• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP TEOLOGI PEMBEBASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSEP TEOLOGI PEMBEBASAN"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP TEOLOGI PEMBEBASAN

(Analisis Terhadap Teologi Sosial Asghar Ali Enginer)

Abbas1

Abstract: Theology as the basis for Aqeedah of Muslims make a dynamically

developing in weighing and set the direction of the religion of Islam to the fore, but if religion is always tamed by various systems of greed, colonialism in all its forms, then theology is not able to be a waiver for each individual faiths. Religion should be neutral to awaken spiritual qualities in the form of dynamic, productive movement towards independence as a whole individual and social center of a community.

Key Words: Theology, Social Liberation, Society.

Pendahuan

Sebagai tokoh yang memiliki tradisi keluarga ulama, maka wajarlah jika latar belakang keluarga yang terlihat setiap saat tersebut banyak mempengaruhi analisa intelektualnya, meskipun sejak kecil telah muncul auto kritik terhadap berbagai eksploitasi atas nama agama terjadi dan berkembang disekelilingnya. Kondisi sosial ini yang mengawali sikap kritisnya secara menerus untuk memberikan kategori bahwa ada yang salah secara substansial dalam memahami secara substansial ajaran-ajaran agama. Ajaran agama yang terkadang menjadi dogma-dogma dan menjadi kelas baru ditengah masyarakat umum. Sehingga keyakinannya bahwa dogma-dogma hanya produk kepentingan manusia demi menjaga keselamatan semata daripada sebagai hasil dan pencarian spiritual untuk menemukan kepastian bathin.

Asghar Ali memiliki ketajaman analisa dalam melihat pesan-pesan al-qur’an untuk mengangkat harkat dan martabat manusia kesenjang yang seharusnya. Sehingga dia mengemukakan pendapatnya bahwa Kekuasaan dan kekayaan tidak hanya merusak tetapi menciptakan arogansi yang cenderung menindas, ungkapan tentang fir’aun dalam al-qur’an sebagai i’tibar representasi arogansi kekuasaan dan Musa sebagai simbol pembebasan.

1 Dosen Tetap Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Sorong, Papua Barat. E-mail: hafifahabbas@yahoo.co.id.

(2)

Sebagai seorang yang memahami konsep pembebasan teologi tersebut secara utuh, maka dia sangat menghargai dialog, komunikasi serta ajakan untuk selalu bersikap lembut terhadap berbagai problema yang menghadang dan selalu berbenturan. Beliau tidaklah sebagai seorang perenial, tetapi sangat mengakui akan berbagai kebenaran spiritual yang ada pada berbagai agama termasuk non agama samawi. Oleh karena itulah pada artikel ini penulis ingin mengangkat permasalahan yakni bagaimana kontep teologi pembebasan Asghar Ali Engineer?

Pengertian dan Munculnya Teologi Pembebasan

Teologi Pembebasan adalah kata majemuk dari teologi dan pembebasan. Secara etimologis, teologi berasal dari theos yang berarti Tuhan dan logos yang berarti ilmu. Teologi adalah ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dan hubungannya dengan manusia dan alam semesta. Sedangkan kata pembebasan merupakan istilah yang muncul sebagai reaksi atas istilah pembangunan (development) yang kemudian menjadi ideologi pengembangan ekonomi yang cenderung liberal dan kapitalistik dan umum

digunakan di negara dunia ketiga sejak tahun 60-an2.

Teologi Pembebasan muncul di kawasan Amerika Latin sebagai respon atas kondisi sosial, ekonomi dan politik saat itu. Sejak tahun 1950-an negara-negara kawasan Amerika Latin ini melakukan proses industrialisasi di bawah arahan modal multinasional. Namun karena mementingkan pertumbuhan ekonomi, industrialisasi telah menciptakan kesenjangan sosial yang begitu tajam. Urbanisasi meningkat tajam. Kaum proletar –kelas buruh– tumbuh dengan cepat. Inflasi melambung, biaya hidup membumbung. Ketidakpuasan meluas. Situasi politik menjadi tegang dan labil. Kudeta terjadi di mana-mana dan membuahkan pemerintahan diktator militer. Pada saat yang sama, otoritas gereja Katholik mulai terbuka terhadap perubahan dan

pandangan-pandangan dari luar.3

Teologi Pembebasan merupakan gerakan yang telah dilakukan oleh para Romo, Uskup, dan bagian-bagian lain gereja sejak awal tahun 60-an. Mereka ini memimpin

2 Francis Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan, Sejarah, Metode, Praksis dan Isinya, (Yogyakarta: LKiS, cet. II, 2008), h. 8-9.

(3)

“Gereja untuk Orang Miskin”. Akan tetapi baru pada tahun 1971, Gustavo Gutierrez, asal Peru, adalah orang pertama yang merangkum paham Teologi Pembebasan secara tertulis lewat bukunya, Teologia de la Liberacion. Tokoh setelah Gustavo, Juan Louise Segundo (Uruguay), Hugo Asmann (Brazil) dan John Sabrino (El-Salvador), adalah pastor yang relatif punya otoritas dan profesional secara akademis. Karena itu Teologi Pembebasan menjadi mainstream dan paradigma yang

khas Amerika Latin4.

Pemahaman Teologi Barat (Eropa) yang bersifat transendental dan rasional, yang

berkutat dalam upaya memahami Tuhan dan iman secara rasional5, Menurut mereka,

Gereja harus secara nyata melibatkan diri dan berpihak pada rakyat yang tak berdaya. Agama dan teologi, lanjut mereka, tak boleh meninabobokan umat beriman, melainkan harus memberikan dorongan kepada rakyat untuk melakukan perubahan. Rakyat harus disadarkan bahwa penderitaan, kemiskinan, dan keterbelakangan bukan nasib turunan, melainkan buah dari struktur sosial-ekonomi-politik yang berlaku.

