• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Mengenai Psychological Well-Being Pengurus Rumah Cemara Yang Mengidap HIV Positif.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif Mengenai Psychological Well-Being Pengurus Rumah Cemara Yang Mengidap HIV Positif."

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

i Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui Psychological Well-Being (PWB) pada Pengurus Rumah Cemara yang mengidap HIV Positif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan teknik survey. Populasi dari penelitian ini berjumlah 37 orang yang semuanya merupakan subyek penelitian.

Alat ukur yang digunakan merupakan terjemahan dari Scale of Psychological Well-Being (SPWB) dari Carol Ryff (1989) yang terdiri atas 84 item. Setelah dilakukan uji validitas dengan SPSS Statistics 19.0, maka diperoleh 70 item yang valid dengan validitas item berkisar antara 0.312-0.901. Dan reliabilitas alat ukur tersebut adalah 0.749.

Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh bahwa sebagian besar, yaitu 67,57% pengurus Rumah Cemara menunjukkan nilai PWB yang tinggi dan 32,43% menunjukan PWB yang rendah, sehingga dapat disimpulkan sebagian besar pengurus Rumah Cemara memiliki PWB yang tinggi.

(2)

KATA PENGANTAR …... ii

DAFTAR ISI …... v

DAFTAR TABEL …... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR DIAGRAM …... ix

BAB I PENDAHULUAN …... 1

1.1 Latar Belakang Masalah …... 1

1.2 Identifikasi Masalah …... 10

1.3 Maksud dan Tujuan …... 10

1.4 Kegunaan Penelitian …... 11

1.4.1. Kegunaan Teoritis …...…... 11

1.4.2 Kegunaan Praktis …... 11

1.5 Kerangka Pikir …... 12

1.6 Asumsi …... 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA …... 19

BAB III METODOLOGI PENELITIAN …... 39

3.1. Rancangan dan Prosedur Penelitian …... 39

(3)

vi Universitas Kristen Maranatha

3.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional …... 39

3.3.1 Variabel Penelitian …... 39

3.3.2. Definisi Operasional ... …... 40

3.4. Alat Ukur …... 41

3.4.1.Data Utama ... 41

3.4.2. Data Pribadi dan Data Penunjang …... 44

3.4.3. Validitas dan Realibilitas …...…... 44

3.5. Populasi dan Karakteristik Populasi ...…... 46

3.5.1.Populasi Sasaran …... 46

3.5.2.Karakteristik Sampel …... 46

3.6. Teknik Analisis Data ... 46

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 48

4.1 Hasil Penelitian ... 48

4.2 Pembahasan ... 61

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...…... 69

5.1 Kesimpulan ... 69

5.2 Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA …...…... 72

DAFTAR RUJUKAN …...…... 73

(4)

Tabel 3.1 Kisi-kisi alat ukur ………. 41

Tabel 3.2 Skor untuk tiap pilihan jawaban ………... 42

Tabel 3.3 Kategori skor tiap dimensi dan Psychological Well-Being ……... 43

Tabel 3.4 Kriteria Validitas ………... 44

Tabel 3.5 Kriteria Reliabilitas ………... 44

Tabel 4.1 Gambaran Subyek Penelitian ……… 47

Tabel 4.2 Gambaran Psychological Well-Being ………... 48

Tabel 4.3 Gambaran dimensi-dimensi Psychological Well-Being ………… 49

Tabel 4.4 Detail Psychological Well-Being dan dimensinya ……… 50

(5)

viii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR GAMBAR

(6)
(7)

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam berita akhir-akhir ini terlihat semakin maraknya penggunaan narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan berdampak buruk terhadap diri mereka sendiri, salah satunya yaitu terjangkitnya penyakit menular dari penggunaan narkoba ataupun seks bebas tersebut. Salah satu penyakit menular yang dapat menjangkit mereka adalah HIV.

HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus. Virus ini menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Virus HIV menyerang sel CD4 dan mengubahnya menjadi tempat berkembang biak Virus HIV, baru kemudian merusaknya sehingga tidak dapat digunakan lagi, padahal sel darah putih sangat diperlukan untuk sistem kekebalan tubuh. Hal ini mengakibatkan seseorang tidak dapat bertahan dari gangguan penyakit walau yang sangat ringan sekalipun.

(8)

steril. Wanita hamil yang sedang menyusui anaknya juga dapat menularkan virus kepada bayi mereka selama masa kehamilan atau persalinan.

