• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PERATURAN DAERAH DALAM PENINGKATAN INVESTASI DI KOTA SEMARANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN PERATURAN DAERAH DALAM PENINGKATAN INVESTASI DI KOTA SEMARANG"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PERATURAN DAERAH DALAM

PENINGKATAN INVESTASI DI KOTA SEMARANG

Djoko Santoso

*)

, Nunik Kusnilawati

*)

, Hardhani Widhiastuti

*)

, Iswoyo

*) Abstrak

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi dan menganalisis produk hukum Kota Semarang yang berkaitan dengan investasi. Metode analisis data yang dipergunakan adalah analisis deskriptif untuk menganalisa data yang bersifat kualitatif. Data Sekunder diambil dari dokumen perda yang diterbitkan Pemerintah Kota Semarang pasca otonomi daerah (tahun2001) sampai entri perda terakhir. Data primer didapatkan dari pendapat/persepsi stakeholders, baik dari unsur pemerintahan maupun masyarakat dan dunia usaha. Secara yuridis, dari sembilan perda yang ditelaah, empat perda bermasalah dari segi aspek acuan terhadap peraturan di atasnya. Keempat perda diundangkan sebelum PP No. 65 tahun 2001 tentang pajak daerah dan PP No. 66 tahun 2001 tentang retribusi daerah diundangkan, sehingga perda-perda tersebut tidak mengacu kepada kedua PP tersebut, oleh karena itu perda-perda harus disesuaikan dengan peraturan-peraturan yang ada, berpotensi dalam pemungutan ganda terhadap pajak-pajak yang juga menjadi kewenangan pemerintah pusat (PPN dan PPh). Rekomendasi yang dihasilkan agar Pemerintah Kota Semarang melakukan pembaruan (up to date) terhadap peraturan-peraturan daerah terutama yang menyangkut tentang investasi dan perekonomian.

Pembaruan tidak hanya dilakukan dari sisi yuridis, tetapi juga substansi tentang prosedur, tarif dan objek pajak/retribusi daerah. Pemerintah Kota Semarang juga perlu lebih meningkatkan pelayanan kepada pelaku usaha, terutama di bidang perijinan yang dapat menjamin kejelasan, kemudahan dan kepastian hukum untuk berinvestasi atau berusaha di Kota Semarang.

Kata kunci : peraturan daerah, investasi, Kota Semarang

Pendahuluan

UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Daerah Dan Pemerintah Pusat yang kemudian disempurnakan dengan UU No. 32 dan UU No.33 Tahun 2004 menandai era baru penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Era baru penyelenggaraan pemerintahan yang memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengembangkan ekonomi sesuai dengan kekhasan lokal yang dimilikinya.

Penyelenggaraan otonomi daerah tidak hanya membawa serangkaian perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, akan tetapi juga telah membawa perubahan dalam pengambilan kebijakan daerah guna menunjang pembangunan ekonomi daerah.

Dalam suasana otonomi daerah terasa begitu banyak permasalahan yang melingkupi daerah sehingga seakan-akan daerah bebas berkehendak untuk mengatur dan menetapkan apa saja melalui peraturan daerah (perda).

Substansi otonomi daerah tidak begitu jelas dipahami maknanya sehingga dalam tataran implementasinya banyak menuai bias kesalahan.

Setelah berjalan hampir lima tahun sejak efektif dilaksanakan pada tahun 2001, otonomi daerah sejauh ini lebih diterjemahkan oleh pemerintah daerah untuk menggali potensi-

potensi penerimaan daerah. Implementasi otonomi daerah banyak dimaknai sebagai upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam pengertian jangka pendek. Oleh karena itu, banyak sekali peraturan-peraturan daerah (perda) dikeluarkan oleh pemerintah daerah hanya untuk meningkatkan PAD, terutama perda pajak dan retribusi daerah yang seringkali mengabaikan prisip-prinsip dan dasar filosofi pajak dan retribusi. Yang kemudian banyak terjadi adalah perbenturan antar perda “perang perda” baik antara satu perda dengan perda lainnya, perda suatu daerah dengan daerah lainnya, perda daerah dengan perda provinsi.

Keberadaan berbagai macam perda, terutama perda pajak dan perda tentang retribusi seringkali justru tidak kondusif bagi aktivitas investasi dan ekonomi daerah serta kontraproduktif terhadap tujuan otonomi daerah dalam mengembangkan kemadirian perekonomian. Berbagai pajak, retribusi dan berbagai pungutan yang seringkali tumpang tindih dan banyak membebani pelaku ekonomi menyebabkan ketidakpastian bagi iklim investasi di daerah.

Perbaikan iklim investasi bukan hanya menjadi tanggungjawab pemerintah pusat, namun juga seluruh lapisan pemerintahan dan masyarakat secara umum, agar perekonomian Indonesia segera pulih dari krisis yang

(2)

berkepanjangan. Kebijakan desentralisasi pemerintahan di Indonesia yang mulai diterapkan sejak tahun 2001 telah mengamanatkan kepada pemerintah daerah untuk turut berperan besar dalam upaya penciptaan iklim investasi yang kondusif di daerahnya. Dengan kewenangan di bidang pemerintahan yang telah diserahkan kepada pemerintah daerah, telah memungkinkan pemerintah daerah untuk lebih leluasa dalam menciptakan iklim investasi di daerahnya masing-masing. Proses pengambilan kebijakan pembangunan yang sebelumnya lebih banyak dikendalikan oleh pemerintah pusat, selanjutnya menjadi lebih dekat pada masyarakat di daerah.

Kesiapan dan kemampuan daerah dalam berkreasi, merupakan salah satu penentu keberhasilan pembangunan di daerah termasuk dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif.

Sejalan dengan kondisi iklim investasi nasional yang memburuk, otonomi daerah diterapkan mulai tahun 2001. Selama lima tahun pelaksanaan otonomi daerah telah terjadi beberapa perubahan dalam tata pemerintahan di tingkat lokal. Banyak upaya telah dilakukan pemerintah daerah (pemda) untuk pembenahan, mulai dari tata kelembagaan pemerintahan, peren-canaan perekonomian daerah dan kemasyarakatan dan lain sebagainya. Di sisi lain, dengan berbagai alasan, tidak sedikit justru dijumpai praktek–praktek dalam negatif dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik, yang justru mengurangi daya saing investasi daerah. Keterbatasan pemda dalam melakukan pembiayaan pembangunan perekonomian daerah, sering dijadikan alasan mengeluarkan kebijakan yang justru kontraproduktif terhadap penciptaan daya saing investasi. Padahal dalam konteks pembangunan regional, investasi memegang peran penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Pemda harus berupaya keras mendorong agar sebanyak mungkin investasi dapat masuk ke daerahnya. Yang menjadi persoalan adalah investasi tidak selalu datang ke setiap daerah. Hanya daerah – daerah yang memiliki daya saing investasi yang baik yang akan mendapatkan peluang investasi yang lebih besar. Di era otonomi daerah, daerah – daerah harus bersaing dengan daerah lainnya untuk menarik investasi.

