• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konstruksi Makna Haji Mandiri Bagi Jamaah Haji di Kota Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konstruksi Makna Haji Mandiri Bagi Jamaah Haji di Kota Bandung."

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)

i

di KUA Kecamatan Batununggal Kota Bandung

SKRIPSI

Diajukan Untuk Menempuh Ujian Sarjana

pada Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran

Disusun Oleh: Dhena Delany D. D

KXO 050653

UNIVERSITAS PADJADJARAN

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI

MANAJEMEN KOMUNIKASI

KAMPUS BANDUNG

(2)

i

Judul : KONSTRUKSI MAKNA HAJI MANDIRI BAGI JAMAAH HAJI DI KOTA BANDUNG

Sub judul : Studi Fenomenologi Mengenai Konstruksi Makna Haji Mandiri bagi Jamaah Haji di KUA Kecamatan Batu Nunggal Kota Bandung

Penyusun : Dhena Delany D.D

NPM : KXO050653

Bandung, Januari 2013 Menyetujui, Pembimbing Utama,

Dr. Hj. Purwanti Hadisiwi, M.Exed. NIP. 195808241988032001

Pembimbing Pendamping,

(3)

ii

skripsi/hasil penelitian ini adalah saya sendiri yang membuat dan

semua tulisan/kutipan yang ada dalam skripsi ini telah saya cantumkan

sumber aslinya. Dengan demikian pernyataan ini saya buat dengan

sebenar-benarnya.

Bandung, Januari 2013

Yang Membuat

Pernyataan

(4)

iii

Komunikasi. Penelitian ini berjudul ―Konstruksi Makna Haji Mandiri bagi Jamaah Haji di Kota Bandung‖. Penelitian ini dilakukan di bawah bimbingan Ibu Dr. Hj. Purwanti Hadisiwi, M.Exed. selaku pembimbing utama, dan Bapak Drs. Teddy Kurnia W., M.I.Kom. selaku pembimbing pendamping. Program kelas Bandung, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini melalui wawancara mendalam, dan studi kepustakaan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana konstruksi makna pelaksanaan ibadah haji mandiri bagi jamaah haji di Kota Bandung, untuk mengetahui bagaimana konstruksi makna bimbingan haji mandiri bagi jamaah haji di Kota Bandung dan untuk mengetahui bagaimana konstruksi makna rombongan haji mandiri bagi jamaah haji di Kota Bandung.

(5)

iv

Pilgrimage in the city of Bandung". Research was conducted under the guidance of Ibu Dr. Hj. Purwanti Hadisiwi, M.Exed. as the main supervisor, and Drs. Teddy W. Kurnia, M.I.Kom. as the assistant coach. Class Program Bandung, Faculty of Communication University of Padjadjaran Bandung.

The research method used in this study is a qualitative method of data collection fenomenologi. Teknik approach in this study through in-depth interviews, and literary study.

(6)

v

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Alhamdulillah penulis telah dapat menyelesaikan Skripsi ini yang berjudul ―Konstruksi Makna Haji Mandiri bagi Jamaah Haji di Kota Bandung‖, sebagai salah satu syarat untuk menempuh sidang S1 Universitas Padjadjaran, Fakultas Ilmu Komunikasi, Kampus Bandung.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan yang disebabkan oleh terbatasnya pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh penulis. Oleh karena itu kerendahan dan kelapangan hati, semua kritik dan saran penulis terima sebagai masukan untuk perbaikan di masa yang akan datang. Harapan penulis semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

(7)

vi

yang tiada lelah untuk memberikan dorongan, semangat, serta mengarahkan kepada pembenaran dalam penulisan Skripsi ini. Terima kasih atas masukan-masukannya yang sangat membantu dalam penyusunan Skripsi ini. Selamat jalan Pa Hary, semoga amal ibadahnya diterima Allah SWT. Amin.

4. Drs. Teddy Kurnia W., M.I.Kom, selaku Dosen pembimbing pendamping, yang memberikan bimbingan, kesabaran dalam mengoreksi dan memberikan arahan kepada penulis.

5. Drs. Duddy Zein, M.Si., selaku Dosen Wali penulis, yang selalu memberikan motivasi kepada penulis setiap kali bertemu.

6. Prof. Deddy Mulyana, M.A., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran yang telah memberikan kemudahan kepada penulis selama penulis menjadi mahasiswa.

7. Drs. Dede Mulkan, M.Si,. selaku Ketua Program Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran Kampus Bandung yang telah memberikan kemudahan pada saat penyusunan skripsi ini dan selama penulis menjadi mahasiswa.

(8)

vii

10.Seluruh dosen Jurusan Manajemen Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran Kampus Bandung, yang telah mengajarkan berbagai ilmu komunikasi bagi penulis selama masa perkuliahan.

11.Seluruh staf Jurusan Manajemen Komunikasi, SBA, Kemahasiswaan, Perpustakaan yang telah memberikan bantuan serta kemudahan selama penulis menjadi mahasiswa.

12.Keluarga tercinta, mamah, papap, kakak-kakak ku, om, tante, nenek, kakek, sepupu, keponakan, saudara-saudara yang sangat sabar dan tiada henti memberikan doa, dukungan, dorongan, serta kekuatan dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas semuanya, berkat kalian skripsi ini dapat terselesaikan.

13.Kurdi Hadiyatulloh yang selalu ada di saat suka dan duka, selalu setia menemani, dan dengan sabar memberikan saran, solusi, semangat, dan dukungan yang sangat berharga. Terima kasih atas semua rasa sayang dan kesabaran yang diberikan.

(9)

viii

memberi semangat dan mengharapkan agar segera selesainya skripsi ini. Akhirnya ..!!

Semoga penelitian skripsi yang masih jauh dari sempurna ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan semua pihak yang membutuhkan, serta pembaca pada umumnya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Bandung, Januari 2013

(10)

ix

2.2.7 Lokasi Utama Ibadah Haji dan Umroh ... 20

2.3 Landasan teoritis ... 21

2.3.1 Teori Konstruksi sosial ... 21

2.3.2 Perspektif Interaksi simbolik... 35

BAB III METODELOGI DAN OBJEK PENELITIAN ... 41

(11)

x

3.1.5 Teknik Pengumpulan Data ... 45

3.1.6 Teknik Analisis Data ... 47

3.1.7 Validitas dan keabsahan data ... 49

3.1.8 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 50

3.2 Objek Penelitian ... 50

3.2.1 Sejarah Kementerian Agama... 50

3.2.2 V I S I ... 55

3.2.3 M I S I ... 55

3.2.4 Makna Lambang Kementerian Agama ... 56

3.2.5 Tugas dan Fungsi Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat ... 58

4.2.1 Makna Haji Bagi Jamaah Haji Mandiri Di Kota Bandung 64 4.2.2 Konstruksi makna haji mandiri dalam meningkatkan ke khu‘suan dalam menjalankan ibadah haji ... 67

4.2.3 Konstruksi makna haji mandiri ... 80

4.2.4 Makna Bimbingan Haji Bagi Jamaah Haji ... 96

4.2.5 Makna Rombongan bagi jamaah haji di Kota Bandung .. 115

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 119

5.1 Kesimpulan... 119

5.2 Saran ... 120

(12)

1 1.1 Konteks Penelitian

Tuntutan masyarakat terhadap pelayanan yang berkualitas di berbagai sektor kehidupan semakin tinggi, termasuk tuntutan terhadap pelayanan dalam bimbingan manasik haji. Dalam pelaksanaan ibadah haji di Arab Saudi masih adanya ketergantungan jamaah haji kepada petugas atau orang lain, bahkan masih terdengar pertanyaan jamaah ―setelah melakukan yang tadi (lontar) apalagi yang akan dilakukan‖? Juga sering dilihat pada waktu tawaf ketua rombongan berteriak-teriak membaca do‘a diikuti jamaah dibelakangnya, ini mengindikasikan tingkat pengetahuan jamaah tentang proses ibadah haji sangat kurang, dan gambaran tidak adanya kemandirian dalam beribadah. Padahal seluruh jamaah haji mendambakan pada satu saatnya nanti setelah selesai menunaikan ibadah haji memperoleh haji mabrur. Haji mabrur tidak akan tercapai manakala tidak didukung pemahaman jamaah haji terhadap manasik dan ibadah lainnya serta dapat melaksanakannya sesuai tuntunan ajaran agama Islam. Hal ini menjadi prasyarat kesempurnaan ibadah haji untuk memperoleh haji mabrur.

(13)

sendiri makanan dan hotel yang diperlukan tapi ada pula yang segala keperluan untuk berhaji telah diurus oleh biro perjalanan haji yang bersangkutan.

Jamaah haji mandiri, didengungkan Departemen Agama dalam melaksanakan ibadah haji di Tanah Suci Mekkah. Kemandirian bukan hanya dalam urusan manasik dan pelaksanaan ibadah haji saja, tapi juga mandiri dalam urusan perjalanan haji. Jamaah haji yang mampu mandiri, akan memberi kekhusyu‘an beribadah. Kemandirian yang tentunya didasarkan oleh ilmu.

