KARAKTERISTIK ARANG AKTIF TEMPURUNG BIJI
NYAMPLUNG (
Calophyllum inophyllum
Linn) DAN
APLIKASINYA SEBAGAI ADSORBEN MINYAK NYAMPLUNG
SANTIYO WIBOWO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Karakteristik Arang Aktif Tempurung Biji Nyamplung (Calophyllum inophyllum Linn) dan Aplikasinya Sebagai Adsorben Minyak Nyamplung adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Agustus 2009
Santiyo Wibowo
SANTIYO WIBOWO. The Properties of Activated Carbons from Nyamplung Shell (Calophyllum inophyllum Linn) as Adsorbent of Nyamplung Oil. Under direction of WASRIN SYAFII and GUSTAN PARI
The waste of nyamplung shell could be converted to be activated carbons as gaseous and liquid adsorbent. Nyamplung shell was carbonized into charcoal, then activated by using 0%, 5% and 10% H3PO4 at two temperatures (700 and 800oC) and
two duration (60 and 120 minutes). The nyamplung shell, charcoal and activated carbons structure were analized by using infrared spectrometer, X-ray difractometer (XRD), scaning electron microscope (SEM), and GCMS Pyrolisis. The quality of charcoal and activated carbons were tested by using SNI 01-1682-1996 and SNI 06-3703-1995. The optimum activated carbons was applied as adsorbent for purification of nyamplung oil at four levels; 5, 10, 15, 20% and 0% (control). The result showed that carbonization and activation caused alteration of functional group, pore opening, chemical reduction, and increasing of cristalinity degree of the charcoal and activated carbons. The optimum condition to produced activated carbons were soaking in H3PO4 10% at temperature 700 oC for 120 minutes. The
better treatment for purification of nyamplung oil was by using 20% activated carbons.
SANTIYO WIBOWO. Karakteristik Arang Aktif Tempurung Biji Nyamplung (Calophyllum inophyllum Linn) dan Aplikasinya Sebagai Adsorben Minyak Nyamplung. Dibimbing oleh WASRIN SYAFII dan GUSTAN PARI.
Arang aktif merupakan salah satu bahan yang diperlukan industri dalam proses poduksi, baik industri pangan maupun non pangan. Arang aktif digunakan sebagai bahan penjerap (adsorbsi) untuk menghilangkan bau, gas beracun, dan warna, atau sebagai bahan penyaring/penjenih air, pemurni dan pemucat, misalnya pada industri pemurnian gula, gas, minyak dan lemak, minuman, pengolahan pulp, pupuk, kimia, dan farmasi.
Tempurung nyamplung merupakan limbah dari pengusahaan minyak biji nyamplung yang belum digali pemanfaatannya. Salah satu kemungkinan pemanfaatannya adalah dikonversi menjadi arang aktif yang akan diaplikasikan pada penjernihan minyak nyamplung. Saat ini minyak nyamplung hanya dimanfaatkan sebagai bahan campuran pembuatan batik dan batu bata atau sebagai bahan bakar alternatif. Di pihak lain minyak nyamplung mempunyai potensi sebagai bahan obat dan kosmetik. Untuk memperoleh minyak yang berkualitas baik terutama sebagai bahan obat dan kosmetik, minyak perlu dimurnikan terlebih dahulu. Pemurnian bertujuan untuk menghilangkan rasa, bau, warna, kotoran, dan memperpanjang umur simpan. Salah satu cara pemurnian minyak adalah menggunakan bahan penyerap arang aktif.
Pada penelitian ini dilakukan pengkajian yang bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik arang aktif tempurung biji nyamplung, mendapatkan kondisi yang optimal dalam pembuatan arang aktif tempurung biji nyamplung, dan mengetahui pengaruh arang aktif terhadap sifat fisiko-kimia minyak nyamplung.
Tempurung biji nyamplung dikarbonisasi pada suhu 500 oC selama 5 jam. Arang yang dihasilkan kemudian diberi perlakuan perendaman dengan 0, 5 dan 10% H3PO4, selanjutnya diaktivasi pada suhu 700 dan 800 oC, selama 60 dan 120 menit.
tempurung, arang dan arang aktif nyamplung. Ini dilihat dari perubahan gugus fungsi, derajat kristalinitas, penampakan permukaan, perubahan unsur dan senyawa kimia.
Kondisi optimal untuk memproduksi arang aktif tempurung nyamplung dihasilkan pada proses menggunakan aktivator H3PO4 10%, suhu aktivasi 700 oC dan
lama aktivasi 120 menit. Arang aktif tersebut sudah memenuhi persyaratan SNI 06-3703-1995. Penggunaan arang aktif tempurung biji nyamplung berpengaruh nyata terhadap kadar air, bilangan asam, bilangan iod, bilangan peroksida dan kejernihan minyak nyamplung tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap bilangan penyabunan dan iod. Arang aktif sebesar 20% memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya karena menghasilkan minyak dengan kadar air, bilangan asam, peroksida terendah, kejernihan tertinggi, dan meningkatkan pH minyak.
© Hak cipta milik IPB tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar pihak IPB.
NYAMPLUNG (
Calophyllum inophyllum
Linn) DAN
APLIKASINYA SEBAGAI ADSORBEN MINYAK NYAMPLUNG
SANTIYO WIBOWO
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Science
pada Mayor Ilmu Teknologi Hasil Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Karakteristik Arang Aktif Tempurung Biji Nyamplung (Calophyllum inophyllum Linn) dan Aplikasinya Sebagai Adsorben Minyak Nyamplung
Nama : Santiyo Wibowo NRP : E251070084
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr Dr. Gustan Pari, M.Si, APU
Ketua Anggota
Diketahui:
Kordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Teknologi Hasil Hutan
Dr. Ir. Dede Hermawan, M.Sc Prof.Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT, atas Rahmat dan Ridho-Nya, sehingga penulis dapat menyelesakan karya ilmiah berjudul Karakteristik Arang Aktif Tempurung Biji Nyamplung (Calophyllum inophyllum Linn) dan Aplikasinya Sebagai Adsorben Minyak Nyamplung yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Teknologi Hasil Hutan, Departemen Hasil Hutan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Selama persiapan dan pelaksaaan penelitian sampai selesainya karya ilmiah ini, penulis banyak memperoleh bantuan dan sumbangan pemikiran dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih dengan setulus hati dan penghargaan kepada :
− Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr selaku Ketua Komisi Pembimbing, − Dr. Gustan Pari, M.Si, APU selaku Anggota Komisi Pembimbing. − Ir. Deded Syarif Nawawi, M.Sc atas kesediaanya selaku dosen penguji,
− Ketua dan Sekretaris Program Mayor Ilmu Teknologi Hasil Hutan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
− Kepala Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli.
− Kepala Pusat Penelitian Hasil Hutan, Ketua Kelompok Peneliti Pengolahan Kimia dan Energi Hasil Hutan dan Kepala Laboratorium Terpadu Puslitbang Hasil Hutan Bogor yang telah memberikan ijin dan penggunaan fasilitas laboratorium. − Seluruh Laboran di Lab. Pengolahan Kimia dan Energi Hasil Hutan Bogor. − Rekan-rekan Research School Angkatan 2007 atas bantuan dan kebersamaannya. − Kepada orang tua (Sanly Suratman dan Ratna Komala Sari), mertua (Gafar BA
dan Djanewar), istri tercinta (Rozza Tri Kwatrina) dan buah hati tersayang (Nurul Afiyah dan Alya Zahra Nazifah).
− Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan doa dan materi yang diberikan.
Akhir kata semoga karya tulis ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan.
Bogor, Agustus 2009
Penulis dilahirkan di Teluk Betung pada tanggal 24 Agustus 1973 sebagai anak pertama dari pasangan Sanly Suratman dan Ratna Komala Sari.
Penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 2 Teladan, Rawa Laut, Bandar Lampung pada tahun 1986, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 2 Tanjung Karang, Lampung pada tahun 1989 dan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 2 Tanjung Karang, Lampung pada tahun 1992. Pada tahun 1992, penulis diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Lampung dan berhasil memperoleh gelar Sarjana pada tahun 1997.
Pada tahun 1998, penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil di Departemen Kehutanan. Pada tahun 2007, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Pascasarjana IPB pada program mayor Ilmu Teknologi Hasil Hutan.
