• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Cacing Tanah

Cacing tanah merupakan organisme heterotrof, bersifat hermaprodit-biparental, termasuk kelompok filum Annelida, kelas Clitellata dan ordo Oligochaeta. Tubuh cacing tanah tersusun atas segmen-segmen yang berbentuk cincin (annulus), setiap segmen memiliki beberapa pasang setae, yaitu struktur berbentuk rambut yang berguna untuk memegang substrat dan bergerak. Tubuh dibedakan atas bagian anterior dan posterior, pada bagian anteriornya terdapat mulut,

prostomium dan beberapa segmen yang agak menebal membentuk klitelum (Edwards & Lofty 1977) (Gambar 1).

Gambar 1. Morfologi cacing tanah (UNM 2002)

Cacing tanah dewasa memiliki klitelum yang terletak di bagian anterior tubuh. Klitelum merupakan bagian kelenjar epidermis segmen tubuh yang mengalami perkembangan, terdiri atas kelenjar epidermis yang menebal, terutama di bagian dorsal dan lateral tubuh. Pada umumnya klitelum berwarna lebih cerah dari segmen lainnya (Edwards & Lofty 1977). Secara sistematik, tubuh cacing tanah tersusun atas segmen-segmen fraksi luar, badan fraksi dalam yang saling berhubungan secara integral, diselaputi oleh epidermis (kulit) berupa kutikula

(2)

(kulit kaku) berpigmen tipis dan setae (lapisan daging semu di bawah kulit) kecuali pada dua segmen pertama yaitu di bagian mulut (Hanafiah et al. 2005).

Warna cacing tanah tergantung pada ada tidaknya dan jenis pigmen yang dimiliki. Sel atau butiran pigmen berada dalam lapisan otot di bawah kulit. Warna pada bagian dada dan perut umumnya lebih muda dari bagian lainnya, kecuali pada Megascolidae yang berpigmen gelap, berwarna sama. Cacing tanah yang berpigmen sedikit ataupun tanpa pigmen biasanya terlihat berwarna merah atau pink. Apabila kutikulanya sangat irridescent, seperti pada Lumbricus dan Dendrobaena maka akan terlihat biru (Hanafiah et al. 2005). Penciri dari jenis cacing tanah adalah letak segmen klitelum, jumlah segmen tubuh, tampilan bentuk, ukuran dan warna tubuh serta jumlah seta pada tiap segmen (Hieronymus 2010).

Siklus hidup cacing tanah dimulai dari kokon, cacing muda (juvenil), cacing produktif dan cacing tua. Lama siklus hidup tergantung pada kesesuaian kondisi lingkungan, cadangan makanan dan jenis cacing tanah. Berdasarkan hasil dari berbagai jenis penelitian, diperoleh siklus hidup cacing tanah hingga mati mencapai 1-5 tahun. Kokon yang dihasilkan dari cacing tanah akan menetas setelah berumur 14-21 hari. Setelah menetas, cacing tanah muda akan hidup dan dapat mencapai kelamin dewasa dalam waktu 2,5-3 bulan (Rukmana 1999). Saat dewasa kelamin cacing tanah akan menghasilkan kokon dari perkawinannya yang berlangsung selama 6-10 hari dan masa produktifnya berlangsung selama 4-10 bulan (Palungkun 1999).

2.1.1 Ekologi Cacing Tanah

Berdasarkan fungsi pada ekosistem, strategi mencari makan dan membuat liang, cacing tanah dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu epigeik, endogeik dan anesik (Hanafiah et al. 2005). Selain tiga kelompok tersebut, terdapat kelompok Arboricolous dan Coprophagic (Hieronymus 2010). Cacing epigeik hidup di lapisan serasah yang letaknya di atas permukaan tanah, memiliki ukuran yang lebih kecil dan berpigmen, disebut sebagai cacing penghancur serasah (Hairiah et al. 2004a). Cacing epigeik memakan sampah organik yang kasar, serta sejumlah sampah yang belum terurai. Memiliki laju metabolisme dan reproduksi

(3)

yang tinggi. Hal tersebut menggambarkan daya adaptasi yang tinggi terhadap perubahan kondisi lingkungan pada permukaan tanah. Lumbricus rubellus dan Lumbricus castaneus termasuk kelompok cacing epigeik (Lee 1985).

