• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Terhadap Penetapan Bunga Tinggi dan Asas Kepatutan Dalam Perjanjian Utang Piutang.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Yuridis Terhadap Penetapan Bunga Tinggi dan Asas Kepatutan Dalam Perjanjian Utang Piutang."

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

Universitas Kristen Maranatha

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENETAPAN BUNGA

TINGGI DAN ASAS KEPATUTAN DALAM PERJANJIAN

UTANG PIUTANG

ABSTRAK

Pemenuhan kebutuhan manusia dapat ditunjang oleh ketersediaan dana. Namun tidak semua manusia memiliki dana yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia adalah dengan perjanjian utang piutang. Perjanjian utang piutang yang dibuat secara tertulis merupakan upaya untuk terlaksanya pemenuhan prestasi dan mencegah terjadinya wanprestasi. Perjanjian utang piutang dapat disertai penetapan bunga. Penetapan bunga tinggi memberatkan debitur yang mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pinjaman pokok berikut dengan bunganya. Sehingga dalam pelaksanaannya seringkali debitur tidak dapat memenuhi apa yang telah disepakatinya dalam perjanjian utang piutang. Kebutuhan masyarakat akan uang tunai yang mendesak, menjadikan masyarakat memilih untuk meminjam uang pada pihak yang memiliki dana lebih meskipun harus menyepakati penetapan bunga tinggi yang dilakukan oleh kreditur. Maka pelaksanaanya debitur tidak dapat memenuhi isi perjanjian yang telah disepakatinya dan menimbulkan permasalahan.

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini dengan pendekatan yuridis normatif, yang mana penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan. Dalam hal ini bahan pustaka merupakan data dasar penelitian yang digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder penelitian ini, mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Bahan hukum primer mencakup peraturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan perjanjian dan peraturan yang mengatur mengenai penetapan bunga dalam perjanjian utang piutang. Bahan hukum sekunder merupakan bahan pustaka yang berisikan informasi tentang bahan primer terdiri atas penjelasan undang-undang yang terkait. Bahan hukum tertier merupakan bahan penunjang yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Dengan metode yuridis normatif dapat diketahui penetapan bunga tinggi dan asas kepatutan dalam perjanjian utang piutang. Yang mana penetapan bunga tinggi bertentangan dengan asas kepatutan. Bertentangannya bunga tinggi dengan asas kepatutan dalam perjanjian utang piutang bertentangan pula dengan syarat sah perjanjian keempat yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Serta dapat diketahui pertanggungjawaban debitur atas bunga yang tidak dibayarkan kepada kreditur dalam perjanjian utang piutang.

Penetapan bunga tinggi dalam perjanjian utang piutang berdasarkan asas kepatutan adalah merupakan hal yang tidak patut dan tidak layak karena bunga yang patut adalah bunga yang layak, dapat diterima banyak masyarakat dan memenuhi rasa keadilan. Penetapan bunga yang patut dan layak dapat terlihat pada bunga yang ditetapkan oleh bank terutama bank pemerintah. Akibat hukum penetapan bunga yang lebih tinggi dari bunga lembaga keuangan bank dalam perjanjian utang piutang tidak memiliki sebab yang halal, hal tersebut bertentangan dengan syarat sah perjanjian keempat yang diatur yakni, kausa yang halal. Konsekuensinya perjanjian yang telah dibuat akan menjadi batal demi hukum. Bentuk pertanggungjawaban debitur atas tidak dibayarkannya bunga tinggi yang ditetapkan dalam perjanjian utang piutang adalah debitur tetap harus membayar bunga dan kreditur dapat memperoleh haknya yang berupa bunga melalui gugatan kepada pengadilan dengan mendasar kepada perjanjian yang telah dibuat sebelumnya.

(2)

JURIDICAL REVIEW OF HIGH INTEREST

DETERMINATION AND APPROPRIATENESS PRINCIPLE

REFERS TO DEBT CONTRACT

ABSTRACT

The fulfillment of human needs can be supported by the availability of funds. But not all people have enough money to make ends meet. One of many efforts that can be done to meet the needs of human is through agreement of debts. Written debt agreement is an attempt to reach achievements and prevent default. The agreement can be followed by the establishment of debt interest. Determination of high interest can be a burden for a debtor with the obligation to repay the principal loan along with its interest. Thus, in the implementation many debtor can not fulfill what has been agreed in the agreement of debts. The urgent need of cash money makes people choose to borrow them from the side that has more money, eventhough they have to agree to set interest rates above the prevailing rates by creditors. As a result, the debtor can not fulfill the agreement that has been agreed and cause many problems.

The writing method used by the writer is a normative juridical approach, since this research is the study of literature. In this case, the library materials is a basic data of the research or can be classified as secondary data. The secondary data of this research including primary legal materials, legal materials and tertiary legal materials. Primary legal materials include the legislation relating to treaties issues and the determination regulations of interest rates in the debt contracts. Secondary legal materials are library materials that contain information about the primary material related legislation explanations. Tertiary legal materials are supporting materials that provide guidance to the primary and secondary legal materials. Through the normative juridicial approach, the high interest rate determination in debt agreement can be clearly known and settled, that high-interest determination contrary to the appropriateness principle. The high interest determination is also contrary to the fourth legal requirement that set in Article 1320 of the Civil Code. The normative method can be used as well to determine debitors responsibility if they cannot pay the interest to the creditor in the debt agreement according to the real case.

