• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

26

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Mutu Minyak Ikan Sebelum Ekstraksi dengan Fluida CO2 Superkritik

Minyak ikan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan minyak ikan hasil samping industri pengalengan ikan lemuru (Sardinella sp.) yang diperoleh dari PT. X, Banyuwangi - Jawa Timur pada bulan Oktober. Karakterisasi minyak ikan dilakukan untuk mengetahui kondisi awal bahan baku penelitian sehingga dapat dilakukan perbandingan dengan kondisi sampel minyak ikan setelah proses ekstraksi. Analisis yang dilakukan meliputi bilangan asam, kadar asam lemak bebas, bilangan penyabunan dan bilangan peroksida. Selain itu, untuk mengetahui komponen yang terkandung dalam minyak ikan sebelum diekstraksi, dilakukan analisis dengan menggunakan Gas Chromatography (GC).

Minyak ikan hasil samping pengalengan lemuru yang digunakan memiliki kualitas yang cukup baik dan memenuhi ketentuan mutu minyak ikan komersial (Celik 2002) dan IFOMA (International Fishmeal and Oil Manufacturers Association) (Bimbo 1998), serta berbagai hasil penelitian lainnya dengan metode analisis yang sama. Hasil analisis mutu minyak ikan hasil samping pengalengan lemuru beserta ketentuan mutu dan berbagai hasil penelitian lainnya disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Analisis mutu minyak ikan sebelum ekstraksi beserta ketentuan mutu dan berbagai hasil penelitian lainnya

Keterangan Rujukan Sampel

Bilangan asam (mg KOH/g) 10,15 a 3,98 ± 0,02

Kadar asam lemak bebas (%) 4,6 a; 1-7 b 1,98 ± 0,02 Bilangan penyabunan (mg KOH/g) 187,4 a 178,31 ± 0,53 Bilangan peroksida (meq/kg) 3-20 b 11,80 ± 0,05

Asam lemak omega-3 (%) 29,68 c 18,52

EPA (%) 15,15 c; 11,71 d 8,96 DHA (%) 11,36 c; 9,11 d 8,99 Sumber : a Celik (2002) b IFOMA (Bimbo 1998) c Dewi (1996) d Estiasih et al. (2005)

(2)

27

Bilangan asam merupakan nilai yang menunjukkan banyaknya asam lemak bebas yang terkandung dalam minyak ikan. Nilai bilangan asam minyak ikan awal, yaitu 3,98 ± 0,02 mg KOH/g. Nilai ini lebih rendah jika dibandingkan dengan bilangan asam minyak ikan komersial, yaitu 10,15 mg KOH/g.

Kadar asam lemak bebas dalam minyak ikan hasil pengujian nilainya cukup rendah, yaitu 1,98 ± 0,02%. Standar kadar asam lemak bebas minyak ikan komersial dan minyak ikan konsumsi masing-masing 4,6% dan 1-7%. Dengan demikian, minyak ikan yang digunakan memiliki kualitas yang baik dan layak digunakan sebagai bahan baku ekstraksi asam lemak omega-3. Hal ini dikarenakan bahan baku minyak ikan masih berada dalam batas maksimal kandungan bilangan asam dan kadar asam lemak bebas pada minyak ikan komersial.

Bilangan penyabunan menunjukkan jumlah asam lemak yang tersabunkan di dalam minyak. Berdasarkan analisis terhadap minyak ikan yang digunakan, nilai bilangan penyabunan yang diperoleh adalah 178,31 ± 0,53 mg KOH/g. Nilai tersebut lebih rendah dibandingkan dengan bilangan penyabunan minyak ikan komersial, yaitu sebesar 187,4 mg KOH/g.

