PENGARUH KOMPOSISI DEWAN KOMISARIS, KARAKTERISTIK KOMITE AUDIT, DAN MANAJEMEN LABA TERHADAP FEE AUDIT
PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR DI BURSA EFEK INDONESIA TAHUN 2010-2014
SKRIPSI
Oleh:
NI KADEK SUKANIASIH NIM: 1215351072
PROGRAM EKSTENSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS UDAYANA
i
PENGARUH KOMPOSISI DEWAN KOMISARIS, KARAKTERISTIK KOMITE AUDIT, DAN MANAJEMEN LABA TERHADAP FEE AUDIT
PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR DI BURSA EFEK INDONESIA TAHUN 2010-2014
SKRIPSI
Oleh:
NI KADEK SUKANIASIH NIM: 1215351072
Skripsi ini ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
di Program Ekstensi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana
ii
Skripsi ini telah diuji oleh tim penguji dan disetujui oleh Pembimbing, serta diuji
pada tanggal: 15 Pebruari 2015
Tim Penguji: Tanda tangan
1. Ketua : Dr. I Ketut Budiartha, SE., M.Si., Ak ...………….
2. Sekretaris : Agus Indra Tenaya, SE., MSA (HumBis)., Ak ...………….
3. Anggota : Dr. A.A.G.P. Widanaputra, SE., M.Si., Ak ...………….
Mengetahui,
Ketua Jurusan Akuntansi Pembimbing
Dr. A.A.G.P. Widanaputra, SE., M.Si., Ak Agus Indra Tenaya, SE., MSA (HumBis)., Ak
iii
PERNYATAAN ORISINALITAS
Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa sepanjang pengetahuan saya, di
dalam Naskah Skripsi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh
orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi, dan tidak
terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain,
kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar
rujukan.
Apabila ternyata di dalam naskah skripsi ini dapat dibuktikan terdapat
unsur-unsur plagiasi, saya bersedia di proses sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 25 Pebruari 2016
Mahasiswa,
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha
Esa, karena berkat rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Pengaruh Komposisi Dewan Komisaris, Karakteristik Komite Audit, dan
Manajemen Laba Terhadap Fee Audit pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2014” sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih kepada:
1. Dr. I Nyoman Mahaendra Yasa, SE., M.Si., selaku Dekan Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Universitas Udayana.
2. Prof. Dr. Ni Nyoman Kerti Yasa, SE., M.S., selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.
3. Dr. A.A G.P. Widanaputra, SE., M.Si., Ak dan Dr. I Dewa Nyoman Badera,
SE., M.Si., masing-masing selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Akuntansi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.
4. Drs. I Ketut Suardhika Natha, M.Si., dan Drs. I Made Jember, M.Si.,
masing-masing selaku Ketua dan Sekretaris Program Ekstensi Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Udayana.
5. Ni Gusti Putu Wirawati, SE., M.Si., selaku Koordinator Jurusan Akuntansi
Program Ekstensi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.
6. Made Yenni Latrini, SE., MSi., Ak selaku Pembimbing Akademik yang telah
v
7. Agus Indra Tenaya, SE., MSA (HumBis), Ak., selaku Dosen Pembimbing
Skripsi yang telah meluangkan waktu serta banyak memberikan bimbingan,
masukan, dan motivasi selama proses penyelesaian skripsi ini.
8. Dr. I Ketut Budiartha, SE.,M.Si., Ak., selaku Dosen Pembahas yang telah
memberikan saran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
9. Orang Tua tercinta I Wayan Kana dan Ni Ketut Sukasih, serta kakak
tersayang I Wayan Kardiasa, ST., beserta keluarga besar yang telah banyak
memberikan dukungan moral serta doa yang tulus dan tiada hentinya.
10. Sahabat tercinta Intan, Taritha, dan Reza yang telah memberikan motivasi
dan bantuan bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
11. Teman-teman FEB Unud angkatan 2012 Nathania, Sukrisna, Nindya, Pratiwi,
Nana, Dwi, Kartika Wijayanthi, Kartika Pradani, Putri Rahayu, Susi, Dewi
Widnyani, Dewik Erina, Dayu Tri, dan teman-teman lainnya yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan, bantuan, dan
motivasinya selama ini.
12. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih belum sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan sebagai masukan yang
berharga. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan
semua pihak yang berkepentingan.
Denpasar, 25 Pebruari 2016
vi
Judul : Pengaruh Komposisi Dewan Komisaris, Karakteristik Komite Audit, dan Manajemen Laba Terhadap Fee Audit pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2014.
Nama : Ni Kadek Sukaniasih NIM : 1215351072
ABSTRAK
Besarnya fee audit di Indonesia masih belum terpublikasikan oleh Kantor Akuntan Publik. Untuk menghitung besar kecilnya fee yang diberikan ditentukan dari kekuatan tawar-menawar diantara auditor dan klien. Independensi dewan komisaris, ukuran dewan komisaris, independensi komite audit, ukuran komite audit, intensitas pertemuan komite audit, dan manajemen laba merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi fee audit. Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan bukti empiris dari adanya independensi dewan komisaris, ukuran dewan komisaris, independensi komite audit, ukuran komite audit, intensitas pertemuan komite audit, dan manajemen laba terhadap fee audit pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
Jumlah populasi yang diperoleh dalam penelitian ini adalah 140 perusahaan dengan menggunakan metode purposive sampling sebagai metode pengambilan sampel penelitian, sehingga diperoleh jumlah sampel penelitian dalam 1 (satu) tahun sebanyak 28 perusahaan. Analisis data yang digunakan adalah regresi linear berganda dengan alat uji t. Sebelum dilakukan uji regresi, data terlebih dahulu diuji menggunakan uji asumsi klasik. Penelitian ini juga menggunakan ukuran perusahaan sebagai variabel kontrol.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ukuran dewan komisaris, ukuran komite audit, intensitas pertemuan komite audit, dan ukuran perusahaan
mempunyai pengaruh signifikan terhadap fee audit. Sementara variabel
independensi dewan komisaris, independensi komite audit, dan manajemen laba tidak signifikan terhadap fee audit.
vii DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii
KATA PENGANTAR... iv
ABSTRAK ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 10
1.3 Tujuan Penelitian ... 11
1.4 Kegunaan Penelitian ... 11
1.5 Sistematika Penulisan ... 12
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1Landasan Teori ... 14
2.1.1 Teori Keagenan ... 14
2.1.2 Definisi Corporate Governance ... 17
2.1.3 Mekanisme Corporate Governance ... 19
2.1.3.1 Dewan Komisaris... 19
2.1.3.2 Komite Audit ... 22
2.1.4 Manfaat Corporate Governance... 24
2.1.5 Definisi Manajemen Laba ... 25
2.1.6 Bentuk Manajemen Laba ... 26
2.1.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Manajemen Laba ... 27
2.1.8 Fee Audit ... 28
2.2Penelitian Terdahulu ... 31
2.3Rumusan Hipotesis ... 33
2.3.1 Hubungan antara Independensi Dewan Komisaris dengan Fee Audit... 33
2.3.2 Hubungan antara Ukuran Dewan Komisaris dengan Fee Audit... 34
2.3.3 Hubungan antara Independensi Komite Audit dengan Fee Audit... 35
2.3.4 Hubungan antara Ukuran Komite Audit dengan Fee Audit ... 36
viii
2.3.6 Hubungan antara Manajemen Laba dengan Fee
Audit ... 37
BAB III METODE PENELITIAN 3.1Desain Penelitian ... 40
3.2Lokasi Penelitian ... 42
3.3Objek Penelitian ... 42
3.4Identifikasi Variabel ... 42
3.5Definisi Operasional Variabel ... 43
3.6Jenis dan Sumber Data ... 49
3.6.1 Jenis Data ... 49
3.6.2 Sumber Data ... 50
3.7Populasi, Sampel dan Metode Penentuan Sampel ... 50
3.8Metode Pengumpulan Data... 51
3.9Teknik Analisis Data ... 51
3.9.1 Uji Regresi Linier Berganda ... 51
3.9.2 Uji Asumsi Klasik ... 52
3.9.3 Uji Statistik ... 54
BAB IV DATA DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4.1Gambaran Umum Objek Penelitian ... 56
4.2Analisis Statistik Deskriptif ... 57
4.3Analisis Regresi Linear Berganda ... 60
4.3.1 Uji Asumsi Klasik ... 60
4.3.2 Uji Hipotesis ... 64
4.3.2.1 Koefisien Determinasi (R2) ... 67
4.3.2.2 Uji Statistik t ... 68
4.4Pembahasan Hasil Penelitian ... 71
4.5Pembahasan Variabel Kontrol ... 80
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1Simpulan ... 82
5.2Saran ... 84
DAFTAR RUJUKAN ... 85
ix
DAFTAR TABEL
No. Tabel Halaman
4.1 Metode Pengambilan Sampel Penelitian ... 57
4.2 Statistik Deskriptif ... 57
4.3 Hasil Uji Normalitas (Kolmogorov-Smirnov Test) ... 61
4.4 Hasil Uji Multikolinearitas ... 62
4.5 Hasil Uji Heteroskedastisitas ... 63
4.6 Hasil Uji Autokorelasi ... 63
x
DAFTAR GAMBAR
No. Gambar Halaman
2.1 Struktur BoD dan BoC dalam Two Tiers System yang
Berkembang Di Indonesia ... 20
2.2 Kerangka Rumusan Hipotesis ... 39
xi
DAFTAR LAMPIRAN
No. Lampiran Halaman
1 Daftar Perusahaan yang Memenuhi Kriteria Pengambilan
Sampel ... 91
2 Tabulasi Manajemen Laba ... 92
3 Data Mentah Penelitian ... 108
4 Regression (Manajemen Laba) ... 115
5 Statistik Deskriptif Data Uji.. ... 116
6 Uji Normalitas ... 117
7 Uji Multikolinearitas ... 118
8 Uji Heteroskedastisitas.. ... 120
9 Uji Autokorelasi ... 121
1 BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Setiap pelaku usaha atas usaha yang dijalankannya atau perusahaan yang
telah didirikannya pasti memiliki harapan agar perusahaan tersebut dapat
mempertahankan kelangsungan usahanya dalam jangka waktu yang panjang.
