• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. menerus merupakan aspek yang harus dibina dalam olahraga. sampai sasaran perilaku. McClelland dan Burnham (2001), motivasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. menerus merupakan aspek yang harus dibina dalam olahraga. sampai sasaran perilaku. McClelland dan Burnham (2001), motivasi"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1.1. Latar Belakang

Dalam dunia olahraga, motivasi berprestasi, lebih populer dengan istilah „competitiveness‟ merupakan modal utama dalam mencapai keberhasilan penampilan. Tidak mengherankan bahwa pelatih, guru atau pemimpin yang terlibat dalam latihan menjadi tertarik dengan motivasi berprestasi, dan memungkinkan atlet menjadi lebih terampil, meningkatkan tingkat kebugaran, dan siswa maksimal dalam belajar.

Percaya diri, kemauan latihan serta usaha dan kerja keras secara terus menerus merupakan aspek yang harus dibina dalam olahraga.

Adapun beberapa atlet kelas dunia seperti Manny Pacquiao, Muhammad Ali dan Rudi Hartono yang memiliki cerita tentang pengalaman bertanding mereka, apa saja yang membuat mereka bertahan menjadi juara di kelasnya selama bertahun-tahun, apa saja yang memotivasi mereka dalam mencapai prestasi yang tinggi dan apa yang mereka lakukan ketika menemui hambatan-hambatan yang mempengaruhi prestasi mereka.

Menurut Satiadarma (2000), motivasi sebagai suatu kecenderungan untuk berperilaku secara selektif ke suatu arah tertentu yang dikendalikan oleh adanya konsekuensi tertentu dan perilaku tersebut akan bertahan sampai sasaran perilaku. McClelland dan Burnham (2001), motivasi

(2)

berprestasi adalah dorongan untuk mengerjakan sesuatu lebih baik atau lebih efisien daripada yang dikerjakan sebelumnya serta berorientasi pada pekerjaan atau tugas. McClelland (2008), memandang motivasi yang paling penting adalah motivasi berprestasi. Seseorang akan selalu berusaha untuk mencapai sukses atau memilih suatu kegiatan yang berorientasi untuk tujuan sukses, baik itu sukses dalam hal pendidikan, agama, sosial dan lain sebagainya. Orang yang sukses inilah yang termasuk orang yang memiliki kualitas

Motivasi sangat bervariasi antara individu yang satu dengan individu yang lain. Maka itu banyak ahli setuju membagikanya atas dua jenis yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Salah satunya dikemukakan oleh Gunarsa (1996), motivasi intrinsik adalah dorongan dari dalam yang menyebabkan individu berpartisipasi. Dorongan ini sering dikatakan dibawa sejak lahir, sehingga tidak dapat dipelajari. Atlet yang mempunyai motivasi intrinsik akan mengikuti latihan peningkatan kemampuan atas ketrampilan, atau mengikuti pertandingan bukan karena situasi buatan (dorongan dari luar), melainkan karena kepuasan dalam dirinya. Bagi atlet tersebut, kepuasan diri diperoleh lewat prestasi yang tinggi bukan lewat pemberian hadiah, pujian atau penghargaan lainya. Atlet ini biasanya tekun, bekerja keras, teratur dan disiplin dalam menjalani latihan serta tidak menggantungkan dirinya kepada orang lain dan motivasi ekstrinsik adalah dorongan yang berasal dari luar diri individu yang menyebabkan individu berpartisipasi dalam olahraga. Dorongan ini berasal dari pelatih,

(3)

guru, orangtua, bangsa atau berupa hadiah, sertifikat, penghargaan atau uang. Motivasi ekstrinsik ini dapat dipelajari dan tergantung pada besarnya nilai penguat itu dari waktu ke waktu.

Motivasi berprestasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil penampilan atlet. Seorang anak yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi akan selalu berlatih dengan rajin sehingga prestasi olahraganya pun akan baik. Sebaliknya, seorang atlet dengan motivasi rendah akan cenderung bermalas–malas sehingga prestasi olahraganya pun kurang baik. Orang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi cenderung memilih tugas- tugas yang menantang, membutuhkan umpan balik segera, tekun dalam berbagai penampilan, menunjukkan self- control yang tinggi, cenderung tidak pernah istirahat, dan inovatif yang tergambar dalam perubahan dan gerak perilakunya menurut Woike &

Adam (2005).