Dari berbagai literatur dan pendapat para pelaku usaha, faktor ekonomi, infrastruktur, politik dan kelembagaan, sosial dan budaya diyakini merupakan beberapa faktor pembentuk daya saing investasi suatu negara atau daerah.

Secara umum investasi atau penanaman modal, baik dalam bentuk penanaman modal dalam

negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA) membutuhkan adanya iklim yang sehat dan kemudahan serta kejelasan prosedur penanaman modal. Iklim investasi daerah juga dipengaruhi oleh kondisi makro ekonomi daerah yang bersangkutan.

Keberhasilan daerah untuk meningkatkan daya saing terhadap investasi salah satunya bergantung kepada kemampuan daerah dalam merumuskan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan investasi dan dunia usaha, serta peningkatan kualitas pelayanan terhadap masyarakat. Hal yang juga penting untuk diperhatikan dalam upaya menarik investor selain makroekonomi yang kondusif, juga adanya pengembangan sumber daya manusia dan infrastruktur dalam artian luas. Kondisi inilah yang mampu menggerakkan sektor swasta untuk ikut serta dalam menggerakkan roda ekonomi.

Meskipun berdasarkan survey KPPOD tahun 2005, Kota Semarang merupakan salah satu kota yang mempunyai nilai baik (A), investasi pada tahun 2006 justru mengalami penurunan.

Nilai investasi Penanaman Modal Asing (PMA) pada Tahun 2002 dibandingkan dengan Tahun 2006 mengalami penurunan dari Rp.

848.471.196.535,- menjadi Rp.

172.039.001.836,-. Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) juga mengalami penurunan dari Rp. 11.826.961.000 menjadi Rp.317.475.000,-.

Berdasarkan data ini, ada beberapa persoalan mendasar yang patut diperhatikan.

Pertama, perlu adanya pemahaman bersama bahwa kemandirian kabupaten/kota hanya bisa dibangun secara kuat kalau kabupaten/kota tersebut berbasis pada kekuatan yang bersifat sustainable (berkelanjutan). Cara pikir tersebut harus menjadi dasar kebijakan ekonomi dari setiap pemimpin daerah. Dengan demikian perlu ada keyakinan bahwa kekuatan ekonomi daerah hanya akan terjadi kalau ada dukungan dari daerah hinterland-nya. Implikasinya, setiap daerah perlu menggali keunggulan komparatifnya masing-masing. Implikasi ini seharusnya ditindaklanjuti dengan perlunya kerjasama antar Pemda yang berdekatan untuk membangun kawasan pembangunan yang produktif.

Kedua, sesuai dengan survey KPPOD, berkaitan dengan kepastian peraturan dan pelaksanaannya. Kepastian ini mencakup beberapa aspek, diantaranya adalah :

a. Jangka waktu pelaksanaan. Harus ada jaminan bahwa Peraturan Daerah (Perda) tertentu mempunyai kepastian masa berlaku. Dalam banyak kasus, cukup banyak perda yang tidak dijalankan secara konsisten, sehingga para investor tidak

(3)

bisa melakukan kajian secara lebih pasti.

Kasus-kasus semacam ini banyak menimpa perda tentang tata ruang kota. Ketidak- konsistenan dalam melak-sanakan perda ini akan menyebabkan investor tidak bisa melakukan kajian secara pasti. Hal ini bisa terjadi karena dalam perencanaan perda tidak dilakukan secara bersungguh- sungguh.

b. Kepastian biaya pungutan. Dalam perda – perda yang berkaitan dengan pungutan, memang sudah terdaftar biaya-biaya yang mesti dikeluarkan. Tetapi masih saja banyak bukti yang menunjukkan pungutan – pungutan di luar yang resmi masih ada.

Ketiga, perlu kajian perda-perda secara komprehensif. Identifikasi terhadap perda – perda yang tidak konsisten, overlapping maupun terlalu banyak.

Maksud dan Tujuan

Maksud dari kegiatan ini adalah melakukan identifikasi dan analisa terhadap peraturan atau regulasi di Kota Semarang yang berkaitan dengan investasi.

Tujuan kegiatan ini adalah :

a. Mengidentifikasi produk hukum Kota Semarang yang berkaitan dengan investasi b. Melakukan analisa terhadap peraturan-

peraturan tersebut.

c. Memberikan rekomendasi terhadap pengambilan kebijakan yang terkait dengan regulasi untuk meningkatkan investasi di Kota Semarang.

Ruang Lingkup Kajian

Penelitian ini dilakukan dengan ruang lingkup sebagai berikut :

a. Pengumpulan data peraturan yang terkait dengan investasi di Kota Semarang b. Melakukan analisa terhadap peraturan yang

terkait dengan investasi di Kota Semarang c. Menyusun rekomendasi penyusunan

kebijakan di bidang investasi yang terkait dengan peraturan (regulasi).

Hasil Yang Diharapkan

Dari penelitian ini diharapkan akan menghasilkan hal-hal sebagai berikut :

a. Teridentifikasinya produk hukum di Kota Semarang yang berkaitan dengan investasi b. Tersusunnya rekomendasi bagi

pengambilan kebijakan regulasi yang terkait

dengan investasi di Kota Semarang Metodologi Studi

1. Metodologi

Metode analisis data yang dipergunakan adalah analisis deskriptif untuk menganalisa data yang bersifat kualitatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang berkaitan dengan persepsi para stakeholders mengenai perda-perda yang berkaitan dengan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Data Sekunder adalah dokumen perda yang diterbitkan oleh Kabupaten/Kota pasca otonomi daerah (tahun 2001) sampai entri perda terakhir. Termasuk dalam perda yang dikaji ini adlaah perda-perda perubahan atas perda-perda yang disahkan sebelum tahun 2001. Data lain yang terkait yang digunakan dalam studi ini adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Semarang.

2. Unit Analisis

Unit analisis utama yang menjadi obyek dalam penelitian ini adalah peraturan – peraturan yang terkait dengan investasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Semarang.