Cacing endogeik disebut cacing penggali tanah (Hairiah et al. 2004a). Cacing endogeik hidup di dalam tanah yang lebih dalam dan memakan tanah serta kumpulan bahan-bahan organik. Cacing tanah jenis ini tidak memiliki pigmen tubuh dan membuat liang horizontal yang bercabang ke dalam tanah (Coleman et al. 2004). Kelompok cacing ini berperan penting dalam mencampur serasah di atas tanah dengan tanah lapisan bawah (Subowo 2008) dan meninggalkan liang dalam tanah. Hasil kotoran dari cacing ini lebih kaya karbon dan hara dari pada tanah di sekitarnya (Hairiah et al. 2004a). Cacing endogeik merupakan kelompok yang paling rentan terhadap perubahan lingkungan yang buruk, sehingga kelompok cacing ini merupakan jenis bioindikator kesuburan tanah. Pengaruh cacing ini terlihat lebih cepat terhadap produktivitas tanaman tahunan yang berakar dalam. Allolobophora chlorotica, A. caliginosa, dan A. rosea termasuk kelompok cacing endogeik (Hanafiah et al. 2005).

Cacing anesik hidup di dalam sistem liang vertikal yang lebih permanen, dapat meluas beberapa meter ke dalam tanah. Cacing jenis ini dapat ditemukan pada liang yang dangkal atau dalam tergantung pada kondisi tanah yang baik sebagai habitatnya (Lee 1985). Cacing jenis ini mengeluarkan sisa pencernaannya (kasting) pada permukaan tanah, sehingga berperan penting dalam meningkatkan kadar biomass dan kesuburan tanah lapisan atas. Pengaruh cacing ini terlihat lebih cepat terhadap produktivitas tanaman semusim yang berakar dangkal (Hanafiah et al. 2005). Laju reproduksi cacing jenis ini tergolong lambat, hal ini dapat dilihat dari produksi kokonnya, cacing yang termasuk kelompok ini adalah Eophila tellinii, Lumbricus terrestris dan Allolobophora longa (Lee 1985).

Selain tiga kelompok cacing tersebut, terdapat kelompok cacing arboricolous dan coprophagic. Cacing arboricolous hidup di pohon-pohon hutan atau hidup di dalam suspensi tanah pada hutan tropik basah, contohnya Androrrhinus sp dan cacing coprophagic hidup pada kotoran ternak atau pupuk kandang dengan contoh Eisenia foetida, Dendrobaena veneta, dan Metaphire schmardae (Hieronymus 2010).

(4)

Berdasarkan jenis makanannya cacing tanah dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) litter feeder (pemakan bahan organik sampah, kompos, pupuk hijau), (2) limifagus (pemakan tanah subur/mud atau tanah basah), dan (3) geofagus (pemakan tanah) (Lee 1985). Kelompok geofagus akan memakan masa tanah dan litter feeder/limifagus biasanya dengan mendesak masa tanah. Hal ini berhubungan dengan kegiatan membuat lubang yang berbeda pada tiap jenis cacing tanah. Ada yang dilakukan dengan mendesak tanah dan ada juga yang dilakukan dengan memakan tanah (Minnich 1977).

Populasi cacing tanah memiliki hubungan yang erat dengan keadaan lingkungan dimana cacing tersebut berada, yaitu kondisi fisika, kimia, biotik dan makanannya. Keberadaan cacing tanah di alam sangat dibatasi oleh kadar air tanah, karakteristik tanah, curah hujan, tipe penggunaan lahan, penambahan

bahan kimia pada tanah dan temperatur tanah (Pashanasi et al. 1996, Hairiah et al. 2004a). Keberadaan cacing tanah dapat digunakan sebagai indikator

biologis kesuburan tanah karena cacing tanah merupakan salah satu biota tanah yang bersifat saprofagus maupun geofagus yang memegang peranan penting dalam siklus hara didalam tanah (Tim Sintesis Kebijakan 2008).

