• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Ketersediaan energi fosil yang semakin menipis perlu diantisipasi dengan pengembangan energi alternatif yang dapat diperbaharui. Salah satu energi alternatif yang cukup potensial dikembangkan di Indonesia, terutama di Sumatera Bagian Selatan adalah energi biomassa. Energi biomassa merupakan energi yang terbarukan dan penggunaannya bersifat ramah lingkungan. Penggunaan kayu energi bersifat netral dalam kaitannya dengan keseimbangan gas rumah kaca yang berimplikasi pada perubahan iklim global.

Ketersediaan energi biomassa di Sumatera Bagian Selatan saat ini masih cukup besar dan belum termanfaatkan secara optimal. Pemakaian energi biomassa umumnya dilakukan oleh masyarakat di pedesaan, terutama untuk memasak pada acara-acara yang melibatkan orang banyak, misalnya pada acara pesta pernikahan dan sedekah. Sedangkan untuk keperluan sehari-hari mereka lebih memilih menggunakan bahan bakar gas (LPG). Selain itu energi biomassa juga digunakan pada industri skala kecil, seperti pembuatan batubata, pabrik tahu/tempe, dan rumah makan.

Beberapa jenis kayu yang cukup populer di Sumatera Bagian Selatan sebagai sumber energi antara lain adalah jenis kayu pelawan (Tristaniopsis obovata), kayu laban (Vitex pubescens), talok (Grewia hirsuta), seru (Schima wallichii), plangas (Aporosa nervosa), dan betih. Jenis-jenis ini dapat dijumpai pada kebun-kebun masyarakat atau pada hutan-hutan sekunder yang terdapat di hutan desa atau wilayah sekitar desa. Kebutuhan akan kayu energi, baik untuk kebutuhan masyarakat maupun untuk industri kecil umumnya dipenuhi dengan cara mengumpulkannya dari alam tanpa melakukan budidaya atau penanaman.

Hal ini mengakibatkan masyarakat tidak dapat memilih kayu energi yang memenuhi kualitas tertentu, tetapi hanya mengumpulkan jenis-jenis yang tersedia di sekitarnya.

Penggunaan energi biomassa saat ini telah mulai berkembang, baik dalam bentuk energi biomassa yang dimanfaatkan secara langsung atau dalam bentuk kayu pellet (Hendra, 2012) maupun dalam bentuk biofuel yang umumnya diperoleh dari biji, seperti biji nyamplung (Leksono et al, 2010; Bustomi et al,

(2)

2008; Permatasari et al, 2013), kesambi (Sudrajat et al, 2010), kemiri sunan (Hendra, 2014) atau jarak pagar (Roliadi et al, 2012). Beberapa industri semen di Indonesia telah mengembangkan energi biomassa untuk pemenuhan kebutuhan energi alternatif, baik dalam bentuk kayu maupun minyak nabati. Misalnya PT Indocement Tunggal Perkasa yang mengembangkan jarak pagar (Lavalle, 2007), PT. Semen Padang mengembangkan sumber energi dari tandan buah kosong kelapa sawit (Saksono, 2006) dan PT. Holcim yang mengembangkan jenis-jenis weru, lamtoro, sengon buto, gamal, trembesi, gmelina, dan angsana (Cahyono et al, 2008).

Selama ini pengelolaan energi dari biomassa belum dilakukan secara optimal. Jika pengelolaan energi biomassa dilakukan secara terencana, maka kebutuhan energi akan tersedia secara berkelanjutan. Kebijakan pengembangan energi biomassa dapat dilakukan secara terintegrasi pada areal KPH sebagai areal pengembangan, sehingga KPH dapat berperan sebagai sumber energi biomassa yang berkelanjutan. Di Sumatera Selatan, potensi jenis-jenis penghasil energi biomassa tersedia cukup melimpah dan beberapa KPH model di wilayah ini dapat dijadikan sebagai sentra pengembangan energi biomassa.

Sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan penggunaan energi biomassa sebagai energi alternatif, penelitian dan pengembangan energi biomassa perlu dilakukan secara terintegrasi. Pada sektor hulu, pembangunan hutan tanaman penghasil energi biomassa perlu dilakukan. Kegiatan ini diawali dengan pemilihan jenis-jenis penghasil bioenergi berdasarkan kemudahan pengelolaannya, sifat pertumbuhan (cepat dan bisa menghasilkan trubusan), nilai kalor dan kemudahan pengolahannya. Pada bagian hilir, perlu dilakukan peningkatan kuantitas dan kualitas pemanfaatan energi biomassa pada sektor industri, terutama pada industri skala kecil menengah.

B. Rumusan Masalah

Energi biomassa merupakan salah satu sumber energi terbarukan yang sangat potensial dikembangkan di Sumatera Selatan. Pemanfaatannya sudah dilakukan secara terbatas pada skala rumah tangga dan industri skala kecil, seperti pembuatan batubata dan genteng. Permasalahan yang dihadapai adalah

(3)

keterbatasan sumber energi biomassa yang tersedia di alam tanpa melakukan kegiatan budidaya, kualitas (nilai kalor) biomassa yang digunakan tidak diketahui dan cenderung rendah, dan bagaimana efektifitas penggunaan bioenergi pada industri skala rumah tangga. Demikian pula informasi terkait faktor-faktor budidaya, pembatas pertumbuhan, perlindungan tanaman, dan nilai ekonomi budidaya jenis-jenis penghasil energi biomassa masih sangat terbatas.

Keterbatasan informasi tersebut mengakibatkan upaya pengembangan energi biomassa sebagai alternatif sumber energi pada berbagai sektor industri dan perekonomian akan terhambat.

C. Tujuan

1. Tujuan jangka panjang

Penelitian dan pengembangan energi biomassa sebagai sumber energi terbarukan bertujuan untuk menyediakan informasi teknik silvikultur, peningkatan produktifitas dan kualitas sumber energi biomassa, serta pengujian efektifitas pemanfaatannya pada skala industri kecil dan menengah.

2. Tujuan tahunan

Kegiatan pada tahun 2015 difokuskan pada seleksi dan pemilihan jenis-jenis kayu penghasil energi berdasarkan sifat pertumbuhan, pengujian pertunasan dan nilai kalor, pengumpulan bahan tanaman, pembibitan, dan analisis biaya manfaat penggunaannya pada skala industri rumah tangga. Secara spesifik tujuan tersebut dijabarkan sebagai berikut:

- Mendapatkan jenis-jenis kayu energi yang unggul di Sumatera Selatan, baik dari aspek pengelolaan, pertumbuhan, produktivitas, dan nilai kalornya.

- Mendapatkan informasi nilai kalor jenis-jenis yang potensial sebagai penghasil energi

- Mendapatkan informasi sumber benih untuk kegiatan pembibitan dan potensi trubusan jenis-jenis penghasil energi

- Mendapatkan informasi meliputi jenis hama dan penyakit potensial pada jenis- jenis penghasil energi biomassa.

(4)

- Mendapatkan informasi nilai tingkat konsumsi, faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi, dan analisis biaya manfaat penggunaan kayu bakar pada skala industri rumah tangga.

D. Luaran

1. Luaran jangka panjang

Luaran jangka panjang penelitian ini adalah paket Iptek budidaya jenis- jenis penghasil kayu energi, peningkatan produktifitas, kualitas, dan efisiensi pemanfaatnnya pada skala industri rumah tangga.

2. Luaran tahunan

Luaran penelitian tahun 2015 adalah sebagai berikut:

- Paket informasi jenis-jenis penghasil energi biomassa yang unggul di Sumatera Selatan.

- Paket informasi sumber benih dan potensi trubusan jenis-jenis penghasil energi biomassa

- Paket informasi jenis hama dan penyakit pada jenis-jenis potensial penghasil energi biomassa dari Sumatera Selatan.

- Paket informasi tingkat konsumsi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya serta analisis biaya manfaat penggunaan energi biomassa pada skala industri rumah tangga.

E. Manfaat dan dampak kegiatan penelitian

Manfaat yang diperoleh dari kegitan penelitian ini adalah berkembangnya pemanfaatan energi terbarukan dari biomassa sehingga ketergantungan pada sumber energi fosil akan berkurang. Pengembangan jenis-jenis penghasil energi biomassa pada areal KPH diharapkan dapat menjadikan KPH sebagai sentra pengembangan energi biomassa sehingga secara ekologis akan berdampak pada peningkatan kualitas lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.

(5)

F. Relevansi dengan IKK Eselon I KLHK

Penelitian ini mendukung pengembangan energi alternatif yang dapat diperbaharui dan ramah lingkungan (rendah emisi) dari biomassa. Penelitian ini relevan dengan upaya untuk mengurangi emisi dari sektor kehutanan. yang mendukung IKK Direktorat Jenderal Perubahan Iklim. Pengembangan jenis-jenis kayu energi dengan melibatkan masyarakat akan mendukung IKK Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan.

(6)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kayu sebagai sumber energi biomassa terbarukan

Pemanfaatan biomassa dari hutan sebagai sumber energi menunjukkan pemakaian yang signifikan. Heinimo dan Junginger (2009), menyatakan bahwa pemakaian kayu pada tahun 2005 secara menyeluruh mencapai 10% dari pemakaian energi dunia. Sedangkan pemakaian kayu bakar sebagai pembangkit listrik baru 1%. Konsumsi kayu dunia digunakan untuk pemanas rumah dan memasak.

