• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH FEAR OF MISSING OUT TERHADAP KECENDERUNGAN ADIKSI MEDIA SOSIAL PADA GENERASI Z

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGARUH FEAR OF MISSING OUT TERHADAP KECENDERUNGAN ADIKSI MEDIA SOSIAL PADA GENERASI Z"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH FEAR OF MISSING OUT TERHADAP KECENDERUNGAN ADIKSI MEDIA SOSIAL PADA

GENERASI Z

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

OLEH:

RISMA DWIYANTI 161301113

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2020

(2)
(3)
(4)

Pengaruh Fear of Missing Out Terhadap Kecenderungan Adiksi Media Sosial pada Generasi Z

Risma Dwiyanti dan Indri Kemala Nasution

ABSTRAK

Penelitian ini menggunakan variabel independen Fear of Missing Out (FoMO) dan variabel dependen Adiksi Media Sosial dan bertujuan untuk menguji pengaruh Fear of Missing Out terhadap Adiksi Media Sosial. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan jumlah sampel sebanyak 188 orang generasi Z dengan kisaran usia 15-21 tahun. Sampel diambil dengan menggunakan metode accidental sampling. Pengumpulan data menggunakan Skala Fear of Missing Out oleh Przyblsksi dkk. (2013) dan Skala Social Media Disorders oleh Van den Eijnden dkk. (2016). Metode statistik menggunakan Analisis Regresi Linear Sederhana menggunakan SPSS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh signifikan antara Fear of Missing Out (FoMO) terhadap kecenderungan Adiksi Sosial Media pada Generasi Z.

Ditemukan R² = 0,330 dan aspek Fear of Missing Out yang paling berpengaruh adalah aspek Competence yang mempengaruhi Adiksi Media Sosial sebesar 29,6%. Hasil ini bisa digunakan peneliti selanjutnya sebagai bahan referensi bagi penelitian yang sejenis.

Kata Kunci: Fear of Missing Out, Adiksi Media Sosial, Generasi Z

(5)

The Effect of Fear of Missing Out on The Trend of Social Media Addiction in Z Generation

Risma Dwiyanti and Indri Kemala Nasution

ABSTRACT

This research implements the independent variable of Fear of Missing Out (FoMO) and the dependent variable of Social Media Addiction. The purpose of this research is to verify the influence of Fear of Missing Out (FoMO) on Social Media Addiction. This research applies a quantitative approach by collecting a sample of 188 Generation Z participants varying from 15 to 21 years old. The sample is collected using the accidental sampling method. The data collection is executed by applying Fear of Missing Out (FoMO) scale by Przyblsksi et al.

(2013) and Social Media Disorder scale by Van den Eijnden et al. (2016). The simple linear regression analysis is preferred for the statistic method in SPSS. The result shows that “Terdapat pengaruh signifikan antara Fear of Missing Out (FoMO) terhadap kecenderungan Adiksi Sosial Media pada Generasi Z”. The research shows that R2 = 0.330 and the most influenced aspect of Fear of Missing Out is the Competence aspect affecting Social Media Addiction to 29.6%. These results can act as a reference for similar research in the future.

Key Word: Fear of Missing Out, Social Media Addiction, Generation Z

(6)

KATA PENGANTAR

Bismillaahirahmaanirrahiim,

Pertama sekali saya mengucapkan syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayahnya-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Pengaruh Fear of Missing Out Terhadap Kecenderungan Adiksi Media Sosial Pada Generasi Z”. Salawat dan salam saya berikan kepada Rasul Allah, Muhammad SAW, beserta keluarga dan sahabat-sahabat beliau.

Dalam proses pembuatan skripsi ini, saya mendapat banyak sekali bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena ini saya ingin menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah ikut membantu saya dalam penyelesaian skripsi ini:

1. Bapak Zulkairnain, Ph.D, Psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi USU beserta jajarannya.

2. Ibu Indri Kemala Nasution, M.Psi, Psikolog selaku dosen pembimbing skripsi sekaligus dosen pembimbing akademik atas pengetahuan, kesabaran, dan nasihat yang diberikan kepada penulis.

3. Ibu Rahmi Putri Rangkuti, Ph.D, Psikolog dan Ibu Rahma Yurliani, M.Psi, Psikolog selaku dosen penguji skripsi atas kritik dan saran yang diberikan kepada skripsi ini.

4. Seluruh Bapak/Ibu dosen dan civitas akademika Fakultas Psikologi USU yang telah memberikan ilmu selama masa perkuliahan.

(7)

5. Keluarga penulis, Papa: Idris, dan Mama: Ainul Mardiah yang sudah berusaha tanpa kenal lelah untuk memberikan saya dukungan baik materi maupun moral dan tiada henti mendoakan yang terbaik untuk saya. Dan juga Abang: Wahyu Maulana yang memberikan banyak dukungan dan ilmu kepada saya. Terima kasi kepada kalian semua yang telah menjadi sumber motivasi terbesar.

6. Kelompok curhat penulis, Cek Pina, Bunda Senny, dan Bomang Fadli yang selalu mendengarkan curahan hati penulis, berusaha memberikan positive mood, dan membantu mengatasi segala kesulitan penulis selama beberapa tahun ini.

7. Bidadari Syurga Club, Gita, Mey, Chika, dan Maca selaku sahabat pertama di Psikologi USU, terimakasih atas tawa yang kalian berikan “tanpa henti” dari awal semester hingga saat ini.

8. Kelompok jalan-jalan, Agraris, Dina Saurus, Four Lee, Bunda Zira, dan Replita Lopelope yang memberikan segala hal yang penulis butuhkan: curhat percintaan, persahabatan, akademik, tawa, kesenangan, motivasi, bantuan akademik dan selalu mengingatkan untuk “chill”.

