• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keywords: Fear of Missing Out (FoMO), Social Media Addiction, Social Media

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Keywords: Fear of Missing Out (FoMO), Social Media Addiction, Social Media"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

II ABSTRACT

This study is a quantitative correlational study that aimed to find out the relation between fear of missing out (FoMO) and social media addiction.

Total participant in this study is 74 college students of Satya Wacana Christian University who have used TikTok for at least 6 months. The researcher used purposive sampling technique to determine the selected sample from the entire population. The data obtained were taken through questionnaire consisting of two scale, Fear of Missing Out Scale by Przybylski, Murayama, DeHann, dan Gladwell (2013) and Social Media Disorder Scale by Van Den Eijnden, Lemmens, dan Valkenburg (2016).

Based on the result of the research hypothesis test, the rxy value is 0.315 with sig. = 0.003 (p<0.05). The conclusion of this research is there is a significant positive relationship between fear of missing out and social media addiction, so the hypothesis of this research is accepted.

Keywords: Fear of Missing Out (FoMO), Social Media Addiction, Social Media.

(2)

DAFTAR ISI

ABSTRAK... ii

BAB I ... 1

PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

1. Manfaat Teoritis ... 7

2. Manfaat Praktis ... 7

BAB II ... 8

TINJAUAN PUSTAKA ... 8

A. Kecanduan Media Sosial ... 8

1. Definisi ... 8

2. Kriteria ... 8

3. Faktor-faktor Yang Memengaruhi ... 9

B. Fear Of Missing Out (FoMO) ... 9

1. Definisi ... 9

2. Aspek ... 10

D. Dinamika Hubungan Antar Variabel ... 10

E. Hipotesis ... 11

BAB III ... 12

METODE PENELITIAN ... 12

A. Jenis Penelitian ... 12

B. Variabel Penelitian ... 12

1. Kecanduan Media Sosial ... 12

2. Fear Of Missing Out ... 13

C. Partisipan Penelitian ... 13

D. Metode Pengumpulan Data ... 14

E. Metode Analisis Data... 15

BAB IV ... 16

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 16

A. Orientasi Kancah... 16

B. Persiapan Penelitian ... 16

(3)

E. Pembahasan ... 21

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 24

A. Kesimpulan ... 24

B. Saran ... 24

DAFTAR PUSTAKA ... 26

(4)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pada saat ini, media sosial sudah tidak asing lagi terdengar oleh masyarakat. Hampir seluruh masyarakat sudah terpapar dengan media sosial yang terus berkembang sampai saat ini. Media sosial merupakan sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang dibangun diatas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0 yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran konten oleh penggunanya (Kaplan & Haenlein dalam Anwar, 2017). Pada tahun 2021 terdapat 4.2 miliyar pengguna media sosial di seluruh dunia, sehingga pengguna sosial media sebanyak 53% dari total populasi di dunia. Terdapat penambahan pengguna sosial media dari tahun 2020 ke 2021 sebesar 13% dengan rata-rata 1.3 juta pengguna baru setiap harinya, terdapat 15 pengguna baru setiap detiknya (Kemp, 2021).

Di Indonesia sendiri, pengguna sosial media meningkat 8,1% (12 juta) dari tahun 2019 sampai 2020, sehingga pada tahun 2020 terdapat 160 juta pengguna aktif media sosial di Indonesia (Simon, 2020).

Dalam perkembangan teknologi dan banyaknya media sosial, salah satu media sosial yang menjadi pilihan masyarakat untuk mengisi waktu luang dan sarana hiburan adalah TikTok. TikTok merupakan jaringan sosial dan platform video musik yang penggunanya dapat membuat video musik pendek yang berdurasi 15 detik atau 60 detik untuk diunggah ke aplikasi tersebut. Video musik pendek tersebut juga dapat dibagikan ke media sosial lainnya. TikTok menjadi salah satu media sosial terbesar berdasarkan penggunanya, melebihi media sosial lain yang sudah lama ada sebelum TikTok seperti Snapchat, Pinterest, dan Twitter. Sebanyak 42% pengguna TikTok adalah Generasi Z atau berusia sekitar 18-24 tahun. Di Indonesia terdapat sekitar 22,2 juta pengguna aplikasi TikTok pada bulan Agustus 2020 (Iqbal, 2021). Berdasarkan hasil survei dari Global Web Index (GWI), di tahun 2020 pengguna media sosial di

(5)

2

Indonesia menghabiskan waktu kurang lebih 3 jam 8 menit perharinya (Kemp, 2021). Di dalam media sosial terdapat perubahan yang cepat di mana platform media sosial diperluas dengan adanya fungsi interaktif yang baru, adanya fitur-fitur yang baru dan adanya platform media sosial yang baru. Dengan adanya perubahan yang cepat dan perkembangan yang pesat dalam media sosial, hal yang mudah ditakuti adalah ketinggalan zaman. (Van Den Eijnden, Lemmens, & Valkenburg, 2016).

Tentu saja terdapat beberapa kegunaan dari media sosial itu sendiri, antara lain adalah sebagai media alternatif untuk mempersingkat jarak dan waktu yang digunakan oleh masyarakat untuk berkomunikasi (Sari dan Hutabarat, 2020). Selain itu, kegunaan dari media sosial adalah menjadi tempat hiburan bagi masyarakat (Husna dan Rianto, 2021).

Kegunaan lainnya dari media sosial adalah sebagai tempat untuk melakukan proses transaksi jual beli barang tanpa batasan ruang dan waktu, dimana media sosial juga memberikan fitur untuk berjualan bagi penggunanya (Rahmadhany dan Irwansyah, 2021). Dengan banyak sekali konten yang menarik di dalam media sosial, kemungkinan besar waktu yang dihabiskan individu dalam penggunaan media sosial tentunya besar.

Individu tidak dapat mengontrol penggunaan dari media sosial, sehingga waktu penggunaannya meningkat dan dapat menyebabkan kecenderungan kecanduan media sosial (Aprilia, Sriarti, dan Hendrawati, 2018). Kecanduan media sosial dapat dilihat sebagai kecanduan internet, di mana individu menunjukkan penggunaan media sosial secara berlebihan. Individu dengan kecenderungan ini, seringkali gelisah dan memiliki dorongan yang tidak dapat dikendalikan untuk terus menggunakan sosial media. (Hou, Song, Jiang, dan Wang, 2019).