Sementara itu di Indonesia, seperti dilaporkan oleh Soetomo dan Soemarna dalam Rostiwati (2006), dengan pertumbuhan populasi di Indonesia ± 2,46% pada tahun 1960 – 1970 telah menimbulkan peningkatan kebutuhan energi tahunan pada periode 1970 - 1974 dari 6,67% menjadi 16,28%, sehingga diperkirakan 90% dari produksi kayu akan digunakan sebagai kayu bakar oleh masyarakat pedesaan. Hal tersebut dengan pertimbangan bahwa 80% penduduk Indonesia yang hidup di pedesaan mengkonsumsi 70 - 75% kayu bakar sebagai sumber energi, sisanya digunakan dalam industri kecil menengah pada beberapa unit usaha diantaranya adalah industri gamping, industri genting dan industri tekstil

Pada awalnya, pemakaian kayu sebagai bahan energi bisa dikatakan tidak ekonomis, karena mahalnya peralatan dan kecilnya nilai kalor yang dihasilkan dalam pembakaran. Bahkan, meskipun kayu tersedia dengan harga murah atau tersedia secara cuma-cuma, tingginya harga peralatan bahan bakar kayu menyebabkan penggunaannya tidak ekonomis. Faktor lainnya adalah rendahnya tingkat efisiensi pembakaran pada tungku pembakaran dan tingginya kadar abu pembakaran. Biomas tidak dapat langsung digunakan sebagai bahan bakar karena sifat fisiknya seperti kerapatan energi yang kecil dan permasalahan penanganan, penyimpanan dan transportasi sehingga perlu dilakukan diversifikasi di antaranya dengan dibuat produk pelet (Siemers, 2006). Konversi biomassa menjadi bentuk yang lebih baik dapat meningkatkan kualitasnya sebagai bahan bakar seperti peningkatan daya bakar, efisiensi pembakaran, bentuk yang lebih seragam, produk

(7)

yang lebih kering serta kerapatan massa yang lebih besar (Bergman dan Zerbe, 2004).

Biomassa kayu dalam bentuk limbah pertanian, perkebunan, hutan, komponen organik dari industri dan rumah tangga, kotoran manusia dan hewan, dapat menghasilkan energi dengan atau tanpa terlebih dahulu dikonversi menjadi energi dalam bentuk bahan bakar cair, gas, panas, dan listrik (Hall dan House, 1994). Secara umum teknologi konversi biomassa menjadi bahan bakar dapat dibedakan menjadi tiga yaitu pembakaran langsung, konversi termokimiawi dan konversi biokimiawi (Gambar 1). Pembakaran langsung merupakan teknologi yang paling sederhana karena pada umumnya biomassa telah dapat langsung dibakar. Beberapa biomassa perlu dikeringkan terlebih dahulu dan didensifikasi untuk kepraktisan dalam penggunaan. Konversi termokimiawi merupakan teknologi yang memerlukan perlakuan termal untuk memicu terjadinya reaksi kimia dalam menghasilkan bahan bakar. Sedangkan konversi biokimiawi merupakan teknologi konversi yang menggunakan bantuan mikroba dalam menghasilkan bahan bakar.

Gambar 1. Teknologi Konversi Biomassa Menjadi Bahan Bakar (Sumber: Abbasi Dan Abbasi, 2010)

(8)

1. Kayu penghasil energi kalor

Pada umumnya seluruh jenis pohon dapat menghasilkan energi terutama untuk penggunaan langsung, namun besarnya nilai kalor yang dihasilkan sangat beragam tergantung dengan jenis kayu, kandungan selulosa dan lignin. Sedangkan untuk besarnya nilai kalor yang dihasilkan tergantung dengan bagaimana pembakaran yang dilakukan dan tingkat kekeringan kayunya.

2. Pohon penghasil energi biodisel/biosolar

Potensi pohon penghasil biodisel sangat beragam antara lain Kemiri sunan (Hendra, 2014), Nyamplung (Sudrajad, 2007), Kepuh (Sudrajad, 2010), Jarak (Sumangat dan Broto, 2009). Biji kemiri sunan (blanco) merupakan salah satu bahan yang memiliki potensi cukup besar untuk dijadikan biodiesel, karena inti bijinya memiliki kandungan minyak mentah yang cukup tinggi yaitu sebesar 43,3%. Proses pembuatan biodiesel dilakukan secara laboratorium dengan tujuan untuk menetapkan kondisi optimum. Penambahan katalis HPO (proses) sebesar 0,5%, 0,75%, 1%, perlakuan esterifikasi menggunakan campuran katalis metanol sebesar 10%, 15%, 20% dengan HCl, dan HSO sebesar 0,5%, 0,75% dan 1%.

Hasil yang optimum akan diterapkan pada pembuatan biodiesel skala besar.

Pembuatan biodiesel dari minyak biji kemiri sunan, mutunya sudah sesuai dengan persyaratan ketentuan standar biodiesel (SNI-2006) dengan menggunakan campuran metanol 20% (v/v) dan katalis NaOH 0,6% (b/v), menghasilkan nilai kadar air sebesar 0,05%, bilangan asam 0,76 mg KOH/g, kadar asam lemak bebas 0,38%, densitas 865 kg/m, viskositas kinematik pada suhu 40 C 5,41 mm /s (cSt), bilangan penyabunan 101,49 mgKOH/g, kadar alkil ester 104,55% massa, bilangan Iod 109,73 g I /100 g, angka setana 59,08 dan rendemen minyak biodiesel sebesar 79,92%

Pemanfaatan minyak jarak (Jatropha curcas L) sebagai bahan biodiesel merupakan alternatif yang ideal. Minyak jarak pagar selain merupakan sumber minyak terbarukan (renewable fuels) juga termasuk non edible oil sehingga tidak bersaing dengan kebutuhan konsumsi manusia seperti pada minyak kelapa sawit dan minyak jagung. Biodiesel dari minyak jarak pagar bukan barang baru di Indonesia.

(9)

Bahan bakar alternatif dari minyak jarak sudah 100 persen biodisel alami, dengan sistem pengolahannya sederhana. Buah jarak dihancurkan dengan blender atau dipres dengan mesin diesel, cairan yang dihasilkan diperas, kemudian dilakukan penyaringan dan pemurnian sampai menghasilkan minyak jarak murni.

Tiap 10 kilogram buah bisa menghasilkan 3,5 liter minyak jarak yang sama kualitasnya dengan solar. Buah jarak pagar, baik biji maupun kulit (karnel) buah memiliki kandungan minyak yang tinggi, yaitu masing-masing 33% dan 50%.

Minyak jarak murni hasil pemerasan lazim disebut SVO (Straight Vegetable Oil) atau minyak lemak mentah. SVO ini bisa langsung digunakan untuk mesin diesel dengan hanya perlu penambahan konverter dalam mesin. Minyak jarak selain dapat digunakan langsung sebagai SVO juga dapat dibuat biodiesel (Methyl Ester) dengan penambahan methanol dengan katalis asam atau basa melalui reaksi transesterifikasi.

Nyamplung (Callophyllum inophyllum Linn) memiliki potensi yang besar sebagai sumber energi terbarukan sebagai pengasil biodisel/biosolar. Menurut Martawijaya et al. (1981), nyamplung (Callophyllum inophyllum Linn) mempunyai nama daerah lain seperti bintangor, mentangur, penanga, bunut, punaga, bataoh, bentangur, butoo, jampelung, jinjit, mahadingan, maharunuk, betau, bintula, dinggale, pude, wetai dan lain-lain serta daerah penyebarannya di Indonesia meliputi Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara Timur. Berdasarkan pengamatan di Kebumen, nyamplung banyak tumbuh di 6 kecamatan khususnya di daerah dekat pantai yaitu kecamatan Ambal, Mirit, Bulus Pesantren, Klirong, Puring dan Petanahan. Biji bintangur mempunyai kadar minyak yang sangat tinggi yaitu 75% (Dweek dan Meadowsi, 2002) dan 71,4% (Nijverheid dan Handel dalam Heyne, 1987). Menurut Heyne (1987), inti biji mengandung air 3,3% dan minyak 71,4%. Greshoff dalam Heyne (1987) menyatakan bahwa kadar minyak biji bintangur 55% pada inti biji yang segar dan 70,5% pada biji yang benar-benar kering. Minyak bintangur di beberapa daerah digunakan untuk penerangan (Dweek dan Meadowsi, 2002) dan (Lele, 2005).

Minyak nyamplung tidak bisa diproses menjadi biodiesel tanpa perlakuan esterifikasi terlebih dahulu. Perlakuan netralisasi tidak memungkinkan karena

(10)

akan terjadi kehilangan minyak yang sangat tinggi minimal sebesar kadar FFA yang ada di dalam minyak (Sudradjat, 2006). Hasil penelitian yang dilakukan Sudrajad et al (2007) menunjukkan proses esterifikasi minyak nyamplung yang optimum diperoleh pada suhu suhu 60o C, asam klorida 6% dan rasio mol metanol-FFA 20 : 1, lama reaksi 1 jam dengan kecepatan pengadukan 400 rpm.

Pada kondisi tersebut dapat menurunkan kandungan asam lemak bebas dari 28,7%

menjadi 4,7%. Biodiesel yang dihasilkan mempunyai kualitas yang belum stabil dengan bilangan asam berkisar antara 0,6172 - 1,8403 mg KOH/gram dan viskositas pada suhu 40o C adalah 8,1 – 8,4 cp (8,67 - 8,99 cSt). Komposisi metil ester biodiesel tersebut adalah metil palmitat 17,29%, metil stearat 23,55%, metil oleat 36,67% dan metil linoleat 22,49%.

