• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISOLASI FUNGI ENDOFIT DAUN TALAS (Xanthosoma sagittifolium [L] Schott.) SEBAGAI PENGHASIL SENYAWA ANTIFUNGI ISOLATION OF ENDOPHYTIC FUNGI FROM COCOYAM LEAF (Xanthosoma sagittifolium [L] Schott.) AS A PRODUCER OF ANTIFUNGAL COMPOUND

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ISOLASI FUNGI ENDOFIT DAUN TALAS (Xanthosoma sagittifolium [L] Schott.) SEBAGAI PENGHASIL SENYAWA ANTIFUNGI ISOLATION OF ENDOPHYTIC FUNGI FROM COCOYAM LEAF (Xanthosoma sagittifolium [L] Schott.) AS A PRODUCER OF ANTIFUNGAL COMPOUND"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

ISOLASI FUNGI ENDOFIT DAUN TALAS (Xanthosoma sagittifolium [L] Schott.) SEBAGAI

PENGHASIL SENYAWA ANTIFUNGI ISOLATION OF ENDOPHYTIC FUNGI FROM COCOYAM LEAF (Xanthosoma sagittifolium [L]

Schott.) AS A PRODUCER OF ANTIFUNGAL COMPOUND

NUR INDAH SARI N111 14 314

PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

(2)

ISOLATION OF ENDOPHYTIC FUNGI FROM COCOYAM LEAF (Xanthosoma sagittifolium [L]

Schott.) AS A PRODUCER OF ANTIFUNGAL COMPOUND

NUR INDAH SARI N111 14 314

PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

(3)

ISOLASI FUNGI ENDOFIT DAUN TALAS (Xanthosoma sagittifolium [L] Schott.) SEBAGAI PENGHASIL SENYAWA ANTIFUNGI

ISOLATION OF ENDOPHYTIC FUNGI FROM COCOYAM LEAF (Xanthosoma sagittifolium [L] Schott.) AS A PRODUCER OF

ANTIFUNGAL COMPOUND

SKRIPSI

untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar sarjana

NUR INDAH SARI N111 14 314

PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2018

(4)

NUR INDAH SARI N111 14 314

Pada Tanggal, 30 Mei 2018 Disetujui oleh :

Pembimbing Pertama

Nana Juniarti Natsir Djide, S.Si., M.Si., Apt.

NIP. 19900602 201504 2 002 Pembimbing Utama

Dr. Herlina Rante, S.Si., M.Si., Apt.

NIP. 19771125 200212 2 003

(5)

SKRIPSI

ISOLASI FUNGI ENDOFIT DAUN TALAS (Xanthosoma sagittifolium [L] Schott.) SEBAGAI PENGHASIL SENYAWA ANTIFUNGI

ISOLATION OF ENDOPHYTIC FUNGI FROM COCOYAM LEAF (Xanthosoma sagittifolium [L] Schott.) AS A PRODUCER OF

ANTIFUNGAL COMPOUND

Disusun dan diajukan oleh :

NUR INDAH SARI N111 14 314

telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin

Pada Tanggal 30 Mei 2018 dan dinyatakan telah memenuhi syarat Panitia Penguji Skripsi :

1. Ketua : Prof. Dr. M. Natsir Djide, MS., Apt. ...

2. Sekretaris : Dr. Latifah Rahman, DESS., Apt. ...

3. Anggota : Dr. Mufidah, S.Si., M.Si., Apt. ...

4. Ex Officio : Dr. Herlina Rante, S.Si., M.Si., Apt. ...

5. Ex Officio : Nana Juniarti Natsir Djide, S.Si., M.Si., Apt. ...

Mengetahui,

Dekan Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin

Prof. Dr. Gemini Alam, M.Si., Apt.

NIP. 19641231 199002 1 005

(6)

adalah hasil karya saya sendiri, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa pernyataan saya ini tidak benar, maka skripsi dan gelar yang diperoleh batal demi hukum.

Makassar, 30 Mei 2018

Yang menyatakan

Nur Indah Sari N111 14 314

(7)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur atas kehadirat Allah Subhana Wa Ta’ala atas rahmat dan karunia-Nya penulis masih diberi kesehatan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini banyak dukungan, bantuan, kritik dan saran yang diterima, sehingga penulis dapat melewati kendala-kendala yang dihadapi selama proses tersebut. Oleh karena itu, penulis dengan tulus mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Ibu Dr. Herlina Rante, S.Si., M.Si., Apt. dan Ibu Nana Juniarti Natsir Djide, S.Si., M.Si., Apt selaku pembimbing yang selalu meluangkan waktu dan pikirannya untuk memberikan masukan, arahan serta motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian dan skripsi ini.

2. Tim Penguji Bapak Prof. Dr. M. Natsir Djide, MS., Apt, Ibu Dr. Latifah Rahman, DESS., Apt dan Ibu Dr. Mufidah, S.Si., M.Si., Apt yang telah memberikan kritik dan saran yang membantu dalam penyusunan skripsi ini.

3. Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin serta seluruh dosen dan Staf Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin atas segala fasilitas yang diberikan selama penulis menempuh studi hingga menyelesaikan penelitian ini.

(8)

vii

Terkhusus terima kasih kepada teman-teman penulis:

1. Rekan Penelitian di Laboratorium Mikrobiologi, Hikmawati, Rizkiya Apriyanti, Nurrahma Masda, Sartika Rantekata, Indah Anggreni, Dalaratmi, Evi Febriani, Herlina, Nurul Asmi, Nurun Nahda, Sari Fatahillah, Sumi, Ika Sartika, dan Nurul Ilmi Yusuf atas segala bantuan, semangat, kritik dan saran selama penelitian dan penyusun skripsi.

2. Teman-teman angkatan 2014 HIOSIAMIN atas bantuan, dukungan dan kebersamaan selama berkuliah di Farmasi semoga kita semua menjadi orang yang sukses dan bermanfaat bagi nusa dan bangsa.

3. Rekan penelitian isolasi, Nurul Atikah MS atas segala bantuan, dukungan dan kebersamaan selama penelitian dan penyusunan skripsi.

4. Teman-teman spesial, almarhumah Anita Sarnita Suriani, Suci Nilasari, Sri Wahyuni Astari, Nursatriani Sapada, Atina Abdullah, Eka Tri Saputri, Isyrayanti, Firda, Indriani, Yuyun Sulistiani, Zindy Regita, Resky Raudah dan Rahmawati Faisal yang selalu mendukung dan mendoakan.

(9)

viii

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu namanya atas do’a, bantuan dan dukungan selama ini.

Akhirnya, semua ini tiada artinya tanpa do’a dan dukungan berupa moril, materi, motivasi dan kasih sayang dari kedua orang tua yang penulis cintai dan sayangi, Ayahanda Renreng dan Ibunda Muliyana serta saudara-saudara penulis Novi Puspita Sari, Nur Amaliyah Sari dan Nur Pratiwi Sari atas perhatian, do’a dan dukungan yang diberikan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan.

Oleh karena itu,kritik dan saran yang membangun diharapkan oleh penulis guna memperbaiki penelitian selanjutnya agar menjadi lebih baik sehingga memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Makassar, 30 Mei 2018

Nur Indah Sari

(10)

ix

sagittifolium [L] Schott.) Sebagai Penghasil Senyawa Antifungi (dibimbing oleh Herlina Rante, Nana Juniarti Natsir Djide)

Fungi endofit yang berasal dari tumbuhan dapat menghasilkan enzim dan metabolit sekunder sebagai alternatif bahan baku obat yang telah banyak dieksplorasi dalam beberapa tahun terakhir. Daun talas (Xanthosoma sagittifolium [L.] Schott.) merupakan tumbuhan yang biasa digunakan sebagai pengobatan traditional dan memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber fungi endofit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh isolat fungi endofit dari daun talas (X.

sagittifolium) yang dapat menghasilkan senyawa antifungi. Isolat diperoleh dengan menggunakan metode tanam langsung daun talas pada media Potato Dextrosa Agar (PDA) dan dilakukan uji antagonis untuk mengetahui potensi awal isolat yang aktif dalam menghambat pertumbuhan fungi uji (Aspergillus niger dan Candida albicans).

Fermentasi isolat murni dilakukan pada media Potato Dextrosa Yeast (PDY) yang selanjutnya diekstraksi dengan pelarut etil asetat dan metanol. Uji aktivitas antifungi ekstrak dari fermentasi isolat dilakukan menggunakan metode difusi agar sumuran yang dilanjutkan dengan skrining fitokimia. Proses isolasi menghasilkan 1 isolat yang diberi kode TL dan aktif dalam menghambat fungi uji. Hasil uji aktivitas menunjukkan bahwa masing-masing ekstrak fungi endofit isolat TL dengan kadar 4 mg memiliki aktivitas antifungi yang sangat kuat, zona hambatan terbesar ditunjukkan oleh ekstrak metanol dari biomassa fungi dengan diameter zona hambat sebesar 28,64±2,23 mm terhadap C. albicans dan 28,73±0,95 mm terhadap A. niger. Ekstrak dari isolat TL diduga mengandung senyawa golongan steroid, terpenoid, alkaloid, flavonoid dan peptida. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa fungi endofit dari daun talas memiliki potensi sebagai penghasil senyawa antifungi.