Halaman
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 2
1.2 Tujuan Penelitian ... 3
1.3 Hipotesis ... 4
1.4 Manfaat Penelitian ... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Arang ... 5
2.2 Arang Aktif ... 6
2.2.1 Aktivasi Arang Aktif Secara Kimia ... ... 6
2.2.2 Aktivasi Arang Aktif Secara Fisika ... ... 7
2.3 Sifat Adsorpsi Arang Aktif ... ... 8
2.4 Pemanfaatan Arang Aktif ... ... 9
2.5 Tanaman Nyamplung (Calophyllum inophyllum) ... 10
2.6 Pemanfaatan Minyak Nyamplung ... 11
2.7 Penjernihan Minyak ... 12
III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... ... 13
3.2 Bahan dan Alat ... ... 13
3.3 Metode Penelitian ... ... 13
3.3.1 Analisa Tempurung Biji ... 13
3.3.2 Pembuatan Arang ... 14
3.3.3 Pembuatan Arang Aktif ... ... 16
3.3.4 Karakteristik pola struktur arang dan arang aktif ... 18
3.3.5 Aplikasi Arang Aktif pada minyak bintangur ... 19
3.3.6 Pengujian Mutu Minyak Nyamplung ... 19
4.1 Analisis Kimia Tempurung Biji Nyamplung... .... 26
4.2 Struktur Tempurung Nyamplung, Arang dan Arang Aktif ... .... 27
4.3 Mutu Arang dan Arang Aktif Tempurung Nyamplung ... 39
4.4 Kondisi Optimum Pembuatan Arang Aktif ... 47
4.5 Aplikasi Arang Aktif pada Minyak Nyamplung ... 48
V. KESIMPULAN ... 57
DAFTAR PUSTAKA ... .... 58
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Rataan sifat fisiko kimia tempurung biji nyamplung ... 26
2. Bilangan gelombang tempurung nyamplung, arang dan arang aktif ... ... 30
3. Struktur kristalin dan lapisan aromatik pada bahan baku, arang dan arang aktif tempurung nyamplung ... 32
4. Derajat kristalinitas beberapa bahan berlignoselulosa ... 35
5. Diameter pori tempurung nyamplung, arang dan arang aktif ... 36
6. Sifat arang tempurung biji nyamplung ... 39
7. Mutu arang dan arang aktif tempurung nyamplung ... 41
8. Analisis EDX tempurung nyamplung, arang dan arang aktif ... 44
9. Hasil perhitungan terhadap total bilangan iodium arang aktif tempurung nyamplung ... 48
10. Sifat fisiko kimia minyak nyamplung sebelum dan sesudah perlakuan ... 49
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Pohon, buah dan tempurung biji nyamplung ... 11 2. Retort pyrolisis listrik ... 14 3. Bagan Alur Penelitian ... 23 4. Spektrum serapan FT-IR tempurung, arang dan arang aktif
tempurung nyamplung ... 28 5. Difraksi sinar x tempurung nyamplung, arang dan arang aktif .... 33 6. Struktur permukaan tempurung nyamplung, arang dan arang
aktif pada penampang atas dengan pembesaran 2000x ... 38 7. Kejernihan minyak nyamplung menggunakan arang aktif
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Analisa kimia tempurung biji nyamplung ... 64 2. Absorban FTIR tempurung nyamplung, arang dan arang aktif.... ... 66 3. Komponen kimia tempurung nyamplung, arang dan arang aktif .. 69 4. Analisis Energy Dispersive X Ray Analyzer (EDX) tempurung
nyamplung ... 73 5. Rekapitulasi analisis keragaman dan uji kelompok wilayah
Duncan hasil pengamatan pengaruh aktivator, suhu dan waktu
aktivasi terhadap rendemen arang aktif tempurung nyamplung... 76 6. Rekapitulasi analisa keragaman pengaruh aktivator, suhu dan
waktu terhadap kadar air arang aktif tempurung nyamplung ... ... 77 7. Rekapitulasi analisa keragaman pengaruh aktivator, suhu dan
waktu terhadap zat terbang arang aktif tempurung nyamplung ... 78 8. Rekapitulasi analisa keragaman dan uji kelompok wilayah
Duncan hasil pengamatan pengaruh aktivator, suhu dan waktu
terhadap kadar abu arang aktif tempurung nyamplung ... ... 79 9. Rekapitulasi analisa keragaman dan uji kelompok wilayah
Duncan hasil pengamatan pengaruh aktivator, suhu dan waktu
terhadap karbon terikat arang aktif tempurung nyamplung ... 80 10. Rekapitulasi analisa keragaman dan uji kelompok wilayah
Duncan hasil pengamatan pengaruh aktivator, suhu dan waktu
terhadap daya jerap iod arang aktif tempurung nyamplung ... .... 81 11. Rekapitulasi analisa keragaman dan uji kelompok wilayah
Duncan hasil pengamatan pengaruh aktivator, suhu dan waktu
terhadap daya jerap benzene arang aktif tempurung nyamplung ... 82 12. Rekapitulasi analisa keragaman dan uji kelompok wilayah
Duncan hasil pengamatan pengaruh jenis dan konsentrasi
adsorben terhadap kadar air minyak nyamplung ... 83 13. Rekapitulasi analisa keragaman dan uji kelompok wilayah
Duncan hasil pengamatan pengaruh jenis dan konsentrasi
adsorben terhadap bilangan asam minyak nyamplung ... ... 84 14. Rekapitulasi analisa keragaman dan uji kelompok wilayah
Duncan hasil pengamatan pengaruh jenis dan konsentrasi
adsorben terhadap bilangan penyabunan minyak nyamplung ... 85 15. Rekapitulasi analisa keragaman dan uji kelompok wilayah
Duncan hasil pengamatan pengaruh jenis dan konsentrasi
16. Rekapitulasi analisa keragaman dan uji kelompok wilayah
Duncan hasil pengamatan pengaruh jenis dan konsentrasi
adsorben terhadap bilangan peroksida minyak nyamplung ... 86
17. Rekapitulasi analisa keragaman dan uji kelompok wilayah Duncan hasil pengamatan pengaruh jenis dan konsentrasi
1.1 Latar Belakang
Sejalan dengan berkembangnya industri di berbagai bidang, kebutuhan arang aktif juga semakin meningkat. Arang aktif diperlukan industri dalam proses poduksi, baik industri pangan maupun non pangan. Umumnya arang aktif digunakan sebagai bahan penyerap untuk menghilangkan bau, gas beracun, warna, atau sebagai bahan penjenih air, pemurni dan pemucat, misalnya pada industri pemurnian gula, pemurnian gas, minyak lemak, minuman, pengolahan pulp, pupuk, kimia, dan farmasi (Djatmiko et al. 1985).
Kebutuhan arang aktif nasional cukup tinggi, lebih dari 200 ton per bulan atau 2.400 ton per tahun, dimana sebagian diantaranya masih di impor untuk keperluan khusus seperti industri pengolahan emas dan farmasi (Fitriani 2008). Sementara itu Indonesia merupakan negara yang cukup banyak sumber bahan baku arang dan arang aktif. Bahan baku pembuatan arang aktif berasal dari bahan yang mengandung karbon baik organik maupun bahan anorganik. Beberapa diantaranya adalah kayu, limbah kayu, tempurung kelapa, batu bara, dan limbah pertanian seperti kulit buah kopi, sabut buah coklat, sekam padi, jerami, tongkol dan pelepah jagung, bahkan bahan polimer seperti poliakrilonitril, rayon dan resin fenol (Asano et al. 1999). Selain itu telah diteliti arang aktif dari ampas limbah daun teh, kulit kayu Acacia mangium, tempurung biji kemiri, kayu dan tempurung biji jarak pagar, sekam padi dan serbuk gergaji dari beberapa jenis kayu (Sudradjat dan Suryani 2002; Pari et al. 2000; Sudradjat et al. 2005).
Bahan baku lainnya yang dapat dikembangkan sebagai arang aktif adalah tempurung biji nyamplung (Calopyllum inophyllum Linn) yang merupakan limbah dari pengolahan minyak nyamplung dan belum dimanfaatkan. Arang aktif tersebut dapat dimanfaatkan sebagai penjernih minyak atau sebagai penyerap (adsorben) gas dan bahan cairan lainnya.
nyamplung dalam jumlah besar, seperti dilakukan Pemerintah Daerah Provinsi Papua yang telah menanam 15 (lima belas) ribu bibit tanaman nyamplung (Anonim 2008a), kemudian KPH Banyumas Barat menanam nyamplung seluas ± 1000 ha (Anonim 2008c). Selanjutnya Departemen Kehutanan melalui Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor, ikut berperan serta dalam pengembangan energi alternatif biodiesel dari minyak biji tanaman nyamplung dan pembuatan produk turunannya (Sudradjat 2007). Biji nyamplung mengandung minyak yang cukup tinggi yaitu 71,4% (Heyne 1987), dan 75% (Dweck dan Meadows 2002), berpotensi sebagai sumber pembuatan biodiesel, pelumas, bio-oil dan oleo kimia seperti surfaktan, epoxy, polyurethane, bahan obat dan kosmetik.
Untuk memperoleh minyak yang berkualitas baik terutama sebagai bahan obat dan kosmetik, minyak perlu dimurnikan terlebih dahulu. Pemurnian bertujuan untuk menghilangkan rasa, bau, warna dan kotoran, untuk mempermudah proses pengolahan minyak selanjutnya dan memperpanjang umur simpan (Ketaren 1986). Salah satu cara pemurnian minyak adalah menggunakan bahan penyerap arang aktif. Menurut Jacob (1958) dalam Pari et al. (2000), arang aktif dapat digunakan sebagai bahan pemucat atau penjernih minyak kasar (crude oil) yang masih mengandung kotoran, yang dapat mempercepat terjadinya kerusakan minyak. Pada penelitian ini dilakukan kajian pembuatan arang aktif tempurung biji nyamplung yang diaplikasikan pada pemurnian minyak nyamplung.
1.2 Perumusan Masalah
Di lain pihak minyak juga mempunyai potensi dikembangkan sebagai bahan obat dan kosmetik. Menurut Kilham (2004), beberapa penelitian telah membuktikan bahwa minyak nyamplung dapat bermanfaat sebagai antineuralgic, antiinflammatory, antimicrobial, dan antioxidant serta digunakan untuk pengobatan luar (topical healing) misalnya pada gangguan penyakti kulit, kulit kering atau bersisik, luka diabetes, luka bakar, luka iris, arthritis (radang sendi), rheumatism, neuralgia (sakit saraf otot), muscle aches (sakit otot) dan lainnya. Di beberapa negara Eropa dan Amerika, tamanu oil sudah dijual dengan merk dagang True Tamanu dengan harga $29,95 per 1 oz (setara dengan 29,5 ml) (Anonim 2008b).
Dari uraian di atas, permasalah yang ingin dijawab adalah:
1. Apakah tempurung biji nyamplung dapat dikonversi menjadi arang aktif dan bagaimana pola struktur dan karakteristik mutunya?