Pengikut Teologi Pembebasan memang tak menyangkal bahwa mereka menggunakan analisis marxian. Peranan marxisme hanyalah alat analisis yang dapat merekam dan mendeskripsikan ketidakadilan dan praktek kekerasan. Sementara pada sisi lain mereka menolak filsafat materialisme, ideologi ateis dan pengertian agama

sebagai candu masyarakat.6 Pada kontkes ini, kesadaran tentang keperluan teologi

serupa, rupanya juga muncul di kalangan umat Isslam. Kita bisa menyebut Hassan Hanafi (Mesir) yang terkenal dengan gagasan Al-Yasar Al-Islami (Kiri Islam), Ziaul Haque (Pakistan, bukan Zia ul Haq yang mantan Presiden) yang menulis buku yang cukup provokatif, “Revelation and Revolution in Islam” (Wahyu dan Revolusi dalam Islam), Ali Syari’ati (Iran) yang dianggap sebagai ideolog Revolusi Iran dan harus pula disebut nama Asghar Ali Engineer (India) yang akan kita bahas pemikirannya tentang Teologi Pembebasan.

4 Michael Lowy, Teologi Pembebasan…, h. 26 5 Francis Wahono N., Teologi…, h.37 6 Michael Lowy, Teologi pembebasan…, h. 156

(4)

Biografi Asghar Ali Engineer

Asghar Ali Engineer dilahirkan dalam lingkungan keluarga ulama ortodoks Bohra

pada tanggal 10 Maret 1939 di Sulumber, Rajastan (dekat Udaipur) India.7 Ayah

Asghar Ali Engineer bernama Syeikh Qurban Husein. Seorang penganut kuat paham Syiah Ismailiyah dan berpikiran cukup terbuka untuk berdialog dengan penganut agama lain. Ayahnya juga seorang sarjana Islam terpelajar yang turut membantu pendirian pimpinan ulama Bohra. Sebagaimana digambarkan Asghar Ali Engineer, ayahnya adalah seorang yang mempunyai kesabaran besar ketika orang-orang dari

kepercayaan lain mengajaknya berdialog.8

Sewaktu kecil Asghar Ali Engineer pernah melihat seorang pendeta Brahmana Hindu datang untuk berdialog dan bertukar pikiran dengan ayahnya tentang kepercayaan yang dianutnya. Namun ayahnya, kata Asghar Ali Engineer, tetap yakin

dengan kepercayaan yang dianutnya.9 Selanjutnya, Asghar Ali Engineer menceritakan

tentang masa kecilnya yang kerap kali menyaksikan eksploitasi atas nama agama. Hal ini berlangsung semenjak ayahnya menjadi ulama Bohra. Pada waktu itu tidak ada yang berani melakukan perlawanan terhadap sistem yang menindas. Ayahnya sendiri sebagai seorang ulama tidak bisa berbuat apa-apa meskipun dalam hatinya sangat membencinya. Asghar Ali Engineer menceritakan bahwa ayahnya harus memilih untuk melayani sistem itu atau akan mati kelaparan atau bahkan berhadapan dengan penyiksaan yang bengis.

Asghar Ali Engineer dilahirkan dalam masa eksploitasi kotor atas nama agama. Dengan tekun ia mempelajari literatur-literatur keagamaan dari berbagai sumber yang ditulis oleh kalangan Islam maupun Barat, baik dari kalangan tradisional maupun modern. Di samping itu, Asghar Ali Engineer juga mempelajari al-Quran dan hadis, juga fikih. Keterpaduan upayanya dalam mempelajari agama ditambah dengan pengalaman hidupnya yang berhadapan dengan serangkaian eksploitasi, membuatnya menjadi seorang pemikir sekaligus aktivis yang berpandangan liberal, revolusioner, dan demokratis.

7 Asghar Ali Engineer, hak-hak perempuan dalam Islam, terj. Farid dan Cici. (Yogyakarta: LSPPA, 2000), h.

8 Asghar Ali Engineer, Islam masa kini (terj), (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2004), h. v 9 Ibid., . h. vi

(5)

Pada masa kecilnya, Asghar Ali Engineer mendapat pendidikan Bahasa Arab, Tafsir, Hadis dan Fikih dari ayahnya dan selanjutnya mengembangkannya sendiri. Asghar Ali Engineer juga belajar semua karya-karya penting tentang dakwah Fatimiyah melalui Sayidina Hatim, Sayidin Qadi Nu’man, Sayidina Muayyad Shirazi, Sayidina Hamiduddin Kirmani, Sayidina Hatim Razi, Sayidina Jafar Mansur al-Yaman, dan lain-lain. Lalu, di samping pendidikan agama, Asghar Ali Engineer juga mendapat pendidikan umum. Ayahnya mengirimnya ke sekolah umum dan menyarankan untuk belajar teknik atau kedokteran. Namun Asghar Ali Engineer tertarik memilih belajar teknik sipil di Fakultas Teknik di Vikram University, Ujjain, India, dan lulus dengan mendapat gelar doctor. Setelah itu Asghar Ali Engineer memilih untuk menetap di Bombay, ayahnya juga ikut bergabung bersama di sana.