The high interest determination in debt agreement based on the appropriateness principle is inappropriate and improper. It is because the proper interest rate should be feasible and acceptable to a lot of people in a sense of fairness. As an example, the proper interest determination can be seen on the rate set by the banks, especially state banks. The agreement of high interest determination has no legal reason due to the higher interest arrangement than a interest that set by financial institutions. It is contrary to the legal requirement of the fourth agreements under Article 1320 ie, the legal movement. As a consequence, the agreements that have been made will be null and void. Form of debitors responsibility of non-payment high interest debts specified in the agreement, stated that a debtor must pay interest. Otherwise a creditor can obtain his rights in the form of interest through the court based on agreement that has been made before.

(3)

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul……… i

Halaman Pernyataan Keaslian………... ii

Halaman Persetujuan Skripsi………. iii

Halaman Pengesahan Pembimbing………. iv

Halaman Persetujuan PanitiaSidang………. v

Abstrak………... vi

Abstract……….. vii

Kata Pengantar………... viii

Daftar Isi……… x

BAB I PENDAHULUAN……….… 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Dan Identifikasi Masalah... 5

C. Tujuan Dan Sasaran…………... 6

D. Kegunaan Penelitian..………..…..……...………. 6

E. Kerangka Pemikiran………. 7

F. Metode Penelitian……… 13

G. Sistematika Penulisan……….. 16

BAB II PERJANJIAN DAN UNDANG-UNDANG SEBAGAI SUMBER PERIKATAN PARA PIHAK………. 19

(4)

1. Pengertian Perikatan……… 19

2. Subjek Perikatan……….. 21

3. Objek Perikatan………... 22

B. Sumber-Sumber Perikatan………. 24

1. Perikatan yang Terjadi Karena Persetujuan Atau Perjanjian………. 26

a. Pengertian Perjanjian………. 26

b. Subjek Perjanjian………... 27

c. Objek Perjanjian……… 29

d. Syarat Perjanjian……… 30

e. Asas Perjanjian……….. 36

f. Jenis-Jenis Perjanjian………. 40

g. Akibat-Akibat Perjanjian………... 43

h. Wanprestasi………... 45

2. Perikatan yang Terjadi Karena Undang-Undang………. 46

a. Zaakwaarneming……….. 48

b. Pembayaran yang Tidak Terhutang………... 50

c. Perikatan Alam……….. 51

d. Perbuatan Melawan hukum………... 53

C. Jenis Perikatan……….. 56

D. Hapusnya Perikatan………... 59

(5)

Universitas Kristen Maranatha

A. Pengaturan Bunga Dalam Hukum Positif Indonesia……… 64

1. Pengertian Bunga Pada Umumnya……… 64

2. Bunga Dalam Perjanjian Utang Piutang Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata………... 67

a. Bunga Moratoir……… 67

b. Bunga Konvensional……… 72

c. Bunga Kompensatoir……… 73

d. Bunga Berbunga………... 74

B. Pengaturan Bunga Dalam Aktivitas Perbankan Berdasarkan Regulasi Bank Indonesia………. 75

C. Penetapan Bunga Dalam Perjanjian Utang Piutang Diatas Suku Bunga Yang Berlaku………... 79

BAB IV PENETAPAN BUNGA TINGGI DALAM PERJANJIAN UTANG PIUTANG DAN ASAS KEPATUTAN……….. 87

A. Perjanjian Utang Piutang Yang Menetapkan Bunga Tinggi Berdasarkan Asas Kepatutan……….. 87

B. Akibat Hukum Terhadap Penetapan Bunga Tinggi Bagi Perjanjian Utang Piutang……… 91

1. Syarat Sahnya Perjanjian Utang Piutang……….. 92

2. Akibat Hukum Atas Perjanjian Utang Piutang Karena Penetapan Bunga Tinggi………... 96

C. Pertanggungjawaban Debitur Terhadap Kreditur Atas Tidak

(6)

Piutang……… 105

1. Konsep Dan Perkembangan Pertanggungjawaban Perdata Dalam Sistem Hukum Indonesia……….…. 105

2. Pertanggungjawaban Debitur Kepada Kreditur Dalam Perjanjian Utang Piutang Atas Tidak Dibayarkannya Bunga Diatas Suku Bunga Yang Berlaku………. 110 BAB V PENUTUP……… 115

A. Simpulan………. 115

B. Saran……… 117

DAFTAR PUSTAKA……… 119

(7)

Universitas Kristen Maranatha

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia memiliki naluri self preservasi yaitu naluri untuk

mempertahankan eksistensinya di dunia. Naluri self preservasi selalu

berhadapan dengan berbagai bahaya yang mengancam eksistensi manusia.