Kepuh (Sterculia foetida) adalah salah satu tanaman yang dapat menghasilkan bahan bakar nabati yang berasal dari daerah hutan yang tersebar luas di Indonesia dan memiliki potensi untuk dibuat biodiesel sebagai pengganti BBM. Pada penelitian ini, optimalisasi reaksi transesterifikasi dilakukan pada minyak kepuh dengan variabel konsentrasi metanol dan KOH dengan evaluasi fokus kepada analisis bilangan asam, parameter kualitas lain seperti kadar air, viskositas kinematik dan densitas. Selain itu, dilakukan pengamatan terhadap perubahan keasaman minyak atau biodiesel selama penyimpanan, kemudian hasilnya akan dibandingkan dengan standar SNI. Biodiesel kepuh terbaik dihasilkan menggunakan metanol 20% dan KOH 1% dengan memberikan nilai bilangan asam 0,36 mg KOH/g, viskositas kinematik sebesar 4,28 cSt dan densitas 880,7 kg/m3. Bilangan asam pada saat proses penyimpanan baik untuk minyak mentah, minyak hasil degumming maupun biodiesel, mengalami kenaikan yang signifikan.

B. Sistem dan teknik silvikultur pengelolaan kayu energi 1. Sistem Silvikultur

Sistem silvikultur pengelolaan hutan tanaman kayu energi dapat dilakukan dengan sistem tebang pilih dan tebang habis dengan permudaan buatan dan permudaan trubusan. Namun demikian, karena pengembangan tanaman kayu energi umumnya dijumpai hutan rakyat, maka sistem silvikultur yang digunakan adalah sistem tebang pilih dengan permudaan trubusan. Beberapa jenis tanaman

(11)

pada hutan rakyat yang umumnya dikembangkan dengan sistem trubusan antara lain adalah kaliandra, sengon, sungkai, lamtoro, kayu putih, dan akasia (Mindawati, 2006; Wahyuningtyas, 2010). Sistem ini dipilih karena lebih mudah diterapkan, rotasinya yang pendek dan praktis dilakukan pada skala pengembangan hutan tanaman yang relatif kecil. Sistem ini juga dapat digunakan untuk mengatasi kelangkaan benih yang bersumber dari biji.

Sistem permudaan trubusan merupakan cara memanen dengan menyisakan tunggak (stump) yang pendek sebagai tempat tumbuh tunas sebagai alat regenerasi. Menurut Nyland (2001), tempat tumbuh tunas dapat terjadi melalui tunggak (batang), akar yang menjalar, dan percabangan. Kemampuan tanaman untuk bertunas berbeda menurut jenis. Wahyuningtyas (2010) menyebutkan beberapa jenis tanaman yang dapat dikembangkan dengan sistem trubusan, tingkat kemampuannya menghasilkan trubusan, sifat pertumbuhan dan pemanfaatannya pada hutan rakyat (Tabel 1).

Tabel 1. Kemampuan trubusan beberapa jenis pohon yang telah dikembangkan pada hutan rakyat (Sumber: Wahyuningtyas, 2010)

No. Nama jenis Kemampuan

trubusan

Sifat

tumbuh Peruntukan 1. Acacia auriculiformis

(akor)

rendah tumbuh cepat

Kayu pertukangan, serat dan kayu bakar 2. Calliandra callothyrsus

Meissn. (kaliandra)

tinggi tumbuh cepat

Kayu bakar dan pakan ternak 3. Cassia siamea Lamk

(johar)

Sedang sedang Kayu pertukangan, k. bakar, pakan ternak 4. Eucalyptus deglupta

Blume (leda)

Rendah tumbuh cepat

Kayu pertukangan, kayu serat

5. Gliricidae maculate (gamal)

Tinggi tumbuh cepat

Kayu bakar, pakan ternak

6. Gmelina arborea Roxb.(gmelina)

Sedang tumbuh cepat

Kayu pertukangan, kayu bakar

7. Leucaena leucephala syn Leucaena glauca (lamtoro)

Tinggi tumbuh cepat

Kayu bakar, pakan ternak

8. Paraserianthes falcataria L. Nielsen (sengon)

Sedang tumbuh cepat

Kayu pertukangan, k. bakar, pakan ternak 9. Peronema canescens

Jack. (sungkai)

Tinggi tumbuh cepat

Kayu pertukangan, k. bakar

(12)

No. Nama jenis Kemampuan trubusan

Sifat

tumbuh Peruntukan 10. Sesbania grandiflora

(turi)

Rendah tumbuh cepat

Kayu serat, k. bakar, pakan ternak

11. Tectona grandis L.(jati) Sedang sedang Kayu pertukangan, k. bakar

2. Teknik Silvikultur

Teknik silvikultur merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan produk tanaman sesuai dengan tujuan pengelolaan. Teknik silvikultur terdiri atas tiga komponen utama, yaitu pemuliaan, manipulasi lingkungan, dan pengendalian hama terpadu. Menurut Soekotjo (2009) tujuan teknik silvikultur adalah pengendalian struktur, komposisi, kerapatan tegakan, pertumbuhan, dan pengendalian rotasi untuk menjamin kelestarian produksi.

Peningkatan produktifitas tanaman sesuai dengan tujuan pengelolaan merupakan inti dari serangkaian kegiatan silvikultur. Pada jenis-jenis kayu penghasil kalor, maka teknik silvikultur dimaksudkan untuk meningkatkan pertumbuhan, kuantitas biomassa dan nilai kalor yang dihasilkan. Salah satu jenis penghasil kalor yang telah banyak dikembangkanm di Pulau Jawa adalah jenis kaliandra. Narendra (2012) menyatakan bahwa pertumbuhan jenis kaliandra dapat ditingkatkan dengan pemberian pupuk kandang sebesar 10 kg/lubang tanam.

Sementara Herdiawan et al (2005) menyatakan bahwa tanaman kaliandra dapat meningkatkan kesuburan dan kandungan unsur hara tanah melalui bintil akar yang terdapat pada tanaman tersebut.

Beberapa jenis tanaman yang telah dikembangkan sebagai penghasil minyak nabati adalah jenis nyamplung, jarak pagar, kepuh, dan kemiri sunan.

Pada jenis-jenis tanaman penghasil minyak nabati ini, teknik silvikultur yang diterapkan dimaksudkan untuk meningkatkan produksi biji dan kandungan minyak dalam biji. Oleh karena itu, disamping manipulasi lingkungan, pemuliaan dengan melakukan seleksi terhadap provenansi-provenansi yang menghasilkan produksi yang tinggi sangat diperlukan.

(13)

C. Pemanfaatan kayu energi dan efisiensinya

Pemanfaatan kayu sebagai sumber energi terbarukan telah lama dilakukan terutama sebagai pemanas dan kayu bakar. Baik digunakan secara langsung maupun tidak langsung dengan mengubah menjadi bentuk lain. Pemanfaatan kayu sebagai sumber energi menguntungkan baik secara lingkungan, ekonomi dan sosial (Bergman dan Zerbe, 2004). Dari segi lingkungan, kayu bersifat renewable (terbarukan), emisi karbonnya rendah bahkan nol, minimal sulfur dan besi, minimal abu. Dari segi ekonomi, kayu lebih murah dibandingkan energi fosil.

Dari segi sosial, penggunaan kayu terutama pada masyarakat pedesaan telah lama digunakan untuk keperluaan memasak sehingga penerimaannya lebih baik dibandingkan biomasaa lainnya.

Dinegara maju seperti jepang (Kinoshita et al, 2010), Amerika (Bergman dan Zerbe, 2004), Kanada (Kumar et al 2003), biomassa kayu digunakan untuk pemanas dan pembangkit listrik. Meskipun penggunaan biomassa kayu masih belum ekonomis karena keterbatasan teknologi yang digunakan. Pada kasus penanaman pinus sebagai sumber energi, secara finansial layak apabila dilakukan penanaman secara intensif dengan pola campuran untuk menghasilkan kayu sebagai energi dan hasil lainnya (Munsell dan Fox, 2010).

D. Perlindungan Hutan Tanaman dari Serangan Hama dan Penyakit

Serangga merupakan organisme yang paling dominan meliputi lebih kurang 75% dari jenis binatang. Dengan kemampuan adaptasi yang sangat tinggi dan hubungannya dengan tanaman tidak dapat dipisahkan. Serangga cenderung memilih suatu tanaman sebagai sumber bahan makanan, tempat berlindung dan berkembang biak (Musyafa dan Subyanto, 2008).

Pembangunan hutan tanaman dalam skala luas dengan sistem monokultur mempunyai konsekuensi rentan terhadap organisme pengganggu tanaman (OPT) seperti hama. Hutan monokultur dan seumur merupakan akumulasi bahan makanan bagi jenis hama tertentu. Selain itu, ekosistem hutan tanaman hasil budidaya manusia merupakan ekosistem binaan yang rentan dari segi entomologis dan fitopatologis, sebagai akibat miskinnya keanekaragaman jenis, umur dan keanekaragaman kondisi yang lain (Oka, 1995; Musyafa dan Subyanto, 2008).

Keragaman jenis tanaman yang terbatas pada agroekosistem ini mendorong

(14)

serangga monofagus berkembang pesat akibat ketersediaan makanan (Untung, 1996). Ledakan hama pada hutan tanaman telah banyak dilaporkan di berbagai negara dan memberikan dampak yang lebih merugikan daripada penyakit, dikarenakan efeknya yang lebih cepat, kelihatan, bahkan spektakuler (Allard, 2002 dalam Triyogo, 2009).

Apabila dibandingkan dengan hutan alam, keseimbangan ekosistem hutan tanaman memang jauh lebih rentan. Akan tetapi, dalam hal penyediaan kayu, hutan tanaman lebih bisa diandalkan dibandingkan hutan alam. Hutan alam dengan aneka ragam jenis, jarak yang rapat merupakan faktor penghambat produktifitas. Sedangkan pada hutan tanaman komposisi jenis tanaman dapat disesuaikan dengan permintaan pasar. Di hutan alam, variasi pertumbuhan antar pohon ditentukan oleh variasi genetik, kesuburan tanah, pancaran sinar matahari, kompeteisi antar pohon dan lain-lain. Faktor-faktor tersebut di hutan tanaman dapat dikontrol dengan seleksi genetik, pemupukan, penentuan jarak tanam dan lain-lain untuk meningkatkan kecepatan pertumbuhan (Nair, 2007).