Berhasil dalam salah satu bidang, misalnya olah raga adalah suatu hal yang nyata, apalagi jika berprestasi. Motivasi yang dimiliki seseorang harus diwujudkan dalam tindakan atau perilakunya. Tanpa adanya motivasi yang kuat, seorang atlet mungkin tidak akan berhasil dalam pertandingan. Meskipun atlet tersebut mempunyai keterampilan yang baik, tetapi tidak ada motivasi untuk bermain baik, biasanya mengalami kekalahan. Hasil yang optimal hanya dapat dicapai kalau motivasi dan keterampilan saling melengkapi. Seperti yang dikatakan Gunarsa (1989), menyatakan bahwa dalam bidang pendidikan jasmani dan olah raha, tidak

(4)

ada atlet yang dapat menang tanpa motivasi.

Menurut Daradjat (1995), kecemasan juga merupakan manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik). Berdasarkan hal tersebut di atas atlet perlu mendapat perhatian khusus dalam olahraga, karena emosi yang bercampur baur dengan suatu tekanan perasaan dan pertentangan batin dapat mempengaruhi aspek-aspek kejiwaan yang lain (akal dan kehendak), juga dapat mempengaruhi aspek- aspek fisiologisnya sehingga jelas akan berpengaruh terhadap peningkatan atau merosotnya prestasi atlet. Sumber ketegangan dari dalam.

Kecemasan sebagai salah satu kondisi kejiwaan yang tidak stabil dapat timbul dalam motivasi berprestasi ada unsur kompetisi antara seorang atlet dengan atlet–atlet lainya. Setiap atlet berusaha mencapai prestasi yang terbaik, mengungguli teman-temannya yang lain. Namun layaknya sebuah kompetisi tentu ada pihak yang menang dan ada pihak yang kalah. Kemenangan atau keberhasilan pada atlet yang berprestasi cenderung membuat atlet berusaha mempertahankan prestasinya agar dia tetap menjadi sang juara. Sebaliknya kekalahan atau kegagalan yang berulang-ulang cenderungmembuat atlet patah semangat dan putus asa.

Pengalaman atlet tentang kegagalan ini biasanya akan terus membekas dan menimbulkan kecemasan pada diri atlet.

Ketika atlet dihadapkan pada pertandingan yang tingkatannya tak berbeda jauh dengan kegagalan–kegagalan yang lalu, maka motivasi

(5)

berprestasinya dikalahkan oleh rasa cemas, takut gagal meskipun sebenarnya dia mampu bertanding dengan baik. Memang dalam batas–

batas tertentu kecemasan justru bermanfaat untuk memicu prestasi atlet.

Jika atlet tidak pernah cemas maka akan menunjukan penampilan pada pertandingan yang kurang baik karena dia tidak akan pernah mempersiapkan diri untuk menghadapi pertandingan tersebut. Namun tingkat kecemasan yang tinggi karena kegagalan yang berlangsung terus–

menerus akan berakibat buruk pada atlet. Kegagalan yang berulang itu menyebabkan rasa cemas takut gagal yang makin besar. Akhirnya ketika atlet bertanding pikirannya tidak dapat berkonsentrasi, yang bisa diikuti gejala– gejala fisiologis orang yang sedang cemas sepeti: keluar keringat dingin, muka pucat pasi, jantung berdegup kencang dan sebagainya.

Meningkatnya kecemasan dalam pertandingan dapat menyebabkan atlet bereaksi secara negatif, baik dalam hal fisik maupun psikis, sehingga kemampuan olahraganya menurun. Mereka dapat menjadi tegang, denyut nadi meningkat, berkeringat dingin, cemas akan hasil pertandingannya, dan mereka merasakan sulit berkonsentrasi. Keadaan ini seringkali menyebabkan para atlet tidak dapat menampilkan permainan terbaiknya.

Penulis melakukan penelitian karena merasa kecemasan menjadi salah satu faktor yang paling mempengaruhi seorang atlet dalam mencapai prestasi yang tinggi dan ingin mengetahui apa yang terjadi pada atlet ketika kecemasan mempengaruhi prestasinya. Dari penelitian-penelitian terdahulu telah di buktikan adanya pengaruh antara kecemasan dan

(6)

motivasi berprestasi, yang membedakan penelitian saya dengan penelitian- penelitian terdahulu adalah atlet yang saya teliti adalah atlet dari sebagian cabang olahraga beladiri yang mengalami kontak langsung dengan lawannya pada saat bertanding dengan kata lain mereka berhadapan wajah dengan wajah di atas matras dalam posisi siap untuk bertanding. Cabang olahraga beladiri dimana sebagian besar atlet bertanding secara individu daripada tim yang menurut asumsi saya bahwa olahraga individu memiliki tingkat kecemasan lebih tinggi di banding olahraga tim yang dikatakan juga oleh teori dari Simon and Marten (1999), ditemukan bahwa kecemasan bertanding adalah lebih tinggi pada atlet dalam olahraga individu dibandingkan dengan olahraga tim dan lebih tinggi olahraga individu kontak dibandingkan dengan lahraga non kontak.

