Universitas Kristen Maranatha
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENETAPAN BUNGA
TINGGI DAN ASAS KEPATUTAN DALAM PERJANJIAN
UTANG PIUTANG
ABSTRAK
Pemenuhan kebutuhan manusia dapat ditunjang oleh ketersediaan dana. Namun tidak semua manusia memiliki dana yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia adalah dengan perjanjian utang piutang. Perjanjian utang piutang yang dibuat secara tertulis merupakan upaya untuk terlaksanya pemenuhan prestasi dan mencegah terjadinya wanprestasi. Perjanjian utang piutang dapat disertai penetapan bunga. Penetapan bunga tinggi memberatkan debitur yang mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pinjaman pokok berikut dengan bunganya. Sehingga dalam pelaksanaannya seringkali debitur tidak dapat memenuhi apa yang telah disepakatinya dalam perjanjian utang piutang. Kebutuhan masyarakat akan uang tunai yang mendesak, menjadikan masyarakat memilih untuk meminjam uang pada pihak yang memiliki dana lebih meskipun harus menyepakati penetapan bunga tinggi yang dilakukan oleh kreditur. Maka pelaksanaanya debitur tidak dapat memenuhi isi perjanjian yang telah disepakatinya dan menimbulkan permasalahan.
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini dengan pendekatan yuridis normatif, yang mana penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan. Dalam hal ini bahan pustaka merupakan data dasar penelitian yang digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder penelitian ini, mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Bahan hukum primer mencakup peraturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan perjanjian dan peraturan yang mengatur mengenai penetapan bunga dalam perjanjian utang piutang. Bahan hukum sekunder merupakan bahan pustaka yang berisikan informasi tentang bahan primer terdiri atas penjelasan undang-undang yang terkait. Bahan hukum tertier merupakan bahan penunjang yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Dengan metode yuridis normatif dapat diketahui penetapan bunga tinggi dan asas kepatutan dalam perjanjian utang piutang. Yang mana penetapan bunga tinggi bertentangan dengan asas kepatutan. Bertentangannya bunga tinggi dengan asas kepatutan dalam perjanjian utang piutang bertentangan pula dengan syarat sah perjanjian keempat yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Serta dapat diketahui pertanggungjawaban debitur atas bunga yang tidak dibayarkan kepada kreditur dalam perjanjian utang piutang.
Penetapan bunga tinggi dalam perjanjian utang piutang berdasarkan asas kepatutan adalah merupakan hal yang tidak patut dan tidak layak karena bunga yang patut adalah bunga yang layak, dapat diterima banyak masyarakat dan memenuhi rasa keadilan. Penetapan bunga yang patut dan layak dapat terlihat pada bunga yang ditetapkan oleh bank terutama bank pemerintah. Akibat hukum penetapan bunga yang lebih tinggi dari bunga lembaga keuangan bank dalam perjanjian utang piutang tidak memiliki sebab yang halal, hal tersebut bertentangan dengan syarat sah perjanjian keempat yang diatur yakni, kausa yang halal. Konsekuensinya perjanjian yang telah dibuat akan menjadi batal demi hukum. Bentuk pertanggungjawaban debitur atas tidak dibayarkannya bunga tinggi yang ditetapkan dalam perjanjian utang piutang adalah debitur tetap harus membayar bunga dan kreditur dapat memperoleh haknya yang berupa bunga melalui gugatan kepada pengadilan dengan mendasar kepada perjanjian yang telah dibuat sebelumnya.
JURIDICAL REVIEW OF HIGH INTEREST
DETERMINATION AND APPROPRIATENESS PRINCIPLE
REFERS TO DEBT CONTRACT
ABSTRACT
The fulfillment of human needs can be supported by the availability of funds. But not all people have enough money to make ends meet. One of many efforts that can be done to meet the needs of human is through agreement of debts. Written debt agreement is an attempt to reach achievements and prevent default. The agreement can be followed by the establishment of debt interest. Determination of high interest can be a burden for a debtor with the obligation to repay the principal loan along with its interest. Thus, in the implementation many debtor can not fulfill what has been agreed in the agreement of debts. The urgent need of cash money makes people choose to borrow them from the side that has more money, eventhough they have to agree to set interest rates above the prevailing rates by creditors. As a result, the debtor can not fulfill the agreement that has been agreed and cause many problems.
The writing method used by the writer is a normative juridical approach, since this research is the study of literature. In this case, the library materials is a basic data of the research or can be classified as secondary data. The secondary data of this research including primary legal materials, legal materials and tertiary legal materials. Primary legal materials include the legislation relating to treaties issues and the determination regulations of interest rates in the debt contracts. Secondary legal materials are library materials that contain information about the primary material related legislation explanations. Tertiary legal materials are supporting materials that provide guidance to the primary and secondary legal materials. Through the normative juridicial approach, the high interest rate determination in debt agreement can be clearly known and settled, that high-interest determination contrary to the appropriateness principle. The high interest determination is also contrary to the fourth legal requirement that set in Article 1320 of the Civil Code. The normative method can be used as well to determine debitors responsibility if they cannot pay the interest to the creditor in the debt agreement according to the real case.