Demi mempertahankan aktivitas perusahaan di dalam persaingan bisnis yang
semakin ketat, perusahaan akan mengalami kendala dalam pemenuhan kebutuhan
pendanaan. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan di Indonesia dewasa ini mulai
mengubah status perusahaannya dari perusahaan yang tertutup menjadi
perusahaan yang terbuka melalui penawaran saham kepada publik (go public) dan
mencatatkan sahamnya dengan memanfaatkan pasar modal di PT Bursa Efek
Indonesia. Terkait dengan perusahaan yang go public tersebut harus memenuhi
berbagai peraturan yang diterbitkan oleh pasar modal, salah satunya adalah
mempublikasikan laporan keuangan auditan tahun buku terakhir yang diaudit oleh
Kantor Akuntan Publik (KAP) yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Melalui keputusan ketua Badan pengawas pasar modal (Bapepam) dan
Lembaga Keuangan (LK) Nomor: Kep-346/BL/2011 dan Bursa Efek Indonesia
(BEI) Nomor: Kep-00001/BEI/01-2014 menyatakan bahwa emiten atau
perusahaan go public wajib menyampaikan laporan keuangan auditan yang telah
diaudit oleh akuntan publik. Hal tersebut justru akan meningkatkan permintaan
atas jasa audit dari akuntan publik. Informasi yang diberikan melalui laporan
2
dalam memutuskan untuk melakukan investasi atas dana yang mereka miliki.
Oleh karena itu diperlukan kegiatan audit untuk memeriksa laporan keuangan agar
dapat memberikan informasi yang relevant dan reliable. Menggunakan jasa
akuntan publik merupakan alternatif yang diharuskan oleh pasar modal terkait
pemberian pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan yang telah disusun
oleh manajemen perusahaan.
Teori keagenan (agency theory) merupakan basis teori yang mendasari
praktik bisnis perusahaan dewasa ini, dimana hubungan keagenan ini mengatur
kontrak antara manajer (agent) dengan pemilik maupun investor (principal).
Dalam teori agensi, agen diharuskan memberikan informasi yang rinci dan relevan
kepada principal. Namun, pada kenyataannya hal tersebut bukanlah hal yang
mudah karena adanya perbedaan kepentingan antara agen dan prinsipal. Manajer
sebagai pihak yang melaksanakan kegiatan operasional perusahaan mempunyai
kewajiban untuk memenuhi kepentingan pemegang saham sebagai pemilik
perusahaan. Namun di sisi lain pihak manajer juga mempunyai kepentingan untuk
memaksimumkan kesejahteraan mereka. Perbedaan kepentingan antara pihak
pengelola perusahaan (manajer) sebagai agen dengan pihak pemegang saham
(prinsipal) akan menyebabkan konflik kepentingan yang biasa disebut sebagai
masalah keagenan atau agency problem.
Permasalahan yang muncul dari agency problem mampu diatasi melalui
salah satu mekanisme pengawasan yang dinamakan audit. Watts et al. (1986)
berargumen bahwa pengauditan memainkan peranan penting dalam memonitor
3
menyatakan bahwa audit merupakan cara yang mampu mengurangi biaya agensi
akibat adanya perilaku mementingkan diri sendiri oleh manajer dan asimetri
informasi. Berkaitan dengan auditing, baik prinsipal maupun agen diasumsikan
sebagai orang yang memiliki rasionalitas ekonomi, di mana setiap tindakan yang
dilakukan termotivasi oleh kepentingan pribadi atau akan memenuhi
kepentingannya terlebih dahulu sebelum memenuhi kepentingan orang lain. Oleh
karena itu, dibutuhkan adanya pihak yang melakukan proses pemantauan dan
pemeriksaan terhadap aktivitas yang dilakukan oleh pihak-pihak tersebut diatas.
Aktivitas pihak-pihak tersebut, dinilai lewat kinerja keuangannya yang tercermin
dalam laporan keuangan.
Auditing merupakan suatu proses sistematik yang terdiri atas
langkah-langkah yang berurutan termasuk evaluasi internal control accounting dan tes
terhadap susbtansi transaksi-transaksi dan saldo. Auditor harus mempelajari dan
mengevaluasi pengendalian intern sebelum melakukan tes substansi dari
transaksi-transaksi dan saldo-saldo perkiraan (substantive testing). Pengendalian
intern yang kuat meningkatkan tingkat kepercayaan auditor dan mengurangi
jumlah tes atas transaksi-transaksi dan saldo-saldo perkiraan. Auditor kemudian
mengkomunikasikan hasil pekerjaan auditnya kepada pihak-pihak yang
berkepentingan. Hal ini berarti auditor merupakan pihak yang dianggap dapat
menjembatani kepentingan pihak pemegang saham (prinsipal) dengan pihak
manajer (agen) dalam mengelola keuangan perusahaan termasuk menilai
4
perusahaan. Adanya masalah agensi yang disebabkan karena konflik kepentingan
ini, kemudian akan menyebabkan perusahaan harus menanggung biaya keagenan.
Pengawasan atau monitoring yang dilakukan oleh pihak independen
memerlukan biaya/monitoring cost dalam bentuk biaya audit atau yang biasa
disebut dengan fee audit, yang merupakan salah satu dari agency cost. Biaya
pengawasan (monitoring cost) merupakan biaya untuk mengawasi perilaku agen
apakah agen telah bertindak sesuai kepentingan prinsipal dengan melaporkan
secara akurat semua aktivitas yang telah ditugaskan kepada manajer (agen)
tersebut. Iskak (dalam Suharli, dkk., 2008) mendefinisikan fee audit adalah
honorarium yang dibebankan oleh akuntan publik kepada perusahaan auditee atas
jasa audit yang dilakukan akuntan publik terhadap laporan keuangan. Pada
tanggal 2 Juli 2008, Ketua Umum Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI)
menerbitkan Surat Keputusan No. KEP.024/IAPI/VII/2008 tentang Kebijakan
Penentuan Fee Audit. Kebijakan tersebut menjelaskan mengenai besarnya fee
audit yang wajar dengan mempertimbangkan jasa audit yang diberikan oleh
anggota IAPI.