Kecemasan ketika menghadapi pertandingan merupakan masalah gejolak emosi yang sering menghinggapi atlet, terutama pada olahraga individual kontak. Woodman and Hardy (2003), berpendapat jenis olahraga dapat dikategorikan menjadi olahraga tim dan individu.

Menurutnya olahraga individu lebih banyak tekanan daripada olahraga tim. Ini berbeda dengan penelitian pertama karena atlet yang di telitipun berbeda, peneliti terdahulu meneliti atlet panahan. Sedangkan yang membedakan dengan penelitian kedua padahal sama-sama atlet beladiri adalah pada atlet yang di teliti, pada penelitian sebelumnya atlet yang di teliti belum memiliki pengalaman yang cukup dan jam terbang dalam bertanding masih kurang jadi saya berasumsi bahwa tingkat kecemasan

(7)

atlet yang saya teliti relatif ada tetapi tidak setinggi atlet yang belum berpengalaman dalam bertanding.

Menurut Singgih (1995), perasaan cemas pada atlet berpengalaman berbeda dengan atlet yang belum berpengalaman berbeda dengan atlet yang belum berpengalaman. Seorang atlet yang kurang bahkan belum pernah bertanding kemungkinan tingkat kecemasannya tinggi sehingga dapat menurunkan semangat dan kepercayaan diri dalam pertandingan, begitu pula atlet yang sudah terbiasa bertanding dapat mengalami kecemasan walaupun relatif kecil karena sudah pernah mengalami dan dapat menguasainya. Atlet yang belum pernah mengikuti pertandingan akan mengalami kesulitan dalam menghadapi gangguan yang timbul dalam pertandingan, pengorbanan yang dituntut untuk mencapai suatu kemenangan, tekanan-tekanan yang dihadapi, pahitnya suatu kekalahan, dan nikmatnya suatu kemenangan merupakan keseluruhan hal yang belum pernah merasakan pengalaman bertanding.

Berdasarkan pemikkiran yang dikemukakan di depan maka peneliti tertarik untuk meneliti dan membahas lebih lanjut ke dalam skripsi yang diberi judul “Pengaruh Kecemasan Terhadap Motivasi Berprestasi Pada Atlet Beladiri”

(8)

1.2. Rumusan Masalah

Masalah yang ingin diangkat dalam penelitian ini adalah “Apakah ada Pengaruh Kecemasan Terhadap Motivasi Berprestasi Pada Atlet Beladiri”?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penenlitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kecemasan terhadap motivasi berprestasi pada atlet beladiri.

1.4. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman dan menambah pengetahuan bagi penulis dan pembaca bahwa kecemasan dalam bidang psikologi sosial dan motivasi sangat berpengaruh pada atlet berprestasi.

b. Manfaat Praktis

Memberikan masukan untuk pelatih, orang tua dan rekan se-team agar lebih memahami tentang cara meningkatkan motivasi untuk berprestasi dan memahami bahwa faktor apa saja yang dapat mempengaruhi atlet dalam berprestasi. Melalui penelitian ini juga di harapankan atlet yang memiliki prestasi yang tinggi tidak lepas dari pengaruh akan sesuatu yang membuat prestasinya menurun, salah satunya kecemasan dan melalui penelitian ini di harapkan pelatih yang paling berwenang atas atlet dapat dengan cepat meyadari jika atletnya mulai

(9)

merasakan kecemasan dan harus di tanggulangi secara cepat agar tidak mempengaruhi prestasinya.

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian perlu diketahui bahwa sistem pembelajaran matematika di Indonesia menunjukkan pada kemampuan pemecahan masalah yaitu salah satu tujuan dari

Alhamdulillahhirobbil’aalamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “ Hubungan

Bersama dengan adanya program pemerintah kesehatan RI tentang RISTOJA dan saintifikasi jamu serta penggunaan tumbuhan obat yang dilakukan oleh orang-orang tertentu

mengawasi sehubungan konteks governance insolvency (Fachrudin, 2008). Temuan ini menemukan bahwa rata-rata rasio hutang terhadap ekuitas adalah 0.59 dengan standar

4.  Pedoman  PKB  dan  Angka  Kreditnya,  Buku  4,  Ditjend  Peningkatan  Mutu  Pendidik  dan  Tenaga  Kependidikan,  Kemendiknas, Tahun 2010 

www.det.nsw.edu.au/vetinschools Informasi mengenai program ‘VET in Schools’ dan sekolah untuk transisi kerja dari NSW Department of Education and Training (Departemen Pendidikan

Justeru itu, memandangkan peri pentingnya kesejahteraan sosial kepada pelajar dalam alam persekolahan, kajian ini dijalankan bagi mengenalpasti perbandingan pola