2. Apakah arang aktif tempurung nyamplung dapat digunakan sebagai bahan adsorben pemurni minyak nyamplung dan bagaimana pengaruhnya terhadap sifat fisiko-kimia minyak nyamplung?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi karakteristik arang aktif tempurung biji nyamplung.
2. Mendapatkan kondisi yang optimal dalam pembuatan arang aktif tempurung biji nyamplung.
3. Mengetahui pengaruh arang aktif terhadap sifat fisiko-kimia minyak nyamplung.
1.4 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah:
1. Tempurung biji nyamplung dapat dikonversi menjadi arang aktif.
1.5 Manfaat Penelitian
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Arang
Arang adalah suatu bahan padat berpori yang mengandung 85-98%
karbon, yang dihasilkan dari pembakaran pada suhu tinggi dengan proses pirolisis
yaitu proses pembakaran bahan yang mengandung karbon komplek tanpa adanya
oksigen atau pembakaran tidak sempurna, sehingga bahan hanya terkarbonisasi
dan tidak teroksidasi menjadi karbondioksida. Sebagian besar pori-pori pada
arang masih tertutup dengan hidrokarbon, ter dan senyawa organik lainnya.
Bahan yang digunakan adalah bahan yang mengandung karbon baik organik
maupun anorganik yang berasal dari tumbuhan, hewan dan bahan tambang
(Goldberg 1985; Djatmiko et al. 1985; Heygreen & Bowyer 1996; Kinoshita 2001).
Pirolisis merupakan proses pemanasan tanpa adanya oksigen (Heygreen
& Bowyer 1996). Kinoshita (2001), menyatakan bahwa pirolisis adalah proses
pembakaran tidak sempurna bahan yang mengandung karbon komplek yang tidak
teroksidasi menjadi CO2. Pada saat pirolisis terjadi, energi panas mendorong
terjadinya oksidasi sehingga molekul karbon yang komplek terurai sebagian besar
menjadi karbon atau arang. Berdasarkan tingkatannya, pirolisis terbagi menjadi
dua yaitu pirolisi primer dan sekunder. Pirolisis primer terbagi menjadi proses
lambat yaitu pada suhu 150-300oC yang menghasilkan arang, H2O, CO dan CO2
dan proses cepat, terjadi pada suhu 300-400oC, yang menghasilkan arang, gas dan
H2O. Pirolisis sekunder terjadi pada suhu di atas 600oC yang menghasilkan
karbon monoksida, gas hidrogen dan gas hidrokarbon (Paris et al. 2005 dalam
Gani 2007).
Hambali et al. (2007), menyatakan bahwa apabila digunakan pirolisis cepat (fast pyrolysis) yaitu pemanasan dengan lama 0,5 – 2 detik pada suhu 400 – 600oC dan proses pemadaman yang cepat pada akhir proses, selain dihasilkan
arang, juga dihasilkan gas dan cairan yang disebut bio-oil yang merupakan salah
Proses pengarangan atau karbonisasi terbagi menjadi empat tahap yaitu:
1. Tahap penguapan air, yang terjadi pada suhu 100-150oC
2. Tahap penguraian hemiselulosa dan selulosa pada suhu 200 – 240oC
menjadi larutan piroglinat yang merupakan asam organik dengan titik
didih rendah misalnya asam asetat, formiat dan metanol.
3. Tahap proses depolimerisasi dan pemutusan ikatan C-O dan C-C, pada
suhu 240 – 400oC. Selain itu lignin mulai terurai menghasilkan ter,
menurunnya larutan piroglinat dan CO serta meningkatnya gas CO, CH4
dan gas hidrogen.
4. Tahap pembentukan lapisan aromatik, yang terjadi pada suhu lebih dari
400oC dan lignin masih terus terurai sampai suhu 500oC, sedangkan pada
suhu lebih dari 600oC terjadi proses pembesaran luas permukaan arang.
Selanjutnya arang dapat dimurnikan atau dijadikan arang aktif pada suhu
500 – 1000oC (Djatmiko et al. 1985).
2.2 Arang Aktif
Menurut Sudradjat dan Soleh (1994), arang aktif adalah arang hasil proses
lanjutan dimana konfigurasi atomnya dibebaskan dari ikatan unsur lain dan pori
dibersihkan dari senyawa atau kotoran lainnya (hidrokarbon, ter dan senyawa
organik lainnya) sehingga luas permukaannya bertambah besar menjadi sekitar
300 sampai 2000 m2/g yang menyebabkan daya adsorpsinya meningkat.
Perbedaan antara arang dengan arang aktif adalah pada bagian permukaannya.
Bagian permukaan arang masih ditutupi oleh deposit hidrokarbon yang
menghalangi keaktifannya, sementara bagian permukaan arang aktif relatif bebas
dari deposit dan permukaannya lebih luas serta pori-pori yang terbuka, sehingga
dapat melakukan penjerapan (adsorption) (Smisek & Cerny 1970). Untuk mengaktifkan arang menjadi arang aktif dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
cara kimia dan fisika.
2.2.1 Aktivasi Arang Aktif Secara Kimia
Proses pengaktifan arang dengan cara kimia adalah dengan menggunakan
NaSO4, SO2, ZnCl2, Na2SO3, (NH4)2S2O8 (Kirk & Othmer 1940 dalam Djatmiko et al. 1985; Jagtoyen & Derbyshire 1998; Castila et al. 2000; Sabio et al. 2003). Pada cara kimia, sebelum dipanaskan arang direndam dalam larutan
larutan kimia selama 24 jam lalu ditiriskan, selanjutnya dipanaskan pada suhu
600-900oC selama 1 – 2 jam. Dengan suhu tinggi tersebut diharapkan bahan
pengaktif dapat masuk di antara lapisan atau plat heksagonal kristalit arang dan
membuka permukaan arang yang tertutup (Tanaike & Inagaki 1999).
Menurut Pari (2004), cara kimia sering menyebabkan pengotoran pada
produk arang aktif. Hal ini disebabkan bahan pengaktif kimia meninggalkan sisa
oksida yang tidak larut air pada saat proses pencucian. Untuk mengikat kembali
sisa bahan kimia atau abu yang menempel biasanya dilakukan pelarutan HCL
pada arang aktif.
2.2.2 Aktivasi Arang Aktif Secara Fisika
Aktivasi arang aktif secara fisika adalah proses untuk memperluas
dimensi struktur molekul dan memperluas permukaan produk arang dengan
menggunakan perlakuan panas pada temperatur 800-1000oC dengan mengalirkan
gas oksidasi seperti uap air dan CO2 (ACS 1996 dalam Manocha 2003) atau
hanya dengan pemanasan saja tanpa dialirkan uap air atau CO2 (Gani 2007).
Proses aktivasi dengan uap air atau gas CO2 pada suhu di bawah 800oC,
akan berlangsung sangat lambat, sedangkan pada suhu di atas 1000oC dapat
menyebabkan kerusakan struktur kisi-kisi heksagonal arang. Menurut Pari (2004)
prinsip pembuatan arang aktif secara fisika adalah dengan mengalirkan uap air
atau CO2 pada arang yang dipanaskan. Reaksi ini berjalan secara endotermis
sehingga proses aktivasinya kurang efektif. Untuk meningkatkan efektifitas
aktivasi dapat dilakukan pemanasan permukaan luar unit aktivasi untuk
meratakan distribusi panas.
2.3 Sifat Adsorpsi Arang Aktif
Adsorbsi adalah pembentukan lapisan berupa gas atau cairan oleh molekul
dalam fasa fluida pada permukaan padatan oleh gaya tarik Van Der Waals.
Dimana terjadi perubahan kepekatan molekul, ion atau atom antar permukaan
fase baru yang berbeda dengan masing-masing fase sebelumnya (Manocha 2003;
Pari 2004).
Faktor yang mepengaruhi daya serap (adsorpsi) arang aktif (Sembiring &
Sinaga 2003) yaitu :
1. Sifat arang aktif sebagai adsorben, yaitu ukuran dan kehalusan pori, semakin
kecil pori-pori arang aktif, luas permukaan semakin besar dan kecepatan
adsorpsi bertambah.
2. Sifat komponen yang diserap (adsorbat), yaitu ukuran dan polaritas molekul,
gugus fungsi, posisi gugus fungsi, ikatan rangkap, struktur rantai dari
senyawa serapan.
3. Sifat larutan, yaitu temperatur dan pH, pada asam organik, adsorpsi akan
meningkat bila pH diturunkan (dengan penambahan asam mineral) yang
mengurangi ionisasi asam organik tersebut, sedangkan bila pH asam organik
dinaikkan yaitu dengan menambahkan alkali, adsorpsi akan berkurang
sebagai akibat terbentuknya garam.
4. Lamanya proses adsorbsi atau waktu kontak.
Bila arang aktif ditambahkan dalam suatu cairan, dibutuhkan waktu untuk
mencapai kesetimbangan. Waktu yang dibutuhkan berbanding terbalik
dengan jumlah arang yang digunakan. Selain ditentukan oleh dosis arang
aktif, pengadukan juga mempengaruhi waktu singgung. Pengadukan
dimaksudkan untuk memberi kesempatan pada partikel arang aktif untuk
bersinggungan dengan senyawa serapan. Untuk larutan yang mempunyai
viskositas tinggi, dibutuhkan waktu singgung yang lebih lama.