Biaya pokok pemeriksaan akan diperoleh dari tawar menawar yang
dilakukan antara klien dengan kantor akuntan publik (Iskak, 1999). Proses tawar
menawar tersebut menjelaskan bahwa terjadi perbedaan besarnya fee audit di
setiap perusahaan yang akan diauditnya maupun antar kantor akuntan publik itu
sendiri, sehingga akan berpengaruh pada penetapan fee audit yang terlalu tinggi
5
data fee audit di dalam laporan tahunan dikarenakan pengungkapan data tentang
fee auditdi Indonesia masih berupa voluntary disclosures (Rizqiasih, 2010).
Corporate governance tidak terlepas dari teori keagenan (agency theory),
dimana masalah agensi yang timbul dapat diatasi dengan menerapkan tata kelola
perusahaan yang baik (corporate governance). Corporate governance bertujuan
untuk melakukan pengawasan terhadap pengelolaan perusahaan apakah sudah
seimbang dengan kepentingan para pemegang saham (Susiana, dkk., 2007).
Upaya pengawasan ini akan menimbulkan agency cost yaitu ongkos atau risiko
yang terjadi ketika seseorang (principal) membayar seseorang (agent) untuk
menjalankan sebuah tugas (Erlina, 2013). Keadaan ini akan mendorong pihak
agen dalam mengawasi pengungkapan informasi laporan keuangan agar sesuai
dengan kepentingan pihak prinsipal, salah satunya dengan memberikan fee audit
yang tinggi kepada akuntan publik sehingga mampu memberikan kualitas audit
yang tinggi. Jadi dengan adanya pengawasan dari struktur corporate governance
ini tidak akan menguntungkan salah satu pihak antara pemilik perusahaan dengan
para pemegang saham.
Mekanisme internal corporate governance adalah cara untuk
mengendalikan perusahaan dengan menggunakan struktur dan proses internal
seperti rapat umum pemegang saham (RUPS), komposisi dewan direksi,
komposisi dewan komisaris dan pertemuan dengan board of director (Iskandar,
dkk. dalam Chintya 2014). Dewan komisaris sebagai struktur corporate
governance, mempunyai peran yang sangat penting dan strategis dalam hal
6
menjaga terciptanya sistem pengawasan perusahaan yang memadai serta
dilaksanakannya good corporate governance (Wawo, 2010). Komposisi dewan
komisaris dapat dilihat dari persentase komisaris independen dan ukuran dewan
komisaris.
Hay et al. (dalam Rizqiasih, 2010) menyatakan bahwa komisaris
independen dipandang dapat melakukan pengawasan secara signifikan terhadap
kegiatan dan pengendalian dalam perusahaan sehingga memerlukan informasi
yang independen yang berasal dari auditor eksternal. Hal ini menunjukkan
semakin kuat independensi dewan komisaris sebagai salah satu struktur
governance akan cenderung menuntut akuntan publik untuk menghasilkan
kualitas audit yang lebih tinggi demi meningkatkan penilaian perusahaan di mata
para pemegang saham. Permintaan komisaris independen terhadap kualitas audit
yang lebih tinggi berarti menuntut fee audit yang tinggi pula atas jasa dari akuntan
publik. Hasil penelitian Hamid et al. (2012) menguatkan pernyataan tersebut,
yang menyimpulkan bahwa dengan proporsi komisaris independen yang lebih
tinggi, maka berpengaruh terhadap fee audit yang lebih tinggi pula.
Jumlah anggota atau ukuran dewan komisaris yang tepat bergantung pada
sektor industri perusahaan tersebut, karena akan turut menentukan jenis
kompetensi yang sebaiknya dimiliki oleh dewan komisaris secara keseluruhan
(Prastuti, 2013). Mengingat tanggung jawab dewan komisaris sebagai pengawas
perusahaan, maka dengan meningkatnya ukuran dewan komisaris diharapkan
dapat meningkatkan sistem pengawasan perusahaan seperti mempengaruhi proses
7
dkk. (2013) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa jumlah anggota dewan
komisaris yang tinggi akan membuat laporan keuangan menjadi semakin baik,
sehingga akan mengurangi kerja dari auditor eksternal. Hasil penelitian tersebut
menemukan bahwa ukuran dewan komisaris yang tinggi akan berpengaruh negatif
terhadap fee audit.
Dewan komisaris dalam menjalankan tugasnya dapat membentuk
komite-komite yang membantu pelaksanaan tugasnya. Salah satunya adalah komite-komite audit,
yang bertanggung jawab untuk melakukan pengawasan terhadap pelaporan
keuangan dan pengendalian internal perusahaan serta sebagai penengah antara
auditor internal dan eksternal (Hay et al. dalam Widiasari, 2009). Karakteristik
komite audit dapat dilihat dari persentase komite audit independen, ukuran komite
audit, dan intensitas pertemuan komite audit.
Selama peninjauan terhadap program audit dan hasilnya, independensi
komite audit dapat melakukan rekomendasi kepada dewan komisaris mengenai
ruang lingkup audit untuk menghindari salah saji keuangan (Abbot et. al., 2003).
Hal ini menunjukkan bahwa indepedensi komite audit menginginkan tingkat yang
lebih tinggi untuk kepastian audit yang secara tidak langsung berarti memberikan
dukungan kepada akuntan publik dalam lingkup negosiasi dengan pihak
manajemen. Tuntutan atas peningkatan hasil audit ini akan diikuti dengan
peningkatan fee audit atas jasa profesional. Teori tersebut konsisten dengan
penelitian Abbot et al. (2003) dan Dillan (2007), mereka menemukan adanya
pengaruh positif signifikan antara independensi komite audit (komite audit yang
8
Rekomendasi dari Blue Ribbon Committee (1999), bahwa komite audit
yang lebih independen, memiliki anggota lebih banyak, dan sering mengadakan
rapat diharapkan akan meningkatkan pengawasan komite audit terhadap proses
pelaporan keuangan. Searah dengan penelitian Nadia dkk. (2013) yang
menemukan bahwa ukuran komite audit berpengaruh negatif terhadap fee audit
eksternal. Hal ini diakibat oleh keinginan komite audit untuk mempertahankan
reputasinya sebagai organisasi komite audit yang memiliki keahlian, pengalaman,
dan kualitas lain yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan komite audit.
Pertemuan yang teratur dan terkendali dengan baik akan membantu komite
audit dalam memeriksa akuntansi berkaitan dengan sistem pengendalian internal,
dan dalam hal menjaga informasi manajemen McMullen et al. (dalam Rahmat et
al., 2008). Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) mewajibkan
komite audit untuk mengadakan pertemuan tiga sampai empat kali dalam satu
tahun. Frekuensi pertemuan tersebut harus jelas terstruktur dan dikontrol dengan
baik oleh ketua komite.
Penelitian Razman et al. (2004) mengamati di Malaysia bahwa perusahaan
memiliki pelaporan bagus ketika mereka bertemu lebih sering karena mereka
dapat memantau kegiatan manajemen. Bertentangan dengan penelitian Abbot et,
al., (2003) menemukan bahwa perusahaan dengan komite audit yang memenuhi
setidaknya empat kali setiap tahunnya cenderung sudah menyajikan kembali
laporan keuangan yang telah diaudit oleh mereka. Konsisten dengan pendekatan
9
diharapkan akan mengurangi masalah pelaporan keuangan yang mengarah kepada
fee audit eksternal yang lebih rendah.
Surat perikatan audit (audit engagement letter) merupakan surat persetujuan
antara auditor dengan kliennya tentang syarat-syarat pekerjaan audit yang akan
dilaksanakan oleh auditor. Dalam ikatan perjanjian tersebut, klien menyerahkan
pekerjaan audit atas laporan keuangan kepada auditor dan auditor sanggup untuk
melaksanakan pekerjaan audit tersebut berdasarkan kompetensi profesionalnya.
Menurut SA Seksi 320 (PSA No. 55) bentuk dan isi surat perikatan audit dapat
bervariasi di antara klien, namun surat tersebut umumnya berisi tanggung jawab
manajemen atas laporan keuangan serta dasar perhitungan fee audit dan
pengaturan penagihan yang digunakan oleh auditor. Isi surat perikatan audit
menjelaskan wajib adanya surat pernyataan manajemen yang kemudian menjadi
tanggung jawab perusahaan dalam hal membebaskan dan mengganti rugi kepada
kantor akuntan publik yang bersangkutan dan stafnya atas segala tuntutan
kewajiban, dan biaya-biaya yang akan dikeluarkan sebagai akibat dari kesalahan
pernyataan manajemen berkaitan dengan jasa audit yang diberikan sesuai dengan
perikatan tersebut.