Saat ini, jumlah penderita HIV/AIDS sudah melambung tinggi. Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penderita tertinggi mencapai 3.598 orang dan yang meninggal 634 orang. Di urutan kedua Jawa Timur 3.227 orang penderita dan yang meninggal 691 orang. Seterusnya DKI Jakarta 2.828 orang dengan 426 meninggal. Dulu Papua yang berada diurutan tertinggi, kini berada di urutan keempat 2.808 orang, 371 meningal. Sedangkan daerah wisata Bali 1.615 orang, 283 meninggal dan Nusa Tenggara Barat (NTB) 119 dengan 63 tewas. (Tempo, 7 November 2010)

Secara kumulatif, sejak tahun 1991 sampai Januari 2009, jumlah orang dengan HIV-AIDS (ODHA) di Kota Bandung tercatat 1.715 orang dan 80 orang di antaranya meninggal dunia. Dari jumlah tersebut, 62,82% merupakan usia produktif, yaitu rentang 20-29 tahun. Penyumbang terbesar HIV-AIDS berasal dari kalangan pengguna narkoba jarum suntik (65,92%) (Tempo, 7 November 2010).

(9)

3

Universitas Kristen Maranatha Ketika seseorang pertama kali mengetahui dirinya mengidap HIV, reaksinya bisa bermacam-macam. Ada yang biasa saja karena memang belum tahu apa-apa tentang HIV, ada juga yang kaget hingga tak mampu berkata-kata. Reaksi kaget atau shock merupakan reaksi paling umum dialami para pengidap HIV ketika pertama kali mengetahui dirinya terinfeksi. Kadang-kadang reaksi ini disertai dengan sikap penolakan atau denial, yakni perasaan tidak percaya pada hasil tes yang mendorongnya untuk melakukan tes ulang. Namun yang lebih buruk, kadang-kadang kekagetan ini berkembang menjadi depresi berat karena memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin dihadapi akibat penyakit ini (Pramudiarja, 2010).

Dampak yang terjadi ketika seseorang menderita HIV salah satunya adalah menurunnya relasi sosial dengan orang lain. Hal ini dikarenakan adanya pandangan negatif terhadap orang dengan HIV tersebut. Mereka dianggap dapat menularkan penyakit mereka apabila orang lain berdekatan dengan mereka, karena hal inilah orang dengan HIV seringkali mendapatkan diskriminasi dari masyarakat.

(10)

mereka, atau keluarga/masyarakat yang menolak mereka yang hidup, atau dipercayai hidup, dengan HIV dan AIDS (Evelyn, 2009).

Stigma dan diskriminasi terhadap orang yang hidup dengan HIV dan AIDS disebabkan karena kurangnya informasi yang benar tentang cara penularan HIV, adanya ketakutan terhadap HIV dan AIDS, dan fakta AIDS sebagai penyakit mematikan (Evelyn, 2009). Stigma dan diskriminasi bisa mendorong terjadinya depresi, kurangnya penghargaan diri, dan keputusasaan. Stigma dan diskriminasi juga menghambat upaya pencegahan dengan membuat orang takut untuk mengetahui apakah mereka terinfeksi atau tidak. Bisa pula menyebabkan mereka yang telah terinfeksi meneruskan praktik seksual tidak aman karena takut orang-orang akan curiga terhadap status HIV mereka (Evelyn, 2009).

Epidemi AIDS di Indonesia merupakan sebuah “fenomena gunung es”

yang berbahaya. Dikarenakan stigma terhadap Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) sangat tinggi, jumlah kasus yang tercatat hanya sebagian kecil dari keadaan yang sebenarnya. Orang dengan HIV/AIDS tidak berani mengungkapkan keadaan diri mereka yang sebenarnya karena adanya diskriminasi oleh masyarakat terhadap mereka (rumahcemara.org).

(11)

5

Universitas Kristen Maranatha Rumah Cemara pada awalnya didirikan pada tanggal 1 Januari 2003 oleh lima orang pecandu narkoba yang sedang dalam masa pemulihan. Mereka percaya bahwa sebuah perubahan dalam masyarakat, harus diawali dari perubahan di dalam komunitas itu sendiri. Sesudah mendirikan Pusat Perawatan untuk pengguna narkoba, lima pendiri Rumah Cemara berpikir bahwa permasalahan HIV/AIDS sangat rentan terjadi juga pada pengguna narkoba khususnya pengguna narkoba suntik. Mereka memutuskan untuk fokus kepada pengguna narkoba dan orang dengan HIV/AIDS sebagai target group mereka.