9. Sahabat sejak kecil, Hafidhah Haniem dan Syarifah Nazira Fattaya yang jauh di mata tetapi sangat dekat di hati.

10. Seluruh teman-teman angkatan 2016 yang tidak bisa saya sebutkan satu- persatu.

(8)

11. Kepada seluruh responden penelitian ini yang sudah meringankan tangan dan melonggarkan waktunya untuk mengisi skala penelitian ini. Semoga kebaikan kalian dibalas oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Saya menerima segala kritikan dan masukan yang akan diberikan kepada saya demi menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Akhir kata, semoga Proposal ini memberikan manfaat bagi siapapun yang membacanya, dan semoga kita semua selalu dalam lidungan Tuhan Yang Maha Esa, Aamiin.

Medan, 2 Februari 2021 Hormat Peneliti,

Risma Dwiyanti 161301113

(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Manfaat Penelitian ... 9

1.5. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Adiksi Media Sosial ... 11

2.1.1. Pengertian Adiksi Media Sosial ... 11

2.1.2. Aspek-aspek Kecanduan Media Sosial ... 12

2.1.3. Faktor Pendorong Adiksi Media Sosial ... 15

2.1.4. Media Sosial ... 18

2.2. Fear of Missing Out (FoMO) ... 19

2.2.1. Pengertian FoMO ... 19

2.2.2. Aspek-aspek Fear of Missing Out ... 20

(10)

2.3. Generasi Z ... 25

2.3.1. Pengertian Generasi Z ... 25

2.3.2. Karakteristik Generasi Z ... 26

2.3.3. Indikator Generasi Z ... 28

2.4. Dinamika Teori ... 29

2.5. Hipotesis ... 32

BAB III METODE PENELITIAN ... 33

3.1. Jenis Penelitian ... 33

3.2. Identifikasi Variabel ... 33

3.3. Definisi Operasional ... 34

3.3.1. Fear of Missing Out (FoMO) ... 34

3.3.2. Adiksi Media Sosial ... 34

3.4. Populasi dan Pengambilan Sampel ... 35

3.4.1. Populasi ... 35

3.4.2. Teknik Pengambilan Sampel ... 35

3.5. Alat Pengumpulan Data ... 36

3.5.1. Skala Fear of Missing Out (FoMO) ... 37

3.5.2. Skala Adiksi Media Sosial ... 38

3.6. Validitas dan Reliabilitas ... 39

3.6.1. Validitas ... 39

(11)

3.6.2. Daya Diskriminasi Aitem... 40

3.6.3. Reliabilitas... 40

3.7. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 41

3.7.1. Tahap Persiapan Penelitian ... 41

3.7.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 42

3.7.3. Tahap Pengolahan Data ... 42

3.8. Hasil Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 42

3.8.1. Hasil Try Out skala Fear of Missing Out ... 42

3.8.2. Hasil Try Out skala Adiksi Media Sosial ... 43

3.9. Teknik Pengolahan Data ... 43

3.9.1. Uji Normalitas ... 43

3.9.2. Uji Linearitas ... 44

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ... 45

4.1 GAMBARAN UMUM SUBJEK PENELITIAN ... 45

4.1.1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 45

4.1.2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 46

4.2. UJI ASUMSI PENELITIAN ... 46

4.2.1. Uji Normalitas ... 47

4.2.2. Uji Liniearitas ... 48

4.3. HASIL PENELITIAN ... 49

(12)

4.3.1. Pengaruh Fear of Missing Out terhadap kecenderungan Adiksi

Media Sosial ... 49

4.4. HASIL ANALISA DATA DESKRIPTIF ... 52

4.4.1. Deksripsi Gambaran Umum Skor Fear of Missing Out dan Adiksi Media Sosial ... 52

4.4.2. Kategorisasi Data Penelitian ... 53

4.5. PEMBAHASAN ... 57

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 66

5.1. KESIMPULAN ... 66

5.2. SARAN ... 67

5.2.1. Saran Metodologis ... 68

5.2.2. Saran Praktis ... 68

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kategorisasi Generasi Z ... 24

Tabel 3.1 Kisi-kisi Alat Ukur Fear of Missing Out ... 37

Tabel 3.2 Kisi-kisi Alat Ukur Adiksi Media Sosial ... 38

Tabel 3.3 Reliabilitas Alat Ukur Fear of Missing Out... 43

Tabel 3.4 Reliabilitas Alat Ukur Adiksi Media Sosial ... 43

Tabel 4.1 Gambaran subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin... 46

Tabel 4.2 Gambaran subjek penelitian berdasarkan usia ... 46

Tabel 4.3 Hasil Uji Normalitas ... 47

Tabel 4.4 Hasil Uji Linearitas ... 48

Tabel 4.5 Ringkasan hasil analisis regresi antara Fear of Missing Out dan Adiksi Media Sosial ... 49

Tabel 4.6 Analisis regresi Fear of Missing Out dan Adiksi Media Sosial... 50

Tabel 4.7 Koefisien analisis regresi antara Fear of Missing Out dan Adiksi Media Sosial ... 50

Tabel 4.8 Analisis regresi linear Competence dan Adiksi Media Sosial ... 51

Tabel 4.9 Analisis regresi linear Autonomy dan Adiksi Media Sosial ... 51

Tabel 4.10 Analisis regresi linear Relatedness dan Adiksi Media Sosial ... 51

(14)