Praktik manajemen laba merupakan salah satu cara manajemen dalam
meningkatkan nilai perusahaan. Praktik manajemen laba yang dilakukan oleh
perusahaan yang melanggar Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK)
menyebabkan auditor eksternal akan memperluas scope pemeriksaan auditnya.
Perluasan lingkup audit akan menyebabkan akuntan publik membutuhkan waktu
10
sebagai akibat dari kesalahan pernyataan manajemen, sehingga hal ini akan
mendorong terjadinya perubahan fee audit. Penelitian Chaney et al. (dalam van
Cameghem, 2009) menemukan bahwa perusahaan membayar fee audit lebih
tinggi karena menggunakan jasa auditor dalam mengaudit laporan keuangannya
yang merupakan alat monitor bagi stakeholders.
Berdasarkan latar belakang di atas, bahwa terdapat ketidakkonsistenan dari
hasil penelitian-penelitian sebelumnya sehingga belum memberikan arah
hubungan yang pasti. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan memeriksa
pengaruh komposisi dewan komisaris, karakteristik komite audit, dan manajemen
laba terhadap fee audit pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia.
1.2Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan pada bagian
sebelumnya, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai
berikut:
1) Bagaimana pengaruh independensi dewan komisaris terhadap fee audit?
2) Bagaimana pengaruh ukuran dewan komisaris terhadap fee audit?
3) Bagaimana pengaruh independensi komite audit terhadap fee audit?
4) Bagaimana pengaruh ukuran komite audit terhadap fee audit?
5) Bagaimana pengaruh intensitas pertemuan komite audit terhadap fee audit?
11 1.3Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang dan rumusan permasalahan, maka
penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis:
1) Pengaruh independensi dewan komisaris terhadap fee audit.
2) Pengaruh ukuran dewan komisaris terhadap fee audit.
3) Pengaruh independensi komite audit terhadap fee audit.
4) Pengaruh ukuran komite audit terhadap fee audit.
5) Pengaruh intensitas pertemuan komite audit terhadap fee audit.
6) Pengaruh manajemen laba terhadap fee audit.
1.4Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak
yang berkepentingan. Adapun manfaat yang ingin diperoleh dalam penelitian ini,
yaitu:
1) Kegunaan Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi tambahan terhadap
pengembangan teori perilaku di dalam literatur akuntansi menyangkut
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi fee audit dalam lingkungan
Auditing.
2) Kegunaan Praktik
Penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan wawasan, pengetahuan,
pengertian dan pemahaman bagi para auditor atau para praktisi akuntansi
atau akuntan profesional tentang hubungan antara independensi dewan
12
komite audit, intensitas pertemuan komite audit, dan manajemen laba
perusahaaan terhadap fee audit.
1.5Sistematika Penulisan
Sebagai arahan dalam memahami skripsi ini, penulis menggunakan
sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
Pada bab ini dijelaskan mengenai latar belakang masalah, rumusan
masalah penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab II Kajian Pustaka dan Hipotesis Penelitian
Pada bab ini dijelaskan mengenai landasan teori yang mendasari
diadakannya penelitian meliputi teori agensi, corporate governance
terutama terkait dengan dewan komisaris dan komite audit,
manajemen laba, fee audit, penelitian terdahulu, dan penjelasan
hipotesis.
Bab III Metode Penelitian
Pada bab ini dijelaskan mengenai metode penelitian yang
digunakan dalam menganalisis data yang meliputi lokasi penelitian,
obyek penelitian, identiifikasi variabel, definisi operasional tentang
variabel yang digunakan dalam penelitian, jenis dan sumber data,
penentuan populasi dan sampel, metode pengumpulan data, teknik
13
Bab IV Data dan Pembahasan Hasil Penelitian
Pada bab ini diuraikan tentang deskripsi obyek penelitian yang
terdiri dari gambaran umum sampel dan hasil olah data serta
pembahasan hasil penelitian.
Bab V Simpulan dan Saran
Pada bab ini diuraikankan mengenai kesimpulan dari hasil yang
diperoleh setelah dilakukan penelitian. Kemudian, disajikan
keterbatasan serta saran yang dapat menjadi pertimbangan bagi
14 BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan
Teori keagenan (agency theory) merupakan basis teori yang mendasari
praktik bisnis perusahaan yang dipakai selama ini. Teori agensi ini pertama kali
dicetuskan oleh Jensen dan Meckling pada tahun 1976. Jensen dan Meckling
(1976:17) menyatakan bahwa hubungan keagenan adalah sebuah kontrak antara
manajer (agent) dengan investor (principal). Konflik kepentingan antara pemilik
dan agen terjadi karena kemungkinan agen tidak selalu berbuat sesuai dengan
kepentingan prinsipal, sehingga memicu biaya keagenan (agency cost).
Tjager, dkk. (2003:25) menyatakan teori keagenan mengalisis dua
permasalahan yang muncul dalam hubungan antara para “principal”
(pemilik/pemegang saham) dan “agent” (manajemen puncak):
1) Agency problem yang muncul ketika (a) timbul konflik antara harapan atau
tujuan pemilik/pemegang saham dan para direksi (top management), dan
(b) para pemilik mengalami kesulitan untuk memverifikasi apa yang
sesungguhnya sedang dikerjakan manajemen.
2) Risk sharing problem yang muncul ketika pemilik dan direksi memiliki
sikap yang berbeda terhadap risiko.
Menurut Jensen dan Meckling (dalam Siti Muyassaroh, 2008), adanya
15
a) The monitoring expenditure by the principle, yaitu biaya pengawasan yang
dikeluarkan oleh prinsipal untuk mengawasi perilaku dari agen dalam
mengelola perusahaan.
b) The bounding expenditure by the agent (bounding cost), yaitu biaya yang
dikeluarkan oleh agen untuk menjamin bahwa agen tidak bertindak yang
merugikan prinsipal.
c) The Residual Loss, yaitu penurunan tingkat utilitas prinsipal maupun agen
karena adanya hubungan agensi.
Perbedaan kepentingan antara principal (pemegang saham) dan agent
(manajer) dapat memicu munculnya kondisi yang disebut sebagai asimetri
informasi (kesenjangan informasi). Masing-masing pihak berusaha memperbesar
keuntungan bagi diri sendiri. Manajer dalam hal ini dapat melakukan tindakan
kecurangan (fraud) untuk melakukan manajemen laba sehingga akan menyesatkan
pemegang saham mengenai kinerja ekonomi perusahaan, disisi lain kompensasi
ekonomi yang diberikan oleh prinsipal kepada agen akan semakin besar.
Tindakan–tindakan seperti memanipulasi laba inilah yang menjadi pentingnya
adanya pengendalian internal dan struktur tata kelola perusahaan (corporate
governance) (Wibowo, dkk., 2013).
Seperti yang telah dikemukakan bahwa baik principal maupun agent ingin
mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya serta ingin terhindar dari resiko yang
mungkin terjadi dalam perusahaan. Adanya asimetri informasi dapat menciptakan
kebutuhan akan adanya pihak ketiga yang independen untuk memeriksa dan
16
karena itu, prinsipal perlu menempatkan mekanisme dengan cara menyewa
auditor sebagai pihak independen untuk mengaudit laporan keuangan guna untuk
meningkatkan kualitas laporan keuangan yang dapat membuat kepercayaan publik
terhadap laporan keuangan tersebut (Ittonen, 2010).
Pengawasan atau monitoring yang dilakukan oleh pihak independen (auditor
eksternal) memerlukan biaya atau monitoring cost dalam bentuk fee audit, yang
merupakan salah satu dari agency cost. Biaya pengawasan (monitoring cost)
merupakan biaya untuk mengawasi perilaku agent apakah agent telah bertindak
sesuai kepentingan principal dengan melaporkan secara akurat semua aktivitas
yang telah ditugaskan kepada manajer. Uraian tersebut diatas memberi makna
bahwa auditor merupakan pihak yang dianggap dapat menjembatani kepentingan
pihak pemegang saham (principal) dengan pihak manajer (agent) dalam
mengelola keuangan perusahaan termasuk menilai kelayakan strategi manajemen
dalam upaya untuk mengatasi kesulitan keuangan perusahaan.