Kecanduan media sosial merupakan suatu gangguan perilaku dalam menggunakan media sosial. Kecanduan media sosial merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh individu secara berulang-ulang dan terus menerus hingga melupakan kegiatan lainnya (Wening dalam Wicaksono, 2020). Namun perlu diingat menggunakan media sosial yang sering, tidak

(6)

selalu menunjukkan kecenderungan kecanduan media sosial dan tidak selalu memiliki dampak negatif bagi kesehatan mental (Hou, Song, Jiang, dan Wang, 2019). Menurut Van Den Eijnden, Lemmens, & Valkenburg (2016), individu kecanduan internet dikarenakan aktivitas online di dalamnya dan biasanya kecanduan internet biasanya disambungkan dengan online game dan penggunaan sosial media.

Menurut Young (2010), ada empat komponen dari kecenderungan kecanduan media sosial, antara lain: (1) excessive use (penggunaan yang berlebihan), biasanya dikaitkan dengan kehilangan waktu atau mengabaikan kegiatan utama lainnya; (2) withdrawal, termasuk perasaan marah, tegang, dan atau depresi pada saat tidak dapat mengakses sosial media; (3) tolerance, kebutuhan akan alat elektronik yang lebih mendukung atau tambahan waktu untuk penggunaan sosial media; (4) negative repercussions, adanya sebuah argumentasi, kebohongan yang diciptakan, tidak tercapainya tujuan penggunaan sosial media, dan isolasi sosial. Individu yang mengalami kecenderungan kecanduan media sosial merasa gagal dalam komunikasi tatap muka dan merasa komunikasi secara daring lebih aman dan mudah untuk individu tersebut. Rendahnya kemampuan untuk berkomunikasi juga dapat menurunkan self-esteem individu dan merasa mengisolasi diri yang akhirnya akan menyebabkan beberapa permasalahan. Masalah yang dimaksud seperti pada saat bekerja, individu akan mengalami kesulitan dalam bekerja secara tim, melakukan presentasi, atau pergi ke acara sosial tertentu (Young &

Abreu, 2010).

Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM- 5) belum terdapat kecenderungan kecanduan media sosial karena hal ini masih cenderung baru. Mungkin hal ini terkesan bahwa kecanduan media sosial bukan gangguan mental yang sah, namun jika penggunaan media sosial secara berlebihan, dapat menyebabkan masalah kesehatan mental (Van Den Eijnden et al., 2016). Penelitian kecanduan media sosial masih tertinggal dari penelitian kecanduan online game. Menurut Van Den

(7)

4

Eijnden, dkk. (2016), kecanduan media sosial dan kecanduan online game masih di ranah kecanduan internet, maka kriteria yang terapat dalam kecanduan online game, yang dimana terdapat dalam buku DSM-5, dapat digunakan untuk kecanduan media sosial. Terdapat 9 kriteria antara lain;

(1) Keasyikan dengan media sosial, penggunaan media sosial merupakan aktivitas paling dominan dalam kehidupan sehari-hari. (2) Serangkaian gejala fisik maupun psikis yang dialami oleh individu pada saat tidak menggunakan media sosial. Serangkaian gejala ini biasanya dideskripsikan dengan perasaan frustrasi atau marah, kecemasan, ataupun sedih. (3) Toleransi, kebutuhan yang meningkat untuk terus terlibat atau menggunakan media sosial. (4) Usaha yang gagal dalam mengontrol penggunaan media sosial. (5) Kehilangan minat untuk menjalankan hobi sebelumnya. (6) Terus menggunakan media sosial secara berlebihan meskipun memiliki pengetahuan tentang masalah psikososial. (7) Menipu keluarga, terapis, atau orang lain terkait jumlah penggunaan media sosial.

(8) Menggunakan media sosial untuk lari dari masalah ataupun perasaan- perasaan yang negatif. (9) Telah membahayakan atau kehilangan hubungan, pekerjaan, pendidikan, atau peluang karir karena penggunaan media sosial.

Beragamnya konten dari media sosial dan mudahnya mengakses media sosial, pengguna dari media sosial mengalami peningkatan waktu dalam mengakses media sosial yang mengarah kepada kecenderungan kecanduan media sosial (Marlina, 2017). Ada beberapa faktor yang memunculkan kecenderungan kecanduan media sosial antara lain adalah tujuan dari penggunaan media sosial itu sendiri, yaitu untuk memenuhi kebutuhan akan mengadakan hubungan secara akrab dengan individu lain (Muna dan Astuti, 2014). Individu terus ingin terhubung dengan individu lain, bahkan tidak ingin melewatkan momen sekecil apapun.

Ketakutan individu akan kehilangan momen berharga, pada saat individu tersebut tidak dapat hadir di dalamnya dikenal sebagai fear of missing out (FoMO). Hal ini ditandai dengan adanya keinginan individu

(8)

untuk terus terhubung dengan individu lainnya (Przybylski, Murayama, Dehaan, & Gladwell, 2013). Pada dasarnya, menurut penelitian dari Przybylski, dkk. (2013), FoMO merupakan kebutuhan individu untuk selalu berhubungan dengan aktivitas sosial dengan orang lain.

Berdasarkan Self Determination Theory (STD), FoMO merupakan kondisi situasional yang timbul pada saat tidak terpenuhinya tiga dasar kebutuhan psikologis yaitu competence, autonomy, dan relatedness.

Competence merupakan kapasitas individu untuk dapat beraktivitas secara efektif. Autonomy merupakan kapasitas individu untuk berinisiatif untuk mengambil keputusan atau bertindak tanpa pengaruh dari luar dirinya. Relatedness merupakan kebutuhan individu untuk selalu terhubung atau dekat dengan individu lain.

Ciri dari FoMo adalah rasa takut akan tertinggal informasi atau merasa kurang terupdate akan hal-hal baru yang kekinian. Hal ini membuat individu meningkatkan intensitas dalam penggunaan media sosial agar tidak tertinggal informasi terkini. Sehingga individu yang mengalami FoMO memiliki kecenderungan kecanduan media sosial.