Analisis bilangan peroksida dilakukan untuk mengetahui tingkat kerusakan minyak. Bilangan peroksida menunjukkan tingkat oksidasi yang baru terjadi sebagai produk oksidasi primer (Dugan 1996). Bilangan peroksida minyak ikan lemuru pada penelitian adalah 11,80 ± 0,05 meq/kg. Nilai bilangan peroksida minyak ikan lemuru tersebut memenuhi standar minyak ikan konsumsi, yaitu sebesar 3-20 meq/kg.

Asam lemak tak jenuh dalam minyak ikan merupakan komponen terbesar dalam minyak ikan. Komponen asam lemak yang terkandung dalam minyak dapat diketahui melalui analisis Gas Chromatography (GC) dapat dilihat pada Tabel 9 dan Lampiran 4. Adapun profil asam lemak pada minyak ikan hasil samping pengalengan lemuru disajikan pada Lampiran 5. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, asam lemak tidak jenuh merupakan tipe komponen yang paling banyak terdapat di dalam minyak ikan yang akan digunakan dalam proses ekstraksi omega-3. Jumlah asam lemak tidak jenuh di dalam minyak ikan yang tinggi, yaitu sebesar 40,87% dari seluruh total komponen. Jenis asam lemak tidak jenuh dalam

(3)

28

minyak ikan terdiri dari asam lemak tidak jenuh dengan satu ikatan rangkap (MUFA) sebesar 17,80%, asam lemak tidak jenuh dengan banyak ikatan rangkap (PUFA), yaitu asam lemak omega-3 (18,52%) dengan EPA (8,96%) dan DHA (8,99%); asam lemak omega-6 (4,55%); dan asam lemak omega-9 (0,07%), serta asam lemak jenuh (SFA) sebesar 27,79%.

Tabel 9. Kandungan asam lemak minyak ikan hasil samping pengalengan ikan lemuru

Jenis kompnen Total komponen (%)

Asam Lemak Jenuh (SFA) 27,79

Asam Lemak Tidak Jenuh Tunggal (MUFA) 17,80

N3-Asam Lemak Tidak Jenuh Jamak (PUFA) 18,17

 Cis-5,8,11,14,17-Eicosapentaenoic Acid, C20:5n3 8,96

 Cis-4,7,10,13,16,19-Docosahexaenoic Acid, C22:6n3 8,99

N6-Asam Lemak Tidak Jenuh Jamak (PUFA) 4,55

N9-Asam Lemak Tidak Jenuh Jamak (PUFA) 0,07

Persentase perbandingan jumlah asam lemak tidak jenuh dan asam lemak jenuh menunjukkan bahwa minyak ikan sebagian besar tersusun dari asam lemak tidak jenuh. Menurut Astawan et al. (1999), kandungan asam lemak tidak jenuh PUFA (polyunsaturated fatty acid) yang tinggi pada minyak ikan, menyebabkan mudah mengalami kerusakan oksidatif dan mudah menghasilkan flavor yang tidak enak. Oleh karena itu, minyak ikan disimpan di dalam ruang pendingin dengan suhu penyimpanan di bawah 0 oC. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya oksidasi (Boran et al. 2006).

Asam lemak omega-3 yang terkandung dalam minyak ikan hasil samping pengalengan ikan lemuru pada penelitian ini berbeda dengan penelitian Dewi (1996) dan juga Estiasih et al. (2005), bahwa kandungan asam lemak omega-3 hasil penelitian Dewi (1996) adalah sebesar 29,68%; dengan EPA (15,15%) dan DHA (11,36%), sedangkan Estiasih et al. (2005) melaporkan bahwa minyak ikan hasil samping pengalengan lemuru mengandung EPA 11,7% dan DHA 9,11%. Beberapa faktor yang diduga dapat mempengaruhi komposisi asam lemak omega-3 dalam minyak ikan lemuru ini adalah perbedaan kandungan minyak ikan pada jenis ikan lemuru yang ada, efektivitas dalam proses pengalengan yang

(4)

29

menghasilkan minyak ikan (precooking) dan preparasi penanganan minyak ikan. Menurut Rasyid (2001), perbedaan kandungan asam lemak tak jenuh majemuk omega-3 dapat disebabkan dari penggunaan bahan baku minyak ikan yang memiliki kandungan yang berbeda. Estiasih dan Ahmadi (2004) menyatakan bahwa mutu minyak ikan hasil samping pengalengan ikan lemuru cukup baik jika ditangani dengan baik, sehingga dapat dijadikan sebagai sumber konsentat asam lemak omega-3.