Artinya, kemandirian lahir karena memahami ilmu untuk berhaji, hingga saat melaksanan haji tak banyak lagi merepotkan orang-orang sekitar, dan jamaah pun bisa fokus beribadah mencapai haji mabrur.

Haji mandiri adalah haji yang tidak tergantung kepada siapapun. Ketidakan tergantungan itu artinya bisa mandiri dalam hal manasik, hingga perjalanan. Haji mandiri akan paham betul tentang manasik, perjalanan, pemondokan, dan bagaimana mengatasi kemungkinan-kemungkinan darurat yang bisa terjadi selama jamaah disana.

(14)

Jamaah haji mandiri adalah jamaah haji yang memiliki kompetensi atau kemampuan memahami manasik haji dan ibadah lainnya, serta dapat menunaikan ibadah haji dengan benar sesuai tuntunan ajaran agama Islam. Bila dirinci kompetensi tersebut ke dalam indikator adalah sebagai berikut:

1. Dapat menyebutkan syarat rukun, wajib, sunah dan larangan ibadah haji. 2. Dapat melakukan manasik haji dengan benar sesuai tuntunan agama

Islam.

3. Dapat menyebutkan proses perjalanan ibadah haji. 4. Dapat menjaga kesehatan dan keamanan diri sendiri. 5. Dapat memenuhi kebutuhan diri sendiri.

Pada sisi lain kompetensi pembimbing akan sangat menentukan keberhasilan bimbingan. Adapun kompetensi pembimbing yang diharapkan adalah kemampuan memahami proses pelaksanaan ibadah haji dan penerapan metode yang sesuai dengan materi dalam proses bimbingan. Adapun indikatornya adalah:

1. Dapat mengidentifikasi jenis materi bimbingan yang sesuai dengan bentuk bimbingan perorangan, kelompok dan massal.

2. Dapat menentukan penerapan metode yang sesuai dengan materi dengan pendekatan pembelajaran orang dewasa.

3. Dapat memilih media pembelajaran yang sesuai dengan bentuk bimbingan.

(15)

Berbagai faktor intern maupun ekstern hendaknya mendapat perhatian, karena akan berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan bimbingan. Dengan memperhatikan faktor lingkungan serta keterlibatan semua pihak (tokoh masyarakat, ulama, penyuluh, kelompok bimbingan, maupun pejabat pusat dan daerah), berkontribusi dalam mensukseskan keberhasilan bimbingan manasik haji. Apabila dirinci faktor intern yang dapat mempengaruhi kegagalan/keberhasilan bimbingan antara lain sebagai berikut:

1. Sangat beragamnya profil jamaah haji; pengetahuan manasik haji, latar belakang pendidikan, tingkat sosial, budaya, dan umur.

2. Kualitas dan kompetensi pembimbing jamaah haji dalam penguasaan metode bimbingan.

3. Sarana dan alat bantu bimbingan yang perlu disediakan.

4. Kemampuan para penyelenggara bimbingan dalam penyiapan dan proses pelaksanaan bimbingan.

Pemilihan bagi para jamaah yang akan berangkat haji, hal tersebut dikembalikan lagi kepada pertimbangan dan kemampuan tiap jamaah yang ingin berangkat ke Tanah Suci. Tapi, yang terpenting adalah melakukan persiapan fisik, mental, ilmu haji dan finansial yang memadai untuk dapat menunaikan beribadah haji dengan maksimal.

(16)

tidak tergantung dengan siapapun. Dengan tidak tergantung itu artinya bisa mandiri dalam hal manasik dan mandiri dalam hal perjalanan. Program haji mandiri ini mendapat sambutan dari berbagai lapisan masyarakat calon jemaah haji. Sambutan positif dari calon jemaah disebabkan karena biaya manasik yang harus dikeluarkan jamaah, jika mengikuti manasik melalui biro perjalanan haji atau kelompok bimbingan haji dengan biaya yang sudah ditentukan. Padahal jika mengikuti dari departemen agama itu, tidak dipungut biaya sama sekali.

Untuk tujuan tersebut pihaknya sudah membentuk tugas satuan-satuan yang langsung dekat dengan jamaah. Langkah pertama, memberdayakan Kantor Urusan Agama (KUA). Program ini memang tidak bisa selesai satu tahun. Ia menambahkan selain melibatkan KUA pihaknya juga akan melibatkan tokoh masyarakat maupun para ahli yang berada di daerah.

Idealnya, seorang jamaah calon haji memang harus mandiri. Ia harus tahu manasik secara benar dan melakukan seluruh rukun dan wajib haji ketika di Tanah Suci tidak tergantung pada pihak lain, dalam hal ini sang pembimbing. Dalam tataran ide haji mandiri dinilai banyak pihak merupakan terobosan yang bagus. Namun dalam tataran praktik, banyak hal yang perlu di cermati.

Akhlak sebagai apresiasi dan refleksi dari hati, ia sebagai ‗kiblat‘ bagi

(17)

Pasca haji dan umrah, akan lahir kembali kefitrahan pada setiap hati, yang selama melaksanakan ibadah telah ditempa dengan makna ketauhidan dan makna pasrah kepada Dia secara kaaffah. Hati akan lebih tertata, akhlak menjadi semakin terarah, empati kepada sesama akan selalu dengan serta merta menjadi alasan dalam setiap langkah dan aktifitas keseharian. Semangat dari haji dan umrah akan senantiasa menjadikan setiap manusia yang pernah melakukannya lebih hati-hati, pada akhirnya keyakinan akan adanya kehidupan setelah kematian, adanya pertanggung jawaban dari seluruh amal selama didunia dan ada yang melihat seluruh aktifitas tanpa ada yang luput sedikitpun dari pengawasan-Nya.

Haji dan Umrah merupakan sebuah ritual khusus dari rentetan ritual yang diwajibkan dalam Rukun Islam yang ke-5 bagi yang mampu, sebagai kesadaran dari seorang hamba untuk memperbaiki sikap dan akhlak kepada Robbul ‗Izzati,

sesuai dengan pernyataan dari Nabi:

― Dari satu Umrah kepada Umrah yang lainnya akan menjadi penghapus dosa diantara keduanya dan Haji yang ‗Mabrur‘ tidak ada balasan yang paling pantas melainkan syurga.‖

(18)

Kegiatan ibadah apapun yang dilaksanakan di tanah suci terasa nikmat. Banyak jamaah haji yang mengalami pengalaman rohani yang mengesankan tiada tara selama di tanah suci. Itulah sebabnya, mengapa banyak orang yang sudah berhaji atau berumrah selalu rindu untuk kembali melihat ka‘bah.

Ibadah haji merupakan wajib bagi umat islam yang mampu menunaikannya, karena ibadah haji termasuk kedalam rukun islam yang kelima. Seperti yang tercantum dalam Q.S. Ali Imran: 97.

‖ Dan bagi manusia diwajibkan melaksanakan ibadah haji bagi yang mampu menjalankannya‖.

Haji mempunyai dua pengertian, yaitu menurut bahasa dan istilah syar‘i. Makna Haji menurut bahasa adalah maksud dan tujuan yang dimuliakan. Menurut istilah syar‘i ialah mengunjungi Baitul-Haram di Mekkah Al-Mukaromah untuk mengerjakan beberapa ibadah khusus seperti tawaf, sa‟i, wuquf, di Padang Arafah serta melakukan bermacam-macam yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.

Terdapat beberapa hadits sahih tentang keutamaan haji dan pahala umroh yang dapat menghilangkan keraguan bagi seseorang dalam melaksanakan ibadah haji atau umroh untuk mengharapkan pahala, rahmat dan maghfiroh Allah SWT. Ibadah Haji berguna bagi kaum muslimin untuk memperkuat Ukhwah Islamiyah,

menggalang solidaritas sosial, saling tolong menolong dalam kemaslahatan dunia akhirat. Sebagian hadits tersebut adalah:

(19)

maka diampunilah dosanya sebagaimana ia baru lahir dari kandungan ibunya.‖ (HR. Bukhori dan Muslim).

Dari Abdullah bin Mas‘ud berkata: ‖Rasullah SAW bersabda: kerjakanlah haji dan umroh karena keduanya dapat menghapuskan kekafiran dan dosa sebagaimana pandai besi menghilangkan karat besi, mas dan perak. Dan bagi Haji yang mabrur akan mendapat pahala surga.‖ (HR. Turmudzi, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah).

Telah diketahui bahwa ukuran mampu adalah salah satu syarat kewajiban menunaikan ibadah haji. Hakekat mampu itu sendiri, secara singkat , mampu berarti kuat dibidang kesehatan, keuangan, pengetahuan tentang haji, dengan menjauhi dari segala yang dilarang oleh syari‘at islam.