Jangka waktu bagi peraturan-peraturan tersebut adalah peraturan-peraturan yang dikeluarkan setelah berlakunya Undang-undang otonomi daerah.

Metode Pengumpulan Data

Dalam kajian ini diperlukan data, baik data sekunder maupun data primer. Data sekunder pada penelitian ini adalah perda-perda, laporan- laporan dan dokumen-dokumen dari berbagai sumber yang relevan dengan substansi penelitian ini. Sedangkan data primer yang akan digali adalah pendapat/persepsi dari stakeholders yang terkait dengan penelitian ini, baik dari unsur pemerintahan (Pemerintah Kota Semarang dan DPRD Kota Semarang) maupun masyarakat dan dunia usaha.

Variabel Operasional dan Pengukuran Perda yang menghambat pertumbuhan ekonomi dalam studi ini didefinisikan sebagai perda-perda yang memuat ketentuan mengenai pengenaan pajak daerah, retribusi dan berbagai pungutan resmi atas pengajuan izin usaha, usaha yang sedang berjalan dan perda-perda yang diperkirakan akan menciptakan beban biaya pada dunia usaha baik usaha swasta maupun pemerintah daerah.

Perda-perda yang menciptakan beban biaya pada usaha swasta maupun pemerintah daerah diperkirakan kebanyakan adalah perda- perda yang mengatur tentang pungutan (baik pajak maupun retribusi), karena perda-perda ini

(4)

biasanya berkaitan langsung dengan pelaku usaha. Oleh karena itu, studi ini hanya akan memfokuskan permasalahan dan dampak ekonomi :

a. Perda tentang pajak daerah b. Perda tentang retribusi daerah Teknik Analisis

Tahapan dalam penelitian ini adalah :

a. Mengumpulkan perda dan memetakan perda-perda yang termasuk dalam batasan dari definisi operasional penelitian.

b. Menelaah perda-perda yang telah dikumpulkan dengan menggunakan tujuh kriteria perda kondusif bagi iklim usaha dan investasi.

Kerangka Pikir

Kajian Teoritis

Penelitian ini berbasis pada teori negara hukum modern (negara hukum demokratis) yang merupakan perpaduan antara konsep negara hukum (rechtsstaat) dan konsep negara kesejahteraan (welfare state).

1. Fungsi Pemerintah Dalam Perekonomian

Pemerintah memegang peranan yang sangat penting dalam perekonomian. Dalam sistem ekonomi yang paling kapitalis sekalipun, di mana

intervensi pemerintah dalam perekonomian dianggap hanya akan menyebabkan inefisiensi dalam perekonomian, pemerintah masih memiliki peranan meskipun terbatas. Hal ini antara lain karena adanya apa yang disebut dengan kegagalan pasar (market failureI. Ada barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat tetapi tidak bisa disediakan oleh pasar (barang publik) sehingga pemerintah harus mengintervensi demi kepentingan publik.

PERATURAN/REGULASI KOTA SEMARANG YANG TERKAIT DENGAN INVESTASI

ANALISA :

7 Kriteria Peraturan yang kondusif terhadap iklim usaha :

1. Kesesuaian dnegan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

2. Akibat terhadap lalulintas/distribusi barang dan jasa, baik yang bersifat tarif maupun non tarif

3. Mengakibatkan pungutan berganda dengan pajak pusat dan pajak daerah lainnya

4. Besaran tarif berada dalam batas kewajaran sehingga tidak mengakibatkan ekonomi biaya tinggi

5. Unsur diskriminatif 6. Kepastian standar pelayanan

7. Regulasi/keharusan kemitraan dengan pengusaha lokal INTERVIEW STAKEHOLDERS

(Pemkot,DPRD,Masyarakat, Dunia Usaha)

MATRIK PERATURAN

REKOMENDASI/SARAN

(5)

Misalnya, pemerintah harus berperan dalam pelaksanaan hukum dan peradilan, pelaksanaan keamanan dan pertahanan serta menyediakan barang yang karena alasan komersial tidak bisa disediakan oleh swasta, misalnya jalan umum, bendungan, taman publik dan sebagainya.

Secara garis besar, Musgrave membedakan peran ekonomi pemerintah dalam tiga fungsi, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi.

2. Peraturan Daerah

Regulasi didefinisikan sebagai berbagai kelompok instrumen dengan mana pemerintah menetapkan persyaratan tertentu kepada perusahaan dan warga negara. Regulasi mencakup undang-undang, keputusan dan peraturan tingkat bawah yang dikeluarkan oleh semua tingkatan pemerintah, dan peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga non-governmental dan lembaga self-regulatory yang telah diberi kewenangan oleh pemerintah. Pada prinsipnya, regulasi dapat dikelompokkan dalam tiga kategori :

a. Regulasi ekonomis, mengatur kerangka bagi pelaku ekonomi, perusahaan dan pasar (misalnya persaingan usaha yang sehat dan pembatasan monopoli)

b. Regulasi sosial, merumuskan standar kesehatan, keselamatan, lingkungan hidup dan mekanisme perwujudannya (misalnya perlindungan lingkungan)

c. Regulasi administratif, berkenaan dengan formalitas dan administrasi pemerintah, atau sering disebut “read tape” (misalnya, registrasi perusahaan dan berbagai lisensi)

Dalam rangka menangani regulasi yang tidak efisien dan tidak efektif, beberapa negara telah menerapkan program reformasi regulasi dalam skala yang besar, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas regulasi, serta menghilangkan regulasi yang tidak diperlukan.

Reformasi dapat dijalankan pada tiga tingkatan berikut ini :

a. Merevisi atau menghapuskan regulasi yang tidak diperlukan dan tidak efisien (deregulation)

b. Membangun ulang seluruh kerangka regulasi dan kelembagaannya (re-regulation)

c. Meningkatkan proses untuk merancang regulasi dan mengelola reformasi (better quality regulation)

3. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, yang digunakan

untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.

Sementara itu, filosofi retribusi adalah pemberian pelayanan publik dan bukan untuk memperoleh pendapatan daerah. Atas dasar itu, besarnya pungutan retribusi didasarkan pada biaya yang dikeluarkan untuk penyediaan pelayanan publik tersebut. Retribusi daerah, yang selanjutnya disebut retribusi, adlaah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.

Pajak bisa dikatakan sebagai sumber penerimaan pemerintah yang paling penting.

Pajak dugunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah, membiayai hal – hal administratif pemerintahan dan sebagainya. Setidaknya ada dua alasan mengapa pemerintah memungut pajak dari warganya. Pertama, berkaitan dengan revenue effect dan kedua berkaitan dengan allocation effect.