4.2 Rendemen Konsentrat Asam Lemak Omega-3

Rendemen konsentrat asam lemak omega-3 merupakan persentase (b/b) dari perbandingan antara total konsentrat asam lemak omega-3 minyak ikan lemuru dengan total minyak ikan hasil samping pengalengan ikan lemuru yang dimasukkan dalam ekstraktor. Hasil minyak ikan lemuru dengan proses ekstraksi fluida CO2 superkritik dan sampel awal dapat dilihat pada Lampiran 6. Konsentrat

asam lemak omega-3 minyak ikan hasil ekstraksi memiliki warna kuning yang lebih jernih dan kemurnian minyak ikan yang tinggi.

Rendemen konsentrat asam lemak omega-3 yang didapatkan dari proses ekstraksi fluida CO2 superkritik berkisar 5,29 ± 0,03% - 8,41 ± 0,18%. Rendemen

terbesar diperoleh pada tekanan 4000 psi dan suhu 50 oC, sedangkan rendemen terkecil diperoleh pada tekanan 3500 psi dan suhu 40 oC. Rendemen pada konsentrat asam lemak omega-3 pada minyak ikan lemuru dengan proses ekstraksi fluida CO2 superkritik dapat dilihat pada Gambar 5 dan Lampiran 7.

Gambar 5 Rendemen pada konsentrat asam lemak omega-3 minyak ikan lemuru dengan proses ekstraksi fluida CO2 superkritik ( tekanan

ekstraksi 3500 psi, tekanan ekstraksi 4000 psi).

(5)

30

Analisis ragam pada selang kepercayaan 95% (Lampiran 8) menunjukkan bahwa interaksi antar perlakuan yang diberikan memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap rendemen konsentrat asam lemak omega-3 minyak ikan lemuru. Hasil uji lanjut BNT menunjukkan bahwa konsentrat asam lemak omega-3 dengan tekanan ekstraksi 3500 psi dan suhu ekstraksi 40 oC serta tekanan ekstraksi 4000 psi pada suhu ekstraksi yang sama memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata, demikian pula dengan tekanan ekstraksi 3500 psi dan suhu ekstraksi 50 oC dengan tekanan ekstraksi 4000 psi pada suhu ekstraksi yang sama memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata.

Adanya perbedaaan ini diduga dari makin meningkatnya kemampuan fluida CO2 superkritik sebagai pelarut non polar dalam mengekstraksi minyak

ikan, akibat dari makin besarnya tekanan dan suhu ekstraksi yang diberikan. Secara teori kinetik gas berdasarkan hukum Boyle, besarnya tekanan terhadap gas yang diberikan dapat meningkatkan densitas dari fluida gas yang ada (fluida gas CO2 superkritik), sedangkan makin besarnya suhu yang digunakan akan makin

meningkatkan daya uap (volatilitas) dari fluida CO2 superkritik yang ada,

sehingga makin meningkatkan kemampuannya dalam mengekstraksi minyak ikan. Rizvi (1999) menyampaikan bahwa fluida CO2 superkritis memiliki sifat

yang hampir sama dengan heksan cair, yaitu memiliki massa jenis yang tinggi dan mempunyai polaritas rendah. Sifat-sifat fisikokimia ini berada dalam bentuk cair dan gas. Daya larutnya dapat diubah dengan memvariasikan massa jenisnya, terutama dengan makin meningkatnya suhu dan tekanan. Viskositas yang rendah serta densitas dan difusifitas yang tinggi dari fluida CO2 superkritik membuat