Untuk menjaga investasi pembangunan hutan tanaman diperlukan tindakan-tindakan silvikultur yang diperlukan sampai dengan masa panen. Salah satu tindakan silvikultur yang perlu dilaksanakan adalah perlindungan hutan.

Graham dan Knight (1961) dalam Musyafa dan Subyanto (2008), berpendapat bahwa pekerjaan pengelolaan hutan sebetulnya 90% merupakan kegiatan perlindungan hutan. Tanpa usaha perlindungan hutan, khususnya dari serangan hama dan penyakit sulit dibayangkan bagaimana akan mencapai keberhasilan pengelolaan hutan. Kegiatan perlindungan perlu direncanakan secara baik, sehingga tindakan yang dilakukan akan efektif dan efisien.

Dilihat dari sisi perlindungan, kegiatan pemeliharaan seperti pemupukan, pembebasan gulma, penjarangan dan lain-lain merupakan upaya memberikan ruang tumbuh yang baik sehingga diperoleh tegakan yang sehat. Pada tanaman yang sehat akan relatif lebih kuat dalam menghadapi segala gangguan dari organisme pengganggu tanaman maupun gangguan yang bersifat abiotis. Oleh karena itu, strategi perlindungan perlu diformulasikan sejak awal untuk menghindari kerugian atau kegagalan pengelolaan hutan. Upaya perlindungan harus dilakukan mulai dari perencanaan pembangunan hutan tanaman sampai

(15)

dengan tanaman dipanen bahkan juga diperlukan saat produk hasil hutan dikeluarkan dari hutan.

Iklim merupakan substansi terpenting dalam kehidupan. Iklim dapat memengaruhi perkembangan, reproduksi, perilaku, distribusi, survival, kelimpahan, fenologi dan musuh alami (Willmer, 1982; Cammel dan Knight, 1992; Langvantn, dkk., 1996 dalam Kahono dan Noerdjito, 2001). Tinggi rendahnya komunitas serangga, termasuk hama dipengaruhi oleh waktu, tempat dan lingkungannya (Richard dan Southwood, 1968 dalam Kahono dan Noerdjito, 2001).

Perkembangan hama dan penyakit dipengaruhi oleh faktor-faktor iklim baik langsung maupun tidak langsung. Temperatur, kelembaban udara relatif dan fotoperiodisitas berpengaruh langsung terhadap siklus hidup, lama hidup, serta kemampuan diapause serangga (Wiyono, 2007) serta berbagai jenis penyakit terutama bakteri dan cendawan.

(16)

III. METODE PENELITIAN

A. Kerangka Pemikiran/Pendekatan

Kerangka pemikiran penelitian dan pengembangan energi biomassa sebagai sumber energi terbarukan dilaksanakan dengan pendekatan sebagaimana digambarkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Kerangka pemikiran penelitian dan pengembangan energi biomassa sebagai sumber energi terbarukan

B. Ruang Lingkup Kegiatan

Ruang lingkup kegiatan dibatasi pada penelitian dan pengembangan energi biomassa sebagai sumber energi terbarukan dibatasi pada pemanfaatan dan budidaya kayu sebagai sumber energi.

(17)

C. Bahan dan Peralatan

Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi alat survei baik berupa kompas, GPS, hand counter, thermohigro meter, lux meter, icebox, alat ukur diameter, tinggi, kuisioner dan peralatan lain untuk mendukung survei.

Sedangkan untuk kegitan pembibitan, bahan diperlukan berupa benih dari jenis- jenis potensial penghasil energi biomassa, polybag, top soil, paranet, sarana dan prasarana pembibitan lainnya.

D. Lokasi Penelitian

Survey dilaksanakan pada berbagai lokasi di Provinsi Sumatera Selatan dan Bangka. Di Sumatera Selatan survey dilaksanakan di Kabupaten Lahat dan Pagar Alam (Survey sosek), serta Kabupaten Muaraenim (survey potensi). Di Provinsi Bangka Belitung survey potensi kayu energy dilakukan di Kabupaten Bangka Tengah, Bangka Barat, dan Bangka Induk. Pembibitan dilaksanakan di KHDTK Kemampo, Kabupaten Banyuasin Sumatera selatan.

Identifikasi jenis-jenis penghasil kayu energi dilakukan di Pusat Penelitian Biologi LIPI, identifikasi hama/penyakit dilaksanakan di Laboratotium Entomologi LIPI, sedangkan pengujian nilai kalor dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan.

E. Metode Penelitian

1. Survey potensi, persyaratan tumbuh, dan pertumbuhan kayu energi Survey jenis-jenis penghasil kayu energi dilakukan pada lahan gambut dan lahan darat. Survey dilakukan untuk memperoleh data persyaratan tumbuh berupa data klimatis yang meliputi curah hujan, suhu, dan kelembaban udara serta data edafis yang meliputi ketinggian tempat, sifat fisik dan kimia tanah. Survey juga dilakukan untuk menentukan jenis-jenis yang potensial digunakan sebagai kayu energi. Penetapan jenis yang akan dikembangkan dilakukan dengan metode scoring berdasarkan criteria sebagai berikut:

- Merupakan jenis yang adaptif (lokal), mudah dikembangkan, dan memerlukan perawatan minimum

- Benih atau bahan tanaman tersedia

(18)

- Merupakan jenis cepat tumbuh dan cepat mencapai puncak CAI - Pohon dapat dipangkas dan mempunyai pertumbuhan tunas yang cepat - Kayunya mempunyai nilai kalor yang tinggi, mudah dibelah dan

dikeringkan (umumnya mempunyai berat jenis sedang hingga tinggi) Pada jenis-jenis yang potensial sebagai sumber energi dilakukan pengujian potensi trubusan dengan metode pangkas (coppice). Faktor yang diteliti adalah jenis pohon dan kelas diameter. Variabel yang diamati adalah data pertumbuhan tunas trubusan (meliputi jumlah, diameter, dan tinggi tunas) serta potensi biomassa per hektar. Analisis data pertumbuhan dan hasil dilakukan dengan metode single tree methods, yaitu pertumbuhan yang didasarkan atas individu pohon.

2. Kajian sosial ekonomi dan pemanfaatan kayu energi

Kajian sosial ekonomi dan pemanfaatan kayu energy difokuskan pada tiga aspek sebagai berikut:

a. Tingkat konsumsi/permintaan terhadap biomassa (kayu bakar).

Penggunaan kayu bakar untuk negara berkembang dan tropis seperti Indonesia didominasi untuk kebutuhan memasak. Kebutuhan untuk pemanas atau penghangat ruangan hanya sebagian kecil pada rumah tangga pada daerah dataran tinggi. Industri rumah tangga yang memerlukan kayu bakar sebagai sumber bahan bakar antara lain industri gula aren, tahu dan tempe serta industri batu bata dan genteng. Rumah tangga yang umumnya menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar untuk memasak terutama pada daerah pedesaaan dan dataran tinggi.

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi/permintaan kayu bakar.

Karakteristik rumah tangga, demografi, akses ke bahan bakar fosil, akses ke hutan, harga bahan bakar fosil, kondisi ekologi akan mempengaruhi konsumsi kayu bakar. Berdasarkan beberapa penelitian, adanya korelasi antara pendapatan dengan konsumsi kayu bakar (Delali et al, 2004). Hossier dan Dowd (1987) mengemukan tentang : “energi ladder” dimana pendapatan akan mempengaruhi konsumsi energi yang digunakan. Rumah tangga dengan ekonomi kurang akan cenderung menggunakan sumber energi yang murah.

(19)

c. Analisis biaya konsumsi kayu bakar pada rumah tangga dan industri rumah tangga.

Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (Purposive) dengan pertimbangan agar tujuan penelitian dapat tercapai. Sampel penelitian adalah rumah tangga dan industri rumah tangga pengguna biomassa berbasis kayu sebagai bahan bakar. Pengumpulan data dengan metode survei pada rumah tangga dan industri rumah tangga. Pengumpulan data terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dengan bantuan kuesioner dan wawancara mendalam kepada responden. Data sekunder didapatkan dari BPS, Dinas perindustrian dan perdagangan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Analisis data dilakukan dengan analisis deskriptif, analisis biaya dan manfaat, dan analisis regresi.

3. Penelitian aspek perlindungan kayu energi a. Pembuatan plot

Pengamatan serangan hama/penyakit dilakukan dengan mengikuti prosedur pembuatan plot pengamatan sesuai dengan tingkat tanaman.

Inventarisasi lapangan dilakukan dengan pembuatan plot berbentuk bujursangkar ukuran 20m x 20m dengan teknik pengambilan contoh berlapis (stratified sampling). Ukuran tiap plot untuk tiap tingkatan pertumbuhan vegetasi 4 m2 untuk tingkat semai, semak dan serasah, 25 m2 untuk tingkat pancang, 100 m2 untuk tingkat tiang dan 400m2 untuk tingkat pohon. Intensitas sampling ditentukan dengan mempertimbangkan luas plot tanaman dan tingkat kesulitan dalam pelaksanaan pengamatan.

b. Identifikasi hama/penyakit

Inventarisasi dilakukan pada setiap plot tanaman dengan mengamati dan mencatat setiap hama/penyakit yang dijumpai. Pengambilan sampel hama dilakukan dengan mengumpulkan telur, larva, pupa dan atau imago. Telur, atau larva yang terdapat di dalam batang tanaman dikoleksi dengan cara destructive sampling, yaitu dengan membuka bagian batang yang terserang dan mengambil telur dan atau larva yang dijumpai. Imago dikoleksi dengan cara:

(20)

1) menangkap langsung spesimen yang dijumpai atau,

2) menempatkan jaring ada bagian tanaman yang terserang, sehingga imago akan terperangkap di dalamnya setelah itu spesimen di masukkan dalam killingbottle berisi bahan aktif alkohol.