Bahaya yang mengancam eksistensi manusia meliputi bahaya yang timbul

dari dalam diri manusia sendiri maupun bahaya yang berasal dari luar diri

manusia.1 Dengan adanya naluri self preservasi di dalam diri manusia

maka setiap manusia akan terdorong melakukan berbagai usaha untuk

mengatasi bahaya-bahaya yang dapat mengancam eksistensinya.

Segala sesuatu yang diperlukan oleh manusia untuk dapat

mempertahankan eksistensinya disebut kebutuhan. Menurut Abraham

Maslow, manusia memiliki 5 lima macam kebutuhan yang ingin dipenuhi,

yaitu kebutuhan fisik dan biologis, kebutuhan akan keamanan dan jaminan

hidup, kebutuhan sosial dan bergabung dengan kelompok, kebutuhan akan

penghargaan dan kebutuhan akan pemenuhan dan pencapaian diri.2

Pemenuhan kebutuhan manusia dapat ditunjang oleh

ketersediaan dana. Namun tidak semua manusia memiliki dana yang

1

Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, Jakarta: Pembangunan, 1984, hlm. 20.

(8)

cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu upaya

yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia adalah

dengan meminjam uang dari pihak yang memiliki dana lebih. Terjadinya

peristiwa meminjam uang dari pihak lain dengan syarat

mengembalikannya kembali dikemudian hari disebut utang piutang. Utang

piutang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia utang piutang adalah

uang yang dipinjamkan dari orang lain dan yang dipinjamkan kepada

orang lain.3

Bank merupakan salah satu lembaga yang memberikan jasa

peminjaman uang yang biasa dikenal dengan kredit. Kredit yang diberikan

oleh bank memuat persyaratan-persyaratan yang harus ditaati oleh

peminjam atau nasabah. Dalam memberikan kredit bank akan menetapkan

bunga sebagai keuntungan yang dapat diperolehnya dari peminjam atau

nasabah. Bunga yang ditetapkan setiap bank, baik kredit maupun deposito

diawasi oleh Bank Indonesia. Jadi setiap bunga yang ditetapkan setiap

bank tidak terlampau jauh satu sama lain.

Selain bank, orang perorangan juga dapat memberikan pinjaman

kepada setiap orang. Peminjam yang disebut debitur sedangkan pihak yang

meminjamkan disebut kreditur menuangkan kesepakatan diantara mereka

dalam bentuk perjanjian. Perjanjian dapat dibuat secara lisan atau tertulis.

Para pihak dalam perjanjian utang-piutang yang dibuat secara tertulis

3

(9)

Universitas Kristen Maranatha

dapat menentukan perjanjian tersebut dibuat secara dibawah tangan, atau

dibuat dihadapan pejabat berwenang yakni, notaris.

Perjanjian yang dibuat secara tertulis akan lebih mudah untuk

dipergunakan sebagai alat bukti apabila dikemudian hari ada terjadi

permasalahan diantara para pihak yang membuat perjanjian. Didalam

Hukum Perdata bukti tertulis merupakan bukti yang kuat, dengan

dituangkannya perjanjian ke dalam bentuk tertulis maka masing-masing

pihak akan mendapat kepastian hukum atas perjanjian yang dibuatnya.

Perjanjian yang dibuat secara tertulis juga merupakan upaya

kepastian dalam pemenuhan prestasi diantara para pihak yang membuat

perjanjian. Namun dalam kenyataannya, sering kali terjadi kegagalan

dalam pelaksanaan perjanjian karena adanya wanprestasi yang dilakukan

oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak meskipun telah dibuat

perjanjian secara tertulis. Misalnya dalam perjanjian utang piutang yang

dibuat secara tertulis, wanprestasi perjanjian utang piutang biasanya

berupa tidak dibayarkannya utang yang seharusnya dibayarkan oleh

debitur.

Para pihak dalam perjanjian utang piutang dapat pula

menetapkan kesepakatan mengenai bunga. Bunga yang telah disepakati

wajib dibayarkan besama dengan utang pokok yang sebelumnya telah

disepakati. Bunga merupakan keuntungan yang dapat diperoleh dari utang

piutang. Sama halnya dengan bank yang menerima bunga dari pemberian

(10)

resmi pemberian jasa kredit telah menentukan bunga yang ditetapkan dan

ini berlaku bagi masyarakat yang akan meminjam uang kepada bank.

Sedangkan perjanjian utang piutang yang dibuat para pihak menentukan

besarnya bunga sesuai kesepakatan para pihak.

Seperti kasus yang ditangani oleh kantor hukum X berikut ini.

Kreditur meminjamkan uang kepada debitur sebesar Rp. 4.000.000.000,00

(empat miliar rupiah) dengan bunga 2% setiap bulan. Mereka membuat

akta perjanjian pengakuan utang di hadapan seorang notaris. Kedua belah

pihak telah menyepakati isi perjanjian tersebut termasuk kewajiban debitur

membayar bunga sebesar 2% setiap bulannya. Merekapun sepakat untuk

menggunakan hak tanggungan sebagai jaminan atas utang debitur.