Pernyataan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Marlina (2017), di mana terdapat hubungan positif antara fear of missing out dengan kecanduan media sosial.

Hasil penelitian dari Fathadhika dan Afriani (2018), menunjukkan bahwa risiko kecanduan media sosial yang berkaitan dengan fear of missing out yang dimediasi oleh social media engagement. Semakin besar kekhawatiran remaja akan kehilangan momen dalam media sosial, maka mendorong mereka untuk terus dapat terikat dengan aktivitas di media sosial yang mengarah kepada perilaku adiktif. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian dari Aisafitri dan Yusriyah (2021), menemukan bahwa kecanduan media sosial memiliki dampak positif dan negatif pada kehidupan sehari-hari. Dengan kecanduan media sosial, menjadikan diri individu selalu berkembang dengan informasi-informasi terbaru yang

(9)

6

secara tidak langsung membuat individu memiliki motivasi untuk melakukan suatu hal.

Dengan ini peneliti melakukan penelitian tentang hubungan antara fear of missing out dengan kecanduan media sosial untuk meninjau kembali terkait hubungan antara dua variabel tersebut. Dalam aplikasi TikTok ada banyak sekali konten yang menarik dan mudah dalam penggunaannya. Menurut dr. Julie Albright, salah satu digital sociologist, pada saat individu menggunakan aplikasi TikTok dan menemukan hal yang menyenangkan atau menarik perhatian maka individu akan mendapatkan dopamin kecil di pusat kesenangan otak sehingga individu ingin terus menggunakan atau scroll aplikasi TikTok (Koetsier, 2020).

Namun, terkadang akan menemukan hal yang dianggap biasa saja atau yang tidak disukai. Hal ini yang akan membuat individu terus menerus mencari hal-hal yang akan membuat senang atau menarik perhatian.

Dengan karakteristik yang dimiliki oleh aplikasi TikTok maka peneliti perlu meninjau kembali hubungan antara fear of missing out dengan kecanduan media soial. Selain itu, peneliti juga berharap penelitian ini dapat menjadi tolak ukur dan acuan bagi peneliti selanjutnya mengenai hubungan antara fear of missing out dengan kecanduan media sosial.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah apakah terdapat hubungan positif yang signifikan antara fear of missing out dengan kecanduan media sosial pada pengguna aplikasi TikTok?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini untuk melihat apakah terdapat hubungan positif yang signifikan antara fear of missing out dengan kecanduan media sosial pada pengguna aplikasi TikTok?

(10)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan tambahan tentang hubungan antara fear of missing out dengan kecanduan media sosial.

2. Manfaat Praktis

Penetiti berharap hasil dari penelitian ini secara praktis dapat menyumbang pemikiran dalam memecahkan masalah yang tentang hubungan fear of missing out dengan kecanduan media sosial. Peneliti juga berharap hasil dari penelitian ini dapat di jadikan acuan untuk penelitian berikutnya.

(11)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kecanduan Media Sosial 1. Definisi

Kecanduan media sosial merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh individu secara berulang-ulang dan terus menerus hingga melupakan kegiatan lainnya (Wening dalam Wicaksono, 2020). Kecanduan media sosial dapat dilihat sebagai kecanduan internet, di mana individu menunjukkan penggunaan media sosial secara berlebihan. Individu dengan kecenderungan ini, seringkali gelisah dan memiliki dorongan yang tidak dapat dikendalikan untuk terus menggunakan sosial media. (Hou, Song, Jiang, dan Wang, 2019). Menurut Van Den Eijnden, Lemmens, &

Valkenburg (2016), individu kecanduan internet dikarenakan aktivitas online di dalamnya dan biasanya kecanduan internet biasanya disambungkan dengan online game dan penggunaan sosial media.

2. Kriteria

Menurut Van Den Eijnden, dkk. (2016), kecanduan media sosial dan kecanduan online game masih di ranah kecanduan internet, maka kriteria yang terapat dalam kecanduan online game, yang dimana terdapat dalam buku DSM-5, dapat digunakan untuk kecanduan media sosial. Terdapat 9 kriteria antara lain;

a) Keasyikan dengan media sosial, penggunaan media sosial merupakan aktivitas paling dominan dalam kehidupan sehari- hari.

(12)

b) Serangkaian gejala fisik maupun psikis yang dialami oleh individu pada saat tidak menggunakan media sosial.

Serangkaian gejala ini biasanya dideskripsikan dengan perasaan frustrasi atau marah, kecemasan, ataupun sedih.

c) Toleransi, kebutuhan yang meningkat untuk terus terlibat atau menggunakan media sosial.

d) Usaha yang gagal dalam mengontrol penggunaan media sosial.

e) Kehilangan minat untuk menjalankan hobi sebelumnya.

f) Terus menggunakan media sosial secara berlebihan meskipun memiliki pengetahuan tentang masalah psikososial.

g) Menipu keluarga, terapis, atau orang lain terkait jumlah penggunaan media sosial.

h) Menggunakan media sosial untuk lari dari masalah ataupun perasaan-perasaan yang negatif.

i) Telah membahayakan atau kehilangan hubungan, pekerjaan, pendidikan, atau peluang karir karena penggunaan media sosial.

3. Faktor-faktor Yang Memengaruhi

Ada beberapa faktor yang memunculkan kecenderungan kecanduan media sosial antara lain adalah tujuan dari penggunaan media sosial itu sendiri, yaitu untuk memenuhi kebutuhan akan mengadakan hubungan secara akrab dengan individu lain (Muna dan Astuti, 2014).

B. Fear Of Missing Out (FoMO) 1. Definisi

Pada dasarnya, menurut penelitian dari Przybylski, dkk.

(2013), FoMO merupakan kebutuhan individu untuk selalu

(13)

10

berhubungan dengan aktivitas sosial dengan orang lain. Hal ini ditandai dengan adanya keinginan individu untuk terus terhubung dengan individu lainnya (Przybylski, Murayama, Dehaan, &

Gladwell, 2013).

2. Aspek

FoMO merupakan kondisi situasional yang timbul pada saat tidak terpenuhinya tiga dasar kebutuhan psikologis yaitu competence, autonomy, dan relatedness. Competence merupakan kapasitas individu untuk dapat beraktivitas secara efektif.