The high interest determination in debt agreement based on the appropriateness principle is inappropriate and improper. It is because the proper interest rate should be feasible and acceptable to a lot of people in a sense of fairness. As an example, the proper interest determination can be seen on the rate set by the banks, especially state banks. The agreement of high interest determination has no legal reason due to the higher interest arrangement than a interest that set by financial institutions. It is contrary to the legal requirement of the fourth agreements under Article 1320 ie, the legal movement. As a consequence, the agreements that have been made will be null and void. Form of debitors responsibility of non-payment high interest debts specified in the agreement, stated that a debtor must pay interest. Otherwise a creditor can obtain his rights in the form of interest through the court based on agreement that has been made before.
Universitas Kristen Maranatha
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul……… i
Halaman Pernyataan Keaslian………... ii
Halaman Persetujuan Skripsi………. iii
Halaman Pengesahan Pembimbing………. iv
Halaman Persetujuan PanitiaSidang………. v
Abstrak………... vi
Abstract……….. vii
Kata Pengantar………... viii
Daftar Isi……… x
BAB I PENDAHULUAN……….… 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Dan Identifikasi Masalah... 5
C. Tujuan Dan Sasaran…………... 6
D. Kegunaan Penelitian..………..…..……...………. 6
E. Kerangka Pemikiran………. 7
F. Metode Penelitian……… 13
G. Sistematika Penulisan……….. 16
BAB II PERJANJIAN DAN UNDANG-UNDANG SEBAGAI SUMBER PERIKATAN PARA PIHAK………. 19
1. Pengertian Perikatan……… 19
2. Subjek Perikatan……….. 21
3. Objek Perikatan………... 22
B. Sumber-Sumber Perikatan………. 24
1. Perikatan yang Terjadi Karena Persetujuan Atau Perjanjian………. 26
a. Pengertian Perjanjian………. 26
b. Subjek Perjanjian………... 27
c. Objek Perjanjian……… 29
d. Syarat Perjanjian……… 30
e. Asas Perjanjian……….. 36
f. Jenis-Jenis Perjanjian………. 40
g. Akibat-Akibat Perjanjian………... 43
h. Wanprestasi………... 45
2. Perikatan yang Terjadi Karena Undang-Undang………. 46
a. Zaakwaarneming……….. 48
b. Pembayaran yang Tidak Terhutang………... 50
c. Perikatan Alam……….. 51
d. Perbuatan Melawan hukum………... 53
C. Jenis Perikatan……….. 56
D. Hapusnya Perikatan………... 59
Universitas Kristen Maranatha
A. Pengaturan Bunga Dalam Hukum Positif Indonesia……… 64
1. Pengertian Bunga Pada Umumnya……… 64
2. Bunga Dalam Perjanjian Utang Piutang Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata………... 67
a. Bunga Moratoir……… 67
b. Bunga Konvensional……… 72
c. Bunga Kompensatoir……… 73
d. Bunga Berbunga………... 74
B. Pengaturan Bunga Dalam Aktivitas Perbankan Berdasarkan Regulasi Bank Indonesia………. 75
C. Penetapan Bunga Dalam Perjanjian Utang Piutang Diatas Suku Bunga Yang Berlaku………... 79
BAB IV PENETAPAN BUNGA TINGGI DALAM PERJANJIAN UTANG PIUTANG DAN ASAS KEPATUTAN……….. 87
A. Perjanjian Utang Piutang Yang Menetapkan Bunga Tinggi Berdasarkan Asas Kepatutan……….. 87
B. Akibat Hukum Terhadap Penetapan Bunga Tinggi Bagi Perjanjian Utang Piutang……… 91
1. Syarat Sahnya Perjanjian Utang Piutang……….. 92
2. Akibat Hukum Atas Perjanjian Utang Piutang Karena Penetapan Bunga Tinggi………... 96
C. Pertanggungjawaban Debitur Terhadap Kreditur Atas Tidak
Piutang……… 105
1. Konsep Dan Perkembangan Pertanggungjawaban Perdata Dalam Sistem Hukum Indonesia……….…. 105
2. Pertanggungjawaban Debitur Kepada Kreditur Dalam Perjanjian Utang Piutang Atas Tidak Dibayarkannya Bunga Diatas Suku Bunga Yang Berlaku………. 110 BAB V PENUTUP……… 115
A. Simpulan………. 115
B. Saran……… 117
DAFTAR PUSTAKA……… 119
Universitas Kristen Maranatha
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia memiliki naluri self preservasi yaitu naluri untuk
mempertahankan eksistensinya di dunia. Naluri self preservasi selalu
berhadapan dengan berbagai bahaya yang mengancam eksistensi manusia.
