• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AJARAN MAHABBAH RABI AH AL-ADAWIYAH SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AJARAN MAHABBAH RABI AH AL-ADAWIYAH SKRIPSI"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan kepada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Disusun Oleh:

Fauziah Nofriyan Muslim 11160110000061

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2021

(2)

i

(3)

ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AJARAN “MAHABBAH”

RABI’AH AL-ADAWIYAH SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh:

Fauziah Nofriyan Muslim 11160110000061

Menyetujui,

Dosen Pembimbing Skripsi

Dr. Khalimi, M.Ag NIP. 196505151994031006

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2021

(4)

iii

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI

Skripsi berjudul Pendidikan Akhlak dalam Ajaran “Mahabbah” Rabi’ah al- Adawiayah disusun oleh Fauziah Nofriyan Muslim , NIM 11160110000061, diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah yang berhak untuk diujikan pada sidang munaqasyah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan fakultas.

Jakarta, 22 Juli 2021 Yang Mengesahkan,

Pembimbing

Dr. Khalimi, M.Ag NIP. 196505151994031006

(5)

iv

ABSTRAK

FAUZIAH NOFRIYAN MUSLIM 11160110000061. PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AJARAN “MAHABBAH” RABI’AH AL-ADAWIYAH. Program Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1442 H/2021 M.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah mahabbah dapat menjadi salah satu cara atau wadah dalam pembentukan pendidikan dan menciptakan akhlak yang sesuai dengan tujuan sistem pendidikan nasional dan tujuan pendidikan dalam Islam itu sendiri.

Penelitian ini merupakan bentuk penelitian kualitatif yang disebut library research (studi pustaka). Dengan menggunakan metode penelitian deskriptif dan teknik pengumpulan data yang mengandalkan sumber yang bersifat dokumenter.

Sehingga dalam penelitian ini tidak membutuhkan hipotesis melainkan pembuktian keadaan variabel yaitu pendidikan akhlak dan mahabbah.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan akhlak sendiri memiliki kaitan yang sangat erat dengan (mahabbah) Rabi‟ah al-Adawiyah. Mahabbah disini lebih kepada strategi cinta itu sendiri yang sama-sama berupaya dengan pendidikan untuk mengubah sikap dan tingkah laku serta membentuk pola pikir seseorang agar memiliki keinginan untuk menjadi pribadi yang bermakna dan berguna serta berakhlakul karimah bukan hanya sebagai murid saja namun juga sebagai hamba Allah. Sesuai dengan tujuan sistem pendidikan nasional yang berupaya mewujudkan perdamaian, ketenangan, kasih sayang, persatuan yang nantinya dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Kata Kunci : Pendidikan Akhlak, Mahabbah, Rabiah al-Adawiyah

(6)

v

ABSTRACT

FAUZIAH NOFRIYAN MUSLIM 11160110000061. CHARACTER

EDUCATION IN RABI’AH AL-ADAWIYAH’S CONCEPT OF

“MAHABBAH”. Islamic Education Department, Faculty of Tarbiyah and Teachers Training, State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta 1442 H/2021 M.

The purpose of this research is to find out if mahabbah could be one of the ways in constructing education and generating a characteristic based on the goals of national education and Islamic education.

This study is a form of qualitative research which is called by library research by using descriptive research as a method and collecting data through the documentary sources. Therefore, there is only verification of the variable (character education & mahabbah) instead of hypothesis.

The result of this study indicates that character education has a strong correlation with Rabiah Al-Adawiyah‟s concept of mahabbah. In this case, mahabbah means the strategy of love which is work with education to improve both of attitude and behavior as well as configurate a person‟s mindset to have a desire for being a better person in the future that has good morals. Not only as a student, but as a servant of Allah too. Based on national education system goals who manage to create peace, serenity, affection and unity which is could be implemented in daily life.

Keyword : Character Education, Mahabbah, Rabi‟ah al-Adawiyah

(7)

vi

(8)

vii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Maha Suci Allah SWT dengan segala keagungan dan kebesaran-Nya, sang pencipta yang pengasih tak pilih kasih dan penyayang tak pandang sayang. Segala puji syukur hanya tercurahkan pada-Nya yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah, serta inayah-Nya, sehingga atas ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini walaupun belum mencapai sebuah kesempurnaan suatu karya. Meskipun begitu penulis berharap dalam setiap ketikan kata semoga dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membaca. Shalawat serta salam penulis limpahkan kepada parit panji kota Madinah, intan berlian di dalam Surga yakni baginda Rasulullah SAW yang dengan syafaatnya selalu didambakan kelak di hari akhir. Yang menjadi cahaya di atas cahaya bagi seluruh alam, beserta keluarga, sahabat dan pengikutnya yang setia.

Dalam proses penyusunan skripsi ini, banyak tantangan dan hambatan yang penulis alami. Namun berkat bantuan dan motivasi yang tak ternilai dari berbagai pihak, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, sebagai ungkapan rasa hormat yang tulus, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, Lc. MA, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Sururin, M. Ag, selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Drs. Abdul Haris, M.Ag, Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Drs. Rusdi Jamil, M.Ag, Sekretasris Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Dr. Zaimudin, M.Ag, Dosen Pembimbing Akademik penulis selama menjalani study S1.

(9)

viii

6. Dr. Khalimi, M.Ag, Dosen Pembimbing Skripsi yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk peneliti melakukan konsultasi dan bimbingan, serta senantiasa memberikan petunjuk, arahan dan nasehat kepada peneliti.

7. Seluruh bapak dan ibu Dosen Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah, yang telah memberikan ilmu dan pengalamannya selama penulis menjalani study S1.

8. Ayahanda Muslimat Husin dan Ibunda Eriyanti Syafitri, kedua orangtua penulis yang dengan kebesaran hatinya memberikan doa, nasehat, dukungan, cinta, dan kasih sayang serta pengorbanan baik secara materil, finansial, maupun spiritual kepada penulis. Skripsi ini penulis persembahkan untuk ayahanda dan ibunda tercinta.

9. Fauzi, Syifha, Wani, dan Fajar selaku adik-adik penulis yang senantiasa menyemangati penulis hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

10. Hafiz Handrian dan Intan Julia Viani, selaku seorang yang selalu mengulurkan tangannya untuk membantu penulis baik berupa informasi, dan motivasi dari awal mula penyusunan skripsi hingga rampungnya skripsi ini.

11. Terkhusus kepada PAI 2016 kelas A yang telah mengisi hari-hari penulis dengan canda tawa, suka duka, pahit asam dan manis yang akan menjadi kenangan terindah bagi penulis selama menjalani study S1.

Demikianlah skripsi ini dibuat, harapan penulis semoga skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.

Jakarta, 01 Agustus 2021

Fauziah Nofriyan Muslim

(10)

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah... 6

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

D. Tujuan dan Manfaat Hasil Penelitian ... 7

BAB II KAJIAN TEORI ... 9

A. Pendidikan Akhlak ... 9

1. Pengertian Pendidikan ... 9

2. Pengertian Akhlak ... 11

3. Pengertian Pendidikan Akhlak ... 13

4. Landasan Pendidikan Akhlak ... 18

5. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Akhlak ... 21

B. Mahabbah ... 23

1. Pengertian Mahabbah ... 23

2. Mahabbah dalam Al-Quran dan Hadits ... 25

C. Tingkatan-tingkatan dalam Mencapai Mashabbah ... 27

D. Eksistensi Rabi’ah Al- Adawiyah dalam Dunia Tasawuf ... 29

E. Strategi Mahabbah dalam Mewujudkan Pendidikan Akhlak ... 30

F. Hasil Penelitian yang Relevan ... 32

BAB III METODE PENELITIAN ... 35

A. Objek dan Waktu Penelitian ... 35

B. Metode Penelitian ... 35

C. Fokus Penelitian ... 36

(11)