Rumah Cemara memiliki visi yaitu memimpikan Indonesia tanpa diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dan orang yang menggunakan narkoba. Hal ini bertujuan agar tercipta kualitas hidup yang lebih baik bagi orang dengan HIV/AIDS dan pengguna narkoba di Indonesia.

Rumah Cemara memiliki 45 orang pengurus yang bekerja untuk menjangkau orang-orang yang mengidap HIV positif dan orang-orang yang beresiko tinggi terkena dampak HIV positif seperti para pengguna jasa seks komersial. Selain itu para pengurus Rumah Cemara juga bekerja untuk mendampingi mereka berobat, merawat dan memberikan dukungan psiko-sosial kepada mereka.

(12)

di Rumah Cemara ini, para mantan pecandu haruslah dalam keadaan clean, dalam arti tidak menggunakan lagi narkoba ataupun tidak lagi berhubungan seks bebas.

Menurut salah seorang pengurus Rumah Cemara, orang yang membantu pengguna narkoba dan orang dengan HIV/AIDS harus terlibat langsung dalam masalah narkoba dan HIV karena secara nyata mereka yang terdampak langsung dan mengenal permasalahan mereka sendiri. Orang yang membantu orang lain membantu dirinya sendiri, karena hidup adalah untuk berbagi.

Selain menjangkau para penderita dan orang yang beresiko tinggi terhadap HIV/AIDS, Rumah Cemara juga memiliki program Intervensi untuk masyarakat umum. Melalui intervensi ini, Rumah Cemara bertujuan untuk mengurangi stigma dan diskriminasi yang ditujukan pada orang-orang menggunakan narkoba dan hidup dengan HIV, untuk membuktikan bahwa mereka adalah anggota masyarakat yang berharga, dan bagian dari solusi untuk mengatasi kecanduan dan HIV/AIDS, sebagai pendidik, petugas kesehatan, dan tokoh masyarakat. Stigma yang ada di masyarakat akan dapat mempengaruhi penilaian terhadap kehidupan yang mereka jalani.

(13)

7

Universitas Kristen Maranatha Ryff menyebutkan bahwa PWB terdiri atas enam dimensi, yaitu penerimaan terhadap diri sendiri (self-acceptance), memiliki hubungan yang positif dengan orang lain (positive relation with others), mandiri (autonomy), pengguasaan terhadap lingkungan (environmental mastery), memiliki tujuan dan arti hidup (purpose in life) serta pertumbuhan dan perkembangan yang berkelanjutan (personal growth) (Ryff & Keyes, 1995). PWB tidak berdiri sendiri, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, yaitu jenis kelamin, usia, status marital, status sosioekonomi, tingkat pendidikan, dan kepribadian.

Dari survey awal yang dilakukan terhadap 4 orang pengurus Rumah Cemara, semua pengurus mengatakan bahwa mereka dapat menerima keadaan diri mereka saat ini, puas dengan kehidupan mereka saat ini dan mereka juga berani membuka status mereka kepada orang lain (self-acceptance). Sebagai seorang pengurus Rumah Cemara, mereka berani membuka status mereka sebagai pengidap HIV, baik kepada masyarakat umum maupun sesama penderita HIV. Namun, orang-orang pengidap HIV lainnya sebagian besar tidak berani membuka status mereka, dan hanya berani membukanya kepada sesama pengidap HIV.

(14)

hubungan yang baik dengan keluarganya, namun teman-temannya kebanyakan hanya berasal dari pengurus Rumah Cemara lainnya.

Seorang dari pengurus Rumah Cemara mengatakan bahwa ia dapat mengambil keputusan sendiri dalam tindakan apa yang dilakukannya (autonomy). Menurutnya apapun yang dilakukan orang lain, apabila kita memiliki pendirian, kita tidak akan mengikuti perbuatan mereka. Sementara 3 orang pengurus lainnya mengatakan bahwa mereka terkadang belum dapat mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. Mereka masih membutuhkan saran dari orang lain. Misalkan dalam pekerjaan, ketika akan bertemu dengan klien, mereka tidak akan pergi sendirian sehingga apabila klien mereka sedang melakukan hal yang membuat mereka ingin mengikutinya, mereka tidak akan tertarik. Mereka dapat menjaga satu sama lain.