Ternyata karena suatu alasan tertentu debitur tidak dapat membayar

utangnya secara lunas berikut dengan bunganya. Debitur menitipkan

sejumlah nilai hak tanggungan kepada pengadilan sebelum lelang eksekusi

terhadap objek hak tanggungan dilangsungkan. Kreditur yang merasa

dirugikan atas bunga yang tidak dibayarkan oleh debitur mengajukan

gugatan ke pengadilan.

Penetapan bunga dalam perjanjian utang piutang biasa diatas

suku bunga yang biasa berlaku dalam kredit bank merupakan hal yang

memberatkan debitur yang mempunyai kewajiban untuk mengembalikan

pinjaman pokok berikut dengan bunganya. Sehingga dalam

pelaksanaannya seringkali debitur tidak dapat memenuhi apa yang telah

(11)

Universitas Kristen Maranatha

Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat diketahui bahwa

wanprestasi terhadap perjanjian yang dibuat secara tertulis masih dapat

terjadi, disamping itu pula penetapan bunga diatas suku bunga yang biasa

berlaku dalam kredit bank masih tetap ada dalam masyarakat. Kebutuhan

masyarakat akan uang tunai yang mendesak, menjadikan masyarakat

memilih untuk meminjam uang pada pihak yang memiliki dana lebih

meskipun harus menyepakati penetapan bunga tinggi yang dilakukan oleh

kreditur, sehingga dalam pelaksanaanya debitur tidak dapat memenuhi isi

perjanjian yang telah disepakatinya. Untuk itu penulis tertarik meneliti

permasalahan ini dalam skripsi yang berjudul

TINJAUAN

YURIDIS TERHADAP PENETAPAN BUNGA TINGGI

DAN

ASAS

KEPATUTAN

DALAM

PERJANJIAN

UTANG PIUTANG

B. Rumusan dan Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian Latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah

sebagai berikut:

“Bagaimana penetapan bunga tinggi dan akibat hukumnya bagi perjanjian

utang piutang, serta bentuk pertanggungjawaban debitur atas tidak

(12)

Berdasarkan rumusan masalah tersebut dapat diidentifikasi masalah

sebagai berikut:

1. Apakah perjanjian utang piutang yang menetapkan bunga tinggi

bertentangan dengan asas kepatutan?

2. Bagaimana akibat hukum terhadap penetapan bunga tinggi bagi

perjanjian utang piutang?

3. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban debitur terhadap kreditur atas

tidak dibayarkannya bunga tinggi dalam perjanjian utang piutang?

C. Tujuan dan Sasaran

1. Menggambarkan dan menganalisis perjanjian utang piutang yang

menetapkan bunga tinggi berdasarkan asas kepatutan.

2. Menggambarkan dan menganalisis akibat hukum terhadap penetapan

bunga tinggi bagi perjanjian utang piutang.

3. Menggambarkan dan menganalisis bentuk pertanggungjawaban debitur

terhadap kreditur atas tidak dibayarkannya bunga tinggi dalam

perjanjian utang piutang.

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis:

a. Memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu hukum

(13)

Universitas Kristen Maranatha

b. Memberikan sumbangan pemikiran mengenai hukum perjanjian

khususnya perjanjian utang piutang yang menetapkan bunga tinggi

dalam rangka mewujudkan keadilan.

2. Kegunaan Praktis:

a. Memberikan masukan kepada para praktisi hukum sebagai

pelaksana penegakan hukum dalam menyelesaikan masalah utang

piutang berkaitan dengan penetapan bunga suatu utang.

b. Memberikan masukan kepada kalangan akademisi, peneliti, dan

masyarakat mengenai penetapan bunga dalam perjanjian utang

piutang berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

c. Memberikan masukan kepada pemerintah untuk membentuk

peraturan-perundang-undang yang dapat memberikan perlindungan

hak kepada para pihak dalam perjanjian utang piutang berkaitan

dengan penetapan bunga.

E. Kerangka Pemikiran

Manusia dikodratkan hidup dalam kebersamaan dengan manusia

lainnya karena manusia adalah makhluk sosial sebagaimana yang

dinyatakan oleh Aristoteles yaitu bahwa manusia adalah zoon politicon.

Manusia sebagai makhluk sosial dimana manusia tidak dapat hidup

sendiri. Manusia yang satu membutuhkan manusia yang lainnya untuk

(14)

satu sama lain. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya interaksi antara

manusia interaksi manusia diwujudkan melalui kesepakatan. Kesepakatan

yang dilakukan dapat berupa kesepakatan lisan maupun tulisan. Tidak

sedikit manusia melakukan kesepakatan lisan tetapi banyak pula yang

melakukan kesepakatan dalam bentuk tertulis. Kesepakatan dalam bentuk

tertulis dikenal dengan nama perjanjian. Perjanjian ini merupakan salah

satu sumber perikatan. Perjanjian dalam rangka meminjam uang disebut

perjanjian utang piutang. pihak yang berpiutang disebut kreditur

sedangkan pihak yang berutang disebut debitur.