Pengambilan sampel penyakit dilakukan dengan mengambil bagian tanaman yang mengalami gejala kerusakan dan mengambil bagian organ penyakit apabila dijumpai, seperti badan buah jamur, spora, dan lain-lain. Sampel penyakit disimpan dalam kantong plastic atau petridisk selanjutnya dimasukkan dalam icebox. Selanjutnya spesimen hama maupun penyakit yang berhasil dikoleksi dilakukan identifikasi di laboratorium.

c. Pengamatan bentuk kerusakan

Pengamatan dilakukan dengan cara mengamati satu persatu tanaman dalam setiap plot yang telah ditentukan. Adapun yang diamati adalah jumlah tanaman yang terserang hama/penyakit dan bentuk gejala serta tanda serangan yang dijumpai. Bentuk kerusakan diamati dengan melakukan pencatatan bentuk gejala dan tanda kerusakan pada tanaman yang diakibatkan oleh serangan hama/penyakit.

d. Analisis data

Parameter pengamatan terdiri dari:

1) Persentase serangan

Penghitungan persentase serangan dilakukan menurut Natawigena (1993), dengan rumus sebagai berikut:

Persentase (%) = tanaman yang terserang

total tanaman x 100%

2) Intensitas serangan

Penghitungan tingkat kerusakan tanaman (I) atau intensitas serangan dilakukan menurut Natawigena (1993), (Tabel 1). Adapun cara menghitung tingkat kerusakan tanaman dilakukan dengan menggunakan rumus:

I = (ni x vj )

Z x N x 100%

(21)

Nilai Vj ditentukan dengan menggunakan rumus berikut:

Vj= Luas serangan hama

Luas diameter batang tanaman x 100 % Keterangan:

I : Tingkat kerusakan tanaman

ni : Jumlah pohon yang terserang dengan klasifikasi tertentu vj : Nilai untuk klasifikasi tertentu

Z : Nilai tertinggi dalam klasifikasi

N : Jumlah pohon seluruhnya dalam suatu plot contoh

Tabel 2. Klasifikasi tingkat kerusakan batang yang disebabkan oleh hama/penyakit

Tingkat Kerusakan Tanda Kerusakan Yang Terlihat pada

Tanaman (Vj) Nilai (Z)

Sehat - Batang rusak 0 % 0

Ringan - Batang rusak antara 1 % - 20 % 1

Agak berat - Batang rusak antara 20,1 % - 40 % 2

Berat - Batang rusak antara 40,1 % - 60 % 3

Sangat berat - Batang rusak antara 60,1 % - 80 % 4 Sangat-sangat berat - Batang rusak di atas 80 % 5

- Pohon tumbang/patah/mati Sumber : Natawigena 1994

Tabel 3. Klasifikasi tingkat kerusakan daun yang disebabkan oleh hama/penyakit Tingkat

Kerusakan Tanda Kerusakan Yang Terlihat pada Daun Nilai

Sehat - Kerusakan daun  5 % 0

Ringan - Kerusakan daun antara 5 %  x  25 % 1

Agak berat - Kerusakan daun antara 25 %  x  50 % 2

Berat - Kerusakan daun antara 50 %  x  75 % 3

Sangat berat - Kerusakan daun antara 75 %  x  100 % - Pohon gundul/hampir gundul 4

Sangat-sangat berat - Pohon mengalami kematian 5 Sumber : Natawigena 1994; Unterstenhofer (1963) dalam Djunaedah (1994)

(22)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kegiatan penelitian tahun 2015 difokuskan untuk mengetahui jenis-jenis yang potensial digunakan sebagai kayu energi dan seleksi jenis yang paling layak dikembangkan. Kriteria yang digunakan untuk seleksi jenis-jenis kayu energi adalah kemudahan pengembangan, sifat pertumbuhan yang cepat dan dapat dipangkas, serta sifat kayu yang mempunyai nilai kalor dan berat jenis yang tinggi.

Aspek penelitian tahun 2015 meliputi aspek silvikultur, pertumbuhan dan hasil, serta aspek sosial ekonomi. Pada tahun 2015 aspek silvikultur difokuskan pada kegiatan uji pertunasan dan pengamatan hama penyakit. Pada aspek pertumbuhan dan hasil dilakukan survey potensi dan pengumpulan data untuk penyusunan model penduga biomassa jenis-jenis kayu energy. Pada aspek social ekonomi dilakukan survey rumah tangga kebutuhan dan peluang pasar kayu energi.

A. Aspek Silvikultur 1. Uji pertunasan

Pada aspek silvikultur dilakukan uji pertunasan jenis-jenis yang potensial digunakan sebagai kayu energi. Hasil uji pertunasan pada lima (5) jenis kayu energi menunjukkan bahwa pertunasan paling produktif terjadi pada jenis pelawan (Tristaniopsis obovata) dengan jumlah tunas rata-rata 26,6 tunas/batang, diikuti oleh kayu laban (Vitex pubescens) dan seru (Schima wallichii) masing-masing dengan rata-rata jumlah tunas 11,8 dan 7,6 tunas/batang (Tabel 4). Jenis yang paling rendah produktivitas tunasnya adalah jenis plangas, namun demikian pada jenis ini produktivitas tunas cukup tinggi pada interval diameter (dbh) 3-6 cm.

Pada beberapa jenis kayu energi ukuran diameter batang yang dipangkas berpengaruh terhadap produktivitas tunas, yaitu pada jenis kayu laban, seru, dan plangas. Pada jenis-jenis kayu laban dan seru, produktivitas tunas tertinggi terjadi pada ukuran diameter 6-12 cm, sedangkan pada jenis plangas, produktivitas tunas yang tinggi terjadi pada ukuran diameter yang lebih rendah, yaitu 3-6 cm (Tabel 4).

(23)

Tabel 4. Pertumbuhan tunas jenis-jenis kayu energi pada berbagai ukuran diameter batang

No Jenis Interval

dbh Jlh tunas

Rata-rata tinggi tunas

(cm)

Rata-rata diameter tunas

(mm) 1. Kayu laban

(Vitex pubescens)

6-9 8 90,7 6,0

9-12 17 91,7 6,6

12-15 10,3 47,3 5,4

Rata-rata 11,8 76,5 6,0

2. Talok

(Grewia hirsuta)

6-9 7,5 84,0 5,3

9-12 5,8 47,9 4,1

12-15 6,3 61,3 4,5

Rata-rata 6,5 64,4 4,6

3. Seru (Schima wallichi)

6-9 6,3 41,1 5,4

9-12 11,8 52,8 5,9

12-15 4,8 42,8 6,8

Rata-rata 7,6 45,5 6,0

4. Plangas (Aporosa nervosa)

3-6 12,0 37,8 3,1

6-9 0,25 11,0 4,1

9-12 0,43 25,2 3,7

12-15 0,60 21,2 2,2

Rata-rata 3,3 23,8 3,3

5. Pelawan (Tristaniopsis obovata)

6-9 27,3 96,5 4,4

9-12 27,4 94,6 5,2

12-15 25,0 88,0 5,0

Rata-rata 26,6 93,0 4,9

2. Sumber benih dan pembibitan

Kemudahan memperoleh benih dan pembibitan merupakan salah satu pertimbangan penting dalam pemilihan jenis-jenis kayu energi. Sumber benih dapat diperoleh secara generatif melalui biji atau anakan permudaan alam, maupun secara vegetatif melalui setek. Tanaman kayu energi dipersiapkan untuk dapat dipangkas secara periodik sehingga sumber benih yang digunakan harus mempunyai perakaran kuat, oleh karena itu benih yang sesuai untuk kayu energi adalah adalah sumber benih generatif.

Pembibitan jenis-jenis kayu energi dilaksanakan di KHDTK Kemampo.

Sumber benih yang digunakan berasal dari biji dan cabutan anakan alam. Pohon benih yang digunakan berasal dari hutan sekunder yang terdapat di KHDTK Kemampo, Hutan Desa Namang, Kabupaten Bangka Barat, dan hutan sekunder pada lahan masyarakat di Desa Kemang, Kabupaten Muaraenim (Tabel 5).

(24)

Pembibitan dibuat untuk tujuh jenis kayu yang potensial digunakan sebagai sumber energi biomassa di Sumatera Selatan. Masing-masing jenis bibit berasal dari biji atau anakan alam, tetapi beberapa jenis seperti Plangas, Seru, dan Pelawan, benihnya berasal dari biji dan cabutan anakan alam.

Tabel 5. Sumber dan asal benih jenis-jenis potensial penghasil kayu energi

No Jenis bibit Sumber benih

Asal benih Biji Cabutan

1. Kayu laban (Vitex pubescens) v - KHDTK Kemampo

2. Talok (Grewia hirsute) v - KHDTK Kemampo

3. Plangas (Aporosa nervosa) v v KHDTK Kemampo

4. Seru (Schima wallichii) v v KHDTK Kemampo

5. Betih - v KHDTK Kemampo

6. Lamtoro (Leucaena

leucocephala)

v - Hutan sekunder

Banyuasin 7. Pelawan (Tristaniopsis obovata) v v Hutan Desa

Namang, Bangka Hutan Sekunder Muaraenim

Pertumbuhan bibit jenis-jenis kayu energi, baik yang berasal dari biji maupun yang berasal dari cabutan cukup baik, sehingga kedua sumber benih tersebut dapat digunakan, kecuali untuk jenis pelawan, pertumbuhan bibitnya yang berasal dari biji sangat lambat. Benih yang berasal dari biji untuk jenis kayu laban, talok, seru, plangas, betih, dan lamtoro dapat mencapai tinggi rata-rata 25- 30 cm pada umur 3 bulan, tetapi benih dari biji jenis pelawan baru mencapai tinggi rata-rata 2 cm. Oleh karena itu untuk jenis pelawan, sumber benih yang dapat dikembangkan adalah benih yang berasal dari cabutan anakan alam.

