Sahabat Senandika
Newsletter Bulanan tentang Dukungan untuk Odha
Yayasan Spiritia
No. 35, Oktober 2005
Daftar Isi
Laporan Kegiatan
Kongres Nasional Odha I
Oleh: Daniel Marguari
Kongres ini diinspirasi dari Pertemuan Nasional Odha yang difasilitasi oleh Yayasan Spiritia. Pertemuan Nasional Odha diutamakan kepada teman – teman yang baru mengetahui statusnya dan belum terlibat dalam penanggulangan HIV/ AIDS. Setelah difasilitasi sejak tahun 1998, 2001, 2003, dan 2004 maka semakin hari semakin banyak teman yang telah berdaya dan ikut terlibat dalam penanggulangan HIV/AIDS didaerahnya. Kemudian muncullah kebutuhan teman – teman tersebut untuk difasilitasi sebuah pertemuan secara nasional dan bernama Kongres Nasional Odha I rencananya akan difasilitasi oleh Spiritia setiap 2 tahun sekali.
Kongres Nasional Odha ini banyak mengadopsi dari Konferensi Internasional AIDS dan Kongres Internasional AIDS se-Asia Pasifik. Dalam kongres ini Yayasan Spiritia mentargetkan dapat dihadiri sekitar 120 peserta dengan 50% akan akan didukung penuh (full scholarship) oleh Yayasan Spiritia dan sebahagian lainnya mencari dukungan sendiri dari penyandang dana lain.
Bagi yang mengajukan scholarship/beasiswa maka harus mengajukan abstrak atau tulisan terbatas tentang pengalaman yang telah/sedang dilaksanakan. Sekitar 240 orang mengirimkan abstrak dan akhirnya pertemuan selama lima hari ini dihadiri oleh 124 orang. Ada beberapa peserta yang batal hadir karena meninggal, saudaranya meninggal dan sakit.
Bagi yang mengajukan scholarship/beasiswa diminta mempresentasikan abstraknya dalam bentuk oral sebanyak 33 peserta dan abstrak sebanyak 37 peserta.
Setiap hari acara dimulai dengan Sesi Plenary, dimana setiap peserta berkumpul bersama dengan mengahadirkan dua nara sumber utama setiap harinya dengan berbagai isu yang dibahas seperti 3by5, Global Fund, CST, GIPA dll.
Setelah itu dilanjutkan dengan berbagai sesi
lainnya seperti: Topik Khusus, Presentasi Oral, Presentasi Abstrak dan Pelatihan Ketrampilan. Semua sesi ini dilakukan secara paralel dalam tiga kelas yang berbeda dan topik yang berbeda – beda. Selain itu juga difasilitasi sesi optional/pilihan seperti Pemutaran Film, Debat, close meeting dan lainnya.
Semua peserta yang datang dari 25 propinsi juga tidak menyia – nyiakan waktu untuk berkenalan, berbincang dan berbagi pengalaman diantara mereka. Walau sudah larut malam sekalipun
antusias untuk membangun dan meluaskan jaringan tetap menjadi salah satu yang penting.
Salah satu keluaran yang dihasilkan dari kongres adalah Sebuah Pernyataan Bersama yang dikenal dengan “Pernyataan Lembang”. Depkes dan KPA sudah memberikan tanggapan positif dari
Pernyataan tersebut untuk ditindaklanjuti beberapa point yang diajukan oleh teman – teman.
Pernyataan Lembang mempunayi nilai yang besar untuk kita gunakan sebagai alat advokasi di daerah kita.
Selamat Berjuang………..
Laporan Kegiatan 1
Kongres Nasional Odha I 1 Pengetahuan adalah Kekuatan 2
Terapi TB dengan Rifampisin Tidak
Mengurangi Respon terhadap NNRTI 2 Nilai Normal SGPT/SGOT 3
Opini 3
Pemberdayaan Odha Tanpa
yakan (1) 3
Tips 5
Tips untuk Odha 5
Tanya-Jawab 6
HIV dan Flu Burung 6
Positive Fund 6
Pengetahuan
adalah Kekuatan
Terapi TB dengan
Rifampisin Tidak
Mengurangi Respon
terhadap NNRTI
Oleh Keith Alcorn, 8 Agustus 2005
Penggunaan terapi dengan rifampisin bersama dengan terapi antiretroviral (ART) yang
mengandung obat dari golongan NNRTI (nevirapine atau efavirenz) tidak menghasilkan tanggapan yang lebih buruk atau lebih toksik. Hal ini menurut peneliti Afrika Selatan dalam laporan pada Konferensi International AIDS Society ke-3 di Rio de Janeiro, Brasil, minggu lalu.