x

D. Prosedur Penelitian ... 36

BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 39

A. Biografi Rabi’ah Al-Adawiyah ... 39

1. Latar Belakang Kelahiran dan Keluarga Rabi’ah Al-Adawiyah ... 39

2. Awal Mula Kesufian Rabi’ah Al-Adawiyah ... 43

3. Perjalanan Hidup dari Seorang Budak Menjadi Sufi ... 47

4. Pilihan Untuk Tidak Menikah (Selibasi) ... 49

5. Wafatnya Sang Ahli Cinta Rabi’ah Al- Adawiyah ... 51

6. Mahabbah dalam Perspektif Rabi’ah Al-Adawiyah ... 53

B. Pendidikan Akhlak Dalam Ajaran Mahabbah Rabi’ah Al-Adawiyah ... 57

BAB V PENUTUP ... 69

A. Kesimpulan ... 69

B. Saran... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 71

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 76

(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan proses pembentukan manusia untuk memiliki nilai-nilai yang nantinya menjadi pedoman bagi kehidupan manusia. Perlu diketahui bahwasannya Allah Swt telah menciptakan segala yang ada di langit maupun bumi bukan semata-mata hanya untuk tunduk dan patuh terhadap kuasa- Nya melainkan memiliki tujuan. Penciptaan manusia sebagai makhluk paling sempurna yang dianugerahi akal sebagai pembeda antara baik dan buruk menjadikannya berbeda dengan makhluk yang lain. Penganugerahan akal kepada manusia disebabkan manusia akan dijadikan khalifah di muka bumi ini.

Pernyataan ini sesuai dengan firman Allah Swt, Q.S. al-Baqarah (2) ayat 30 yang berbunyi :

ٗۖ ةَفِٛهَخ ِض ۡسَ ۡلۡٱ ِٙف ٞمِعبَج َِِّٙإ ِةَكِئَٰٓ َهًَۡهِن َكُّبَس َلبَل ۡرِإَٔ

“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi”.1

Sebagaimana penciptaan manusia sebagai khalifah di bumi tentu tidak terlepas daripada pengetahuan, pemahaman, pembelajaran. Hal ini sebagai langkah untuk menjadikan manusia mampu dalam mengurus urusan dunia dan menjadikannya pribadi yang taat beribadah dan tunduk serta memiliki nilai-nilai sosial terhadap lingkungan sehingga menjadikan manusia itu sempurna.

Pendidikan pada dasarnya merupakan pokok utama dalam membangun pemahaman manusia serta sesuatu yang berbicara mengenai bagaimana manusia memiliki nilai dalam kehidupan dan penolong dalam menentukan nasib seluruh

1 Al-Quran Cordoba: Special for Muslimah, (Bandung: PT. Cordoba Internasional Indonesia, 2012) Cet. I, h. 6, Lihat Muhammad Taufiq, http://www.quran.kemenag.go.id/sura/2/30

(13)

umat manusia sehingga menjadikannya berkepribadian baik. Menurut Al-Ghazali pendidikan merupakan proses yang melibatkan manusia sebagai subyek dan obyek sekaligus sehingga lebih ditekankan dalam bentuk pewarisan nilai-nilai keislaman kepada manusia.2

Menurut Abuddin Nata, di dalam agama Islam menganut teori konvergensi plus yang memiliki unsur tambahan yaitu petunjuk dan hidayah dari Allah swt, meskipun berlandaskan pada teori William Stern bahwa kepribadian seseorang itu terbagi menjadi dua unsur. Pertama, unsur pembawaan atau hereditas seperti dapat berupa bakat, talenta, potensi, kecerdasan, intelektual, spiritual, emosional dan lainnya. Kedua, unsur lingkungan yang baik dapat berupa lingkungan pendidikan, masyarakat, nilai-nilai yang berkembang di masyarakat.3

Pendidikan memiliki tujuan untuk menjadikan manusia sebagai pribadi yang baik, memiliki rasa empati dan berakhlak mulia. Oleh karena itu dalam Islam kesempurnaan dapat dicapai bukan hanya dengan pembawaan ataupun lingkungan saja, namun juga dengan hidayah dan petunjuk Allah Swt kepada hati setiap manusia untuk membawanya mencapai kesempurnaan sebagai makhluk dan khalifah Allah Swt.

Dalam pendidikan, banyak memiliki ragam aspek dan salah satunya ialah pembentukan akhlak. Persoalan akhlak selalu dikaitan dengan permasalahan sosial dan masyarakat karna berdekatan dengan kebiasaan dan tingkah laku sehari-hari sehingga sebagian masyarakat beranggapan sebagian dari identitas suatu bangsa.

Ada tiga term terkait dengan pembahasan akhlak yaitu etika, moral, dan akhlak. Agama lebih dekat dalam membina akhlak dengan mengatur sesuai dengan ketentuan dan hukum dalam agama yang bersifat pasti dan jelas yang

2 Muhammad Edi Kuranto, Pendidikan dalam Pemikiran Al-Ghazali, Jurnal Khatulistiwa, Vol.

1, No. 2, 2011, h.163.

3 Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, (Jakarta: Rajawali Press, 2012) Cet. I, h.250.

(14)

bertujuan untuk memahami agama itu sendiri secara rinci sehingga di butuhkan pendidikan berbasis akhlak yang nantinya akan membentuk manusia dengan rasa sosial yang tinggi dan memiliki akhlakul karimah.

Akhlak merupakan suatu keadaan atau bentuk sikap batin yang mendorong seseorang melakukan sesuatu secara spontan tanpa pemikiran dan pemaksaan atau perbuatan yang lahir atas dorongan jiwa berupa perbuatan baik dan buruk. Apabila jiwa seseorang dididik dengan mengutamakan kemuliaan membiasakan melakukan kebaikan serta ditanamkan rasa cinta dengan sesuatu yang positif sehingga dengan mudah melahirkan sikap dan sifat yang baik tanpa adanya keraguan (akhlak mahmudah)

Sebaliknya, jika jiwa seseorang dididik dengan keburukan sehingga dia lebih mencintai keburukan dan membenci kebaikan maka akan muncul dari dirinya segala sesuatu keburukan serta perkataan yang menghina dan mencela yang disebut dengan (akhlakul mazmumah). Dari An-Nu‟man bin Basyir radhiyallahu‟anhu Seperti sabda Rasullah Saw:

َِْٔ َٜأ ُُّّهُك ُذَسَجْنا َذَسَف ْتَذَسَف اَرِإَٔ ُُّّهُك ُذَسَجْنا َحَهَص ْثَحَهَص اَرِإ ًةَغْضُي ِذَسَجْنا ِٙف ٌَِّإَٜٔأ َٙ

ُبْهَمْنا . )ىهسي ٔ ٘سبخبنا ِٔس(

“Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika dia baik, maka baik pula seluruh jasad (tubuh). Jika dia rusak, maka rusak pula seluruh jasad (tubuh). Ketahuilah bahwa ia adalah hati”.

Akhlak yang baik ialah akhlak Rasulullah Saw. Seseorang yang merupakan contoh amalan para shiddiqin yang paling utama. Rasulullah Saw juga merupakan wujud sebagian dari agama serta teladan dari kesungguhan orang yang bertaqwa dan latihan bagi orang yang bertaqwa.4

Namun di zaman sekarang ini banyak sekali problematika dan tantangan terhadap perkembangan pendidikan akhlak, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Toumy Al-Syaibani tujuan daripada pendidikan itu ialah proses perubahan

4 Moh.Toriquddin, Sekularitas Tasawuf: Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern, (Malang: UIN Malang Press, 2008) Cet.I, h.55

(15)

tingkah laku yang terjadi untuk dirinya sendiri maupun dengan masyarakat di sekitarnya melalui proses pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai proporsi di antara profesi asasi dalam masyarakat.5

Dengan kata lain, tanpa adanya pendidikan manusia saat ini tidak ada bedanya dengan masa sebelumnya sebab pendidikan merupakan identitas atau cerminan suatu masyarakat, budaya, bahkan peradaban suatu bangsa. Jika di masa lalu untuk mendapatkan pendidikan merupakan suatu hal yang sulit maka lain halnya dengan masa kini yang terdapat banyak sekolah dengan fasilitas yang memadai namun dalam segi akhlak semakin memprihatinkan.