Corporate governance merupakan konsep yang didasarkan pada teori
keagenan, diharapkan bisa berfungsi sebagai alat untuk memberikan keyakinan
kepada para investor bahwa mereka akan menerima return atas dana yang telah
mereka investasikan. Menurut Shleifer et al. (dalam Ujiyantho, dkk. 2007),
corporate governance berkaitan dengan bagaimana para investor yakin bahwa
manajer akan memberikan keuntungan bagi mereka, yakin bahwa manajer tidak
akan melakukan penggelapan atau menginvestasikan ke dalam investasi yang
tidak menguntungkan berkaitan dengan modal yang telah ditanamkan oleh
17
Dengan kata lain corporate governance diharapkan dapat berfungsi untuk
menekan atau menurunkan biaya keagenan (agency cost) dan meningkatkan
kinerja entitas sehingga laporan keuangan yang disajikan mempunyai integritas
yang tinggi sehingga pada akhirnya akan meningkatkan nilai perusahaan dan
harga sahamnya.
2.1.2 Definisi Corporate Governance
Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) (2001:1)
mendefinisikan corporate governance sebagai seperangkat peraturan yang
mengatur hubungan antara pemegang, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak
kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan internal dan
eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau
dengan kata lain suatu sistem yang mengendalikan perusahaan. Organization for
Economic Cooperation and Development (OECD) mendefinisikan corporate
governance sebagai struktur yang olehnya para pemegang saham, komisaris, dan
manajer menyusun tujuan perusahaan dan sarana untuk mencapai
tujuan-tujuan tersebut dan mengawasi kinerja.
Dalam konteks tumbuhnya kesadaran akan arti penting corporate
governance ini, Organization for Economic Cooperation and Development
(OECD) (dalam Tjager, dkk., 2003:49) telah mengembangkan seperangkat
prinsip-prinsip good corporate governance sebagai berikut.
1) Fairness (Kewajaran)
Perlakuan yang sama terhadap para pemegang saham dengan keterbukaan
18
korporasi yang melindungi kepentingan minoritas dan menetapkan peran
dan tanggung jawab dewan komisaris, direksi dan komite.
2) Disclosure dan Transparency (Transparansi)
Hak-hak para pemegang saham, yang harus diberi informasi dengan benar
dan tepat pada waktunya mengenai perusahaan. Prinsip ini dapat
diwujudkan dengan mengembangkan sistem akuntansi yang berbasis
standar akuntansi dan best practices yang menjamin adanya laporan
keuangan dan pengungkapan yang berkualitas.
3) Accountability (Akuntabilitas)
Tanggung jawab manajemen melalui pengawasan yang efektif berdasarkan
balance of power antara manajer, pemegang saham, dewan komisaris dan
auditor. Prinsip ini diwujudkan dengan mengembangkan komite audit dan
risiko untuk mendukung fungsi pengawasan oleh dewan komisaris serta
mengembangkan dan merumuskan kembali peran dan fungsi internal audit
sebagai mitra bisnis strategik berdasarkan best practices (bukan sekedar
audit).
4) Responsibility (Responsibilitas)
Peranan pemegang saham harus diakui sebagaimana ditetapkan oleh
hukum dan kerja sama yang aktif antara perusahaan serta para pemegang
kepentingan dalam menciptakan kekayaan, lapangan kerja dan perusahaan
yang sehat dari aspek keuangan. Prinsip ini diwujudkan dengan menyadari
akan adanya tanggung jawab sosial, menghindari penyalahgunaan
19 2.1.3 Mekanisme Corporate Governance
Mekanisme Corporate Governance merupakan suatu aturan main, prosedur
dan hubungan yang jelas antara pihak yang mengambil keputusan dengan pihak
yang melakukan kontrol di mana selanjutnya dilakukan pengawasan terhadap
keputusan tersebut (Walsh et al. dalam Arifin, 2005). Mekanisme yang dapat
mengendalikan perilaku manajemen atau sering disebut mekanisme corporate
governance dapat diklasifikasikan kedalam dua kelompok. Pertama Internal
mechanisms adalah cara untuk mengendalikan perusahaan dengan menggunakan
struktur dan proses internal seperti rapat umum pemegang saham (RUPS),
komposisi dewan direksi, komposisi dewan komisaris, komite audit dan
pertemuan dengan board of director. Kedua external mechanisms adalah cara
mempengaruhi perusahaan selain dengan menggunakan mekanisme internal,
seperti pengendalian oleh perusahaan dan pengendalian pasar (Iskandar et al.
dalam Chintya, 2014)..
2.1.3.1 Dewan Komisaris
Dewan komisaris adalah organ perusahaan yang bertugas dan
bertanggungjawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan
nasihat kepada direksi serta memastikan bahwa perusahaan melaksanakan good
corporate governance (KNKG, 2006:13). Terdapat dua sistem manajemen yang
berbeda yang berasal dari dua system hukum yang berbeda (FCGI, 2001) yang
membedakan mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh dewan komisaris,
20
Sistem yang berkembang di Indonesia adalah sistem dua tingkat berasal dari
Sistem Hukum Kontinental Eropa. Dalam sistem ini perusahaan mempunyai dua
badan terpisah, yaitu dewan pengawas (dewan komisaris) dan dewan manajamen
(dewan direksi). Dewan direksi bertugas mengelola dan mewakili perusahaan di
bawah pengarahan dan pengawasan dewan komisaris. Dewan direksi juga harus
memberikan informasi kepada dewan komisaris dan menjawab hal-hal yang
diajukan oleh dewan komisaris. Sehingga dewan komisaris terutama
[image:33.595.205.475.370.515.2]bertanggungjawab untuk mengawasi tugas-tugas manajemen.
Gambar 2.1 Struktur BoD dan BoC dalam Two Tiers System yang Berkembang di Indonesia
Pengawasan
Sumber: FCGI (2001:5)
Menurut Forum For Corporate Governance In Indonesia (2001:5)
tugas-tugas utama dewan komisaris meliputi:
a) Menilai dan mengarahkan strategi perusahaan, mengawasi pelaksanaan dan
kinerja perusahaan; serta memonitor penggunaan modal perusahaan, investasi
dan penjualan aset;
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Dewan Komisaris (BoC)
21
b) Menilai sistem penetapan penggajian pejabat pada posisi kunci dan
penggajian anggota dewan direksi, serta menjamin suatu proses pencalonan
anggota dewan direksi yang transparan dan adil;
c) Memonitor dan mengatasi masalah benturan kepentingan pada tingkat
manajemen, anggota dewan direksi dan anggota dewan komisaris, termasuk
penyalahgunaan aset perusahaan dan memanipulasi transaksi perusahaan;
d) Memonitor pelaksanaan governance dan mengadakan perubahan yang
diperlukan;
e) Memantau proses keterbukaan dan efektifitas komunikasi dalam perusahaan.
Dewan komisaris terdiri dari komisaris independen dan komisaris
non-independen. Independensi profesional adalah suatu bentuk sikap mental yang sulit
untuk dapat dikendalikan karena berhubungan dengan integritas seseorang,
Keberadaan komisaris independen telah diatur Bursa Efek Jakarta melalui
peraturan BEI tanggal 30 Januari 2014. Dikemukakan bahwa perusahaan yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia harus mempunyai komisaris independen yang
secara proporsional sama dengan jumlah saham yang dimiliki pemegang saham
yang minoritas (bukan controlling shareholders). Dalam peraturan ini,
persyaratan jumlah minimal komisaris independen adalah 30% dari seluruh
anggota dewan komisaris. Beberapa kriteria lainnya tentang Komisaris
Independen adalah sebagai berikut:
1) Komisaris Independen tidak memiliki hubungan afiliasi dengan pemegang
saham mayoritas atau pemegang saham pengendali (controlling shareholders)
22
2) Komisaris Independen tidak memiliki hubungan dengan direktur dan/atau
komisaris lainnya Perusahaan Tercatat yang bersangkutan;
3) Komisaris Independen tidak memiliki kedudukan rangkap pada perusahaan
lainnya yang terafiliasi dengan Perusahaan Tercatat yang bersangkutan;
4) Komisaris Independen harus mengerti peraturan perundang-undangan di
bidang pasar modal;
5) Komisaris Independen diusulkan dan dipilih oleh pemegang saham minoritas
yang bukan merupakan pemegang saham pengendali (bukan controlling
shareholders) dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
2.1.3.2Komite Audit
Berdasarkan peraturan No.IX.1.15 tentang pembentukan dan pedoman
Pelaksanaan Kerja Komite Audit, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam
No.29/PM/2004 perusahaan-perusahaan publik diwajibkan untuk membentuk
komite audit. Komite audit tersebut dibentuk oleh dewan komisaris dalam rangka
membantu melaksanakan tugas dan fungsinya dan bertanggungjawab langsung
kepada dewan komisaris. Komite audit memiliki tugas dalam memberikan suatu
pandangan tentang masalah akuntansi, laporan keuangan dan penjelasannya,
sistem pengawasan internal serta auditor independen (Egon, 2000:21).