Tetap ada keprihatinan mengenai dampak interaksi antara rifampisin dan nevirapine atau efavirenz, dan kemungkinan bahwa rifampisin akan mengurangi tingkat NNRTI dalam darah, yang mengarahkan pada pengobatan HIV yang di bawah optimal dan resistansi terhadap obat. Belum ada penelitian jangka panjang secara acak yang melaporkan dampak rifampisin, dan penelitian Afrika Selatan adalah peninjauan pertama yang bermakna mengenai hasil klinis pasien dalam rangkaian terbatas sumber daya, yang memakai kedua rejimen ini bersamaan.
Para peneliti Afrika Selatan bermaksud untuk membandingkan hasil pasien dengan dan tanpa TB yang menerima terapi dengan rifampisin dan juga mulai ART dengan NNRTI. Mereka mengamati hasil pada kelompok komunitas MSF Khayelitsha, yang menyediakan pemantuan prospektif.
Penelitian meninjau 1731 pasien dengan jumlah CD4 rata-rata 76 pada awal dan viral load yang tinggi (rata-rata 250.000). 25 persen menerima terapi TB pada waktu mereka mulai ART, dan bagian yang sangat besar sudah menyelesaikan sedikitnya dua bulan terapi TB pada waktu itu (45 persen lebih dari 2 bulan, 34 persen lebih dari 4 bulan).
Rejimen awal pada kelompok hampir seimbang antara yang mengandung nevirapine dan efavirenz (NVP 918, EFV 808).
Setelah tiga bulan ART, kemungkinan peserta yang menerima terapi TB sekaligus mengalami viral load di bawah 400 adalah lebih rendah secara bermakna, tetapi perbedaan ini tidak lagi dilihat
pada bulan keenam (8,3 persen banding 13 persen pada bulan 3; 8,6 persen banding 9,1 persen pada bulan 6, p=0,91).
Tidak ada perbedaan pada ketahanan hidup atau hasil imunologis pada bulan 6, dan tidak ada bukti apa pun adanya angka kematian yang lebih tinggi akibat pemulihan kekebalan atau penyakit HIV lanjut pada kelompok yang menerima terapi TB.
Walaupun ada kecenderungan terhadap lebih banyak penggantian terapi akibat hepatotoksisitas pada kelompok nevirapine/TB, hal in tidak dihubungkan dengan pengobatan bersama dengan rifampisin (8 persen banding 4 persen, p=0,849).
[Komentar oleh Babe: Saya dengar mengenai penelitan ini saat saya ke klinik HIV/TB MSF di Khayelitsha tahun lalu. Pada waktu itu, dr Van Cutsem memberi tahu saya bahwa hasil awal menunjukkan bahwa tidak ada masalah bila nevirapine dipakai bersama dengan rifampisin. Hal ini sekarang dibuktikan. Selain penelitian ini, juga ada bukti serupa dari Thailand. Jadi, tampaknya Odha di Indonesia tidak harus mengganti nevirapine dengan efavirenz bila mereka mulai terapi anti-TB. Hal ini berita yang baik buat
perempuan hamil (yang tidak boleh pakai efavirenz) dan yang lain yang tidak tahan pada efek samping efavirenz. Semoga pedoman ART dapat segera diubah untuk mencerminkan hasil ini.]
Referensi: Van Cutsem G et al. TB/HIV coinfected patients on rifampicin-containing treatment have equivalent ART treatment outcomes and concurrent use of nevirapine is not associated with increased hepatotoxicity. Third International AIDS Society Conference on HIV Pathogenesis and Treatment, Rio de Janeiro, Brazil, abstract WePp0303, 2005.
Nilai Normal SGPT/SGOT
Oleh Babe
Dengan semakin banyak Odha juga terinfeksi dengan hepatitis virus, dan dampak keracunan hati yang cenderung terjadi akibat penggunaan obat antiretroviral, pemantauan terhadap fungsi hati (SGPT/SGOT) semakin dibutuhkan oleh Odha yang memakai terapi antiretroviral (ART). Kita cenderung menilai tingkat kerusakan pada hati dengan hasil tes SGPT/SGOT mutlak. Kami sering mendengar bahwa SGPT di atas 100 menunjukkan tingkat toksisitas (keracunan) yang tinggi.