Agar ibadah haji menjadi sah, maka pelaksanaannya harus dilakukan pada waktu yang telah ditentukan oleh Allah SWT, sebagaimana keterangan dalam Firmannya: (Muslim) haji adalah beberapa bulan yang telah diketahui.” (Q.S. Al-Baqoroh:197). Bulan-bulan haji yang telah ditentukan adalah: syawal, dziulka‘dah, dan sepuluh hari bulan dzulhijjah sebagaimana diriwayatkan oleh

Ibnu Umar dan disepakati oleh ulama Hanafiah, Imam Syafi‘i dalam Qaul juded, dan Imam Ahmad dalam qaul qadimnya.

(20)

yang baik agar pelaksanaan ibadah haji dapat berjalan dengan aman, tertib, lancar dan nyaman sesuai dengan tuntunan agama serta jamaah haji dapat melaksanakan ibadah secara mandiri sehingga diperoleh haji mabrur.

Ibadah haji dan umrah menjadi salah satu pilihan yang paling tepat untuk kembali pada kebenaran yang hakiki, karena didalam melaksanakan ibadah tersebut manusia mau tidak mau, suka tidak suka diajarkan dan diingatkan bahwa ada kekuatan supra natural maha dahsyat, yang seluruh alam semesta beserta isinya berada dibawah kendali dan genggaman-Nya, manusia adalah bagian kecil dari makhluk Allah yang harus tunduk dan patuh terhadap semua ketentuan dan perintah-Nya. Dengan Haji dan Umrah seorang hamba akan lebih mendalami dan menyelami esensi dari penciptaan yang telah dirancang sedemikian rupa oleh Allah, ‗pakaian‘ keangkuhan yang sering melekat bergantikan dua lembar ihram

sederhana penuh makna, semua dikondisikan untuk berada pada level paling rendah dihadapan Tuhannya, semangat kesetaraan, kebersamaan dan kesamaan serta kepedulian harus dimiliki oleh setiap hamba.

Pemberian informasi dan penyuluhan ibadah haji kepada calon jamaah atau masyarakat dilakukan dengan sistem penerangan umum dan penerangan kelompok melalui media cetak, elektronik, ceramah, pengajian dll.

1.2 Fokus Penelitian

(21)

1.3 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan rumusan di atas maka indentifikasi masalah yang dapat diambil adalah:

1. Bagaimana konstruksi makna komunikasi intrapersonal dalam pelaksanaan ibadah haji mandiri bagi jamaah haji di kota Bandung?

2. Bagaimana konstruksi makna komunikasi intrapersonal dalam bimbingan haji mandiri bagi jamaah haji di kota Bandung?

3. Bagaimana konstruksi makna rombongan haji mandiri bagi jamaah haji di kota Bandung?

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui konstruksi makna pelaksanaan ibadah haji bagi jamaah haji mandiri di kota Bandung.

2. Untuk mengetahui konstruksi makna bimbingan haji mandiri bagi jamaah haji di kota Bandung.

3. Untuk mengetahui konstruksi makna rombongan haji mandiri bagi jamaah haji di kota Bandung.

1.5 Kegunaan Penelitian 1.5.1 Kegunaan Teoritis

(22)

konstruksi sosial dalam realitas Haji Mandiri. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi peneliti lainnya untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

1.5.2 Kegunaan Praktis

(23)

12 2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustakan merupakan tinjauan terhadap penelitian - penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya. Dalam penelitian ini ada beberapa referensi penelitian yang sebelumnya pernah dilakukan.

Astrid krisanti. 2101100070082. Remaja penggemar tayangan korea. Studi fenomenologis tentang remaja penggemar tayangan korea di komunitas hklcb dan bkc bandung., skripsi, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetaui pemaknaaan remaja terhadap gaya berpakaian yang ditampilkan tayangan korea, untuk mengetahui pemaknaan remaja terhadap bahasa yang digunakan dalam tayangan korea, untuk mengetahui pemaknaan remaja terhdapa gaya hidup yang ditampilkan tayangan korea, dan untuk mengetahui ketertarikannya terhadap tayangan korea.

Hasil dari penelitian ini adlaah pemaknaan remaja terhadap gaya berpakaian yang ditampilkan dalam tayangan korea menunjukan budaya serta karakter fashion korea, warna - warni yang nabrak, unik, penyesuaian terhadap cuaca, memiliki kemiripan dengan gaya berpakaian harajuku, serta lebih cocok digunakan orang korea.

(24)

kebijakan haji mandiri (non kbih), skripsi, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Bandung.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tanggapan jemaah haji yang mengikuti bimbingan haji mandiri terhadap kualitas pelayanan yang diberikan departemen agama dalam pelaksanaan program kebijakan mandiri.

Hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahawa tanggap terhdap kualitas pelayanan departemen agama dinilai cukup. Penilaian tersebut banyak dipengaruhi oleh minimnya fasilitas yang disediakan oleh pihak departemen agama. Penilaian terhadap indicator bukti langsung tersebut hendaknya menajdi acuan bagi departemen agama dalam menyelenggarakan program kebijakan dikemudian hari.

2.2 Landasan konseptual 2.2.1 Makna Haji

Haji adalah salah satu rukun Islam yang lima. Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan bagi kaum muslim yang mampu secara material, fisik, maupun keilmuan dengan berkunjung ke beberapa tempat di Arab Saudi dan melaksanakan beberapa kegiatan pada satu waktu yang telah ditentukan yaitu pada bulan Dzulhijjah.

(25)

Ka‟bah dan Mas‟a (tempat sa‟i), juga Padang Arafah (tempat wukuf), Muzdalifah (tempat mabit), dan Mina (tempat melontar jumroh).

Sedangkan yang dimaksud dengan waktu tertentu adalah bulan-bulan haji yaitu dimulai dari Syawal sampai sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Amalan ibadah tertentu ialah thawaf, sa‟i, wukuf, mazbit di Muzdalifah, melontar jumroh, dan mabit di Mina.

Haji mempunyai dua pengertian, yaitu menurut bahasa dan istilah syar‘i. Makna haji menurut istilah syar‘i ialah mengunjungi Baitul Haram untuk mengerjakan beberapa pekerjaan khusus seperti thawaf, sa‘i, wuquf di padang Arafah, dan lain-lain. Haji merupakan syariat masa lampau berdasarkan keterangan yang menjelaskan bahwa Adam AS telah mengerjakan haji dan para malaikat pun menyambutnya.

Kata al-hajj dalam bahasa arab adakalanya berbunyi al-hajju dan al-hijju

dan keduanya terdapat dalam al-Qur‟an. Sedangkan arti umroh menurut bahasa adalah berkunjung, dan menurut istilah syar‘i ialah mengunjungi Ka‘bah dengan

cara Khusus, disertai thawaf, sa‟i, dan mencukur rambut

2.2.2 Makna Umroh

(26)

Melaksanakan Umrah pada bulan Ramadhan sama nilainya dengan melakukan Ibadah Haji (Hadits Muslim).

Keutamaan haji atau umrah terdapat beberapa hadits shahih tentang keutamaan haji dan pahala umrah yang dapat menghilangkan keraguan bagi seseorang dalam melaksanakan ibadah haji atau umrah untuk mengharapkan pahala, rahmat dan maghfirah Allah SWT. Ibadah haji dan umrah juga berguna bagi kaum muslimin untuk memperkuat ukhuwah Islamiah menggalang solidaritas sosial, saling tolong menolong untuk kemaslahatan dunia dan akhirat.

Hukum dan Kedudukan haji. Haji adalah salah satu rukun islam yang tersebut dalam beberapa hadits shahih, dan ia merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap muslim sekali seumur hidup, dengan syarat-syarat yang akan diterangkan. Karena itu, jika ada seorang muslim yang mengingkarinya, ia adalah kufur.

2.2.3 Jenis - Jenis Haji

a. Haji Ifrad, artinya menyendiri

(27)

b. Haji Tamattu‟, artinya bersenang-senang

Pelaksanaan ibadah haji disebut tamattu‘ jika seseorang melaksanakan ibadah umrah dan haji di bulan haji yang sama dengan mendahulukan ibadah umroh. Artinya, ketika seseorang mengenakan pakaian ihram di miqat-nya, hanya berniat melaksanakan ibadah umrah. Dan jika ibadah umrahnya sudah selesai, lalu orang tersebut mengenakan ihram kembali untuk melaksanakan ibadah haji. c. Haji Qiran, artinya menggabungkan

Pelaksanaan ibadah haji disebut qiran jika seseorang melaksanakan ibadah haji dan umrah disatukan atau menyekaliguskan berihram untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah. haji qiran dilakukan dengan tetap berpakaian ihram sejak miqat makani dan melaksanakan semua rukun dan wajib haji dan umrah sampai selesai, meskipun mungkin akan memakan waktu lama.

2.2.4 Rukun dan Wajib Haji 2.2.4.1 Rukun haji:

Adapun rukun haji,antara lain: a.Ihram.

b.Thawaf Ziyarah (disebut juga dengan Thawaf Ifadhah).

c.Sa‟i.

d.Wuquf di padang Arafah.