Forum for Corporate Governance in Indonesia mengemukakan bahwa
komite audit mempunyai tanggung jawab dalam hal memberikan pengawasan
secara menyeluruh yang dijelaskan sebagai berikut.
23
Tanggung jawab komite audit di bidang laporan keuangan adalah untuk
memastikan bahwa laporan keuangan yang dibuat oleh manajemen telah
memberikan gambaran yang sebenarnya tentang kondisi keuangan, hasil
usahanya, serta rencana dan komitmen jangka panjang.
Ruang lingkup pelaksanaa dalam bidang ini adalah:
a) Merekomendasikan auditor eksternal;
b) Memeriksa hal-hal yang berkaitan dengan auditor eksternal seperti surat
penunjukkan auditor, perkiraan biaya audit, jadwal kunjungan auditor,
koordinasi dengan internal audit, pengawasan terhadap hasil audit, dan
menilai pelaksanaan pekerjaan auditor;
c) Menilai kebijakan akuntansi dan keputusan-keputusan yang menyangkut
kebijaksanaan;
d) Meneliti Laporan Keuangan (Financial Statement), yang meliputi:
Laporan Paruh Tahun, Laporan Tahunan, dan Opini Auditor dan
Management Letters.
(2) Tata kelola perusahaan (corporate governance)
Tanggung jawab untuk memastikan bahwa perusahaan telah dijalankan sesuai
undang-undang dan peraturan yang berlaku, melaksanakan usahanya dengan
beretika, melaksanakan pengawasannya secara efektif terhadap benturan
kepentingan dan kecurangan yang dilakukan oleh karyawan perusahaan.
(3) Pengawasan perusahaan (corporate control)
Tanggung jawab komite audit untuk pengawasan perusahaan termasuk di
24
mengandung risiko dan sistem pengendalian intern serta memonitor proses
pengawasan yang dilakukan oleh auditor internal.
Komite Audit harus terdiri dari individu-indidvidu yang mandiri dan tidak
terlibat dengan tugas sehari-hari dari manajemen yang mengelola perusahaan, dan
yang memiliki pengalaman untuk melasanakan fungsi pengawasan secara efektif.
Salah satu dari beberapa alasan utama kemandirian ini adalah untuk memelihara
integritas serta pandangan yang objektif dalam laporan serta penyusunan
rekomendasi yang diajukan oleh Komite Audit, karena individu yang mandiri
cenderung lebih adil dan tidak memihak serta obyektif dalam menangani suatu
permasalahan. Jumlah anggota Komite Audit disesuaikan besar-kecilnya dengan
organisasi dan tanggung jawab. Namun biasanya tiga sampai lima anggota
merupakan jumlah yang cukup ideal. Komite Audit biasanya perlu untuk
mengadakan rapat tiga sampai empat kali setahun untuk melaksanakan kewajiban
dan tanggung jawabnya yang menyangkut soal sistem pelaporan keuangan (FCGI,
2001:16).
Peraturan Bapepam mewajibkan perusahaan publik untuk membentuk suatu
komite audit yang beranggotakan paling sedikit tiga orang dan diketuai oleh
komisaris independen, dengan pihak lain yang berasal dari luar perusahaan
(eksternal). Komposisi pembentukan tersebut diatur demikian agar terbentuk suatu
sifat independensi yang sangat berpengaruh terhadap kinerja komite audit.
2.1.4 Manfaat Corporate Governance
Penerapan tata kelola perusahaan yang baik dalam suatu perusahaan akan
25
langsung maupun tidak langsung. Manfaat yang diperoleh dari mekanisme
corporate governance adalah sebagai berikut:
1) Mengurangi agency cost, yaitu suatu biaya yang harus ditanggung pemegang
saham sebagai akibat pendelegasian wewenang kepada pihak manajemen.
2) Mengurangi biaya modal (cost of capital), yaitu sebagai dampak dari
pengelolaan perusahaan yang baik menyebabkan tingkat bunga atas dana atau
sumber daya yang dipinjam oleh perusahaan semakin kecil seiring dengan
turunnya tingkat resiko perusahaan.
3) Meningkatkan nilai saham perusahaan sekaligus dapat meningkatkan citra
perusahaan tersebut kepada publik luas dalam jangka panjang.
4) Menciptakan dukungan para stakeholder (para pihak yang berkepentingan)
dalam lingkungan perusahaan tersebut terhadap keberadaan dan berbagai
strategi dan kebijakan yang ditempuh perusahaan (Efendi, 2009:15).
2.1.5 Definisi Manajemen Laba
Scott (1997) mendefinisikan bahwa “manajemen laba sebagai upaya yang
dilakukan manajer untuk mencapai keuntungan pribadi melalui rekayasa
komponen akrual yang terdapat dalam laporan keuangan perusahaan, sehingga
dapat mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam pengambilan keputusan yang
dapat merugikan pihak lain, karena dengan adanya manajemen laba, laporan
perusahaan tidak mencerminkan nilai fundamental dari perusahaan.”
Gumanti (2001) menyatakan bahwa “Manajemen laba tidak harus selalu
dikaitkan dengan upaya untuk manipulasi data atau informasi, tetapi lebih
26
mengukur keuntungan yang bisa dilakukan karena memang diperkenankan
menurut accounting regulations.” Definisi tersebut menggambarkan manajemen
laba sebagai suatu tindakan oportunis manajer sehingga dapat me-manage earning
pada tingkat yang diinginkan dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan atau
manfaat tertentu dengan cara tertentu pula.
2.1.6 Bentuk Manajemen Laba
Scott (1997:306) mengemukakan bentuk-bentuk manajemen laba yang
dapat dilakukan oleh manajer antara lain:
1) Taking a bath, yaitu melaporkan kerugian yang besar, serta perusahaan
berada dalam keadaan yang buruk dan mengalami kemunduran kinerja yang
tidak menguntungkan dan tidak dapat dihindari pada periode berjalan. Hal ini
dilakukan dengan cara mengakui biaya-biaya pada periode-periode yang akan
datang dan kerugian periode berjalan.
2) Income minimization, yaitu penurunan tingkat laba yang diperoleh
perusahaan. Manajemen laba ini dilakukan saat perusahaan memperoleh
profitabilitas yang tinggi dengan tujuan untuk mengurangi biaya politik.
3) Income maximization, yaitu upaya perusahaan untuk memaksimalkan tingkat
laba yang diperoleh melalui pemilihan metode-metode akuntansi dan
pemilihan waktu pengakuan transaksi, seperti mempercepat pencatatan, dan
menunda biaya.
4) Income smoothing, manajer akan menurunkan laba jika terjadi peningkatan
laba yang cukup besar, begitu pula sebaliknya, manajer akan menaikkan laba
27
Dengan demikian manajer dapat mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan
sehingga perusahaan terlihat stabil dan tidak beresiko tinggi.
2.1.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Manajemen Laba
Scott (1997:302) menjelaskan beberapa motivasi yang mendorong manajer
untukmelakukan aktivitas manajemen laba adalah:
1) Kompensasi Manajemen
Pada saat insentif manajer didasarkan pada kinerja keuangan perusahaan,
manajer akan terdorong untuk mengutamakan kepentingan mereka dengan
menampilkan kinerja yang lebih baik melalui manajemen laba.