Keempat pengurus Rumah Cemara yang mengidap HIV mengatakan mereka memiliki tujuan hidup dan cita-cita. Mereka memiliki target yang harus mereka capai dalam hidup (purpose in life) dan yakin suatu saat mereka pasti akan mencapai target mereka. Masa lalu dapat mereka terima dan dapat dijadikan pembelajaran untuk kehidupan yang lebih baik kedepannya. Seorang pengurus mengatakan bahwa ia ingin bisa memiliki rumah sendiri dengan usahanya, sedangkan pengurus lainnya ada yang ingin berkeluarga, ada yang ingin usaha binis mobilnya bisa sukses, dan ada yang ingin memiliki perkerjaan lain selain di Rumah Cemara.

(15)

9

Universitas Kristen Maranatha mereka mengetahui jangka waktu hidup mereka tidak terlalu lama. Mereka menyadari bahwa mereka harus terus berkembang dan meningkatkan kemampuan diri sejalan dengan perkembangan zaman yang semakin modern (personal growth). Mereka seringkali mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh

Rumah Cemara. Namun, terkadang saat merasa malas untuk ikut, para pengurus ini memilih untuk tidak mengikuti pelatihan tersebut.

Para pengurus Rumah Cemara yang mengidap HIV Positif mengatakan bahwa mereka cukup mampu memenuhi kebutuhan finansialnya, namun mereka belum mampu mengatur lingkungan di sekitar mereka (environmental mastery). Hal yang paling mudah dilihat misalnya ketika mereka tidak mampu untuk memperbaiki stigma negatif orang terhadap mereka. Mereka sulit membuat orang lain bisa menerima mereka, namun mereka melakukan usaha untuk dapat memperbaiki keadaan tersebut, misalnya dengan mengajak team-team futsal dari luar untuk bertanding dengan mereka kemudian mereka akan menayangkan video tentang kehidupan mereka. Hal ini dimaksudkan agar orang luar dapat menghilangkan stigma negatif terhadap diri mereka.

(16)

wawancara yang dilakukan terhadap pengurus Rumah Cemara yang mengidap HIV Positif tidak terlihat hal demikian. Pengurus Rumah Cemara diharapkan memiliki psychological well-being yang tinggi karena mereka bekerja untuk melayani dan membantu para pengidap HIV Positif lainnya.

Berdasarkan fenomena di atas, para pengurus Rumah Cemara memiliki gambaran yang bervariasi untuk setiap dimensi yang akan mempengaruhi PWB mereka. Hal inilah yang membuat peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada pengurus Rumah Cemara yang mengidap HIV

Positif.

1.2 Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui mengenai gambaran psychological well-being pengurus Rumah Cemara yang mengidap HIV positif.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud

Memperoleh gambaran mengenai psychological well-being pengurus Rumah Cemara yang mengidap HIV positif.

1.3.2 Tujuan

(17)

11

Universitas Kristen Maranatha autonomy, environmental mastery, dan personal growth serta memperoleh

gambaran mengenai faktor-faktor yang mempengaruhinya.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis

 Memberikan informasi bagi bidang ilmu Psikologi Klinis mengenai

psychological well-being orang dengan HIV yang menjadi pengurus

LSM untuk orang dengan HIV.

 Memberikan masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan

penelitian lanjutan mengenai psychological well-being khususnya pada orang pengidap HIV Positif yang menjadi pengurus LSM untuk orang dengan HIV.

1.4.2 Kegunaan Praktis

 Memberikan informasi kepada pengurus Rumah Cemara agar mereka

dapat mengetahui gambaran secara umum mengenai kesejahteraan psikologisnya dan dapat menjadi bahan evaluasi bagi mereka dalam rangka meningkatkan kesejahteraan psikologis. Pemberian informasi dilakukan melalui presentasi tentang hasil penelitian di Rumah Cemara.

Memberikan informasi mengenai PWB pengurus Rumah Cemara yang

(18)

ditingkatkan). Pemberian informasi tersebut dapat dilakukan apabila ada dari pengurus yang secara khusus ingin mengetahui hasil dari pengukuran PWB-nya dan peneliti akan langsung mengadakan kontak secara pribadi.

1.5 Kerangka Pikir

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan

gejala penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus HIV ditemukan dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vagina, air susu ibu. Virus tersebut merusak sistem kekebalan tubuh manusia dan mengakibatkan turunnya atau hilangnya daya tahan tubuh sehingga mudah terjangkit penyakit infeksi.