Kata kunci : Antifungi, fermentasi, fungi endofit, metabolit sekunder, Xanthosoma sagittifolium

(11)

x

ABSTRACT

NUR INDAH SARI. Isolation of Endophytic Fungi from Cocoyam Leaf (Xanthosoma Sagittifolium [L] Schott.) As A Producer of Antifungal Compound

(supervised by Herlina Rante, Nana Juniarti Natsir Djide)

Endophytic fungi derived from plants can produce enzymes and secondary metabolites as an alternative to raw drug materials that have been widely explored in recent years. Cocoyam leaf (Xanthosoma sagittifolium [L.] Schott.) is a plant commonly used as a traditional treatment and has the potential to be utilized as a source of endophytic fungi. The aim of this study is to obtain endophytic fungi isolates from cocoyam leaf (X. sagittifolium) that could produce antifungal compound.

The isolate was obtained by using direct planting method of cocoyam leaf on Potato Dextrose Agar (PDA) medium and an antagonistic test was conducted to find out the initial potential of active isolates in inhibiting the growth of test fungi (Aspergillus niger and Candida albicans).

Fermentation of pure isolates was carried out in Potato Dextrose Yeast (PDY) medium which was extracted using ethyl acetate and methanol.

Antifungal activity test extract from fermentation of isolates was done by using agar well diffusion method followed by phytochemical screening.

The isolation process yielded 1 isolated coded as TL and active in inhibiting the test fungi. The results of the antifungal activity test showed that each extract from TL isolate of endophytic fungi with 4 mg content had great antifungal activity, with the greatest activity shown on methanol extract of fungal biomass with diameter of inhibition zone of 28,64±2,23 mm on C. albicans and 28,73±0,95 mm on A. niger. Extracts of TL isolates were suspected to contain steroid, terpenoid, alkaloids, flavonoid compounds and peptides. The result so this study indicated that the endophytic fungi from cocoyam leaf has a potential as a producer of antifungal compound.

Keywords: Antifungal, fermentation, endophytic fungi, secondary metabolite, Xanthosoma sagittifolium

(12)

xi

UCAPAN TERIMA KASIH vi

ABSTRAK ix

ABSTRACT x

DAFTAR ISI xi

DAFTAR TABEL xv

DAFTAR GAMBAR xvi

DAFTAR LAMPIRAN xviii

BAB I PENDAHULUAN 1

I.1 Latar Belakang 1

I.2 Rumusan Masalah 3

I.3 Tujuan Penelitian 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4

II.1 Uraian Tumbuhan 4

II.1.1 Klasifikasi Tumbuhan 4

II.1.2 Nama daerah 4

II.1.3 Deskripsi Tumbuhan 4

II.1.4 Kandungan Kimia 5

II.1.5 Kegunaan Tumbuhan 6

II.2 Mikroba Endofit 7

(13)

xii

halaman

II.3 Metabolit Sekunder 8

II.4 Uraian Umum Fungi Uji 10

II.4.1 Candida albicans 10

II.4.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Candida albicans 10 II.4.1.2 Penyakit Akibat Candida albicans 11

II.4.2 Aspergillus niger 14

II.4.2.1 Klasifikasi dan Morfologi Aspergillus niger 14 II.4.2.2 Penyakit Akibat Aspergillus niger 15

II.5 Antifungi 16

II.5.1 Mekanisme Kerja Antifungi 16

II.5.2 Nistatin 19

II.6 Uji Antimikroba 20

II.7 Ekstraksi 22

II.8 Kromatografi Lapis Tipis 24

BAB III METODE PENELITIAN 28

III.1 Penyiapan Alat dan Bahan 28

III.2 Metode Kerja 29

III.2.1 Sterilisasi Alat 29

III.2.2 Pembuatan Asam Tartrat 10% 29

III.2.3 Pembuatan Medium PDA (Potato Dextrose Agar) 29

III.2.4 Penyiapan Sampel Isolasi 30

(14)

xiii

III.2.6 Pemurnian Fungi Endofit 31

III.2.7 Peremajaan Kultur Murni Fungi Uji 31

III.2.8 Uji Antagonis 31

III.2.8.1 Uji Antagonis Pada Fungi Uji Candida albicans 31 III.2.8.1 Uji Antagonis Pada Fungi Uji Aspergillus niger 32 III.2.9 Peremajaan Isolat Fungi Endofit Daun Talas 32

III.2.10 Identifikasi Mikroskopik 33

III.2.11 Fermentasi Isolat Fungi Endofit Daun Talas 33

III.2.11.1 Pembuatan Medium Fermentasi 33

III.2.11.2 Pengerjaan Fermentasi Isolat 34

III.2.12 Uji Aktivitas Fermentasi Isolat 34

III.2.13 Ekstraksi Hasil Fermentasi 35

III.2.13.1 Ekstraksi Cairan Fermentasi Fungi Endofit Isolat TL 36 III.2.13.2 Ekstraksi Biomassa Fermentasi Fungi Endofit Isolat TL 36

III.2.14 Ekstraksi Daun Talas 37

III.2.15 Uji Aktivitas Antifungi 38

III.2.16 Skrining Fitokimia 40

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 42

IV.1 Hasil Isolasi Fungi Endofit Dari Daun Talas 42 IV.2 Peremajaan dan Pemurnian Isolat Fungi Endofit 44

(15)

xiv

halaman

IV.3 Uji Antagonis Fungi Endofit 44

IV.4 Identifikasi Mikroskopik Isolat TL 45 IV.5 Fermentasi Fungi Endofit dan Ekstraksi 46

IV.6 Ekstraksi Daun Talas 48

IV.7 Uji Aktivitas Antifungi 49

IV.8 Skrining Fitokimia 51

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 54

V.1 Kesimpulan 54

V.2 Saran 54

DAFTAR PUSTAKA 55

LAMPIRAN 59

(16)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel halaman

1. Kriteria kekuatan antimikroba 50

2. Hasil skrining fitokimia 52

3. Hasil uji aktivitas antifungi 61

(17)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar halaman

1. Kromatografi lapis tipis 25

2. Isolat fungi endofit setelah 7 hari inkubasi 43 3. Hasil pengamatan kontrol pada tahap isolasi 44 4. Isolat fungi endofit dari daun talas 44

5. Hasil uji antagonis isolat TL 45

6. Hasil pengamatan mikroskopik isolat TL 46 7. Hasil fermentasi isolat fungi endofit hari ke-13 47 8. Diagram hasil uji aktivitas ekstrak 50

9. Reaksi uji protein metode Lowry 52

10. Skema kerja isolasi fungi endofit daun talas 59 11. Xanthosoma sagittifolium [L.] Schott. 62 12. Proses pengerjaan tahap isolasi fungi endofit 62 13. Proses pengerjaan tahap uji antagonis 62

14. Proses pengerjaan tahap fermentasi 63

15. Proses pengerjaan tahap ekstraksi 63

16. Proses pengerjaan tahap uji aktivitas antifungi 64 17. Proses pengerjaan tahap skrining fitokimia 64 18. Hasil uji aktivitas ekstrak isolat TL terhadap fungi uji 65 19. Hasil pengamatan skrining fitokimia 65

(18)

xvii

halaman

20. Hasil pengamatan skrining fitokimia menggunakan 66

beberapa pereaksi semprot

21. Hasil uji kualitatif protein 67

(19)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran halaman

1. Skema Kerja Isolasi Fungi Endofit Daun Talas 59

2. Komposisi Media 60

3. Hasil Uji Aktivitas Antifungi 61

4. Dokumentasi Penelitian 62

5. Gambar Hasil Penelitian 65

6. Hasil Determinasi Tumbuhan 68

(20)

1 I.1 Latar belakang

Penyakit infeksi kulit banyak dijumpai di negara yang beriklim tropis, seperti Indonesia. Suhu yang hangat dan kelembaban tinggi mempermudah perkembangan bakteri maupun jamur sehingga menyebabkan penyakit tersebut banyak terjadi (Darmadi, 2008).

Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (2015), penyakit infeksi menempati urutan ke-3 dari 10 penyakit yang paling mematikan. Selain itu, menurut data Depkes RI (2013), prevalensi penyakit kulit di Indonesia tahun 2012 adalah 8,46% kemudian meningkat ditahun 2013 sebesar 9%.

Upaya yang biasa dilakukan untuk mengobati penyakit infeksi yaitu dengan penggunaan antibiotik (Utami, 2002).

Salah satu antibiotika yang digunakan untuk menyembuhkan infeksi yang disebabkan oleh jamur adalah antifungi (Munaf dan Chaidir, 1994). Namun saat ini, banyak jamur yang sudah resisten terhadap antifungi yang telah ada dan biasa digunakan. Hal ini mengakibatkan turunnya mutu dan khasiat dari obat tersebut (Perea dan Patterson, 2002).