Asghar Ali Engineer menjadi menyaksikan rentetan ekaploitasi atas nama agama dalam komunitasnya di Bohra. Asghar Ali Engineer banyak mempelajari karya-karya penulis Barat maupun muslim. Ia gemar membaca literatur tentang rasionalisme dalam bahasa Urdu, Arab, dan Inggris. Asghar Ali Engineer juga membaca tulisan Niyaaz Fatehpuri, seorang penulis dalam bahasa Urdu dan membaca tulisan tentang konflik ortodoksi agama. Pada saat itu ia juga belajar

karya-karya Bertrand Russel, filsuf rasionalis asal Inggris, juga Das Capitalnya10 Karl Marx.11

Meskipun mengakui terpengaruh oleh karya-karya pemikir besar tersebut, Asghar Ali Engineer tidak meninggalkan perhatiannya untuk mempelajari al-Quran dan tafsirnya yanag ditulis oleh sarjana-sarjana muslim. Selama periode ini Asghar Ali Engineer membaca uraian-uraian dari Sir Sayed dan Maulana Azad. Di samping itu kemudian ia juga belajar secara mendalam tentang Rasail Ikhwanus Shafa dan kemudian membandingkannya dengan imam-imam Syiah Ismailiyah selama masa

persembunyian mereka pada akhir abad 8 M.12

10 Das kapital adalah buku yang dikarang oleh Marx yang telah lama ditunggu-tunggu pengikutnya”sekitar 20 tahun lamanya, dia adalah karya ilmiah yang memberikan jawaban ilmiah terhadap berbagai kelemahan Kapitalisme. Marx ingin menunjukkan bahwa revolusi sosialis dan masyarakat tanpa kelas merupakan hasil objektif dan niscaya dari kontradiksi-kontradiksi yang tersandung dalam produksi kapitalis sendiri. Kapitalisme akan menggali kuburnya sendiri, lihat Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), h. 150,

11 Asghar Ali Engineer, Islam masa kini…, h. vii 12 Ibid., h. viii

(6)

Setelah lulus dari fakultas teknik Asghar Ali Engineer mengabdikan dirinya pada Bombay Municipal Corporation selama 20 tahun. Rasa tanggung jawabnya membuatnya memutuskan untuk mengundurkan diri, dan dengan sukarela ia terjun dalam pergerakan reformasi Bohra. Asghar Ali Engineer mulai memainkan peran pentingnya di Udaipur, pada waktu itu ia aktif menulis artikel-artikel di surat kabar terkemuka di India antara lain The Times of India, India Express, Statesmen, Telegraph, The Hindu, dan lain-lain.

Pada tahun 1977, The central Board of Dawoodi Bohra Community mengadakan konferensi pertamanya, saat itu Asghar Ali Engineer terpilih sebagai sekretaris jenderal dengan suara bulat, dan posisi itu terus dijabatnya hingga sekarang. Ia banyak mencurahkan waktunya untuk pergerakan reformasi melalui tulisan-tulisan dan

ceramah-ceramahnya13. Melalui wewenang keagamaan yang dimilikinya, ia aktif

mencurahkan gagasan-gagasannya. Untuk itu ia harus menghadapi reaksi generasi tua yang cenderung bersikap konservtif, mempertahankan kemapanan. Dan konsekuensi terberat adalah serangan brutal dari pihak-pihak yang beroposisi dengannya.

Asghar Ali Engineer mulai dikenal sebagai sarjana Islam terkenal setelah mendapat gelar kehormatan D.Litt dari tempat kerjanya di Universitas Calcuta pada bulan Februari 1983. Gelar ini diperolehnya atas karya-karyanya yang berhubungan dengan keharmonisan masyarakaat dan kerusuhan sosial yang ditulis sejak pecahnya kerusuhan pertama di India pada tahun 1961 di Jabalpur. Setelah itu, Asghar Ali Engineer mulai diikut sertakan pada konferensi-konferensi Islam internasional di berbagai negara dan universitas. Asghar Ali Engineer mengajar diberbagai universitas di India, AS dan Eropa.

Asghar Ali Engineer juga mengajar diberbagai universitas di Eropa, Amerika Serikat dan Asia Selatan dan Asia Tenggara. Di Eropa tempat ia mengajar antara lain: Ianggris, Jerman, Perancis, Switzerlnd. Di Asia antara lain: Indonesia, Malaysia, Thailand, Pakistan, Sri Lanka, Yaman, Meksiko, Libanon, Mesir, Jepang, dan lain-lain. Di Amerika Serikat tempat ia mengajar antara lain di New York, Colombia,

13 Djohan Effendi, “Kata Pengantar” dalam Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, h. xi-xiii

(7)

Chicago, UNCL, Chicago Barat Laut, Philadelpia, Minnesota, dan lain-lain. Asghar Ali Engineer mengajar tentang Islam, hak-hak wanita dalam Islam, teologi pembebasan dalam Islam, masalah kemasyarakatan di Asia Selatan, negara Islam, dan sebagainya. Selain mengajar Asghar Ali Engineer juga memberikan perhatian yang besar kepada pemuda muslim. Ia telah memimpin workshop untuk pemuda-pemuda muslim dan mengarahkan mereka terhadap pemahaman inter-religius dan hak asasi manusia.

Jabatan yang dipegang Asghar Ali Engineer adalah wakil presiden pada PUCL (Peoples Union for Civil Liberties), pemimpin pada Rikas Adhyayan Kendra (Center for Development Studies), pemimpin EKTA (Committee for Communal Harmony). Asghar Ali Engineer juga seorang ketua pendiri AMAN (Asia Muslim Action Network), suatu organisasi jaringan aksi muslim Asia yang mempromosikan hak-hak

asasi manusia dan pemahaman lintas keyakinan (agama) di wilayah Asia.14

Kritik Terhadap Teologi Konvensional

Menurut Asghar Ali, Islam datang dengan semangat pembebasan, akan tetapi sepeninggal Nabi Muhamad, Islam kehilangan elan vitalnya. Salah satunya terlihat dalam konsep teologinya. Teologi Islam yang pada awalnya dekat dengan keadilan sosial dan ekonomi, mulai beralih ke masalah-masalah eskatologi dan masalah yang bersifat duniawi. Teologi Islam kemuddian berkembang dengan metode skolastik

dan spekulatif.15 Menurut Asghar, ini dimulai pada zaman Muawiyah. Teologi Islam

mulai bergulat dengan masalah kehendak bebas vis a vis ketundukan pada takdir. Pandangan kehendak bebas ini kemudian dikenal sebagai pandangan kaum qadariyah. Sedangkan pandangan ketundukan pada takdir adalah pandangan kaum jabbariyah. Dalam pandangan Asghar, pandangan jabbariyah ini sengaja diintrodusir oleh penguasa karena lebih cenderung mendukung status qua. Menurutnya, kaum Sunni banyak menganut faham jabbariyah ini. Sedangkan kaum Khawarij, Syi’ah dan