daya larutnya menjadi lebih tinggi dibandingkan pelarut lain. Kemudian Liong et al. (1992) menyampaikan bahwa meningkatnya tekanan pada gas akan memampatkan gas yang ada sehingga dapat memperbesar densitasnya. Meningkatnya densitas ini menyebabkan jarak antar molekul semakin dekat, sehingga jarak tempuh perpindahan massa dari zat yang dilarutkan ke pelarut secara difusi semakin mengecil dan kecepatan pelarutan semakin besar, sehingga perolehan ekstrak yang makin meningkat. Lebih lanjut Arai et al. (2002) menambahkan bahwa tingginya suhu yang digunakan dapat menyebabkan makin banyaknya komponen yang teruapkan dan ikut terdifusi bersama fluida CO2

(6)

31

superkritik. Selain itu pengaruh suhu yang makin meningkat akan meningkatkan uap dari bahan yang dilarutkan sehingga makin meningkatkan solubilitasnya.

Pengaruh peningkatan tekanan dan suhu ekstraksi ini sesuai juga dengan penelitian Sahena et al. (2010), diperlihatkan bahwa dari makin meningkatnya tekanan dan suhu ekstaksi yang digunakan, rendemen minyak ikan yang diperoleh juga semakin besar, yaitu berkisar antara 27,9% sampai 52,3%. Letisse et al. (2006) juga menyampaikan bahwa proses ekstraksi asam lemak omega-3 dari minyak ikan sarden dengan teknik ekstraksi fluida CO2 superkritik pada kondisi

proses tekanan yang makin meningkat, yaitu dari 225 sampai 300 bar (3300 sampai 4400 psi) pada suhu 75 oC, diperoleh rendemen minyak ikan yang juga semakin meningkat, yaitu dari 9,74% hingga mencapai 10,36%.

4.3 Solubilitas Konsentrat Asam Lemak Omega-3

Solubilitas konsentrat asam lemak omega-3 merupakan kelarutan yang dihasilkan dari perbandingan antara total konsentrat asam lemak omega-3 yang dihasilkan dengan total CO2 yang digunakan setiap kali proses. Solubilitas

konsentrat asam lemak omega-3 yang dihasilkan berkisar 9,19 ± 0,04 g/kg x 10-3 - 14,93 ± 0,33 g/kg x 10-3.Nilai solubilitas terbesar diperoleh pada tekanan 4000 psi dan suhu 50 oC, sedangkan nilai solubilitas terkecil diperoleh pada tekanan 3500 psi dan suhu 40 oC. Solubilitas pada konsentrat asam lemak omega-3 minyak ikan lemuru dengan proses ekstraksi fluida CO2 superkritik dapat dilihat

pada Gambar 6 dan Lampiran 9.

Gambar 6 Solubilitas pada konsentrat asam lemak omega-3 minyak ikan lemuru dengan proses ekstraksi fluida CO2 superkritik ( tekanan

ekstraksi 3500 psi, tekanan ekstraksi 4000 psi).

(7)

32

Analisis ragam pada selang kepercayaan 95% (Lampiran 10) menunjukkan interaksi antar perlakuan yang diberikan memperlihatkan adanya pengaruh yang nyata terhadap solubilitas konsentrat asam lemak omega-3 minyak ikan lemuru. Hasil uji lanjut BNT menunjukkan bahwa konsentrat asam lemak omega-3 dengan tekanan ekstraksi 3500 psi dan suhu ekstraksi 40 oC serta tekanan ekstraksi 4000 psi pada suhu ekstraksi yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata, demikian pula dengan tekanan ekstraksi 3500 psi dan suhu ekstraksi 50 oC dengan tekanan ekstraksi 4000 psi pada suhu ekstraksi yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata.