3. Pengujian berat jenis dan nilai kalor

Berat jenis dan nilai kalor merupakan indikator yang penting diperhatikan dalam pemilihan jenis-jenis kayu energi yang akan dikembangkan. Berat jenis menggambarkan besarnya biomassa yang dapat diperoleh per satuan volume kayu. Informasi berat jenis bersama-sama dengan nilai kalor dapat digunakan

(25)

untuk menduga besarnya nilai energi yang dapat diperoleh dari satu unit lahan yang ditanami dengan jenis kayu energi tertentu.

Tabel 6. Hasil pengujian berat jenis dan nilai kalor jenis-jenis kayu energi di Sumatera Selatan

No. Jenis Berat jenis

(kg/m3)

Nilai kalor (Kcal/kg)

1. Kayu laban (Vitex pubescens) 0,61 4302

2. Pelawan (Tristaniopsis obovata) 1,18 4296

3. Seru (Schima wallichii) 0,58 4356

4. Plangas (Aporosa nervosa) 0,60 4059

5. Talok (Grewia hirsuta) 0,67 4153

6. Betih - 4076

Hasil pengukuran berat jenis dan nilai kalor jenis-jenis kayu energi yang diuji, menunjukkan bahwa berat jenis kayu pelawan lebih tinggi dibanding jenis- jenis kayu energy lainnya, selain itu pelawan juga mempunyai nilai kalor yang cukup tinggi sebesar 4296 Kcal/kg (Tabel 6). Beberapa karakteristik lain dari jenis pelawan adalah bahwa jenis ini dapat digunakan sebagai kayu energy secara langsung tanpa melalui pengeringan serta dapat disimpan dalam waktu lama (sampai beberapa tahun) tanpa mengalami penurunan kualitas. Jenis lain yang potensial digunakan sebagai kayu energi adalah jenis kayu laban, plangas, dan talok dengan berat jenis > 0,6 g/cm3 dan nilai kalor > 4000 kcal/kg.

B. Aspek Pertumbuhan dan Hasil

1. Pendugaan potensi jenis-jenis kayu energi

Pada aspek pertumbuhan dan hasil dilakukan pembuatan plot untuk pengukuran potensi kayu energi pada berbagai lokasi di Sumatera Selatan dan Bangka Belitung. Koordinat lokasi dan ketinggian tempat lokasi survey dan pembuatan plot disajikan pada Tabel 7. Sedangkan hasil pengukuran potensi tegakan pada berbagai tingkat pertumbuhan dan lokasi sebaran disajikan pada Tabel 8, 9 dan 10.

(26)

Tabel 7. Koordinat dan karakteristik lokasi sebaran jenis kayu energy di Provinsi Sumatera Selatan dan Bangka Belitung

No Koordinat lokasi

Altitude m dpl

Type

tutupan Adm pemerintahan 1. E 0631744

N 9738243

30 Hutan

sekunder

Desa Namang, Kec. Namang, Kab. Bangka Tengah

2. E 0590080 N 9806868

24 Hutan

sekunder

Desa Riding Panjang, Kec.

Belinyu, Kab. Bangka Induk 3. E 0553008

N 9799551

60 Pertanian kering

Desa Tugang, Kec. Kelapa, Kab. Bangka Barat

4. E 0432853 N 9624909

20 Hutan

sekunder

Desa Kemang, Kec. Lembak Kab. Muaraenim

5. E 0437202 N 9673464

36 Hutan

sekunder

KHDTK Kemampo, Kab.

Banyuasin, Sumatera Selatan

Hasil perhitungan potensi tegakan di KHDTK Kemampo (Tabel 8) menunjukkan bahwa jenis seru, merupakan jenis dominan pada pada semua tingkat pertumbuhan, kecuali pada tingkat semai yang didominasi oleh jenis talok.

Dominasi jenis seru pada tingkat pancang, tiang, dan pohon, menunjukkan bahwa hutan sekunder Kemampo, secara alami merupakan hutan seru.

Tabel 8. Potensi kayu energy pada berbagai tingkat pertumbuhan di KHDTK Kemampo, Sumatera Selatan

No Jenis Potensi (individu/hektar)

Semai Pancang Tiang Pohon 1. Seru (Schima wallichi) 1.667 400 700 33

2. Talok (Grewia hirsuta) 2.500 266 - 8

3. Plangas (Aporosa nervosa) - 133 33 -

4. Laban (Vitex pubescen) 833 - - -

5. Betih 833 133 33 -

(27)

Tabel 9. Potensi jenis-jenis kayu energy di Hutan Desa Namang, Kab Bangka Barat, Provinsi Bangka Belitung

No Jenis Potensi (individu/hektar)

Semai Pancang Tiang Pohon 1. Pelawan (Tristaniopsis obovata) 16.666 1.867 33 -

2. Seru (Schima wallichii) - - 67 16

3. Betur 10.000 1.200 33 -

4. Krisut 3.333 2.533 - -

5. Samak (Eugenia sp) 8.333 400 - 25

6. Mengkepar 6.666 667 33 -

7. Kabal (Quercus sp) 2.500 133 - -

8. Pelempang (Adinandra dumosa) - 800 - - Tabel 10. Potensi jenis-jenis kayu energi di Hutan Sekunder Desa Kemang, Kab

Muaraenim, Provinsi Sumatera Selatan

No Jenis Potensi (individu/hektar)

Semai Pancang Tiang Pohon

1. Pelawan (T. maingayi) - 2.266 - -

2. Seru (Schima wallichii) 2.500 133 100 25

3. Medang kuning 1.666 - 12,5 -

4. Pelempang (A. dumosa) - 266 - -

5. Plangas (Aporosa nervosa) - 133 - -

6. Samak (Eugenia sp) 20.000 - 83 -

7. Jambu hutan (Eugenia sp) 29.166 133 - -

Kondisi yang mirip dengan KHDTK Kemampo, terlihat pada hutan sekunder Desa Kemang, Kab. Muaraenim, dimana jenis seru dijumpai pada semua tingkat pertumbuhan, namun demikian pada kawasan ini jenis pelawan mendominasi pada tingkat pancang. Hal yang berbeda terjadi pada hutan sekunder di Desa Namang, Kab. Bangka Tengah yang didominasi oleh jenis pelawan, terutama pada tingkat semai dan pancang. Sementara jenis seru mendominasi jenis tingkat tiang dan pohon.

(28)

2. Penyusunan model penduga biomassa jenis-jenis kayu energi

Model penduga biomassa merupakan model yang bermanfaat untuk menduga biomassa pohon dengan hanya mengukur variable diameter. Model penduga biomassa disusun untuk 4 jenis kayu energy yang terdapat di KHDTK Kemampo, yaitu jenis kayu laban, seru, talok dan plangas. Pengambilan data dilakukan dengan menebang beberapa pohon sampel yang mewakili sebaran diameter 6,5 – 15,8 cm. Sampel yang ditebang kemudian ditimbang, dan diambil sampel untuk menghitung berat kering (biomassa) masing-masing jenis di laboratorium.

Tabel 11. Model penduga biomassa jenis-jenis kayu energy di KHDTK Kemampo, Sumatera Selatan

No Jenis Persamaan R2 (%)

1. Kayu laban (Vitex pubescens) W = 0,087 D2,52 98,2 2. Seru (Schima wallichii) W = 0,034 D2,94 95,4 3. Talok (Grewia hirsuta) W = 0,172 D2,30 97,6 4. Plangas (Aporosa nervosa) W = 0,061 D2,66 94,8

Model penduga yang disusun adalah model eksponensial dengan diameter setinggi dada (dbh) sebagai variable penduga. Model yang diperoleh pada semua jenis merupakan model yang terandalkan dengan nilai koefisien determinasi R2 sebesar 94,8 – 98,2% (Tabel 11).

C. Aspek Hama dan Penyakit

1. Plot pengamatan pada tegakan alam

Serangan hama pada plot tanaman tegakkan berupa serangan rayap, ulat daun dan penggerek batang dengan persen serangan 87,5%, intensitas kerusakan sebesar 11,28%. Dari pengamatan dapat diketahui serangan hama didominasi oleh serangan hama ulat daun sebesar 50%, dan serangan hama lainnya adalah rayap sebesar 25% serta penggerek batang sebesar 12,5%.

(29)

2. Plot pengamatan di persemaian a. Jenis Lamtoro

Pada pesemaian jenis-jenis kayu energy pada pengamatan awal dijumpai serangan penyakit lodoh pada semai jenis lamtoro. Penyakit ini menyerang semai mulai dari bak tabur (sebelum sapih) dan pada saat semai sudah dipindah di polibag. Semai yang terserang mengalami busuk disekitar pangkal, perakaran dan menjalar ke arah batang. Apabila semai telah terserang penyakit ini akan sulit diselamatkan sehingga semai banyak yang mati. Serangan ini umumnya disebabkan oleh serangan jamur jenis Fusarium spp., Rhizoctonia solani, Phytium spp., Botrytis cinerea, Cylindricarpon spp, Sclertotium spp, Pestalozia spp dan Phytophthora sp.