Pemerintah Daerah dalam melakukan pungutan pajak harus tetap “menempatkan”

sesuai dengan fungsinya. Adapun fungsi pajak dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu : fungsi budgeter dan fungsi regulator. Fungsi budgeter yaitu bila pajak sebagai alat untuk mengisi kas negara yang digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Sementara, fungsi regulator yaitu bila pajak dipergunakan sebagai alat mengatur untuk mencapai tujuan, misalnya : pajak minuman keras dimaksudkan agar rakyat menghindari atau mengurangi konsumsi minuman keras, pajak ekspor dimaksudkan untuk mengekang pertumbuhan ekspor komoditi tertentu dalam rangka menghindari kelangkaan produk tersebut di dalam negeri.

4. Hubungan Perda, Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi

Dalam konteks pembangunan regional, investasi memegang peran penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Secara umum, investasi atau penanaman modal, baik dalam bentuk penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA) membutuhkan adanya iklim yang sehat dan kemudahan serta kejelasan prosedur penanaman modal. Iklim investasi juga dipengaruhi oleh kondisi makro ekonomi suatu negara atau daerah. Kondisi inilah yang mampu menggerakkan sektor swasta untuk ikut serta dalam menggerakkan roda ekonomi.

Secara umum investasi akan masuk ke suatu daerah tergantung dari daya tarik daerah tersebut terhadap investasi dan adanya iklim

(6)

investasi yang kondusif. Keberhasilan daerah untuk meningkatkan daya tariknya terhadap investasi salah satunya tergantung dari kemampuan daerah dalam merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan investasi dan dunia usaha serta peningkatan kualitas pelayanan terhadap masyarakat. Kemampuan daerah untuk menentukan faktor – faktor yang dapat digunakan sebagai ukuran daya saing perekonomian daerah relatif terhadap daerah lainnya juga sangat penting dalam upaya meningkatkan daya tariknya dan memenangkan persaingan. Hal yang juga penting untuk diperhatikan dalam upaya menarik investor, selain makro ekonomi yang kondusif juga adanya pengembangan sumber daya manusia dan infrastruktur dalam artian luas. Hal ini menuntut perubahan orientasi dari peran pemerintah, yang semula lebih bersifat sebagai regulator, harus diubah menjadi supervisor, sehingga peran swasta dalam perekonomian dapat berkembang optimal.

Pembahasan

Pada bab ini akan dipaparkan tentang perkembangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Semarang, terutama melihat kontribusi penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah terhadap PAD Kota Semarang.

1. Kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Rincian jenis-jenis Pendapatan terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) selama kurun waktu lima tahun mengalami kenaikan rata-rata sebesar 17,48 persen, Dana Perimbangan naik sebesar 21,48 persen, dan Lain-lain Pendapatan yang Syah naik sebesar 57,12 persen. Walaupun Kota Semarang selama lima tahun terakhir ini dapat meningkatkan PADnya yaitu sebesar 18 persen, namun faktor ketergantungan dengan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Propinsi masih cukup besar yaitu sebesar 72 persen.

Penyebab dari ketergantungan yang begitu besar adalah keterbatasan sumber daya alam, jumlah aparatur yang begitu besar dan belum maksimalnya potensi perekonomian daerah.

Untuk menganalisa kinerja PAD, dapat dilihat melalui nilai elastisitas, pertumbuhan (growth) dan peran atau rasio (share) PAD terhadap APBD. Adapun elastisitas adalah rasio pertumbuhan PAD dengan pertumbuhan PDRB.

Rasio ini bertujuan melihat sensitivitas atau elastisitas PAD terhadap perkembangan ekonomi suatu daerah. Sedangkan share merupakan rasio PAD terhadap belanja rutin dan belanja pembangunan daerah. Rasio ini mengukur seberapa jauh kemampuan daerah membiayai kegiatan rutin dan kegiatan

pembangunan. Rasio ini dapat digunakan untuk melihat kapasitas kemampuan keuangan daerah.

Dan growth merupakan angka pertumbuhan PAD tahun i dari tahun i-1.

Untuk melihat kemampuan daerah dalam membiayai belanja daerah, maka kita dapat melihat melalui proporsi PAD terhadap belanja APBD Kota Semarang. Dari data yang ada dapat diketahui bahwa peran PAD terhadap APBD Kota Semarang terus menunjukkan penurunan, meskipun pada tahun 2005 sempat naik. Pada tahun 2006, rasio PAD terhadap APBD hanya sekitar 24,2 persen. Hal ini menuntut Pemerintah Kota Semarang untuk terus meningkatkan upaya bagi peningkatan PAD. Jika dilihat dari nilai elastisitas, maka pada tahun 2006 nilainya adalah 1,25. Hal ini berarti bahwa setiap perubahan PDRB di Kota Semarang sensitif terhadap perubahan/peningkatan PAD.

Pajak Daerah sebagai komposisi terbesar kedua dalam PAD Kota Semarang tahun 2005 terdiri dari enam jenis pajak daerah, yaitu pajak reklame sebesar Rp. 9,97 miliar (8,74 persen), pajak hiburan sebesar Rp. 4,71 miliar (4,13 persen), pajak hotel sebesar Rp. 16,31 miliar (14,3 persen), pajak restoran sebesar Rp. 15 miliar (13,16 persen), pajak parkir Rp. 2,008 miliar (2 persen), pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian golongan C sebesar Rp.

80,081 juta (0,07 persen), serta pajak lainnya sebesar Rp. 11,56 miliar (11 persen).

Jenis retribusi yang terdapat di Kota Semarang terbagi ke dalam empat jenis retribusi, seperti yang tercantum dalam PP No.

66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah, yaitu retribusi Jasa Umum yang menyumbang sekitar 56 persen (26,53 miliar rupiah) dari total penerimaan retribusi , Retribusi Jasa Usaha sebesar 15 persen (6,97 miliar rupiah), Retribusi Perijinan Tertentu sebesar 28 persen (13,007 miliar rupiah) serta jenis retribusi yang tidak termasuk dalam ketiga jenis retribusi tersebut (retribusi lainnya) sebesar 1 persen (412,61 juta rupiah).

2. Analisa Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Pengaturan kewenangan pengenaan pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam UU No.18 Tahun 1997 selama ini dianggap kurang memberikan peluang kepada daerah untuk mengadakan pungutan baru.