Autonomy merupakan kapasitas individu untuk berinisiatif untuk mengambil keputusan atau bertindak tanpa pengaruh dari luar dirinya. Relatedness merupakan kebutuhan individu untuk selalu terhubung atau dekat dengan individu lain.

C. Aplikasi TikTok

TikTok merupakan jaringan sosial dan platform video musik yang penggunanya dapat membuat video musik pendek yang berdurasi 15 detik atau 60 detik untuk diunggah ke aplikasi tersebut.

Sebanyak 42% pengguna TikTok adalah Generasi Z atau berusia sekitar 18-24 tahun. Di Indonesia terdapat sekitar 22,2 juta pengguna aplikasi TikTok pada bulan Agustus 2020 (Iqbal, 2021). Berdasarkan hasil survei dari Global Web Index (GWI), di tahun 2020 pengguna media sosial di Indonesia menghabiskan waktu kurang lebih 3 jam 8 menit perharinya (Kemp, 2021).

D. Dinamika Hubungan Antar Variabel

Salah satu komponen utama dalam kecanduan media sosial adalah excessive use (penggunaan secara berlebihan), di mana individu terus menerus menggunakan media sosial sehingga pekerjaan atau aktivitas lainnya tertunda. Jika individu terus

(14)

menggunakan media sosial maka pekerjaan, tugas sekolah, atau kegiatan sehari-harinya akan tertunda. Maka dari itu, individu tidak dapat bekerja secara efektif. Hal ini dipengaruhi oleh aspek autonomy dalam FoMO yang merupakan keputusan individu dalam terus ingin menggunakan media sosial. Aspek dalam FoMO lainnya adalah relatedness, yang merupakan kebutuhan individu untuk terus terhubung dengan individu lainnya. Media sosial menyediakan wadah bagi individu untuk terus terhubung dengan individu lainnya dengan jarak sejauh apa pun. Salah satu komponen utama yang dipengaruhi adalah excessive use, di mana individu terus menerus menggunakan media sosial untuk terus terhubung dengan individu lainnya. Jika individu tidak dapat memenuhi kebutuhan akan terhubung dengan individu lain menggunakan media sosial, maka aspek yang akan dipengaruhi adalah withdrawal, di mana perasaan marah atau tegang saat tidak bisa mengakses media sosial.

E. Hipotesis

Terdapat hubungan positif yang signifikan antara fear of missing out dengan kecanduan media sosial pada pengguna media sosial. Semakin tinggi individu mengalami fear of missing out, maka semakin tinggi pula kecenderungan kecanduan media sosial.

(15)

12 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah kuantitatif korelasional yang memiliki tujuan untuk mengetahui variasi variabel satu dan lainnya. Terdapat dua variabel yang akan diteliti yaitu fear of missing out (FoMO) yang dan kecanduan media sosial. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah FoMO yang merupakan kebutuhan individu untuk selalu berhubungan dengan aktivitas sosial dengan orang lain. Sementara itu, variabel terikat dalam penelitian ini adalah kecanduan media sosial yang merupakan merupakan suatu gangguan perilaku dalam menggunakan media sosial.

B. Variabel Penelitian

1. Kecanduan Media Sosial

Kecanduan media sosial merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh individu secara berulang-ulang dan terus menerus sehingga melupakan kegiatan lainnya. Terdapat Sembilan kriteria ketika individu memiliki kencederungan kecanduan media sosial, antara lain; (1) keasyikan dengan media sosial, (2) serangkaian gejala fisik maupun psikis yang dialami oleh individu pada saat tidak menggunakan media sosial, (3) toleransi, (4) usaha yang gagal dalam mengontrol penggunaan media sosial, (5) kehilangan minat untuk menjalankan hobi sebelumnya, (6) terus menggunakan media sosial secara berlebihan meskipun memiliki pengetahuan tentang masalah psikososial, (7) menipu keluarga, (8) menggunakan media sosial untuk lari dari masalah ataupun perasaan-perasaan yang negatif, (9) telah membahayakan atau

(16)

kehilangan hubungan, pekerjaan, pendidikan, atau peluang karir karena penggunaan media sosial.

2. Fear Of Missing Out

Fear of missing out (FoMO) merupakan kebutuhan individu untuk selalu berhubungan dengan aktivitas sosial dengan orang lain. FoMO merupakan kondisi situasional yang timbul pada saat tidak terpenuhinya tiga dasar kebutuhan psikologis yaitu competence, autonomy, dan relatedness.

C. Partisipan Penelitian

Populasi merupakan keseluruhan dari subjek yang menjadi target penelitian ini (Azwar, 2017). Populasi pada penelitian ini adalah pengguna media sosial, khsusnya pengguna aplikasi TikTok. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel dengan kriteria yang sudah ditentukan oleh peneliti (Azwar, 2017). Adapun kriteria yang ditentukan adalah mahasiswa/i Universitas Kristen Satya Wacana pengguna aplikasi TikTok selama minimal 6 bulan.

Total sampel pada penelitian ini adalah 74 responden yang menggunakan aplikasi TikTok selama minimal 6 bulan. Data sampel penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Deskripsi Data Sampel Penelitian

Lama pemakaian aplikasi Jumlah Sampel Presentase

6 -12 bulan 22 29,7%

> 12 bulan 52 70,3%

Total 74 100%

(17)

Sebanyak 86,5% responden penelitian ini adalah perempuan dan 13,5%

responden penelitian ini adalah laki-laki dari mahasiswa UKSW Angkatan 2017-2021 yang menggunakan aplikasi TikTok minimal 6 bulan.

D. Metode Pengumpulan Data

Pada metode pengumpulan data ini, peneliti akan memberikan kuesioner kepada partisipan. Kuesioner tersebut berisi dua skala pengukuran yang terdiri dari pengukuran fear of missing out (FoMO) dan kecanduan media sosial. Kedua alat ukur ini terdiri dari pernyataan favorable (mendukung) dan unfavorable (tidak mendukung) dan menggunakan skala Likert dengan pilihan jawaban sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai (STS). Pernyataan favorable akan diberi skor 4 hingga 1, sedangkan pernyataan unfavorable akan diberi skor sebaliknya.