Setiap debitur mempunyai kewajiban memenuhi prestasi kepada

kreditur. Karena itu debitur mempuanyai kewajiban untuk membayar

utang. Dalam istilah asing kewajiban itu disebut schuld. Disamping schuld

debitur juga mempunyai kewajiban yang lain yaitu haftung. Maksudnya

ialah bahwa debitur itu berkewajiban untuk membiarkan harta

kekayaannya diambil oleh kreditur sebanyak utang debitur, guna

pelunasan utang tadi, apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya

membayar utang tersebut.4

Melalui perjanjian itu para pihak mempunyai kebebasan untuk

mengadakan segala jenis perikatan, dengan batasan yaitu tidak dilarang

oleh undang-undang, berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.

Dalam hal ini kita mengetahui ajaran Hugo De Groot yang mengemukakan

(15)

Universitas Kristen Maranatha

bahwa Asas Hukum Alam menentukan janji itu mengikat (pacta sunt

servanda).5

Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan

bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian, baik karena

undang-undang. Dengan demikian dapat diartikan bahwa perjanjian

merupakan salah satu sumber perikatan selain undang-undang. Menurut

Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Perjanjian adalah suatu

perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

terhadap satu orang lain atau lebih lainnya.

Menurut R. Subekti Perikatan adalah suatu hubungan hukum

antara dua orang/dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak

menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain

berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.6

Menurut M. Yahya Harahap:7

“Perjanjian atau Verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan

sekaligus mewajibkan pihak lain untuk menunaikan prestasi.”

Perjanjian yang sah merupakan perjanjian yang memenuhi syarat

sahnya perjanjian. Syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal yang 1320

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu:

(1) kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

5 Ibid. hlm. 9.

6 Subekti,Hukum Perjanjian, Jakarta: Internasa,1987, hlm.1. 7

(16)

(2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

(3) suatu pokok persoalan tertentu;

(4) suatu sebab yang tidak terlarang

Syarat pertama dan syarat kedua disebut syarat subjektif karena

mengenai subjek perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut

syarat objektif karena mengenai objek perikatan.8 Kedua syarat ini

mempunyai akibat masing-masing. Apabila syarat subjektif tidak dipenuhi

maka akibat hukumnya adalah perjanjian dapat dibatalkan tetapi

sedangkan syarat objektif tidak dipenuhi maka perjanjian yang dibuat batal

demi hukum atau dianggap tidak pernah ada.

Adapun asas-asas fundamental yang melingkupi hukum perjanjian

adalah:

1. Asas Konsesualisme adalah bahwa perjanjian terbentuk karena adanya

perjumpaan kehendak dari pihak-pihak. Perjanjian pada pokoknya

dapat dibuat bebas tidak terikat bentuk dan tercapai tidak secara formil,

tetapi cukup melalui konsensus belaka.

2. Asas kekuatan mengikat perjanjian adalah bahwa para pihak harus

memenuhi apa yang mereka sepakati dalam perjanjian yang mereka

buat.

3. Asas kebebasan berkontak adalah bahwa para pihak menurut kehendak

bebasnya masing-masing dapat bebas menentukan cakupan isi serta

persyaratan dari suatu perjanjin dengan ketentuan bahwa perjanjian

(17)

Universitas Kristen Maranatha

tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang bersifat memaksa, baik ketertiban umum maupun

kesusilan.9

Kedua pihak bebas menentukan isi perjanjian sesuai dengan Pasal

1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa:

“ Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.

Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Semua mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang

namanya dikenal maupun yang namanya tidak dikenal oleh

undang-undang. Asas kebebasan berkontrak berhubungan dengan isi perjanjian

yaitu kebebasan menentukan apa dan dengan siapa perjanjian itu diadakan.

Perjanjian yang dibuat haruslah sesuai dengan Pasal 1320 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata karena perjanjian tersebut mempunyai kekuatan

hukum yang mengikat. Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang

sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini merupakan

perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia.10

Pada dasarnya cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak

untuk mencapai kata sepakat dalam perjanjian yakni bahasa yang

sempurna secara lisan maupun tulisan. Tujuan pembuatan secara tertulis

9 Herlin Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006, hlm. 95.

10

(18)

adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat

bukti yang sempurna dikala timbul sengketa dikemudian hari.11

Perjanjian yang tertuang dalam akta notariil isinya merupakan hasil

kesepakatan yang dibuat oleh para pihak bersangkutan. Para pihak secara

bebas dapat menentukan apa yang akan diatur dalam perjanjian itu.

Akhirya perjanjian yang dibuat akan mengikat bagi mereka yang

membuatnya. Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh

undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau

dengan ketertiban umum.12

Begitu pula perjanjian utang piutang, perjanjiannya dapat dibuat

dengan kesepakatan para pihak sesuai dengan aturan yang berlaku. Dalam

perjanjian utang piutang, pihak yang mempunyai piutang biasa disebut

kreditur, sedangkan pihak yang berutang disebut debitur.