Pada realitanya, pendidikan saat ini belum bisa dikatakan berhasil untuk menciptakan peserta didik yang berkualitas, pasalnya banyak sekali perilaku tidak terpuji contohnya semakin merebaknya kasus korupsi, penyalahgunaan narkoba, pelecehan seksual. Semua ini terjadi karena semakin krisisnya pendidikan akhlak di negara ini, sehingga tujuan daripada sistem pendidikan nasional yang berbasis character building belum dapat terwujud.

Dunia pendidikan saat ini sedang dalam fase kemerosotan yang cukup serius dan semakin terkikisnya nilai-nilai akhlak. Murid tidak lagi menghormati gurunya bahkan hukum sendiri sudah tidak berdiri sebagaimana mestinya bahkan terdapat studi kasus seorang guru mencubit murid yang merupakan anak dari seorang polisi dan terancam masuk penjara dengan alasan melanggar HAM dan merupakan suatu bentuk kekerasan. Padahal jika seorang guru mencubit seorang murid pasti terdapat kesalahan yang telah dilakukan. Pendidikan pada masa dulu jika guru marah bahkan mencubit pasti terdapat kesalahan yang telah dilakukan oleh seorang murid dan orang tua mendukungnya bukan berbalik menghakimi sang guru. Namun hal tersebut tidak berlaku pada masa sekarang, semakin jelas bahwa pendidikan mengalami krisis perihal pendidikan agama dan akhlak.

5 Imam Syafe‟i, Tujuan Pendidikan Islam, Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 6, No.

2, 2015, h. 4.

(16)

Berkenaan dengan akhlak sebagai bentuk pencapaian diri sebagai manusia yang sempurna merupakan tujuan daripada pendidikan dan penciptaan manusia. Dalam Islam, terdapat disiplin ilmu yang dikenal dengan istilah Tasawuf atau orang-orang barat mengenalnya dengan sebutan sufisme.6 Tasawuf merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang di dalamnya mempelajari tentang tata cara bagaimana seorang muslim dapat berada sedekat mungkin dengan Allah Swt.7 Dengan demikian, tasawuf merupakan suatu cara atau proses yang dilakukan seseorang untuk semakin dekat dengan Allah Swt dan dapat mencapai kesempurnaan batin.

Dalam dunia tasawuf Islam, terdapat banyak sekali para tokoh tasawuf sesuai dengan corak ajarannya masing-masing, diantaranya ialah Rabi‟ah Al- Adawiyah. Rabi‟ah Al-Adawiyah tampil sebagai seorang sufi wanita pertama meskipun dalam beberapa literatur banyak disebutkan tokoh sufi wanita, namun Rabi‟ah al-Adawiyah dianggap sebagai tokoh sufi wanita paling masyhur hingga masa kini. Rabi‟ah al-Adawiyah dilahirkan di Basrah (Irak) sekitar tahun 95-99 H/ 717 M.8 dengan nama lengkap Rabi‟ah binti Ismail al-Adawiyah al- Bashariyah al-Qaisiyah dan wafat di kota yang sama pada tahun 185 H/801 M.9

Rabi‟ah al-Adawiyah merupakan seorang sufi wanita dan penggagas ajaran mahabbah pertama. Beberapa literatur mengatakan, terdapat ungkapan- ungkapan yang mendeskripsikan bahwa dirinya menganut paham tersebut.

Dalam konteks tasawuf, pengertian mahabbah dapat diartikan sebagai perasaan cinta terhadap Tuhannya.10

6 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2014), Cet. I, h.

43

7Ibid.

8 Margareth Smith, Rabi‟ah Pergulatan Spiritual Perempuan, Terj dari Rabi‟ah the Mystic &

Her Fellow – Saints in Islam oleh Jamilah Baraja. (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), h. 7

9 Rosihon Anwar dan Mukhtar Solohin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), h.

119 10

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008), h. 208

(17)

Tasawuf tidak membatasi atau memilih suatu golongan dalam menyampaikan ajaran. Meskipun memiliki berbagai macam corak, tidak menjadi batasan dalam menyampaikan ajaran. Rabi‟ah al-Adawiyah terbukti sebagai seorang wanita yang cenderung dianggap lemah namun mampu membuktikan bahkan menjadikan ajaran mahabbah sebagai satu diantara maqam dalam dunia sufistik, hal ini menjadi awal ketertarikan peneliti untuk mempelajari ajaran mahabbah.

Selain itu, ketertarikan peneliti lainnya berdasarkan pengamatan terhadap lingkungan sekitar. Masyarakat cenderung mudah dipengaruhi dan lebih mendengarkan jika memiliki rasa ketertarikan, cinta, kasih sayang sehingga memiliki relevansi dengan kehidupan pada masa milenial ini dalam penanamkan akhlak baik kepada diri sendiri, keluarga dan masyarakat.

Sesuai dengan pemaparan di atas, selain menekankan kepada ketertarikan peneliti terhadap ajaran mahabbah namun tetap memperhatikan bagaimana esensi dan urgensi ajaran mahabbah terhadap pendidikan akhlak. Dengan demikian, dapat menumbuhkan dalam diri manusia rasa kepedulian, kasih sayang dan keteladanan di lingkungan bermasyarakat.

Berdasarkan latar belakang di atas, pada kesempatan kali ini peneliti bermaksud untuk mengajukan penelitian dengan judul “Pendidikan Akhlak dalam Ajaran “Mahabbah” Rabi’ah al-Adawiyah”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka peneliti mengidentifikasi beberapa permasalahan yang dapat dituliskan sebagai berikut:

1. Pendidikan belum sepenuhnya berhasil dalam mewujudkan tujuan pendidikan. Faktor terbesar tidak tercapainya ialah dengan semakin terkikisnya nilai-nilai cinta dan kasih sayang serta menyepelekan akhlak dalam lingkungan pendidikan berdasarkan ajaran Mahabbah Rabi‟ah al- Adawiyah.

(18)

2. Melemahnya kualitas akhlak dengan semakin merebaknya penyimpangan sosial di lingkungan pendidikan maupun masyarakat.

3. Rendahnya pemahaman terhadap pentingnya rasa cinta dan pendidikan akhlak serta penanaman rasa hormat, peduli dan kasih sayang dalam kehidupan bermasyarakat berdasarkan ajaran mahbbah Rabi‟ah al- Adawiyah.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan, untuk memfokuskan pada pembahasan, maka permasalahan tersebut akan dibatasi pada

“Pendidikan Akhlak dalam Ajaran “Mahabbah” Rabi‟ah al-Adawiyah”

a. Pendidikan akhlak yang dimaksud ialah lebih kepada yang bersifat universal, pendidikan akhlak yang difokuskan dalam ajaran mahabbah Rabi‟ah al-Adawiyah.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, peneliti memfokuskan permasalahan tersebut menjadi “Bagaimana Pendidikan Akhlak dalam Ajaran “Mahabbah” Rabi‟ah al-Adawiyah?”

D. Tujuan dan Manfaat Hasil Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah dibahas tadi tujuan dilakukannya penelitian ini ialah untuk memahami konsep pendidikan akhlak dalam ajaran mahabbah Rabi‟ah al-Adawiyah.

2. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka peneliti berharap hasil daripada penelitian ini dapat bermanfaat bagi kalangan umum dan yang bersangkutan, manfaat yang dapat diambil di antaranya:

(19)

a. Secara Teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan informasi bagi para kalangan dari segala aspek yang memiliki ketertarikan terhadap ilmu agama khususnya dalam hal tasawuf dan pendidikan.

b. Secara Praktis, hasil dari penelitian ini dapat menjadi rujukan dalam perbaikan akhlak dengan menanamkan rasa cinta dan kasih sayang setiap individu serta menjadikan semangat dan mengedukasi segala pihak khususnya para wanita untuk menjadi muslimah sejati dan bertaqwa kepada Allah swt.