2) Debt Covenant (kontrak hutang jangka panjang)
Sejalan dengan debt hypothesis yang dikemukakan oleh Watts et al. (1986),
bahwa manajer akan cenderung memilih metode akuntansi yang dapat
meningkatkan laba perusahaan (income increasing) jika perusahaan semakin
dekat pada pelanggaran perjanjian hutang. Manajemen laba akan dilakukan
bertujuan agar perusahaan secara signifikan menaikkan laba sehingga rasio
debt to equity dan interest coverage berada pada tingkatan yang ditentukan.
3) Political Motivation (motivasi politik)
Kebanyakan perusahaan akan melakukan manajemen laba dalam bentuk
penurunan laba agar dapat mengurangi biaya politis, utamanya pada saat laba
yang diperoleh perusahaan sangat tinggi. Tindakan ini dilakukan untuk
memperoleh kemudahan dan fasilitas dari pemerintah, seperti subsidi, serta
28 4) Taxation Motivation (motivasi perpajakan)
Manajer akan memilih untuk menggunakan metode akuntansi yang dapat
menghasilkan laba yang rendah, karena semakin rendah laba yang dilaporkan
perusahaan, maka beban pajak yang harus dibayarkan pada pemerintah juga
dapat diminimalkan.
5) Pergantian Chief Executive Officer (CEO)
Bonus plan hypothesis memprediksikan bahwa seseorang CEO yang
mendekati pensiun atau habis masa jabatannya akan cenderung melakukan
strategi income maximization untuk mencegah atau membatalkan
pemecatannya. Wedari (2004) mengemukakan bahwa CEO akan melakukan
take a bath untuk meningkatkan profitabilitas peningkatan laba dimasa
mendatang.
6) Initial Public Offering (IPO)/Penawaran saham perdana
Manajemen laba yang dilakukan pada saat IPO bertujuan untuk
mempengaruhi persepsi pihak eksternal atas nilai perusahaan. Pada saat
perusahaan go public, informasi keuangan yang terdapat dalam prospectus
merupakan sumber informasi penting bagi calon investor, oleh karena itu
perusahaan akan menampilkan kinerja yang baik dengan menaikkan tingkat
laba untuk menarik investor.
2.1.8 Fee Audit
Iskak (dalam Suharli, dkk., 2008) mendefinisikan fee audit adalah
honorarium yang dibebankan oleh akuntan publik kepada perusahaan auditee atas
29
biaya audit yang dilakukan oleh KAP berdasarkan perhitungan dari biaya pokok
pemeriksaan yang terdiri dari biaya langsung dan tidak langsung. Biaya langsung
terdiri dari biaya tenaga yaitu manager, supervisor, auditor junior dan auditor
senior. Sedangkan biaya tidak langsung seperti biaya percetakan, biaya
penyusunan komputer, gedung dan asuransi.
Setelah dilakukan perhitungan biaya pokok pemeriksaan maka akan
dilakukan tawar menawar antar klien yang bersangkutan dengan kantor akuntan
publik. Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) menerbitkan Surat Keputusan
No. KEP.024/IAPI/VII/2008 pada tanggal 2 Juli 2008 tentang Kebijakan
Penentuan Fee Audit. Dalam bagian Lampiran 1 dijelaskan bahwa pandauan ini
dikeluarkan sebagai panduan bagi seluruh Anggota Institut Akuntan Publik
Indonesia yang menjalankan praktik sebagai akuntan publik dalam menetapkan
besaran imbalan yang wajar atas jasa profesional yang diberikannya.
Dijelaskan dalam Surat Keputusan mengenai penetapan fee audit, yang
harus dipertimbangkan oleh akuntan publik adalah:
a) Kebutuhan klien;
b) Tugas dan tanggungjawab menurut hukum;
c) Independensi;
d) Tingkat keahlian dan tanggungjawab yang melekat pada pekerjaan yang
dilakukan, serta tingkat kompleksitas pekerjaan.
e) Banyaknya waktu yang diperlukan dan secara efektif digunakan oleh
akuntan publik dan sifatnya menyelesaikan pekerjaan.
30
Beberapa faktor yang mempengaruhi besar kecilnya fee audit yaitu:
(a) Besar kecilnya auditee
Masalah besar kecilnya fee audit menjadi krusial jika ketika kita banyak
melihat yayasan ataupun organisasi nirlaba yang memerlukan jasa audit
namun kondisi keuangannya minim.
(b) Lokasi Kantor Akuntan Publik (KAP)
Biaya overhead Kantor Akuntan Publik di daerah secara umum lebih kecil
dibandingkan dengan biaya overhead di ibukota.
(c) Ukuran Kantor Akuntan Publik (KAP)
Ketika dikaitkan dengan besar kecilnya kantor, kantor yang berdomisili di
kota besar akan memiliki standar gaji yang jauh berbeda jika dibandingkan
dengan KAP yang terletak di kota pinggiran.
Faktor-faktor diatas sangat berpengaruh terhadap penentuan fee audit yang
dibebankan KAP kepada kliennya. Professional fee terbagi atas dua yaitu: (1)
besaran fee dan (2) fee kontinjen (Halim, 2008:36).
a) Besaran fee
Fee audit adalah biaya yang harus ditanggung klien karena telah
mendapatkan jasa audit dari sebuah KAP. Besarnya fee dapat bervariasi
tergantung antara lain risiko penugasan, kompleksitas jasa yang diberikan,
tingkat keahlian yang diperlukan, struktur biaya KAP yang bersangkutan
31 b) Fee kontijen
Fee kontijen adalah fee yang ditetapkan untuk pelaksanaan suatu jasa
profesional tanpa adanya fee yang akan dibebankan, kecuali ada temuan
atau hasil tertentu dimana jumlah fee tergantung pada temuan atau hasil
tertentu tersebut. Fee dianggap tidak kontinjen jika ditetapkan oleh
pengadilan atau badan pengatur atau dalam hal perpajakan, jika dasar
penetapan adalah hasil penyelesaian hukum atau temuan badan pengatur.
2.2 Penelitian Terdahulu
Penelitian yang berkaitan dengan dewan komisaris, komite audit, fungsi
internal audit, manajemen laba dan fee audit yang telah dilakukan oleh
peneliti-peneliti sebelumnya, hasil peneliti-penelitiannya dapat digunakan sebagai dasar dalam
penelitian ini. Berikut ini beberapa penelitian terdahulu mengenai dewan
komisaris, komite audit, fungsi internalaudit, manajemen laba dan fee audit.
Yatim et al. (2006) dalam “Governance Structures, Ethnicity, and Audit
Fees of Malaysian Listed Firms” menguji pengaruh antara fee audit eksternal,
dewan komisaris serta karakteristik komite audit. Jumlah sampel penelitian
sebesar 736 perusahaan yang terdaftar di Bursa Malaysia pada tahun 2003 dengan
menggunakan uji regresi berganda, peneliti menemukan bahwa terdapat pengaruh
yang positif dan signifikan antara fee audit dan independensi dewan komisaris,
komite audit dan frekuensi pertemuan komite audit. Hasil penelitian ini juga
menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang negatif antara fee audit dan
32
Goodwin-Stewart et al. (2006) dalam “Relation Beetwen External Audit
Fees, Audit Committee Characteristics and Internal Audit” menguji hubungan
keberadaan komite audit, karakteristik komite audit, dan fungsi internal audit
terhadap kenaikan fee audit eksternal. Penelitian ini menggunakan sampel dari
perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Australian Stock Exchange (ASX) pada
tahun 2000 dan menggunakan analisis Ordinary Least Squares (OLS) untuk
menguji hipotesisnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan komite
audit, pertemuan komite audit serta peningkatan fungsi internal audit
berhubungan positif dengan kenaikan fee audit.
Carcello et al. (2000) dalam “Board Characteristics and Audit Fees”
menguji pengaruh antara karakteristik dewan dalam perusahaan dengan fee yang
dibayarkan untuk auditor eksternal. Penelitian ini menggunakan sampel dari
Fortune 1000 Companies dan menggunakan analisis OLS untuk menguji
hipotesisnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang
signifikan positif antara board independence, diligence and expertise dan fee
audit.