2.4 Pemanfaatan Arang Aktif
Terdapat tiga kelompok penggunaan arang aktif dalam industri (LIPI 1999),
yaitu:
1) Penggunaan untuk gas seperti;
pemurnian gas (desulfurisasi, menghilangkan gas beracun, bau busuk dan
asap), pengolahan LNG (desulfurisasi dan penyaringan bahan mentah),
katalisator (katalisator reaksi/pengangkut vinil klorida dan vinil asetat),
2) Penggunaan untuk cairan;
Industri obat dan makanan (menyaring dan menghilangkan warna), industri
minuman ringan dan keras (menghilangkan warna dan bau), kimia
perminyakan (zat perantara dan penyulingan bahan mentah), pembersih air
(menyaring dan menghilangkan warna, bau zat pencemar dalam air, sebagai
alat pelindung dan penukar resin dalam alat penyulingan air), pembersih air
buangan (membersihkan air buangan dari pencemar, warna, bau dan logam
berat), penambakan udang dan benur (pemurnian, menghilangkan bau dan
warna air tambak), pelarut yang digunakan kembali (penarikan kembali
berbagi pelarut, sisa metanol, etil asetat dan lainnya).
3) Penggunaan lainnya;
Industri pengolahan pulp (pemurnian dan penghilangan bau), industri
pengolahan pupuk (pemurnian), pengolahan emas (pemurnian), penyaringan
minyak makan dan glukosa (menghilangkan warna, bau dan rasa tidak enak).
Menurut Fitriani (2007), arang digunakan sebagai penghantar zat antikanker
pada tubuh manusia. Karbon aktif diubah menjadi sejenis batang berukuran
sepersejuta meter atau disebut nanohorn, yang salah satu ujung silindernya meruncing. Pada ujung silinder tersebut, disempalkan atau dimasukkan butiran
1-2 obat kanker berukuran nanometer bernama cisplatin. Selanjutnya disuntikkan ke tubuh pasien, dimana nanohorn masuk ke peredaran darah dan hanya terakumulasi dalam sel kanker, tidak menyebar ke seluruh tubuh. Hal ini karena
sifat sel kanker lebih mudah menyerap benda berukuran 100 nanometer
dibandingkan sel tubuh lainnya. Setelah berkumpul di dalam sel kanker, obat
dalam kapsul nanohorn itu perlahan lepas untuk mematikan sel kanker. Sistem
penghantar obat itu lebih efektif untuk pemusnahan kanker dan tumor serta tanpa
efek samping.
Penelitian yang dilakukan Richard C. Kaufman, Ph.D dari National Health
Federation, Minessota Amerika Serikat. Arang terbukti bersifat antipenuaan dan
memperpanjang umur sebanyak 40% hewan percobaan. Hal ini disebabkan arang
menjaga sensitivitas tubuh dari bahan kimia dan racun yang merusak sel tubuh.
Arang juga menyeimbangkan metabolisme lemak, menurunkan kinerja sintesis
fibrosis. Selain itu arang sebagai pereduksi kolesterol dimana sejumlah pasien
berkolesterol tinggi yang diberi konsumsi 8 g arang per hari turun 25% dari total
kolesterol, 41% kolesterol jahat LDL (low density lipoprotein), serta melipatgandakan rasio HDL/LDL kolesterol. Hal ini karena arang menyerap
penyumbat jantung dan melancarkan peredaran darah koroner (British Journal of
Nutrition dalam Fitriani 2007).
2.5 Tanaman Nyamplung (Calophyllum inophyllum L)
Nyamplung atau bintangur termasuk dalam famili Guttiferae. Nama
daerah nyamplung di Sumatera adalah bintangor, bintol, mentangur, punaga, di
Jawa dikenal sebagai bunut, nyamplung, sulatri, di Kalimatan; bataoh, bentangur,
butoo, jempelung, jinjit, mahadingan, maharunuk, di Sulawesi; betau, bintula,
dinggale, pude, wetai, di Maluku; balitoko, bintao, biatur, petaule dan di NTT;
bentango, gentangir, matau, samplong (Martawijaya et al. 1981). Daerah penyebaran di Indonesia adalah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau,
Jambi, Sumatera Selatan, Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi,
Maluku, NTT (Martawijaya et al. 1981).
Pohon nyamplung dapat mencapai tinggi 20 m, diameter 150 cm, batang
agak pendek, bercabang rendah dekat permukaan tanah (Gambar 1). Kayu
nyamplung dengan batang yang lurus digunakan sebagai kayu perkapalan, tiang
layar dan dayung, kayu yang berat digunakan untuk balok, tiang, papan lantai dan
perumahan, kayu yang ringan digunakan untuk papan, peti dan konstruksi di
bawah atap, roda dan sumbu gerobak, kano, bantalan, tong dan kepala pemukul
golf (Martawijaya et al. 1981).
Tanaman nyamplung merupakan tanaman multi guna, selain sebagai
penghasil kayu, juga menghasilkan buah yang dimanfaatkan sebagai penghasil
minyak nyamplung, dimana daging bijinya mengandung minyak mencapai 71,4%
(Nijverheid dan Handel dalam Heyne 1987) dan 75% (Dweek dan Meadowsi 2002). Selain itu kulit batang dan akar diketahui mengandung bahan bioaktif
yang berkasiat obat bahkan pada getah daun bintangur telah ditemukan senyawa
Gambar 1. Pohon, buah dan tempurung biji nyamplung
2.6 Pemanfaatan Minyak Nyamplung
Meskipun penelitian minyak nyamplung atau dikenal sebagai minyak
tamanu sudah dilaksanakan sejak tahun 1918, akan tetapi pemanfaatan minyaknya
baru berkembang pada sepuluh tahun/dekade terakhir terutama sebagai bahan
baku obat (Kilham 2008). Lebih lanjut Dweck dan Meadows (2002) melaporkan
bahwa minyak nyamplung dapat digunakan untuk pengobatan penyakit kulit,
menyembuhkan luka kecil seperti tergores juga efisien untuk luka serius seperti
luka bakar oleh api atau bahan kimia atau luka pasca operasi dan telah dikaji
secara klinis pada sejumlah kasus. Selain itu untuk alergi kulit, jerawat, gatal,
psoriasis, luka diabetes, infeksi kulit, untuk mengobati arthritis (radang sendi),
rheumatism, neuralgia (sakit safaf otot), muscle aches (sakit otot), serta sebagai bahan kosmetik (Anonim 2008b). Tanaman nyamplung mengandung banyak
komponen kimia yang telah terbukti membantu perbaikan dan regenerasi jaringan
kulit. Kandungan terbesar adalah calophylloloide dan asam calophyllic, benzoic
dan oxi-benzoic acids dengan jumlah yang signifikan.
Di Indonesia, selama ini minyak nyamplung dimanfaatkan oleh
masyarakat di daerah Kebumen Jawa Tengah, hanya sebagai campuran bahan
pembuatan batik dan bahan perendam genteng atau batu bata sebelum dibakar,
yang bertujuan agar genteng atau batu bata tidak retak dan pecah pada waktu
pembakaran dengan suhu tinggi (Sahirman 2008).
Kemungkinan pemanfaatan lainnya adalah sebagai bahan baku energi
polyurethane (Sudradjat 2007). Hasil penelitian Sahirman (2008) melaporkan
bahwa biodiesel dari minyak nyamplung sebagian besar sudah memenuhi
persyaratan SNI 04-7182-2006 yaitu massa jenis, angka setana, titik nyala, korosi
kepngan tembaga, air dan sedimen, kandungan belerang, kandungan fosfor, kadar
gliserol, kadar alkil ester dan angkan iodium. Meskipun bilangan asam,
viscositas, residu karbon dan titik kabut beberapa parameter masih belum
memenuhi syarat.
Di beberapa negara Eropa dan Amerika, saat ini minyak nyamplung sudah
dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan dan sudah diperjualbelikan secara bebas.
Salah satu merk dagang yang menggunakan minyak nyamplung adalah True Tamanu dengan harga $29,95 per 1 oz (setara dengan 29,5 ml). Menurut Soerawidjaja (2008), minyak nyamplung mengandung koumarin, diantaranya;
calophyllolide, inofilolid dan calophyllic acid yang berkhasiat sebagai anti radang (anti inflammatory), anti koagulan, anti bakteri, serta 4-phenylcoumarin yang berkhasiat sebagai canser chemopreventive agent.
2.7 Penjernihan Minyak
Penjernihan minyak dilakukan untuk menghilangkan rasa dan bau tidak
enak, warna yang tidak menarik, meningkatkan kualitas dan memperpanjang masa
simpan minyak sebelum dikonsumsi atau digunakan sebagai bahan mentah dalam
industri. Penjernihan minyak dapat dilakukan dengan menambahkan sejumlah
adsorben ke dalam minyak. Jenis adsorben yang digunakan antara lain tanah
pemucat (bleaching earth), lempung aktif (activated cley) dan arang (bleaching carbon), arang aktif atau bahan kimia (Ketaren 1986). Kemampuan karbon aktif sebagai bahan penjernih/pemucat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain;
ukuran partikel, porositas, kadar mineral yang terikut pada karbon aktif dan berat
atau ringannya senyawa molekul zat yang diserap misalnya bilangan iod yang
bermolekul ringan akan mudah diserap karbon aktif. Bila adsorben memiliki
berat jenis tinggi, ukuran partikel halus dan pH mendekati normal akan lebih
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia Kayu dan Energi Biomasa
Puslitbang Hasil Hutan Bogor, Lab. Kimia Hasil Hutan, Institut Pertanian Bogor,
Laboratorium Kimia Instrumen Jurusan Kimia FMIPA UPI Bandung, Lab.
Biofarmaka, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan
Februari sampai Juni 2009.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tempurung biji
nyamplung dan minyak nyamplung kasar yang diperoleh dari Kabupaten
Kebumen, Jawa Tengah. Bahan kimia yang digunakan antara lain iodin, benzena,
Na2S2O3, larutan kanji 1%, KOH, H3PO4 dan bahan kimia analisis lainnya.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah; reaktor pirolisis untuk
pengarangan, retort listrik untuk pembuatan arang aktif, timbangan analitik, oven,
spektrofotometer FTIR (Fourier Transform Infra Red) merk Shimadzu 8400, SEM (Scaning Electron Microscopy) merk Evo 50, dan XRD (X-ray Difractometer) merk Shimadzu 7000 series, GCMS (Gas Chromatography Mass Spectrometry) Pyrolisis merk dan GCMS merk Shimadzu QP 5050 A, spektroskopi UV-VIS 1700 series dan peralatan gelas untuk analisa kimia.