Sejalan dengan rendemen yang dihasilkan, adanya perbedaaan tersebut diduga juga dari makin meningkatnya kemampuan fluida CO2 superkritik sebagai

pelarut non polar dalam mengekstraksi minyak ikan, akibat dari makin besarnya tekanan dan suhu ekstraksi yang digunakan. Liong et al. (1992) menyampaikan bahwa meningkatnya tekanan akan memampatkan gas yang ada sehingga memperbesar densitasnya. Meningkatnya densitas ini menyebabkan jarak antar molekul semakin dekat, sehingga jarak tempuh perpindahan massa dari zat yang dilarutkan ke pelarut secara difusi semakin mengecil dan kecepatan pelarut semakin besar, sehingga solubilitas makin meningkat. Lebih lanjut Arai et al. (2002) menambahkan bahwa tinggi suhu yang digunakan dapat menyebabkan makin banyaknya komponen yang teruapkan dan ikut terdifusi bersama fluida CO2 superkritik. Selain itu pengaruh suhu yang makin meningkat akan

meningkatkan uap dari bahan yang dilarutkan sehingga makin meningkatkan solubilitasnya.

4.4 Kandungan Asam Lemak Omega-3

Kandungan EPA dan DHA tertinggi diperoleh dengan penggunaan tekanan 4000 psi dan suhu 40 oC, yaitu masing-masing sebesar 9,13 ± 0,21% dan 7,15 ± 0,13%. Sedangkan kandungan EPA dan DHA terendah diperoleh dengan penggunaan tekanan 3500 psi dan suhu 40 oC, yaitu masing-masing sebesar 7,93 ± 0,06% dan 6,26 ± 0,07%. Kandungan EPA dan DHA pada konsentrat asam lemak omega-3 minyak ikan lemuru dengan proses ekstraksi fluida CO2

(8)

33

pada konsentrat asam lemak omega-3 minyak ikan lemuru dengan perbedaan tekanan dan suhu terdapat pada Lampiran 12 sampai Lampiran 19. Adapun profil asam lemak pada konsentrat asam lemak omega-3 minyak ikan lemuru dapat dilihat pada Lampiran 20.

Gambar 7 Kandungan EPA dan DHA pada konsentrat asam lemak omega-3 minyak ikan lemuru dengan proses ekstraksi fluida CO2 superkritik

( tekanan ekstraksi 3500 psi, tekanan ekstraksi 4000 psi). Keterangan: Perbedaan huruf superskrip menunjukkan berbeda nyata (α < 0,05).

Analisis ragam pada selang kepercayaan 95% (Lampiran 21) menunjukkan bahwa interaksi antar perlakuan yang diberikan tidak memperlihatkan adanya pengaruh yang nyata terhadap kandungan EPA dan DHA pada konsentrat asam lemak omega-3 minyak ikan lemuru.

Tidak adanya pengaruh ini diduga bahwa kelarutan asam lemak omega-3 dalam CO2 superkritik tidak berpengaruh secara signifikan karena memiliki berat

molekul yang cukup tinggi. Gunstone (1996) menyampaikan bahwa secara struktur kimia, BM eikosanoat = 312,5 dan BM dokosanoat = 340,6, sedangkan asam lemak lain memiliki BM lebih rendah, yaitu BM butanoat = 88,1; BM heksanoat = 116,2; BM oktanoat = 144,2; BM dekanoat = 172,3; BM dodekanoat = 200,3; BM tetradekanoat = 228,4; BM heksadekanoat = 256,4; BM oktadekanoat = 284,5. Hal ini diduga mempengaruhi kelarutan asam lemak omega-3 yang tidak cukup signifikan, serta kandungan asam lemak minyak ikan hasil ekstraksi yang tidak berbeda jauh dari minyak ikan awal sebelum ekstraksi. Analisis yang dilakukan Foster et al. (1991) terhadap kekuatan pelarutan fluida CO2 superkritik menunjukkan bahwa tingkat pelarutan dari fluida CO2 superkritik

akan sangat tinggi pada komponen dengan berat molekul rendah (< 250) dan makin menurun sejalan dengan makin meningkatnya berat molekul dari

(9)

34

komponen terlarut yang ada, dan kemampuan tidak dapat melarutkan komponen ini adalah sampai pada berat molekul ≥ 400.