Tabel 4.11 Deskripsi Gambaran Umum Skor Fear of Missing Out dan Adiksi

Media Sosial ... 52

Tabel 4.12 Kategorisasi Data Variabel Fear of Missing Out ... 53

Tabel 4.13 Kategorisasi Data Variabel Adiksi Media Sosial ... 54

Tabel 4.14 Jenis Kelamin dan Fear of Missing Out Crosstabulation ... 54

Tabel 4.15 Jenis Kelamin dan Adiksi Media Sosial Crosstabulation ... 55

Tabel 4.16 Usia dan Fear of Missing Out Crosstabulation ... 55

Tabel 4.17 Usia dan Adiksi Media Sosial Crosstabulation ... 58

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Teknologi kini menjadi suatu bagian yang kerap kali dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam beberapa generasi yaitu Baby Boomers, X, Y, Z, dan Alfa. Generasi Z tidak perlu lagi melakukan penyesuaian diri terhadap lonjakan teknologi karena mereka sudah terbiasa dengan perkembangan pesat teknologi dari lahir hingga sekarang (Stillman & Stillman, 2019). Teknologi tinggi yang sudah mengalir dalam darah mereka merubah pola hidupnya, manusia tidak akan mampu hidup tanpa teknologi (Ngafifi, 2014). Mereka lahir saat internet sudah mendunia, sehingga hal tersebut berpengaruh terhadap nilai-nilai, pandangan, dan tujuan hidup mereka. Ketika generasi Z melakukan aktifitas apapun menggunakan gadget, perilaku ini sering disalah artikan oleh generasi di atasnya. Generasi di atas menganggap bahwa generasi Z terlalu lalai menggunakan internet pada saat melakukan pekerjaan apapun. Namun, kenyataannya adalah mereka sedang mengakses e-mail, informasi, dan berhubungan dengan saudara jauhnya menggunakan aplikasi massanger (Rachmawati, 2019). Lingkungan generasi Z bukan hanya dunia nyata tapi juga mencakup dunia maya (Purnomo dkk., 2016). Menurut David Stillman dan Jonah Stillman (2019) dalam bukunya yang berjudul “Generasi Z: Memahami Karakter Generasi Baru yang Akan Mengubah Dunia Kerja” mengklasifikasin bahwa

(16)

Generasi Z adalah anak yang lahir pada rentang waktu dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2012. Dengan demikian, maka Generasi Z tertua saat ini berusia 25 tahun dan yang termuda berusia 8 tahun.

Meninjau dari penelitian APJII (2018), fakta bahwa sudah 64,8%

penduduk Indonesia atau sama dengan 171,17 juta jiwa yang aktif menggunakan internet. Selanjutnya, pada penetrasi pengguna internet 2018 berdasarkan usia ditemukan pengguna internet paling banyak adalah pada rentang usia 15-19 tahun dengan 91% menggunakan internet dan sisanya 9% tidak menggunakan internet.

Rentang usia tersebut jelas merupakan Generasi Z yang sekarang berkemungkinan berusia 16-22 tahun. Hasil penelitian pengguna internet berdasarkan tingkat pendidikan oleh APJII (2018) yaitu 92,1% mahasiswa menggunakan internet sedangkan sisanya 7,9% tidak menggunakan internet (APJII, 2018).

Pengaruh teknologi yang sangat kuat ini tercermin pada ketergantungan dengan gadget dan durasi konsentrasi yang singkat (Ozkan & Solmaz, 2015).

Dampak negatif dari ketergantungan gadget yang terhubung dengan internet adalah berkurangnya interaksi sosial secara langsung sehingga tatap muka berubah menjadi tatap layar, sering menunda-nunda pekerjaan, mengalami insomnia, dan memilih untuk tidak beristirahat dengan cukup (Hakim & Raj, 2017). Leung dalam (Young & Abreu, 2011) mengatakan bahwa banyak individu yang mengalami adiksi internet gagal berkomunikasi dengan baik dalam situasi tatap muka. Young & Abreu (2011) menambahkan bahwa hal ini adalah bagian dari alasan awal individu yang mengalami adiksi internet menggunakan internet.

Berkomunikasi secara online diangap lebih aman dan mudah. Keterampilan

(17)

komunikasi yang buruk dan perasaan terisolasi dapat menciptakan masalah baru dalam hidup.

Ledakan teknologi ini telah membangkitkan potensi munculnya fenomena baru yang disebut Fear of Missing Out atau yang dikenal dengan singkatan FoMO (Przybylski dkk., 2013). Menurut Przybylski dkk. (2013) FoMO adalah suatu ketakutan individu akan kehilangan momen berharga dari individu ataupun kelompok lainnya yang dilakukan melalui sosial media. Kekhawatiran yang bersifat pervasif ketika orang lain memiliki pengalaman yang berharga dan juga memuaskan dan dicirikan dengan munculnya dorongan untuk selalu terhubung dengan orang lain. Dorongan inilah yang membuat seseorang merasa tidak nyaman, cemas, dan risau jika tidak mengakses media sosial atau melihat postingan terbaru dari seseorang yang dikagumi. FoMO membuat seseorang harus mengakses media sosial untuk melihat perkembangan. Jika tidak ada jaringan internet, FoMO tidak akan tahan hanya dengan mengotak-atik gadgetnya atau hanya dengan memainkan game offline. Ketertarikan mereka pada media sosial sampai menimbulkan perilaku irasional dan berbahaya demi mengatasi FoMO- nya, misalnya tindakan terus-menerus memantau media sosial bahkan saat sedang berkendara. Saat seseorang mengalami dampak dari kecemasan sosial ini, dia akan mengalami perasaan rendah diri, penghinaan dan depresi karena takut dihakimi oleh orang lain (Akbar dkk., 2018).

Sesuai dengan pendapat Stillman & Stillman (2019) bahwa ada 7 sifat yang dimiliki oleh generasi Z, yaitu: (1) Figital; (2) Hiper-Kustomisasi; (3) Realistis; (4) Fear of Missing Out; (5) Weconomist; (6) Do It Your Self; dan (7)

(18)

Terpacu. FoMO membuat 32% Gen Z lebih memilih tiga hari tanpa mandi dari pada tiga hari tanpa ponsel. Menurut Przybylski dkk. (2013) FoMO paling tinggi dialami oleh remaja akhir dan dewasa awal, yaitu pada usia 12-25 tahun (Putri dkk., 2019). Namun, menurut Gezgin dkk. (dalam Sianipar & Kaloekti, 2019) mengatakan bahwa tingkat FoMO paling tinggi dialami pada usia 21 tahun ke bawah. Dengan demikian, FoMO paling tinggi dan paling banyak dialami oleh generasi Z. Banyaknya penelitian yang menyebutkan bahwa FoMO membuat kesehatan mental terganggu seharusnya membuat pengguna internet semakin bijak dalam menyikapi hal ini. Song dkk. (dalam Fathadhika & Afriani, 2018) mengatakan individu yang mengalami FoMO memiliki keinginan lebih untuk mengeksplor dan mengetahui segala hal yang terjadi di dalam lingkungannya.