Sebetulnya, hasil tes fungsi hati sangat tergantung pada nilai normal atau nilai rujukan yang dipakai di laboratorium yang melakukan tes (lihat Lembaran Informasi Spiritia 105). Jadi nilai normal atas adalah angka yang paling penting untuk menilai tingkat toksisitas. Namun nilai ini sangat berbeda antara laboratorium, seperti ditunjukkan oleh hasil penyelidikan terhadap beberapa laboratorium di Indonesia (3) dan AS (2):
SGPT SGOT
L P L P
Ind 1 26 - 34
-Ind 2 30 23 25 21
Ind 3 41 31 38 32
AS 1 55 30 40 25
AS 2 - 65 - 46
Tingkat toksisitas umumnya dinilai berdasarkan sekian kali angka ini, dengan 5 kali angka ini sering dianggap sebagai hasil yang mulai gawat. Dari hasil di atas, batas SGPT ini untuk laki-laki dapat berkisar dari 130 hingga 275, tergantung pada laboratorium. Bila kita hanya lihat tiga laboratorium di Indonesia, batas ini masih dapat berkisar antara 130-205.
Kesimpulan mungkin jelas: untuk menilai toksisitas hati, jangan hanya sebut SGPT/SGOT mutlak; kita juga harus sebut nilai normal pada laboratorium yang melakukan tes. Atau lebih baik, kita menyebut hasil sebagai sekian kali di atas normal, berdasarkan nilai normal di laboratorium yang melakukan tes.
Opini
Pemberdayaan Odha
Tanpa Memperdayakan (1)
Oleh : Faraj (Pendiri Moslem AIDS
Project, Sekretaris Pusat Pengkajian
Islam Strategis (P2IS), Anggota Jaringan
Odha Nasional, Peserta 15
thIAC
-Bangkok 2004 dan 7
thICAAP - Jepang
2005 serta Kongres Odha Nasional I –
Lembang, Bandung 2005)
•Odha menjadi bagian penting dalam upaya
Penanggulangan HIV/AIDS karena mereka adalah orang-orang yang hidupnya tersentuh dan
terpengaruh secara langsung oleh virus ini. Mereka adalah sumber pengertian yang paling tepat dan paling dalam mengenai HIV/AIDS. Pengertian ini penting dimiliki oleh setiap orang, terutama oleh mereka yang pekerjaannya berhubungan dengan HIV/AIDS. Bagaimana bisa merencanakan sesuatu mengenai HIV/AIDS tanpa lebih dulu mengerti dampak virus itu pada manusia ?
•Banyak yang tidak tepat dalam cara orang melihat
peranan Odha. Odha diajak berpartisipasi, tetapi tetap bukan sebagai bagian masyarakat. Odha cenderung dijadikan obyek untuk memuaskan rasa ingin tahu. Odha dijadikan contoh-dalam konotasi negatif. Odha dijadikan token (tanda partisipasi saja). Dengan merangkul Odha atau mendatangkan Odha ke sebuah pertemuan, orang bisa kelihatan politically correct. Odha dijadikan pemancing rasa iba. Yang menyedihkan juga, Odha dijadikan sebuah komoditi. Terus terang saja, Odha memang menarik. Odha direndahkan tapi diminati karena ada gunanya. Orang mencibir padanya, tetapi tetap berusaha mengintip.
•Terkait dengan upaya pemberdayaan Odha,
secara umum kegiatan yang dilakukan oleh LSM antara lain ;
1. KIE/Kampanye ( poster, stiker, talkshow, media massa, dsb ),
2. Konseling, 3. Advokasi, 4. Pelatihan, 5. Diskusi rutin, 6. Klinik, 7. Penelitian,
8. Sanggar kerja, dsb.
•Oleh LSM, kegiatan tersebut diatas dimaksudkan
Namun jika kita mau introspeksi diri ( lembaga ) : Apakah dalam proses upaya pemberdayaan, kita sebenarnya sekaligus juga turut melakukan “hegemoni” terhadap kelompok dampingan ?