Secara deskriptif terlihat adanya penurunan terhadap kandungan EPA dan DHA pada konsentrat asam lemak omega-3 dari kandungan awal. Hal ini diduga karena tingginya kandungan asam lemak tidak jenuh PUFA sehingga cenderung mudah mengalami kerusakan oksidasi pada ikatan rangkapnya, sehingga menurunkan kandungan asam lemak omega-3. Vinter et al. (1999) menyatakan bahwa komponen asam lemak tidak jenuh PUFA (polyunsaturated fatty acid) omeg-3 seperti eicosapentaenoic acid (EPA) dan docosahexaenoic acid (DHA) yang tinggi pada minyak ikan, menyebabkan mudah mengalami kerusakan oksidatif. Namun, secara umum tidak memperlihatkan adanya perbedaan yang sangat nyata. Hal ini menunjukkan bahwa selama proses ekstraksi dengan fluida CO2 superkritik tingkat kerusakan komponen asam lemak omega-3 cenderung

sangat kecil.

Hasil penelitian ini memiliki kandungan EPA dan DHA lebih tinggi dibandingakan dengan penelitian Lopes et al. (2011), menunjukkan bahwa minyak ikan hasil ekstraksi dengan fluida CO2 superkritik pada tekanan 400 bar

(5800 psi) dan suhu 50 oC dapat menghasilkan asam lemak omega-3 tertinggi, yaitu kandungan EPA 4,73% dan DHA 5,59% dari kandungan EPA dan DHA minyak ikan awal yang masing-masing sebesar 4,63% dan 6,73%. Kecenderungan komposisi EPA dan DHA setelah ekstraksi dengan SFE memperlihatkan tidak adanya perbedaan secara signifikan satu sama lain, serta diharapkan komponennya sama dengan minyak ikan awal sebelum ekstraksi.

Berdasarkan kandungan asam lemak omega-3 (EPA dan DHA) tertinggi, yaitu 16,28%, maka konsentrat asam lemak omega-3 minyak ikan lemuru dapat digunakan sebagai suplemen gizi. Menurut Simopoulus (1991), kebutuhan optimal asam lemak omega-3 (EPA dan DHA) untuk orang dewasa, yaitu sekitar 300-400 mg/hari. Sehingga, untuk konsumsi per hari membutuhkan konsentrat asam lemak omega-3 minyak ikan lemuru hasil ekstraksi sekitar 1,84-2,46 gram.

(10)

35 4.5 Kadar Asam Lemak Bebas

Kadar asam lemak bebas merupakan indikator tingkat hidrolisis trigliserida dalam minyak ikan. Asam lemak bebas mempunyai stabilitas terhadap oksidasi yang lebih rendah dibandingkan bentuk trigliserida sehingga keberadaannya dalam produk berlemak biasa diukur. Peningkatan asam lemak bebas menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap oksidasi dan produk oksidasi yang terbentuk berpotensi menimbulkan bau (Estiasih et al. 2008).

Kadar asam lemak bebas tertinggi didapatkan pada minyak ikan lemuru hasil ekstraksi dengan tekanan 4000 psi dan suhu 50 oC, yaitu 8,75 ± 0,18%, sedangkan kadar asam lemak bebas terendah didapatkan pada tekanan 3500 psi dan suhu 40 oC, yaitu 6,77 ± 0,14%. Kadar asam lemak bebas pada konsentrat asam lemak omega-3 minyak ikan lemuru dengan proses ekstraksi fluida CO2

superkritik dapat dilihat pada Gambar 8 dan Lampiran 22.