Berdasarkan Review on Antimicrobial Resistance, memperkirakan bahwa resistensi antimikroba akan membunuh 10 juta jiwa di seluruh dunia setiap tahunnya pada tahun 2050, angka tersebut melebihi kematian akibat kanker, yakni 8,2 juta jiwa per tahun (O’Neill, 2014). Oleh karena itu, terus

(21)

2

dilakukan berbagai upaya untuk mengatasi hal tersebut. Salah satunya ialah mengeksplorasi kembali potensi bahan alam berupa tumbuhan sebagai sumber antifungi baru. Namun untuk memperoleh senyawa bioaktif dari tumbuhan tersebut membutuhkan sangat banyak biomassa atau bagian dari tumbuhan, sehingga cara untuk mencegah terjadinya eksploitasi tumbuhan ialah dengan menggunakan mikroba endofit yang terdapat pada tumbuhan (Strobel and Daisy, 2003).

Mikroba endofit memiliki kemampuan untuk memproduksi metabolit sekunder yang sesuai dengan tanaman inangnya. Metabolit sekunder yang dihasilkan inilah yang mempunyai potensi, salah satunya sebagai antifungi (Radji, 2005). Mikroba endofit dapat berupa bakteri atau jamur.

Namun, jamur endofit lebih banyak diteliti karena jamur endofit lebih potensial menghasilkan metabolit dan pertumbuhannya lebih mudah dikendalikan dibandingkan bakteri (Tan and Zou, 2001).

Salah satu tanaman yang sering digunakan untuk pengobatan dengan bahan alam ialah talas. Talas (Xanthosoma sagittifolium) yang biasa disebut kimpul atau talas belitung adalah tanaman herba yang termasuk suku Araceae. Talas biasa dijadikan makanan pokok utama baik bagian daunnya maupun umbinya (Langeland, et.al., 2008). Daun talas memiliki kandungan senyawa kimia diantaranya flavonoid, terpenoid, dan saponin (Jatmiko dan Teti, 2014). Flavonoid, terpenoid dan saponin mempunyai fungsi sebagai senyawa antifungi (Freisleben and Anna, 2014).

(22)

Berdasarkan penelitian Schmourlo, et.al (2005), ekstrak etanol dan ekstrak air daun talas (X. sagittifolium) memiliki aktivitas antifungi.

Namun, belum ada penelitian yang berfokus pada mikroba endofit dari daun talas.

I.2 Rumusan masalah

Apakah isolasi dari daun talas (Xanthosoma sagittifolium [L.]

Schott.) dapat menghasilkan isolat fungi endofit yang berpotensi sebagai penghasil senyawa antifungi?

I.3 Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh isolat fungi endofit dari daun talas (Xanthosoma sagittifolium [L.] Schott.) yang dapat menghasilkan senyawa antifungi.

(23)

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Uraian Tumbuhan Talas (Xanthosoma sagittifolium [L] Schott.) II.1.1 Klasifikasi Tumbuhan

Kingdom : Plantae Divisi : Tracheophyta Kelas : Magnoliopsida Bangsa : Alismatales Suku : Araceae Marga : Xanthosoma

Jenis : Xanthosoma sagittifolium [L] Schott (ITIS, 2010).

II.1.2 Nama Daerah

Talas Xanthosoma sagittifolium memiliki nama yang berbeda-beda di Indonesia, seperti Taleus hideung, kimpul bodas, kimpul bejo (Sunda), bentul, kimpul linjik (Jawa), tales campa (Madura) (Minantyorini dan Ida, 2002).

II.1.3 Deskripsi Tumbuhan

Tumbuhan Xanthosoma sagittifolium yang biasa disebut talas kimpul adalah jenis umbi talas-talasan dan merupakan tumbuhan menahun yang mempunyai umbi batang maupun batang palsu/semu yang sebenarnya adalah tangkai daun. Tumbuhan ini memiliki tinggi sampai

(24)

lebih dari 2 meter dengan batang yang tebal, tegak, berdaging dengan panjang hingga 1 meter, mengeluarkan getah seperti susu ketika dipotong (Langeland et al, 2008).

Daun talas kimpul bentuknya seperti menyerupai hati yang dasarnya terbagi menjadi 2 bagian, berwarna hijau tua pada permukaan atas dan hijau muda pada permukaan bawah. Lebar daun berkisar antara 12-50 cm, panjang daun antara 20-63 cm. Pelepah daun melekat pada helaian daun. tangkai daun memiliki panjang sampai 1,5 m, bulat dekat daun, melekat pada helaian daun antara 2 lobus di tepi daun, bilah daun masing-masing dengan panjang 1 m (Langeland et al, 2008).

Perbungaannya berbentuk tongkol, seludang berwarna hijau pucat, tongkolnya silindrik dengan panjang ±15 cm. Bunga betina terletak didasar tongkol, sedangkan bunga jantan terletak diatas. Panjang bunga jantan pada tongkol 3-4 kali panjang bunga betina. Bunga betina mengandung bakal biji (ovarium) yang berbentuk seperti mangkok. Bunga jantan mengandung 6 helai benang sari dan kepala sari yang bersatu. Buah seperti buah buni, meskipun produksi buah dan biji jarang dijumpai. Umbi berbentuk membulat, umbi anak berbentuk seperti botol, biasanya didapatkan 10 atau lebih pada tiap-tiap umbi (Langeland et al, 2008).

II.1.4 Kandungan Kimia

Xanthosoma sagittifolium mengandung komponen bioaktif seperti prolin, polifenol, antosianin, flavonoid, saponin, alkaloid dan senyawa diosgenin pada bagian daun dan umbinya (Anggarwulan, dkk., 2008 ;

(25)

6

Jatmiko dan Teti, 2014). Kandungan-kandungan lain dari Xanthosoma sagittifolium adalah kalsium oksalat, karbon, nitrogen, serat dan vitamin C (Handajani, dkk., 2015).

II.1.5 Kegunaan Tumbuhan

Talas kimpul biasa digunakan sebagai bahan obat tradisional.

Seperti bubur akar rimpang talas dipercaya sebagai obat encok, cairan akar rimpang digunakan obat bisul, getah daunnya sering digunakan untuk menghentikan pendarahan karena luka dan obat bengkak. Pelepah dan tangkai daunnya yang telah dipanggang dapat digunakan untuk mengurangi rasa gatal-gatal, bahkan pelepah daunnya juga dapat sebagai obat gigitan kalajengking (Langeland et al, 2008).

Xanthosoma sagittifolium juga mengandung senyawa flavonoid dan

polifenol yang berperan sebagai antimikroba dan memiliki aktivitas sebagai antioksidan. Antioksidan yang dikonsumsi dalam jumlah yang memadai dapat menurunkan risiko terjadinya penyakit degeneratif seperti kardiovaskular, diabetes, kanker, aterosklerosis dan osteoporosis (Anggarwulan, dkk., 2008).

Komponen bahan aktif serat dan vitamin C diduga dapat menurunkan kadar kolesterol atau bersifat hipokolesterolemik. Selain itu, saponin diketahui dapat meningkatkan sintesis garam empedu sehingga kadar kolesterol akan ditekan (Handajani, dkk., 2015).

Senyawa diosgenin diketahui bermanfaat sebagai anti kanker, menghambat poliferase sel, dan memiliki efek hipoglikemik. Selain itu juga

(26)

mengandung Polisakarida Larut Air (PLA) yang berfungsi untuk melancarkan pencernaan (Jatmiko dan Teti, 2014).

II.2 Mikroba endofit

Mikroba endofit adalah mikroba yang hidup di dalam jaringan tanaman pada periode tertentu dan mampu hidup dengan membentuk koloni dalam jaringan tanaman tanpa membahayakan inangnya. Setiap tanaman dapat mengandung satu atau lebih mikroba endofit yang mampu menghasilkan senyawa biologi atau metabolit sekunder yang diduga sebagai akibat koevolusi atau transfer genetik dari tanaman inangnya ke dalam mikroba endofit (Radji, 2005).

Istilah endofit pertama kali diperkenalkan oleh De Bary pada tahun 1866 untuk membedakan jamur yang berada dalam jaringan tanaman inang dengan jamur epifit yaitu jamur yang hidup dipermukaan tanaman.

Istilah ini diambil dari kata “endo” yang berarti di dalam dan “phyte” yang berarti tumbuhan yakni mikroorganisme (bakteri dan jamur) yang hidup dalam tumbuhan baik pada daun, dahan, batang maupun akar dan tidak menyebabkan kerusakan pada tanaman inangnya yang sangat bermanfaat dalam melindungi tanaman terhadap serangan hama (Sastrahidayat, 2014).

Mikroba endofit hidup bersimbiosis saling menguntungkan dengan inangnya. Mikroba endofit mendapat nutrisi dari hasil metabolisme tanaman dan memproteksi tanaman melawan herbivora, serangga, atau jaringan yang patogen, sedangkan tanaman mendapatkan derivat nutrisi

(27)

8

dan senyawa aktif yang diperlukan selama hidupnya (Tanaka, et.al., 1999).

Mikroba endofit terdiri atas bakteri, fungi dan actinomycetes, namun yang paling banyak ditemukan ialah fungi dan actinomycetes. Fungi endofit banyak dieksplorasi sebagai alternatif senyawa bioaktif karena kemampuannya menghasilkan metabolit yang potensial untuk dikembangkan menjadi bahan baku obat seperti sebagai antimikroba, antikanker, antimalaria, antioksidan dan sebagainya (Tan and Zou, 2001).