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Analisa Tempurung Biji
Sebelum dikarbonisasi tempurung biji nyamplung dianalisa sifat fisiko
kimianya meliputi kadar air, kadar abu, kadar holoselulosa, lignin, pentosan dan
3.3.2 Pembuatan Arang
Tempurung biji nyamplung yang sudah kering diarangkan dalam retort
pirolisis listrik (Gambar 2). Tempurung biji nyamplung ditempatkan di dalam
tabung wadah silinder, kemudian dipasang di tengah retort. Selanjutnya labu
berleher tiga dipasang pada pipa pembuangan gas dan alat destilasi untuk
menampung senyawa hidrokarbon berberat molekul tinggi, tar dan cuka
tempurung. Tahap berikutnya listrik dihidupkan dan proses berjalan selama
sekitar 5 jam. Hasil arang kemudian dianalisa rendemen, kadar air, zat terbang,
abu, karbon terikat, daya jerap terhadap iodin dan benzena menggunakan standar
BSN (SNI 01-1682-1996).
Gambar 2. Retort pyrolisis listrik
1. Rendemen arang
Rendemen arang ditetapkan dengan menghitung perbandingan berat arang
terhadap berat bahan baku awal.
Rendemen (%) = Berat arang x 100 Berat bahan baku
2. Kadar air
Contoh sebanyak 2 gram dimasukkan ke dalam cawan porselin, lalu
dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 24 jam. Setelah didinginkan
dalam desikator, lalu ditimbang sampai beratnya tetap.
Kadar air (%) = Berat contoh awal – berat contoh akhir x 100
3. Kadar zat terbang
Contoh kering oven ditimbang sebanyak 1 gram dan dimasukkan ke dalam
cawan porselin yang telah diketahui beratnya, lalu dimasukkan ke dalam tanur
listrik pada suhu 950 oC selama 10 menit. Setelah didinginkan dalam desikator
ditimbang sampai beratnya tetap.
Kadar zat terbang (%) = Berat contoh awal – berat contoh sisa x 100
Berat contoh awal
4. Kadar abu
Contoh kering oven ditimbang sebanyak 1 gram dan dimasukkan ke dalam
cawan porselin yang sudah diketahui beratnya, kemudian dimasukkan ke dalam
tanur listrik pada suhu 700 oC selama 5 jam. Setelah didinginkan dalam desikator
ditimbang sampai beratnya tetap.
Kadar abu (%) = Berat contoh sisa x 100 Berat contoh awal
5. Kadar karbon terikat
Kadar karbon terikat dihitung dengan cara pengurangan dari kadar abu dan
zat terbangnya.
Kadar karbon terikat (%) = 100% - (% kadar abu + % kadar zat terbang)
6. Nilai kalor
Contoh kering oven ditimbang 1 gram, lalu diikat dengan kawat halus.
Kemudian dimasukkan ke dalam tempat pembakaran pada alat kalorimeter dan
ditutup dengan rapat agar tidak ada udara yang masuk. Dicatat perubahan kalor
yang terjadi. Percobaan diulang sebanyak 3 kali.
7. Daya jerap terhadap iodin
Contoh kering oven ditimbang 1 gram dan dimasukkan ke dalam
erlenmeyer bertutup dan ditambahkan 25 ml larutan iod 0,1 N dan dikocok selama
15 menit pada suhu kamar, selanjutnya larutan disaring. Larutan hasil saringan
dipipet 10 ml dan dititer dengan larutan Na2S2O3 0,1 N sampai berwarna kuning,
lalu ditambahkan larutan kanji 1% sebagai indikator sehingga larutan berwarna
biru. Selanjutnya larutan dititer kembali sampai warna biru hilang.
Daya jerap iod (mg/g) = [10 – (ml contoh x N Na2S2O3)] x 126,93 x fp
8. Daya jerap terhadap uap benzena
Contoh kering oven ditimbang 1gram dan dimasukkan ke dalam petridish,
lalu ditimbang lagi, kemudian diletakkan di dalam eksikator yang berisi uap
benzena. Diamati pada jam ke-24 dan 48 dengan cara mengangkat petridish, lalu
dibiarkan ± 15 menit lalu ditimbang.
Daya jerap uap benzena (%) = Berat contoh akhir – berat contoh awal x 100
Berat contoh awal
3.3.3 Pembuatan Arang Aktif
Arang tempurung biji nyamplung kemudian diaktivasi dengan retort
aktivasi kapasitas 300 g. Sebelumnya arang direndam dalam asam phosfat teknis
sesuai perlakuan yaitu 0, 5 dan 10% (b/v). Kemudian arang di aktivasi dengan
suhu 700 oC dan 800 oC selama 60 dan 120 menit. Arang aktif yang dihasilkan
kemudian dianalisis meliputi rendemen, kadar air, zat terbang, abu, karbon
terikat, daya jerap iodin dan benzena sesuai standar BSN (SNI 06-3730-1995).
1. Rendemen arang aktif
Rendemen arang aktif ditetapkan dengan menghitung perbandingan berat
arang aktif hasil aktivasi terhadap berat arang sebelum aktivasi.
Rendemen (%) = Berat arang hasil aktivasi x 100 Berat arang sebelum aktivasi
2. Kadar air
Contoh sebanyak 2 gram dimasukkan ke dalam cawan porselin, lalu
dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 24 jam. Setelah didinginkan
dalam desikator, lalu ditimbang sampai beratnya tetap.
Kadar air (%) = Berat contoh awal – berat contoh akhir x 100
Berat contoh awal
3. Kadar zat terbang
Contoh kering oven ditimbang sebanyak 1 gram dan dimasukkan ke dalam
cawan porselin yang telah diketahui beratnya, lalu dimasukkan ke dalam tanur
listrik pada suhu 950 oC selama 10 menit. Setelah didinginkan dalam desikator
Kadar zat terbang (%) = Berat contoh awal – berat contoh sisa x 100
Berat contoh awal
4. Kadar abu
Contoh kering oven ditimbang sebanyak 1 gram dan dimasukkan ke dalam
cawan porselin yang sudah diketahui beratnya, kemudian dimasukkan ke dalam
tanur listrik pada suhu 700 oC selama 5 jam. Setelah didinginkan dalam desikator
ditimbang sampai beratnya tetap.
Kadar abu (%) = Berat contoh sisa x 100 Berat contoh awal
5. Kadar karbon terikat
Kadar karbon terikat dihitung dengan cara pengurangan dari kadar abu dan
zat terbangnya.
Kadar karbon terikat (%) = 100% - (% kadar abu + % kadar zat terbang)
6. Daya jerap terhadap iodin
Contoh kering oven ditimbang 1 gram dan dimasukkan ke dalam
erlenmeyer bertutup dan ditambahkan 25 ml larutan iod 0,1 N dan dikocok selama
15 menit pada suhu kamar, selanjutnya larutan disaring. Larutan hasil saringan
dipipet 10 ml, dan dititer dengan larutan Na2S2O3 0,1 N sampai berwarna kuning,
lalu ditambahkan larutan kanji 1% sebagai indikator sehingga larutan berwarna
biru. Selanjutnya larutan dititer kembali sampai warna biru hilang.
Daya jerap iod (mg/g) = [10 – (ml contoh x N Na2S2O3)] x 126,93 x fp
Berat contoh (g)
7. Daya jerap terhadap uap benzena
Contoh kering oven ditimbang 1gram dan dimasukkan ke dalam petri dish,
lalu ditimbang lagi, kemudian diletakkan di dalam eksikator yang berisi uap
benzena. Diamati pada jam ke-24 dan 48 dengan cara mengangkat petridish, lalu
dibiarkan ± 15 menit lalu ditimbang.
Daya jerap uap benzena (%) = Berat contoh akhir – berat contoh awal x 100
3.3.4 Karakteristik pola struktur arang dan arang aktif
Untuk mengetahui pola struktur arang dan arang aktif aktif digunakan
peralatan:
1. FTIR (Fourier Transform Infra Red); digunakan untuk mengetahui perubahan gugus fungsi contoh akibat kenaikan suhu pada proses pirolisis dan aktivasi.
Caranya adalah dengan mencampur serbuk arang dengan KBr menjadi bentuk
pelet. Selanjutnya diukur serapannya pada bilangan gelombang 60-4000 cm-1
2. SEM (Scaning Electron Microscopy); digunakan untuk mengetahui topografi permukaan dan ukuran pori contoh.
3. XRD (X-ray Difractometer); untuk mengetahui derajat kristalinitas, tinggi, lebar, jarak dan jumlah lapisan aromatik yang dilakukan dengan cara
menginterpretasikan pola difraksi dari hamburan sinar X pada contoh.