Gambar 8 Kadar asam lemak bebas pada konsentrat asam lemak omega-3 minyak ikan lemuru dengan proses ekstraksi fluida CO2 superkritik

( tekanan ekstraksi 3500 psi, tekanan ekstraksi 4000 psi). Keterangan: Perbedaan huruf superskrip menunjukkan berbeda nyata (α < 0,05).

Analisis ragam pada selang kepercayaan 95% (Lampiran 23) menunjukkan bahwa interaksi antar perlakuan yang diberikan tidak memperlihatkan adanya pengaruh yang nyata terhadap kadar asam lemak bebas pada konsentrat asam lemak omega-3 minyak ikan lemuru.

Tidak adanya pengaruh ini diduga tidak terjadinya proses hidrolisis yang cukup signifikan selama ekstraksi minyak ikan hasil ekstraksi dengan fluida CO2

superkritik berlangsung. Ahmadi dan Mushollaeni (2007) menjelaskan bahwa asam lemak bebas dihasilkan dari hidrolisis terhadap minyak (trigliserida) yang menyebabkan asam lemak terlepas dari ikatannya dengan gliserol, sehingga

(11)

36

jumlah asam lemak bebas meningkat. Asam lemak bebas dapat terhidrolisis dari struktur trigliserida dengan adanya air, kondisi tertentu seperti adanya enzim, panas, dan bahan kimia tertentu (Dugan 1996; Gunstone 1996).

Secara deskriptif terlihat adanya peningkatan terhadap kadar asam lemak bebas pada konsentrat asam lemak omega-3 minyak ikan lemuru dari kandungan awal. Hal ini diduga karena konsentrat asam lemak omega-3 minyak ikan lemuru telah mengalami penurunan mutu karena penanganan setelah ekstraksi yang kurang baik. Namun, secara umum tidak memperlihatkan adanya perbedaan yang sangat nyata. Hal ini menunjukkan bahwa proses ekstraksi dengan fluida CO2

superkritik tidak menyebabkan kerusakan yang cukup signifikan terhadap minyak ikan lemuru.

Berdasarkan IFOMA (International Fish Meal and Oil Manufacturers Association) tentang standar minyak ikan konsumsi (food grade fish oil), kadar asam lemak bebas memiliki standar sebesar 1-7%. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan tekanan 3500 psi dan 4000 psi pada suhu 40 oC masih dapat digunakan dengan baik untuk menghasilkan produk konsentrat asam lemak omega-3 minyak ikan konsumsi sebagai suplemen gizi. Namun pada tekanan 3500 psi dan 4000 psi pada suhu 50 oC dapat diduga dihasilkan mutu minyak ikan konsumsi yang semakin menurun.

4.6 Bilangan Peroksida

Uji bilangan peroksida ditujukan untuk mengetahui tingkat kerusakan minyak ikan hasil ekstraksi. Bilangan peroksida tertinggi didapatkan pada minyak ikan lemuru hasil ekstraksi dengan tekanan 4000 psi dan suhu 50 oC sebesar 24,11 ± 0,91 meq/kg, sedangkan bilangan peroksida terendah diperoleh pada tekanan 3500 psi dan suhu 40 oC sebesar 19,23 ± 0,40 meq/kg. Bilangan peroksida pada konsentrat asam lemak omega-3 minyak ikan lemuru dengan proses ekstraksi fluida CO2 superkritik dapat dilihat pada Gambar 9.

(12)

37

Gambar 9 Bilangan peroksida pada konsentrat asam lemak omega-3 minyak

ikan lemuru dengan proses ekstraksi fluida CO2 superkritik

( tekanan ekstraksi 3500 psi, tekanan ekstraksi 4000 psi). Keterangan: Perbedaan huruf superskrip menunjukkan berbeda nyata (α < 0,05).