Walaupun dalam UU tersebut sebenarnya memberikan kewenangan kepada daerah namun harus ditetapkan dengan PP. Sehingga pada waktu UU No. 18 Tahun 1997 berlaku belum ada satupun daerah yang mengusulkan pungutan baru karena dianggap hal tersebut sulit

(7)

dilakukan. Selain itu, pengaturan agar Perda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus mendapat pengesahan dari Pusat juga dianggap telah mengurangi otonomi daerah.

Dengan diubahnya UU No.18 Tahun 1997 menjadi UU No.34 Tahun 2000, diharapkan pajak daerah dan retribusi daerah akan menjadi salah satu PAD yang penting guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.

Berikut ini adalah hasil analisa terhadap perda-perda di atas, dianalisis dampak penerapan perda terhadap perekonomian, terutama terhadap investasi.

a. Perda Nomor 8 Tahun 2001 tentang Pajak Restoran

Perda Nomor 8 Tahun 2001 tentang Pajak Restoran terutama memiliki permasalahan dari aspek kesesuaian dengan peraturan di atasnya serta kemungkinan beban ganda dengan pajak yang merupakan kewenangan pemerintah pusat (PPn dan PPh).

 Dari aspek kesesuaian dengan peraturan di atasnya, perda ini mengacu kepada UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Perda pajak restoran ini diundangkan sebelum PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah. Oleh karena itu secara yuridis perda ini disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada.

 Pajak Restoran yang diatur dalam perda ini adalah pajak yang merupakan kewenangan pemerintah daerah Kabupaten/Kota yang disebutkan secara eksplisit dalam pasal 2 UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

 Secara umum, perda ini tidak mengalami potensi pungutan berganda karena tidak memiliki kesamaan obyek retribusi/pajak dengan perda lainnya.

Akan tetapi yang patut diperhatikan adalah kemungkinan adanya pungutan berganda dengan pajak yang menjadi kewenangan pemerintah (PPn dan PPh) yang biasanya dibebankan dan ditanggung oleh konsumen.

 Perda ini juga tidak diskriminatif karena ditujukan pada semua obyek pajak yang dimaksud tanpa ada pembedaan.

 Prosedur pembayaran pajak, yang meliputi tata cara pemungutan, wilayah pemungutan, perhitungan pajak, masa pajak, surat pemberitahuan pajak daerah, tata cara penetapan pajak, tata cara pembayaran dan lain sebagainya dicantumkan dengan cukup jelas dalam perda, meskipun bentuk, isi dan tata cara pengisian SPTD masih harus mengacu pada ketetapan walikota.

b. Perda Nomor 9 Tahun 2001 tentang Pajak Hiburan

Perda Nomor 9 Tahun 2001 tentang Pajak Hiburan terutama memiliki permasalahan dari aspek kesesuaian dengan peraturan di atasnya serta kemungkinan beban ganda dengan pajak yang merupakan kewenangan pemerintah pusat (PPn dan PPh).

 Dari aspek kesesuaian dengan peraturan di atasnya, perda ini mengacu kepada UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Perda pajak hiburan ini diundangkan sebelum PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah. Oleh karena itu secara yuridis perda ini disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada.

 Pajak Hiburan yang diatur dalam perda ini adalah pajak yang merupakan kewenangan pemerintah daerah Kabupaten/Kota yang disebutkan secara eksplisit dalam pasal 2 UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

 Perda ini tidak mengalami potensi pungutan berganda karena tidak memiliki kesamaan obyek retribusi/pajak dengan perda lainnya.

Akan tetapi yang patut diperhatikan adalah kemungkinan adanya pungutan berganda dengan pajak yang menjadi kewenangan pemerintah pusat (PPn dan PPh).

 Perda ini juga tidak diskriminatif karena ditujukan pada semua obyek pajak yang dimaksud tanpa ada pembedaan.

 Prosedur pembayaran pajak, yang meliputi tata cara pemungutan, wilayah pemungutan, perhitungan pajak, masa pajak, surat pemberitahuan pajak daerah, tata cara penetapan pajak, tata

(8)

cara pembayaran dan lain sebagainya dicantumkan dengan cukup jelas dalam perda, meskipun bentuk, isi dan tata cara pengisian SPTD masih harus mengacu pada ketetapan walikota.

c. Perda Nomor 10 Tahun 2001 tentang Pajak Parkir

Perda Nomor 10 Tahun 2001 tentang Pajak Parkir terutama memiliki permasalahan dari aspek kesesuaian dengan peraturan di atasnya.

 Dari aspek kesesuaian dengan peraturan di atasnya, perda ini mengacu kepada UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Perda pajak parkir ini diundangkan sebelum PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah. Oleh karena itu secara yuridis perda ini disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada.

 Pajak parkir yang diatur dalam perda ini adalah pajak yang merupakan kewenangan pemerintah daerah Kabupaten/Kota yang disebutkan secara eksplisit dalam pasal 2 UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

 Objek pajak ini adalah semua penyelenggaraan tempat parkir yang disediakan dan atau dikelola oleh penyelenggara parkir dengan memungut bayaran, baik langsung maupun tudak langsung. Obyek pajak meliputi penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan, tempat penitipan kendaraan bermotor dan garasi kendaraan bermotor.

Dikecualikan dari pajak adalah penyelenggaraan parkir oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah tidak termasuk BUMN/BUMD dan penyelenggaraan parkir oleh konsulat atau lembaga internasional

 Perda ini tidak memiliki potensi pungutan berganda karena tidak memiliki kesamaan obyek pajak dengan perda pajak/retribusi lainnya. Akan tetapi, yang harus diperhatikan adalah adanya tax incidence (pengalihan beban pajak) dari penyelenggara parkir ke

pengguna jasa parkir (konsumen).

Pengguna jasa parkir biasanya akan mendapatkan beban berganda karena disamping pajak parkir yang dialihkan oleh penyelenggara, pengguna jasa parkir juga berkewajiban membayar retribusi parkir.

 Perda ini juga tidak diskriminatif karena ditujukan pada semua obyek pajak yang dimaksud tanpa ada pembedaan.

 Prosedur pembayaran pajak, yang meliputi tata cara pemungutan, wilayah pemungutan, perhitungan pajak, masa pajak, surat pemberitahuan pajak daerah, tata cara penetapan pajak, tata cara pembayaran dan lain sebagainya dicantumkan dengan cukup jelas dalam perda, meskipun bentuk, isi dan tata cara pengisian SPTD masih harus mengacu pada ketetapan walikota.

d. Perda Nomor 12 Tahun 2001 tentang Pajak Penerangan Jalan dan Perda Nomor 4 Tahun 2003 tentang Perubahan Perda Nomor 12 Tahun 2001 tentang Pajak Penerangan Jalan Perda Nomor 12 Tahun 2001 tentang Pajak Penerangan Jalan dan Perda Nomor 4 Tahun 2003 tentang Perubahan Perda Nomor 12 Tahun 2001 tentang Pajak Penerangan Jalan secara umum tidak bermasalah, baik dari kesesuaian dengan peraturan di atasnya, aspek potensi pungutan berganda, aspek hambatan barang maupun aspek diskriminatif.