Penetapan derajat kristalinitas, tinggi (Lc), lebar (La), jarak (d) dan jumlah
lapisan aromatik (N) dilakukan menurut Kercher & Nagle (2003); Schukin et al. (2002) yaitu:
Derajat kristalinitas (X) = Bagian kristalin x 100%
Bagian kristalin + bagian amorf
Jarak antar lapisan aromatik d(002) : = 2 d sin θ dan d =
Tinggi lapisan aromatik (Lc) pada θ 24-25: Lc (002) =
Lebar lapisan aromatik (La) pada θ 43 : La (100) =
Jumlah lapisan aromatik (N) : N =
= 0,15406 nm (panjang gelombang dari radiasi sinar Ca)
β = intensitas ½ tinggi dan lebar intensitas difraksi (radian)
K = Tetapan untuk lembaran graphene (0,89)
θ = sudut difraksi
3.3.5 Aplikasi Arang Aktif pada pemurnian minyak nyamplung
Sampel arang aktif yang memiliki nilai analisa fisiko-kimia terbaik diuji
cobakan pada minyak nyamplung. Arang aktif terlebih dahulu dicuci dengan air
suling sampai pH air cuciannya netral, lalu ditiriskan dan dihaluskan hingga lolos
saringan 120 mesh, kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 105 °C.
Penjernihan minyak dilakukan dengan mencampur arang aktif dengan
konsentrasi 0, 5, 10, 15 dan 20% (b/b) ke dalam 100 g minyak lalu diaduk dengan
shaker selama 1 jam. Minyak hasil pencampuran didiamkan selama ± 24 jam
kemudian disaring dengan kertas saring. Minyak sebelum dan sesudah perlakuan
dianalisa sifat fisiko-kimianya yaitu; kadar air, bilangan asam, bilangan peroksida,
bilangan iod dan kejernihan minyak serta kandungan senyawa minyak. Kemudian
dilakukan penelitian pemurnian minyak menggunakan bentonit sebagai
pembanding dengan konsentrasi 5%, 10%, 15% dan 20%.
3.3.6 Pengujian Mutu Minyak Nyamplung
a. Penentuan Bilangan Asam dan Asam Lemak Bebas (AOAC 1999a)
Minyak ditimbang sebanyak 5 gram dalam erlenmeyer 250 ml dan
ditambahkan 50 ml alkohol netral 95%, lalu dipanaskan selama 10 menit dalam
penangas air sambil diaduk. Setelah ditambahkan 3-5 tetes indikator
phenolphalein 1%, larutan kemudian dititrasi dengan NaOH atau KOH 0,1 N
sampai berwarna merah jambu yang tidak hilang dalam 15 detik, dan dihitung
jumlah miligram KOH yang digunakan untuk menetralkan asam lemak bebas
dalam satu gram atau lemak.
Bilangan Asam = V x N x 56,1 m
Kadar asam lemak bebas (FFA, %) = V x N x BM
10 x m
V = volume NaOH atau KOH yang diperlukan dalam titrasi contoh (ml)
N = normalitas NaOH/KOH
m = berat contoh (gram)
b. Penentuan Bilangan peroksida (AOAC 1999b)
Contoh minyak sebanyak 5 ± 0,005 g dimasukkan ke dalam erlenmeyer
250 ml, kemudian ditambahkan 30 ml larutan campuran kloroform dan asam
asetat glasial (2:3) dikocok sampai larut. Kemudian ditambahkan 0,5 ml
larutan KI jenuh dan dikocok selama satu menit, selanjutnya erlenmeyer dibilas
dengan 30 ml air destilata. Kelebihan iod dititrasi dengan natrium tiosulfat 0,1
N sampai warna kuning hampir hilang, kemudian ditambahkan 0,5 ml larutan
kanji 1% dan titrasi dilanjutkan sampai titik akhir (warna biru tepat hilang).
Jika Natrium tiosulfat 0,1 N yang digunakan kurang dari 0,5 ml, penentuan
bilangan peroksida diulangi dengan menggunakan Natrium tiosulfat 0,01 N.
Bilangan Peroksida = (mg O2/100 g minyak) = (S-B) N x 100
G
Dimana : S = jumlah titrasi contoh (ml)
B = jumlah blanko (ml)
N = normalitas natrium tiosulfat
G = bobot contoh
c. Bilangan Iod (SNI 01-3555-1994)
Contoh minyak yang sudah disaring ditimbang sebanyak 0,1 – 0,5 gram
dalam labu erlenmeyer 250 ml yang tertutup. Sebanyak 20 ml khoroform dan 25
larutan Wijs ditambahkan ke dalam contoh menggunakan pipet dengan hati-hati.
Erlenmeyer kemudian disimpan ditempat gelap selama 1 jam kemudian
ditambahkan 20 ml KI 15% dan 100 ml aquades. Titrasi dilakukan dengan larutan
tiosulfat 0,1 N dengan indikator kanji. Dengan cara yang sama dilakukan juga
titrasi blanko.
Bilangan Iod = (B – A) x N x 12,69
berat contoh
dimana : A = ml natrium tiosulfat untuk titrasi contoh
B = ml natrium tiosulfat untuk titrasi blanko
N = normalitas titer
d. Bilangan Penyabunan (SNI 01-3555-1994)
Contoh minyak ditimbang sejumlah 5 gram di dalam erlenmeyer 250 ml,
kemudian ditambahkan 50 ml larutan KOH beralkohol 0,5 N. Selanjutnya
erlenmeyer dihubungkan dengan pendingin tegak dan contoh didihkan dengan
hati-hati sampai semua contoh tersabunkan dengan sempurna, yaitu jika diperoleh
larutan yang bebas dari butir-butir lemak. Larutan kemudian didinginkan, lalu
dititrasi dengan larutan HCL 0,5 N dengan indikator phenolphtalein 1%, sampai
warna merah jambu hilang. Dengan cara yang sama dilakukan juga titrasi blanko.
Bilangan penyabunan = (A-B) x N x 56,1 G
dimana : A = jumlah ml HCL 0,5 N untuk titrasi blanko
B = jumlah ml HCL 0,5 N untuk titrasi sampel
N = normalitas titer HCL
G = berat sample
e. Kejernihan Minyak (Ozcan and Ozcan 2004)
Kejernihan minyak dapat diukur dari persen transmitan dengan alat
spektrofotometer UV pada panjang gelombang tertentu. Semakin jernih minyak
maka semakin besar nilai persen transmitannya, yang menunjukkan semakin
banyak cahaya yang dapat diteruskan pada panjang gelombang tertentu. Tahap
pertama, spektrofotometer dan komputer yang terintegrasi dinyalakan. Kemudian
dilakukan scanning panjang gelombang minyak nyamplung sebelum diberi perlakuan (adsorban 0% atau kontrol), lalu dipilih panjang gelombang
masksimum, sampai diperoleh nilai persen terendah. Setelah nilai panjang
gelombang maksimum diperoleh, larutan banko (etanol) dimasukkan dalam kuvet
dan ditempatkan pada tempat sampel, selanjutnya program dijalankan untuk
mendapatkan nilai persen transmisi 100. Setelah itu sampel minyak dimasukkan
ke dalam kuvet dan diukur persen transmisinya.
e. Analisis Kandungan Senyawa Minyak Nyamplung
Minyak nyamplung sebelum dan sesudah perlakuan (yang mempunyai
Shimadzu QP 5050 A. Kondisi alat memakai suhu kolom 60 oC, suhu detector
300 oC, suhu injector 280 oC dan waktu analisa 35 menit. Minyak nyamplung
disaring dengan kertas saring, kemudian minyak diijeksikan ke dalam GC
sejumlah 0,2 μL sehingga terkromatografi dengan komponen yang terpisah.
Selanjutnya spektrum puncak kromatogram dari sampel akan dicocokkan oleh
[image:39.612.105.510.69.677.2]
Gambar 3. Bagan alir penelitian Tempurung biji
bintangur
Pengarangan (karbonisasi) (± 500 oC, 5 jam)
Perlakuan perendaman dalam H3PO4 (0%, 5%, 10% v/b) 24 jam
Aktivasi pada suhu 700 oC dan 800 oC selama 1 dan 2jam
Uap panas (Steam) ± 125 oC ± 0,27 kg/jam
0,025 mbar
Arang
Ditiriskan
Arang aktif dihaluskan (lolos ayakan 100 mesh) Analisa mutu
Arang aktif
Mutu terbaik
Minyak nyamplung kasar
Analisa arang
Pencampuran Arang aktif 0, 5, 10, 15, 20 % (b/b) dan bentonit
Pengadukan, pemanasan (± 80
oC, 1 jam), pengendapan, dan
penyaringan
Minyak Analisa
Analisa
3.4 Rancangan Percobaan Dan Analisa Data
1. Pembuatan Arang Aktif
Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan
dua kali ulangan. Faktor perlakuan yang digunakan adalah:
A = Konsentrasi H3PO4 0% (A1), 5% (A2) dan 10% (A3).
B = Suhu aktivasi, yaitu; 700 oC (B2), dan 800 oC (B3)
C = Waktu aktivasi, yaitu; 1 jam (C1) dan 2 jam (C2)
Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut:
Yijkl = µ + Ai + Bj + (AB)ij + Ck + (AC)ik + (BC)jk + (ABC)ijk + εijk
Yijkl = Pengamatan karena pengaruh bersama taraf ke-i faktor A, taraf ke- j
faktor B, dan taraf ke-k faktor C, yang terdapat pada ulangan ke-l
µ = nilai rataan umum
Ai = Pengaruh perlakuan A pada taraf ke-i
Bj = Pengaruh sebenarnya perlakuan B pada taraf ke-j
Ck = Pengaruh sebenarnya perlakuan C pada taraf ke-k
ABij = Pengaruh sebenarnya interaksi antara taraf ke-i faktor A dengan taraf
ke-j faktor B
ACik= Pengaruh sebenarnya interaksi antara taraf ke-i faktor A dengan taraf
ke-k faktor C
BCjk= Pengaruh sebenarnya interaksi antara taraf ke-j faktor B dengan taraf
ke-k faktor C
ABCijk = Pengaruh sebenarnya interaksi antara taraf ke-i faktor A, taraf ke-j
faktor B dan taraf ke-k faktor C
εijkl = Pengaruh sebenarnya daripada unit eksperiment ke- l dikarenakan oleh kombinasi perlakuan.