2.2 Hutan dan Agroforestri

Hutan merupakan lahan yang di dalamnya terdiri dari berbagai tumbuhan yang membentuk kesatuan ekosistem yang berada dalam keseimbangan dinamis (Arief 1994). Berdasarkan pengertian hutan tersebut, maka hutan memiliki kaitan yang erat dengan proses alam yang saling berhubungan. Arief (1994) dan Indriyanto (2008) menyatakan bahwa proses alam yang dimaksudkan adalah:

a. Proses siklus air dan pengendalian tanah, hutan merupakan gudang penyimpanan air dan tempat penyerapan air hujan yang akan mengalirkan air ke sungai-sungai di tengah hutan. Pada proses ini komunitas tumbuhan hutan berperan melindungi tanah dari kekuatan erosi, serta melestarikan siklus unsur hara di dalamnya.

b. Proses pengendalian iklim maupun pengaruh iklim terhadap eksistensi hutan. Vegetasi pembentuk hutan merupakan komponen alam yang mampu

(5)

mengendalikan iklim, namun sebaliknya iklim adalah komponen alam yang mempengaruhi kehidupan.

c. Proses kesuburan tanah. Tanah hutan merupakan tempat pembentukan humus yang utama dan tempat penyimpanan unsur-unsur mineral yang dibutuhkan oleh tumbuhan, sehingga akan mempengaruhi komposisi dan struktur vegetasi hutan yang terbentuk.

d. Sumber keanekaragaman hayati karena hutan merupakan sumber plasma nutfah dari berbagai jenis tumbuhan dan binatang. Kerusakan hutan akan mengakibatkan erosi plasma nutfah, sehingga dapat mengakibatkan kepunahan berbagai kehidupan yang ada di hutan, yang pada akhirnya akan menurunkan keanekaragaman hayati.

e. Kekayaan sumber daya alam hutan dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia. Sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidup.

f. Objek wisata alam karena hutan memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber inspirasi, sarana mengenal dan mengagumi ciptaan Tuhan dan sebagai tempat rekreasi.

Hutan memberikan manfaat bagi organisme yang tinggal di dalamnya dan bagi manusia. Bentuk pemanfaatan yang dilakukan oleh manusia, berupa manfaat kehutanan (kayu-bakar, kayu pertukangan, hasil hutan nonkayu, turisme), manfaat pertanian (sistem perladangan, peternakan, budidaya tanaman pertanian) dan fungsi perlindungan (perlindungan air, tanah, dan iklim, termasuk penyerapan CO2 dan konservasi biodiversitas) (Emrich et al. 2000). Praktek pemanfaatan

lahan hutan yang menyebabkan terjadinya proses perubahan fungsi lahan, antara lain adalah perluasan lahan pertanian dan penggembalaan ternak, permintaan pasar dan nilai ekonomi kayu yang menyebabkan lahan menjadi terbuka, penebangan untuk membangun pemukiman, tempat penampungan air dan penggalian bahan tambang (Widianto et al. 2003).

Istilah baru dari praktek pemanfaatan lahan yang disebut dengan sistem agroforestri, memiliki sistem penggunaan lahan oleh manusia, penerapan teknologi, komponen tanaman semusim, tanaman tahunan dan ternak atau hewan dengan waktu yang bersamaan atau bergiliran dalam suatu periode tertentu serta adanya interaksi ekologi, sosial dan ekonomi (Hairiah et al. 2003). Agroforestri

(6)

dikenal dengan istilah wanatani, yaitu menanam pepohonan di lahan pertanian (Widianto et al. 2003).

Agroforestri dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu sistem agroforestri sederhana dan sistem agroforestri kompleks (De Foresta & Michon 1997). Sistem agroforestri sederhana adalah menanam pepohonan secara tumpang-sari dengan satu atau beberapa jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan. Sistem agroforestri kompleks, merupakan suatu sistem pertanian menetap yang berisi banyak jenis tanaman (berbasis pohon) yang ditanam dan dirawat dengan pola tanam dan ekosistem menyerupai hutan. Kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya mirip dengan ekosistem hutan alam seperti hutan primer maupun hutan sekunder (Hairiah et al. 2003).