Perjanjian utang piutang dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata tidak diatur secara terperinci, namun tersirat dalam Pasal 1754

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang perjanjian pinjam

meminjam yakni dikatakan bahwa bagi mereka yang meminjam harus

mengembalikan dengan bentuk dan kualitas yang sama.

Utang piutang adalah uang yang dipinjam dari orang lain dan yang

dipinjamkan kepada orang lain.13 Perjanjian utang piutang mengatur hak

dan kewajiban debitur dan kreditur. Hal terpenting dalam perjanjian utang

11

Salim, HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. 31.

12 Pasal 1337, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 13

(19)

Universitas Kristen Maranatha

piutang adalah pencantuman jumlah uang yang dipinjam, cara pembayaran

utang, tanggal pembayaran utang tersebut dan besarnya bunga bila

diperjanjikan. Bunga dalam perjanjian utang piutang adalah keuntungan

yang diharapkan yang tidak diperoleh kreditur.14

Prestasi debitur dalam perjanjian utang piutang adalah membayar

utang pokok berikut bunganya kepada kreditur. Apabila prestasi tidak

dipenuhi disebut wanprestasi. Sedangkan perikatan yang lahir dari

undang-undang sebagai akibat perbuatan orang yang melawan hukum diatur dalam

Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, undang-undang

menetapkan kewajiban orang itu untuk mengganti rugi. Dengan

menetapkan kewajiban memberi ganti rugi antara orang yang melakukan

perbuatan melawan hukum kepada orang yang menderita kerugian karena

perbuatan itu, maka timbul suatu perikatan diluar kemauan kedua orang

tersebut.

F. Metode Penelitian

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum

normatif yaitu dengan meneliti pada data sekunder bidang hukum yang

ada sebagai data kepustakaan dengan menggunakan metode berpikir

deduktif. Pada penelitian hukum normatif hukum dikonsepkan sebagai

kaidah atau norma yang merupaka patokan berprilaku manusia yang

14

(20)

dianggap pantas.15 Tradisi dalam suatu penelitian normatif adalah

memperbolehkan penggunaan analisis ilmiah ilmu-ilmu lain untuk

menjelaskan fakta-fakta hukum yang diteliti dengan cara kerja ilmiah yang

ajeg serta cara berpikir yuridis mengolah hasil berbagai disiplin ilmu

terkait untuk kepentingan analisis bahan hukum, namun tidak mengubah

karakter khas ilmu hukum sebagai ilmu normatif.16

1. Sifat penelitian

Sifat penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan secara

deskriptif analitis,yaitu menggambarkan hal-hal yang berkaitan dengan

penetepan bunga dalam perjanjian utang piutang.

2. Pendekatan Penelitian

Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

penelitian undang-undang. Dalam hal ini dilakukan telaah semua

undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum

yang sedang dikaji.17

3. Jenis data

Sumber data dari penelitian ini diperoleh dengan cara menggunakan

data sekunder.

4. Teknik pengumpulan data dan Analisis data

a. Teknik Pengumpulan data

15 Amirudin, H. Zainal Asikin, Penganar Metode Penlitian Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 2004, hlm.118.

16 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2011, hlm. 269.

17

(21)

Universitas Kristen Maranatha

Data sekunder diperoleh dengan cara sebagi berikut:

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat

outoritatif artinya mempunyai otorisasi.18 Bahan hukum

primer ini mencakup peraturan perundangan antara lain Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan,

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia dan

yurisprudensi Makhamah Agung.

2) Bahan hukum sekunder, yaitu semua publikasi tentang

hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.19

Bahan hukum sekunder ini mencangkup literature mengenai

Hukum perikatan, perjanjian dan karya tulis hukum

khususnya mengenai perjanjian, serta jurnal ilmu hukum

khusunya yang berkaitan dengan perikatan.

3) Bahan Hukum tersier atau bahan hukum penunjang

bahan-bahan primer dan sekunder anatara lain ensiklopedia, Kamus

Besar Bahasa Indonesia dan Black’s Law.

b. Teknik analisis data

18 Ibid.,. hlm. 142.

19

(22)

Data diperoleh dari berbagai sumber. Data yang diperoleh

keseluruhannya dikumpulkan baik berupa buku, literatur, makalah

ataupun jurnal. Setelah data dikumpulkan, digunakan metode

deduktif untuk menganalisis data kepustakaan yang telah

diperoleh. Dengan menggunakan metode deduktif ini dapat

diketahui bagaimana pertanggung jawaban debitur atas tidak

dibayarkan bunga tinggi dalam perjanjian utang piutang.

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah:

BAB I PENDAHULUAN

Bab I ini akan membahas mengenai latar belakang masalah,

Identifikasi Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan penelitian,

Kerangka pemikiran, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM PERIKATAN

Bab II ini akan membahas mengenai perikatan pada umumnya,

pengertian perikatan, pengaturan hukum perikatan,

sumber-sumber perikatan, perjanjian, syarat perjanjian, pelaksanaan

perjanjian, asas-asas perjanjian, syarat-syarat perjanjian,

macam-macam perikatan, wanprestasi dan akibatnya, penggantian

(23)

Universitas Kristen Maranatha

penggantian kerugian meliputi biaya dan bunga serta Perbuatan

melawan hukum.

