dilarutkan di NaOH 1%. Tetapi juga terdapat variasi yang tergantung pada tapak geografi dan musim. Ekstraktif dapat juga mempengaruhi kekuatan pulp, perekatan dan

16.13

19.40 20.62

16.23

21.23

17.46

0 5 10 15 20 25

Mahoni Damar Meranti

Kelarutan NaOH (1%)

Contoh Uji

Kontrol Rendam

(49)

pengerjaan akhir kayu maupun sifat-sifat pengeringan (Fengel dan Wegener.

1995).

5. Analisis Kelarutan dalam Air Panas

Komponen yang terlarut dalam air panas adalah tanin, gum, karbohidrat, pigmen, dan komponen pati. Ketiga jenis kayu dalam penelitian ini mengalami perbedaan dalam pengaruhnya terhadap kelarutan air panas.

Gambar 15. Grafik Kadar Ekstraktif Ketiga Jenis Kayu pada Kelarutan Air Panas.

Gambar 15. menunjukkan kadar ekstraktif ketiga jenis kayu pada kelarutan air panas berbanding terbalik dengan grafik di Gambar 14. Disini kedua jenis kayu mengalami penurunan yaitu kayu mahoni dan damar masing-masing 0,14% dan 1,62%, sementara pada kayu meranti mengalami peningkatan yaitu sebesar 1,96%. Kayu damar terlihat mendominasi pada bagian persentase yang dilarutkan pada air panas, pada kayu kontrol damar memiliki nilai yang paling besar yaitu 9,68% dan setelah direndam juga damar memiliki persentase yang paling besar yaitu 8,06%. Komposisi ekstraktif dapat berubah selama pengeringan kayu,

7.14

9.68

5.43 7.00

8.06

7.39

0 2 4 6 8 10 12

Mahoni Damar Meranti

Kelarutan Air Panas (%)

Contoh Uji Kontrol Rendam

(50)

terutama senyawa-senyawa takjenuh, lemak dan asam lemak terdegradasi. Fakta ini penting untuk produksi pulp karena ekstraktif tertentu dalam kayu segar mungkin menyebabkan noda kuning (gangguan getah) atau penguningan pulp.

Jadi kadar ekstraktif yang tinggi tidak diharapkan dalam proses pembuatan pulp.

Kondisi lingkungan pasang surut di kawasan mangrove mengakibatkan kayu tercuci oleh air laut sehingga menjadikannya faktor yang menyebabkan perbedaan hasil kadar ekstraktif di setiap pengujian, tergantung dari pelarut dan kandungan yang dilarutkan. Peningkatan kadar ekstraktif pada kayu meranti disebabkan karena adanya kandungan yang ikut terlarut didalam kayu meranti sehingga meningkatkan kadar ekstraktif kayu meranti setelah dilakukan perendaman selama 6 bulan.

6. Analisis Kelarutan dalam Air Dingin

Gambar 16. menunjukkan grafik kadar ekstraktif yang dilarutkan pada air dingin. Sama seperti pada kelarutan air panas, pada 2 jenis kayu yaitu mahoni dan damar kadar ekstraktifnya menurun yaitu masing-masing 0,56% dan 1,09%, sementara pada kayu meranti mengalami peningkatan yang cukup signifikan yaitu sebesar 3,48%.Pada kayu kontrol kayu damar memiliki persentase yang paling besar mencapai 7,00% namun mengalami penurunan hingga mencapai 5,91%

setelah direndam, hal ini berbanding terbalik di kayu meranti, walaupun memiliki nilai yang relatif kecil pada kayu kontrol, kayu ini mengalami peningkatan yang cukup besar setelah direndam di kawasan mangrove hingga mencapai 6,00% dan sekaligus menjadikannya memiliki nilai yang paling besar setelah direndam.

(51)

Gambar 16. Grafik Kadar Ekstraktif Ketiga Jenis Kayu pada Kelarutan Air Dingin.