(20)

9

BAB II KAJIAN TEORI

A. Pendidikan Akhlak 1. Pengertian Pendidikan

Istilah pendidikan berasal dari kata “didik” yang kemudian diberikan imbuhan “pe” di awal kata dan imbuhan “kan” pada akhir kata, yang mengandung arti sebuah perbuatan, hal, dan cara.11 Pada mulanya istilah pendidikan ini berasal dari bahasa Yunani yaitu “paedagogie” yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi “education” yang berarti pengembangan atau bimbingan, sedangkan dalam bahasa Arab menjadi “tarbiyah” yang berarti pendidikan.12

Definisi pendidikan menurut beberapa para ilmuwan barat sekaligus filsuf terkenal, menurut Plato pendidikan merupakan suatu langkah dalam mengasuh jasmani dan rohani agar sampai kepada keindahan dan kesempurnaan yang mungkin dapat dicapai. James Mill mengatakan bahwa pendidikan ialah upaya dalam menyiapkan seseorang, agar dapat membahagiakan dirinya maupun orang lain. Kemudian menurut Rosseau pendidikan adalah suatu pembekalan yang diberikan kepada kita yang tidak ada pada masa anak-anak, tetapi kita membutuhkannya pada saat dewasa.13

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pendidikan adalah proses untuk mengubah sikap dan tingkah laku seseorang maupun sekelompok orang dengan tujuan untuk mendewasakan seseorang melalui

11 Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring, (http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/pendidikan), Diakses pada 23 Februari 2021.

12 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), h.1

13 Mahmud Yunus, Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), Cet.III, h. 6.

(21)

usaha pengajaran dan pelatihan.14 Menurut Al-Ghazali, pendidikan merupakan proses yang melibatkan manusia sebagai subyek dan obyek sekaligus sehingga lebih di tekankan dalam bentuk pewarisan nilai-nilai keislaman kepada manusia.15

Menurut Djumarsih, pendidikan adalah usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan, baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan.16

Menurut Ahmad Marimba, pendidikan adalah bimbingan atau didikan secara sadar yang dilakukan oleh pendidik terhadap perkembangan anak didik baik jasmani maupun rohani, menuju terbentuknya kepribadian yang utama.17

Sedangkan Ahmad tafsir mendefinisikan pendidikan secara luas yaitu pengembangan pribadi dalam semua aspeknya.18 Yang dimaksud dengan

“pengembangan pribadi” ialah mencakup di dalamnya pendidikan oleh diri sendiri, lingkungan dan orang lain dan yang dimaksud dengan “semua aspek”

sudah mencakup di dalamnya jasmani, akal dan hati.

Syed Muhammad Naquib Al-Attas mendefinisikan pendidikan terdiri dari tiga unsur yang menjadi konsep daripada pendidikan yaitu tarbiyah (pengasuhan), ta‟lim (pengetahuan/pengajaran).19 Menurut beliau makna ta‟dib (adab) sudah cukup menjelaskan yang mencakup di dalamnya sebagai penyempurna terdapat pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-

14 Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring, loc.cit,

(http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/pendidikan).

15 Muhammad Edi Kuranto, loc.cit. h. 163.

16 M. Djumransjah, Filsafat Pendidikan, (Malang: Bayumedia, Publishing, 2004), h. 22.

17 Abidin Ibn Rusn, Pendidikan Al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1980), h. 55.

18 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Rosda Karya, 2005), h.

28.

19 Muhammad Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1992), h.

66

(22)

angsur ditanamkan kepada manusia dengan tempat-tempat yang tepat sehingga dapat membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan keagungan dan kekuasaan kepada Allah Swt dalam tatanan wujud keberadaan-Nya.

Sedangkan dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu:

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dam proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembakan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan, yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.20

Dengan beberapa definisi pendidikan yang dikemukakan oleh beberapa para ahli tersebut, maka peneliti mencoba untuk menguraikan penjelasan di atas dengan cara pandang peneliti sendiri. Pendidikan yaitu merupakan suatu langkah dan kegiatan yang dilakukan secara sadar dan terstruktur untuk menciptakan suatu kondisi pembelajaran yang efektif serta menjadi wadah untuk menunjukkan potensi dalam diri baik itu secara motorik, jasmani maupun intuisi yang akan membentuk karakter peserta didik.

2. Pengertian Akhlak

Menurut etimologi (kebahasaan), akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata akhlaqa-yukhliqu-ikhlaqan yang berarti al-sajiyah (perangai), ath-thabi‟ah (kelakuan, tabi‟at, watak dasar), al-„adat (kebiasaan, kelaziman), al-maru‟ah (peradaban baik). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan juga sebagai budi pekerti atau kelakuan.21

Sedangkan menurut terminologi (istilah) merujuk kepada beberapa pendapat pakar. Menurut Ibnu Miskawaih sebagai bapak ilmu akhlak

20 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, h. 1.

21 Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring, (http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/pendidikan), Diakses pada 24 Februari 2021.

(23)

terkemuka, akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.22 Senada dengan definisi akhlak Ibn Miskawaih, Akhmad Sodiq mengatakan bahwa akhlak ialah “kondisi jiwa yang mendorong terwujudnya perilaku tanpa melalui pemikiran dan pertimbangan”.23

Tak hanya itu, Al-Qurtubi menyatakan, “Perbuatan yang bersumber dari diri manusia yang selalu dilakukan, maka itulah yang disebut akhlak, karena perbuatan tersebut dimulai dari perbuatannya”.

Muhammad bin „Ilan al-Sadiqi berpendapat, “Akhlak merupakan sesuatu pembawaan yang tertanam dalam diri, yang dapat mendorong (seseorang) berbuat baik dengan mudahnya”.

Abu Bakar Jabir al-Jaziri berkata, “Akhlak merupakan bentuk kejiwaan yang tertanam dalam diri manusia, serta dapat menimbulkan perbuatan baik dan buruk ataupun terpuji dan tercela”.

Sementara itu, menurut Al-Ghazali akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Akhlak merupakan representatif sifat yang sudah tertanam dalam diri sehingga menjadi suatu adat kebiasaan dan pada hakikatnya akhlak bukan sebuah perbuatan yang tercipta atas pertimbangan faktor dari luar diri manuia, namun berkenaan dengan refleksi jiwa manusia.24

Dengan demikian, secara keseluruhan definisi akhlak di atas menunjukkan bahwa tidak adanya pertentangan, melainkan memiliki

22 Nurul Azizah, Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih Konsep dalam Pengembangan Karakter di Indonesia, Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim, Vol. 5, No. 2, 2017, h. 186.

23 Akhmad Sodiq, Problematika Pengembangan Pembelajaran PAI, Tahzib Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol 3, 2009, h.38

24 Damanhuri, Akhlak Perspektif Tasawuf Syeikh Abdurrauf As-Singkili, (Jakarta: Lectura Press, 2013), Cet.I, h. 29.

(24)

kemiripan secara substansial antara definisi satu dengan yang lainnya bahkan saling melengkapi, sehingga hakikat akhlak dapat di cermati menjadi:25

a. Akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang sehingga menjadi kepribadiaannya.

b. Akhlak suatu perbuatan yang dilakukan dengan mudah, spontan dan pada seseorang yang sehat atau waras.

c. Akhlak merupakan perbuatan yang timbul dari dalam diri seseorang yang mengerjakannya tanpa ada paksaan.

d. Akhlak merupakan sesuatu yang dilakukan dengan kesungguhan hati bukan main-main ataupun sebuah sandiwara.

e. Perbuatan yang dilakukan secara ikhlas semata-mata karna Allah bukan karna ingin pujian daripada manusia.

3. Pengertian Pendidikan Akhlak

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pendidikan adalah suatu proses untuk mengubah sikap dan tingkah laku seseorang maupun sekelompok orang dengan tujuan untuk mendewasakan seseorang melalui usaha pengajaran dan pelatihan.26 Sedangkan pendidikan secara istilah dalam bahasa Arab sangat beragam di antaranya tarbiyah, ta‟lim, ta‟dib, tahzib, mawa‟izh dan tadrib. Untuk istilah tarbiyah, ta‟lim, ta‟dib sering di konotasikan sebagai pendidikan. Tarbiyah diartikan sebagai pengetahuan, ta‟lim diartikan sebagai pengajaran dan ta‟dib sebagai adab.

Menurut Prof. Dr. Abdullah Nashih Ulwan, pendidikan akhlak (moral) adalah pendidikan mengenai dasar-dasar moral dan keutamaan perangai, tabiat yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa

25 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: Rajawali Press, 2015), Cet.