BAB III PENETAPAN BUNGA DALAM PERJANJIAN UTANG

PIUTANG

Bab III ini akan memaparkan Perjanjian Utang Piutang Dalam

Hukum Positif Indonesia, Pengaturan Bunga Dalam Perjanjian

Utang Piutang Memurut Hukum Positif Indonesia, Pengaturan

Bunga Dalam Aktivitas Bisnis Bank, Penetapan Bunga Dalam

Perjanjian Utang Piutang

BAB IV PEMBAHASAN

Bab IV akan dijelaskan konseksuensi hukum penetapan bunga

tinggi dalam perjanjian utang piutang berdasarkan Pasal 1320

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan akan dijelaskan pula

bentuk pertanggungjawaban debitur atas tidak dibayarkannya

bunga tinggi

BAB V PENUTUP

Bab V ini akan memaparkan kesimpulan atas pembahasan telah

dikasi dan memberikan saran bagi permasalahan yang terjadi dan

memberikan masukan kepada para pihak yang berkompeten dalam

(24)

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

1. Penetapan bunga tinggi dalam perjanjian utang piutang berdasarkan

asas kepatutan adalah merupakan hal yang tidak patut dan tidak layak.

Walaupun bunga yang diperjanjikan diperbolehkan melebihi bunga

yang diatur oleh undang-undang dengan syarat tidak bertentangaan

dengan undang-undang dan belum terdapat pengaturan lebih lanjut

mengenai bunga, tetapi bunga yang ditetapkan dalam perjanjian utang

piutang tidak boleh memberatkan debitur. Bunga yang tinggi adalah

memberatkan debitur. Hal tersebut dikerenakan bunga yang patut

adalah bunga yang layak, dapat diterima banyak masyarakat dan

memenuhi rasa keadilan. Penetapan bunga yang patut dan layak dapat

terlihat pada bunga yang ditetapkan oleh bank terutama bank

pemerintah. Karena bank menetapkan bunga berdasarkan

perkembangan perekonomian yang terjadi, sesuai dengan kemampuan

masyarakat serta bunga yang ditetapkan bank selalu diawasi oleh Bank

Indonesia, terutama bank pemerintah selain diawasi Bank Indonesia,

bank pemerintah pun diawasi oleh pemerintah sendiri karena bank

(25)

Universitas Kristen Maranatha

2. Akibat hukum penetapan bunga yang lebih tinggi dari bunga lembaga

keuangan bank dalam perjanjian utang piutang tidak memiliki sebab

yang halal. Maka bunga tinggi yang ditetapkan dalam perjanjian

uatang piutang adalah memberatkan debitur dan bertentangan dengan

undang-undang, kesusilaan baik dan ketertiban umum sesuai dengan

Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dan Pasal 1339

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa suatu

perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas

dianyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang

menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan

undang-undang. Dan penetapan bunga tinggi dalam perjanjian utang

piutang tidaklah sesuai dengan kepatutan dan kebiasaan. Sedangkan

bunga tinggi yang ditetapkan dalam perjanjian utang piutang

bertentangan dengan kepatutan. Oleh karena itu, penetapan bunga

tinggi dalam perjanjian utang piutang bertentangan dengan syarat sah

perjanjian keempat yang diatur dalam Pasal 1320 yakni, kausa yang

halal. Konsekuensinya perjanjian yang telah dibuat akan menjadi batal

demi hukum dengan kata lain perjanjian tidak berkekuatan dan

dianggap tidak pernah ada.

3. Bentuk pertanggungjawaban debitur atas tidak dibayarkannya bunga

tinggi yang ditetapkan dalam perjanjian utang piutang adalah debitur

tetap harus membayar bunga. Sebab kreditur telah memberi

(26)

debitur. Kreditur juga berhak atas keuntungan setelah memenuhi

prestasi berupa menyerahkan uang sebagai kenikmatan bagi kreditur.

Keuntungan yang seharusnya didapatkan kreditur dari utang piutang

adalah melalui bunga. Bunga yang dipenuhi pun haruslah bunga yang

wajar. Kreditur dapat memperoleh haknya yang berupa bunga melalui

gugatan kepada pengadilan dengan mendasar kepada perjanjian yang

telah dibuat sebelumnya. Yang mana kreditur mengalami kerugian atas

tidak terpenuhi haknya dalam memperoleh bunga yang seharusnya

didapatkan dari perjanjian utang piutang yang sebelumnya pernah ada.

Dari gugatan dan proses acaranya hakim harus menilai besarnya bunga

yang ditetapkan dalam perjanjian dan besarnya bunga yang seharusnya

dibayarkan debitur kepada kreditur. Seperti Yurisprudensi M.A.

tanggal 30-6-1970 No. 755 K/Sip/1970 yang menyatakan bahwa

menurut peraturan (Woeker ordonantie S. 1938-524), apabila

pengadilan menganggap bunga atas suatu pinjaman uang terlampau

besar, Pengadilan Karena Jabatan dapat meringankan bunga tersebut.