Perilaku ini yang menjadi pendorong bagi individu untuk terus mempertahankan aktivitas di media sosial tanpa batasan waktu sehingga dapat menyebabkan kecanduan media sosial (Abel dkk., 2016).

Penelitiaan terdahulu yang dilakukan oleh Putri dan Halimah pada tahun 2019 dengan judul “Hubungan FoMO (Fear of Missing Out) dengan Adiksi Media Sosial pada Mahasiswa Pengguna Instagram di Universitas Islam Bandung”. Penelitian tersebut melihat hubungan antara FoMO dan adiksi media sosial pada usia remaja dan dewasa awal. Hasil dari penelitian tersebut adalah korelasi positif antara FoMO dan adiksi media sosial sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi FoMO seseorang maka semakin tinggi kecenderungannya untuk menjadi adiksi (Putri & Halimah, 2019). Penelitian lain yang sejenis oleh Aisyah Firdaus Hariadi pada tahun 2018 yang berjudul “Hubungan Antara Fear of

(19)

Missing Out (FoMO) dengan Kecanduan Media Sosial pada Remaja”. Penelitian ini bertunjuan untuk melihat hubungan antara Fear of Missing Out dengan kecanduan sosial media pada remaja pengguna sosial media. Berdasarkan uji product moment didapatkan bahwa ada hubungan antara Fear of Missing Out dengan kecanduan media sosial (Hariadi, 2018). Semakin tinggi skor Fear of Missing Out maka semakin tinggi skor adiksi media sosial, begitu pula sebaliknya.

Internet memudahkan kehidupan kita dengan berbagai cara dalam banyak aplikasi (Young & Abreu, 2011). Mereka memberi contoh berkomunikasi secara online dianggap pengguna internet lebih aman dan mudah daripada bertatap muka langsung atau yang disebut dengan FtF; lebih mudah untuk mencari dan mendapatkan teman; lebih mudah mencari informasi gratis; dan memudahkan teman lama dan mantan kekasih untuk saling menyapa. Namun, jika dilakukan secara berlebihan maka akan menyebabkan patologi. Hasil penelitian JWT Intelligence menunjukkan bahwa ada sebanyak 40% pengguna internet di dunia mengalami FoMO (Abel dkk., 2016).

Adiksi didefinisikan oleh Young & Abreu (2011) sebagai keharusan kebiasaan terlibat dalam kegiatan tertentu atau memanfaatkan suatu benda, meskipun memiliki konsekuensi buruk pada kesehatan fisik, sosial, spiritual, mental, dan finansial. Adiksi memunculkan ketergantungan fisik dan juga psikologis. Ketergantungan fisik berupa perilaku adaptif akibat dari usaha menghilangkan kecemasan yang ditimbulkan dari suatu ketidakhadiran. Namun, ketergantungan psikologis berupa gejala depresi, susah tidur, dan mudah

(20)

tersinggung. Adiksi akan membuat seseorang merasa terdorong untuk melakukan suatu kegiatan tertentu berulang kali sehingga menjadi perilaku yang akan mengganggu kegiatan penting lainnya seperti bekerja, makan, dan sekolah (Nimisha & Hakeem, 2011). Griffiths (dalam Hou dkk., 2019) berpendapat bahwa adiksi media sosial dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk adiksi internet, karena individu menggunakan media sosial secara berlebihan.

Dalam bukunya, Young & Abreu (2011) menunjukkan tiga penelitian adiksi internet pada mahasiswa. Yang pertama, Scherer (dalam Young & Abreu, 2011) menemukan bahwa 13 dari 531 mahasiswa yang disurvei menunjukkan tanda-tanda adiksi internet. Kedua, Mohan-Martin dan Schumacer (dalam Young

& Abreu, 2011) menemukan 14% mahasiswa Bryant Collage yang memenuhi kriteria. Dan ketiga, Yang (dalam Young & Abreu, 2011) telah menentukan 10%

mahasiswa University of Taiwan yang memenuhi kriteria. Mahasiswa lebih mudah untuk mengakses internet dan memang hal itu merupakan suatu yang dianjurkan, kemungkinan adiksi tertinggi berada di kampus-kampus. Andragogi juga mengajarkan agar mahasiswa mampu belajar secara mandiri (Danim, 2010).

Mahasiswa dituntut untuk mengikuti perkembangan jaman dan juga memiliki pengetahuan terbaru sebanyak-banyaknya, hal ini membuat para mahasiswa terbiasa berburu berita terhangat.

APJII (2018) menemukan bahwa penggunaan internet pada individu paling banyak bisa sampai melebihi 8 (delapan) jam sehari untuk mengunjungi Facebook (50,7%), selanjutnya Instagram (17,8%), Youtube (15,1%), Twitter (1,7%), dan Linkedin (0,4%). Dengan waktu sebanyak itu memungkinkan

(21)

pengakses internet menggunakan media sosial sejak bangun tidur, makan, berkendara, belajar, sampai dengan tidur kembali. Semua hal-hal penting bisa saja dilakukan bersamaan dengan akses media sosial bahkan penggunanya bisa sampai melalaikan suatu pekerjaan demi tetap up to date.