II.3 Metabolit Sekunder

Bahan alam dibedakan menjadi dua berdasarkan fungsi terhadap makhluk hidup pembuatnya yakni metabolit primer dan metabolit sekunder. Metabolit sekunder adalah senyawa yang disintesis oleh makhluk tumbuhan, mikrobia atau hewan melewati proses biosintesis yang digunakan untuk menunjang kehidupan namun tidak vital sebagaimana gula, asam amino dan asam lemak. Metabolit ini memiliki aktivitas farmakologi dan biologi. Di bidang farmasi secara khusus, metabolit sekunder digunakan dan dipelajari sebagai kandidat obat atau senyawa penuntun untuk melakukan optimasi agar diperoleh senyawa yang lebih poten dengan toksisitas minimal (Saifuddin, 2014).

(28)

Metabolit sekunder memililki ciri-ciri yaitu:

a. Tidak terlibat langsung dalam metabolisme/kehidupan dasar:

pertumbuhan, perkembangan dan reproduksi.

b. Tidak esensial. Ketiadaan jangka pendek tidak berakibat kematian dan ketiadaan jangka panjang tidak menyebabkan kelemahan dalam pertahanan diri, survival, estetika dan menarik serangga.

c. Golongan metabolit sekunder didistribusi hanya pada spesies pada familia tertentu.

d. Seringkali berperan sebagai pertahanan terhadap musuh.

e. Senyawa organik dengan berat molekul 50-1500 dalton sehingga disebut mikromolekul.

f. Penggolongan utama metabolit sekunder yaitu terpenoid, fenil propanoid, poliketida dan alkaloid.

g. Pemanfaatan oleh manusia biasa digunakan untuk obat, parfum, bumbu dan relaksasi (Saifuddin, 2014).

Metabolit sekunder merupakan senyawa yang dihasilkan atau disintesa pada sel dan group taksonomi tertentu pada tingkat pertumbuhan atau stress. Senyawa ini diproduksi hanya dalam jumlah sedikit tidak terus-menerus untuk mempertahankan diri dari habitatnya dan tidak berperan penting dalam proses metabolisme utama (primer).

Pada tanaman, senyawa metabolit sekunder memiliki beberapa fungsi, diantaranya sebagai atraktan (menarik serangga penyerbuk), melindungi dari stress lingkungan, pelindung dari serangan hama/penyakit

(29)

10

(fitoaleksin), pelindung terhadap sinar ultra violet, sebagai zat pengatur tumbuh dan untuk bersaing dengan tanaman lain (alelopati) (Mariska, 2013).

Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi metabolit sekunder yaitu formulasi/komposisi media kultur, faktor fisik (suhu, cahaya, kelembaban), faktor genetik dan faktor stress lingkungan (logam berat, sinar UV) (Mariska, 2013).

Senyawa metabolit sekunder meliputi golongan alkaloid, flavanoid, steroid dan terpenoid yang tersebar pada jaringan tumbuhan. Tumbuh- tumbuhan mampu merekayasa beraneka ragam senyawa kimia yang mempunyai berbagai bioaktivitas yang menarik, dan kemampuan ini pula diartikan sebagai mekanisme pertahanan diri terhadap ancaman lingkungan. Dalam hubungan ini tumbuh-tumbuhan dapat menghasilkan senyawa–senyawa kimia yang bersifat pestisida, insektisida, antifungi, atau sitotoksik (Saifuddin, 2014).

II.4. Uraian Umum Fungi Uji II.4.1 Candida albicans

II.4.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Candida albicans

Klasifikasi Candida albicans dijabarkan sebagai berikut:

Kingdom : Fungi

Divisi : Ascomycota Kelas : Saccharomycetes Bangsa : Saccharomycetales

(30)

Suku : Cryptococcaceae Marga : Candida

Jenis : Candida albicans (ITIS, 2018)

Candida albicans merupakan bagian dari mikroba flora normal yang

beradaptasi dengan baik untuk hidup pada manusia terutama pada saluran cerna dan kulit. C. albicans merupakan fungi golongan khamir bersifat uniseluler yang berbentuk oval, bulat, lonjong atau bulat lonjong, dengan ukuran 2-5 µm x 3-6 µm hingga 2-5,5 µm x 5-28,5 µm, bergantung pada umurnya dengan permukaan halus, mengkilat, berwarna putih kekuningan dan berbau ragi. Pada tepi koloni terdapat hifa semu sebagai benang-benang halus yang masuk ke dalam medium (Mutiawati, 2016).

C. albicans tumbuh dengan optimum pada pH antara 2,5-7,5 dan

temperatur berkisar 25-37ºC. Reproduksinya dengan perkembangbiakan tunas untuk memperbanyak diri yang akan terus memanjang membentuk hifa semu. Hifa semu terbentuk dari rangkaian blastospora (spora jamur) yang berbentuk bulat atau lonjong disekitar septum (Mutiawati, 2016;

Komariah, 2012).

II.4.1.2 Penyakit Akibat Candida albicans

Candida sp. dapat menyebabkan infeksi kulit dan selaput lendir yang disebut kandidiasis. Kandidiasis ada berbagai jenis, diantaranya yaitu:

(31)

12

a. Kandidiasis Oral

Kandidiasis oral disebut juga “Oral Trush”, memberi gambaran klinis berupa stomatitis akut. Pada selaput lendir mulut tampak bercak- bercak putih kekuningan yang timbul dari dasar selaput lendir yang merah yang disebut membran palsu. Membran palsu ini dapat meluas sampai menutupi lidah. Lesi-lesi ini dapat juga terlepas dari selaput lendir sehingga dasarnya tampak merah dan mudah berdarah. Penderita selalu mengeluh sakit, terutama bila waktu tersentuh makanan (Siregar, 2004).

b. Kandidiasis Mukosa Pipi

Kandidiasis jenis ini berupa plak tebal seperti kepala susu, berwarna putih, melekat pada mukosa pipi. Bila dikerok, maka epitel dibawahnya tampak meradang dan mudah terlepas (Graham-Brown and Tony, 2002).

c. Keilitis Angular

Keilitis angular adalah proses peradangan yang terdapat pada sudut mulut yang disebabkan oleh infeksi Candida albicans sehingga terbentuknya lipatan-lipatan yang menonjol pada sudut mulut yang bisa disebabkan karena usia atau pada orang-orang ompong tetapi gigi palsunya tidak dipakai atau dipakai tetapi tidak cocok. Saliva mengalir masuk ke dalam lipatan-lipatan tadi karena adanya kerja kapiler, kemudian enzim saliva menyebabkan terjadinya maserasi kulit, sehingga terjadi daerah yang lembab dan nyeri (Graham-Brown and Tony, 2002).

(32)

d. Paronikia Kronis

Paronikia kronis merupakan proses peradangan kronis akibat Candida albicans pada lipatan kuku proksimal dan matriks kuku. Hal ini

terutama terjadi pada orang-orang yang tangannya sering terendam dalam air. Tidak adanya kutikula memungkinkan masuknya bahan-bahan iritan seperti deterjen ke daerah dibawah kuku proksimal dan hal ini turut menyebabkan proses peradangan sehingga terjadi penebalan dan eritema pada lipatan kuku proksimal serta hilangnya kutikula (Graham-Brown and Tony, 2002).

e. Balanitis dan Vulvovaginitis

Balanitis merupakan penyakit infeksi Candida albicans berupa bercak-bercak kecil berwarna putih atau daerah yang mengalami erosi yang terdapat pada kulit ujung penis dan glans penis pada orang-orang yang tidak disunat (Graham-Brown and Tony, 2002).

Vulvovaginitis merupakan penyakit infeksi Candida albicans pada vagina yang menimbulkan keluarnya sekret vagina yang berbentuk seperti krim/ encer kemudian menjadi kental dan pada keadaan menahun tampak seperti butir-butir tepung halus serta adanya eritema pada vulva yang terasa gatal (Graham-Brown and Tony, 2002). Pada mukosa vagina terlihat ada bercak putih kekuningan, meninggi dari permukaan yang disebut vaginal trush. Bercak-bercak ini terdiri dari gumpalan jamur kandida, jaringan nekrotik dan sel-sel epitel. Labia minora dan mayora membengkak dengan ulkus-ulkus kecil berwarna merah dan disertai

(33)

14

dengan daerah yang erosi. Penderita selalu merasa gatal, panas dan sakit pada waktu buang air kecil (Siregar, 2004).

f. Intertrigo

Intertrigo merupakan istilah yang dipakai untuk maserasi yang terjadi pada tempat-tempat dimana dua permukaan kulit saling menempel yaitu lipat paha, aksila, daerah lipatan payudara atau daerah dibawah lipatan lemak perut. Infeksi Candida albicans secara klinis terdapat pustula-pustula berbentuk seperti krim pada bagian tepi daerah yang terkena. Pustula-pustula ini mudah pecah, meninggalkan suatu kolaret skuama yang memberikan penampakan khas yaitu bagian tepi seperti kerang pada daerah intertrigo (Graham-Brown and Tony, 2002).