Mu’tazilah yang oposan terhadap Dinasti Umayyah memilih faham qadariyah16

14 Muhammad In’am Esa, Rethingking kalam, (Yogyakarta: eLSAQ, 2006), h. 77 - 79

15 Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. x

(8)

Teologi Islam kemudian menjadi sebatas Ilmu Kalam yang skolastik dan spekulatif. Tema kehendak bebas dan ketundukan pada takdir, menjadi dominan terkait dengan upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul akibat persoalan politik. Kekacauan politik yang melanda umat Islam menimbulkan pertanyaan tentang dosa besar, mukmin dan kafir. Inilah yang ingin diselesaikan secara

intelektual oleh Teologi Islam saat itu.17Asghar juga menilai, Islam yang dekat dengan

penguasa ini kemudian kehilangan aspek pembebasan. Para Khalifah Umayyah lebih sering bersama para penguasa yang tiran, sekaligus menindas siapa yang menentang. Jumlah budak berlipat ganda. Harem menjadi budaya istana Khalifah. Sedangkan orang non-Arab diperlakukan secara diskriminatif.

Dari konteks inilah, maka Teologi Islam, menurut Asghar semakin jauh dari perhatian kepada masyarakat lemah. Teologi Islam hanya berbicara tentang keesaan Tuhan, Sifat-sifat Tuhan, ketidakmungkinan adanya Tuhan selain Allah, tentang polemik kehendak bebas dan takdir, dan masalah-masalah eskatologis. Teologi Islam tidak lagi berbicara tentang bagaimana membantu fakir miskin, memelihara anak yatim, bersikap kritis terhadap kekuasaan, membebaskan budak dan orang tertindas, mempromosikan kesetaraan jender, dan tema-tema pembebasan lainnya. Selain itu, keberpihakannya juga cenderung kepada penguasa. Maka, dalam kondisi demikian,

Asghar bisa memahami kritik Marx bahwa agama adalah candu masyarakat18

Konsep Teologi Pembebasan Asghar Ali Engineer

Sebagai seorang yang lahir dalam kompetisi global di penghujung abad ke 20 ini, memiliki latar belakang pengetahuan daras yang kuat dengan pengetahuan umum dalam bidang tehnik, maka sewajarnya jika apa yang menjadi kegelisahannya dapat terwujud dengan berani dan tegas mengemukakan berbagai ketimpangan cara beragama di dunia modern. Asghar Ali Engineer, diilhami oleh Revolusi Iran, secara lugas menawarkan ‘Teologi Pembebasan’. Lewat kecanggihan analisis sosiologisnya Roger Garaudi, seorang muslim penganut Marxisme. Enginer dengan cakap

17 E. Kusnadiningrat, Teologi dan Pembebasan, Gagasan Islam Kiri Hasan Hanafi, (Jakarta: Logos, 1999), h. 29-30

(9)

membangun pemikirannya tentang teologi pembebasan. Berikut ini adalah uraian yang memuat pokok-pokok pemikirannya, sebagai berikut:

1. Penindasan dalam pembangunan

Istilah pembangunan bagi masyarakat dinegara-negara dunia ketiga seolah menjadi kata sakti. Pembangunan dan modernisasi ibarat dua sisi dari sekeping mata uang, keduanya saling mengandaikan, terutama untuk membentuk struktur-struktur ekonomi politik masyarakat. Pembangunan, karenanya adalah agenda dan misi kapitalisme global dinegeri-negeri miskin dan yang sedang berkembang.

Pembangunan sebagai sebagai anak kandung kapitalisme berasumsi, kemakmuran akan meliputi semua pihak yang berperan entah dengan modal maupun dengan tenaganya, apabila mekanisme pasar dibiarkan berjalan dengan sendirinya. Pemerintah dibenarkan campur tangan sejauh hanya sebagai fasilitator penyedia keluangan bagi pasar untuk berfungsi, dan jika berdampak negatif, maka

campur tangan tersebut harus dikoreksi19. Sistem ekonomi pasar ini telah

menjadi paradigma utama ekonomi ditengah masyarakat modern terlebih setelah ambruknya laboratorium ambruknya sosialisme dunia, uni soviet. Pada tahun 1990.

Filosofi ekonomi semacam ini, meminjam istilah Syari’ati,20 sebagai “musuh

yang ganti baju” atau manifestasi dari neo-imperialisme Barat dalam pentas global, telah diusung sebagai paradigma pembangunan dinegara-negara berkembang. Sistem ekonomi liberal kapital ini, masyarakat akan menjadi korban-korban tehnologi, tipudaya sains, sihir kesenian, kelicikan filsafat, dan kemunafikan demokrasi dan humanisme yang kesemuanya menjadi antek-antek

agama uang dan filsafat konsumerisme21 dinegara-negara berkembang, tidak

memberikan dampak yang lebih baik bagi upaya peningkatan kesejahteraan kaum lemah dan tertindas, tetapi justru menimbulkan gap yang menganga antara masyarakat miskin dan kaya, antara negara miskin dan negara kaya, negara miskin diferifasi semakin tergantung pada negara kaya dipusat, terlihat membengkaknya

19 Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya, (Yogyakarta:Lkis, 2000), h. 7 - 8