 Dari aspek kesesuaian dengan peraturan di atasnya, perda ini mengacu kepada UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah.

 Pajak penerangan jalan yang diatur dalam perda ini adalah pajak yang merupakan kewenangan pemerintah daerah Kabupaten/Kota yang disebutkan secara eksplisit dalam pasal 2 UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

 Secara umum, perda ini tidak mengalami potensi pemungutan berganda karena tidak memiliki kesamaan obyek pajak dengan perda lainnya.

(9)

 Pembedaan tarif antara Rumah Tangga, industri dan bisnis komersial memang terkesan diskriminatif karena penerangan jalan adalah penggunaan tenaga listrik untuk menerangi jalan umum yang rekeningnya dibayar oleh pemerintah, maka seharusnya semua pengguna jalan membayar pajak dengan tarif yang sama. Akan tetapi, jika dilihat secara rinci, tarif industri dan Rumah Tangga relatif sama (8 dan 9 persen) sedangkan sosial komersial 5 persen.

Pengenaan tarif yang lebih rendah pada kegiatan sosial dapat dimengerti sehingga perda ini bisa dikatakan tidak diskriminatif.

 Prosedur pembayaran pajak, yang meliputi tata cara pemungutan, wilayah pemungutan, perhitungan pajak, masa pajak, surat pemberitahuan pajak daerah, tata cara penetapan pajak, tata cara pembayaran dan lain sebagainya dicantumkan dengan cukup jelas dalam perda, meskipun hal-hal teknis lainnya masih ditetapkan oleh Walikota.

e. Perda Nomor 13 Tahun 2001 tentang Pajak Hotel

Perda Nomor 13 Tahun 2001 tentang Pajak Hotel terutama memiliki permasalahan dari aspek kesesuaian dengan peraturan di atasnya serta kemungkinan beban ganda dengan pajak yang merupakan wewenang pemerintah Pusat (PPn dan PPh)

 Dari aspek kesesuaian dengan peraturan di atasnya, perda ini mengacu kepada UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Perda pajak hotel ini diundangkan sebelum PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah. Oleh karena itu secara yuridis perda ini disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada.

 Pajak hotel yang diatur dalam perda ini adalah pajak yang merupakan kewenangan pemerintah daerah Kabupaten/Kota yang disebutkan secara eksplisit dalam pasal 2 UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

 Secara umum, perda ini tidak mengalami potensi pungutan berganda

karena tidak memiliki kesamaan objek retribusi/pajak dengan perda lainnya.

Akan tetapi yang patut diperhatikan adalah kemungkinan adanya pungutan berganda dengan pajak yang menjadi kewenangan pemerintah (PPn dan PPh) yang biasanya beban kebanyakan ditanggung oleh konsumen.

 Perda ini juga tidak diskriminatif karena ditujukan pada semua obyek pajak yang dimaksud tanpa ada pembedaan.

 Prosedur pembayaran pajak, yang meliputi tata cara pemungutan, wilayah pemungutan, perhitungan pajak, masa pajak, surat pemberitahuan pajak daerah, tata cara penetapan pajak, tata cara pembayaran dan lain sebagainya dicantumkan dengan cukup jelas dalam perda, meskipun bentuk, isi dan tata cara pengisian SPTD masih harus mengacu pada ketetapan walikota.

f. Perda Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C

Perda Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C ini mengatur tentang pengambilan bahan galian golongan C di wilayah Kota Semarang, yang dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Secara umum perda ini tidak bermasalah, baik dari aspek kesesuaian dengan peraturan di atasnya, aspek potensi pungutan berganda, aspek hambatan terhadap distribusi barang dan jasa dan aspek diskriminatif

 Dari aspek kesesuaian dengan peraturan di atasnya, perda ini mengacu kepada UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Perda ini juga mengacu kepada Peraturan Pemerintah No. 65 tahun 2001 tentang pajak daerah.

 Pajak pengambilan bahan galian golongan C yang diatur dalam perda ini adalah pajak yang merupakan kewenangan pemerintah daerah Kabupaten/Kota yang disebutkan secara eksplisit dalam pasal 2 UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

 Secara umum, perda ini tidak mengalami potensi pungutan berganda

(10)

karena tidak memiliki kesamaan objek retribusi/pajak dengan perda lainnya.

 Perda ini juga tidak diskriminatif karena ditujukan pada semua obyek pajak yang dimaksud tanpa ada pembedaan.

 Prosedur pembayaran pajak, yang meliputi tata cara pemungutan, wilayah pemungutan, perhitungan pajak, masa pajak, surat pemberitahuan pajak daerah, tata cara penetapan pajak, tata cara pembayaran dan lain sebagainya dicantumkan dengan cukup jelas dalam perda, meskipun bentuk, isi dan tata cara pengisian SPTD masih harus mengacu pada ketetapan walikota.

g. Perda Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pajak Reklame

Perda Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C ini dari aspek kesesuaian dengan peraturan di atasnya dan aspek diskriminatif, secara umum tidak bermasalah. Dari aspek pungutan berganda, perda ini berpotensi mengakibatkan beban yang cukup tinggi bagi pemasang reklame.

 Dari aspek kesesuaian dengan peraturan di atasnya, perda ini mengacu kepada UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Perda ini juga telah mengacu kepada Peraturan Pemerintah No. 65 tahun 2001 tentang pajak daerah.

 Pajak reklame yang diatur dalam perda ini adalah pajak yang merupakan kewenangan pemerintah daerah Kabupaten/Kota yang disebutkan secara eksplisit dalam pasal 2 UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

 Perda ini juga tidak diskriminatif karena ditujukan pada semua obyek pajak yang dimaksud tanpa ada pembedaan.