Jika hasil analisis sidik ragam menunjukkan perbedaan nyata, maka dilanjutkan
2. Aplikasi Arang Aktif pada Minyak Nyamplung
Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap yang
membandingkan arang aktif dan bentonit dengan perlakuan masing-masing 0,
5, 10, 15, dan 20%.
Model rancangan yang digunakan adalah;
Yij = µ + τi + εij
Yij = mutu minyak ke- j oleh karena perlakuan ke- i (i = 0,5,10,15,20)
µ = Pengaruh rata-rata sebenarnya
τi = Pengaruh konsentrasi rata-rata arang aktif pada taraf ke-i
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Kimia Tempurung Biji Nyamplung
Hasil analisis kimia tempurung biji nyamplung dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rataan sifat fisiko kimia tempurung biji nyamplung
Parameter Konsentrasi (%)
Kadar Air 9,97
Kadar Abu 0,61
Kadar Ekstraktif 2,59
Kadar Holoselulosa 87,64
Kadar Alpha selulosa 48,66
Kadar Pentosan 24,82
Kadar Lignin 36,69
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa tempurung nyamplung yang
digunakan dalam penelitian ini cukup kering dengan kadar air 9,97%. Kadar
holoselulosa tempurung adalah 87,64%. Holoselulosa merupakan karbohidrat
dalam kayu yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan pektin. Hasil ini lebih
besar dari polisakarida kayu pada umumnya yang berkisar antara 65-75% (Fengel
dan Wegener 1995). Hal ini menunjukkan bahwa tempurung nyamplung dapat
dikonversi menjadi arang atau arang aktif. Hal ini sesuai dengan pendapat Asano
et al. (1999), bahwa bahan baku pembuatan arang adalah bahan yang mengandung karbon baik organik maupun anorganik.
Tempurung nyamplung mempunyai α selulosa sebesar 48,66% dan kadar
hemiselulosa yang ditentukan sebagai pentosan sebesar 24,82%. Selulosa α
digunakan sebagai penduga atau penentu tingkat kemurnian selulosa.
Hemiselulosa merupakan heteropolisakarida yang tersusun dari 5 jenis gula yaitu
3 heksosa (glukosa, manosa dan galaktosa) dan 2 pentosa (xilosa dan arabinosa)
Kandungan abu tempurung biji nyamplung cukup rendah yaitu 0,61%.
Sementara itu kadar ekstraktif tempurung nyamplung yang larut dalam alkohol
benzena adalah 2,59%. Zat ekstraktif terdiri dari berbagai jenis komponen
senyawa organik seperti minyak atsiri, terpenoid, steroid, lemak, lilin, fenol
(stilben, lignan, tanin terhidrolisis, tanin kondensasi, flavonoid) (Sjostrom 1998),
beberapa zat ekstaktif tempurung nyamplung yang teridentifikasi dapat dilihat
pada Lampiran 3.
Lignin merupakan zat organik polimer yang penting dan banyak terdapat
dalam tumbuhan tingkat tinggi. Terdapat dalam lamela tengah dan dinding sel
primer. Lignin dapat meningkatkan sifat kekuatan mekanik pada tumbuhan untuk
berdiri kokoh (Fengel dan Wagener 1995). Kadar lignin dalam tempurung
nyamplung adalah 36,69 %. Kadar lignin tersebut lebih tinggi dari kadar lignin
dalam kayu pada umumnya yang berkisar antara 20 – 25%. Adanya lignin yang
cukup tinggi dalam tempurung menyebabkan tempurung berstruktur kokoh dan
keras.
4.2. Struktur Tempurung Nyamplung, Arang dan Arang Aktif
4.2.1. Gugus fungsi
Gugus fungsi tempurung nyamplung dianalisa menggunakan Fourier Transform Infra Red (FT-IR). Perubahan gugus fungsi tempurung, arang dan arang nyamplung yang disebabkan oleh pengaruh suhu karbonisasi, dan lama
Bilangan Gelombang (Cm -1) Keterangan :
A1 = Konsentrasi H3PO4 0% S1 = Suhu 700 oC W1 = Waktu aktivasi 60 menit
A2 = Konsentrasi H3PO4 5% S2 = Suhu 800 oC W2 = Waktu aktivasi 120 menit
[image:44.612.126.486.76.498.2]A3 = Konsentrasi H3PO4 10%
Gambar 4. Spektrum FT-IR tempurung nyamplung, arang dan arang aktif
Berdasarkan Gambar 4 dan Tabel 2, dapat dilihat bahwa spektrum FTIR
tempurung nyamplung mempunyai pita serapan pada bilangan gelombang 3430
cm-1 yang merupakan gugus fungsi OH, yang diperkuat dengan adanya pita
serapan pada 1323 cm-1 yang merupakan OH bending dan 1109 cm-1 yang
menunjukkan adanya vibrasi C-O dari OH sekunder. Serapan pada 2922 cm-1
menunjukkan adanya vibrasi C-H (stretching/regangan) alifatik, juga serapan pada
bilangan gelombang 1462 dan 896 cm-1 yang menunjukkan vibrasi asimetris C-H.
Pita serapan pada 1741 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi regangan gugus C=O.
terdapat ikatan C=C cincin aromatik pada bilangan gelombang 1511 cm-1, dan
terdapat vibrasi C=C alifatik yang ditunjukkan dengan adanya pita serapan pada
bilangan gelombang 1624 cm-1 dan pita serapan 1161 cm-1 menunjukkan adanya
vibrasi C-O-C yang merupakan struktur eter yang mempunyai 6 cincin.
Selanjutnya pita serapan pada 1034 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi C-O dari
C-OH primer. Hasil ini sesuai dengan penelitian Bilba dan Quensanga (1996);
Serrano et al (1999); dan Pari (2004).
Tempurung nyamplung banyak mengandung senyawa kimia yang
mempunyai ikatan hidroksil OH, seperti dibuktikan dari besarnya serapan
absorban pada bilangan gelombang 3430, 1323 dan 1109 cm-1 (Lampiran 2) serta
hasil analisis GC-MS Pyrolisis yang menunjukkan adanya senyawa asam asetat,
furfuryl alkohol, keton, cyclopentanadion, senyawa phenol, pyrocatechol dan
senyawa lainnya (Lampiran 3).
Sementara itu hasil analisi FT-IR pada arang tempurung nyamplung dapat
dilihat bahwa telah terjadi perubahan pola spektrum serapan infra red (IR) dari tempurung nyamplung menjadi arang yaitu terjadi pergeseran bilangan gelombang
dari 3430 cm-1 ke 3429 cm-1, 2922 cm-1 ke 2920 cm-1 , 1377 cm-1 ke 1378 cm-1,
1251 cm-1 ke 1256 dan bilangan gelombang 896 cm-1 ke 871 cm-1. Kemudian
terdapat bilangan gelombang yang hilang yaitu pada 1741, 1624, 1462, 1323,
1161, 1109, 1034 cm-1, dan terbentuknya serapan baru pada bilangan gelombang
2855 cm-1 yang merupakan vibrasi C-H regangan dari gugus metil (CH3) dan
metilen (CH2), serta munculnya serapan baru pada 810 dan 751 cm-1 yang
merupakan C-H aromatik. Proses karbonisasi dan aktivasi juga telah membentuk
ikatan C=C aromatik di sekitar 1558-1580 cm-1. Hal ini membuktikan bahwa
karbonisasi dan aktivasi akan meningkatkan senyawa aromatik. Senyawa tersebut
merupakan penyusun struktur heksagonal arang dan arang aktif (Pari 2004).
Berdasarkan analisis besaran absorban (Lampiran 2), dapat diketahui
bahwa tingkat serapan (absorban) arang pada bilangan gelombang 3429 cm-1
hanya sekitar 1,619, lebih rendah dari absorban tempurung nyampung pada
bilangan gelombang 3430 cm-1 yang mempunyai absorban 2. Sementara itu pada
bilangan gelombang sekitar 2900 cm-1 terjadi kecenderungan peningkatan
karbonisasi dengan suhu yang semakin tinggi akan mengakibatkan perubahan
gugus fungsi yaitu terjadinya pergeseran, hilangnya bilangan gelombang serapan
atau tingkat serapannya berkurang dan terbentuknya senyawa radikal tidak stabil
[image:46.612.101.498.196.670.2]yang selanjutnya bereaksi membentuk senyawa baru (Pari 2004; Demirbas 2005).
Tabel 2. Bilangan gelombang tempurung nyamplung, arang dan arang aktif
No Bahan baku Bilangan gelombang (cm-1)
1 Tempurung 3430 2922 1741 1624 1511 1462 1377 1323 1251 1161 1109 1034 896
2 Arang 3429 2920 2855 2366 2341 1580 1378 1256 871 810 751
Arang Aktif
3 A1S1W2 3431 2920 2853 2361 2337 1630 1459 1160 1059 874 671
4 A1S2W1 3433 2921 2853 2361 2337 1631 1559 1461 1161 1058 899 873 670 615
5 A1S2W2 3428 2920 2854 2361 2337 1630 1558 1461 1162 1057 874 708 671
6 A2S2W2 3420 2919 2850 2361 2337 1630 1560 1057 672
7 A3S1W1 3429 2919 2853 2361 2337 1632 1559 1112 670
8 A3S1W2 3429 2921 2852 2388 2346 1623 1561 1107 880
616
9 A3S2W2 3416 2918 2849 2360 2325 1563 1094 1066 604
Keterangan :
A1 = Konsentrasi H3PO4 0% S1 = Suhu 700 oC W1 = Waktu aktivasi 60 menit
A2 = Konsentrasi H3PO4 5% S2 = Suhu 800 oC W2 = Waktu aktivasi 120 menit
A3 = Konsentrasi H3PO4 10%
Adanya uap air pada proses aktivasi arang aktif dan pada saat penghalusan
arang aktif untuk persiapan sampel, ternyata masih berperan dengan
teridentifikasinya gugus OH pada arang aktif. Gugus tersebut dapat berasal dari
reaksi antara uap air dengan senyawa bebas pada permukaan arang yang
diaktivasi dan bukan berasal dari bahan baku tempurung nyamplung. Hal ini
3400 cm-1 yang cenderung kembali meningkat dari absorban 1,619 (arang)
menjadi 2 pada arang aktif, meskipun beberapa diantaranya berfluktuatif
(Lampiran 2).