XIV, h. 4.

26 Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring, loc.cit,

(http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/pendidikan).

(25)

kanak-kanak sampai menjadi mukallaf, pemuda yang mengarungi lautan kehidupan.27

Sedangkan menurut Dr. Zakiah Daradjat, kata pendidikan sendiri berasal dari kata bahasa Arab adalah “tarbiyah” dengan kata kerja “rabba”.

Kata “pengajaran” dalam bahasa Arabnya adalah “ta‟lim” dengan kata kerjanya “‟allama”28. Kata kerja “rabba” (mendidik) sudah digunakan pada zaman Nabi Muhammad Saw yang beliau merupakan seorang utusan Allah serta pendidik yang sangat berhasil, ciri mengajar beliau ialah memfokuskan pada perubahan sikap dan tingkah laku sesuai dengan petunjuk ajaran islam sehingga di butuhkan suatu upaya atau usaha, kegiatan, cara, alat serta lingkungan yang mampu menjadi motivasi dan menunjang keberhasilan pendidikan pembentukan kepribadian seorang muslim.

Meskipun memiliki perbedaan dalam istilah pendidikan namun tidak menjadikan suatu penghalang bagi para ahli untuk penggunaan istilah dalam pendidikan. Karena pada dasarnya tujuan mereka sama yaitu “pendidikan akhlak dalam pembentukan kepribadian muslim berfungsi sebagai pengisi nilai-nilai keislaman”.29

Pendidikan akhlak dapat pula di artikan sebagai latihan mental dan fisik yang menghasilkan manusia yang berbudaya tinggi untuk dapat melaksanakan tugas kewajiban dan tanggung jawab dalam masyarakat selaku hamba Allah. Pendidikan akhlak berarti juga suatu cara, langkah, atau tahapan dalam menumbuhkan personalitas (kepribadian) dan menanam pada diri untuk mampu menjadi yang lebih baik dan mengemban tanggung jawab.

27 Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, (Semarang: CV. Asyifa, 1988), Jilid I, h. 174.

28 Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2018), Cet. XIV, h.25

29 Djunaidatul Munawwaroh, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003), h.169

(26)

Pendidikan akhlak serupa dengan karakter, etika dan budi pekerti yang memfokuskan pada pembentukan tingkah laku dan kepribadian baik yang sesuai dengan ajaran agama sehingga terciptanya lingkungan yang damai serta membangun energi positif. Untuk tercapainya pendidikan akhlak terdapat hal yang paling mendasar, yaitu di mulai dari keadaan diri sendiri serta lingkungan yang meliputi daripada aspek kognitif (pemahaman ajaran agama, kecerdasan), latar belakang afektif (motivasi, minat, sikap, konsep diri dan kemandirian).

Dalam pembentukan pendidikan akhlak tak terlepas daripada faktor- faktor yang dapat mempengaruhinya, yaitu faktor internal dan eksternal:

a. Faktor Internal

Keadaan yang dilihat dari dalam diri sendiri, pengetahuan seseorang terhadap agama dan keyakinannya akan mempengaruhi proses pendidikan akhlak itu sendiri, selain dari kecerdasan yang dimiliki seseorang, aspek agama juga memiliki peran penting karena dalam keseharian tak terlepas daripada ajaran agama serta memiliki konsep diri yang matang sehingga tidak akan mudah terpengaruh dengan pergaulan bebas, dapat membedakan sesuatu hal yang baik dan buruk. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Mutholi‟ah bahwa konsep diri dapat diartikan sebagai gambaran mental seseorang terhadap dirinya sendiri, pandangan diri sendiri, penilaian terhadap diri sendiri, serta usaha untuk menyempurnakan dan mempertahankan diri.30 Faktor internal juga dipengaruhi oleh minat, motivasi dan kemandirian.

b. Faktor Eksternal

Berasal dari luar diri sendiri yang meliputi lingkungan, keluarga, pendidikan sekolah, dan masyarakat. Salah satu aspek yang

30 Mutholi‟ah, Konsep Diri Penunjang Prestasi PAI, (Semarang: Gunungjati, 2002), Cet. 1, h.27

(27)

memberikan pengaruh besar dan bersifat signifikan terhadap diri, tingkah laku, serta pemikiran ialah faktor lingkungan. Selama ini lebih banyak di kenal dengan tiga lingkungan pendidikan, lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Menurut Abuddin Nata bahwa ketiga lingkungan tersebut merupakan faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan perilaku atau akhlak remaja, dimana perkembangannya sangat dipengaruhi faktor lingkungan.31

Untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak pada khususnya dan pendidikan pada umumnya, ada tiga aliran yang sudah amat populer di dunia pendidikan yaitu aliran Nativisme, aliran Empirisme, dan aliran Konvergensi.32

1) Menurut aliran Nativisme seseorang memiliki potensi bathin yang kuat dan cenderung mengabaikan pendidikan dan pembinaan, yaitu bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor pembawaan dari dalam yang bentuknya dapat berupa kecenderungan kepada yang baik, maka dengan sendirinya akan menjadi baik, dan hal ini sangat erat kaitannya dengan aliran intuisisme dalam hal penentuan baik atau buruk.

2) Menurut aliran Empirisme bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor dari luar, yaitu lingkungan sosial, termasuk pembinaan dan pendidikan yang diberikan kepada seseorang baik, maka baiklah seseorang begitupun sebaliknya, aliran ini lebih menekankan pada pengaruh pendidikan dan pengajaran.

3) Menurut aliran Konvergensi, berpendapat bahwa pembentukan akhlak dipengaruhi oleh faktor internal yang merupakan pembawaan diri dan

31 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2001), Cet. 2, h. 21.

32 Abuddin Nata, loc.cit. h.143

(28)

eksternal hasil dari lingkungan sosial. Fitrah dan kecenderungan ke arah yang baik yang ada dalam diri manusia dibina secara intensif melalui berbagai metode. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. An-Nahl: 78, sebagai berikut:33

َۡٛش ًٌََُٕه ۡعَج َلَ ۡىُكِح ََّٓيُأ ٌُِٕطُب ٍِّۢي ىُكَجَش ۡخَأ ُ َّللَّٱَٔ

َش َٰۡبَ ۡلۡٱَٔ َ ًَّۡسنٱ ُىُكَن َمَعَجَٔ ب

ۡفَ ۡلۡٱَٔ

ٌَُٔشُك ۡكَج ۡىُكَّهَعَن َ َذ ِ ٨٧ )

(

“Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani agar kamu bersyukur”.

Sedangkan menurut Mustofa, bahwa faktor yang mempengaruhi pembinaan akhlak pada seseorang itu ada dua, yaitu faktor dari dalam berupa potensi fisik, intelektual, dan hati (rohaniah) yang dibawa sejak lahir, dan faktor dari luar yang meliputi orang tua atau keluarga di rumah, guru di sekolah, dan tokoh-tokoh serta pemimpin di masyarakat, melalui kerja sama yang baik antara tiga lembaga pendidikan tersebut, maka aspek kognitif (pengetahuan), afektif (penghayatan), psikomotorik (pengamalan) maka ajaran yang dilangsungkan akan membentuk pada diri.34 Adapun aspek-aspek yang mempengaruhi akhlak yaitu insting, pola dasar bawaan turunan, lingkungan dan pergaulan, kebiasaan, kehendak atau keinginan, dan pendidikan.

Dengan demikian hemat penulis bahwasanya pendidikan akhlak itu sesuatu usaha yang bersifat membentuk kepribadian seseorang secara sadar dan terencana menjadi lebih baik yang berupa bimbingan dan bantuan sehingga sesuai dengan ajaran agama melalui beberapa faktor yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik yang menjadi dasar dalam pembentukan akhlak yang

33 Al-Quran Cordoba: Special for Muslimah, op.cit, lihat Muhammad Taufiq, http://www.quran. kemenag.go.id/sura/16/78

34 Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), h.82-109

(29)

kokoh kemudian di perkuat dengan pengajaran dan pemahaman baik dari lingkungan keluarga dan masyarakat.