 Dilihat dari aspek kesamaan objek retribusi/pajak dengan perda lainnya, secara umum, perda ini tidak mengalami potensi pungutan berganda dengan perda lainnya. Akan tetapi, bila kita juga menilik Perda nomor 7 tahun 2003 tentang reklame yang di dalamnya juga mengatur tentang perijinan reklame yang dibedakan menurut lokasi dan besar reklame

(secara teknis dijelaskan dalam Keputusan Walikota Semarang Nomor 510/310 tanggal 29 Desember 2003 tentang harga dasar lelang titik reklame dan sewa lahan reklame sementara serta reklame bando) bisa jadi pajak reklame ini dan perijinan yang tinggi memberikan beban yang begitu banyak bagi pemasang reklame. Meskipun di sisi lain, perijinan dan pengaturan reklame penting dilakukan karena untuk pengaturan tata kota.

 Prosedur pembayaran pajak, yang meliputi tata cara pemungutan, wilayah pemungutan, perhitungan pajak, masa pajak, surat pemberitahuan pajak daerah, tata cara penetapan pajak, tata cara pembayaran dan lain sebagainya dicantumkan dengan cukup jelas dalam perda.

h. Perda Nomor 2 Tahun 2003 tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olah Raga

Dilihat dari aspek kesesuaian dengan peraturan di atasnya, aspek potensi pungutan berganda, aspek hambatan terhadap distribusi barang dan jasa dan aspek diskriminatif, perda ini tidak bermasalah

 Dari aspek kesesuaian dengan peraturan di atasnya, perda ini mengacu kepada UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Perda ini juga telah mengacu kepada Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 2001 tentang retribusi daerah.

 Retribusi tempat rekreasi dan olah raga yang diatur dalam perda ini adalah retribusi yang merupakan kewenangan pemerintah daerah Kabupaten/Kota yang disebutkan secara eksplisit dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 2001 tentang retribusi daerah.

 Perda ini juga tidak diskriminatif karena ditujukan pada semua obyek retribusi yang dimaksud tanpa ada pembedaan.

 Dilihat dari aspek kesamaan objek retribusi/pajak dengan perda lainnya, secara umum, perda ini tidak mengalami potensi pungutan berganda dengan perda lainnya. Akan tetapi, perda ini tidak memberi kejelasan tentang retribusi untuk pedagang atau penyedia jasa yang berada di lingkungan

(11)

tempat usaha. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan potensi pungutan liar dan pungutan lain yang tidak sesuai.

 Prosedur pembayaran retribusi, yang meliputi tata cara pemungutan, wilayah pemungutan, perhitungan pajak, masa pajak, surat pemberitahuan pajak daerah, tata cara penetapan pajak, tata cara pembayaran dan lain sebagainya dicantumkan dengan cukup jelas dalam perda.

i. Perda Nomor 2 Tahun 2003 tentang Retribusi Pasar

Dilihat dari aspek kesesuaian dengan peraturan di atasnya, aspek potensi pungutan berganda, aspek hambatan terhadap distribusi barang dan jasa dan aspek diskriminatif, perda ini tidak bermasalah

 Dari aspek kesesuaian dengan peraturan di atasnya, perda ini mengacu kepada UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Perda ini juga telah mengacu kepada Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 2001 tentang retribusi daerah.

 Retribusi tempat rekreasi dan olah raga yang diatur dalam perda ini adalah retribusi yang merupakan kewenangan pemerintah daerah Kabupaten/Kota yang disebutkan secara eksplisit dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 2001 tentang retribusi daerah.

Retribusi ini termasuk dalam jenis retribusi jasa umum, walaupun terjadi perbedaan nama karena dalam PP disebutkan sebagai retribusi Pelayanan Pasar.

 Perda ini juga tidak diskriminatif karena ditujukan pada semua obyek retribusi yang dimaksud tanpa ada pembedaan.

Akan tetapi, terdapatnya pembedaan menurut golongan pasar dan tingkat kestrategisannya, dapat menimbulkan potensi masalah karena tidak tercantumnya kriteria acuan untuk menentukan termasuk kategori apa suatu pasar.

 Dilihat dari aspek kesamaan objek retribusi/pajak dengan perda lainnya, secara umum, perda ini tidak mengalami potensi pungutan berganda dengan perda lainnya. Walaupun dalam pelaksanaan dimungkinkan adanya bias

pengertian antara pedagang pasar dan pedagang kaki lima karena tidak jelasnya kriteria dari masing-masing kategori pedagang.

Kesimpulan

Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi produk hukum Kota Semarang yang berkaitan dengan investasi dan melakukan analisa terhadap peraturan-peraturan tersebut. Pajak dan retribusi yang dipungut oleh Pemerintah Kota Semarang dan diatur dalam perda yang dikeluarkan setelah otonomi daerah, secara umum adalah pajak dan retribusi yang memang merupakan kewenangan pemerintah daerah.

Kesembilan perda pajak dan retribusi yang ditelaah dalam studi ini adalah perda yang mengatur pajak dan retribusi yang secara eksplisit tercantum dalam UU No. 34 tahun 2000 tentang pajak dan retribusi daerah.

Secara yuridis, dari sembilan perda yang ditelaah, empat perda mengalami kebermasalahan dari segi aspek acuan terhadap peraturan di atasnya. Keempat perda diundangkan sebelum PP No. 65 tahun 2001 tentang pajak daerah dan PP No. 66 tahun 2001 tentang retribusi daerah diundangkan, sehingga perda-perda tersebut tidak mengacu kepada kedua PP tersebut. Oleh karena itu perda-perda harus disesuaikan dengan peraturan-peraturan yang ada.

Di luar masalah yuridis, permasalahan yang ditemui juga adalah terdapatnya potensi pemungutan berganda terhadap pajak-pajak yang juga menjadi kewenangan pemerintah pusat (PPN dan PPh). Hal ini menuntut kejelian dari Pemerintah Kota Semarang untuk menentukan obyek pajak/retribusi apa saja yang memang menjadi kewenangan dari pemda.

Rekomendasi

Dari hasil kesimpulan kajian, maka dapat disampaikan rekomendasi agar Pemerintah Kota Semarang melakukan pembaruan (up to date) terhadap peraturan-peraturan daerah terutama yang menyangkut tentang investasi dan perekonomian. Pembaruan tidak hanya dilakukan dari sisi yuridis, tetapi juga substansi tentang prosedur, tarif dan objek pajak/retribusi daerah. Pada akhirnya upaya ini akan semakin mendorong penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Semarang. Akan tetapi, pembaruan ini juga tidak boleh terlepas dari upaya penciptaan iklim investasi yang kondusif.

Jangan sampai perda baru akan membuat investor enggan untuk menanamkan investasi di Kota Semarang.

(12)

Selain itu, Pemerintah Kota Semarang juga perlu lebih meningkatkan pelayanan kepada pelaku usaha, terutama di bidang perijinan.