20 Ali Syari’ati, Islam Mazhab pemikiran dan Aksi, terj. Narullah dan Afif Muhammad, (Bandung:Mizan, 1995, h. 63

(10)

hutang luar negeri negara berkembang dan terjadinya ketimpangan hubungan dagang internasional. Desa menjadi pinggiran nestapa yang tergantung pada kota. Buruh termarjinalkan, dan menggantungkan nasibnya pada pemodal dan

majikan22

Mansur Fakih menegaskan pembangunanisme yang dicekokkan ke bangsa-bangsa yang berkembang senyatanya merupakan bentuk mekanisme baru kapitalisme modern dalam mengembangkan sayap-sayap imperialisme, sehingga wajar ketika ia dijalankan, dalam realitasnya, malah melanggengkan struktur dan

sistem ekonomi eksploitatif dan menciptakan struktur kelas yang timpang.23

Terlebih lagi, sebagaimana disinyalir Engineer, banyak bangsa di Asia dan Afrika pascakolonialisasi Barat, berubah menjadi bangsa dengan rezim otoriter yang orientasi pembangunan ekonominya tidak dirancang untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat lemah tetapi semata memenuhi tuntutan sekelompok elit masyarakat.

Dalam mengemban proyek-proyek kesejahteraan, membuat orang mengharapkan kembali peran agama yang selama ini terpinggirkan dari panggung sejarah, terlebih lagi setelah munculnya revolusi diberbagai kawasan dunia yang digerakkan kalangan agamawan. Agama tampak mulai bersinar memenuhi harapan masyarakat yang tertindas. Dulu agama dianggap sebagai biang kerok kejumudan dan pelanggeng status quo. Sekarang ia justru sebagai ghirah anti kemapanan dan inspirasi yang efektif bagi gerakan revolusioner demi terciptanya masyarakat yang berkeadilan. Menjadi pertanyaan adalah kenapa agama dalam sejarahnya menampakkan beragam wajah. Engineer menjelaskan agama menjadi candu atau sebaliknya menjadi amunisi revolusioner, tergantung pada dua hal. Pertama, kondisi sosio politik; kedua, subjek yang bergumul dengan agama itu. Apakah kaum revolusioner atau Status Quo.

22 Engineer mengaskan bahwa konsekuensi dari model pembangunan seperti itu adalah alienasi religio kultural yang diakibatkan kurang berakarnya ia didalam masyarakat kebanyakan. Modernisasi bukan hanya menjadikan masyarakat pedesaan dan urban semakin miskin dan kumuh, tetapi juga memaksa mereka untuk menahan kepedihan atas terjadinya gap antara sikaya dan si miskin. Lihat Asghar Ali Engineer, Islam and liberation Theologi, New Delhi: Sterling Publishers Private Limited, 1990, h. 17

23 Mansur Faqih, Teologi Kaum Tertindas, dalam Spiritualitas Baru: Agama Dan Aspirasi Rakyat, (Yogyakarta: Dian/Interfidei, 1994), h. 215

(11)

Sebuah ideologi tergantung aktor-aktor yang mengendalikannya. Bila agama dimaknai sebagai sesuatu yang transformatif dan progressif, agamapun akan tampil sebagai transformatif dan progressif. Demikian pula sebaliknya. Agama dalam sejarahnya menjadi garda depan transformasi progressif dan gerakan-gerakan revolusioner yang membela kaum tertindas, sehingga wajar jika ada asumsi realitas historis agama yang pro status quo dan pelanggeng penindasan. Hal demikian sebagai bentuk penyimpangan dan penghianatan terhadap agama.

Teologi yang menyimpang dari kodrat eksistensialis agama, teologi yang mendukung status quo harus dimesiumkan dan diganti dengan teologi yang membela kepentingan rakyat kecil dan kelompok marginal lain. Pembebasan teologi diperlukan untuk mengembang sebuah keterbelakangan dan ketertindasan yang dialami masyarakat, bukan suatu takdir yang tidak bisa dirubah. Penindasan tercipta karena ada struktur yang secara rapi dan sistemik menciptakannya. Dalam kerangka ini, teologi pembebasan sebagai kekuatan ideologis yang melawan dan menyadarkan orang akan penindasan dalam struktur sebuah masyarakat, mutlak dibutuhkan.

2. Islam sebagai ideologi pembebasan

Diutusnya Muhammad SAW, ada tiga hal pokok menjadi tugasnya: Pertama, untuk menyatakan kebenaran; kedua, untuk melawan kepalsuan(kebathilan) dan penindasan(zulm); dan ketiga, untuk membangun komunitas yang hidup atas dasar kesetaraan sosial, kebaikan, keadilan dan kasih sayang. Tiga alasan ini termaktub dalam al-qur’an. Dari sini dapat dikatakan bahwa para nabi adalah sosok-sosok revolusioner yang dimunculkan Tuhan dalam sejarah manusia. Mereka mengemban misi sosial-religius: mengusahan suatu transformasi sosial demi membebaskan dan membela mereka yang dilemahkan oleh sebuah struktur. Revolusi yang digerakkan oleh para nabi bertujuan untuk melawan diskriminasi, dominasi, dan manipulasi kesadaran. Mereka berada di gardu depan dalam memerangi kelompok-kelompok dan kelas penguasa yang korup dan lalim. Al-qur’an memberikan gambaran yang jelas mengenai hal ini. Ketokohan Musa misalnhya merupakan ibrah dari perjuangan seorang sosok yang revolusioner. Al-qur’an juga menyebutkan dua representasi kekuatan yang antagonistik. Fir’aun

(12)

adalah refresentase kekuatan kelas penguasa(the rulling class) yang arogan dan korup, sedangkan Musa dan bani Isra’il mewakili kekuatan pembela hak-hak rakyat, buruh, perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas.