Agroforestri berfungsi penting dalam mempertahankan pendapatan petani dan konservasi tanah dan air, juga berperan penting dalam mempertahankan kesuburan tanah (Hanafiah et al. 2005). Penanaman beragam spesies dalam sistem agroforestri memberikan berbagai keuntungan bagi petani berupa produktivitas yang selalu terjaga, stabilitas dan pemeliharaan lahan meningkat. Tujuan akhir program agroforestri adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat petani, terutama yang di sekitar hutan (Aini et al. 2010).

Perubahan fungsi lahan hutan menjadi agroforestri dapat merubah kondisi kesuburan tanah, namun agroforestri dianggap mampu mempertahankan biodiversitas makrofauna tanah (Dewi 2007). Pada umumnya lahan agroforestri memiliki jumlah dan keragaman vegetasi yang lebih sedikit dibandingkan dengan hutan sehingga menyebabkan perbedaan serasah gugur, baik ditinjau dari jumlah, kualitas dan masukan tiap tahun. Hal ini akan berpengaruh terhadap populasi cacing tanah karena ketebalan serasah di atas tanah mempengaruhi suhu, kelembaban, kadar air tanah dan bahan organik tanah (Prijono & Wahyudi 2009). Agroforestri yang sudah stabil memiliki penutupan tajuk yang rapat dan bertingkat dengan vegetasi bawah yang menutup permukaan tanah, sehingga iklim mikro dan masukan serasah diharapkan dapat mendekati kondisi di hutan (Aini et al. 2010). Penelitian mengenai cacing tanah lahan agroforestri di Sumberjaya (Lampung Barat) yang dilaporkan oleh Hairiah et al. (2004b) dan

(7)

Dewi (2007), diperoleh bahwa meningkatnya intensitas penggunaan lahan akan menurunkan ukuran tubuh cacing penggali tanah Ponthoscolex corenthrurus.

Peningkatan intensitas pengelolaan lahan menyebabkan biodiversitas makrofauna tanah semakin menurun (Sugiyarto 2009), namun hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2007) di Sumber Jaya, diperoleh diversitas dan kerapatan populasi cacing tanah di agroforestri berbasis kopi lebih banyak dari pada yang dijumpai di hutan, tetapi ukuran biomasanya lebih kecil dari yang dijumpai di hutan. Biodiversitas cacing di lahan agroforestri kopi meningkat karena adanya beberapa spesies eksotis seperti P. corethrurus yang mungkin masuk terbawa selama kegiatan, misalnya melalui bibit, pemupukan organik dan sebagainya. Beberapa spesies native hutan seperti Metaphire javanica yang berukuran besar menghilang.

2.3 Parameter Fisik dan Kimia Tanah

Kualitas tanah dapat dimonitor secara fisika (suhu dan kelembaban), kimia (pH dan bahan organik) dan biologi (USDA 1996). Kualitas tanah menunjukkan sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang berperan dalam menyediakan kondisi untuk pertumbuhan tanaman, aktivitas biologi dan mengatur aliran air (Maftu’ah et al. 2005).

a. Suhu

Suhu tanah dipengaruhi oleh curah hujan, kondisi iklim dan tutupan vegetasi yang ada pada tanah tersebut. Tutupan vegetasi yang rapat akan menghalangi cahaya matahari secara langsung menembus tanah yang pada akhirnya akan mempengaruhi suhu tanah (Hairiah et al. 2004b). Suhu tanah mempengaruhi distribusi cacing di dalam profil tanah (Hanafiah et al. 2005).

Suhu sangat mempengaruhi aktifitas pertumbuhan, metabolisme, respirasi dan reproduksi cacing tanah. Setiap jenis cacing tanah memiliki temperatur yang berbeda untuk kelangsungan hidupnya. Periode pertumbuhan mulai dari

penetasan sampai pada dewasa juga tergantung pada temperatur tanah (Edward & Lofty 1977). Kisaran suhu optimum cacing L.rubellus 15-18 °C,

(8)

di permukaan tanah pada waktu malam hari ketika suhu tidak melebihi 10,5 °C (Wallwork 1970).

b. Kelembaban

Kelembaban tanah sangat dipengaruhi oleh kondisi curah hujan (Lubis 1989). Cacing tanah mengandung air 75 – 90 % dari berat tubuhnya (Minnich 1977, Lubis 1989), sehingga kelembaban adalah faktor pembatas utama bagi pertumbuhan cacing tanah (Handayanto & Hairiah 2007). Cacing tanah selalu hidup dekat dengan sumber makanannya pada kondisi yang lembab (Hairiah et al. 2004a). Laju pertumbuhan cacing tanah tertinggi terdapat pada kelembaban 75% (Gunadi et al. 2003).