Alat ukur FoMo menggunakan fear of missing out scale yang dikembangkan oleh Przybylski, Murayama, DeHann, dan Gladwell (2013) yang terdiri dari 10 pernyataan yang mengukur tiga aspek yaitu, competence, autonomy, dan relatedness. Dengan tingkat reliabilitas α = 0,90 yang tergolong baik.

Sedangkan alat ukur kecanduan media sosial, peneliti menggunakan social media disorder scale yang dikembangkan oleh Van Den Eijnden, Lemmens, dan Valkenburg (2016) yang terdiri dari 27 pernyataan yang mengukur 9 aspek yaitu preoccupation, tolerance, withdrawal, persistence, escape, problems, deception, displacement, dan conflict.

Dengan tingkat realibilitas α = 0.82 yang tergolong baik.

(18)

E. Metode Analisis Data

Validitas merupakan prosedur yang dilakukan untuk melihat konsistensi item total, dengan cara mengukur keselarasan atau konsistensi antar aitem secara keseluruhan (Azwar, 2017). Validitas digunakan untuk dapat membedakan aitem yang sesuai dengan aitem yang tidak sesuai dalam penelitian ini. Secara umum, validitas terdapat dalam tiga jenis yaitu validitas isi (content validity), validitas berdasarkan kriteria (criterion-related validity), dan validitas konstruk (construct validity).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan validitas konstruk. Validitas konstruk merupakan uji validitas yang bertujuan untuk mengetahui kualitas suatu alat ukur yang benar-benar menggambarkan konstruk teoritis dari dasar operasionalisasi teori tersebut (Widodo, 2006).

Reliabilitias merupakan kualitas skor tes yang menunjukan adanya kekonsistenan dan bebas dari kesalahan, sehingga pengukuran tersebut menjadi berguna (Urbina, 2014). Tujuan perhitungan koefisien reliabilitas adalah untuk mengetahui tingkat konsistensi jawaban subjek.

Besarnya koefisien ini berkisar dari nol hingga satu, semakin besar nilai koefisien maka semakin tinggi reliabilitas alat ukur dan tingkat konsistensi jawaban. Peneliti meggunakan teknik Alpha Cronbach untuk pengujian reliabilitas dibantu dengan aplikasi SPSS.

Analisis aitem yang digunakan peneliti adalah dengan kriteria Azwar (2012) dengan nilai korelasi sebesar > 0,3. Dengan adanya standar ini, maka aitem yang akan lolos merupakan aitem terbaik. Pengujian hipotesis dilakukan dengan metode statistik Pearson Correlation dengan menghitung nilai uji F dan koefisien determinasi. Seluruh data statistik dalam penelitian ini diolah menggunakan SPSS Statistics 22.

(19)

16 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Orientasi Kancah

Peneliti melakukan penelitian menggunakan google form untuk mengambil data-data. Partisipan mengisi google form dari link yang sudah diberikan oleh peneliti. Partisipan bisa mengerjakan kuisioner yang telah diberikan oleh peneliti di mana saja. Kemungkinan kendala yang dialami oleh partisipan adalah kurang baiknya jaringan di tempat masing-masing partisipan.

B. Persiapan Penelitian

Peneliti harus menyiapkan beberapa hal untuk menjalankan penelitiannya. Peneliti menyiapkan kuisioner yang bisa diakses oleh setiap partisipan yaitu menggunakan google form. Sebelum peneliti menyebarkan kuisioner, peneliti juga mempersiapkan surat izin penelitian dari Fakultas. Setelah seluruh persyaratan dipersiapkan, peneliti menyebar kuisioner yang sudah di konsultasikan terlebih dahulu ke dosen pembimbing.

Proses pengambilan data dilakukan di tanggal 23 Februari 2022 hingga 21 Maret 2022. Proses pengambilan data tergolong cukup lama karena belum banyak partisipan yang mengisi kuisioner.

Setelah mengambil data terdapat 74 partisipan yang memenuhi kriteria.

C. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur

Uji validitas dalam penelitian ini dihitung dengan item total correlation. Pada skala fear of missing out (FoMO) yang terdiri dari

(20)

10 item dengan 1 aitem gugur dalam satu putaran, dengan empat pilihan jawaban di setiap pernyataan berdasarkan Skala Likert yang bernilai 4 (empat) untuk peryataan yang Sangat Sesuai hingga yang bernilai 1 (satu) untuk pernyataan yang Sangat Tidak Sesuai.

Reliabilitas dari variabel FoMO dalam penilitian ini sebesar 0.798 dengan total 9 aitem valid.

Pada skala kecanduan media sosial terdiri dari 27 aitem dengan 4 aitem gugur dalam satu putaran, dengan empat pilihan jawaban di setiap pernyataan berdasarkan Skala Likert yang bernilai 4 (empat) untuk peryataan yang Sangat Sesuai hingga yang bernilai 1 (satu) untuk pernyataan yang Sangat Tidak Sesuai. Reliabilitas dalam penelitian ini sebesar 0.913 dengan total 23 aitem valid.

D. Hasil Penelitian

Analisis deskriptif dimulai dengan melihat gambaran perhitungan data dari skala Fear of Missing Out dan Social Media Disorder yang digunakan dalam penelitian ini. Uji statistik deskriptif menunjukkan hasil skor rata-rata, minimal, maksimal, dan standar deviasi.

Tabel 2. Statistik Deskriptif

N Minimum Maksimum Rata-rata Std. Deviasi

FoMO 74 9 34 20.04 5.103

MedSos 74 23 83 51.49 11.436

Mengacu pada tabel diatas, dapat diketahui bahwa variabel FoMO memiliki nilai minimum 9 dan nilai maksimum 34. Sedangkan nilai minimum pada variabel MedSos menunjukkan skor 28 dengan nilai maksimum 83. Skor rata-rata kedua variabel terlihat jauh berbeda, yaitu 20,04 untuk FoMO sementara MedSos menunjukkan skor 51,49. Hasil analisis statistik deskriptif juga menggambarkan nilai standar deviasi dari

(21)

variabel yang diteliti, yaitu 5,103 untuk variabel bebas dan 11,436 untuk variabel terikat.

Peneliti kemudian menggambarkan persebaran data menurut kategori skor dari masing-masing variabel yang diteliti.