Demikian pula Muhammad dengan Islamnya, merupakan sosok yang

revolusioner 24 Islam adalah agama pembebasan demikian kalayak sering

mengatakannya. Klaim yang tidak berlebihan, jika kita cermati asal mula Islam yang dibawa Muhammad ini. Diantara misi penting yang diemban Islam adalam membela, menyelamatkan, membebaskan, memuliakan, dan melindungi orang-orang yang tertindas. Islam muncul di Makkah, dan kelompok pertama yang memberikan apresiasi secara positif kehadirannya adalah mereka yang tertindas, kaum miskin dan para budak. Hanya sedikit saja kelompok awal yang masuk Islam dari bangsawan dan hartawan, dan itupun orang-orang yang peduli terhadap orang kecil.

Situasi di Mekkah ketika itu sudah menjadi kota perdagangan besar sekelas internasional aksesnya. Praktek monopoli dan akumulasi kapital mewarnai keseharian para pedagangnya. Etos kapital ini telah menciptakan kesenjangan yang menganga antara sikaya dan si miskin, antara pemodal dan pekerja, maka ketika nabi diutus dengan seruan yang mengedepankan kesetaraan, keadilan dan pembelaan kepada kaum tertindas, tak lagi mendapat perlawanan yang luar biasa keras dari kaum kapitalis Mekkah, saudagar-saudagar suku Quraish dan suku-suku lainnya.

Ada analis menyebutkan, sebenarnya yang ditentang dan dilawan nabi bukan ajaran tentang Tuhan, sebab al-qur’an pun mengatakan, mereka telah mengenal Tuhan(QS.31:25)                  

24Kasuo Shimogaki, Kiri Islam, Antara Modernisme Dan Postmodernisme, terj. Imam Azis dan Jadul Maula, (Yogyakarta: Lkis, 2000), h. 130

(13)

Artinya:

Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" tentu mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah : "Segala puji bagi Allah"; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.

Muhammad tidak mengenalkan Tuhan baru bagi masyarakat Mekkah, tetapi

membenahi pemahaman mereka tentang ketuhanan dan kemanusiaan25 yang

sangat monumental dari nabi Muhammad adalah seruannya tentang humanisme dan keadilan sosial ekonomi sekuat dan seintens ajakannya kepada tauhid. Ajakannya kepada kemanusiaan dan keadilan sosial ekonomi inilah, sebenarnya yang menjadi ancaman serius bagi Status Quo kaum kapitalis dan aristokrat Mekkah kala itu.

Wajah asli Islam sebagai agama revolusioner yang mampu melakukan perubahan radikal dalam ranah sosial, ekonomi dan teologi merupakan otensitas yang mesti digali kembali dalam konteks kekinian .” asal usul historis Islam bisa

membantu kita untuk memahami potensi revolusionernya.26

Penggalian kembali etos dan paradigma revolusioner dalam Islam penting dalam upaya mempromosikan kesadaran revolusioner dalam sejarah Islam. Namun kesadaran sejarah belum mencukupi untuk menjadikan Islam kekuatan revolusioner. Ada hal lain yang lebih penting, bagaimana agar Islam dipahami sebagai suatu kesadaran praksis. Ini mengharuskan menjadikan Islam sebagai sebuah kerangka ideologi. Hanya dengan cara ini Islam mampu menjadi kekuatan pembebasa yang revolusioner dalam sejarah. Menurut Ali Syariati, menjadikan Islam sebagai ideologi berarti memahami Islam sebagai suatu gerakan kemanusiaan, historis dan intelektual. Inilah yang nantinya memberikan ghirah progressif praksis bagi penganutnya dan sekaligus mengarahkan kepada tujuan, cita-cita, dan rencana praktis sebagai dasar bagi perubahan dan kemajuan kondisi

sosial yang diharapkan.27

25 Fazlur Rahman, Islam, Terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 2000), h. 2-3 26 Asghar Ali Engineer, Islam and liberation Theologi..., h. 84

(14)

3. Dari Dekonstruksi ke Rekonstruksi

Kalaulah kita mencermati teologi klasik, setidaknya ada dua hal yang sangat menonjol dideritanya: Pertama, wataknya yang melulu intelektual dan metafisis-spekulatif.28 Ini karena teologi klasik lahir dalam konteks ketika sistem kepercayaan Islam tengah mendapat tantangan dari kepercayaan dan pemikiran budaya seperti Kristen, Yahudi, dan pengaruh dari pemikiran filsafat Yunani. Oleh karena itu penyusunan suatu kerangka konseptual keyakinan keagamaan menjadi keharusan dalam rangka mempertahankan doktrin Islam. Proses ini kemudian, melahirkan dan mengembangkan corak teologi yang lebih konseptual dan intelektual sifatnya; kedua, kentalnya kaitan teologi klasik dengan politik kelompok status qua. Teologi klasik, dalam sejarahnya, sering menjadi alat legitimasi bagi pemegang kekuasaan atau rezim. Teologi saat itu lebih sebagai budak kekuasaan ketimbang menjadi sarana pembelaan bagi golongan tertindas. Dua kelemahan tersebut praktis menjadikan teologi klasik tak mampu menjadi tenaga hidup, pandangan dunia, dan motivator tindakan dalam kehidupan nyata bagi manusia. Teologi klasik dikering dari dimensi fungsionalnya, watak praktis sosialnya, dalam membela masyarakat muslim yang tertindas hidupnya.