Bahaya yang mengancam eksistensi manusia meliputi bahaya yang timbul
dari dalam diri manusia sendiri maupun bahaya yang berasal dari luar diri
manusia.1 Dengan adanya naluri self preservasi di dalam diri manusia
maka setiap manusia akan terdorong melakukan berbagai usaha untuk
mengatasi bahaya-bahaya yang dapat mengancam eksistensinya.
Segala sesuatu yang diperlukan oleh manusia untuk dapat
mempertahankan eksistensinya disebut kebutuhan. Menurut Abraham
Maslow, manusia memiliki 5 lima macam kebutuhan yang ingin dipenuhi,
yaitu kebutuhan fisik dan biologis, kebutuhan akan keamanan dan jaminan
hidup, kebutuhan sosial dan bergabung dengan kelompok, kebutuhan akan
penghargaan dan kebutuhan akan pemenuhan dan pencapaian diri.2
Pemenuhan kebutuhan manusia dapat ditunjang oleh
ketersediaan dana. Namun tidak semua manusia memiliki dana yang
1
Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, Jakarta: Pembangunan, 1984, hlm. 20.
cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu upaya
yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia adalah
dengan meminjam uang dari pihak yang memiliki dana lebih. Terjadinya
peristiwa meminjam uang dari pihak lain dengan syarat
mengembalikannya kembali dikemudian hari disebut utang piutang. Utang
piutang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia utang piutang adalah
uang yang dipinjamkan dari orang lain dan yang dipinjamkan kepada
orang lain.3
Bank merupakan salah satu lembaga yang memberikan jasa
peminjaman uang yang biasa dikenal dengan kredit. Kredit yang diberikan
oleh bank memuat persyaratan-persyaratan yang harus ditaati oleh
peminjam atau nasabah. Dalam memberikan kredit bank akan menetapkan
bunga sebagai keuntungan yang dapat diperolehnya dari peminjam atau
nasabah. Bunga yang ditetapkan setiap bank, baik kredit maupun deposito
diawasi oleh Bank Indonesia. Jadi setiap bunga yang ditetapkan setiap
bank tidak terlampau jauh satu sama lain.
Selain bank, orang perorangan juga dapat memberikan pinjaman
kepada setiap orang. Peminjam yang disebut debitur sedangkan pihak yang
meminjamkan disebut kreditur menuangkan kesepakatan diantara mereka
dalam bentuk perjanjian. Perjanjian dapat dibuat secara lisan atau tertulis.
Para pihak dalam perjanjian utang-piutang yang dibuat secara tertulis
3
Universitas Kristen Maranatha
dapat menentukan perjanjian tersebut dibuat secara dibawah tangan, atau
dibuat dihadapan pejabat berwenang yakni, notaris.
Perjanjian yang dibuat secara tertulis akan lebih mudah untuk
dipergunakan sebagai alat bukti apabila dikemudian hari ada terjadi
permasalahan diantara para pihak yang membuat perjanjian. Didalam
Hukum Perdata bukti tertulis merupakan bukti yang kuat, dengan
dituangkannya perjanjian ke dalam bentuk tertulis maka masing-masing
pihak akan mendapat kepastian hukum atas perjanjian yang dibuatnya.
Perjanjian yang dibuat secara tertulis juga merupakan upaya
kepastian dalam pemenuhan prestasi diantara para pihak yang membuat
perjanjian. Namun dalam kenyataannya, sering kali terjadi kegagalan
dalam pelaksanaan perjanjian karena adanya wanprestasi yang dilakukan
oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak meskipun telah dibuat
perjanjian secara tertulis. Misalnya dalam perjanjian utang piutang yang
dibuat secara tertulis, wanprestasi perjanjian utang piutang biasanya
berupa tidak dibayarkannya utang yang seharusnya dibayarkan oleh
debitur.
Para pihak dalam perjanjian utang piutang dapat pula
menetapkan kesepakatan mengenai bunga. Bunga yang telah disepakati
wajib dibayarkan besama dengan utang pokok yang sebelumnya telah
disepakati. Bunga merupakan keuntungan yang dapat diperoleh dari utang
piutang. Sama halnya dengan bank yang menerima bunga dari pemberian
resmi pemberian jasa kredit telah menentukan bunga yang ditetapkan dan
ini berlaku bagi masyarakat yang akan meminjam uang kepada bank.
Sedangkan perjanjian utang piutang yang dibuat para pihak menentukan
besarnya bunga sesuai kesepakatan para pihak.