Tabel 3 menunjukan hasil kategorisasi dari variabel FoMO.

Berdasarkan data yang muncul dapat diketahui bahwa mayoritas responden yaitu sejumlah 41 orang atau setara 55% dari keseluruhan subjek memiliki tingkat FoMO dalam kategori sedang. 32% lainnya berada dalam kategori rendah, sementara 12% sisanya merupakan mahasiswa/i yang memiliki FoMO dengan kategori tinggi.

Tidak jauh berbeda dari kategori data pada variabel FoMO, menurut pengukuran tingkat kecanduan media sosial pada 74 subjek terpilih, dapat terlihat bahwa mayoritas partisipan mengalami kecenderungan kecanduan media sosial pada tingkatan sedang. 9 orang mengalami kecenderungan kecanduan media sosial yang tergolong dalam kategori tinggi, 40 diantaranya pada tingkatan sedang, dan 25 lainnya memiliki tingkat kecenderungan kecanduan yang rendah.

Tabel 3. Kategori Skor FoMO

Kategori Interval N Persentase Tinggi 25,8 ≤ X ≤ 34,1 9 12%

Sedang 17,4 ≤ X ≤ 25,7 41 55%

Rendah 9 ≤ X ≤ 17,3 24 32%

74 100%

Tabel 4. Kategori Skor MedSos

Kategori Interval N Persentase Tinggi 64,8 ≤ X ≤ 83,1 9 12%

Sedang 46,4 ≤ X ≤ 64,7 40 54%

Rendah 28 ≤ X ≤ 46,3 25 34%

74 100%

(22)

Berdasarkan hasil uji normalitas, di dapatkan nilai variabel Kecanduan Media Sosial sebesar 0,200 (p>0,05) dan pada variabel fear of missing out sebesar 0,200 (p>0,05) yang menunjukan bahwa kedua variabel dalam penelitian ini berdistribusi normal.

Tabel 5. Uji One-Sample Kolmogorov-Smirnov

FoMO MedSos

N 74 74

Normal Parametersa,b

Mean 20.04 51.49

Std.

Deviation 5.103 11.436

Most Extreme Differences

Absolute .083 .072 Positive .083 .072 Negative -.061 -.036

Test Statistic .083 .072

Asymp. Sig. (2-tailed) .200c,d .200c,d a. Test distribution is Normal.

b. Calculated from data.

Tabel 6. Uji Linearitas antara FoMO dengan Kecanduan Media Sosial Sum of

Squares df Mean

Square F Sig.

MedSos * FoMO

Between Groups

(Combined) 3862.648 22 175.575 1.575 .091 Linearity 946.789 1 946.789 8.495 .005

(23)

Hasil uji linearitas antara Fear of Missing Out dengan Kecanduan Media Sosial pada Mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana Pengguna Aplikasi TikTok, dapat dilihat pada tabel 6 berikut. Diperoleh hasil uji linearitas Fhitung sebesar 1.246 dengan sig. = 0.256 (p>0.05).

Berdasarkan hasil tersebut, menunjukkan bahwa terdapat hubungan linier yang signifikan antara kecanduan media sosial dan fear of missing out.

Mengacu pada hasil perhitungan uji korelasi antara Fear of Missing Out dengan kecanduan media sosial pada mahasiswa/i Universitas Kristen Satya Wacana pengguna aplikasi TikTok, diperoleh nilai pearson correlation sebesar 0,315 dengan nilai sig. = 0.003 (p<0.05). Berdasarkan perhitungan tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara variabel kecanduan media sosial dengan fear of missing out. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara kedua variabel diterima. Semakin tinggi individu mengalami fear of missing out, maka semakin tinggi pula kecenderungan kecanduan media sosial.

Deviation from Linearity

2915.858 21 138.850 1.246 .256

Within

Groups 5683.839 51 111.448

Total 9546.486 73

Tabel 7. Uji Hipotesis

FoMO

MedSo s FoMO Pearson

Correlation 1 .315**

(24)

E. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian terkait hubungan antara fear of missing out (FoMO) dengan kecanduan media sosial pada Mahasiswa UKSW, diketahui terdapat hubungan positif yang signifikan antara fear of missing out dengan kecanduan media sosial pada mahasiswa/i di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Hasil penelitian yang diperoleh adalah koefisien korelasi sebesar 0,315 dengan nilai signifikasi α = 0.003 (p<0.05). Skor tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi fear of missing out yang dialami oleh mahasiswa/i UKSW maka semakin tinggi pula kecenderungan kecanduan media sosial yang akan muncul.

Sementara, semakin rendah tingkat FoMO yang mahasiswa/i miliki maka semakin rendah pula kecanduan media sosialnya.

Rata-rata usia mahasiswa/i aktif di UKSW yang menjadi responden pada penelitian ini adalah antara 18-24 tahun. Usia tersebut dikategorikan Wirawan (2002) ke dalam usia remaja. Menurut Edward (dalam Argiati, 2008) tahapan usia remaja memiliki beberapa tugas perkembangan tertentu yang meliputi: (1) Kebutuhan adanya kebebasan untuk menentukan sikap sesuai keinginannya, (2) Kebutuhan akan rasa superior, ingin menonjol, ingin terkenal, dan (3) Kebutuhan untuk menciptakan hubungan persahabatan. Sehingga pada tahap usia ini

Sig. (1-tailed)

.003

N 74 74

MedS os

Pearson

Correlation .315** 1 Sig. (1-tailed) .003

N 74 74

**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).

(25)

kebutuhan untuk berinteraksi dan menjalin hubungan dengan orang lain cenderung tinggi. Namun kenyataannya, mahasiswa/i sebagai pelajar memiliki kewajiban untuk belajar dan menyelesaikan tugasnya. Hal-hal tersebut yang seringkali menyita waktu mereka dan membatasi kesempatan mereka untuk bisa hadir secara langsung dan berinteraksi dengan dunia disekitarnya. Melewatkan kesempatan untuk berinteraksi sosial, mendapatkan momen berharga, atau peristiwa lain yang memuaskan, dapat memunculkan kecemasan pada individu (Alt &

Boniel-Nissim, 2018). Kehilangan momen berharga dapat memunculkan ketakutan dan kekhawatiran pada diri individu yang kemudian disebut fear of missing out (FoMO).