Kebutuhan cacing tanah terhadap kelembaban tanah berbeda pada tiap spesies. Kelembaban tanah yang terlalu tinggi ataupun terlalu rendah akan mengakibatkan kematian bagi cacing tanah. Pada kelembaban terlalu tinggi, cacing tanah berwarna pucat dan kemudian mati, sedangkan pada kelembaban terlalu rendah, cacing tanah akan masuk kedalam tanah dan berhenti makan yang kemudian mati (Lubis 1989).

c. pH

pH menyatakan banyaknya konsentrasi ion H+ dan ion OH+ di dalam tanah. Kebanyakan tanah di Indonesia bersifat asam dengan pH 4,0 - 5,5, sehingga tanah dengan pH 6,0 - 6,5 sering dikatakan bersifat netral (Handayanto & Hairiah 2007). Cacing tanah sangat sensitif terhadap keasaman tanah, sehingga keasaman tanah sangat mempengaruhi populasi dan aktivitas cacing tanah. pH merupakan faktor pembatas dalam penyebaran cacing tanah dan setiap jenis cacing tanah memiliki tingkat preferensi yang berbeda terhadap pH tanah (Edward & Lofty 1977). Menurut Hanafiah et al. (2005), cacing tanah tumbuh baik pada pH sekitar 6,0 - 7,2, sedangkan Fender & Fender (1990) menyatakan bahwa umumnya cacing tanah hidup pada pH 4,5 – 6,6, namun dengan bahan organik tanah yang tinggi, cacing tanah mampu berkembang pada pH 3.

d. Bahan Organik

Kandungan bahan organik pada tanah membedakan antara tanah organik dan tanah mineral (Hardjowigeno 1993). Bahan organik tanah sangat besar

(9)

pengaruhnya terhadap perkembangan populasi cacing tanah karena bahan organik yang terdapat di tanah sangat diperlukan untuk melanjutkan kehidupannya (Lee 1985). Kotoran hewan dan pelapukan daun-daunan merupakan sumber bahan organik yang biasanya baik untuk pembiakan cacing tanah (Edward & Lofty 1977).

Kadar organik tanah akan mempengaruhi cacing tanah, terkait dengan sumber nutrisinya. Pada tanah yang miskin bahan organik hanya sedikit jumlah cacing tanah yang dijumpai, namun jika cacing tanah sedikit sedangkan bahan organik segar banyak, pelapukannya akan terhambat kemudian dilakukan introduksi cacing tanah agar akumulasi tidak terjadi lagi (Hanafiah et al. 2005). Sebagian besar bahan mineral yang dicerna cacing tanah dikembalikan ke dalam tanah dalam bentuk kotoran (kasting) yang lebih tersedia bagi tanaman. Kasting memiliki kandungan Ca, Mg, dan K (Edwards & Lofty 1977).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Ariyanto (2010) diperoleh bahwa bahan organik sisa tanaman dapat meningkatkan populasi cacing tanah (Ponthoscolex corenthrurus) sedangkan menurut Tim Sintesis Kebijakan (2008), bahwa pemberian inokulan cacing tanah dapat meningkatkan P tersedia tanah dan jumlah kation, menurunkan C/N, mengeliminir Al dalam tanah, meningkatkan ruang pori total, menurunkan bulk density, serta meningkatkan pori drainase dan permeabilitas tanah

2.4 Peranan Cacing Tanah

Peran cacing tanah sebagai bioamelioran (jasad hayati penyubur dan penyehat) tanah terutama melalui kemampuannya dalam memperbaiki sifat-sifat tanah, seperti ketersediaan hara, dekomposisi bahan organik, pelapukan mineral, sehingga mampu meningkatkan produktivitas tanah (Hanafiah et al. 2005). Cacing tanah juga berperan dalam meningkatkan infiltrasi air dan drainase tanah (Hieronymus 2010).