•Pada dasarnya seluruh upaya dukungan LSM dan
pemerhati AIDS lain tertuju pada pemulihan persepsi keliru masyarakat terhadap Odha yang bermuara pada diterimanya mereka hidup secara wajar. Menerima Odha adalah menerima diri sendiri dengan segenap persoalan struktural. Prinsip perjuangan tersebut terkadang terasa hilang akibat obyektivikasi-komodivikasi yang berlebihan terhadap epidemi dan sosok Odha, baik yang dilakukan oleh sebagian kalangan aktivis LSM maupun terutama sekali adalah pelaku media.
•LSM sebagai institusi yang melakukan advokasi
untuk kelompok dampingannya, sudah semestinya bertindak apabila media sebagai penyebar informasi dapat menghambat proses pemberdayaan. Namun sangat jarang LSM menampilkan sosok Odha sebagai tokoh pemerhati masalah sosial. Odha hanya boleh tampil sebagai sosok yang rapuh dengan segudang persoalan medis dan sosial. Kalau tidak dikutuk, ya dikasihani. Kalau tidak sakit, ya disakiti. Biasanya oleh orang LSM Peduli AIDS Odha bukannya dijadikan partner tapi lebih disikapi sebagai binaan. Jangan heran jika kemudian muncul istilah ‘manager’ Odha. LSM yang satu dengan yang lain cenderung bersaing memberdayakan Odha. Kepedulian orang LSM terkadang identik dengan cat altruisme. Sementara media salah
menggambarkan sosok Odha. Odha dianggap makhluk yang pesimis terhadap kehidupan, sehingga tercipta persepsi publik bahwa menemani hidup Odha adalah pekerjaan sia-sia.
•Fakta obyektif publik yang belum bersedia
menerima sepenuh hati keberadaan Odha dalam kehidupan mereka telah melemahkan posisi tawar Odha terhadap Institusi pelayanan sosial yang dikelola negara. Masih banyak rumah sakit yang menolak pasien HIV positif. Tes HIV dilakukan secara paksa tanpa konseling dan informed consent. Pasien HIV diping-pong oleh dokter dan spesialis, serta perawat memberi informasi keliru sehingga Odha didiskriminasi keluarganya.
•Selain dirumah sakit, kenyataan serupa juga
ditemui di institusi pelayanan medis lain. Rasanya sehebat dan seenak apapun kehidupan Odha didalam lingkungan yang dibangun secara mekanistik oleh LSM, akan tetap “lebih nyaman” bagi mereka, jika hidup dilingkungan masyarakat yang sebenarnya. Hanya disanalah mereka akan menerima ketulusan dalam arti yang sesungguhnya.
Menurut hemat penulis, sudah seharusnya setiap Odha dengan hati terbuka bangkit berbicara kepada dunia karena kesediaan menerima sosok Odha sebagai manusia biasa, menjadi isu kampanye paling mutakhir guna mengakhiri perilaku diskriminatif publik. Penolakan masyarakat terhadap Odha sesungguhnya bukan sikap permanen yang muncul dari lubuk hati mereka, tetapi output dari rekayasa sosial media atau kultur tertentu yang bertumbuh secara reaktif.
•Pemecahan persoalan krusial penyebaran HIV,
tidak bisa dilakukan dengan menempatkan eksternal Odha sebagai penyelamat dan Odha sebagai korban semata. Sejak 1986 (di Indonesia) Odha ditempatkan sebagai “korban” yang didislokasi secara aktif dan diobyekkan sebagai bahan berita oleh media atau studi kasus penelitian LSM. Karena tiadanya kesempatan yang aman untuk tampil ke publik, Odha berada dalam kurungan aktor sosial yang sama-sama bermotif “kapitalis. Dalam struktur kuasa sosial yang tidak imbang itu, ketika Odha hanya diberi kesempatan tampil secara simbolis, segala upaya
penanggulangan masalah HIV sebetulnya berhenti sebagai aksi kosmetik semata, untuk menjaring simpati politik dan dana internasional.
•Karena ditempatkan sebagai korban dan pusat
masalah, Odha secara psikologis merasa tidak nyaman. Ditengah suasana itu, merekapun tidak diberi kesempatan bersuara untuk turut menjadi bagian dari solusi. Program dukungan semestinya adalah melibatkan Odha, memberi kesempatan mereka menyelesaikan sendiri persoalan privatnya, mengajukan tuntutannya, dan memberi akses suara yang lebih memadai.