Arang aktif yang dihasilkan memiliki pola serapan dengan jenis ikatan
OH, C-H, C-O, dan C=C. Adanya ikatan OH dan C-O serta hasil GCMS
(Lampiran 3), yang mendeteksi adanya senyawa carbamic acid dan propinoic acid yang mengandung gugus karbonil (C=O) dan gugus hidroksil (OH), maka arang aktif akan cenderung bersifat lebih polar, meskipun masih terdapat ikatan
C=C yang bersifat non polar.
4.2.2 Identifikasi Pola Struktur Kristalit
Analisis X-ray Difraktometer (XRD) bertujuan untuk mengetahui struktur
kristalit suatu bahan yaitu derajat kristalinitas (X), jarak antar lapisan (d), tinggi
(Lc), lebar (La) antar lapisan aromatik dan jumlah (N) lapisan aromatiknya.
Prinsip X-ray diffraction adalah; pada waktu suatu material dikenai sinar X, maka
intensitas sinar yang diteruskan atau ditranmisikan akan lebih rendah dari
intensitas sinar datang. Hal ini disebabkan adanya penyerapan oleh material dan
juga penghamburan oleh atom-atom dalam meterial tersebut. Berkas sinar X yang
dihamburkan tersebut ada yang saling menghilangkan karena fasanya berbeda dan
ada juga yang saling menguatkan karena fasanya sama. Berkas sinar X yang
saling menguatkan itulah yang disebut sebagai berkas difraksi. Hasil analisis
XRD tempurung, arang dan arang aktif tempurung nyamplung disajikan pada
Tabel 3 dan Gambar 5.
Dari Tabel 3 dapat diketahui derajat kristalit tempurung nyamplung lebih
rendah dari kristalit arang yaitu 18,92% dan 20,21%, selain itu terjadi pergeseran
intensitas sudut difraksi dari θ 22,5 menjadi θ 22,8 serta terbentuknya sudut baru
di θ 44,2. Ini menunjukkan bahwa karbonisasi tempurung nyamplung dapat
meningkatkan derajat kristalinitas dengan struktur kristalit yang berbeda.
Menurut Pari (2004) pada bahan baku, struktur kristalit didominasi oleh struktur
kristalit selulosa, sedangkan pada arang, struktur kristalit terbentuk dari senyawa
Tabel 3. Struktur kristalin dan lapisan aromatik pada bahan baku, arang dan arang aktif tempurung nyamplung
No Perlakuan X
(%)
θ(002)
(o)
d (nm)
θ(100)
(o)
d (nm) Lc (nm) N La (nm)
1 Tempurung 18,92 22,50 0,3948 - - - - -
2 Arang 20,21 22,80 0,3896 44,20 0,2047 1,412 6,90 25,964
3 A1S1W1 23,49 25,43 0,3500 42,95 0,2104 1,548 7,36 7,755
4 A1S1W2 24,36 24,50 0,3630 43,00 0,2101 1,674 7,97 6,712
5 A2S1W1 23,72 24,98 0,3561 43,86 0,2062 1,554 7,54 9,592
6 A2S1W2 23,86 25,56 0,3482 43,98 0,2057 1,779 8,65 8,542
7 A3S1W1 24,62 24,47 0,3635 43,13 0,2095 1,312 6,26 7,847
8 A3S1W2 23,33 24,41 0,3643 44,01 0,2055 1,737 8,45 8,868
9 A1S2W1 30,89 25,55 0,3483 42,93 0,2105 1,678 7,97 6,979
10 A1S2W2 29,65 25,64 0,3471 42,77 0,2112 1,611 7,63 6,643
11 A2S2W1 24,95 24,03 0,3700 44,05 0,2054 1,614 7,86 8,758
12 A2S2W2 26,14 24,77 0,3591 42,99 0,2102 1,693 8,05 7,756
13 A3S2W1 28,08 24,45 0,3637 43,89 0,2061 1,786 8,67 8,336
14 A3S2W2 27,66 24,75 0,3594 44,25 0,2045 1,693 8,28 8,249
Keterangan :
A1 = Konsentrasi H3PO4 0% S1 = Suhu 700 oC W1 = Waktu aktivasi 60 menit
A2 = Konsentrasi H3PO4 5% S2 = Suhu 800 oC W2 = Waktu aktivasi 120 menit
A3 = Konsentrasi H3PO4 10%
Keterangan :
A1 = Konsentrasi H3PO4 0% S1 = Suhu 700 oC W1 = Waktu aktivasi 60 menit
A2 = Konsentrasi H3PO4 5% S2 = Suhu 800 oC W2 = Waktu aktivasi 120 menit
[image:49.612.116.505.77.649.2]A3 = Konsentrasi H3PO4 10%
Gambar 5. Difraksi sinar x tempurung nyamplung, arang dan arang aktif
Tempurung
Arang A1S1W1 A1S1W2 A2S1W1 A2S1W2 A3S1W1 A3S1W2 A2S2W1 A2S2W2 A3S2W1 A3S2W2
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Schukin et al. (2002); Pari (2004) dan Gani (2007) yang menyimpulkan bahwa peningkatan suhu karbonisasi akan
meningkatkan derajat kristalinitas arang aktif. Peningkatan kristalinitas terjadi
karena adanya penyusutan struktur kristalit arang yang semakin teratur, dimana
akan menghasilkan celah diantara kristalit semakin lebar dan pori yang terbentuk
bertambah besar (Pari 2004).
Sementara itu aktivasi arang tanpa H3PO4 menunjukkan kecendrungan
peningkatan derajat kristalinitas sejalan dengan meningkatnya suhu aktivasi,
tetapi cenderung turun dengan semakin lamanya waktu aktivasi. Aktivasi arang
dengan H3PO4 5% menunjukkan kecenderungan peningkatan derajat kristalinitas
sejalan dengan meningkatnya suhu dan waktu aktivasi. Aktivasi arang dengan
H3PO4 10% menunjukkan kecendrungan yang sama dengan aktivasi tanpa H3PO4
yaitu derajat kristalinitas meningkat bila suhu naik, tetapi turun bila waktunya
semakin lama. Derajat kristalinitas tertinggi diperoleh pada perlakuan aktivasi
tanpa H3PO4 atau 0%, suhu 800 oC dan waktu aktivasi 60 menit yaitu sebesar
30,89%, dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Lebih rendahnya derajat
kristalinitas arang aktif yang menggunakan H3PO4 5% dan 10% dapat terjadi
karena adanya reaksi oksidasi dan reduksi antara bahan baku dengan asam fosfat
dimana asam fosfat tereduksi menjadi fosfat anhidrida yang bersifat dapat
menarik uap air (Sudradjat dan Suryani 2002). Sifat higroskopis tersebut diduga
lebih memudahkan penyerapan uap air dari ketel uap sehingga lebih melindungi
arang aktif dari panas.
Hasil analisis XRD menunjukkan derajat kristalinitas tempurung
nyamplung lebih rendah dibandingkan dengan bahan berlignoselulosa lainnya
(Tabel 4). Rendahnya kristalit diduga dipengaruhi oleh kadar lignin yang cukup
tinggi yaitu sebesar 36,59%. Hal ini dimungkinkan karena lignin merupakan
senyawa aromatik dengan struktur dasar bersifat amorf, kaku dan rapuh (Pari
2004; Tarmansyah 2007). Sehingga adanya kandungan lignin diduga dapat
menurunkan derajat kristalinitas dalam bahan. Tabel 4 berikut menyajikan
Tabel 4. Derajat kristalinitas beberapa bahan berlignoselulosa
Karakteristik (%)
Sengon Jati Rami Pulp bambu
Selulosa Murni
Lignin murni
Tempurung Nyamplung
Selulosa 49,4a 47,5a 80-90d 40-50 - - 48,66
Holoselulosa 75,76b 77,46
b
- - - - 87,64
Lignin 26,8a 29,9a 0,5-1d - - - 36,69
Pentosan 15,6a 14,4a 3-4d - - - 24,82
Derajat kristalinitas
38,8c 34,9c 72d 59,9e 51,7c 4,3c 18,92
Keterangan : a. Martawijaya et al. 1981, b. Irawaty 2006, c. Pari 2004, d. Tarmansyah 2007, e. Fengel dan Wegener 1995.
Tabel 4 memperlihatkan bahwa kayu sengon dengan kadar selulosa 49,4%
dan lignin 26,8 % mempunyai derajat kristalinitas sebesar 38,8%, sementara itu
pada pulp bambu dengan lignin yang sudah dihilangkan mempunyai derajat
kristalinitas sebesar 59,9%. Hal ini menunjukkan bahwa bahan yang mengandung
selulosa relatif tinggi dan mempunyai kadar lignin yang juga relatif tinggi, dapat
mempunyai derajat kristalinitas yang lebih rendah, dibandingkan bahan dengan
kandungan selulosa yang sama, tetapi kadar ligninnya relatif rendah.
4.2.3 Struktur Pori Tempurung Nyamplung, Arang dan Arang Aktif
Analisis struktur permukaan pori dilakukan menggunakan Scan