4. Landasan Pendidikan Akhlak

a. Landasan Religius Pendidikan Akhlak 1) Al-Quran

Bagi seorang muslim, Al-Quran merupakan firman Allah Swt yang diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah Saw sebagai utusan-Nya melalui Malaikat Jibril sebagai perantara. Selain itu, Al-Quran merupakan pedoman hidup bagi umat manusia yang di tinggalkan Rasulullah SAW sebelum wafat bersamaan dengan As-sunnah. Al- Quran berisi tentang ajaran-ajaran Islam yang terdiri dari beberapa aspek seperti akidah, syari‟ah, ibadah, akhlak dan muamalah. Dalam cakupan lebih luas lagi, Al-Quran juga mengatur aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pemerintahan, keamanan, bahkan pendidikan yang banyak sekali di sebut dalam Al-Quran. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt dalam Q.S Al-Baqarah: 185.35

ٌِبَلْشُفْنأَ ٖ ذُْٓنا ٍَِّي ٍث َُِّٛبَٔ ِسبَُّهِّن ًٖذُْ ٌُ اْشُمْنا ِِّْٛف َلِزَُْا َِْٰٓ٘زَّنا ٌَبَضَيَس ُشَْٓش

“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur‟an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil)”.

2) As-Sunnah Rasulullah Saw

Seperti yang telah diketahui, Rasulullah Saw merupakan seorang utusan Allah swt dan sebagai Nabi terakhir serta penutup (khatamul anbiya). Seluruh perkataan (qauliyah), perbuatan (fi‟liyah), ketetapan (taqririyah) yang berasal dari beliau semuanya menjadi sunnah. Bagi

35 Al-Quran Cordoba: Special for Muslimah, op.cit, Lihat Muhammad Taufiq, http://www.quran. kemenag.go.id/sura/2/185

(30)

seorang Muslim yang harus dijadikan teladan serta pedoman setelah Al- Quran. Hal ini dijelaskan firman Allah swt dalam Q.S Al-Ahzab: 21.36

ٌَبَك ۡذَمَّن َ َّللَّٱ َشَكَرَٔ َشِخَٰٓ ۡلۡٱ َو َٕۡٛۡنٱَٔ َ َّللَّٱ ْإُج ۡشَٚ ٌَبَك ًٍَِّن ٞةََُسَح ٌ َٕ ۡسُأ ِ َّللَّٱ ِلُٕسَس ِٙف ۡىُكَن

ا شِٛثَك ١٢

“Sungguh, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat serta yang banyak mengingat Allah”.

Selain itu terdapat juga hadits Rasulullah Saw, yang memperkuat bahwa Rasullah sebagai penyempurna akhlak dan Islam sendiri sangat memperhatikan pendidikan akhlak dan karakter.

بًَََِّإ ِق َلَْخَ ْلۡا َحِنبَص َىًَِّجُ ِلۡ ُثْثِعُب

“Sesungguhnya aku diutus sebagai penyempurna akhlak”. (H.R Ahmad)

Dengan demikian, akhlak yang baik ialah akhlak yang sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah serta yang menjadikan Rasulullah sebagai teladan.

3) Teladan Para Sahabat dan Tabi‟in

Sebagai generasi awal dan kader awal Islam, yang langsung belajar serta, mendapatkan pendidikan dari Rasulullah saw menjadikan mereka memiliki sanad yang bersifat marfu‟ langsung dari Rasulullah.

Oleh karena itu, segala pekataan, perbuatan dan ketetapannya dapat menjadi contoh atau landasan keseharian seoang Muslim selama tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah.

4) Ijtihad

Sebagai salah satu dasar hukum Islam, ijtihad merupakan upaya penggunaan pikiran secara totalitas yang dimiliki sebagai pengambilan hukum tertentu apabila tidak terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah

36 ibid.

(31)

maupun suatu kasus yang sebelumnya tidak ditemukan pada masa Rasulullah Saw, para sahabat maupun tabiin. Dalam hal ini diserahkan kepada yang berwenang seperti kyai, ulama, atau orang „alim yang berkompeten bukan kepada seorang yang awam. Sebagaimana dalam firman-Nya:

َكِئ َٰٓ َنُْٔأَٔ ِِۚشَكًُُۡنٱ ٍَِع ٌَ َََُٕۡٓۡٚٔ ِفُٔشۡعًَۡنٱِب ٌَُٔشُيۡأََٚٔ ِشَۡٛخۡنٱ َٗنِإ ٌَُٕعۡذَٚ ٞةَّيُأ ۡىُكُِّي ٍُكَحۡنَٔ

ٌَُٕحِهۡفًُۡنٱ ُىُْ

٢٠١

“Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma‟ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (Q.S Ali-Imran: 104)

b. Landasan Konstitusional Pendidikan Akhlak

1) Berdasarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003.

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (Pasal 3)37 2) Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.

a) Pasal 31 ayat 3: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak yang mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan, yang di atur dengan undang-undang.”

b) Pasal 31 ayat 5: “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai agama dan persatuan

37 Anas Salahuddin & Irwanto Alkrienchiehie, Pendidikan Karakter: Pendidikan Berbasis Agama dan Budaya Bangsa, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), Cet. I, h.88.

(32)

bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”.

Pada dasarnya pendidikan akhlak dan karakter memiliki tujuan yang sama yaitu membentuk kepribadian, pemikiran, jati diri yang baik dan mulia. Pendidikan akhlak dan karakter sendiri menjadi landasan utama bukan hanya pada aspek keagamaan namun juga pemerintahan khususnya pendidikan.

5. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Akhlak

Setiap suatu kegiatan yang dilakukan seseorang atau kelompok orang sudah tentu memiliki suatu tujuan yang hendak diwujudkan, begitu pula dengan pendidikan akhlak. Mengenai tujuan pendidikan akhlak, maka tidak dapat di pisahkan dengan tujuan pendidikan sebagaimana yang tertera dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 Bab II Pasal 3, yaitu:38

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Secara garis besar, tujuan pendidikan nasional dengan pendidikan akhlak sejalan yang menekankan kepada nilai-nilai positif kepada peserta didik dengan harapan menjadikan pribadi yang berakhlak mulia sejalan dengan ajaran agama, memiliki jiwa nasionalis yaitu cinta tanah air, saling tolong menolong, memiliki rasa empati dan nilai-nilai sosial bermasyarakat

38 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, h. 6. Lihat Muhammad Jafar & Muhammad A. Salam, Membumikan Pendidikan Karakter:

Implementasi Pendidikan Berbobot Nilai dan Moral, (Jakarta: CV. Suri Tatu‟uw, 2015), Cet. I, h. 33

(33)

untuk dalam rangka membentuk kembali kepribadian generasi muda Indonesia.

Tujuan pendidikan akhlak sebenarnya adalah mengembangkan potensi akhlak itu sendiri melalui pendidikan baik itu sekolah, keluarga, masyarakat dan potensi yang kemudian dikembangkan sudah pasti sesuatu yang baik dan positif. Adapun tujuan pendidikan akhlak secara spesifik menurut para ahli pendidikan adalah sebagai berikut:

a. Menurut Atiyah Al-Abrasyi mengatakan bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah membentuk manusia bermoral baik, sopan dalam perkataan dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku, berperangai baik, bersifat sederhana, ikhlas, jujur dan suci.39

b. Kemudian menurut tokoh sufi termasyhur Al-Ghazali, tujuan pendidikan akhlak adalah membuat amal yang dikerjakan menjadi nikmat, seseorang yang dermawan akan merasakan lezat dan lega ketika memberikan hartanya dan ini berbeda dengan orang yang memberikan karena terpaksa. Seseorang yang merendahkan hati, dia merasakan lezatnya tawadhu.40

Selain tujuan, pendidikan akhlak juga memiliki fungsi sebagai upaya untuk mengembangkan kemampuan peserta didik supaya memiliki pemikiran cerdas, berperilaku baik, mandiri, kreatif, bermoral, cinta damai, bersahabat sehingga mampu menjadi contoh dan bermanfaat bagi lingkungan terutama diri sendiri, keluarga dan masyarakat.