Apabila salah satu rukun haji di atas tidak dilaksanakan maka hajinya batal. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa rukun haji hanya ada 2 yaitu:

(28)

menurut beliau, ihram adalah syarat sah haji dan sa‟i adalah yang wajib dilakukan dalam haji (wajib haji). Sementara Imam syafi‘i berpendapat bahwa rukun haji

ada 6 yaitu: Ihram, Thawaf, Sa‟i, Wuquf, Mencukur rambut, dan Tertib (berurutan).

2.2.4.2 Wajib dan Syarat haji: Wajib Haji antara lain:

a. Ihram dimulai dari miqat yang telah ditentukan. b. Wuquf di Arafah sampai matahari tenggelam. c. Mabit di Muzdalifah hingga lewat setengah malam. d. Melempar jumrah di Mina.

e. Mencukur rambut /Tahallul. f. Tawaf Wada.

Syarat-syarat Wajib Haji antara lain; a. Islam.

b. Berakal. c. Baligh. d. Mampu.

2.2.5 Rangkaian kegiatan ibadah Haji

(29)

sesuai miqatnya, kemudian berniat haji, dan membaca bacaan Talbiyah, yaitu mengucapkan ―Labbaikallahumma labbaik labbaika laa syarika laka labbaik.

Innal hamda wan ni‟mata laka wal mulk laa syarika lak..‖

Tanggal 9 Dzulhijjah, pagi harinya semua calon jamaah haji menuju ke padang Arafah untuk menjalankan ibadah wukuf. Kemudian jamaah melaksanakan ibadah wukuf, yaitu berdiam diri dan berdoa di padang Arafah hingga Maghrib datang. Tanggal 9 Dzulhijjah malam, jamaah menuju ke Muzdalifah untuk mabbit (bermalam) dan mengambil batu untuk melontar jumroh secukupnya.Tanggal 9 Dzulhijjah tengah malam (setelah mabit) jamaah meneruskan perjalanan ke Mina untuk melaksanakan ibadah melontar Jumroh.

Tanggal 10 Dzulhijjah, jamaah melaksanakan ibadah melempar Jumroh sebanyak tujuh kali ke Jumroh Aqobah sebagai simbolisasi mengusir setan. Dilanjutkan dengan tahalul yaitu mencukur rambut atau sebagian rambut. Jika jamaah mengambil nafar awal maka dapat dilanjutkan perjalanan ke Masjidil Haram untuk tawaf Haji (menyelesaikan Haji).

Sedangkan jika mengambil nafar akhir jamaah tetap tinggal di Mina dan dilanjutkan dengan melontar jumroh sambungan (Ula dan Wustha). Tanggal 11 Dzulhijjah, melempar jumrah sambungan (Ula) di tugu pertama, tugu kedua, dan tugu ketiga.

(30)

2.2.6 Persiapan Ibadah Haji

Beberapa hal yang perlu dipersiapkan sebelum menunaikan ibadah Haji: a. Membersihkan diri dari dosa dan kesalahan baik langsung kepada

Allah SWT, maupun kepada sesama manusia.

b. Karena ibadah Haji adalah ibadah fisik, maka perlu mempersiapkan mental untuk mengikuti seluruh rangkaian ibadah haji yang memerlukan stamina tinggi, keikhlasan dan kepasrahan kepada Allah SWT.

c. Mempersiapkan biaya, baik selama dalam perjalanan haji, maupun untuk nafkah keluarga yang ditinggalkan.

d. Melaksanakan kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan harta kekayaan, seperti zakat, nadzar, hutang, infaq dan shadaqah. e. Melaksanakan janji yang pernah diucapkan.

f. Menyelesaikan segala urusan yang berhubungan dengan keluarga yang akan ditinggalkan. Memohon do‘a restu kepada kedua orang

tua (jika masih hidup).

g. Mempersiapkan ilmu dan pengetahuan agama, dan mengikuti kegiatan manasik haji.

h. Mempersiapkan obat-obatan pribadi selama menjalankan ibadah haji.

(31)

Perlengkapan Pria

a. Kain Ihram dua stel

b. Baju sehari-hari secukupnya c. Ikat pinggang

d. Keperluan mandi

Perlengkapan Wanita

a. Mukena minimal 2 buah

b. Pakaian ihram (rok putih dan mukena atas putih) 2 stel c. Pakaian sehari-hari secukupnya

d. Kaos kaki secukupnya

2.2.7 Lokasi Utama Ibadah Haji dan Umroh a. Makkah Al Mukaromah

Di kota Makkah Al-Mukaromah inilah terdapat Masjidil Haram yang didalamnya terdapat Ka‘bah yang merupakan kiblat ibadah umat Islam sedunia. Dalam rangkaian perjalanan ibadah haji, Makkah menjadi tempat pembuka dan penutup ibadah haji.

b. Padang Arafah

(32)

kunjungi oleh jamaah yang sedang melaksanakan umrah namun bukan merupakan rukun umrah.

c. Kota Muzdalifah

Kota ini tidak jauh dari kota Mina dan Arafah. Kota Muzdalifah merupakan tempat jamaah calon haji melakukan Mabit (bermalam) dan mengambil batu untuk melontar Jumrah di Kota Mina.

d. Kota Mina

Kota Mina merupakan tempat berdirinya tugu (jumrah), yaitu tempat pelaksanaan melontarkan batu ke tugu (jumrah) sebagai simbolisasi tindakan Nabi Ibrahim ketika mengusir setan. Disana terdapat tiga jumrah yaitu Jumrah Aqabah, Jumrah Ula, dan Jumrah Wustha.

2.3 Landasan teoritis 2.3.1 Teori Konstruksi sosial

Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu tidak bisa terlepaskan dari bangunan teoritik yang telah dikemukakan oleh Peter L Berger dan Thomas Luckmann. Peter L Berger merupakan sosiolog dari New School for Social Reserach, New York, Sementara Thomas Luckman adalah sosiolog dari

University of Frankfurt. Teori konstruksi sosial, sejatinya dirumuskan kedua akademisi ini sebagai suatu kajian teoritis dan sistematis mengenai sosiologi pengetahuan.

(33)

Treatisein the Sociology of Knowledge”1. Publikasi buku ini mendapat sambutan luar biasa dari berbagai pihak, khususnya para ilmuan sosial, karena saat itu pemikiran keilmuan termasuk ilmu-ilmu sosial banyak didominasi oleh kajian positivistik. Berger dan Luckmann meyakini secara substantif bahwa realitas merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di seklilingnya, ―reality is socially constructed‖.

Tentu saja, teori ini berakar pada paradigma konstruktivis yang melihat realitas sosial sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu yang merupakan manusia bebas. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya dimana individu melalui respon-respons terhadap stimulus dalam dunia kognitif nya. Dalam proses sosial, individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya.

Dalam penjelasan Deddy N Hidayat, bahwa ontologi paradigma konstruktivis memandang realitas sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian, kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial.2. Melihat

1 Proses penyusunan buku oleh kedua sosiolog ini berlangsung kurang lebih 4 tahun dalam

rentang waktu 1962-1966. Bukunya pertama kali terbit tahun 1966. Lihat, Peter L Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality A Treatise in the Sociology of Knowledge, (New York: 1966). Sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa termasuk ke dalam Bahasa Indonesia, lihat Peter L Berger dan Thomas Luckman, Ta fsir Sosial atas Kenyataan, (Jakarta : LP3S, 1990).

2 Deddy Nu Hiadayat, Paradigma dan Perkemba ngan Penelitian Komunikasi dalam Jurnal

(34)

berbagai karakteristik dan substansi pemikiran dari teori konstruksi sosial nampak jelas, bahwa teori ini berparadigma konstruktivis.

Pemikiran Berger dan Luckmann tentu juga terpengaruh oleh banyak pemikiran ilmuan lain, baik yang langsung menjadi gurunya atau sekedar terpengaruh oleh pemikiran pendahulunya. Jika dirunut, dapat kita identifikasi bahwa Berger terpengarub langsung oleh gurunya yang juga tokoh fenomologi Alfred Schutz. Schutz sendiri merupakan murid dari Edmund Husserl—pendiri aliran fenomenologi di Jerman. Atas dasar itulah, pemikiran Berger dikatakan terpengaruh oleh pemikiran fenomenologi.

Memang tidak dapat disangkal bahwa pemikiran yang digagas Berger dan Luckmann merupakan derivasi perspektif fenomenologi yang telah memperoleh lahan subur baik di dalam bidang filsafat maupun pemikiran sosial. Aliran fenomenologi dikembangkan oleh Kant dan diteruskan oleh Hegel, Weber, Huserl, Schutz baru ke Berger dan Luckmann.3 Istilah sosiologi pengetahuan yang dilekatkan pada pemikiran mereka pun sebenarnya bukan hal yang baru ada, sebelumnya rintisan ke arah sosiologi pengetahuan telah diperkenalkan oleh Max Scheler dan Karl Manhein.

Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa pemikiran Berger dan Luckmann terpengaruh oleh pemikiran Schutzian tentang fenomenologi, Weberian tentang ―makna-makna subyeyektif‖, Durkheimian-Parsonian tentang ―struktur‖ Marxian tentang ―dialektika‖ serta Mead tentang ―interaksi simbolik‖.

3 Basrowi, Sukidin, Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro, (Surabaya : Insan

(35)

Dalam konteks itulah, Poloma menyimpulkan pembentukan realitas secara sosial sebagai sintesis antara strukturalisme dan interaksionisme. 4

a. Konstruksi Sosial: Pendefinisian Awal

Istilah konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality) didefinisikan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif.5

Asal usul kontruksi sosial dari filsafat Kontruktivisme yang dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glasersfeld, pengertian konstruktif kognitif muncul dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun apabila ditelusuri, sebenarnya gagasan-gagsan pokok Konstruktivisme sebenarnya telah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemologi dari Italia, ia adalah cikal bakal Konstruktivisme6.

Dalam aliran filsasat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak Socrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan akal budi dan id.7 Gagasan tersebut semakin lebih konkret lagi setelah Aristoteles mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu, subtansi, materi, esensi, dan sebagainya. Ia mengatakan bahwa, manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah

4 Margaret Poloma, Sosiologi Kontemporer, ed. (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1994) 5 Ibid.

6 Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Yogyakarta:Kanisius, 1997, hlm. 24 7

(36)

fakta8. Aristoteles pulalah yang telah memperkenalkan ucapannya ‗Cogito ergo

sum‟ yang berarti ―saya berfikir karena itu saya ada‖. Kata-kata Aristoteles yang terkenal itu menjadi dasar yang kuat bagi perkembangan gagasan-gagasan konstruktivisme sampai saat ini. Pada tahun 1710, Vico dalam „De Antiquissima

Italorum Sapientia‟, mengungkapkan filsafatnya dengan berkata ‗Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan‘. Dia menjelaskan bahwa ‗mengetahui‘ berarti ‗mengetahui bagaimana membuat sesuatu ‘ini berarti

seseorang itu baru mengetahui sesuatu jika ia menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Menurut Vico bahwa hanya Tuhan sajalah yang dapat mengerti alam raya ini karena hanya dia yang tahu bagaimana membuatnya dan dari apa ia membuatnya, sementara itu orang hanya dapat mengetahui sesuatu yang telah dikontruksikannya9. Sejauh ini ada tiga macam Konstruktivisme yakni konstruktivisme radikal; realisme hipotesis; dan konstruktivisme biasa10.

1. Konstruktivisme radikal hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran kita. Bentuk itu tidak selalu representasi dunia nyata. Kaum konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi mereka tidak merefleksi suatu realitas ontologism obyektif, namun sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari individdu yang mengetahui dan tdak dapat ditransfer kepada individu lain yang pasif karena itu konstruksi harus dilakukan sendiri

8 Ibid, 137-39

9 Suparno, hlm.24 10

(37)

olehnya terhadap pengetahuan itu, sedangkan lingkungan adalah saran terjadinya konstruksi itu.

2. Realisme hipotesis, pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki.

3. Konstruktivisme biasa mengambil semua konsekuensi konstruktivisme dan memahami pengetahuan sebagai gambaran dari realitas itu. Kemudian pengetahuan individu dipandang sebagai gambaran yang dibentuk dari realitas objektif dalam dirinya sendiri.

Dari ketiga macam konstruktivisme, terdapat kesamaan dimana

konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di dekitarnya. Individu kemudian membangun sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihat itu berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya, inilah yang oleh Berger dan Luckmann disebut dengan konstruksi sosial.

b. Asumsi Dasar Teori

Jika kita telaah terdapat beberapa asumsi dasar dari Teori Konstruksi Sosial Berger dan Luckmann. Adapun asumsi-asumsinya tersebut adalah:

1. Realitas merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuataan konstruksi sosial terhadap dunai sosial di sekelilingnya.

(38)

3. Kehidupan masyarakat itu dikonstruksi secara terus menerus

4. Membedakan antara realitas dengan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam kenyataan yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri. Sementara pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik.

c. Entry Concept

Berger dan Luckman mengatakan institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun pada kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subyektif yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolis yang universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupannya.

(39)

a. Objective reality, merupakan suatu kompleksitas definisi realitas (termasuk ideologi dan keyakinan ) serta rutinitas tindakan dan tingkah laku yang telah mapan terpola, yang kesemuanya dihayati oleh individu secara umum sebagai fakta.

b. Symblolic reality, merupakan semua ekspresi simbolik dari apa yang dihayati sebagai ―objective reality‖ misalnya teks produk industri media,

seperti berita di media cetak atau elektronika, begitu pun yang ada di film-film.

c. Subjective reality, merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan dikonstruksi melalui proses internalisasi. Realitas subjektif yang dimiliki masing-masing individu merupakan basis untuk melibatkan diri dalam proses eksternalisasi, atau proses interaksi sosial dengan individu lain dalam sebuah struktur sosial. Melalui proses eksternalisasi itulah individu secara kolektif berpotensi melakukan objectivikasi, memunculkan sebuah konstruksi objektive reality yang baru.11

Melalui sentuhan Hegel yakni tesis-antitesis-sintesis, Berger menemukan konsep untuk menghubungkan antara yang subjektif dan objektif melalui konsep dialektika, yang dikenal dengan eksternalisasi-objektivasi-internalisasi.

1. Eksternalisasi ialah penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia. ―Society is a human product‖.

11 Dedy N Hidayat, Konstruksi Sosial Industri Penyiaran : Kerangka Teori Mengamati

(40)

2. Objektivasi ialah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi. “Society is an objective reality”.

3. Internalisasi ialah individu mengidentifikasi diri di tengah lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial di mana individu tersebut menjadi anggotanya. ―Man is a social product‖ 12 .

Jika teori-teori sosial tidak menganggap penting atau tidak memperhatikan hubungan timbal balik (interplay) atau dialektika antara ketiga momen ini menyebabkan adanya kemandegan teoritis. Dialektika berjalan simultan, artinya ada proses menarik keluar (eksternalisasi) sehingga seakan-akan hal itu berada di luar (objektif) dan kemudian ada proses penarikan kembali ke dalam (internalisasi) sehingga sesuatu yang berada di luar tersebut seakan-akan berada dalam diri atau kenyataan subyektif.

Konstrusi sosialnya mengandung dimensi objektif dan subyektif. Ada dua hal yang menonjol melihat realitas peran media dalam dimensi objektif yakni pelembagaan dan legitimasi.

a. Pelembagaan dalam perspektif Berger terjadi mulanya ketika semua kegiatan manusia mengalami proses pembiasaan (habitualisasi). Artinya tiap tindakan yang sering diulangi pada akhirnya akan menjadi suatu pola yang kemudian bisa direproduksi, dan dipahami oleh pelakunya sebagai pola yang dimaksudkan itu. Pelembagaan terjadi apabila suatu tipikasi yang timbal-balik dari tindakan-tindakan yang sudah terbiasa bagi berbagai tipe

12

(41)

pelaku. Dengan kata lain, tiap tipikasi seperti itu merupakan suatu lembaga.13

b. Sementara legitimasi menghasilkan makna-makna baru yang berfungsi untuk mengintegrasikan makna-makna yang sudah diberikan kepada proses-proses kelembagaan yang berlainan. Fungsi legitimasi adalah untuk membuat obyektivasi yang sudah dilembagakan menjadi tersedia secara obyektif dan masuk akal secara subyektif. Hal ini mengacu kepada dua tingkat, pertama keseluruhan tatanan kelembagaan harus bisa dimengerti secara bersamaan oleh para pesertanya dalam proses-proses kelembagaan yang berbeda. Kedua keseluruhan individu (termasuk di dalam media ), yang secara berturut-turut melalui berbagai tatanan dalam tatanan kelembagaan harus diberi makna subyektif. Masalah legitimasi tidak perlu dalam tahap pelembagaan yang pertama, dimana lembaga itu sekedar fakta yang tidak memerlukan dukungan lebih lanjut . Tapi menjadi tak terelakan apabila berbagai obyektivasi tatanan kelembagaan akan dialihkan kepada generasi baru. Di sini legitimasi tidak hanya sekedar soal ―nilai-nilai‖ ia juga selalu mengimplikasikan ―pengetahuan‖14

Jika pelembagaan dan legitimasi merupakan dimensi obyektif dari realitas, maka internalisasi merupakan dimensi subyektinya. Analisis Berger menyatakan, bahwa individu dilahirkan dengan suatu pradisposisi ke arah sosialitas dan ia menjadi anggota masyarakat. Titik awal dari proses ini adalah internalisasi, yaitu suatu pemahaman atau penafsiran yang langsung dari peristiwa

13Ibid, 75-76

(42)

objektif sebagai suatu pengungkapan makna. Kesadaran diri individu selama internalisasi menandai berlangsungnya proses sosialisasi.