Seperti kasus yang ditangani oleh kantor hukum X berikut ini.
Kreditur meminjamkan uang kepada debitur sebesar Rp. 4.000.000.000,00
(empat miliar rupiah) dengan bunga 2% setiap bulan. Mereka membuat
akta perjanjian pengakuan utang di hadapan seorang notaris. Kedua belah
pihak telah menyepakati isi perjanjian tersebut termasuk kewajiban debitur
membayar bunga sebesar 2% setiap bulannya. Merekapun sepakat untuk
menggunakan hak tanggungan sebagai jaminan atas utang debitur.
Ternyata karena suatu alasan tertentu debitur tidak dapat membayar
utangnya secara lunas berikut dengan bunganya. Debitur menitipkan
sejumlah nilai hak tanggungan kepada pengadilan sebelum lelang eksekusi
terhadap objek hak tanggungan dilangsungkan. Kreditur yang merasa
dirugikan atas bunga yang tidak dibayarkan oleh debitur mengajukan
gugatan ke pengadilan.
Penetapan bunga dalam perjanjian utang piutang biasa diatas
suku bunga yang biasa berlaku dalam kredit bank merupakan hal yang
memberatkan debitur yang mempunyai kewajiban untuk mengembalikan
pinjaman pokok berikut dengan bunganya. Sehingga dalam
pelaksanaannya seringkali debitur tidak dapat memenuhi apa yang telah
Universitas Kristen Maranatha
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat diketahui bahwa
wanprestasi terhadap perjanjian yang dibuat secara tertulis masih dapat
terjadi, disamping itu pula penetapan bunga diatas suku bunga yang biasa
berlaku dalam kredit bank masih tetap ada dalam masyarakat. Kebutuhan
masyarakat akan uang tunai yang mendesak, menjadikan masyarakat
memilih untuk meminjam uang pada pihak yang memiliki dana lebih
meskipun harus menyepakati penetapan bunga tinggi yang dilakukan oleh
kreditur, sehingga dalam pelaksanaanya debitur tidak dapat memenuhi isi
perjanjian yang telah disepakatinya. Untuk itu penulis tertarik meneliti
permasalahan ini dalam skripsi yang berjudul
“
TINJAUAN
YURIDIS TERHADAP PENETAPAN BUNGA TINGGI
DAN
ASAS
KEPATUTAN
DALAM
PERJANJIAN
UTANG PIUTANG
”
B. Rumusan dan Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian Latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut:
“Bagaimana penetapan bunga tinggi dan akibat hukumnya bagi perjanjian
utang piutang, serta bentuk pertanggungjawaban debitur atas tidak
Berdasarkan rumusan masalah tersebut dapat diidentifikasi masalah
sebagai berikut:
1. Apakah perjanjian utang piutang yang menetapkan bunga tinggi
bertentangan dengan asas kepatutan?
2. Bagaimana akibat hukum terhadap penetapan bunga tinggi bagi
perjanjian utang piutang?
3. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban debitur terhadap kreditur atas
tidak dibayarkannya bunga tinggi dalam perjanjian utang piutang?
C. Tujuan dan Sasaran
1. Menggambarkan dan menganalisis perjanjian utang piutang yang
menetapkan bunga tinggi berdasarkan asas kepatutan.
2. Menggambarkan dan menganalisis akibat hukum terhadap penetapan
bunga tinggi bagi perjanjian utang piutang.
3. Menggambarkan dan menganalisis bentuk pertanggungjawaban debitur
terhadap kreditur atas tidak dibayarkannya bunga tinggi dalam
perjanjian utang piutang.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis:
a. Memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu hukum
Universitas Kristen Maranatha
b. Memberikan sumbangan pemikiran mengenai hukum perjanjian
khususnya perjanjian utang piutang yang menetapkan bunga tinggi
dalam rangka mewujudkan keadilan.
2. Kegunaan Praktis:
a. Memberikan masukan kepada para praktisi hukum sebagai
pelaksana penegakan hukum dalam menyelesaikan masalah utang
piutang berkaitan dengan penetapan bunga suatu utang.
b. Memberikan masukan kepada kalangan akademisi, peneliti, dan
masyarakat mengenai penetapan bunga dalam perjanjian utang
piutang berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
c. Memberikan masukan kepada pemerintah untuk membentuk
peraturan-perundang-undang yang dapat memberikan perlindungan
hak kepada para pihak dalam perjanjian utang piutang berkaitan
dengan penetapan bunga.
E. Kerangka Pemikiran
Manusia dikodratkan hidup dalam kebersamaan dengan manusia
lainnya karena manusia adalah makhluk sosial sebagaimana yang
dinyatakan oleh Aristoteles yaitu bahwa manusia adalah zoon politicon.