•Suara mereka selama ini jarang muncul di media,
terutama suara yang bersumber dari persoalan faktual empiris, bukan realitas psikologis yang sudah dikonstruksi sedemikian rupa oleh media, sehingga membuat mereka terpasung.
•Penyikapan terhadap Odha sebagai cermin
kesediaan hidup bersama dimulai sejak proses pendampingan di rumah sakit, bantuan pengobatan secara massal, dll. Model penyikapan yang identik dengan program LSM itu, harus mewujudkan sikap murni masyarakat tanpa berdasarkan dorongan eksternal apapun.
Dalam proses upaya pemberdayaan, ternyata ada sejumlah tantangan yang dapat menghambat upaya tersebut, antara lain :
Tantangan Internal
•Tantangan internal yang dimaksud dapat dilihat
formal maupun informal. Hegemoni itu bisa saja dilakukan oleh Odha sendiri terhadap anggota kelompok persahabatannya, sebagaimana yang terjadi dikebanyakan kelompok dukungan yang tidak jelas dinamika kegiatannya, dalam artian dinamika kegiatannya tidak diatur dalam AD/ART, sehingga hak dan kewajiban pengurus, anggota dan relawannya menjadi kacau serta banyak melahirkan berbagai ketegangan serta konflik kepentingan. Dalam lingkup ini, proses hegemoni merupakan upaya menciptakan kepatuhan dengan cara pihak yang dikuasai harus mempunyai dan
menginternalisasikan nilai-nilai dan norma yang menguasai, serta juga harus memberi persetujuan terhadap subordinasinya. Kelompok dampingan yang dalam struktur sosialnya sebagai powerless, bisa saja memperoleh supremasi melalui dominasi atau paksaan serta kepemimpinan intelektual dan moral, yang menurut Gramsci disebut hegemoni. Ada tiga ciri hegemoni yang dilakukan oleh ‘oknum’ LSM (baik Odha maupun non Odha) dalam proses upaya pemberdayaan;
1. Devaluation : penurunan derajat/martabat/ gradasi seseorang. Sebagai contoh, IDU‘s yang oleh masyarakat sering dianggap sampah masyarakat (junkies).
2. Marginalisasi : proses peminggiran. Pada kasus IDUs yang oleh masyarakat dianggap sampah, sebenarnya dia juga dipinggirkan akibat stigma yang diterimanya, sehingga dia akan terus menyandang gelar IDUs dan sulit untuk berinteraksi dengan aktivis LSM tertentu. 3. Silencing : pembungkaman. Orang yang
seharusnya bersuara menjadi tidak bersuara alias dibungkam. Contoh kasus: Odha, dalam struktur sosial masuk ke dalam kelompok powerless, harus diberdayakan. Namun pada kasus tertentu yang sebenarnya dia mampu bersuara, tetapi dia tidak boleh bersuara alias dibungkam.
4. Hegemoni dapat terjadi tanpa disadari oleh yang melakukan dan yang diperlakukan. Dalam proses hegemoni, akhirnya mampu menggiring
kebenaran orang yang melakukan hegemoni menjadi sebuah pembenaran (common sense). Sehingga tidak bisa dipungkiri dalam upaya pemberdayaan yang dilakukan LSM, masih perlu dilihat kembali apakah upaya yang dilakukan selama ini termasuk melakukan hegemoni terhadap kelompok dampingannya ataukah tidak?
Tips
Tips untuk Odha
Penemuan ART telah memberikan kemudahan bagi orang yang terinfeksi dengan HIV. Tetapi kemudahan ini diiringi dengan beberapa problem. Masalah yang terbesar dari kesuksesan terapi ini adalah kepatuhan terhadap pengobatan. Metode bagi obat-obat ARV untuk menekan jumlah virus dengan baik adalah dengan kepatuhan yang ketat terhadap jam-jam minum obat. Obat-obatan ini harus diminum sesuai dengan aturannya tanpa melewati satu dosis sekalipun agar dapat bekerja dengan potensi penuh. Kedengarannya memang mudah, tapi melakukannya tidak semudah yang kita bayangkan. Antara efek samping, isu-isu emosional di sekitar terapi, dan isu tentang kerahasiaan, kepatuhan bisa menjadi sulit. Di bulan Ramadhan ini, kepatuhan juga menjadi suatu isu yang penting karena beberapa dari Odha juga harus
melaksanakan kewajiban menjalankan ibadah puasa mereka. Beberapa dari kita tetap melaksanakan ibadah puasa dengan meminum obat pertama pada sahur dan minum kembali setelah buka puasa. Perlu untuk diingat bahwa kita harus kembali pada jadwal utama kita sebelum melakukan ibadah puasa dengan disiplin penuh. Tahukah Anda bahwa menurut penelitian, 27% dari orang-orang yang lupa meminum obat sesuai dengan jadwalnya disebabkan karena mereka merubah jadwal terapi mereka. Jadi, teman-teman Odha, kita kembali diingatkan untuk patuh terhadap jadwal kita. Berikut ini merupakan tips dan strategi agar kita bisa patuh dengan jadwal minum obat kita:
1. Gunakanlah kotak pil untuk menyiapkan obat kita seminggu sebelumnya.
2. Siapkan daftar cek (checklist) untuk meninjau obat yang sudah kita minum atau belum. 3. Pakailah jam weker untuk meminum obat. 4. Mintalah beberapa anggota keluarga atau teman untuk mengingatkan Anda melalui telepon, sms, atau sekedar mengingatkan.
5. Rencanakanlah obat Anda jauh hari sebelum melakukan perjalanan keluar daerah.
6. Jika Anda memiliki waktu, tulislah catatan harian (diary) untuk mencatat perasaan Anda yang dapat mengingatkan bahwa Anda telah minum obat.
Sahabat Senandika
Diterbitkan sekali sebulan olehYayasan Spiritia
dengan dukungan
T H E FORD T H E FORD T H E FORD T H E FORD T H E FORD FOU N D FOU N D FOU N D FOU N D
FOU N DAAAAAT I ONT I ONT I ONT I ONT I ON
Kantor Redaksi: Jl Radio IV/10 Kebayoran Baru Jakarta 12130
Telp: (021) 7279 7007 Fax: (021) 726-9521
E-mail: yayasan_spiritia@yahoo.com Editor:
Hertin Setyowati & Caroline Thomas
Copyright 2002 Yayasan Spiritia. Izin dikeluarkan bukan untuk diperdagangkan, sehingga bila mengutip isinya Anda harus mencantumkan sumber (termasuk alamat dan nomor telepon). Semua informasi di dalam Sahabat Senandika sekadar
untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Sebelum melaksanakan suatu pengobatan sebaiknya Anda berkonsultasi dengan dokter.
Tanya-Jawab
HIV dan Flu Burung
Oleh Joel E. Gallant, M.D., M.P.H., Johns
Hopkins (21 Sep 2005)
Tanya: Saya menyadari bahwa mungkin terlalu dini untuk panik, tetapi apa, bila ada, diketahui saat ini untuk membantu melindungi para Odha dari flu burung? Saya berasumsi bahwa Odha lebih rentan terhadap infeksi dan komplikasi yang
diakibatkannya dibandingkan mereka dengan sistem kekebalan tubuh yang sehat.
Jawab: Asumsi itu tidak benar untuk flu biasa, jadi tidak ada alasan untuk menganggap bahwa itu benar untuk flu burung. Flu kurang lebih flu bila kita HIV. Walaupun begitu, flu burung bukan flu biasa; kemungkinan flu burung lebih
berbahaya...untuk semua orang. Sebetulnya, bila pandemi flu besar pada 1918 adalah contoh, orang dengan sistem kekebalan yang paling sehat paling mungkin meninggal. Pada 1918-1919, orang dewasa mudah yang sehat meninggal lebih sering
dibandingkan orang lansia, kemungkinan karena komplikasi dari tanggapan kuat oleh sistem kekebalannya terhadap organisme.
Apa yang akan membantu bila terjadi pandemi flu burung sedunia? Vaksinasi, memakai Tamiflu, dan nasib...
URL: http://www.hopkins-ssjs.org/forum/
view_question.html?section_id=61&id=1 15887&category_id=0
Positive Fund
Laporan Keuangan Positive Fund
Yayasan Spiritia
Periode O ktober 2005
Saldo aw al 1 Oktober 2005 11,555,675
Penerimaan di bulan
Oktober 2005 300,000
_________+
Total penerimaan 11,855,675
Pengeluaran selama bulan Oktober :
Item Jumlah
Pengobatan 1,000,000
Transportasi 0
Komunikasi 0
Peralatan / Pemeliharaan 0
Modal Usaha 0
_________+
Total pengeluaran 1,000,000
-Saldo akhir Positive Fund