Media sosial merupakan alat yang membuat penggunanya dapat mengakses data secara online sehingga dapat dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi (Cahyono, 2016). Media sosial menyediakan semakin banyak bentuk informasi sosial dan akan terus bertambah. Media ini dapat diakses sangat mudah dan dalam waktu akurat. Di dalamnya terdapat informasi tentang kegiatan, acara, dan percakapan yang terjadi di berbagai jejaring sosial. Media sosial dikatakan sebagai komunitas virtual di mana pengguna dapat membuat profil mereka sendiri, berkomunikasi dengan teman dan keluarga, dan bertemu orang lain dengan minat bersama (Kuss & Griffiths, 2011). Kini, hampir seluruh media sosial memiliki fitur “Populer” atau “Trending” dimana pengguna layanan tersebut dapat menemukan hal-hal paling dikenal dan disukai banyak orang. Media sosial merupakan sebuah revolusi besar yang mampu mengubah perilaku manusia dimana relasi perteman serba dilakukan melalui medium (media) digital (Soeparno & Sandra, 2011). Relasi pertemanan yang memiliki banyak persamaan dan keakraban akan membentuk suatu kelompok, pembicaraan kelompok ini akan berkaitan dengan suatu kesamaan mereka dan juga trending topic dari media sosial yang paling mereka gunakan. Oleh karena itu, ketinggalan berita merupakan hal yang mereka hindari.

(22)

Berdasarkan fenomena di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Fear of Missing Out terhadap Kecenderungan Adiksi Media Sosial Pada Generasi Z”.

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah yang telah dijelaskan sebelumnya, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah “Apakah terdapat pengaruh antara Fear of Missing Out terhadap kecenderungan adiksi media sosial pada Generasi Z?”

1.3.Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh Fear of Missing Out pada kecenderungan adiksi media sosial pada Generasi Z.

(23)

1.4.Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, antara lain seperti berikut:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian yang dilakukan dapat memberikan informasi baru, wawasan dan pengetahuan yang dapat memperbanyak perkembangan ilmu psikologi, terutama mengenai Generasi Z, adiksi Media Sosial dan juga Fear of Missing Out.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan referensi bagi peneliti selanjutnya dalam melakukan penelitian yang sama

b. Penelitian ini diharapkan bisa memberikan informasi kepada masyarakat luas untuk mengakses Media Sosial dengan bijaksana, sehingga tidak akan timbul patologi berupa adiksi media sosial.

c. Penelitian ini diharapkan bisa menjadi acuan dalam meningkatkan pengetahuan mengenai variabel adiksi Media Sosial dan Fear of Missing Out.

(24)

1.5.Sistematika Penulisan

Penelitian ini disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

1. BAB I: Pendahuluan

Bab ini akan memaparkan uraian mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

2. BAB II: Tinjauan Pustaka

Bab ini berisi uraian teori-teori yang mendukung penelitian ini dalam menjelaskan masalah yang menjadi variabel penelitian, yaitu Fear of Missing Out, Adiksi Media Sosial, dan Generasi Z

3. BAB III: Metode Penelitian

Bab ini dijelaskan mengenai metode penelitian yang digunakan, responden penelitian, lokasi penelitian, prosedur pengambilan responden, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data dan prosedur penelitian.

4. BAB IV: Deskripsi Data dan Pembahasan

Bab ini berisikan mengenai gambaran dari hasil penelitian yang dilakukan.

5. BAB V: Kesimpulan

Bab ini akan menjelaskan kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian. Bab ini juga berisikan diskusi hal yang terkait dengan hasil dari pelitian dan saran, saran praktis maupun saran untuk penelitian lanjutan.

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Adiksi Media Sosial

2.1.1. Pengertian Adiksi Media Sosial

Adiksi adalah suatu kondisi kronis yang bersifat medis dan psikologi yang ditandai oleh penggunaan berlebihan/kompulsif terhadap suatu zat yan apabila digunakan terus-menerus dapat memberikan dampak negatif kepada yang mengalami, seperti hilangnya hubungan baik dengan keluarga maupun teman dekat hingga kehilangan pekerjaan (Thakkar, 2006).

Young & Abreu (2011) berpendapat bahwa kecanduan internet merupakan sebuah sindrom yang ditandai dengan menghabiskan sejumlah waktu yang sangat banyak dalam menggunakan internet dan tidak mampu mengontrol penggunaannya. Kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh internet secara tidak langsung menyebabkan individu memiliki tingkat kecanduan terhadap internet yang tinggi dan cenderung menunjukkan gejala kecanduan atau adiksi. Young & Abreu (2011) membagi pengguna internet menjadi dua kelompok, yaitu:

(26)

a. Non Dependent (pengguna internet secara normal)

Non Dependent menggunakan internet sebagai sarana untuk memperoleh informasi dan menjaga hubungan yang sudah terbentuk melalui komunikasi elektronik. Mereka biasa menggunakan internet antara 4 hingga 5 jam per minggu.

b. Dependent (pengguna internet yang adiktif)

Dependent menggunakan internet yang berupa komunikasi dua arah untuk bertemu, bersosialisasi dan bertukar ide dengan orang- orang yang baru dikenal melalui internet. Mereka menggunakan internet antara 20 hingga 80 jam per minggu.

Van den Eijnden dkk. (2016) memberikan definisi adiksi media sosial. Menurut mereka, disebut adiksi media sosial ketika pengguna media sosial telah berlebihan dan kompulsif dalam penggunaannya yang mengakibatkan masalah sosial dan emosional. Meskipun pengguna merasakan masalah tersebut, pengguna tidak dapat mengontrol dan membatasi dirinya sendiri.

2.1.2. Aspek-aspek Kecanduan Media Sosial

Sebelum menilai seseorang sebagai pecandu adiksi, kita harus mengetahui 9 aspek adiksi medial sosial menurut Van den Eijnden dkk.

(2016), yaitu:

(27)

a. Preoccupation

Aspek preoccupation ketika pengguna menganggap bahwa mengakses media sosial merupakan kegiatan yang paling penting dalam kehidupan seseorang dan mendominasi pikiran, perasaan, serta perilakunya.

b. Tolerance

Aspek tolerance berkaitan dengan proses. Ketika pengguna lebih sering menggunakan media sosial sehingga menambah jumlah waktu penggunaan media sosial secara bertahap. Pengguna akan merasa kesulitan menghentikan aktivitas mengakses media sosial dan bahkan menambah waktu penggunaan untuk mengakses media sosial.

c. Withdrawal

Aspek withdrawal berkaitan dengan adanya emosi tidak menyenangkan dan/atau berpengaruh secara fisik, terjadi ketika tiba-tiba terjadi pengurangan intesitas atau menghentikan menggunakan media sosial. Hal ini menyebabkan pengguna media sosial akan semakin kesulitan dalam menarik dirinya dari kelalaian mengakses media sosial yang dianggap berlebihan

d. Persistence

Aspek persistence adalah ketika pengguna tidak berhasil atau gagal untuk mengontrol atau mengurangi partisipasi dalam penggunaan media sosial.