Manusia sebagai makhluk sosial dimana manusia tidak dapat hidup
sendiri. Manusia yang satu membutuhkan manusia yang lainnya untuk
satu sama lain. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya interaksi antara
manusia interaksi manusia diwujudkan melalui kesepakatan. Kesepakatan
yang dilakukan dapat berupa kesepakatan lisan maupun tulisan. Tidak
sedikit manusia melakukan kesepakatan lisan tetapi banyak pula yang
melakukan kesepakatan dalam bentuk tertulis. Kesepakatan dalam bentuk
tertulis dikenal dengan nama perjanjian. Perjanjian ini merupakan salah
satu sumber perikatan. Perjanjian dalam rangka meminjam uang disebut
perjanjian utang piutang. pihak yang berpiutang disebut kreditur
sedangkan pihak yang berutang disebut debitur.
Setiap debitur mempunyai kewajiban memenuhi prestasi kepada
kreditur. Karena itu debitur mempuanyai kewajiban untuk membayar
utang. Dalam istilah asing kewajiban itu disebut schuld. Disamping schuld
debitur juga mempunyai kewajiban yang lain yaitu haftung. Maksudnya
ialah bahwa debitur itu berkewajiban untuk membiarkan harta
kekayaannya diambil oleh kreditur sebanyak utang debitur, guna
pelunasan utang tadi, apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya
membayar utang tersebut.4
Melalui perjanjian itu para pihak mempunyai kebebasan untuk
mengadakan segala jenis perikatan, dengan batasan yaitu tidak dilarang
oleh undang-undang, berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.
Dalam hal ini kita mengetahui ajaran Hugo De Groot yang mengemukakan
Universitas Kristen Maranatha
bahwa Asas Hukum Alam menentukan janji itu mengikat (pacta sunt
servanda).5
Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan
bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian, baik karena
undang-undang. Dengan demikian dapat diartikan bahwa perjanjian
merupakan salah satu sumber perikatan selain undang-undang. Menurut
Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih lainnya.
Menurut R. Subekti Perikatan adalah suatu hubungan hukum
antara dua orang/dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak
menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.6
Menurut M. Yahya Harahap:7
“Perjanjian atau Verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan
sekaligus mewajibkan pihak lain untuk menunaikan prestasi.”
Perjanjian yang sah merupakan perjanjian yang memenuhi syarat
sahnya perjanjian. Syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal yang 1320
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu:
(1) kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
5 Ibid. hlm. 9.
6 Subekti,Hukum Perjanjian, Jakarta: Internasa,1987, hlm.1. 7
(2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
(3) suatu pokok persoalan tertentu;
(4) suatu sebab yang tidak terlarang
Syarat pertama dan syarat kedua disebut syarat subjektif karena
mengenai subjek perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut
syarat objektif karena mengenai objek perikatan.8 Kedua syarat ini
mempunyai akibat masing-masing. Apabila syarat subjektif tidak dipenuhi
maka akibat hukumnya adalah perjanjian dapat dibatalkan tetapi
sedangkan syarat objektif tidak dipenuhi maka perjanjian yang dibuat batal
demi hukum atau dianggap tidak pernah ada.
Adapun asas-asas fundamental yang melingkupi hukum perjanjian
adalah:
1. Asas Konsesualisme adalah bahwa perjanjian terbentuk karena adanya
perjumpaan kehendak dari pihak-pihak. Perjanjian pada pokoknya
dapat dibuat bebas tidak terikat bentuk dan tercapai tidak secara formil,
tetapi cukup melalui konsensus belaka.
2. Asas kekuatan mengikat perjanjian adalah bahwa para pihak harus
memenuhi apa yang mereka sepakati dalam perjanjian yang mereka
buat.
3. Asas kebebasan berkontak adalah bahwa para pihak menurut kehendak
bebasnya masing-masing dapat bebas menentukan cakupan isi serta
persyaratan dari suatu perjanjin dengan ketentuan bahwa perjanjian
Universitas Kristen Maranatha
tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang bersifat memaksa, baik ketertiban umum maupun
kesusilan.9
Kedua pihak bebas menentukan isi perjanjian sesuai dengan Pasal
1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa:
“ Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Semua mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang
namanya dikenal maupun yang namanya tidak dikenal oleh
undang-undang. Asas kebebasan berkontrak berhubungan dengan isi perjanjian
yaitu kebebasan menentukan apa dan dengan siapa perjanjian itu diadakan.
Perjanjian yang dibuat haruslah sesuai dengan Pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata karena perjanjian tersebut mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat. Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang
sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini merupakan
perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia.10
Pada dasarnya cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak
untuk mencapai kata sepakat dalam perjanjian yakni bahasa yang
sempurna secara lisan maupun tulisan. Tujuan pembuatan secara tertulis
9 Herlin Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006, hlm. 95.
10
adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat
bukti yang sempurna dikala timbul sengketa dikemudian hari.11
Perjanjian yang tertuang dalam akta notariil isinya merupakan hasil
kesepakatan yang dibuat oleh para pihak bersangkutan. Para pihak secara
bebas dapat menentukan apa yang akan diatur dalam perjanjian itu.