(19)

13

Universitas Kristen Maranatha Orang dengan HIV seringkali mendapat penilaian negatif dari masyarakat. Mereka mendapat stigma negatif dan didiskriminasi oleh masyarakat. Stigma dan diskriminasi bisa mendorong, dalam beberapa kasus, terjadinya depresi, kurangnya penghargaan diri, dan keputusasaan. Stigma dan diskriminasi juga menghambat upaya pencegahan dengan membuat orang takut untuk mengetahui apakah mereka terinfeksi atau tidak. Bisa pula menyebabkan mereka yang telah terinfeksi meneruskan praktik seksual tidak aman karena takut orang-orang akan curiga terhadap status HIV mereka (Evelyn, 2009).

Stigma yang ada di masyarakat akan dapat mempengaruhi penilaian mereka terhadap kehidupan yang mereka jalani. Menurut Ryff (1989), konsep yang berkaitan dengan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas dalam kehidupan sehari-hari serta mengarah pada pengungkapan perasaan-perasaan pribadi atas apa yang dirasakan oleh individu sebagai hasil dari pengalaman hidupnya merupakan psychological well-being (PWB). PWB dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi (Ryff, 1995). Psychological well-being pada pengurus Rumah Cemara yang mengidap HIV Positif terdiri dari 6 dimensi, yaitu : self-acceptance, positive relation with others, environmental mastery, personal growth, purpose in life, dan

autonomy.

(20)

terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek yang ada dalam dirinya, baik positif maupun negatif dan memiliki pandangan positif terhadap masa lalu. Demikian pula sebaliknya, pengurus Rumah Cemara yang memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang baik yang memunculkan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, merasa kecewa dengan pengalaman masa lalu, dan mempunyai pengharapan untuk tidak menjadi dirinya saat ini.

Dimensi yang kedua adalah positive relations with others. Ryff & Singer (1996) menekankan pentingnya menjalin hubungan saling percaya dan hangat dengan orang lain. Dimensi ini juga menekankan adanya kemampuan yang merupakan salah satu komponen kesehatan mental yaitu kemampuan untuk mencintai orang lain. Pengurus Rumah Cemara yang memiliki nilai tinggi atau baik dalam dimensi ini ditandai dengan adanya hubungan yang hangat dengan orang lain, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain. Mereka juga mempunyai rasa afeksi dan empati yang kuat dengan sesamanya. Sebaliknya, pengurus Rumah Cemara yang memiliki nilai yang rendah hanya mempunyai sedikit hubungan dengan orang lain, sulit untuk bersikap hangat dan enggan untuk mempunyai ikatan dengan orang lain. Hal ini menandakan bahwa ia kurang baik dalam dimensi ini.

(21)

15

Universitas Kristen Maranatha menandakan bahwa ia baik dalam dimensi ini. Sebaliknya, pengurus Rumah Cemara yang kurang baik dalam dimensi autonomy akan memperhatikan harapan dan evaluasi dari orang lain, membuat keputusan berdasarkan penilaian orang lain, dan cenderung bersikap konformis.

Dimensi psychological well-being yang keempat adalah purpose in life. Pengurus Rumah Cemara harus memiliki arah dalam mencapai tujuan hidupnya. Pengurus Rumah Cemara yang mempunyai rasa keterarahan dalam hidup, mempunyai perasaan bahwa kehidupan saat ini dan masa lalu mempunyai keberartian, memegang kepercayaan yang memberikan tujuan hidup, dan mempunyai target yang ingin dicapai dalam hidup, maka ia dapat dikatakan mempunyai dimensi purpose in life yang baik. Sebaliknya, pengurus Rumah Cemara yang kurang baik dalam dimensi ini mempunyai perasaan bahwa tidak ada tujuan yang ingin dicapai dalam hidup, tidak melihat adanya manfaat dalam masa lalu kehidupannya, dan tidak mempunyai kepercayaan yang dapat membuat hidup lebih berarti.

(22)

dalam dirinya, dan mampu melihat peningkatan dalam diri dan tingkah laku dari waktu ke waktu. Sebaliknya, pengurus Rumah Cemara yang kurang baik dalam dimensi ini akan menampilkan ketidakmampuan untuk mengembangkan sikap dan tingkah laku baru, mempunyai perasaan bahwa ia adalah seorang pribadi yang stagnan, dan tidak tertarik dengan kehidupan yang dijalani.