(28)

e. Displacement

Aspek displacement mengacu kepada hilangnya minat dalam hubungan dan kegiatan di kehidupan nyata, hobi-hobi terdahulu, dan hiburan lainnya selain mengakses sosial media.

f. Problem

Aspek problem adalah ketika masalah yang disebabkan oleh akses media sosial terjadi secara berlebihan. Masalah terkait dengan lingkungan media sosial maupun dalam diri individu, seperti konflik intrapsikis dan perasaan subjektif dari hilangnya kontrol. Masalah-masalah yang dihadapi pecandu media sosial dapat bersifat sosial maupun fisik, penggunaan media sosial yang candu akan mengganggu tidur dan kebutuhan lainnya, sehingga hal tersebut dapat mengganggu kerja biologis tubuh yang membutuhkan istirahat.

g. Deceptions

Aspek deceptions muncul ketika adanya perilaku berbohong yang dilakukan oleh pengguna media sosial kepada anggota keluarga, teman, kerabat, dan orang lain terkait dengan jumlah lamanya mengakses media sosial.

h. Escape

Aspek escape terjadi ketika muncul perasaan santai yang terkait dengan pelarian dari permasalahan dan stres, pengguna akan menjadikan pengalaman subjektif akibat mengakses medial sosial.

(29)

Pengguna juga akan merasakan perubahan mood yang meningkat dan membaik ketika ia mulai mengakses media sosial. Pengguna yang berlebihan juga akan mengalami masalah dalam kegiatan lainnya seperti pekerjaan, pendidikan, dan sosial.

i. Conflict

Aspek conflict mengacu kepada semua konflik interpersonal dihasilkan dari mengakses media sosial yang berlebihan. Konflik terjadi antara pengguna dan juga orang-orang di sekitarnya. Pengguna yang candu akan mengalami konflik mencakup argument, pengabaian, dan juga kebohongan.

2.1.3. Faktor Pendorong Adiksi Media Sosial

Montag & Rauter (2015) mengutarakan bahwa ada tiga (3) faktor yang dapat mendorong terjadinya adiksi internet, yaitu:

a. Faktor Sosial

Individu yang mengalami kesulitan dalam melakukan komunikasi interpersonal menyebabkan awal terjadinya penggunaan internet secara berlebihan. Hal ini menjadi alasan individu lebih memilih untuk berkomunikasi menggunakan internet dibandingkan dengan berhadapan langsung. Individu yang mengalami adiksi internet menganggap berkomunikasi menggunakan internet lebih aman dan mudah.

(30)

b. Faktor Psikologis

Individu yang megalami masalah psikologis seperti depresi, kecemasan, loneliness, OCD, dan penyalahan obat-obatan terlarang juga menjadi penyebab terjadinya adiksi internet. Individu menganggap internet bisa menjadi tempat untuk melarikan diri dari permasalahan di dunia nyata dan mampu memberikan perasaan euforia bagi individu yang mengalami adiksi internet.

c. Faktor Biologis

Individu yang mengalami adiksi internet memiliki aktifitas pemindaian otak yang lebih rendah daripada individu yang tidak adiksi internet. Individu yang mengalami adiksi media sosial harus berusaha lebih keras untuk melakukan kerja kognitifnya dalam menyelesaikan tugas, menunjukkan efisiensi yang lebih rendah dalam melakukan proses informasi, dan kontrol impuls yang lebih rendah daripada individu yang tidak adiksi internet (Montag &

Reuter, 2015).

Agusta (2016) mengatakan ada empat (4) faktor penyebab adiksi smartphone, yaitu:

a. Faktor Internal

Faktor ini terdiri dari faktor-faktor yang menggambarkan karakteristik individu, yaitu:

(31)

i. Tingkat sensation seeking yang tinggi

Sensation seeking (pencarian sensasi) adalah sifat yang didefinisikan sebagai kebutuhan yang beragam, baru dan sensasi-sensai yang kompleks serta keinginan untuk mengambil resiko secara fisik maupun secara sosial.

ii. Self-esteem yang rendah

Self-esteem adalah evaluasi diri terhadap kualitas atau keberhargaan diri sebagai manusia. Self esteem adalah evaluasi diri individu terhadap kualitas atau keberhargaan diri sebagai manusia.

iii. Kepribadian ekstraversi yang tinggi iv. Kontrol diri yang rendah

Kontrol diri merupakan kemampuan individu untuk menyusun, membimbing, mengatur, dan mengambarkan langkah-langkah dan tindakannya untuk mencapai suatu yang diinginkan.

b. Faktor Situasional

Faktor situasional terdiri dari faktor-faktor penyebab yang mengarah pada penggunaan smartphone sebagai sarana yang membuat individu merasa nyaman ketika individu berada pada situasi yang tidak nyaman. Ketika mengalami rasa tidak nyaman dan gangguan, individu akan cepat bertindak menggunakan smartphone untuk mengalihkan perhatiannya.

(32)

c. Faktor Sosial

Faktor sosial terdiri dari faktor-faktor penyebab adiksi smartphone sebagai sarana interaksi dan menjaga kontak dengan orang lain. Individu akan selalu menggunakan smartphone untuk berinteraksi dan cenderung malas untuk berkomunikasi secara langsung.

d. Faktor Eksternal

Faktor eksternal terdiri atas faktor-faktor yang berasal dari luar individu. Faktor ini terkait dengan tingginya paparan mendia tentang smartphone dan fitur-fiturnya. Faktor eksternal membahas bagaimana pengaruh media dalam mempengaruhi individu untuk memenuhi kebutuhan untuk menggunakan smartphone (Agusta, 2016).