Kandungan yang terlarut dalam air dingin ini hampir sama dengan yang terlarut pada air panas, hanya bedanya pada air dingin tanpa komponen pati. Pada prinsipnya pengujian kadar ekstraktif disini sudah sesuai dengan ketentuan yang ada yaitu nilai kadar ektraktifnya semakin mengecil dari NaOH 1% > air panas >

air dingin. Hanya saja yang membedakannya setelah kayu direndam di kawasan mangrove ada yang mengalami peningkatan, ada pula yang mengalami penurunan. Hal ini terjadi karena dipengaruhi oleh kondisi lingkungan pasang surut di kawasan mangrove yang mencuci kayu dengan air laut sehingga menimbulkan perbedaan disetiap pengujian kadar ekstraktif.

7. Analisis Kadar Abu

Gambar 17. menunjukkan peningkatan kadar abu di setiap jenis kayu, namun yang sangat mencolok terjadi pada kayu mahoni yaitu 12,18% dan menjadikan kayu ini yang memiliki kadar abu paling tinggi setelah direndam di kawasan mangrove, sementara peningkatan kadar abu hanya sedikit terjadi di

5.97

7.00

2.52 5.41

5.91 6.00

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Mahoni Damar Meranti

Kelarutan Air Dingin (%)

Contoh Uji

Kontrol Rendam

(52)

kedua kayu lainnya, yaitu damar sebesar 0,94% dan meranti sebesar 1,25%. Pada kayu kontrol juga mahoni memiliki nilai persentase kadar abu yang paling besar dari kedua jenis lainnya yaitu sebesar 0,60%.

Gambar 17. Grafik Rata-Rata Nilai Kadar Abu pada 3 Jenis Kayu.

Kadar zat ini bervariasi antara 0,2 – 1% dari berat kayu (Dumanauw, 2001). Secara fisik memang pada kayu mahoni terjadi kerusakan yang cukup parah akibat serangan dari organisme dan meninggalkan sampah yang cukup banyak sehingga sampah tersebut yang menyebabkan terjadinya peningkatan yang sangat mencolok pada kayu mahoni. Kayu hanya mengandung komponen- komponen anorganik dengan jumlah yang agak rendah, diukur sebagai abu yang jarang melebihi 1% dari berat kayu kering. Selain karena organisme yang ada di kawasan mangrove, kondisi lingkungan pasang surut juga mempengaruhi peningkatan kadar abu pada ketiga jenis kayu. Abu ini asalnya terutama dari berbagai garam yang diendapkan dalam dinding-dinding sel dan lumen. Endapan yang khas adalah berbagai garam-garam logam, seperti karbonat, silikat, oksalat,

0.60 0.37 0.29

12.78

1.31 1.54

0 2 4 6 8 10 12 14

Mahoni Damar Meranti

Kadar Abu (%)

Contoh Uji

Kontrol Rendam

(53)

dan fosfat. Komponen logam yang paling banyak jumlahnya adalah kalsium diikuti kalium dan magnesium (Sjostrom, 1993).

(54)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Ketahanan kayu berdasarkan intensitas serangan organisme perusak kayu menunjukkan bahwa kayu damar dan kayu meranti masuk ke dalam kelas I, sementara kayu mahoni masuk ke dalam kelas II. Berdasarkan sifat kimia kayu, kayu damar (Agathis dammara), mahoni (Swietenia macrophylla), dan meranti (Shorea sp) yang direndam di kawasan mangrove Percut Sei Tuan selama 6 bulan ada yang mengalami peningkatan dan ada juga yang mengalami penurunan kadar kimia dalam setiap pengujian kimia pada kayu.

Kandungan kimia didalam kayu meranti (Shorea sp) dapat dikatakan cukup stabil setelah kayu damar (Agathis dammara), dan dari segi kerusakannya juga lebih baik dari kayu mahoni (Swietenia macrophylla). Kayu Meranti (Shorea sp) adalah jenis kayu yang dapat direkomendasikan untuk menggantikan kayu damar (Agathis dammara) yang sering digunakan di kawasan mangrove Percut Sei Tuan dibandingkan kayu mahoni (Swietenia macrophylla).