Dimensi environmental mastery menggambarkan tentang kemampuan untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisik dirinya. Dengan kata lain, ia mempunyai kemampuan dalam menghadapi kejadian-kejadian diluar dirinya. Pengurus Rumah Cemara yang memiliki nilai tinggi dalam dimensi ini mampu untuk memanipulasi keadaan sehingga sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pribadi yang dianutnya dan mampu untuk mengembangkan diri secara kreatif melalui aktivitas fisik maupun mental. Sebaliknya, pengurus Rumah Cemara yang kurang baik dalam dimensi ini akan menampakkan ketidakmampuan untuk mengatur kehidupan sehari-hari, dan kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan luar.

(23)

17

Universitas Kristen Maranatha maupun menurunkan psychological well-being pengurus Rumah Cemara yang mengidap HIV Positif.

1.6 Asumsi

 Pengurus Rumah Cemara yang mengidap HIV Positif memiliki derajat

Psychological Well-Being yang berbeda-beda.

Psychological Well-Being pada pengurus Rumah Cemara yang

mengidap HIV Positif ditentukan oleh 6 dimensinya, yaitu self-acceptance, positive relations with others, purpose in life, autonomy,

personal growth, dan environmental mastery.

Dimensi-dimensi psychological well-being dapat dipengaruhi berbagai

(24)

Bagan 1.1 Kerangka Pikir Psychological Well-Being

Dimensi-dimensi Psychological Well-Being: 1. Self-Acceptance

2. Positive Relations With Others 3. Personal Growth

4. Purpose in Life

5. Environmental Mastery 6. Autonomy

Faktor yang mempengaruhi: 1. Usia

2. Jenis Kelamin 3. Tingkat Pendidikan 4. Status Sosioekonomi 5. Status Marital 6. Kepribadian Pengurus Rumah

Cemara yang Mengidap HIV Positif

Tinggi

(25)

69 Universitas Kristen Maranatha BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini, peneliti akan memaparkan hasil interpretasi dan analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya beserta saran yang terarah sesuai dengan hasil penelitian.

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat Psychological Well-Being (PWB) yang dilakukan pada pengurus Rumah Cemara yang mengidap HIV

Positif maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Sebanyak 67,57% dari pengurus Rumah Cemara yang mengidap HIV Positif (N=37) memiliki derajat PWB yang tinggi dan 32,43% memiliki derajat PWB yang rendah sehingga dapat dikatakan sebagian besar pengurus Rumah Cemara memiliki derajat psychological well-being yang tinggi.

2. Pengurus Rumah Cemara yang memiliki psychological well-being tinggi pada umumnya memiliki derajat yang tinggi pada 3-6 dimensinya, sedangkan pengurus Rumah Cemara yang memiliki psychological well-being rendah memiliki derajat yang rendah pada 4-6 dimensinya.

(26)

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoritis

1. Peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian mengenai perbandingan antara psychological well being pada pengurus Rumah Cemara yang belum menikah dan pengurus Rumah Cemara yang sudah menikah.

2. Perlu dipertimbangkan melakukan penelitian untuk mengetahui kontribusi dimensi-dimensi PWB terhadap derajat PWB secara keseluruhan.

3. Perlu dipertimbangkan untuk menggali data penunjang tentang seberapa lama telah mengidap HIV.

4. Perlu dipertimbangkan untuk menggunakan teori kepribadian yang lebih sesuai.

5.2.2 Saran Praktis

1. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pemimpin Rumah Cemara dan psikolog di Rumah Cemara dalam melakukan pembinaan bagi para pengurus. Pengurus Rumah Cemara pengidap HIV Positif dengan derajat PWB yang rendah perlu melakukan usaha untuk meningkatkannya melalui pengembangan dimensi-dimensi PWB. Pengembangan tersebut dapat dilakukan dengan mengadakan Seminar atau training pengenalan diri (Self-Acceptance, Autonomy), mengadakan kegiatan-kegiatan yang sesuai

bakat dan minat untuk mengasah kemampuan mereka (Personal Growth, Purpose in Life, Environmental Mastery), dan mengadakan kegiatan

(27)

71

Universitas Kristen Maranatha 2. Hasil penelitian ini dapat juga menjadi masukan bagi pengurus Rumah

(28)

DAFTAR PUSTAKA

Doherty, William J, dkk. 1989. Marital Disruption and Psychological Well-Being. Journal of Family Issues, 72-84.