2.1.4. Media Sosial

Kotler dan Keller (2009) berpendapat bahwa media sosial adalah media yang digunakan oleh konsumen untuk berbagi teks, gambar, suara, dan video yang berisikan informasi kepada orang lain. Cahyono (2016) mengatakan media sosial adalah sebuah media online, dengan para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa media sosial adalah suatu sarana virtual yang digunakan untuk menyampaikan suatu informasi kepada pihak lain. Kehadiran media sosial dalam kehidupan kita menjadi

(33)

tidak terhindarkan. Berkomunikasi melalui media sosial menjadi salah satu metode komunikasi elektronik yang paling populer. Media sosial yang akan dipakai pada penelitian kali ini adalah media sosial yang paling banyak digunakan oleh warga Indonesia dalan survey APJII (2018), yaitu:

Facebook, Instagram, Youtube, Twitter, dan Linkedin.

2.2.Fear of Missing Out (FoMO)

2.2.1. Pengertian FoMO

FoMO adalah suatu ketakutan individu akan kehilangan momen berharga dari individu ataupun kelompok lainnya yang dilakukan melalui sosial media. Hal inilah yang membuat seseorang merasa tidak nyaman, cemas, dan risau jika tidak mengakses media sosial atau melihat postingan terbaru dari orang lain. FoMO membuat seseorang harus mengakses media sosial untuk melihat perkembangan di dunia maya (Przybylski dkk., 2013).

Przybylski dkk. (2013) mendefinisikan Fear of Missing Out (FoMO) adalah suatu ketakutan akan kehilangan momen berharga individu atau kelompok lain di mana individu tersebut tidak dapat hadir di dalamnya dan ditandai dengan keinginan untuk tetap terus terhubung dengan apa yang orang lain lakukan melalui internet atau dunia maya.

Media sosial memberikan jalan kepada individu untuk membiarkan individu lain mengetahui perilaku-perilaku yang terjadi di hidupnya sebagai bentuk penghargaan diri individu dan ketika individu lain melihat

(34)

persepsi yang dimunculkan. Mereka juga memberikan fakta bahwa penderita FoMO tertinggi dialami oleh remaja dan dewasa awal (early adulthood).

Berdasarkan uraian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa FoMO adalah suatu kecemasan yang timbul karena ketakutan akan kelewatan atau kehilangan momen berharga. Mereka cemas jika tidak hadir dalam suatu momen dan tidak mengetahui momen atau kejadian terbaru.

2.2.2. Aspek-aspek Fear of Missing Out

Dalam penelitian Przyblylski dkk. (2013), menurut teori Self- determination, self-regulation dan kesehatan psikologis yang efektif didasarkan pada kepuasan dari tiga kebutuhan psikologis dasar, yaitu:

a. Competence

Kapasitas untuk bertindak secara efektif di dunia. Menurut Revee & Sickenius (dalam Hariadi, 2018), competence juga dapat diartikan sebagai keinginan individu untuk merasa efektif dalam berinteraksi dengan lingkungannya untuk melatih kemampuan dan mencari tantangan secara optimal. rendahnya competence akan memungkinkan individu merasa frustasi dan keputusasaan.

(35)

b. Autonomy

Inisiatif pribadi atau kapasitasnya untuk mengambil sebuah keputusan. Menurut Niemic dkk. (dalam Hariadi, 2018), autonomy juga dapat didefinisikan sebagai pengalaman merasakan adanya pilihan, dukungan dan kemauan yang berkaitan dengan memulai, memelihara dan mengakhiri keterlibatan perilaku.

c. Relatedness

Kedekatan atau hubungan individu dengan orang lain. Biasa disebut dengan hubungan interpersonal. Apabila relatedness tidak terpenuhi maka akan menyebabkan perasaan cemas pada individu serta membuat individu mencari tahu pengalaman apa yang dimiliki oleh orang lain, salah satu caranya adalah dengan mengamati orang lain melalui sosial media (Przybylski dkk., 2013)

Temuan Przyblylski dkk. (2013) menunjukkan mereka yang memiliki tingkat kepuasan yang rendah akan kebutuhan mendasar (Competence, Autonomy, dan Relatedness) cenderung memiliki FoMO yang tinggi, sama halnya dengan mereka yang memiliki tingkat suasana hati dan kepuasan hidup yang lebih rendah. FoMO dikaitkan dengan tingkat keterlibatan bermedia sosial, yang mungkin merugikan hasil belajar dan keselamatan pengemudi.

(36)

2.2.3. Faktor Pendorong Fear of MissingOut

FoMO memiliki arti yang berbeda untuk setiap orang.

Meskipun hanya 7% dari responden survei yang pernah mendengar istilah tersebut, banyak yang menunjukkan tanda-tanda yang jelas dari FoMO (JWT Intelligence, 2011). Dalam penelitian JWT Intelligence (2011) terdapat enam faktor yang mendorong Fear of Missing Out :

a. Keterbukaan informasi dalam waktu nyata (real time)

Media sosial sangat cocok bagi orang-orang yang suka untuk menunjukkan dan menceritakan semua yang sedang terjadi.

Transparansi radikal waktu nyata menumbuhkan budaya yang meluas dan mengubah persepsi tentang "pribadi" dan "terkini", menggerakkan kehidupan modern ke "terbuka" dan "sekarang".

b. Digital native

Temuan survei menunjukkan bahwa FoMO paling terlihat di antara Milenial (responden berusia 13-33 tahun), karena mereka telah menggunakan alat pemicu FoMO sejak usia muda. Mereka ada di situs seperti Facebook lebih awal dari generasi lain, dan media sosial sudah masuk ke dalam kehidupan "nyata" mereka.

Meskipun FOMO mungkin paling relevan bagi generasi muda, ada kemungkinan FOMO terus berkembang hingga kelompok yang lebih tua karena mereka terus mengadopsi alat sosial.