II.4.2 Aspergillus niger

II.4.2.1 Klasifikasi dan Morfologi Aspergillus niger

Klasifikasi Aspergillus niger dijabarkan sebagai berikut:

Kingdom : Fungi

Divisi : Ascomycota Kelas : Eurotiomycetes Bangsa : Eurotiales

Suku : Trichocomaceae Marga : Aspergillus

Jenis : Aspergillus niger (Hidayat, dkk., 2016).

Aspergillus niger merupakan fungi golongan kapang yang memiliki spora dengan diameter 2 µm - 3 µm, memiliki konidia berwarna hitam dan

(34)

bagian dasarnya berwarna putih. Konidia merupakan spora aseksual non motil yang dalam penyebarannya mengandalkan bantuan udara dan air.

Konidia memiliki ketahanan terhadap panas lebih baik daripada hifa namun kurang tahan dibandingkan dengan spora bakteri yaitu memiliki suhu maksimum 56 – 62ºC. Pembentukan konidia dimulai dengan tegaknya tangkai konidiofor yang muncul dari sel yang ada pada substrat (foot cell). Ujung konidiofor mengalami pembengkakan yang disebut

dengan vesikel. Foot cell, konidiofor dan vesikel tidak dipisahkan oleh sekat. Pada ujung vesikel akan tumbuh metula yang mirip dengan pembentukan tunas pada khamir. Metula akan menghasilkan dua atau tiga fialid dan dari fialid akan dihasilkan konidia. Suhu optimum pertumbuhan A. niger yaitu 24-30ºC (Hidayat, dkk., 2016).

II.4.2.2 Penyakit Akibat Aspergillus niger

Aspergillus niger dapat menyebabkan infeksi pada rongga telinga

baik bersifat akut, sub akut maupun kronik. Gejalanya berupa gatal, nyeri pada telinga, keluarnya sekret sampai berkurangnya pendengaran. Selain itu, menyebabkan adanya pembengkakan, pengelupasan epitel superficial, adanya penumpukan debris yang berbentuk hifa.

Pemeriksaan fisik pada pasien akan ditemukan adanya debris berwarna putih, kehitaman, atau membran abu-abu yang berbintik-bintik di liang telinga. Bercak karena Aspergillus niger cenderung berwarna gelap kehitaman (Marlinda dan Ety, 2016).

(35)

16

II.5 Antifungi

Antibiotik adalah zat baik alami maupun sintetik yang diproduksi oleh mikroorganisme yang berguna untuk menghambat patogenisitas mikroorganisme lain. Selain itu, antibiotik juga merupakan metabolit yang dihasilkan dari berbagai mikroorganisme serta dalam konsentrasi rendah mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain. Mikroorganisme tersebut meliputi bakteri, arkea, fungi, protozoa, alga, dan virus. Dari pengertian ini, dapat diartikan bahwa antifungi adalah antibiotik yang mampu menghambat hingga mematikan pertumbuhan fungi. Antifungi mempunyai dua pengertian yaitu fungisidal dan fungistatik. Fungisidal didefinisikan sebagai suatu senyawa yang dapat membunuh fungi, sedangkan fungistatik dapat menghambat pertumbuhan fungi tanpa mematikannya (Franklin and Snow, 2005).

II.5.1. Mekanisme Kerja Antifungi

Mekanisme kerja senyawa antifungi dibedakan atas target aksi, yaitu:

a. Merusak Dinding Sel

Struktur dinding sel pada fungi merupakan struktur berlapis-lapis yang terdiri dari tiga komponen makromolekul utama yaitu kitin, glukan dan mannoprotein. Baik kitin maupun glukan tidak ada di dinding sel mamalia atau bakteri, sehingga biosintesis dari bahan-bahan ini memberikan target potensial untuk aksi antifungi (Franklin and Snow, 2005).

(36)

1). Menghambat Biosintesis Kitin

Kandungan miselium fungi 60% diantaranya adalah kitin sehingga kitin sangat penting dalam pertumbuhan fungi. Biosintesis kitin dihambat dengan cara memblok kerja enzim kitin sintetase yang berperan dalam pembentukan kitin dari 2 molekul UDP–N–asetilglukosamin. Pada saat biosintesis kitin berlangsung, senyawa–senyawa antifungi akan bersaing menduduki sisi aktif enzim kitin sintetase, sehingga kerja enzim tersebut menjadi terhambat. Oleh karena adanya penghambatan tersebut maka pertumbuhan dinding sel fungi akan terganggu. Contoh: Nikkomycin Z dan Polyoxin D (Franklin and Snow, 2005).

2). Menghambat Biosintesis Glukan

Pada biosintesis glukan, enzim 1,3–β–glukan sintetase mengkatalisis glukosa menjadi glukosa UDP yang tidak larut serta berperan sebagai sumber energi. Biosintesis glukan dihambat dengan cara menghambat ikatan pembentuk glukan yaitu ikatan 1,3–β–glukan dan 1,6–β–glukan, sehingga dinding sel akan berubah bentuk dan tidak dapat mempertahankan cairan sitoplasma. Cairan sitoplasma akan keluar dan sel akan mengalami lisis (pecah). Contoh: echinocandin B dan caspofungin (Franklin and Snow, 2005).

b. Merusak Membran Sel

1). Merusak Fungsi Mannoprotein

Mannoprotein adalah komponen terbesar penyusun membran sel fungi yang terdiri dari monosakarida dan protein, jika terjadi perubahan

(37)

18

akan berakibat pada permeabilitas membran sel. Contoh : pradimicin A (Franklin and Snow, 2005).

2). Interaksi dengan Ergosterol

Mekanisme kerja obat golongan azol berdasarkan pada inhibisi jalur biosintesis ergosterol, yang merupakan komponen utama membran sel fungi. Obat ini bekerja dengan menghambat 14-α-demetilasi, sebuah enzim sitokrom P450 mikrosomal pada membran sel fungi. Enzim 14-α- demetilasi diperlukan untuk mengubah lanosterol menjadi ergosterol.

Akibatnya, terjadi gangguan permeabilitas membran dan aktivitas enzim yang terikat pada membran dan berujung pada terhentinya pertumbuhan sel fungi.Pembentukan dengan ergosterol dalam membran sel fungi dapat menyebabkan kerusakan dan kebocoran membran sel. Contoh:

ketokonazol (Franklin and Snow, 2005).

3). Antifungi Polien

Obat golongan ini berinteraksi dengan sterol pada membran sel (ergosterol) untuk membentuk saluran sepanjang membran, sehingga menyebabkan kebocoran sel dan berujung pada kematian sel fungi.

Contoh: amphotericin B dan nistatin (Apsari dan Adiguna, 2013).

c. Menghambat Pada Asam Nukleat

Flusitosin (5-fluorousitosin) merupakan salah satu antifungi yang memiliki mekanisme kerja dengan menghambat pada asam nukleat.

Flusitosin akan masuk ke dalam sel fungi dengan bantuan enzim cytosine permease, yang selanjutnya mengalami perubahan intrasitoplasmik

(38)

menjadi 5-fluorourasil. Tahap selanjutnya 5-fluorourasil diubah menjadi 2 bentuk aktif yaitu 5-fluorouridin trifosfat yang menghambat sintesis RNA, dan 5-fluorodeoksiuridin monofosfat yang menghambat timidilat sintetase dan akhirnya menghambat pembentukan deoksitimidin trifosfat yang diperlukan untuk sintesis DNA (Apsari dan Adiguna, 2013).

d. Merusak Pada Mikrotubulus Fungi

Griseofulvin bekerja dengan cara merusak pembentukan spindel mitosis mikrotubulus fungi sehingga mitosis berhenti pada stadium metafase sehingga menghalangi replikasi DNA. (Apsari dan Adiguna, 2013).

II.5.2 Nistatin

Nistatin adalah obat antifungi golongan polien yang digunakan untuk mengatasi infeksi yang disebabkan oleh fungi dengan cara merusak selaput sel fungi dengan mengikat ergosterol dalam membran sel fungi yang menyebabkan hilangnya integritas membran dan kebocoran isi sel/sitoplasma. Nistatin diindikasikan untuk pengobatan infeksi fungi secara topikal seperti infeksi kulit akibat fungi Candida albicans. Namun, Formulasi liposom dari nistatin adalah pengembangan klinis untuk pengobatan infeksi fungi sistemik termasuk aspergillosis (Abramowicz, 2005).

Nistatin adalah makrolida tetraena yang secara struktural mirip dengan amfoterisin B dan memiliki mekanisme aksi yang sama. Nistatin hanya digunakan untuk kandidiasis dan diberikan dalam pengobatan yang

(39)

20

ditujukan untuk penggunaan pada kulit, vagina, atau oral. Penggunaan topikal berupa salep, krim, dan bubuk, masing-masing mengandung 100.000 unit/gram (Brunton et al, 2008).