Gagasan konstuksi sosial telah dikoreksi oleh gagasan dekonstruksi yang melakukan interpretasi terhadap teks, wacana, (1978) yang terkenal dengan gagasan-gagasan deconstruction. Gagasan ini kemudian melahirkan tesis-tesis keterkaitan antara kepentingan (interest) dan metode penafsiran ( interpretation) atas realitas sosial15. Dalam dekonstruksi, kepentingan tertentu selalu mengarahkan kepada pemilihan metode penafsiran.Derrida (1978) kemudian menjelaskan,bahwa interpretasi yang digunakan individu terhadap analisis sosial yang bersifat sewenang-wenang.

Gagasan-gagasan Derrida itu sejalan dengan gagasan Habermas (1972) bahwa terdapat hubungan strategis antara pengetahuan manusia (baik empirik-analiti, historis hermeneutik, maupun kritis) dengan kepentingan (tekhnis,praktis, atau yang bersifat emansifatoris) walautidak dapat disangkal bahwa yang terjadi juga bisa sebaliknya bahwa pengetahuan adalah produk kepentingan 16.

Menurut Berger dan Luckmann pengetahuan yang dimaksud adalah realitas sosial masyarakat,seperti konsep,kesadaran umum, wacana publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial, realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objectivasi, dan internalisasi. Menurut Berger dan Luckmann, konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan.

15 Heru Nugroho, Konstruksi Sara, Kemajemukan dan Demokrasi, UNISIA,

No.40/XXII/1999. hlm.123

(43)

Jika konstruksi sosial adalah konsep, kesadaran umum dan wacana publik, maka menurut Gramsci, negara melalui alat pemaksa, seperti birokrasi, administrasi, maupun militer ataupun melalui supremasi terhadap masyarakat dengan mendominasi kepemimpinan moral dan intelektual secara kontektual. Kondisi dominasi ini kemudian berkembang menjadi hegemoni kesadaran individu pada setiap warga masyarakat sehingga wacana yang diciptakan oleh negara dapat diterima oleh masyarakat sebagai akibat dari hegemoni itu.

Sebagaimana dijelaskan oleh Nugroho bahwa menurut Marcuse (1964), realitas penerimaaan wacana yang diciptakan oleh negara itu disebut ‖Desublimasi represif‖. Orang merasa puas dengan wacana yang diciptakan

oleh negara walaupun implikasinya dari wacana itu menindas intelektual dan kultural masyarakat.17

Gejala seperti di atas tidak lain sebagai produk dari keberadaan rezim pemaknaan (regime of significance) yang cenderung melakukan dominasi dan hegemoni makna atas berbagai peristiwa, pengetahuan, kesadaran, dan wacana.rezim dimaksud adalah sekelompok orang yang memiliki kekuasaan formal sebagai representasi dari penguasa negara. Gagasan-gagasan Berger dan Luckman tentang konstruksi sosial, bersebrangan dengan gagasan Derrida ataupun Habermas dan Gramsci.Dengan demikian, gagasan-gagasan membentuk dua kutup dalam satu garis linier atau garis vertikal. Kajian-kajian mengenai realitas sosial dapat dilihat dengan cara pandang Derrida dan Habermas, yaitu dekonstruksi sosial atau Berger dan Luckmann, yaitu menekankan pada

(44)

konstruksi sosial. Kajian dekonstruksi menempatkan konstruksi sosial sebagai objek yang didekonstruksi, sedangkan kajian konstruksi sosial menggunakan dekonstruksi sebagai bagian analisisnya tentang bagaimana individu memaknakan konstruksi sosial tersebut. Dengan demikian, maka dekonstruksi dan konstrukksi sosial merupakan dua konsep gagasan yang senantiasa hadir dalam satu wacana perbincangan mengenai realitas sosial.

Tahap objektivasi produk sosial terjadi dalam dunia intersubyektif masyarakat yang dilembagakan. Pada tahap ini sebuah produk sosial berada pada proses institusionalisasi, sedangkan individu oleh Berger dan Luckman mengatakan, memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur dari dunia bersama. Objektivasi ini bertahan lama sampai melampaui batas tatap muka dimana merka dapat dipahami secara langsung.

Dengan demikian individu melakukan objektivitas terhadap produk sosial, baik penciptanya maupun individu lain. Kondisi ini kondisi ini berlangsung tanpa harus mereka saling bertemu. Artinya, objectivasi itu bisa terjadi tanpa melalui penyebaran opini sebuah produk sosial yang bekembang di masyarkat melalui diskursus opini masyarakat tentang produk sosial, tanpa harus terjadi tatap muka antara individ dan pencipta produk sosial itu.

(45)

pemaknaan subjectif,maka objectivasi juga dapat digunakan sebagai tanda, meskipun semula tidak dibuat untuk maksud itu.18

Sebuah wilayah penandaan (signifikasi) menjembatani wilayah-wilayah kenyataan, dapat didefinisikan sebagai sebuah simbol dan modus linguistik, dengan apa trensedensi seperti itu dicapai,dapat juga dinamakan bahasa simbol. Kemudian pada tingkat simbolisme, signifikasi linguistik, terlepas secara maksimal dari ‖disini dan sekarang‖ dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, bahasa memegang peranan penting dalam objectivasi terhadap tanda-tanda,dan bahkan tidak saja dapat memasuki wilayah de facto, melainkan juga a priory yang berdasarkan kenyataan lain,tidak dapat dimasuki dalam pengalaman sehari-hari,bagaikan kehadiran kawanan raksasa dari dunia lain. Agama, Filsafat, Kesenian, dan ilmu pengetahuan, secara historis merupakan sistem-sistem simbol paling penting semacam ini.19

Bahasa merupakan alat simbolis untuk melakukan signifikasi, yang mana logika ditambahkan secara mendasar kepada dunia sosial yang di objectivasi. Bangunan legitimasi disusun di atas bahasa dan menggunakan bahasa sebagai instrumen utama. ‖Logika‖ yang dengan cara itu, diberikan kepada tatanan

kelembagaan ,merupakan bagian dari cadangan pengetahuan masyarakat( Social stock of knowledge) dan diterima sebagai sudah sewajarnya 20.

Bahasa oleh Berger dan Luckmann menjadi tempat penyimpanan kumpulan besar endapan-endapan kolektif,yang bisa diperoleh secara monotetik, artinya, sebagai keseluruhan yang kohesif dan tanpa merekonstruksikan lagi

18Berger dan Luckmann, 1990: 50 19

Berger dan Luckmann, 1990, hlm.57

(46)

proses pembentukannya semula. Bahasa digunakan untuk memberi signifikasi pada makna-makna yang dipahami sebagai pengetahuan yang relevan dengan masyarakatnya, pengetahuan itu dianggap relevan bagi semua orang dan sebagian lagi hanya relevan bagi tipe-tipe orang tertentu saja.

Dalam kehidupan sehari-hari pengetahuan seseorang menuntun tindakan yang spesifik menjadi tipikasi dari beberapa anggota masyarakat.Tipikasi itu kemudian menjadi dasar membedakan orang di dalam masyaraktnya. Agar bentuk-bentuk tindakan dapat ditipikasi, maka bentuk-bentuk tindakan itu harus memiliki arti yang objektif yang pada gilirannya memerlukan suatu objectivasi linguistik. Objectivasi linguistik yang dimaksud, harus ada kosakata yang mengacu kepada bentuk-bentuk tindakan itu. Objectivasi linguistik terjadi dalam dua hal, yaitu dimulai dari pemberian tanda verbal yang sederhana sampai pada pemasukannya ke dalam simbol-simbol yang kompleks. Dalam konteks ini selalu hadir dalam pengalaman dan pada suatu saat akan sampai kepada sebuah representasi yang oleh Berger dan Luckmann dikatakan sebagai par exellence.

2.3.2 Perspektif Interaksi simbolik

Teori interaksi simbolik menekankan pada hubungan antar simbol dan interaksi. Ralph Larosa dan Donal C.Reitzes (1993) mengatakan bahwa interaksi simbolik adalah ―pada intinya adalah sebuah kerangkan referensi untuk

(47)

mengenai saling ketergantungan antar individu dan masyarakat. Pada kenyataanya SI membentuk sebuhah jembatan antar teori yang berfokus pada individu-individu dan teori-teori yang berfokus pada kekuatan sosial. (hal 96). (West&Turner. 2008. hal 97)

a. Sejarah Interaksi Simbolik

Para tetua intelektual dari Symbolic interaction (SI) adalah ahli pragmatis pada awal abad 20, seperti John Dewey dan William James. Para ilmuwan pragmatis ini percaya bahwa realitas bersifat dinamis, dan ide ini bukan merupakan ide yang popular pada masa itu. Dengan kata lain, mereka mempunyai keyakinan ontologis yang berbeda dibandingkan banyak imuwan terkemuka lainnya pada saat itu. Symbolic interaction (SI) lahir pada dua universitas yang berbeda University Of Lowa dan University Of Cicago. Ini akan mengambil yang mahzab Cicago oleh yang dikemukakan oleh George Herbert Mead dan dijabarkan oleh Blumer. (West & Turner.2008, 98)

b. Tema Dan Asumsi Teori Interaksi Simbolik

Orang tergerak untuk bertindak berdasarkan makna yang diberikannya pada orang, benda, dan peristiwa. Makna-makna ini diciptakan dalam bahasa yang digunakan orang baik untuk berkomunikasi dengan orang lain maupun dengan dirinya sendiri, atau pikiran pribadinya. Bahasa memungkinkan orang untuk mengembangkan perasaan mengenai diri dan untuk berinteraksi dengan orang lainnya dalam sebuah komunitas. (West & Turner.2008, 98).