Kelemahan yang diidap konstruksi teologi klasik tersbut perlu didekonstruksi. Ketika masyarakat muslim dihadang ledakan ilmu pengetahuan dan perubahan tehnologi dengan akselerasinya yang begitu dramatis, disamping berbagai persoalan kemanusiaan seperti penindasan, keterbelakangan, dan ketidak adilan ekonomi, sosial dan politik, maka tawaran teologi pembebasan yang mengedepankan kesadaran akan sebuah praksis sosial menjadi penting dan mendesak. Problem kerakyatan, tentu tidak akan selesai sekedar dengan mengandalkan pendekatan intelektual. Pendekatan rasional menjadi tidak menarik buat rakyat kebanyakan. Struktur sosial sehari-hari yang menindas dan membuat mereka tetap terbelakang, pada gilirannya membuat mereka jenuh dan statis dengan pendekatan keagamaan yang rasional intelektual semata. Dalam keterbelakangan, mereka lebih tertarik dengan agama rakyat, agama

yang mampu melepaskan mereka dari belenggu penindasan dan kemiskinan.29

28 Madjid Fakhri, The Histori of Islamic Philosophy,( New York: Columbia University press, 1983), h. 42

(15)

Teologi pembebasan yang ingin diungkapkan Asghar Ali, adalah teologi tidak menyibukkan diri pada aras pemikiran murni spekulatif yang ambiqu semata, namun mengembangkan paradigma praksis sosialnya dengan instrumen kokoh dalam membebaskan umat manusia dari cengkeraman penindsan, memberi motivasi bersikap revolusioner dalam menghadapi tirani, eksploitasi dan penganiayaan. Teologi pembebasan memberikan keyakinan penuh pada rakyat untuk merubah kondisi-kondisi yang ada agar menjadi lebih baik. Ketimbang bersikap apatis dan pasif. Teologi pembebasan lahir dari rahim agama, yang pernah sekali oleh Marx dianggap candu masyarakat telah mengubah kesadaran agama menjadi alat perjuangan yang kuat dan sungguh-sungguh demi sebuah perubahan yang revolusioner.

Dekontruksi paradigma teologi klasik yang filosofis, intelektual, metafisis, dan penuh ambiguitas itu, merupakan hal mendasar bagi rekonstruksi paradigma revolusioner. Engineer tegas mengatakan bahwa, jika agama secara serius dianggap sebagai kebaikan dan berpihak kepada revousi, kemajuan dan perubahan, maka agama harus dilepaskan dari aspek-aspek teologis yang bersifat filosofis. Untuk membangun paradigma revolusioner-transformatif meski dilakukan, menurutnya konsep-konsep kunci dalam Islam tidak bisa dibatasi pada makna keagamaannya saja, namun juga harus diarahkan pada makna-makna lain terkait dengan dimensi sosiologis”penafsiran ulang Islam hatus dapat membangkitkan antusiasme kaum muslim yang miskin dan tertindas, kata engineer, ini dilakukan untuk mempertahankan ruh agama sebagai teologi revolusioner; teologi membebaskan. Terkait dengan ini ia menjelaskan; Revolusi sosial yang didakwahkan lewat konsep-konsep religius, mestilah menggunakan term-term religius. Demikian juga keterpaduan antara spirit revolusi dengan ajaran-ajaran teologis hanya dapat dicapai jika diskursus teologi ditafsirkan dalam term-term sosial, politik dan ekonomi

modern.30

Beberapa konsep kunci teologi yang bisa ditransformasikan menjadi kerangka praktis teologi pembebasan: pertama, konsep Tauhid. Dlam teologi tradisional tauhid mengacu pada keesaan Allah, bagi engineer tauhid tidak hanya mengacu pada

(16)

keesaan Allah, namun juga pada kesatuan manusia(Unity Of Mankind). Maka suatu masyarakat yang Islami, tidak membenarkan diskriminasi dalam bentuk apapun, entah itu terkait ras, agama, kasta ataupun kelas sosial. Masyarakat tauhidi, dalam pandangan teologi pembebasan, mengakui dan menjamin kesetaraan manusia, sebab sebuah pembagian kelas, secara tidak langsung menegaskan dominasi yang kuat atas

yang lemah. Dominasi yang menghalangi upaya pembentukan masyarakat yang adil.31

Kedua, Konsep jihad, jihad yang makna literarnya berjuang, bagi teologi pembebasan, perlu untuk ditafsirkan ulang. Teologi pembebasan memaknai jihad sebagai perjuangan menghapus eksploitasi, korupsi, dan berbagai bentuk kezaliman. Perjuangan yang harus dilakukan secara dinamis dan istiqamah, agar kelaliman yang dilakukan manusia sirna dari muka bumi. Jihad untuk pembebasan bukan jihad untuk berperang(agression), seperti pemahaman orang-orang yang sembrono dalam menangkap semangat teks suci. Ketiga, konsep iman, kita mengetahui bahwa arti iman adalah keselamatan, yakin, damai, perlindungan, andalan dan kepercayaan. Iman yang sejati harus mencerminkan makna-makna tersebut. Kepercayaan kepada Tuhan harus mempunyai implikasi sosiologis. Menurut engineer, iman tidak hanya percaya kepada Allah, tetapi, orang beriman dapat dipercaya, berusaha menciptakan kedamaian dan ketertiban dan meyakini nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan. Iman kepada Allah akan mengantarkan manusia pada perjuangan yang sungguh-sungguh untuk menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera.

Pendapat lain yang dikemukan oleh Engineer adalah mengenai kafir, tidak hanya menepis eksistensi Allah, tetapi juga menentang usaha-usaha jujur untuk membentuk masyarakat. Seseorang yang secara formal beriman kepada Allah, tetapi memperturutkan hawa nafsu dengan menimbun kekayaan dengan menindas orang lain, dan gemar melakukan komsumsi yang menyolok mata, sementara yang lain kelaparan, juga termasuk kufr. Pada kontkes ini, Budi Munawar Rahman mengatakan men-dekonstruksi teologi yang selama ini berbicara tentang”dunia-dalam” dalam “ dunia dalam” sehingga menciptakan wataknya yang sepi dari orientasi sosial- untuk dikonstruk menjadi paradigma yang berbicara tentang”dunia dalam” dalam relasinya

(17)

dengan”dunia luar”32. Oleh karena itu teologi ala engineer ini dapat juga dikatakan sebagai teologi humanis. Sebuah teologi yang berkeinginan membebaskan penderitaan lahir dan bathin bagi mustad’afin.