B. SARAN

1. Sebaiknya adanya pembentukan perundang-undangan mengenai

penetapan bunga dalam perjanjian utang piutang selalu dapat

disesuaikan dengan bunga yang berlaku pada bank. Karena bank

menentukan bunga berdasarkan perkembangan dan pertumbuhan

(27)

Universitas Kristen Maranatha

2. Sebaiknya praktisi hukum dan masyarakat lebih memperhatikan bunga

yang berlaku pada saat membuat perjanjian utang piutang. Ini upaya

agar perjanjian utang piutang yang dibuat tidak bertentangan kepatutan

dan dengan pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang

(28)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU:

Ahmadi Miru, Sakka Pati, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1465 BW, Jakarta: Rajawali Pers, 2008.

Amirudin Dan H. Zainal Asikin, Penganar Metode Penlitian Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 2004.

A.Mangunhardjana, Isme-Isme Dalam Etika Dari A Sampai Z, Yogyakarta: Kanisius, 2006.

AZ Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Diapit Media, 2002.

Gr. Van Der Burght ,Buku Tentang Perikatan, Bandung Mandar Maju, 1999.

Gunawan Widjaja, Kartini Muljadi, Hapusnya Perikata, Jakarta: Raja Grafindo, 2003.

H. Riduan Syahrani, Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung: Alumni, 2010.

Herlin Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006.

J. Satrio, Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya), Bandung: Alumni, 1999.

J. Satrio, Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Undang-Undang), Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.

(29)

Universitas Kristen Maranatha

Johannes Ibrahim, Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) Dan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Kredit, Bandung: Utomo, 2003.

Johnny Ibrahim, Teori Dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2011.

Komar Andasasmita, Notaris Ii, Bandung: Sumur Bandung, 1982.

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung : Alumni, 1986.

M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta : Pradnya Paramita, 1982.

Mariam Darus Badrulzaman Dkk, Kompilasi Hukum Periatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.

Mariam Darus Badrulzaman, K.U.H. Perdata Buku Iii Hukum Perikatan Dan Penjelasan, Bandung: Alumni, 1996.

Mariam Darus Bdrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Alumni, 2005.

Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta: 2010..

R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Putra Abardin, 1999

R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: Alumni, 1979

R. Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998,

R. Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1979.

(30)

R.M. Suryodiningrat. Azas-Azas Hukum Perikatan, Bandung: Tarsito, 1995.

Salim, Hs, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, Bandung:Mandar Maju, 2000.

Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum Di Indonesia, Jakarta: Pembangunan, 1984,

Thomas Suyatno, H.A. Chalik, Made Sukada, Tinon Yunianti Ananda, Dasar-Dasar Perkreditan, Jakarta: Gramedia Putaka Utama, 1999.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan,

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia dan yurisprudensi Makhamah Agung.

C. KAMUS:

(31)

Universitas Kristen Maranatha D. INTERNET:

Arti kata patut, (http://www.artikata.com/arti-344049-patut.html ), 1 Januari 2013.

Dodik Setiawan Nur Heriyanto, Asas – Asas Kontrak Secara Umum,

(http://dodiksetiawan.wordpress.com/2011/02/04/asas-asas-kontrak-secara-umum/), 1 Januari 2013.

KBBI Online, (http://KBBI.web.id/index.php?w=utang), 4 Oktober 2012.

(http://wwwgooglecommh.blogspot.com/2010/10/bab4hukum-perikatan.html), 7 November 2012.

http://h3r1y4d1.wordpress.com/2012/04/05/peranan-perbankan-dan-perekonomian-indonesia/,

Referensi

Dokumen terkait

Adanya hubungan pinjam-meminjam tersebut diawali dengan pembuatan kesepakatan antara peminjam (debitur) dan yang meminjamkan (kreditur) yang dituangkan dalam bentuk

Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan, praktik utang piutang emas di Kebomas Gresik menurut hukum islam adalah sah karena kreditur dan debitur

Tiara Bunga Pertiwi. PRAKTIK PELAKSANAAN PERJANJIAN UTANG PIUTANG DENGAN PENGIKATAN JAMINAN KUASA MENJUAL DI WILAYAH KABUPATEN SUKOHARJO. Fakultas Hukum Universitas

PENERAPAN PASAL 378 KUHP TERHADAP KASUS WANPRESTASI PADA PERJANJIAN UTANG PIUTANG.. Diajukan

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terkait dengan penyelesaian sengketa perjanjian utang piutang antara debitur dengan Koperasi Serba Usaha Sari Jaya

kepada kreditur mengakibatkan wanprestasi dilakukan oleh pihak debitur yang tidak dipenuhinya isi perjanjian dengan adanya kesepakatan antara pihak debitur kepada

37 Tahun 2004, Kreditur yang memperkirakan bahwa debitur tidak dapat melanjutkan membayar utang- utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat memohon agar kepada

Ketiga, perjanjian utang piutang antara unit simpan pinjam tersebut dengan masyarakat peminjam uang, tidak dengan adanya jaminan secara khusus berupa harta benda milik debitur