Menurut Kementrian Pendidikan Nasional, fungsi pendidikan akhlak adalah sebagai berikut:

39 Moh. Atiyah Al-Abrasiy, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), Cet. IV, h. 104.

40 Bambang Trim, Menginstal Akhlak Anak, (Jakarta: PT. Grafindo Media Pratama, 2008), h. 6

(34)

1) Mengembangkan potensi dasar individu agar berhati baik, berpikiran baik dan berperilaku baik.

2) Memperbaiki perilaku yang kurang baik dan menguatkan perilaku yang lebih baik.

3) Menyaring budaya yang kurang baik sebagaimana nilai-nilai luhur pancasila.41

Dengan demikian, tujuan daripada pendidikan akhlak sejalan dengan tujuan pendidikan nasional maupun pendidikan karakter yaitu untuk menbentuk, melatih, menciptakan akhlak, pemikiran serta kepribadian yang baik, sopan dan santun serta melatih potensi yang dimiliki baik itu di lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat serta fungsi yang mendukung setiap langkah dan tahapan pembinaan dan pengajaran dari pendidikan akhlak untuk menciptakan generasi muda yang cinta damai, bijaksana serta berpikiran positif.

B. Mahabbah

1. Pengertian Mahabbah a. Mahabbah menurut Bahasa

Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan yang mendalam. Menurut Jamil Shaliba sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata dalam bukunya bahwa mahabbah adalah lawan dari al- baghd, yakni cinta lawan dari benci, mahabbah dapat pula diartikan al- wadud, yaitu yang sangat kasih atau penyayang.42

Dalam aspek tasawuf, kata mahabbah digunakan untuk menunjukkan pada suatu paham atau aliran dalam tasawuf. Dalam

41 Anas Salahuddin & Irwanto Alkrienchiehie, op.cit, h. 105.

42 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia Edisi Revisi, (Jakarta: Rajawali Pres, 2015), h. 179

(35)

hubungan ini mahabbah objeknya lebih ditujukan pada Allah. Dengan demikian mahabbah dalam tasawuf merupakan implementasi kecintaan yang mendalam secara ruhaniah kepada Allah.

b. Mahabbah menurut istilah

Pengertian mahabbah secara istilah menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut:

1) Menurut Abuddin Nata, mahabbah adalah “Suatu keadaan jiwa yang mencintai Allah sepenuh hati, sehingga sifat-sifat yang dicintai (Allah) masuk ke dalam diri yang dicintai. Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan bathiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa”.43

2) Menurut Harun Nasution, mahabbah adalah cinta kepada tuhan.

Lebih lanjut Harun Nasution menjelaskan pengertian yang diberikan oleh mahabbah sebagai berikut:44

a) Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.

b) Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.

c) Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi.

3) Menurut al-Sarraj sebagaimana yang dikutip oleh Harun Nasution dalam bukunya, mahabbah mempunyai tiga tingkatan. Pertama,

“cinta biasa” yaitu selalu mengingat Tuhan dengan zikir, suka menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan dan senantiasa memuji Tuhan.45 Kedua,

“cinta seorang yang shiddik”, yaitu orang kenal kepada Tuhan, pada

43 Ibid, h. 182

44 Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Cet.

VIII, h.70.

45 Ibid, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, h. 70

(36)

kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada Ilmu-Nya, dan lain-lain.

Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat terlihat rahasia- rahasia yang ada pada Tuhan. Cinta tingkat kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedangkan hatinya penuh dengan perasaan cinta dan rindu kepada Tuhannya.46 Ketiga, “cinta orang yang „arif”, yaitu orang yang tahu betul kepada Tuhan. Cinta serupa ini timbul karena telah tahu betul kepada Tuhan, yang dilihat bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai.47

4) Menurut al-Qusyairi, pengertian mahabbah ialah,

َحْبُس َّكَحنْاَذَِٓش ٌةَفِْٚشَش ٌةَنبَح ُةَّبَحًَْنَا ِذْبَعْهِن ِِّحَّبَحَي ٍَْعَشَبْخَأَ ِذْبَعْهِنبَِٓب ََُّب

َّكَحْنا ُّبِحُٚ َََُّّبِب ُفَصُْٕٚ ُذْبَعْنأَ َذْبَعْنا ُّبِحُٚ َََُّّبِب ُفَصُْٕٚ ََُّبَحْبُس ُّكَحْنبَف

ََّ بَحْبُس

.

“Al-Mahabbah merupakan hal jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disiksanya (kemutlakan) Allah Swt oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga meyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah Swt”.48

2. Mahabbah dalam Al-Quran dan Hadits

Paham mahabbah sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya memiliki tempat di dalam Al-Quran. Banyak ayat-ayat dalam Al-Quran yang menggambarkan bahwa antara manusia dengan Allah dapat saling mencintai bukan hanya hal itu saja, di seluruh aspek yang terdapat di muka bumi ini memiliki cinta, sebagaimana firman-Nya dalam Q.S Ali Imran ayat 31:

46 Ibid. h.70.

47 Ibid. h.70.

48 Abuddin Nata, op.cit. h. 180

(37)

ِحَّس ٞسُٕفَغ ُ َّللَّٱَٔ ِۚۡىُكَبَُُٕر ۡىُكَن ۡشِف ۡغََٚٔ ُ َّللَّٱ ُىُكۡبِب ۡحُٚ َُِٕٙعِبَّجٱَف َ َّللَّٱ ٌَُّٕبِحُج ۡىُحُُك ٌِإ ۡمُل ٞىٛ

١٢

“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.49

Kemudian tidak hanya dalam Al-Quran, namun dalam hadits Arba‟in No. 38 tentang menjadi Wali Allah swt juga dinyatakan bahwa mahabbah sebagai berikut:50

ِالله ُلوُس َر َلاَق :َلاَق ،ُهْنَع ُالله ًَ ِض َر َة َرٌْ َرُه ًِبَأ ْنَع ﷺ

:َلاَق ىَلاَعَت َالله َّنِإ « :

ًََّلِإ َبَّرَقَت اَم َو .ِب ْرَحلاِب ُهُتْنَذآ ْدَقَف ًاٌِّل َو ًِل ىَداَع ْنَم ًََّلِإ َّب َحَأ ٍء ًَْشِب ْيِدْبَع

ا َذِإَف ،ُهَّبِحُأ ىَّتَح ِلِفا َوَّنلاِب ًََّلِإ ُبَّرَقَتٌَ ْيِدْبَع ُلا َزٌَ اَم َو .ِهٌَْلَع ُتْضَرَتْفا اَّمِم ِطْبٌَ ًِتَّلا ُهَدٌَ َو ،ِهِب ُر ِصْبٌُ يِذَّلا ُه َرَصَب َو ،ِهِب ُعَمْسٌَ يِذَّلا ُهَعْمَس ُتْنُك ُهُتْبَب ْحَأ ُش

ُهَّنَذٌِْعُ َلَ ًِنَذاَعَتْسا ْنِئَل َو ،ُهَّنٌَ ِط ْعُ َلَ ًِنَلَأَس ْنِئَل َو .اَهِب ً ِشْمٌَ ًِتَّلا ُهَل ْج ِر َو ،اَهِب »

ي ِرا َخُبلا ُها َوَر .

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu „anhu berkata, Rasulullah shallallahu „slaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta‟ala berfirman, „Barangsiapa yang menyakiti waliku, maka Aku mengumumkan perang kepadanya. Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang paling Aku cintai selain apa yang Aku wajibkan baginya. Hamba-Ku senantiasa mendekat diri kepada-Ku dengan amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Apabila aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepadaku, pasti aku beri. Jika dia meminta perlindungan kepada-Ku pasti aku lindungi.‟” (HR. Bukhari) [HR.

Bukhari, no. 6502].”

Oleh karena itu, ayat dan hadits di atas mejelaskan bahwa pada saat mahabbah seorang hamba dengan Tuhannya menyatu, semua anggota tubuh dalam diri seorang hamba senantiasa bergerak kepada hal baik, memperkuat

49 AL-Quran Cordoba: Special for Muslimah, op.cit. Lihat Muhammad Taufiq http://www.quran. kemenag.go.id/sura/3/31.

50 Abuddin Nata, op.cit. h. 188. Lihat dalam Hadits Arba‟in No. 38.

(38)

amal ibadahnya dengan kesungguhan dengan ikhlas dan mengharap keridhoan-Nya.