Akhirya perjanjian yang dibuat akan mengikat bagi mereka yang
membuatnya. Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh
undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau
dengan ketertiban umum.12
Begitu pula perjanjian utang piutang, perjanjiannya dapat dibuat
dengan kesepakatan para pihak sesuai dengan aturan yang berlaku. Dalam
perjanjian utang piutang, pihak yang mempunyai piutang biasa disebut
kreditur, sedangkan pihak yang berutang disebut debitur.
Perjanjian utang piutang dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata tidak diatur secara terperinci, namun tersirat dalam Pasal 1754
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang perjanjian pinjam
meminjam yakni dikatakan bahwa bagi mereka yang meminjam harus
mengembalikan dengan bentuk dan kualitas yang sama.
Utang piutang adalah uang yang dipinjam dari orang lain dan yang
dipinjamkan kepada orang lain.13 Perjanjian utang piutang mengatur hak
dan kewajiban debitur dan kreditur. Hal terpenting dalam perjanjian utang
11
Salim, HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. 31.
12 Pasal 1337, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 13
Universitas Kristen Maranatha
piutang adalah pencantuman jumlah uang yang dipinjam, cara pembayaran
utang, tanggal pembayaran utang tersebut dan besarnya bunga bila
diperjanjikan. Bunga dalam perjanjian utang piutang adalah keuntungan
yang diharapkan yang tidak diperoleh kreditur.14
Prestasi debitur dalam perjanjian utang piutang adalah membayar
utang pokok berikut bunganya kepada kreditur. Apabila prestasi tidak
dipenuhi disebut wanprestasi. Sedangkan perikatan yang lahir dari
undang-undang sebagai akibat perbuatan orang yang melawan hukum diatur dalam
Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, undang-undang
menetapkan kewajiban orang itu untuk mengganti rugi. Dengan
menetapkan kewajiban memberi ganti rugi antara orang yang melakukan
perbuatan melawan hukum kepada orang yang menderita kerugian karena
perbuatan itu, maka timbul suatu perikatan diluar kemauan kedua orang
tersebut.
F. Metode Penelitian
Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum
normatif yaitu dengan meneliti pada data sekunder bidang hukum yang
ada sebagai data kepustakaan dengan menggunakan metode berpikir
deduktif. Pada penelitian hukum normatif hukum dikonsepkan sebagai
kaidah atau norma yang merupaka patokan berprilaku manusia yang
14
dianggap pantas.15 Tradisi dalam suatu penelitian normatif adalah
memperbolehkan penggunaan analisis ilmiah ilmu-ilmu lain untuk
menjelaskan fakta-fakta hukum yang diteliti dengan cara kerja ilmiah yang
ajeg serta cara berpikir yuridis mengolah hasil berbagai disiplin ilmu
terkait untuk kepentingan analisis bahan hukum, namun tidak mengubah
karakter khas ilmu hukum sebagai ilmu normatif.16
1. Sifat penelitian
Sifat penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan secara
deskriptif analitis,yaitu menggambarkan hal-hal yang berkaitan dengan
penetepan bunga dalam perjanjian utang piutang.
2. Pendekatan Penelitian
Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan
penelitian undang-undang. Dalam hal ini dilakukan telaah semua
undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum
yang sedang dikaji.17
3. Jenis data
Sumber data dari penelitian ini diperoleh dengan cara menggunakan
data sekunder.
4. Teknik pengumpulan data dan Analisis data
a. Teknik Pengumpulan data
15 Amirudin, H. Zainal Asikin, Penganar Metode Penlitian Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 2004, hlm.118.
16 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2011, hlm. 269.
17
Universitas Kristen Maranatha
Data sekunder diperoleh dengan cara sebagi berikut:
1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat
outoritatif artinya mempunyai otorisasi.18 Bahan hukum
primer ini mencakup peraturan perundangan antara lain Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia dan
yurisprudensi Makhamah Agung.
2) Bahan hukum sekunder, yaitu semua publikasi tentang
hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.19
Bahan hukum sekunder ini mencangkup literature mengenai
Hukum perikatan, perjanjian dan karya tulis hukum
khususnya mengenai perjanjian, serta jurnal ilmu hukum
khusunya yang berkaitan dengan perikatan.