Abbot et al. (2003) dalam “The Association between audit committee
Characteristics and Audit Fees” menguji pengaruh independensi komite audit,
keahlian komite audit, dan frekuensi pertemuan komite audit terkait dengan
kenaikan fee audit. Hasil analisis data menunjukkan bahwa independensi komite
audit dan keahlian komite audit berpengaruh positif signifikan terhadap kenaikan
fee audit. Sementara variabel frekuensi pertemuan komite audit tidak terkait
33
Tirta, dkk. (2013) dalam “Pengaruh Kepemilikan Perusahaan dan
Manajemen Laba Terhadap Tipe Auditor dan Audit Fees pada Perusahaan
Manufaktur di Bursa Efek Indonesia” menguji hubungan tipe kepemilikan
perusahaan dan manajemen laba terhadap besarnya fee audit. Sampel penelitian
dari 85 laporan keuangan perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia (BEI) pada tahun 2011. Terjadinya praktik manajemen laba diukur
menggunakan akrual diskresioner berdasarkan Modified Jones Model. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh antara tipe
kepemilikan perusahaan BUMN terhadap fee audit, sedangkan manajemen laba
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap besarnya fee audit dengan arah
positif. Perusahaan dengan manajemen laba yang tinggi cenderung mebayar fee
audit yang tinggi.
2.3 Rumusan Hipotesis
2.3.1 Hubungan antara Independensi Dewan Komisaris dengan Fee Audit Penerapan good corporate governance berguna untuk menciptakan nilai
tambah bagi perusahaan karena itu perusahaan harus berjalan sesaui dengan
peraturan dan ketentuan yang berlaku. Sebagai pihak yang independen, komisaris
independen harus bisa mencegah eksploitasi dari pemegang saham mayoritas pada
pemegang saham minoritas dalam pengelolaan perusahaan (Hay et al. 2008).
Prastuti (2013) menemukan bahwa independensi dewan komisaris berpengaruh
positif signifikan terhadap fee audit. Penelitian tersebut memnjelaskan bahwa
dewan komisaris yang independen akan menuntut kualitas yang lebih tinggi dari
34
menunjukkan bahwa perusahaan dengan struktur governance yang kuat cenderung
mencari jasa audit dengan kualitas yang lebih tinggi untuk melindungi nama baik
perusahaan dan melindungi kekayaan pemegang saham. Kualitas audit yang tinggi
menuntut fee audit yang lebih tinggi pula. Hasil serupa dapat ditemukan dalam
penelitian Hamid et al. (2012) dan Yatim et al. (2006). Berdasarkan teori dan hasil
penelitian-penelitian sebelumnya tersebut, maka dirumuskan hipotesis sebagai
berikut:
H1: Independensi dewan komisaris berpengaruh positif terhadap fee audit
2.3.2 Hubungan antara Ukuran Dewan Komisaris dengan Fee Audit
Hasil penelitian dari Carcello et al. (2000) menemukan bahwa jumlah dari
dewan komisaris secara signifikan mempengaruhi kemungkinan adanya
kecurangan dalam laporan keuangan. Searah dengan Carcello et al. (2000), hasil
penelitian yang dilakukan Beasley (1996) dalam Yatim et. al., (2006) menunjukan
bahwa ukuran dewan secara signifikan mempengaruhi kemungkinan adanya
kecurangan dalam laporan keuangan. Ukuran dewan yang lebih besar dianggap
kurang efektif dalam memantau pelaporan keuangan yang menyebabkan penilaian
audit lebih diperlukan sehingga waktu audit yang dibutuhkan lebih lama yang
berakibat pada tingginya fee audit eksternal.
Hal tersebut sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa jumlah anggota
komisaris yang tepat bergantung pada sektor industri perusahaan tersebut, karena
akan turut menentukan jenis kompetensi yang sebaiknya dimiliki oleh dewan
komisaris secara keseluruhan. Ukuran dewan komisaris yang besar akan dapat
35
sulit dan membutuhkan waktu yang lama. Keterbatasan ini perlu diperhatikan
dalam menentukan jumlah dewan komisaris (Prastuti, 2013). Berdasarkan teori
dan hasil penelitian-penelitian sebelumnya tersebut, maka dirumuskan hipotesis
sebagai berikut:
H2: Ukuran dewan komisaris berpengaruh positif terhadap fee audit
2.3.3 Hubungan antara Independensi Komite Audit dengan Fee Audit
Independensi Komite audit, sebagai sebuah struktur yang dibentuk dan
bertanggung jawab kepada dewan komisaris akan memanfaatkan posisi mereka
sebagai sarana meningkatkan reputasi mereka sebagai seorang ahli dalam
pengendalian keputusan (Fama et al., 1983). Selama meninjau program audit dan
hasilnya, independensi komite audit dapat melakukan rekomendasi kepada dewan
komisaris mengenai ruang lingkup audit dalam rangka menghindari salah saji
keuangan dan mempertahankan reputasi modal. Hal ini menunjukkan bahwa
independensi komite audit menuntut tingkat yang lebih besar dari kepastian audit.
The Blue Ribbon Committee (1999) merekomendasikan bahwa komite audit
yang independen memiliki anggota yang lebih banyak, dan sering mengadakan
dan melaksanakan rapat diharapkan akan meningkatkan pengawasan komite audit
terhadap proses pelaporan keuangan. Komite audit yang independen akan lebih
baik dalam hal perlindungan reliabilitas proses akuntansi dan memajukan
objektivitas dari komite audit. Hal itu akan memperkuat pengendalian internal dan
mengarah kepada berkurangnya risiko pengendalian. Oleh karena itu, pengujian
substantif dapat dikurangi sehingga diharapkan dapat memperkecil fee audit.
36
menemukan adanya pengaruh negatif antara independensi komite audit terhadap
fee audit. Berdasarkan teori dan hasil penelitian-penelitian sebelumnya tersebut,
maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H3: Independensi komite audit berpengaruh negatif terhadap fee audit
2.3.4 Hubungan antara Ukuran Komite Audit dengan Fee Audit
Braoitta (2000) dalam Yatim et al. (2006) menyatakan bahwa rekomendasi
jumlah komite audit konsisten dengan keinginan untuk meningkatkan status
organisasi komite audit. Sesuai dengan rekomendasi dari Blue Ribbon Company
(1999), bahwa komite audit yang lebih independen, memiliki anggota lebih
banyak, dan sering mengadakan rapat diharapkan akan meningkatkan pengawasan
komite audit terhadap proses pelaporan keuangan. Berdasarkan rekomendasi dar i
The Blue Ribbon Company tersebut penelitian ini berpendapat bahwa ukuran
komite audit yang lebih besar akan meningkatkan kualitas laporan keuangan yang
berakibat pada rendahnya fee audit eksternal. Searah dengan penelitian Nadia dkk.
(2013) yang menemukan bahwa ukuran komite audit berpengaruh negatif
terhadap fee audit eksternal. Berdasarkan teori dan hasil penelitian-penelitian
sebelumnya tersebut, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H4: Ukuran komite audit berpengaruh negatif terhadap fee audit
2.3.5 Hubungan antara Intensitas Pertemuan Komite Audit dengan Fee Audit
Razman et al. (2004) mengamati di Malaysia bahwa perusahaan memiliki
37
memantau kegiatan manajemen. Searah dengan penelitian Goodwin-Stewart at al.
(2006) pertemuan komite audit berhubungan dengan kenaikan fee audit. Hal ini
konsisten dengan permintaan peningkatan kualitas audit oleh komite audit,
dimana perusahaan dengan struktur governance yang baik memiliki permintaan
kualitas audit yang lebih tinggi, sehingga meningkatkan fee audit eksternal.
Kenaikan biaya karena waktu tambahan yang dikeluarkan oleh auditor yang
mempersiapkan untuk menghadiri pertemuan dengan anggota komite audit yang
dapat mengakibatkan fee audit meningkat. Berdasarkan teori dan hasil
penelitian-penelitian sebelumnya tersebut, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H5: Intensitas pertemuan komite audit berpengaruh positif terhadap fee audit
2.3.6 Hubungan antara Manajemen Laba dengan Fee Audit
Praktik manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan yang berada diluar
jalur yang sesuai atau dengan kata lain melanggar Pernyataan Standar Akuntansi
Keuang