(48)

luas, akan dijelaskan secara detail tema-tema teori ini dan, dalam prosesnya, dijelaskan pula kerangka asumsi teori ini. Raplh larossa dan Donald C. Reitzes

(1993) telah mempelajari teori interaksi simbolik yang berhubungan dengan kajian mengenai keluarga. Mereka mengatakan bahwa tujuh asumsi mendasar SI dan bahwa asumsi-asumsi ini memperlihatkan tiga tema besar:

1. Pentingnya makna bagi perilaku 2. Pentingnya konsep mengenai diri

3. Hubungan anatar individu dengan masyarakat (West & Turner.2008, 98)

c. Pentingnya Makna Bagi Prilaku Individu

Teori interaksi simbolik berpegang bahwa individu membentuk makna melalui proses komunikasi karena makna tidak bersifat instrinsik terhadap apapun. Dibutuhkan konstruksi interpretif diantara orang-orang untuk menciptakan makna. Bahkan, tujuan dari interaksi, menurut SI, adalah untuk menciptakan makna yang sama. Hal ini penting yang sama berkomunikasi akan menjadi sulit atau bahkan tidak mungkin. Menurut larossa dan Reitzes, tema ini mendukung tiga asumsi Symbolic interaction (SI) yang diambil dari karya Herbert Blumer (1969), manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada mereka, asumsi-asumsi ini adalah sebagai berikut:

(49)

c. Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada mereka, asumsi ini menjelaskan perilaku sebagai suatu rangkaian pemikiran dan perilaku yang dilakukan secara sadar antar rangsangan dan respons orang berkaitan dengan rangsangan tersebut.

d. Makna diciptakan dalam interaksi antarmanusia, Mead menekankan dasar intersubjektif dari makna. Makna dapat ada, menurut Mead, hanya ketika orang-orang memiliki interpretasi yang sama mengenai simbol yang mereka pertukarkan dalam interaksi.

Makna dimodifikasi melalui proses interpretif Blumer menyatakan bahwa proses interpretif ini memiliki dua langkah. Pertama, para pelaku menentukan benda-benda yang mempunayi makna. Langkah kedua melibatkan sipelaku untuk memilih, mengecek, dan melakukan transformasi makna didalam konteks dimana mereka berbeda. (Turner & Wetzz. 2008: 102)

d. Hubungan antara individu dan masyarakat

Konsep penting dari interkasi simbolik menurut Mead adalah mind, self, society.

a. Pikiran

(50)

Dengan menggunakan bahasa dan interaksi dengan orang lain, kita mengembangkan apa yang dikatakan mead sebagai pikiran, dan ini membuat kita mampu menciptakan setting interior bagi masyarakat. Pikiran menciptakan dan merefleksikan dunia sosial. Terikat dengan konsep pikiran adalah pemikiran, yang dinyatakan oleh Mead sebagai percakapan didalam diri sendiri. Mead berpegang teguh bahwa tanpa rangsangan sosial dan interaksi dengan orang lain, orang tidak akan mampu mengadakan pembicaraan dalam diriya sendiri atau mepertahankan pemikirannya.

b. Diri

Mead mendefinisikan diri sebagai kemampuan untuk mereflesikan diri kita sendiri dari perspektif orang lain. Artinya kita akan mampu menjadi subjek atau objek bagi dirinya sendiri. Sebagai subjek kita bertindak, dan sebagi objek, kita mengamati diri kita sendiri bertindak. Mead menyebut subjek, atau diri yang bertindak, sebagai I dan objek, atau diri yang mengamati adalah Me. I bersifat spontan, impulsive, dan kreatif, Me lebih reflektif .

c. Masyarakat

(51)
(52)

41 3.1 Metodelogi Penelitian

3.1.1 Pendekatan Penelitian

(53)

penelitian alami, pikirkan, dan rasakan. Dalam penelitian kualitatif tidak menggunkan teori, tetapi teori hanya digunakan sebagai kisi-kisi, acuan, bukan sebagai alat untuk mengukur atau menaklukan data. Karena itu penlitian kualitatif lebih menekankan proses dan makna ketimbang kuantitas, frekuensi atau intensitas (yang secara matematis dapat diukur). Penelitian kualitatif kesimpulannya bersifat tentative, kesimpulan tersebut dapat berubah-ubah sejalan dengan bertambahnya data yang diperoleh.

Penelitian yang menggunakan metode kualitatif ini diharapkan dapat menghasilkan suatu penelitian yang menyeluruh tentang Konstruksi Makna Haji Mandiri bagi Jamaah Haji di Kota Bandung. Penggunaan metode penelitian kualitatif dalam konteks penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang sifatnya umum terhadap kenyataan sosial dari perspektif partisipan, yaitu pemahaman secara terperinci dan mendalam tentang aktivitas komunikasi interpersonal. Pemahaman tersebut tidak ditentukan terlebih dahulu, tetapi diperoleh setelah melakukan analisis terhadap kenyataan atau fenomena yang menjadi fokus penelitian, dan kemudian ditarik suatu kesimpulan berupa pemahaman dari kenyataan yang telah dijabarkan tersebut. Dan hasil dari penelitian kualitatif ini diharapkan dapat menghasilkan data seputar Konstruksi Makna Haji Mandiri bagi Jamaah Haji di Kota Bandung.

3.1.2 Desain Penelitian

(54)

kualitatif bertujuan mempertahankan bentuk dan isi perilaku manusia dan menganalisis kualitas-kualitasnya. Pendekatan ini bertujuan untk memperoleh pemahaman dan menggambarkan realitas yang kompleks. (Nasution,1998:3). Kekuatan fenomenologi terletak pada kemampuannya untuk membantu peneliti memasuki bidang persepsi orang lain, guna memandang kehidupan sebagaimana dilihat oleh orang-orang tersebut.

Jadi fenomenologi menjadikan pengalaman hidup yang sesungguhnya sebagai data dasar dari realitas. Dengan mengutip pendapat Richard E Palmer, littlejohn lebih jauh menjelaskan bahwa fenomenologi berarti membiarkan segala sesuatu menjadi nyata sebagaimana aslinya, tanpa memaksakan kategori-kategori peneliti terhadapnya.

(55)

Dengan pendekatan fenomenologi akan mampu memasuki sudut pandang orang lain, dan berupaya memahami mengapa para penyadang tuna rungu menjalani hidupnya dengan cara seperti itu. Fenomenologi bukan hanya memungkinkan untuk melihat dari perspektif para partisipan, metode ini juga akan mencoba memahami kerangka yang telah dikembangkan oleh masing-masing individu. Dan dari waktu kewaktu, hingga membentuk tanggapan mereka terhadap peristiwa dan pengalaman dalam kehidupannya. Fenomenologi menyediakan seperangkat alat bagi kita untuk mengesampingkan gagasan-gagasan awal mengenai suatu peristiwa atau pengalaman, dengan tujuan untuk memahaminya dari dunia tempat para partisipan berada.

Selain itu dengan pengalaman para key informant yang memaknai Jemaah haji mandiri secara berbeda-beda tergantung dari pengalaman yang dirasakan masing-masing individu. Peneliti berusaha memahami bagaimana para Jemaah haji memaknai proses berlangsungnya ibadah haji, bagaimana jamaah haji memaknai rombongan ibdah haji serta bagaimana mereka memaknai bimbingan ibadah haji. Peneliti tertarik untuk mengkaji pemaknaan diri haji mandiri oleh jamaah haji di Kota Bandung, daintara para Jemaah haji mandiri. Setiap individu dari dengan berbagai kepentingan memiliki makna tersendiri pada saat manasik dan pada saat ibadah haji berlangsung.

3.1.3 Subjek Penelitian

(56)

penelitian ini, dibutuhkan pihak-pihak yang terlibat dan berkepentingan di bidang ini sebagai sumber data yang disebut dengan key informan. Yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah: jamaah haji mandiri Kota Bandung. Berdasarkan data dari Departemen Keagamaan Kota Bandung untuk daerah Bandung Selatan, jamaah menengah keatas yang paling banyak yang mengikuti program haji mandiri adalah daerah Batununggal, karena fokus subjek penelitian pada penelitian ini adalah jamaah yang status sosialnya menengah keatas.