3) Bahan Hukum tersier atau bahan hukum penunjang
bahan-bahan primer dan sekunder anatara lain ensiklopedia, Kamus
Besar Bahasa Indonesia dan Black’s Law.
b. Teknik analisis data
18 Ibid.,. hlm. 142.
19
Data diperoleh dari berbagai sumber. Data yang diperoleh
keseluruhannya dikumpulkan baik berupa buku, literatur, makalah
ataupun jurnal. Setelah data dikumpulkan, digunakan metode
deduktif untuk menganalisis data kepustakaan yang telah
diperoleh. Dengan menggunakan metode deduktif ini dapat
diketahui bagaimana pertanggung jawaban debitur atas tidak
dibayarkan bunga tinggi dalam perjanjian utang piutang.
G. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah:
BAB I PENDAHULUAN
Bab I ini akan membahas mengenai latar belakang masalah,
Identifikasi Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan penelitian,
Kerangka pemikiran, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM PERIKATAN
Bab II ini akan membahas mengenai perikatan pada umumnya,
pengertian perikatan, pengaturan hukum perikatan,
sumber-sumber perikatan, perjanjian, syarat perjanjian, pelaksanaan
perjanjian, asas-asas perjanjian, syarat-syarat perjanjian,
macam-macam perikatan, wanprestasi dan akibatnya, penggantian
Universitas Kristen Maranatha
penggantian kerugian meliputi biaya dan bunga serta Perbuatan
melawan hukum.
BAB III PENETAPAN BUNGA DALAM PERJANJIAN UTANG
PIUTANG
Bab III ini akan memaparkan Perjanjian Utang Piutang Dalam
Hukum Positif Indonesia, Pengaturan Bunga Dalam Perjanjian
Utang Piutang Memurut Hukum Positif Indonesia, Pengaturan
Bunga Dalam Aktivitas Bisnis Bank, Penetapan Bunga Dalam
Perjanjian Utang Piutang
BAB IV PEMBAHASAN
Bab IV akan dijelaskan konseksuensi hukum penetapan bunga
tinggi dalam perjanjian utang piutang berdasarkan Pasal 1320
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan akan dijelaskan pula
bentuk pertanggungjawaban debitur atas tidak dibayarkannya
bunga tinggi
BAB V PENUTUP
Bab V ini akan memaparkan kesimpulan atas pembahasan telah
dikasi dan memberikan saran bagi permasalahan yang terjadi dan
memberikan masukan kepada para pihak yang berkompeten dalam
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
1. Penetapan bunga tinggi dalam perjanjian utang piutang berdasarkan
asas kepatutan adalah merupakan hal yang tidak patut dan tidak layak.
Walaupun bunga yang diperjanjikan diperbolehkan melebihi bunga
yang diatur oleh undang-undang dengan syarat tidak bertentangaan
dengan undang-undang dan belum terdapat pengaturan lebih lanjut
mengenai bunga, tetapi bunga yang ditetapkan dalam perjanjian utang
piutang tidak boleh memberatkan debitur. Bunga yang tinggi adalah
memberatkan debitur. Hal tersebut dikerenakan bunga yang patut
adalah bunga yang layak, dapat diterima banyak masyarakat dan
memenuhi rasa keadilan. Penetapan bunga yang patut dan layak dapat
terlihat pada bunga yang ditetapkan oleh bank terutama bank
pemerintah. Karena bank menetapkan bunga berdasarkan
perkembangan perekonomian yang terjadi, sesuai dengan kemampuan
masyarakat serta bunga yang ditetapkan bank selalu diawasi oleh Bank
Indonesia, terutama bank pemerintah selain diawasi Bank Indonesia,
bank pemerintah pun diawasi oleh pemerintah sendiri karena bank
Universitas Kristen Maranatha
2. Akibat hukum penetapan bunga yang lebih tinggi dari bunga lembaga
keuangan bank dalam perjanjian utang piutang tidak memiliki sebab
yang halal. Maka bunga tinggi yang ditetapkan dalam perjanjian
uatang piutang adalah memberatkan debitur dan bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan baik dan ketertiban umum sesuai dengan
Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dan Pasal 1339
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa suatu
perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
dianyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang
menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan
undang-undang. Dan penetapan bunga tinggi dalam perjanjian utang
piutang tidaklah sesuai dengan kepatutan dan kebiasaan. Sedangkan
bunga tinggi yang ditetapkan dalam perjanjian utang piutang
bertentangan dengan kepatutan. Oleh karena itu, penetapan bunga
tinggi dalam perjanjian utang piutang bertentangan dengan syarat sah
perjanjian keempat yang diatur dalam Pasal 1320 yakni, kausa yang
halal. Konsekuensinya perjanjian yang telah dibuat akan menjadi batal
demi hukum dengan kata lain perjanjian tidak berkekuatan dan
dianggap tidak pernah ada.