Menurut Hieronymus (2010), peranan cacing tanah akibat dari aktifitasnya dibedakan secara biologi, kimia dan fisika. Secara biologi cacing tanah mengubah bahan organik menjadi humus untuk memperbaiki kesuburan tanah, yaitu dengan

(10)

membawa bahan organik ke bagian bawah tanah untuk makanan dan memperkuat liangnya dan menghasilkan kotoran (kasting) yang mengandung 40% humus dibanding tanah tempat cacing tersebut hidup. Secara kimia, bahan organik mati dicerna cacing yang kemudian disekresikan dalam bentuk kasting di atas permukaan tanah. Secara fisik, cacing menjaga liang-liangnya sehingga memungkinkan berlangsungnya proses aerasi dan drainase.

Pembentukan pori-pori tanah dilakukan oleh cacing tanah melalui kegiatan penggalian terowongan. Pori-pori pada tanah dapat meningkatkan daya serap tanah dalam menyerap air pada waktu hujan dan erosi tanah menjadi berkurang, oleh sebab itu persediaan air dalam tanah akan lebih teratur, sehingga menjamin pertumbuhan tanaman (Lubis 1989). Pori-pori dari galian cacing tanah akan memperbaiki aerasi tanah sehingga aktivitas respirasi akar tanaman maupun organisme aerob dapat berlangsung dengan baik (Subowo 2002). Pertumbuhan tanaman yang baik akan menyebabkan daun-daun tumbuhan lebih baik. Apabila daun-daun yang telah tua jatuh akan menjadi humus sehingga secara langsung cacing tanah mengurangi banjir pada saat hujan dan menjaga persedian air pada musim kering (Hairiah et al. 2004b).

Tanah dengan kepadatan populasi cacing tanah yang tinggi akan menjadi subur karena cacing tanah mencampur dan menghancurkan partikel-partikel mineral menjadi unit-unit yang lebih kecil dan membantu percampuran antara tanah lapisan atas dan bawah. Hal tersebut mengakibatkan distribusi dan siklus C-organik lebih lama berada di tanah (Subowo 2002). Cacing tanah menghasilkan kotoran (kasting) yang memiliki kandungan hara dan C yang tinggi dibanding tanah karena mengandung suatu campuran mineral tanah dan bahan-bahan organik yang terdekomposisi (Hieronymus 2010). Menurut Lubis (1989), kasting cacing dan tanah yang banyak cacing tanah memiliki pertukaran basa lebih tinggi, Ca, Mg, K dan P tersedia lebih banyak dari pada tanah tanpa cacing tanah.

Gambar

Gambar 1. Morfologi cacing tanah (UNM 2002)

Referensi

Dokumen terkait

• Pelunasan Obligasi Seri A, Obligasi Subordinasi Seri B dan Obligasi Syariah Mudharabah Penerbitan Obligasi Seri A, Obligasi Subordinasi Seri B, dan Obligasi Syariah Mudharabah

Sedangkan personal background secara keseuluruhan tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap peran auditor dalam pengawasan keuangan daerah, dan pada

Penyebab sekunder terjadi karena didapatkan kelainan pada testis atau epididimis yang menyebabkan terganggunya sistem sekresi atau reabsorbsi cairan di

 Nilai resiko kardiovaskular Nilai resiko kardiovaskular  Nilai kerusakan organ target Nilai kerusakan organ target.  Nilai penyakit penyerta dan diabetes melitus Nilai

Menyatakan bahwa skripsi berjudul “PENGARUH BACAAN FIKSI TERHADAP MOTIVASI BELAJAR PESERTA DIDIK PADA BIDANG STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SDN 02 PEGADEN TENGAH

Hasil penelitian ini terdapat pengaruh positif yang signifikan kelekatan orangtua terhadap kecerdasan adversitas pada remaja korban perceraian, semakin tinggi

" pemilih yang tidak terdaftar dalam salinan DPT untuk TPS dan tidak mempunyai surat pemberitahuan, diperbolehkan memberikan suaranya dengan menunjukkan kartu pemilih

Salah satu model regresi yang dapat digunakan untuk menganalisis hubungan antara variabel respon Y yang berupa data diskrit dengan variabel prediktor X berupa data