Menurut penelitian dari Przybylski, dkk. (2013), FoMO ditandai dengan adanya kebutuhan individu untuk selalu berhubungan dengan aktivitas sosial dengan orang lain. Ketakutan apabila tertinggal dari segala informasi terbaru yang berada disekitar ini, kemudian mendorong adanya kebutuhan untuk senantiasa mengetahui kabar maupun kegiatan apapun yang sedang hangat diperbincangkan maupun mengetahui apa yang orang-orang terdekatnya sedang lakukan saat ini. Dewasa ini, segala macam informasi dapat diperoleh dengan sangat mudah melalui internet, terlebih melalui berbagai platform media sosial. Menyediakan berbagai video pendek yang informatif dan mampu mengikuti tren terkini, Tiktok menjadi salah satu platform media sosial yang paling ramai digunakan sejak 2020 lalu dengan pengguna harian yang mampu mencapai angka 35,28 juta orang. Secara keseluruhan per Januari 2022, terdapat sebanyak 191 juta pengguna aktif media sosial di Indonesia (Mahdi, 2022). Hal ini didukung oleh data dari Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang menyatakan bahwa, 95% pengguna internet menggunakan jaringan untuk mengakses media sosial (Suherlan, 2022).

Kini, media sosial tidak lagi menjadi tempat untuk membagikan momen penting semata, namun juga dipakai untuk beragam aktivitas lain diantaranya pekerjaan, bisnis, bahkan mencari pasangan (Suherlan,

(26)

2022). Tidak heran bila penggunaan media sosial terus meningkat seiring bertambahnya keingintahuan individu dan besarnya kebutuhan individu untuk selalu merasa terhubung dengan individu lain atau disebut dengan relatedness. Hal ini didukung oleh pendapat Spies Shapiro dan Margolin (2014) yang menyebutkan bahwa efek positif dari penggunaan media sosial adalah keterhubungan dengan orang lain. Maka, semakin besar keinginan seseorang untuk bisa terhubung dengan dunia disekitarnya membuat kecenderungan pengunaan media sosialnya menjadi sama intensnya.

Penggunaan media sosial secara berlebihan (excessive use) menjadi salah satu komponen utama dalam kecanduan media sosial, di mana individu terus menerus menggunakan media sosial sehingga pekerjaan atau aktivitas lainnya tertunda. FoMO dapat berkontribusi pada ketergantungan seseorang terhadap media sosial. Menurut Griffith dan Kuss (2017) hal ini terjadi saat individu mengalami kekhawatiran saat tidak dapat terhubung ke jaringan dan kemudian secara impulsif terus menerus melakukan pemeriksaan yang kemudian berkembang menjadi kecanduan.

(27)

24 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat diketahui bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara fear of missing out terhadap kecanduan media sosial pada mahasiswa/i di Universitas Kristen Satya Wacana. Hasil uji hipotesis penelitian menunjukkan nilai koefisien korelasi sebesar 0,315 dengan nilai sig. = 0.003 (p<0.05), yang berarti bahwa semakin tinggi tingkat FoMO yang dialami oleh para mahasiswa/i maka akan semakin tinggi juga tingkat kecanduan media sosial yang mereka alami, dan berlaku sebaliknya. Ditinjau dari kategori tingkatannya, secara rata-rata para mahasiswa/i yang menjadi partisipan penelitian memiliki tingkat FoMO dan kecanduan media sosial yang berada dalam kategori tingkatan sedang, dengan nilai rata-rata variabel FoMO sebesar 20,04 dan kecanduan media sosial sebesar 51,49.

B. Saran

Berdasarkan hasil analisis dan kajian pada pembahasan, peneliti menyarankan kepada para mahasiswa/i untuk dapat meningkatkan kesadaran akan penggunaan media sosialnya yang mungkin didorong oleh FoMO yang ia alami. Peneliti juga menyarakan bagi para mahasiswa/i untuk dapat melakukan observasi mandiri terhadap durasi penggunaan sosial media masing-masing, terutama pada aplikasi TikTok.

Apabila waktu yang digunakan untuk berada di media sosial telah berlebihan dan mengganggu aktivitas lain, diharapkan kedepannya dapat dibatasi dan dimanfaatkan seperlunya saja.

Saran untuk peneliti selanjutnya agar dapat meneliti faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi tingkat kecanduan media sosial pada individu seperti kesepian, kecemasan, kontrol diri, dan regulasi diri. Selain itu,

(28)

dapat dipertimbangkan untuk melakukan penelitian pada responden dengan kategori usia yang lebih luas agar dapat melihat perbedaan dinamika psikologis pada masing-masing tahap perkembangan.

(29)

26

DAFTAR PUSTAKA

Aisafitri, L., & Yusriyah, K. (2021). Kecanduan Media Sosial (FoMO) pada Generasi Milenial. Jurnal Audience, 4(01), 86–106.

https://doi.org/10.33633/ja.v4i01.4249

Alt, D., & Boniel-Nissim, M. (2018). Links between adolescents’ deep and surface learning approaches, problematic internet use, and fear of missing out (FoMO). Internet Interventions, 13(May), 30–39.

https://doi.org/10.1016/j.invent.2018.05.002

Anwar, F. (2017). Perubahan dan Permasalahan Media Sosial. Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, Dan Seni, 1(1), 137.

https://doi.org/10.24912/jmishumsen.v1i1.343

Aprilia, R., Sriati, A., & Hendrawati, S. (2018). Tingkat Kecanduan Media Sosial pada Remaja. Jnc, 3(1), 41–53.

Argiati, S. H. B. (2008). Perilaku Agresif Ditinjau dari Persepsi Pola Asuh Authoritarian, Asertivitas dan Tahap Perkembangan Remaja Pada Anak Binaan Lembaga Pemasyarakata Anak Kutoarjo, Jawa Tengah.

Tesis. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM.

Connexindo. 2022. Kenali Segmentasi Pengguna Media Sosial Agar Tidak

Salah Pilih Target Pemasaran. NATA.

https://www.nataconnexindo.com/blog/kenali-segmentasi-pengguna- media-sosial-agar-tidak-salah-pilih-target-

pemasaran#:~:text=Dari%20segi%20usia%2C%20rentan%20umur,64

%20tahun%20sebanyak%201%20persen.