Gambar 1. Kerusakan semai jenis Lamtoro (Leucaena leucocephala) akibat serangan jamur

Upaya yang dapat dilakukan adalah pencegahan dengan melakukan perendaman biji dengan cairan fungisida sebelum ditabur, sterilisasi media tabur dan media sapih dengan cara dijemur di bawah terik sinar matahari, pengovenan atau penyemprotan fungisida.

b. Jenis Seru (Schima wallicii)

Pada semai seru (Schima wallicii) dijumpai serangan hama kutu daun (ordo: Homoptera). Daun semai yang terserang mengalami kerusakan berupa berkerut/kriting. Serangan ini mencapai 45,57 % dari seluruh tanaman dengan intensitas kerusakan rata-rata sebesar 36,70 %. Hama yang menyerang semai seru merupakan jenis pencucuk penghisap yang menghisap cairan tanaman sehingga

(30)

dapat mengakibatkan hambatan pertumbuhan bahkan kematian semai. Jenis hama masih dalam proses identifikasi di Laboratorium Puslit Zoologi, LIPI, Bogor.

Gambar 2. Kerusakan semai jenis Seru (Schima wallichii) akibat serangan hama kutu daun

Gambar 3. Kutu daun yang menyerang semai jenis Seru di Persemaian KHDTK Kemampo

c. Jenis talok, plangas, pelawan, dan betih

Jenis-jenis talok, plangas, pelawan dan betih relatif bebas dari serangan hama penyakit (Gambar 4)

(31)

Gambar 4. Semai jenis talok, pelawan, betih dan plangas (searah jarum jam) relatif bebas dari serangan hama dan penyakit.

D. Aspek Sosial Ekonomi

1. Kayu energi dan karakteristik sosial ekonomi masyarakat

Sosial ekonomi masyarakat dapat menentukan jenis dan pilihan masyarakat dalam menggunakan sumber energi. Meskipun demikian kayu masih sebagai sumber energi penting bagi rumah tangga pedesaan terutama untuk kebutuhan memasak. Upaya pemerintah ditujukan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan meningkatkan produktifitas dengan program konversi ke LPG.

Program konversi ke LPG 3 Kg yang dimulai tahun 2007, tidak langsung mendapatkan respon dari masyarakat dikarenakan beberapa alasan antara lain faktor keamanan, harga yang masih tinggi dibandingkan kayu, kelangkaan dan ketersediaannya. Salah satu kekurangan LPG adalah pasokan LPG sering mengalami kelangkaan sehingga harga naik.

Karakteristik rumahtangga penggunaan energi dapat diihat pada Tabel 12.

Untuk saat ini masyarakat pedesaan telah menggunakan dua jenis bahan bakar

(32)

untuk memasak yaitu kayu dan LPG. Kayu masih menjadi pilihan terutama untuk memasak dalam jumlah banyak dan lama. Kayu energi masih tersedia dalam jumlah banyak di kebun dan hutan sekitar tempat tinggal. LPG dipilih karena praktis dan cepat dibandingkan kayu. Sebagian masyarakat memilih 2 (dua) jenis sumber energi sebagai bahan bakar dikarena harga dan ketersediaan. Pasokan LPG yang tidak lancar sering menimbulkan kelangkaan sehingga menyebabkan harga naik.

Untuk mendapatkan kayu, masyarakat tidak membeli hanya dengan mencari sehingga akan mengurangi pengeluaran rumahtangganya. Pada umumnya yang mencari dan mengumpulkan kayu adalah istri (ibu rumahtangga) karena faktor budaya (adat istiadat). Dengan demikian semakin besar akses yang dimiliki wanita terhadap sumberdaya hutan maka semakin besar pengaruhnya terhadap pendapatan total rumahtangga (Adedayo et al,2010).

Tabel 12. Karakteristik rumah tangga pengguna bahan bakar kayu dan LPG pada dua desa di Kab Lahat dan Kota Pagaralam

Uraian Satuan

Kayu Kayu dan LPG

Min Max Rata- rata

Min Max Rata- rata Pekerjaan Non tani

Tani

0%

100%

12,82%

87,18%

Jumlah anggota keluarga

Orang 1 4 2,76 1 4 3,12

Jumlah anggota keluarga

berkerja

Orang 1 2 1,67 1 2 1,57

Pendapatan x Rp 1000 /Bln

750 2.250 1.500 850 3.500 1.850 Pengeluaran x Rp

1000 /Bln

590 1750 1.250 630 2.700 2.300 Jarak tempuh

pe-ngumpulan kayu

Km 0,25 2,5 1,25 0,250 3,0 1,5

Lama kerja di kebun perhari

Jam 4 8 5,24 3 8 6,5

2. Pilihan Jenis kayu energi masyarakat

Penggunaan atau konsumsi kayu sebagai sumber energi tidak hanya dilihat dalam sudut pandang ekonomi saja melainkan beragam dimensi termasuk

(33)

merupakan suatu pilihan dan strategi individu dan rumahtangga diantara keterbatasan yang dimilikinya (Godfrey et al, 2010). Pendapatan yang hampir sama dinyatakan oleh Joon et al (2009) bahwa pilihan penggunaan bahan bakar untuk memasak akan dipengaruhi tingkat pendapatan dan faktor sosial budaya masyarakat setempat.

Kayu sebagai energi merupakan salah satu kebutuhan yang penting bagi rumahtangga dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan. Namun seringkali dianggap tidak bernilai karena jumlahnya berlimpah, mudah didapatkan dan hanya merupakan limbah kebun/hutan. Kayu energi menjadi penting apabila ketersediaan terbatas, untuk mendapatkannya perlu jarak yang jauh, tidak memiliki sumber sendiri, dan harga lebih mahal dibandingkan sumber energi lainnya.

Kayu menjadi sumber energi yang banyak digunakan oleh rumahtangga pedesaan untuk kebutuhan memasak berasal dari kebun/hutan sekitar tempat tinggal berupa bagian tanaman karet, kopi dan leban seperti ranting kering, batang kering, dan tanaman mati yang letaknya sekitar tempat tinggal. Masyarakat tidak memilih jenis khusus yang digunakan sebagai bahan bakar memasak. Pilihan jenis hanya ditujukan untuk kayu energi yang disimpan untuk persediaan kebutuhan yang lebih besar karena harus disimpan lama. Jenis yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari didasarkan pada sumber dan keberadaaannya yaitu mudah dicari, ukurannya tidak terlalu besar dan jaraknya dekat. Jenis kayu energi yang menjadi pilihan masyarakat dan keunggulannya berdasarkan pendapat masyarakat dapat dilihat tabel 13.

Tabel 13. Jenis kayu yang digunakan masyarakat sebagai kayu energi pada dua desa di Kab Lahat dan Kota Pagaralam

N

o Uraian

Jenis kayu bakar yang digunakan masyarakat Kelingkin

g

Kop i

Kare t

Leba n

Joha r

Afrik a

Gliricidi a sepium a. Dapat

bertahan lama saat dibakar

√ √ √ √ √ √

b. Mudah dinyalakan

√ √ √ √ √ √ √

(34)

c. Bara apinya panas

√ √ √ √ √

d. Mudah di pecah

√ √ √ √ √ √ √

e. Dahannya mudah rontok/gugur

√ √ √

f. Mudah didapatkan

√ √ √ √ √

g. Mudah memanen/

mengumpulk an

√ √ √ √ √ √

h. Abu lebih sedikit

√ √ √ √ √

i. Arang yang dihasilkan banyak

√ √ √ √ √

j. Daya simpannya lama

√ √ √

Pencarian dan pengangkutan kayu menjadi pertimbangan untuk pemilihan jenis karena kegiatan tersebut dilakukan oleh perempuan/wanita dengan menggunakan keranjang, sehingga akan disesuaikan dengan kondisi fisik masing- masing. Mengumpulkan kayu dilakukan setelah pulang bekerja di kebun.

Pengumpulan kayu akan disesuaikan dengan musim, apabila musim kemarau pengumpulan kayu dilakukan 2-3 hari sekali dan menjelang musim penghujan pengumpulan kayu akan lebih sering sebagai persediaan untuk musim penghujan. Untuk sekali perjalanan mengumpulkan kayu, setiap orang memiliki kemampuan mengangkut kayu berkisar antara 20-25 kilogram.

Dalam melakukan aktifitas sehari-hari manusia membutuhkan kalori, yang mana untuk mencukupinya diperoleh dari asupan pangan. Dalam proses pengolahan pangan/makanan ini diperlukan sejumlah kalori untuk memasak.

Kebutuhan kalori untuk memasak didapatkan dari pembakaran kayu, sehingga kalori yang dibutuhkan untuk aktifitas seimbang dengan kalori yang digunakan untuk memasak.

Jenis kayu yang tersedia dalam jumlah melimpah dan digunakan oleh masyarakat sebagai kayu energi adalah kayu kopi dan kayu karet. Dari literatur,

(35)

kalor yang dihasilkan dari kayu karet sebesar 4.066 kalori dan kayu kopi sebesar 3.933 kalori, yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung kebutuhan kayu per jenis tersebut. Untuk melihat besaran kebutuhan kayu untuk energi dapat didekati dengan kebutuhan kalori manusia beraktifitas.

3. Prediksi Konsumsi Kayu Energi

Prediksi kebutuhan kayu energi diperlukan untuk mendapatkan gambaran mengenai besaran konsumsi kayu sehingga dapat memberikan informasi mengenai ketersediaan kayu energi yang harus dicukupi dalam rangka pengelolaan sumber energi yang lestari. Sebagai sampel diambil satu desa untuk melihat konsumsi kayu bakar dengan menggunakan pendekatan kebutuhan kalori perhari rumahtangga. Berdasarkan perhitungan kebutuhan kalori setiap keluarga perhari dan jenis kayu yang digunakan didapat hasil untuk jenis kayu karet 1,559 m3 pertahun per keluarga dan untuk kayu kopi sebesar 1,580 m3 pertahun per keluarga. Pendekatan kebutuhan kayu untuk energi ini mungkin akan lebih rendah atau lebih tinggi dari konsumsi sebenarnya. Setidaknya akan memberikan gambaran mengenai kebutuhan kayu yang harus tersedia agar tidak mengganggu hutan yang ada disekitar tempat tinggal masyarakat. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 14.