3.1.4 Penentuan informan

Memilih informan yang dapat diajak kerjasama dan terbuka cukup sulit apalagi bagi para informan yang status sosialnya menengah keatas, mereka cenderung sibuk sehingga waktu yang disiapkan sangat sedikit. Penulis memilih informan yang betul-betul ingin berkontribusi pada penelitian ini dan memilih jamaah haji yang mampu memberikan pandangan akan pengalamannya pada saat sedang melakukan ibadah haji. Dengan waktu lapangan lebih dari 3 bulan, penulis mendapatkan 7 orang yang bersedia diwawancara mendalam.

3.1.5 Teknik Pengumpulan Data

Ada empat cara yang akan dilakukan penulis dalam melakukan penelitian ini.

1. Wawancara.

(57)

diteliti, tetapi juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam. Tehnik pengumpulan data ini mendasarkan diri pada laporan tentang diri sendiri atau self report, atau setidak-tidaknya pada pengetahuan atau keyakianan pribadi (Sugiyono, 2005:72). Alasan dari pemilihan tehnik ini adalah: fleksibilitas, spontasitas jawaban langsung responden, kelengakapan dan waktu. Bentuk wawancara yang akan digunakan adalah wawancara terstruktur dan tidak terstruktur pada individu dan lingkungan sosialnya. Penggunaannya nanti akan sangat tergantung pada situasi dan fenomena yang dihadapi.

Tujuan dari pemilihan wawancara menurut Guba and Lincoln (1985: 266) dalam moleong adalah untuk merekonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain: merekonstruksi kebulatan-kebulatan demikian sebagai yang dialami dimasa lalu, memproyeksikan kebulatan-kebulatan sebagai yang telah diharapakan untuk dialami pada masa yang akan datang: memverifikasi, mengubah, dan memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai pengecekan anggota.

2. Observasi Partisipatif

Dalam upaya untuk benar-benar memahami fenomena yang dialami dan bagaimana upaya individu menjelaskan fenomena yang terjadi pada dirinya, maka penulis merasa observasi partisipatoris sangat dibutuhkan.

3. Studi Pustaka

(58)

gejala-gejala empiris yang didapat dari lapangan berkaitan dengan penelitian. Teknik ini terutama digunakan untuk mendapatkan pemahaman lebih lanjut bagi penulis yang dapat membantu mengerti dan memahami permasalahan yang terkait dengan penelitian dan usaha untuk merumuskan hasil penelitian.

4. Studi Dokumentasi

Merupakan tinjauan terhadap dokumenatsi yang berkaitan dengan penelitian yang dapat memberi masukan untuk menggambrakan proses komunikasi yang berlangsung. penggunaan dokumen ini berguna untuk mendukung dan menambah bukti sumber lain. Studi dokumentasi dilakukan terhadap artikel-artikel mengenai ibadah haji.

3.1.6 Teknik Analisis Data

(59)

Dalam menganalisis Konstruksi Makna Haji Mandiri bagi Jamaah Haji di Kota Bandung, peneliti melakukannnya berdasarkan tahap-tahap sebagaimana diutarakan Creswell (1998:63:144) sebagai berikut:

a. Deskripsi; memaparkan fakta-fakta mengenai kasus, sebagaimana terekam atau tercatat oleh peneliti.

b. Analisis tema atau isu; menganalisis data yang merujuk kepada tema atau isu yang spesifik, dilakukan dengan mengumpulkan informasi dan mengelompokannya menjadi beberapa kategori. Dalam hal ini peneliti menyusun daftar pertanyaan berdasarkan fokus penelitian mengenai pemaknaan diri haji mandiri oleh jamaah haji di kota bandung. Analisis tema merujuk pada pertanyaan penelitian.

c. Penonjolan, meliputi pemahaman peneliti terhadap data dan interpretasi terhadapnya. Hal ini dapat dilakukan melalui pandangan personal peneliti ataupun dengan bantuan teori dari literatur (Creswell:1988:249) dengan demikian penonjolan dilakukan dengan mengmbangkan hasil eksplorasi pada fokus penelitian dari interpretasi antar data yang diperoleh dilapangan dengan data literatur.

(60)

3.1.7 Validitas dan keabsahan data

Uji keabsahan data dalam penelitian, sering hanya ditekankan pada uji validitas dan realibitas. Dalam penelitain kualitatif, temuan atau data dapat dinyatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang sesuangguhnya terjadi pada objek yang diteliti.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan uji kredibilitas untuk menguji keabsahan data. Uji kredibilitas data yaitu menggunakan metode triangulasi dan member check.

a. Triangulasi

Triangulasi dalam pengujian ini dilakukan dengan pengecekan data dari berbagai sumber yang berbeda. Triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang diperoleh melalui beberapa sumber. Triangulasi sumber dilakukan terhadap narasumber yang berhubungan langsung dengan masalah yang akan diteliti yakni para Jemaah haji. Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif (Patton 1987: 331). Hal itu dapat dicapai dengan jalan:

Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara; 1. Membandingkan hasil pengamatan dengan wawancara dengan orang

yang ahli

(61)

b. Member check

Member check adalah proses pengecekan data yang diperoleh peneliti kepada para jemaah haji mandiri. Tujuan member check adalah untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh oleh peneliti terhadap analisis makna ibadah haji.

3.1.8 Lokasi dan Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan pada saat pra penelitian, penulisan usulan penelitian, persiapan penelitian, dan pengumpulan data.

3.2 Objek Penelitian

Objek penelitian adalah variable penelitian, yaitu sesuatu yang merupakan inti dari problematika penelitian. (Arikunto, 2000:29). Objek penelitian dalam penelitian ini adalah Jamaah Haji di Kecamatan Batu Nunggal Bandung 2011.

3.2.1 Sejarah Kementerian Agama

(62)

falsafah negara Pancasila, UUD 1945, GBHN, dan buku Repelita serta memberi jiwa dan warna pada pidato-pidato kenegaraan.

Dalam pelaksanaan pembangunan nasional semangat keagamaan tersebut menjadi lebih kuat dengan ditetapkannya asas keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa sebagai salah satu asas pembangunan. Hal ini berarti bahwa segala usaha dan kegiatan pembangunan nasional dijiwai, digerakkan dan dikendalikan oleh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai nilai luhur yang menjadi landasan spiritual, moral dan etika pembangunan.

Secara historis benang merah nafas keagamaan tersebut dapat ditelusuri sejak abad ke V Masehi, dengan berdirinya kerajaan Kutai yang bercorak Hindu di Kalimantan melekat pada kerajaan-kerajaan di pulau Jawa, antara lain kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat, dan kerajaan Purnawarman di Jawa Tengah.

Pada abad ke VIII corak agama Budha menjadi salah satu ciri kerajaan Sriwijaya yang pengaruhnya cukup luas sampai ke Sri Lanka, Thailand dan India. Pada masa Kerajaan Sriwijaya, candi Borobudur dibangun sebagai lambang kejayaan agama Budha. Pemerintah kerajaan Sriwijaya juga membangun sekolah tinggi agama Budha di Palembang yang menjadi pusat studi agama Budha se-Asia Tenggara pada masa itu. Bahkan beberapa siswa dari Tiongkok yang ingin memperdalam agama Budha lebih dahulu beberapa tahun membekali pengetahuan awal di Palembang sebelum melanjutkannya ke India.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan ketiga resume di atas yaitu mengenai nilai, motif dan pengalaman maka ditarik kesimpulan mengenai makna keperawanan bagi mahasiswi tidak perawan di

(Studi Deskriptif Mengenai Makna Komunikasi Non Verbal Helm Minor Fighters Bagi Para Penggunanya Di Kota

Apakah kualitas pelayanan ibadah haji yang dilakukan oleh Kementerian Agama Kota Ternate tahun 2015-2016 sudah memenuhi kepuasan jamaah haji2. Kementrian Agama RI, “Peningkatan

Ditinjau dari dimensi empati/empathy jamaah haji Kota Pangkalpinang tahun 2011/1432 H dalam menunaikan kewajibannya belum mendapatkan kepuasan terhadap pelayanan pemerintah...

Seiring berjalanya waktu dengan semakin bertambahnya calon jamaah haji yang mengikuti bimbingan manasik haji maka YASMA mengikuti saran dari Kantor Departemen

4.4.2 BANYAKNYA JEMAAH HAJI MENURUT KECAMATAN DAN JENIS KELAMIN DI KOTA BANDUNG TAHUN 2014 NUMBER OF HAJI PILGRIM BY DISTRICT AND SEX IN BANDUNG CITY

Tabel tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar jamaah haji di Kabupaten Jepara merasakan sangat puas terhadap pelayanan KBH, terutama dalam pelayanan bimbingan manasik di tanah

Berdasarkan latar belakang yang sudah peneliti paparkan diatas terkait fenomena kegiatan khuruj fi sabilillah oleh Jamaah Tabligh yang mempengaruhi kehidupan