D, S. N. I. S., & HUTABARAT, S. M. D. (2020). Pendampingan Penggunaan Media Sosial Yang Cerdas Dan Bijak Berdasarkan Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Diseminasi: Jurnal Pengabdian

Kepada Masyarakat, 2(1), 34–46.

https://doi.org/10.33830/diseminasiabdimas.v2i1.754

Fathadhika, S., & Afriani, -. (2018). Social Media Engagement Sebagai Mediator Antara Fear of Missing Out Dengan Kecanduan Media Sosial Pada Remaja. Journal of Psychological Science and Profession, 2(3), 208. https://doi.org/10.24198/jpsp.v2i3.18741

Griffith, M. D., & Kuss, D. J. (2017). Adolescents in scial media addiction (revisited). Education and Health, 35(3), 49–52.

Hou, Y., Xiong, D., Jiang, T., Song, L., & Wang, Q. (2019). Social media addiction: Its impact, mediation, and intervention. Cyberpsychology, 13(1). https://doi.org/10.5817/CP2019-1-4

Husna, A. N., & Rianto, P. (2021). Membaca Komentar di Media Sosial Sebagai Hiburan. 1, 29–40.

(30)

27

Iqbal, M. (2021). TikTok Revenue and Usage Statistics (2021). Business of Apps. https://www.businessofapps.com/data/tik-tok-statistics/

Kemp, S. (2021). Digital 2021: The Latest Insights Into The “State of Digital.” https://wearesocial.com/blog/2021/01/digital-2021-the-latest- insights-into-the-state-of-digital

Koetsier, J. (2020). Digital Crack Cocaine: The Science Behind TikTok’s

Success. Forbes.

https://www.forbes.com/sites/johnkoetsier/2020/01/18/digital-crack- cocaine-the-science-behind-tiktoks-success/#633c878f78be

Mahdi, M. I. (2022). Pengguna Media Sosial di Indonesia Capai 191 Juta

pada 2022. DataIndonesia.id.

https://dataindonesia.id/digital/detail/pengguna-media-sosial-di- indonesia-capai-191-juta-pada-2022

Przybylski, A. K., Murayama, K., Dehaan, C. R., & Gladwell, V. (2013).

Motivational, Emotional, and Behavioral Correlates of Fear of Missing Out. Computers in Human Behavior, 29(4), 1841–1848.

https://doi.org/10.1016/j.chb.2013.02.014

Przybylski, A., Murayama, DeHann, & Gladwell. (2013). Fear of Missing Out Scale : FoMOs. 2013.

Rahmadhany, A., & Irwansyah. (2021). Pemanfaatan Media Sosial Instagram Sebagai Strategi Komunikasi Informasi Pemasaran Produk. Jurnal Teknologi Dan Informasi Bisnis, 3(2), 320–326.

https://doi.org/https://doi.org/10.47233/jteksis.v3i2.250

Simon, K. (2020). Digital 2020 : Indonesia. Datareportal.Com.

https://datareportal.com/reports/digital-2020-indonesia

Spies Shapiro, L. A., & Margolin, G. (2014). Growing up wired: Social networking sites and adolescent psychosocial development. Clinical Child and Family Psychology Review, 17(1), 1-18.

http://dx.doi.org/10.1007/s10567-013-0135-1.

Suherlan, R. (2022). Daftar Media Sosial yang Paling Populer Tahun 2022,

Ada Whatsapp dan Tiktok. Style.

https://lifestyle.kontan.co.id/news/daftar-media-sosial-yang-paling- populer-tahun-2022-ada-whatsapp-dan-tiktok?page=all

Van Den Eijnden, R. J. J. M., Lemmens, J. S., & Valkenburg, P. M. (2016).

The Social Media Disorder Scale: Validity and psychometric properties.

Computers in Human Behavior, 61(August), 478–487.

https://doi.org/10.1016/j.chb.2016.03.038

Wicaksono, S. B. (2020). Penerapan Strategi Self Management (Pengelolaan Diri) Untuk Mengurangi Kecanduan Media Sosial Pada Siswa Kelas Viii Di Smp SMP NEGERI 6. Jurnal BK UNESA, 11(1), 83–94.

(31)

28

https://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/jurnal-bk- unesa/article/view/31902

Widodo, P. B. (2006). Reliabilitas Dan Validitas Konstruk Skala Konsep Diri Untuk Mahasiswa Indonesia. Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro, 3(1), 1–9. https://doi.org/10.14710/jpu.3.1.1

Wirawan, S. (2002). Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Young, K. S., & Abreu, C. N. de. (2010). Internet Addiction: A Handbook and Guide to Evaluation and Treatment (K. S. Young & C. N. de Abreu (eds.)). John Wiley & Sons, Inc.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif dan menambah wawasan mengenai Fear of Missing Out (FoMO) di media sosial yang mungkin muncul

Diungkapkan dalam wawancara yang dilakukan terhadap guru di SMAN 1 Kertosono bahwa beberapa remaja menambahkan waktu penggunaan sosial media di banding dengan belajar,

(2013) mendefinisikan Fear of Missing Out (FoMO) adalah suatu ketakutan akan kehilangan momen berharga individu atau kelompok lain di mana individu tersebut tidak dapat

Gambar 1.1 Pengguna Social Media Platforms Tahun 2020.. hanya memilih media sosial Instagram Cinema XXI karena intensitas penggunaan Instagram yang lebih dominan dibandingkan

Fear of missing out (FoMO) dapat diartikan sebagai rasa takut akan kehilangan, namun dalam hal ini “kehilangan” yang dimaksudkan yaitu kehilangan momen orang lain melalui

Keinginan selalu terhubung dengan orang lain, intensitas mengakses media sosial yang tinggi, sulit menahan diri untuk tidak membuka media sosial di waktu

The level of social media addiction in adolescents in SMKN 1 Bulukumba showed that the number of respondents who experienced social media addiction categories was

Istilah FoMO atau Fear of Missing Out yang secara sederhana diartikan sebagai ketakutan atau kegelisahan akan ketinggalan update terbaru terutama di media sosial, sehingga jadi