Beberapa literatur yang ada, mengaitkan antara konsumsi kayu untuk energi dan kelestarian hutan (Hofstad, 1977; Zulu, 2010; Cooke et al, 2008).

Namun Top et al (2003) menerangkan bahwa konsumsi kayu energi tidak menyebabkan deforestasi hutan karena konsumsi kayu energi hanya 2,3% dari peningkatan pertumbuhan biomassa pada tanaman pertahunnya. Kayu merupakan sumber energi utama namun bukan satu-satunya sumber energi pada rumah tangga di pedesaan. Untuk rumah tangga dengan tingkat ekonomi yang lebih baik, dapat beralih ke sumber energi lainnya seperti LPG (gas).

(36)

Tabel 14. Prediksi kebutuhan kayu energi di Desa Seronggo, Kab. Lahat Sumatera Selatan

Uraian Jenis kayu Keterangan

Karet Kopi

Kalor yang dihasilkan (kalori) 4.066 3.933 Kurniawan, 2012, Vale et al, 2007 Kebutuhan kayu energi per hari per

keluarga (kg)

2,135 2,208 Kebutuhan kayu energi rumah

tangga (kg/tahun)

779,275 805,920 Kebutuhan lahan untuk kayu energi

pertahun (m3/tahun/per keluarga)

1,559 1,580 Kebutuhan lahan untuk kayu energi

pertahun (m3/tahun/per desa)

1.323,209 1.341,620

4. Faktor yang mempengaruhi pilihan masyarakat terhadap bahan bakar kayu dan LPG

Pilihan penggunaan jenis bahan bakar sebagi sumber energi rumahtangga tergantung pada keputusan rumahtangga berdasarkan interaksi yang komplek antara faktor ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan (Leach, 1992. Masera, 2000). Faktor dari dalam yang mempengaruhi keputusan tersebut meliputi karakteristik ekonomi, karakterisitik non ekonomi dan karakteristik budaya dan perilaku. Pendapatan merupakan faktor utama pemilihan jenis bahan bakar yang digunakan dan mempengaruhi peralihan penggunaan bahan bakar lainnya seperti LPG. Masyarakat dengan pendapatan rendah akan memilih kayu sebagai sumber energi. Jumlah angggota keluarga yang banyak dan jumlah anggota keluarga berkerja akan mempengaruhi konsumsi kayu bakar. Makin besar anggota keluarga maka kebutuhan energi makin besar (Guptaa dan Kohlin, 2006) dan makin banyak anggota keluarga bekerja maka konsumsi energi makin besar (Kohlin dan Amacher, 2005). Pada umumnya masyarakat berpendapat bahwa memasak dengan menggunakan kayu lebih memberikan rasa lebih enak dibandingkan dengan menggunakan gas maupun listrik. Hal ini sejalan dengan pendapat Heltberg (2005), preferensi rumahtangga dan kebiasaan akan mempengaruhi pilihan sumber energi.

(37)

5. Aspek sosial ekonomi jenis pelawan

Pelawan merupakan salah satu jenis kayu energy yang pemanfaatannya cukup luas. Selain dimanfaatkan sebagai kayu energy (arang dan kayu bakar), kayu pelawan juga diketahui berperan sebagai inang jamur pelawan dan lebah madu. Madu pelawan dan kulat pelawan merupakan produk unggulan Provinsi Bangka Belitung yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Madu pelawan dijual secara luas di masyarakat dengan harga mencapai Rp. 800.000/liter, demikian pula kulat pelawan dapat mencapai harga Rp. 1.200.000/kg.

Sebagai kayu energy, kayu pelawan digunakan secara luas oleh masyarakat di pedesaan, namun demikian beberapa rumah makan di Kota Palembang menggunakan kayu pelawan sebagai bahan bakar untuk memasak, sehingga kayu pelawan juga memiliki pangsa pasar di Kota Palembang.

Kayu pelawan dijual dalam bentuk sortimen pendek berukuran 60-80 cm, dengan harga sesuai dengan ukuran diameter. Kayu pelawan dimanfaatkan hingga diameter ujung 2 cm, dengan demikian, pemanfaatan kayu pelawan telah dilakukan secara efektif. Harga pelawan pada berbagai ukuran dimater batang disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15. Daftar harga sortimen kayu pelawan pada berbagai ukuran diameter batang

No Ukuran diameter Harga (Rp)

1. > 12 cm 7.000,-

2. 10-12 cm 6.000,-

3. 8-10 cm 5.000,-

4. 6-8 cm 3.500,-

5. 4-6 cm 2.000,-

6. < 4 cm 1.200,-

E. Seleksi Jenis Kayu Energi

Seleksi jenis kayu energi didasarkan pada kriteria aspek silvikultur, pertumbuhan dan hasil, social ekonomi, sifat kayu, dan variasi pemanfaatannya.

Pada aspek silvikultur, kriteria yang digunakan adalah produktivitas pertunasan dan kemudahan memperoleh sumber benih dan pembibitan. Pada aspek sosial

(38)

ekonomi, kriteria yang digunakan adalah ketersediaan pasar dan tingkat penerimaan masyarakat. Sementara sifat kayu yang dijadikan indicator adalah nilai kalor dan berat jenis.

Hasil skoring seleksi jenis-jenis kayu energi pada Tabel 16 menunjukkan bahwa jenis pelawan memiliki skor tertinggi sebesar 35. Jenis ini memiliki skor maksimal untuk setiap kriteria yang digunakan. Jenis berikutnya yang layak dikembangkan adalah jenis kayu laban dan seru, yang masing-masing memiliki skor 29 dan 27. Kekurangan komparatif kedua jenis ini disbanding jenis pelawan adalah produktivitas tunas, berat jenis, dan ketersediaan pasarnya yang belum ada.

Tabel 16. Skoring seleksi jenis-jenis kayu energi di Sumatera Selatan

No Kriteria Skor (1-5)

Pelawan Ky Laban Seru Plangas Talok

1. Produktivitas tunas 5 4 3 2 3

2. Nilai kalor 5 5 5 2 3

3. Berat jenis 5 3 3 3 3

4. Sumber benih 5 5 5 5 5

5. Sosial 5 5 4 4 4

6. Ketersediaan pasar 5 3 3 3 2

7. Keragaman manfaat 5 4 4 4 3

Jumlah skor 35 29 27 23 23

(39)

KESIMPULAN

Berdasarkan berbagai hasil penelitian, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Produktivitas tunas jenis-jenis kayu energi yang tertinggi dijumpai pada jenis kayu pelawan dengan rata-rata jumlah tunas sebanyak 26,6 tunas/batang, rata- rata tinggi dan diameter batang masing-masing sebesar 93,0 cm

2. Sumber benih jenis-jenis kayu energy dapat diperoleh dengan mudah, baik dari biji maupun anakan alam, demikian pula pembibitan dapat dilakukan dengan mudah.

3. Nilai kalor jenis-jenis beberapa jenis kayu energy di Sumatera selatan berkisar antara 4059-4356 kcal/kg dengan berat jenis tertinggi adalah jenis pelawan sebesar 1,18 g/cm3, sedangkan jenis lainnya berkisar 0,58-0,67 g/cm3.

4. Model eksponensial dengan diameter setinggi dada (dbh) sebagai variable penduga, merupakan model yang terandalkan dalam menduga biomassa jenis- jenis kayu energi.

5. Jenis seru merupakan jenis dominan pada hutan sekunder di KHDTK Kemampo, sedangkan pada hutan sekunder di Desa Namang Kab Bangka Barat dan Desa Kemang Kab Muaraenim didominasi oleh jenis pelawan.

6. Jenis-jenis kayu energy memiliki potensi terserang hama penyakit, baik pada tegakan alam maupun pada tingkat persemaian.

7. Kebutuhan kayu energy masyarakat di Sumater selatan adalah sebesar 1.323,209 m3 pertahun per desa untuk jenis tanaman kayu karet dan 1.341,620 m3 pertahun per desa untuk jenis tanaman kopi dengan jumlah anggota keluarga rata-rata 3 orang dan jumlah anggota keluarga yang berkerja rata-rata 2 orang.

8. Skoring jenis kayu energy berdasarkan kriteria aspek silvikultur, pertumbuhan dan social ekonomi, diperoleh skor tertinggi pada jenis pelawan dengan skor 35, diikuti oleh jenis kayu laban dan seru masing-masing dengan skor 29 dan 27.

Referensi

Dokumen terkait

Memperhatikan kehidupan sosial masyarakat dari oramg tua anak sekolah minggu di Lingkungan Santo Lukas Wilayah Jebres Paroki Purbowardayan Surakarta, merupakan salah satu subjek

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurrahman dan Isworo (2002), hal-hal yang diperoleh dari perendaman menggunakan tawas antara lain: a) Umur atau daya simpan dari

Seseorang yang sedang jatuh cinta dan masih terus berharap cintanya akan tersampaikan gambaran -Menjelaskan gambaran -Menghidupkan gambaran -Menimbulkan efek keindahan 20.

Beberapa pengembangan melihat PAC sebagai suatu pendekatan yang membantu dalam e-commerce baru, lingkungan berbasis web dimana status langkah pertama dari suatu bisnis sanga

Memperkuat skema desentralisasi kesehatan dengan mendorong daerah lebih aktif dalam menyusun program – program kesehatan dan sistem desentralisasi fiskal yang menempatkan

Perilaku prokrastinasi akademik adalah perilaku menunda-nunda aktivitas atau pekerjaan yang terkait dengan tugas akademik. Perilaku ini diukur dengan Skala

Walinusa Energi Tidak Aktif Rukan Royal Sincom Blok

Jb : Saya memiliki sebuah inisiatif, dimana saya menggunakan inisiatif itu dalam melakukan maupun membuat suatu keputusan bagaimana hal terbaik yang harus