II.6 Uji Antimikroba

Pengujian antimikroba dapat dilakukan dengan dua metode yaitu metode difusi dan dilusi. Metode difusi merupakan metode untuk menentukan daya hambat dari bahan antimikroba, sedangkan metode dilusi untuk digunakan untuk mengetahui MIC (Minimum Inhibitory Concentration) dan MBC (Minimum Bacterisidal Concentration) pada

bahan antimikroba. MIC merupakan konsentrasi terendah bahan antimikroba yang dapat menghambat pertumbuhan, sedangkan MBC adalah konsentrasi terendah bahan antimikroba yang dapat membunuh mikroba, (Pratiwi, 2008).

Metode difusi agar merupakan salah satu metode yang paling sering digunakan. Metode ini memiliki kelebihan yaitu sedehana untuk dilakukan dan dapat digunakan untuk melihat sensivitas berbagai jenis mikroba terhadap antimikroba pada konsentrasi tertentu. Kekurangannya ialah senyawa antimikroba yang akan diuji harus bersifat hidrofilik agar dapat berdifusi dengan baik ke dalam agar (Pratiwi, 2008).

Mekanisme kerja metode difusi agar secara umum yaitu komponen antimikroba akan berdifusi ke dalam agar dan menghambat pertumbuhan mikroba yang terkandung dalam agar yang ditunjukkan dengan terbentuknya zona bening. Metode ini dapat dibedakan menjadi metode

(40)

difusi agar menggunakan cakram (metode Kirby Bauer) dan metode difusi agar menggunakan sumuran (Harmita dan Radji, 2008).

1) Metode cakram Kirby-Bauer

Metode ini menggunakan kertas cakram sebagai media difusi senyawa yang akan diujikan. Kertas cakram yang digunakan umumnya berdiameter 5 mm, dengan volume senyawa uji 5-25 µL/kertas cakram.

Kertas cakram yang telah berisi senyawa uji diletakkan di atas permukaan medium agar yang mengandung mikroba uji. Masing-masing Kertas cakram ditempatkan pada jarak tertentu sesuai dengan jumlah senyawa yang diujikan dalam satu plat agar (Harmita dan Radji, 2008).

Senyawa uji berdifusi ke medium hingga titik dimana senyawa uji tidak dapat menghambat pertumbuhan mikroba uji. Efektivitas antimikroba senyawa uji ditujukkan dengan adanya zona hambatan, yaitu zona bening mengelilingi kertas cakram tempat zat dengan aktivitas antimikroba terdifusi. Diameter zona hambat diukur menggunakan jangka sorong.

Ukuran zona hambatan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kepadatan media biakan, kecepatan difusi dan konsentrasi senyawa uji pada kertas cakram, sensitivitas mikroba uji terhadap senyawa uji, dan interaksi senyawa uji dengan medium agar (Harmita dan radji, 2008).

2) Metode sumuran agar

Metode difusi agar menggunakan sumuran serupa dengan metode difusi disk yang diawali dengan pembuatan lapisan dasar (base layer) kemudian pencadang ditanam agar terbentuk sumuran pada medium

(41)

22

agar. Selanjutnya dibuat lapisan atas (seed layer) yang berisi medium dan mengandung mikroba uji. Pencadang dikeluarkan setelah medium memadat. Sumuran yang terbentuk dengan diameter 6-8 mm ditetesi dengan senyawa uji (volume 20-100 µL) sesuai konsentrasi yang telah ditentukan. Selanjutnya cawan petri diinkubasi pada kondisi yang sesuai dengan mikroba uji. Adapun aktivitas antimikroba senyawa uji juga ditunjukkan dengan terbentuknya zona hambat di sekitar sumuran (Balouiri et al, 2016).

Metode dilusi dibedakan menjadi dua yaitu dilusi cair dan dilusi padat.

1) Metode dilusi cair

Metode ini mengukur KHM (Kadar Hambat Minimum) dan KBM (Kadar Bakterisidal Minimum). Cara yang dilakukan adalah dengan membuat seri pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang ditambahkan dengan mikroba uji (Pratiwi, 2008).

2) Metode dilusi padat

Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media padat (solid). Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen antimikroba yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji (Pratiwi, 2008).

II.7 Ekstraksi

Ekstraksi merupakan salah satu teknik pemisahan kimia untuk memisahkan atau menarik satu atau lebih komponen atau senyawa-

(42)

senyawa analit dari suatu sampel dengan menggunakan pelarut tertentu yang sesuai. Ekstraksi ada dua jenis yaitu ekstraksi padat-cair dan ekstraksi cair-cair. Ekstraksi padat-cair merupakan proses transfer secara difusi analit dari sampel yang berwujud padat ke dalam pelarutnya. Pada ekstraksi ini prinsip pemisahan didasarkan pada kemampuan atau daya larut analit dalam pelarut tertentu (Leba, 2017). Metode ekstraksi padat- cair menggunakan pelarut ada dua yaitu dengan cara dingin dan cara panas. Metode ekstraksi dengan cara dingin meliputi maserasi dan perkolasi. Metode ekstraksi dengan cara panas yaitu: refluks, soxhlet, infus, digesti dan dekok (Depkes RI, 1995).

Maserasi merupakan salah satu proses ekstraksi padat cair yang paling sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari pada suhu kamar. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Sampel biasanya direndam selama 3-5 hari sambil diaduk sesekali untuk mempercepat proses pelarutan analit.

Ekstraksi dilakukan berulang kali sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel (Leba, 2017).

Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah mengembang dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin,

(43)

24

dan lainnya. Keuntungan metode maserasi adalah cara pengerjaan yang sederhana,murah, mudah dilakukan dan dapat digunakan untuk sampel yang tahan maupun yang tidak tahan terhadap pemanasan, adapun kekurangan metode ini adalah pengerjaannya lama, penyariannya kurang sempurna dan menggunakan banyak pelarut (Leba, 2017).

Ekstraksi cair-cair merupakan metode pemisahan yang didasarkan pada fenomena distribusi atau partisi suatu analit diantara dua pelarut yang tidak saling bercampur dengan menggunakan corong pisah.

Ekstraksi ini dilakukan untuk mendapatkan suatu senyawa dari campuran berfasa cair dengan pelarut lain yang juga berfasa cair. Prinsip dasar dari pemisahan ini adalah perbedaan kelarutan suatu senyawa dalam dua pelarut yang berbeda. Proses ekstraksi cair-cair melibatkan ekstraksi analit dari fasa air ke dalam pelarut organik yang bersifat non polar atau agak polar seperti etil asetat, heksan, metilbenzen atau diklorometan.

Analit-analit yang mudah terekstraksi dalam pelarut organik adalah molekul-molekul netral yang dapat berinteraksi dengan pelarut yang bersifat non polar atau agak polar. Senyawa-senyawa polar dan juga senyawa-senyawa yang mudah mengalami ionisasi akan tertahan pada fasa air (Leba, 2017).

II.8 Kromatografi lapis tipis

Kromatografi adalah suatu teknik pemisahan campuran paling sederhana berdasarkan perbedaan kecepatan perambatan komponen dalam medium tertentu. Pada kromatografi, komponen-komponennya

(44)

akan dipisahkan antara dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam akan menahan komponen campuran sedangkan fase gerak akan melarutkan zat komponen campuran. Komponen yang mudah larut dalam fase gerak akan bergerak lebih cepat (Marzuki, 2015).

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) adalah metode kromatografi yang paling sederhana. KLT digunakan untuk memisahkan komponen- komponen atas dasar perbedaan adsorpsi dan partisi oleh fase diam dibawah gerakan pelarut pengembang (Marzuki, 2015).

Bahan adsorben fasa diam dapat digunakan silika gel (asam-asam amino, alkaloid, asam-asam lemak), alumina (alkaloid, zat warna, fenol) dan adsorben inorganik lainnya serta adsorben organik. Adsorben inorganik seperti keiselguhr (gula, oligosakarida, trigliserida), silikat, fosfas, kalsium sulfat, bentonit, karbon aktif dan kombinasi adsorben.

Sedangkan adsorben organik seperti selulosa (asam-asam amino, alkaloid) dan derivatnya, mannitol dan dextran gels (Rubiyanto, 2016).

Gambar 1. Kromatografi lapis tipis (KLT) (Marzuki, 2015)

(45)

26

Jarak perpindahan senyawa-senyawa pada KLT secara umum disebut sebagai nilai Rf. Nilai Rf merupakan nilai dari jarak relatif pada pelarut. Nilai Rf didefinisikan sebagai perbandingan antara jarak senyawa dari awal dan jarak tepi muka pelarut dari titik awal (Marzuki, 2015).

Rf = jarak titik tengah noda dari titik awal jarak tepi muka pelarut dari titik awal

Tidak setiap proses pengembangan menghasilkan noda-noda yang langsung terlihat. Adakalanya bantuan pereaksi kimia atau cara-cara tambahan diperlukan untuk dapat mengamati profil pemisahan yang dihasilkan melalui KLT. Cara ini dikenal dengan istilah visualisasi atau spotting yaitu langkah untuk menampilkan noda-noda yang terbentuk dari proses pengembangan. Beberapa cara yang banyak digunakan yaitu:

a. Sinar UV

Cara ini memberikan efek fluoresensi pada plat yang mengandung flour sehingga noda dari senyawa-senyawa akan terlihat. Teknik ini tidak merusak komponen senyawa (Rubiyanto,2016).

b. Uap Iodium

Plat yang kering ditempatkan pada wadah yang telah diisi iodium, uap iodium yang mengenai permukaan plat yang mengandung senyawa- senyawa yang terpisah akan membentuk spot/bercak coklat dengan dasar putih. Cara ini bersifat aman dan tidak merusak komponen serta dapat dikenakan pada hampir semua senyawa organic (Rubiyanto, 2016).