Analisis ragam pada selang kepercayaan 95% (Lampiran 24) menunjukkan bahwa interaksi antar perlakuan yang diberikan tidak memperlihatkan adanya pengaruh yang nyata terhadap bilangan peroksida pada konsentrat asam lemak omega-3 minyak ikan lemuru.

Tidak adanya pengaruh ini diduga proses oksidasi yang terjadi selama berlangsungnya proses ekstraksi minyak ikan hasil ekstraksi dengan fluida CO2

superkritik tidak cukup signifikan. Yin dan Sathivel (2010) menyampaikan bahwa peroksida merupakan produk oksidasi primer pada minyak yang terjadi selama proses ekstraksi. Lebih lanjut Shahidi dan Wanasundara (1998) menyampaikan bahwa kandungan asam lemak tidak jenuh PUFA (polyunsaturated fatty acid) yang tinggi pada minyak ikan memungkinkan proses oksidasi pada minyak ikan lebih cepat berlangsung.

Secara deskriptif terlihat adanya peningkatan terhadap bilangan peroksida pada konsentrat asam lemak omega-3 minyak ikan lemuru dari kandungan awal. Hal ini diduga disebabkan konsentrat asam lemak omega-3 minyak ikan lemuru mengalami penurunan mutu karena penanganan setelah ekstraksi yang kurang baik. Namun, secara umum tidak memperlihatkan adanya perbedaan yang sangat nyata. Hal ini menunjukkan bahwa proses ekstraksi dengan fluida CO2 superkritik

tidak menyebabkan kerusakan yang cukup signifikan terhadap minyak ikan lemuru.

Berdasarkan IFOMA (International Fish Meal and Oil Manufacturers Association) tentang standar minyak ikan konsumsi (food grade fish oil), bilangan

(13)

38

peroksida memiliki standar sebesar 3-20 meq/kg. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan tekanan 3500 psi dan 4000 psi pada suhu 40 oC masih dapat digunakan dengan baik untuk menghasilkan produk konsentrat asam lemak omega-3 minyak ikan konsumsi sebagai suplemen gizi. Namun pada tekanan 3500 psi dan 4000 psi pada suhu 50 oC dapat diduga dihasilkan mutu minyak ikan konsumsi yang semakin menurun.

Gambar

Tabel  9.  Kandungan  asam  lemak  minyak  ikan  hasil  samping  pengalengan  ikan  lemuru
Gambar 7  Kandungan  EPA  dan  DHA  pada  konsentrat  asam  lemak  omega-3  minyak  ikan  lemuru  dengan  proses  ekstraksi  fluida  CO 2  superkritik    (      tekanan ekstraksi 3500 psi,       tekanan ekstraksi 4000 psi)

Referensi

Dokumen terkait

Overseas sales continued to support the sector, with new export business rising at the fastest clip in more than a year, thanks to efforts among Chinese services firms to attract

Hal ini akan berdampak pada penentuan daerah penangkapan ( fishing ground ) yang menjadi sasaran penangkapan. Daerah penangkapan ikan di Kecamatan Labuan adalah Selat

[r]

Perubahan pola penggunaan lahan memberi dampak pada pengurangan kapasitas resapan, terutama dilihat dari proporsi perubahan luasan pertanian ini dikawasan

STATIONARY PHASE : Terjadi faktor pembatas pertumbuhan, seperti nutrisi yang berkurang, terbentuk produk yang membatas. pertumbuhan, seperti

Esktrak biji labu kuning (Cucurbita moschata) dengan konsentrasi 70,5% dapat membunuh cacing Ascaris suum pada jam ke 6 jam 24 menit setelah perlakuan dan pada

Kesuburan tanah adalah kemampuan atau kualitas suatu tanah menyediakan unsur hara tanaman dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan tanaman, dalam bentuk

Alasan Pusat Pengabdian pada Masyarakat memilih ketiga lokasi tersebut sebagai tempat pelaksanaan adalah dikarenakan secara struktural pemerintahan, kegitan dimaksud