3. Bentuk pertanggungjawaban debitur atas tidak dibayarkannya bunga
tinggi yang ditetapkan dalam perjanjian utang piutang adalah debitur
tetap harus membayar bunga. Sebab kreditur telah memberi
debitur. Kreditur juga berhak atas keuntungan setelah memenuhi
prestasi berupa menyerahkan uang sebagai kenikmatan bagi kreditur.
Keuntungan yang seharusnya didapatkan kreditur dari utang piutang
adalah melalui bunga. Bunga yang dipenuhi pun haruslah bunga yang
wajar. Kreditur dapat memperoleh haknya yang berupa bunga melalui
gugatan kepada pengadilan dengan mendasar kepada perjanjian yang
telah dibuat sebelumnya. Yang mana kreditur mengalami kerugian atas
tidak terpenuhi haknya dalam memperoleh bunga yang seharusnya
didapatkan dari perjanjian utang piutang yang sebelumnya pernah ada.
Dari gugatan dan proses acaranya hakim harus menilai besarnya bunga
yang ditetapkan dalam perjanjian dan besarnya bunga yang seharusnya
dibayarkan debitur kepada kreditur. Seperti Yurisprudensi M.A.
tanggal 30-6-1970 No. 755 K/Sip/1970 yang menyatakan bahwa
menurut peraturan (Woeker ordonantie S. 1938-524), apabila
pengadilan menganggap bunga atas suatu pinjaman uang terlampau
besar, Pengadilan Karena Jabatan dapat meringankan bunga tersebut.
B. SARAN
1. Sebaiknya adanya pembentukan perundang-undangan mengenai
penetapan bunga dalam perjanjian utang piutang selalu dapat
disesuaikan dengan bunga yang berlaku pada bank. Karena bank
menentukan bunga berdasarkan perkembangan dan pertumbuhan
Universitas Kristen Maranatha
2. Sebaiknya praktisi hukum dan masyarakat lebih memperhatikan bunga
yang berlaku pada saat membuat perjanjian utang piutang. Ini upaya
agar perjanjian utang piutang yang dibuat tidak bertentangan kepatutan
dan dengan pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU:
Ahmadi Miru, Sakka Pati, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1465 BW, Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
Amirudin Dan H. Zainal Asikin, Penganar Metode Penlitian Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 2004.
A.Mangunhardjana, Isme-Isme Dalam Etika Dari A Sampai Z, Yogyakarta: Kanisius, 2006.
AZ Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Diapit Media, 2002.
Gr. Van Der Burght ,Buku Tentang Perikatan, Bandung Mandar Maju, 1999.
Gunawan Widjaja, Kartini Muljadi, Hapusnya Perikata, Jakarta: Raja Grafindo, 2003.
H. Riduan Syahrani, Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung: Alumni, 2010.
Herlin Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006.
J. Satrio, Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya), Bandung: Alumni, 1999.
J. Satrio, Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Undang-Undang), Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.
Universitas Kristen Maranatha
Johannes Ibrahim, Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) Dan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Kredit, Bandung: Utomo, 2003.
Johnny Ibrahim, Teori Dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2011.
Komar Andasasmita, Notaris Ii, Bandung: Sumur Bandung, 1982.
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung : Alumni, 1986.
M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta : Pradnya Paramita, 1982.
Mariam Darus Badrulzaman Dkk, Kompilasi Hukum Periatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.
Mariam Darus Badrulzaman, K.U.H. Perdata Buku Iii Hukum Perikatan Dan Penjelasan, Bandung: Alumni, 1996.
Mariam Darus Bdrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Alumni, 2005.
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta: 2010..
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Putra Abardin, 1999
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: Alumni, 1979
R. Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998,
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1979.
R.M. Suryodiningrat. Azas-Azas Hukum Perikatan, Bandung: Tarsito, 1995.
Salim, Hs, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, Bandung:Mandar Maju, 2000.
Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum Di Indonesia, Jakarta: Pembangunan, 1984,
Thomas Suyatno, H.A. Chalik, Made Sukada, Tinon Yunianti Ananda, Dasar-Dasar Perkreditan, Jakarta: Gramedia Putaka Utama, 1999.
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia dan yurisprudensi Makhamah Agung.
C. KAMUS:
Universitas Kristen Maranatha D. INTERNET:
Arti kata patut, (http://www.artikata.com/arti-344049-patut.html ), 1 Januari 2013.
Dodik Setiawan Nur Heriyanto, Asas – Asas Kontrak Secara Umum,
(http://dodiksetiawan.wordpress.com/2011/02/04/asas-asas-kontrak-secara-umum/), 1 Januari 2013.
KBBI Online, (http://KBBI.web.id/index.php?w=utang), 4 Oktober 2012.
(http://wwwgooglecommh.blogspot.com/2010/10/bab4hukum-perikatan.html), 7 November 2012.
http://h3r1y4d1.wordpress.com/2012/04/05/peranan-perbankan-dan-perekonomian-indonesia/,