C. Tingkatan-tingkatan dalam Mencapai Mahabbah

Untuk berada dekat dengan Allah, seorang sufi harus menempuh jalan panjang yang berisi station, maqam, tempat. Dalam hal ini setiap masing-maing tokoh sufi memiliki urutan ataupun tingkatan yang berbeda-beda dalam pencapaiannya. Mengenai tingkatan mahabbah sendiri memiliki klasifikasi dalam mencapainya yang memiliki kaitan erat dengan kondisi mental (ahwal) seorang sufi dengan tingkatan atau jalan spiritual (maqam) yang ditempuh oleh para sufi tersebut.

Secara umum, tingkatan-tingkatan atau maqam keruhanian tersusun dalam delapan tingkatan meliputi taubat, wara‟ (penuh kehatian-hatian), zuhud (penolakan terhadap dunia), faqr (harap) beberapa literatur dikatakan sebagai raja‟ (harap), sabar, tawakkal, ridha (rela), mahabbah (cinta), ma‟rifat, dan terdapat pula perbedaan istilah yang pada haqiqatnya sama sesuai dengan pemikiran tokoh sufi seperti pada maqam khauf (takut), syauq (rindu).

Beberapa tokoh sufi yang menjelaskan tentang tingkatan-tingkatan maqamat dalam mencapai keruhanian dan ketenangan bathin, diantaranya:

1. Abu Bakr Muhammad Al-Kalabadzi

Dalam kitab Al-Ta‟aruf li Mazhab Ahl Tasawuf dengan urutan taubat, zuhud, sabar, kefakiran, kerendahan hati, takwa, tawakkal, kerelaan, cinta, ma‟rifat.51

2. Abu Nasr Al-Sarraj Al-Tusi

Beliau menyebutkan dalam kitab Al-Luma‟, yakni taubat, wara‟, zuhud, kefakiran, sabar, tawakkal, kerelaan hati.52

51 Siti Rihanah, Biografi dan Pemikiran Rabi‟ah Al- Adawiyah, (99H/717M-185H-801M), Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, tidak dipublikasikan, h. 39.

(39)

3. Abu Hamid Al-Ghazali

Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (1059-1111M), beliau seorang sufi sekaligus filsuf terkemuka yang dikenal sebagai “hujjatul Islam”. Beliau mengatakan bahwasannya mahabbah merupakan jalan terakhir dalam mencapai ma‟rifatullah.

Beliau mengatakan dalam kitabnya Ihya „Ulumuddin yakni terdiri dari tobat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakkal, cinta, ma‟rifat dan kerelaan.53

4. Rabi’ah Al-Adawiyah

Dalam wacana sufi, Rabi‟ah al-Adawiyah disebut sebagai peletak ajaran mahabbah dan sentral dalam hal pencapaian jalan cinta. Ajarannya yang iconic ini memberikan suasana baru di dunia sufistik yang dapat dilihat dari berbagai syair-syair yang dia jadikan sebagai wadah dalam menunjukkan hubb al-llillah. Di samping dalam syair-syair dan pernyataannya, ajaran mahabbah Rabi‟ah dapat dilihat dari sikap, pola hidup, dan doa-doanya yang kental dengan suasana sufistik.54

Berdasarkan pendapat Muhammad Thaha Abdul Baqir Surur dalam kitab Rabi‟ah Al-Adawiyah: Wal al-Hayah fi al-Islam mengatakan bahwa tingkatan maqam yang telah dilalui Rabi‟ah yaitu taubat, zuhud, ridha, muraqabah dan mahabbah. Menurut Atiyah Khamis tahap pertama yang dilakukan ialah dengan kehidupan yang zuhud.

Dengan usaha yang tiada hentinya, Rabiah terus berupaya untuk meningkatkan martabatnya secara terus menerus sehingga dia sampai pada tingkatan hubb yaitu mencintai Allah dengan dengan seluruh hidup dan hatinya, seakan Allah melihatnya, bercengkrama dengannya yang biasa disebut dengan hubb al-ilahi.

52 Ibid. h. 39.

53 Ibid. h. 39.

54 Ach. Maimun, Mahabbah dalam Tasawuf Rabi‟ah Al-Adawiyah, Jurnal Millah, Vol. III, No.

2, 2004, h. 181.

(40)

D. Eksistensi Rabi’ah Al- Adawiyah dalam Dunia Tasawuf

Suatu hal yang wajar mengetahui eksistensi seorang sufi dalam dunia tasawuf. Salah satunya sufi wanita pertama yang dijuluki sebagai “The Mother of Grand Master” yaitu Rabi‟ah Al-Adawiyah.55 Peranan dan bagaimana perjalanan spiritual Rabi‟ah Al-Adawiyah dalam mendekatkan diri kepada Allah amat sangat menarik perhatian seluruh manusia dari belahan bumi manapun dan berbagai benua khususnya Eropa, tidak hanya di kalangan umat Muslim saja namun juga mereka yang berbeda keyakinan pun menganggumi dan mempelajari tentang sosok sufi ini salah satunya ialah Margareth Smith.

Menjadikan sosok Rabi‟ah Al-Adawiyah sebagai subjek disertasinya yang berjudul “Rabi‟ah the Mystic and Her Fellow-Saints in Islam”, yang menjadikan sebuah karya akademik terlengkap dan mendalam tentang sufisme Rabi‟ah Al- Adawiyah tanpa mengurangi nilai-nilai estetika spiritual mengenai Rabi‟ah.56 Riwayat hidupnya bahwa Rabi‟ah tidak pernah mengenyam pendidikan dimanapun, namun mampu menjadikan hasil renungannya syarat berupa makna dan hikmah yang mendalam.

Mengutip dari buku karya Margareth Smith, bahwa tingginya kedudukan yang dapat diraih oleh para sufi perempuan dibuktikan dengan sosok Rabi‟ah Al- Adawiyah ini yang menegaskan bahwa menjadi seorang sufi tidak hanya laki- laki bahkan wakil daripada representatif dan awal sejarah sufisme pertama dari kalangan perempuan di dalam Islam sehingga menjadikannya sebagai salah satu guru sufi besar. Bahkan Al-Ghazali menerima ajarannya tentang mahabbah dan menjadikannya sejajar dengan tahapan ma‟rifat lillah.

55 Ibid, Jurnal Millah.

56 Margareth Smith, Rabi‟ah Pergulatan Spiritual Perempuan, Terj dari Rabi‟ah the Mystic &

Her Fellow – Saints in Islam oleh Jamilah Baraja, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), h. v

Referensi

Dokumen terkait

The palaces in Bali which have developed the model of tourism as a creative industry are the Ubud Saren Agung Palace, the Mengwi Palace, the Kerambitan

Dari masalah timbulnya penyalahgunaan praktik transfer pricing tersebut, ada hal yang menjadi sorotan yaitu ditinjau dari segi strategi DJP kemudian terciptalah

a) Partisipasi siswa saat pembelajaran dimulai nampak, berbeda jika dibandingkan sebelum diadakan PTK siswa nampak tidak semangat dan kurang mendengarkan penjelasan guru. b)

Oleh karena itu bagi lembaga pendidikan yang mengembangkan pendidikan vokasi tidak perlu minder dan kemudian mengubah menjadi pendidikan akademik, karena akan

Akan tetapi siswa keliru pada tahap memahami masalah yang ada dalam soal dan pada proses membuat rencana penyelesaian masalah karena sudah salah dari awal sehingga

Hasil Penelitian dapat mengetahui sebaran kelerengan terlandai dan tercuram, topogafi terendah dan tertinggi, pola pemanfaatan lahan yang tergunakan, dan titik sumber air,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian daun bangun-bangun berupa simplisia, ekstrak air dan ekstrak etanol 96% terhadap persentase karkas dan

Bentuk partisipasi serta masyarakat dalam pengelolaan ruang terbuka hijau di Kelurahan Bongaya, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar pada dasarnya tidak hanya sebagai pihak yang