Penutup

Setelah menguraikan beberapa masalah di atas, selanjutnya penulis memberikan beberapa pandangan yang dapat dikemukakan di bawah ini:

1. Pemikiran Asghar Ali terimspirasi dari pemikiran-pemikiran para pendahulunya didaratan India, seperti Fazlur Rahman, Iqbal dan para filosof aliran sosialis, sehingga apa yang terungkap dalam ketajaman analisanya terhadap ketimpangan, kemiskinan, pembodohan dan keterbelakangan masyarakat tersebut harus diberikan solusi sesuai dengan bahasa kemanusiaan karena itu juga bahagian dari agama.

2. Pandangannya terhadap teologi klasik yang Metafisis-Spekulatif, hanya berputas pada kajian historis dan dialektika harmonisasi horizontal dianggapnya masih berjalan di rel-rel hegemoni intelektual didalam, sehingga tidak dapat mengetahui, merasakan apa yang berada diluar(diderita masyarakat). sebagaimana digambarkan dalam qur’an bahwa Fir’an adalah simbol penguasa zalim dan Musa adalah pembebas kaum Mustad’afin

3. Dari sinilah dia mengemukakan tiga pembebasan yang mesti dilakukan umat manusia. Pertama, pembebasan dari sikap dan praktik-praktik rasisme dan sikap-sikap lain yang didasarkan pada anggapan bahwa manusia, ras, etnis dan suku tertentu antara satu dengan lainnya tidak setara. Kedua, pembebasan terhadap perempuan yang saat ini posisinya masih sub-ordinat di bawah laki-laki karena ideologi jender yang memandang posisi laki-laki-laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Ketiga, pembebasan dunia dari struktur ekonomi kapitalistik yang eksploitatif dan semakin meneguhkan ketimpangan ekonomi dunia.

32 Budhy Munawar Rahman, “Watak Sosial dan Utopia Teologi” Jurnal Ulumul Qur’an, No. 3 Vol. VI, tahun 1995, h. 120

(18)

DAFTAR PUSTAKA

Engineer, Asghar Ali hak-hak perempuan dalam Islam, terj. Farid dan Cici. Yogyakarta: LSPPA, 2000

Engineer, Asghar Ali Islam masa kini(terj), Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2004

Engineer, Asghar Ali Islam dan Teologi Pembebasan, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1999) Engineer, Asghar Ali Islam and liberation Theologi, New Delhi: Sterling Publishers

Private Limited, 1990

Kusnadiningrat, Teologi dan Pembebasan, Gagasan Islam Kiri Hasan Hanafi, (Jakarta: Logos, 1999)

Faqih, Mansur Teologi Kaum Tertindas, dalam spiritualitas baru: agama dan aspirasi rakyat, Yogyakarta: Dian/Interfidei, 1994

Fakhri, Madjid, The Histori of Islamic Philosophy, New York: Columbia University press, 1983

In’am Esa, Muhammad Rethingking kalam, Yogyakarta: eLSAQ, 2006 Lowy, Michael Teologi Pembebasan, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1999)

Magnis Suseno, Franz, Filsafat sebagai ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 1992

Munawar Rahman, Budhy, “Watak Sosial dan Utopia Teologi” Jurnal Ulumul Qur’an, No. 3 Vol. VI, tahun 1995

Nitiprawiro, Wahono Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya, Yogyakarta:Lkis, 2000

Rahman, Fazlur, Islam, Terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 2000

Syari’ati, Ali Islam mazhab pemikiran dan aksi, terj. Narullah dan Afif Muhammad, Bandung:Mizan, 1995

Syariati, Ali Membangun Masa Depan Islam, Bandung: Mizan, 1986, h. 57

Shimogaki, Kasuo Kiri Islam, antara modernisme dan postmodernisme, terj. Imam Azis dan Jadul Maula, Yogyakarta: Lkis, 2000

Wahono Nitiprawiro, Francis Teologi Pembebasan, Sejarah, Metode, Praksis dan Isinya, (Yogjakarta: LKiS, cet. II, 2008)

Lowy, Michael Teologi Pembebasan, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1999)

Referensi

Dokumen terkait

godine, gdje Le Corbusier kritizira trenutno stanje gradova ( kako je napučenost starih djelova grada postala prevelika, nepodudaranje s okolnim terenom, zasićenost prometnica itd..)

Integritas merupakan keadaan dimana suatu individu yang berupaya dalam meningkatkan kepercayaan terhadap publik, maka individu tersebut haruslah memiliki integritas

Gil, Andres and Salinas (2007) telah pun juga menggunakan elemen-elemen campuran pemasaran ini dengan menyelidik persepsi pelanggan kepada tiga elemen sahaja iaitu,

Dengan banyaknya startegi, motode, dan model yang dapat di terapkan dalam pembelajaranyang sesuai dengan kurikulum 13 maka peneliti memilih salah satunya yaitu

Hal ini juga sejalan dengan yang diungkapkan (Hutagalung, H. P., Setiapermana, D., & Riyono, 1997) bahwa logam berat yang masuk kedalam lingkungan perairan

perlengkapan shooting yang kita bawa. Adapun dalam proses pengambilan gambar cukup sulit untuk mendapatkan fokus pada video yang pas, dikarenakan teriknya sinar matahari dan

Untuk kriteria berkembang sesuai harapan (BSH) mengalami peningkatan yaitu 42,86% pada pertemuan pertama, meningkat menjadi 52,39% pada pertemuan kedua, dan pada

Predator yang termasuk ke dalam kelompok aphidophaga dan coccidophaga didominasi oleh Ordo Coleoptera sebanyak 72,73% dan 87,5% di dalamnya didominasi oleh