Friendenberg, Lisa. 1995. Psychological Testing: Design, Analysis, and Use. USA: Allyn & Bacon.

Joshanloo, Mohsen dan Samaneh Afshari. 2010. Big Five Personality Traits as Predictors of Eudaimonic Well-Being in Iranian University Students. Psychological Well-Being, 185-198.

Keyes, dkk. The Measurement and Utility of Adult Subjective Well Being. In Lopez, Shane J, & Snyder, C.R (ed). 2003. Positive Psychological Assessment; A Handbook of Models and Measures. Washington DC: American Psychological Association.

Lopez, Jesus, dkk. 2010. Psychological Well Being, Assesment Tools and Related Factors. Psychological Well-Being, 77-114.

Nazir, M. 1998. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Rammstedt, B. & John, O. P. (2007). Measuring personality in one minute or less: A 10-item short version of the Big Five Inventory in English and German. Journal of Research in Personality, 41, 203-212.

Ryff, Carol D. 1989. Happiness Is Everything, or Is It? Explorations on the Meaning of Psychological Well Being. Journal of Personality and Social Psychology, 1069-1081.

___________ dan Keyes. 1995. The Structure of Psychological Well-Being Revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 719-727.

___________ dan Burton Singer. 2002. Integrative Science in Pursuit of Human Health and Well-Being. From Social Structure to Biology, 541-555.

(29)

73 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI. 2003. Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan Bagi ODHA. Jakarta: Bakti Husada.

Evelyn. 2009. Pahami HIV dan AIDS, Hentikan Stigma. (Online). (http://hidupituindah.com/2009/10/02/407/pahami-hiv-dan-aids-hentikan-stigma.html, diakses 9 Maret 2011).

Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. 2009. Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana. Bandung: FP UKM.

Irene. 2010. Studi Deskriptif mengenai Psychological Well-Being ditinjau dari Dimensi-Dimensinya pada Pasien HIV Positif (Usia 20-34 tahun) di RS ‘X’ Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

McCrae, R.R., & Allik, J. (2002). The Five Factor Model of personality across cultures. New York: Kluwer Academic/ Plenum Publishers (http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/big-5-p.html, diakses 1 Mei 2011).

Pramudiarja, AN Uyung. 2010. Beginilah Rasanya Divonis HIV Positif. (Online). (http://us.detikhealth.com/read/2010/11/28/121835/1504171/763/beginilah -rasanya-divonis-hiv-positif, diakses 9 Maret 2011).

Ryff, Carol D. 2005. Scales of Psychological Well Being. (Online). (www.unc.edu/peplab/documents/PWB.doc).

Stutterheim, dkk. 3 September 2009. HIV-Related Stigma in The Netherlands. (Online), (http:///I:/jurnal%20hiv%20stigma%20in%20belanda_files.htm, diakses 10 Maret 2011).

Referensi

Dokumen terkait

Pengertian ilmiah dari heat exchanger adalah sebuah alat yang berfungsi untuk mentransfer energi panas (entalpi) antara dua atau lebih fluida, antara permukaan padat dengan

Memperoleh pengetahuan mengenai hambatan yang dialami masyarakat sebagai penerima kredit dan UPK sebagai pelaksana kegiatan atau pemberi kredit dalam proses pemberian

Jumlah item angket untuk variabel perilaku kepemimpinan konstruktif kepala sekolah adalah 35 item, setelah dilakukan uji coba angket 30 item dinyatakan memiliki t hitung

Bagian yang masuk akal dari argumen al-Kindi muncul dari uraian (keterangan) linguistik murni, bahwa stilah Arab “muhdats” bila diterapkan pada dunia, dan yang

Menurur pendapat Petronila dan Mukhlasin (2003) profitabilitas merupakan gambaran dari kinerja manajemen dalam mengelola perusahaan. Profitabilitas merupakan ukuran

2004 Kata Kunci : titik impas, titik aman, titik penutupant (xi + 40 + Lampiran) Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana Break Even sebagai alat perencanaan laba

Berdasarkan atas hasil analisis yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa PT.SARANA UTAMA ADIMANDIRI telah menambah aktiva tetapnya dan telah memenuhi kewajiban operasionalnya

hukum dalam pembuatan bukti sebagai ahli waris yang masih harus berdasarkan etnis. dan institusi yang membuatnya berbeda harus segera diakhiri, disamping i