Saran

Adapun saran dalam penelitian ini sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui lebih dalam lagi tentang penggunaan kayu yang sesuai di kawasan mangrove dan mendapatkan hasil yang lebih maksimal tentang ketahanan kayu terhadap serangan organisme maupun kondisi lingkungan di kawasan mangrove.

(55)

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, S. 1990. Kimia kayu. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas. Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor.

Bengen, D. G. 2004. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem.

Mangrove, Pusat kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB, Bogor.

Brazier, J. D. 1986. Growth features and structural wood performance.

Proceedings 18th IUFRO World Congress, Division 5 Forest Products, Ljubljana.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1989. Standar Nasional Indonesia Nomor 1032 tentang Cara Uji Kadar Sari Ekstrak Benzena Dalam Pulp dan Kayu. Jakarta (ID): Indonesia.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2008. Standar Nasional Indonesia Nomor 0492 tentang Pulp dan Kayu, Cara Uji Kadar Lignin Metode Klason.

Jakarta (ID): Indonesia.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009. Standar Nasional Indonesia Nomor 0442 tentang Kertas, Karton, dan Pulp, Cara Uji Kadar Abu. Jakarta (ID):

Indonesia.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009. Standar Nasional Indonesia Nomor 0444 tentang Pulp, Cara Uji Kadar Selulosa Alfa, Beta dan Gamma.

Jakarta (ID): Indonesia.

Didziulis V. 2007. NOBANIS Invasive Alien Species Fact Sheet - Teredo navalis In: Online Database of the North European and Baltic Network on Invasive Alien Species.

Dumanauw, J. F. 2001. Mengenal Kayu, Pendidikan Industri Kayu Atas –.

Semarang”. Kanisius. Yogyakarta.

Fengel dan Wegener. 1995. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi – reaksi.

Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press.

Haygreen, J. G. 1987. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu: Suatu Pengantar. Yogyakarta:

Universitas Gajah Mada Press .

Hunt, G. M, dan Garrat. 1986. Pengawetan Kayu. Terjemahan Jusuf, M. Edisi Pertama. Cetakan Pertama. Akademika Pressindo.

Gambar

Gambar 1. Contoh Uji Ketahanan terhadap Serangan di Mangrove.
Gambar 2. Skema Rangkaian Contoh Uji dalam Proses Perendaman.
Gambar 3. Organisme Teredo navalis(A) dan Taksonomi Teredo navalis(B)
Gambar 4.Teritip (Balanus sp)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Electric Vehicle System Model System EV terdiri dari dua subsystem, motor listrik dan platform system kendaraan; keduanya harus dimodelkan, mengingat semua gaya yang bekerja

Peningkatan harga CPO dunia pada periode 1992- 1996 dan 1998-2001 menyebabkan peningkatan penerimaan devisa dari ekspor CPO lebih besar daripada penurunan penerimaan devisa

Perbedaan utama antara laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal yang merupakan data yang dimasukan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan disebabkan

Hal ini merupa- kan pengaruh dari beberapa faktor, yaitu pe- nguasaan narasumber dan instruktur dalam hal materi teknik kepemanduan cukup baik, para narasumber dan

Berdasarkan hasil Praktek Kerja Lapang (PKL) tentang penerapan teknologi busmetik pada pembesaran udang vannamei di UPT PBAP Bangil, Pasuruan dapat ditarik

1) Supaya anak memiliki perbendaharaan kata yang diperlukan untuk berkomunikasi sehari-hari. 2) Supaya anak mau mendengarkan dan memahami kata-kata serta kalimat.

Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan Pasal 1 UU Nomor 28 Tahun 2017 mengungkapkan bahwa pajak adalah kontribusi nyata yang bersifat wajib kepada negara dalam

(5) Dalam hal pembukaan rahasia kedokteran untuk kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf e, identitas pasien dapat dibuka kepada