Upaya yang dilakukan harus dapat menjamin kejelasan, kemudahan dan kepastian hukum untuk berinvestasi atau berusaha di Kota Semarang.

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Walikota Semarang dan Kepala Bappeda Kota Semarang yang telah memberikan dana kegiatan penelitian melalui Bidang Penelitian dan Pengembangan Bappeda Kota Semarang tahun 2008.

DAFTAR PUSTAKA

Agus Dwiyanto, dkk, 2002. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Pusat studi Kependudukan dan Kebijakan, Univesitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Bappeda Kota Semarang. 2007. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Kota Semarang Tahun 2008-2028.

Bappeda Kota Semarang dan BPS Kota Semarang. 2007. Kota Semarang Dalam Angka 2006.

Bappeda Kota Semarang dan BPS Kota Semarang. 2007. Produk Domestik Regional Bruto Kota Semarang Tahun 2006.

Bappeda Kota Semarang dan BPS Kota Semarang. 2007. Produk Kegiatan Hasil Sensus Ekonomi Kota Semarang Tahun 2006.

Bappeda Kota Semarang dan BPS Kota Semarang. 2007. Profil Rumah Tangga Miskin Kota Semarang Tahun 2006.

Bappeda Kota Semarang dan BPS Kota Semarang. 2007. Indikator Kesejahteraan Kota Semarang Tahun 2006.

Bappeda Kota Semarang dan BPS Kota Semarang. 2007. Indikator Pemberdayaan Gender Kota Semarang Tahun 2006.

Bappeda Kota Semarang dan BPS Kota Semarang. 2007. Indikator Ekonomi Kota Semarang Tahun 2006.

Bappeda Kota Semarang dan UNDIP Semarang.

2007. Indikator Pembangunan Berkelanjutan Kota Semarang.

Sumarto, Hetijah. 2003. Inovasi, Partisipasi, dan Good Governance. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

KPPOD.2002-2003. Daya Tarik Investasi Kabupaten/ Kota di indonesia. Jakarta : KPPOD.

KPPOD.2004. Daya Tarik Investasi Kabupaten/

Kota di indonesia. Jakarta : KPPOD.

KPPOD.2005. Daya Tarik Investasi Kabupaten/

Kota di indonesia. Jakarta : KPPOD.

Kuncoro, M. 2000. Ekonomi Pembangunan : Teori, Masalah, dan Kebijakan.

Yogyakarta : UPP-AMP YKPN.

Kuncoro, M et al. 2004. Domestic Regulatory Constraints to Labor Intensive Manufacturing Exports, Report for GIAT-USAID. Pusat Studi Asia Pasific UGM. Yogyakarta.

Kuncoro, M. 2004. Metode Kualitatif : Teori dan Aplikasi untuk bisnis dan Ekonomi.

Yogyakarta : UPP-AMP YKPN.

Kuncoro, M. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah : Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang. Jakarta : Erlangga.

LPEM Universitas Indonesia dengan Clean Urban Project,RTI. 1999. Laporan Studi Dampak Krisis Ekonomi terhadap Keuangan Daerah di Indonesia. Jakarta : Universitas Indonesia.

Rasyid, M.Ryass, dkk. 2002. Otonomi Daerah dalam Negara Negara Kesatuan.

Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Mardiasmo. 2002. Otonomi Daerah sebagai Upaya Memperkokoh Basis Perekonomian Daerah.Jurnal ekonomi Rakyat No. 4-Juli 2002.

Pemerintah Kota Semarang. 2007. LPKD Kota Semarang Tahun 2006 kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

www.semarang.go.id.

Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 16 Tahun 1998 tentang Retribusi Ijin Gangguan.

Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 17 Tahun 1998 tentang Retribusi Ijin Mendirikan Bangunan.

Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 8 Tahun 2000 tentang Retribusi Tempat Penginapan.

(13)

Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 8 Tahun 2001 tentang Pajak Restoran.

Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 9 Tahun 2001 tentang Pajak Hiburan.

Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 10 Tahun 2001 tentang Pajak Parkir.

Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 12 Tahun 2001 tentang Pajak Penerangan Jalan.

Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 13 Tahun 2001 tentang Pajak Hotel.

Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan Bahan Galian C.

Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pajak Reklame.

Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2003 tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olah Raga Kota Semarang.

Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 4 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 12 Tahun 2001 tentang Pajak Penerangan Jalan.

Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Retribusi Pasar.

Permendagri No 13 tahun 2006 Tentang Urusan Pemerintahan.

Peraturan Pemerintah. Nomor 8 Tahun 2003 Tentang Unit Organisasi Pemerintah Daerah

Peraturan Pemerintah. Nomor 3 tahun 2007 Tentang Laporan Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah.

Minassian, teresa. 1997. Fiscal Federalism in Theory and Practice. Washington : International Monetary Fund.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak daerah dan Retribusi Daerah.

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak daerah dan Retribusi Daerah.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pertanggungjawaban Keuangan Negara,.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Derah.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

(14)

HALAMAN INI SENGAJA DIKOSONGKAN

Referensi

Dokumen terkait

Data lendutan digunakan untuk menentukan modulus resilien tanah dasar dan modulus perkerasan pada Metode AASHTO 1993 dengan hasil tebal overlay yang bervariasi tergantung nilai

Persamaan dengan penelitian Sri Astuti adalah sama sama fokus ke persepsi, hanya yang diteliti wisatawan mancanegara terhadap produk pariwisata Bali,

Hasil penelitian hubungan fungsi sistolik dengan dimensi fisik menunjukkan tidak terdapat korelasi yang signifikan antara persentase LVEF dengan skor dimensi fisik

Penjadwalan proyek memiliki pengertian sebagai durasi dari waktu kerja yang dibutuhkan untuk melakukan serangkaian aktivitas kerja yang ada dalam kegiatan

Guru sudah berperan dalam memotivasi siswa tentang pentingnya kerjasama dalam kelompok yaitu sebesar 80% yang artinya keaktifan guru dalam dalam memotivasi siswa

Seluruh penerimaan bahan baku kayu bulat (hutan negara dan hutan hak) dan kayu olahan (lokal dan impor) selama 12 bulan terakhir telah dilengkapi dengan dokumen

Sebagaimana halnya dengan lahirnya ide karya komposisi karawitan yang akan penata beri judul Lampah Semara, ini merupakan sebuah bentuk karya Kreasi Gong Kebyar yang lahir

198 Berdasarkan data hasil belajar siswa kelas I SDN Raranggonau Kecamatan Sigi Biromaru pada mata pelajaran bahasa Indonesia khususnya materi belajar membaca dan