(46)

c. Penyemprotan

Plat yang sudah dikembangkan kemudian disemprot dengan larutan H2SO4 10%/K2Cr2O7 dan dipanaskan pada temperatur 125ºC.

Senyawa organik akan teroksidasi sehingga berwarna hitam. Cara ini bersifat dekstruktif atau merusak. Selain itu, banyak pereaksi kimia yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi senyawa-senyawa dari gugus fungsi tertentu. Contoh pereaksi kimia yang biasa digunakan yaitu pereaksi vanillin, sitroborat, Dragendorff, besi (III) klorida, dan Lieberman- Burchard (Rubiyanto, 2016).

(47)

28

BAB III

METODE PENELITIAN

III.1 Alat dan bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat-alat gelas laboratorium (Pyrex®), oven (Medcenter Einnrichtunge GmbH®), autoklaf (All American Model 25X-2®), Laminar Air Flow (Envirco®), shaker (Gemmy Orbit®), pipet mikro (Socorex®), oven simplisia (Automatic thermo controlle®), pencadang, lampu UV 254 nm dan 366 nm, timbangan analitik (Fujitsu®), vortex (K VM-300®), hot plate (Nesco®), lemari pendingin (Panasonic®), freeze dryer (Christ® Alpha 1-2 LO plus), inkubator (WTC Binder®) dan jangka sorong (Krisbow®).

Bahan yang digunakan yaitu daun talas (Xanthosoma sagittifolium [L] Schott.), air suling steril, etanol 70%, natrium hipoklorit 5,25%

(Bayclin®), medium Potato Dekstrose Agar (PDA) (Merck®), medium Potato Dekstrose Broth (PDB) (Merck®), extrack yeast (Merck®), asam tartrat (Merck®), metanol P, etil asetat P, pereaksi vanillin, pereaksi dragendorff, pereaksi sitroborat, pereaksi Lieberman-Burchard (LB), pereaksi besi (III) klorida, dimetilsulfoksida (DMSO) 20%, kultur murni fungi Candida albicans dan Aspergillus niger, NaCl fisiologis, dan Nistatin®.

(48)

III.2 Metode Kerja III.2.1 Sterilisasi Alat

Alat-alat yang digunakan dibersihkan lebih dahulu. Alat yang terbuat dari kaca dibersihkan dengan menggunakan sabun. Cawan petri dan alat-alat lainnya yang tidak berskala dibungkus dengan kertas dan disterilkan dalam oven pada suhu 180˚C selama 2 jam. Alat-alat yang berskala dan tidak tahan terhadap pemanasan disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121˚C dengan tekanan 2 atm selama 15 menit, sedangkan jarum inokulasi disterilkan dengan cara dipijarkan langsung pada nyala api bunsen.

III.2.2 Pembuatan Asam Tartrat 10%

Asam tartrat ditimbang sebanyak 3 gram lalu dilarutkan dengan menambahkan 30 ml aquadest di dalam labu Erlenmeyer, kocok hingga larut. Medium disterilkan di dalam autoklaf pada suhu 121˚C selama 15 menit.

III.2.3 Pembuatan Medium Potato Dekstrose Agar (PDA)

Medium PDA ditimbang sebanyak 7,8 gram lalu dilarutkan dalam 200 ml air suling dan dipanaskan. Medium yang telah jadi disterilkan di dalam autoklaf pada suhu 121˚C selama 15 menit.

(49)

30

III.2.4 Penyiapan Sampel Isolasi

Sampel penelitian yang digunakan berupa daun talas (Xanthosoma sagittifolium [L] Schott.) diperoleh dari Kelurahan Berua, Kecamatan

Biringkanaya, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan.

Daun talas dibersihkan dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dipotong dengan ukuran ±2 cm2, kemudian sampel disterilisasi permukaan dengan dicelupkan ke dalam labu Erlenmeyer yang berisi etanol 70%

(kocok pelan selama 1 menit), lalu dikeluarkan dan dicelupkan kembali ke dalam natrium hipoklorit (Bayclin®) 5,25% selama 30 menit dengan perlakuan yang sama, kemudian dibilas dengan air suling steril sebanyak 3 kali. Sampel ditiriskan diatas kertas saring steril, kemudian dipotong dengan ukuran ± 1 cm2.

III.2.5 Isolasi Fungi Endofit

Medium PDA yang telah dibuat dituang ke dalam cawan petri steril sebanyak ±20 ml, pH diatur <4 dengan menambahkan asam tartrat 10%

sebanyak 0,2 ml, lalu ditunggu hingga memadat. sampel yang telah dipotong diletakkan di atas medium dan diinkubasi pada suhu 25˚C selama 7x24 jam. Semua proses dilakukan secara aseptis di dalam Laminar Air Flow (LAF). Sebagai kontrol, diinokulasikan air cucian eksplan

terakhir, sampel yang tidak disterilisasi pada medium PDA, medium tanpa sampel kemudian diinkubasi serta kontrol ruangan yang disimpan didalam LAF selama pengerjaan.

(50)

III.2.6 Pemurnian Fungi Endofit

Asam tartrat 10% sebanyak 0,2 ml dimasukkan ke dalam cawan petri steril, lalu medium PDA steril dituang ke dalam cawan petri tersebut sebanyak ±20 ml, homogenkan dan ditunggu hingga memadat. Koloni yang tumbuh dipotong ukuran ±1 cm2 menggunakan jarum inokulasi dan ditempelkan di atas medium PDA tersebut. Inkubasi pada suhu 25˚C selama 7x24 jam. Hal ini terus dilakukan hingga diperoleh isolat murni (tunggal).

III.2.7 Peremajaan Kultur Murni Fungi Uji

Medium agar miring dibuat dengan cara 0,1 ml asam tartrat 10%

dan medium PDA steril sebanyak ±10 ml dituang ke dalam tabung reaksi steril, homogenkan menggunakan vortex, kemudian dimiringkan hingga memadat.

Masing-masing sebanyak 1 ose kultur murni fungi uji (C. albicans dan A. niger) digoreskan menggunakan jarum inokulasi pada medium tersebut lalu diinkubasi pada suhu 25˚C selama 3x24 jam.

III.2.8 Uji Antagonis

III.2.8.1 Uji Antagonis pada Fungi Uji Candida albicans

Fungi uji C. albicans yang telah diremajakan diambil sebanyak 1 ose dan disuspensikan dalam tabung reaksi steril yang telah berisi 10 ml NaCl 0,9% steril, homogenkan menggunakan vortex.

(51)

32

Asam tartrat sebanyak 0,2 ml dan 0,1 ml suspensi fungi uji masing- masing dimasukkan ke dalam cawan petri steril, lalu medium PDA steril sebanyak ±20 ml dituang ke dalam cawan petri tersebut. Homogenkan dan ditunggu hingga memadat. Lempeng agar yang berisi isolat murni dipotong ukuran ±1 cm2 menggunakan jarum inokulasi dan ditempelkan di atas medium PDA tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 25˚C selama 3x24 jam. Kemampuan isolat dalam menghambat fungi uji ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekitar isolat.

III.2.8.2 Uji Antagonis pada Fungi Uji Aspergillus niger

Asam tartrat sebanyak 0,2 ml dimasukkan ke dalam cawan petri steril, lalu medium PDA steril dituang ke dalam cawan petri tersebut sebanyak ±20 ml. Homogenkan dan ditunggu hingga memadat.

Lempeng agar yang berisi isolat murni dipotong ukuran ±1 cm2 menggunakan jarum inokulasi dan ditempelkan di atas medium PDA tersebut yang telah memadat dibagian sebelah kiri dan hasil peremajaan fungi uji A. niger diambil sedikit menggunakan jarum inokulasi lurus, lalu diletakkan disebelah kanan diatas medium tersebut. Inkubasi pada suhu 25˚C selama 5x24 jam. Kemampuan isolat dalam menghambat fungi uji ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekitar isolat.

III.2.9 Peremajaan Isolat Fungi Endofit Daun Talas

Asam tartrat sebanyak 0,2 ml dimasukkan ke dalam cawan petri steril, lalu medium PDA steril dituang ke dalam cawan petri tersebut

(52)

sebanyak ±20 ml, homogenkan dan ditunggu hingga memadat. Lempeng agar yang berisi isolat murni dipotong ukuran ±1 cm2 menggunakan jarum inokulasi dan ditempelkan di atas medium PDA tersebut. Inkubasi pada suhu 25˚C selama 7x24 jam.

III.2.10 Identifikasi Mikroskopik

Isolat aktif dilanjutkan ke tahap identifikasi mikroskopik untuk mengetahui struktur anatomi isolat fungi endofit. Air steril diteteskan sebanyak ±0,2 ml pada objek glass lalu isolat fungi endofit diambil menggunakan jarum inokulasi bulat dan disuspensikan pada air di objek glass tersebut. Preparat dikeringkan dan difiksasi dengan cara melewatkan pada nyala api bunsen, perlu dijaga agar tempat gesekan sampel tidak langsung kena nyala api. Setelah mengering, dilakukan pewarnaan dengan cara meneteskan pewarna Lacto Phenol Blue sebanyak ±0,5 ml pada preparat dan didiamkan selama 1 menit. Objek glass dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan menggunakan kertas saring. Preparat kemudian diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran 400x dan pembesaran 1000x yang sebelumnya telah diteteskan minyak imersi sebanyak ±0,3 ml.

III.2.11 Fermentasi Isolat Fungi Endofit Daun Talas III.2.11.1 Pembuatan Medium Fermentasi

Medium fermentasi yang digunakan yaitu medium Potato Dextrose Yeast (PDY). Cara membuatnya yaitu ditimbang 4,8 gram Potato Dextrose

(53)

34

Broth (PDB) dan 2 gram extract yeast sebanyak lima kali penimbangan,

lalu dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 500 ml dan ditambahkan 200 ml aquadest. Dibuat juga medium cuplikan dengan cara ditimbang 2,4 gram medium PDB dan 1 gram extract yeast sebanyak dua kali penimbangan, lalu dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 250 ml dan ditambahkan 100 ml aquadest. Panaskan hingga larut dan sterilkan pada suhu 121˚C selama 15 menit.

III.2.11.2 Pengerjaan Fermentasi Isolat

Asam tartrat sebanyak 3 ml dan 2 ml dimasukkan ke dalam medium fermentasi dan medium cuplikan yang telah steril, kocok hingga homogen.

Isolat fungi endofit yang telah diremajakan sebanyak 6 cawan petri masing-masing dimasukkan 1 cawan petri isolat peremajaan ke dalam medium fermentasi dan 12 cawan petri isolat peremajaan ke dalam medium cuplikan yang terlebih dahulu telah dipotong-potong kecil. Kocok hingga homogen. Inkubasi pada suhu 25ºC selama 16x24 jam sambil dikocok menggunakan shaker selama ±60 menit setiap hari. Setelah dikocok, medium cuplikan dicuplik sebanyak 1000 µl hingga hari ke-16, lalu disimpan di dalam tabung effendorf dan freezer untuk digunakan pada tahap uji aktivitas fermentasi isolat.

III.2.12 Uji Aktivitas Fermentasi Isolat

Hasil cuplikan fermentasi hingga hari ke-16 di uji pada fungi uji C.

albicans dan A. niger dengan metode sumuran. Sebagai lapisan dasar

(54)

(base layer), sebanyak 0,2 ml asam tartrat dimasukkan ke dalam cawan

petri steril, lalu medium PDA steril dituang ke dalam cawan petri tersebut sebanyak ±20 ml, homogenkan dan ditunggu hingga agak memadat.

Pada permukaan lapisan dasar diletakkan 12 buah pencadang yang diatur jaraknya agar daerah pengamatan tidak saling bertumpuk, ditunggu hingga memadat.

Suspensi fungi uji dibuat dengan cara fungi uji yang telah diremajakan (C. albicans dan A. niger) masing-masing diambil sebanyak 1 ose dan disuspensikan masing-masing dalam tabung reaksi steril yang telah berisi 10 ml NaCl 0,9% steril, homogenkan menggunakan vortex.

Lapisan kedua (seed layer) dibuat dengan cara sebanyak 0,1 ml asam tartrat dan 0,1 ml suspensi fungi uji masing-masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi steril, lalu medium PDA steril sebanyak ±10 ml dituang ke dalam tabung reaksi tersebut. Homogenkan menggunakan vortex. Setelah homogen, dituang ke dalam cawan petri yang berisi pencadang, ditunggu hingga memadat. Pencadang diangkat dari medium dalam cawan petri tersebut menggunakan pinset, lalu setiap sumuran pada cawan petri ditetesi sebanyak 30 µl hasil cuplikan mulai hari ke-1 hingga hari ke-16. Inkubasi pada suhu 25ºC selama 3x24 jam

III.2.13 Ekstraksi Hasil Fermentasi

Biomassa (miselia fungi) dipisahkan dari cairan fermentasi dengan cara filtrasi menggunakan kain saring steril.

(55)

36

III.2.13.1 Ekstraksi Cairan Fermentasi Fungi Endofit Isolat TL

Cairan fermentasi diekstraksi mengikuti metode ekstraksi cair-cair menggunakan corong pisah, ditambahkan pelarut etil asetat dengan jumlah sama banyak dengan jumlah cairan fermentasi yaitu sebanyak 200 ml cairan fermentasi dimasukkan ke dalam corong pisah, lalu ditambahkan pelarut etil asetat sebanyak 200 ml (1:1 v/v), kocok selama 20 menit dan diamkan hingga terbentuk dua lapisan. lapisan atas (supernatan) dikeluarkan dari corong pisah dan pada lapisan bawah (residu) diekstraksi kembali dengan pelarut etil asetat seperti langkah sebelumnya. Lapisan atas yang diperoleh diuapkan dan disimpan pada desikator hingga seluruh pelarutnya menguap dan diperoleh ekstrak kering etil asetat. Proses ini dilakukan sebanyak 2 kali.

Residu dituang ke dalam cawan petri plastik sebanyak 100 ml.

Sampel dibekukan menggunakan freezer dengan suhu -20˚C, lalu sampel dimasukkan ke dalam alat freeze drying yang telah diatur sebelumnya dengan suhu -40˚C selama 2x24 jam hingga diperoleh ekstrak kering air.

III.2.13.2 Ekstraksi Biomassa Fermentasi Fungi Endofit Isolat TL Biomassa (miselia fungi) dihancurkan terlebih dahulu menggunakan lumpang. lalu diekstraksi dengan metode maserasi dengan cara biomassa sebanyak 59 gram dimasukkan ke dalam toples dan ditambahkan pelarut metanol sebanyak 590 ml (1:10 b/v), lalu diaduk. Diamkan hingga 3x24 jam sambil diaduk setiap hari. Setelah 3x24 jam, saring hingga diperoleh supernatan. Supernatan diuapkan sedangkan biomassa diekstraksi

(56)

kembali dengan metanol seperti langkah sebelumnya. Ekstrak metanol yang diperoleh disimpan pada desikator hingga seluruh pelarutnya menguap dan diperoleh ekstrak kering metanol. Proses ini dilakukan sebanyak 2 kali.

III.2.14 EkstraksiDaun Talas

Ekstrak dari daun talas dibuat sebagai pembanding pada saat uji aktivitas antifungi terhadap ekstrak dari isolat fungi endofit kode TL. Tahap ini diawali dengan pembuatan simplisia daun talas. Daun talas yang digunakan yang telah tua ditandai dengan tumbuhan talas yang telah menghasilkan umbi. Daun talas yang telah dikumpulkan disortasi basah, lalu dibersihkan dan dikeringkan. Simplisia yang telah kering kemudian dihaluskan menggunakan blender lalu diayak menggunakan ayakan mesh no.20 hingga diperoleh serbuk simplisia.

Serbuk simplisia yang diperoleh ditimbang sebanyak 50 gram dan dimasukkan ke dalam toples bersih, lalu ditambahkan pelarut etil asetat sebanyak 500 ml (1:10 b/v), lalu diaduk. Diamkan hingga 3x24 jam sambil diaduk setiap hari. Setelah 3x24 jam, saring hingga diperoleh supernatan.

Supernatan diuapkan sedangkan residu diekstraksi kembali dengan menambahkan pelarut etil asetat sebanyak 400 ml dan dikerjakan seperti langkah sebelumnya. Supernatan yang diperoleh disimpan pada desikator hingga seluruh pelarutnya menguap dan diperoleh ekstrak kental etil asetat dari daun talas.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian didapatkan kesimpulan tidak ada hubungan antara jenis, frekuensi, dan durasi olahraga dengan dismenorea pada mahasiswi FIK Unnes tahun 2016..

menyimpulkan bahwa regulasi hukum nasional belum memberikan peluang bisnis bagi BUMN dalam era keterbukaan Masyarakat Ekonomi ASEAN, karena pertentangan dua pandangan

After graduating from the Newman School in 1913, Fitzgerald decided to stay in New Jersey to continue his artistic development at Princeton University.. He firmly

Untuk mengetahui fungsi Senandung jolo pada masyarakat Jambi di Kelurahan Tanjung Kecamatan.. Kumpeh Kabupaten

The findings were compared with those from biogas (containing inhibitors) at lower (reduced) pressures, with inhibitorless gases at atmospheric pressure (1atm), and with

Preventive action dilakukan dengan mengisi effective-out date pada follow-up material sehingga sistem dapat dengan jelas kapan akan memakai material yang baru (sesuai Gambar

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa larva Aedes aegypti dari kedua wilayah tersebut masih sangat rentan terhadap temephos yang biasanya didistribusikan

[r]