(37)

c. Social one-upmanship

Dalam menyiarkan perilaku secara online, orang-orang secara sadar atau tidak sadar terlibat dalam peningkatan sosial untuk tetap terlihat canggih dan tidak mau ketinggalan dari orang lain. Lebih dari tiga perempat responden mengatakan mereka merasa orang menggunakan media sosial untuk membual tentang kehidupan mereka, sebuah sentimen yang terutama berlaku di kalangan generasi muda, pada saat yang sama, orang-orang terus memantau teman mereka, menyiapkan diri untuk FoMO.

d. Topik yang disebar melalui hastag

Orang-orang di seluruh dunia membuat jejaring sosial mereka sadar di mana mereka berada dan apa yang mereka lakukan. Acara penting dan berita besar telah menimbulkan banyak tagar, dengan beberapa orang membual tentang keberadaannya dan mereka yang tidak hadir mengungkapkan ada FoMO di dalam diri mereka.

e. Kondisi deprivasi relatif

Ini merupakan istilah sosiologis yang mengacu pada ketidakpuasan yang dirasakan orang ketika mereka membandingkan posisi mereka dengan orang lain dan memahami bahwa mereka berada di bawah. Media sosial membawa kita lebih dekat dengan orang lain tapi tidak secara nyata. Tweet yang paling mungkin meningkatkan FOMO berasal dari teman sebaya yang

(38)

menimbulkan perasaan kekurangan ketika mereka mulai membandingkan diri mereka sendiri yang menimbulkan perasaan iri. Dua pertiga responden mengatakan pentingnya profil media sosial untuk menyampaikan citra tertentu tentang mereka.

f. Stimulus untuk mencari suatu informasi

Terlalu banyak hal untuk dilakukan, dibaca, dibeli, itonton, dan lainnya. Responden mengatakan hampir tidak mungkin untuk tidak melewatkan sesuatu. Sekitar 60% dari responden survei kami mengatakan bahwa mereka tidak pernah memiliki cukup waktu atau energi untuk mempelajari topik atau upaya dan seringkali hanya untuk menelusuri permukaan minat baru. Orang-orang mengatakan bahwa mereka kewalahan dengan jumlah informasi yang perlu mereka cerna untuk tetap mengikuti perkembangan.

(39)

2.3.Generasi Z

2.3.1. Pengertian Generasi Z

Menurut buku Generasi Z yang ditulis oleh Stillman & Stillman (2019), klasifikasi generasi dibagi menjadi sebagai berikut:

Tabel 2.1. Kategorisasi Generasi Z

GENERASI TAHUN LAHIR

Tranditionalist Sebelum 1946

Baby Boomer 1946-1964

X 1965-1979

Y 1980-1994

Z 1995-2012

Generasi Z menurut Stillman & Stillman (2019) adalah orang- orang yang lahir pada sekitaran tahun 1995-2012. Generasi Z tidak perlu lagi melakukan penyesuaian diri terhadap lonjakan teknologi karena mereka sudah terbiasa dengan perkembangan pesat teknologi dari lahir hingga sekarang. Generasi Z tidak butuh waktu lama untuk mengenal suatu teknologi, mereka sudah terbiasa mengeksplorasi teknologi. Ketika mereka membutuhkan sesuatu, mereka tahu harus menekan tombol apa.

Apapun yang mereka lakukan tidak hanya pada dunia nyata tapi juga terjadi pada dunia maya. perbedaan yang signifikan dalam karakteristik antara generasi Z dengan generasi lainnya, salah satu faktor utama yang membedakan adalah penguasaan informasi dan teknologi (Putra, 2016).

(40)

2.3.2. Karakteristik Generasi Z

Menurut Stillman & Stillman (2019), generasi Z memiliki 7 karakteristik, yaitu:

a. Phiygital: gabungan fisik dan digital

Keakraban dengan teknologi membuat mereka tidak lagi memisahkan antara fisik dan juga teknologi, teknologi adalah diri mereka sendiri. Mereka tidak takut tersesat karena mampu menggunakan GPS. Ketika menulis surat mereka tidak akan menggunakannya dengan pena melainkan dengan keyboard.

b. Hiper-kustomisasi

Banyaknya informasi yang mereka dapatkan membuat mereka meakses apapun mulai dari lagu terpopuler, film, poster, dan sebagainya. Perilaku konsumtif ini membuat mereka memiliki identitas unik. Mereka sangat suka terlihat berbeda, tidak suka dengan hal-hal yang sudah biasa dan membosankan.

c. Realistis

Generasi Z cenderung bersikap pragmatis, mereka akan mengambil keputusan yang dinilai dengan rasionalitas kepentingan mereka sendiri. Akibat akses yang mudah membuat mereka mengetahui kondisi globalisasi dunia saat ini sehingga mereka memikirkan karir sedini mungkin.

(41)

d. FoMO

Perubahan dan peningkatan teknologi yang sangat cepat membuat generasi Z selalu ingin mengejar berbagai macam informasi terkini, mereka khawatir akan ketinggalan isu dan tidak mampu membahasnya bersama teman-teman. Mengikuti trend adalah salah satu cara generasi Z untuk tetap terlihat up-to-date.

e. Weconomist

Generasi Z selalu ingin memanfaatkan sumber daya bersama tanpa harus melakukan investasi yang besar. Mereka ingin terlibat dalam tindakan kepedulian pada lingkungan. Mereka juga menggunakan sumber daya manusia yang ada secara maksimal.

f. Do It Yourself

Do it yourself atau yang biasa disingkat dengan DIY adalah bentuk dari tutorial untuk menciptakan suatu karya. DIY bisa dilihat diberbagai macam sosial media, mereka sangat percaya diri mampu melakukan berbagai macam pekerjaan seperti memasak, membuat aksesoris dan mebel dengan hanya menonton. Konsep DIY sangat sederhana sehingga memiliki kesan mudah diikuti.

g. Kompetitif

Pengalaman generasi Z yang tumbuh saat orangtua mengalami krisis ekonomi membuat mereka menjadi lebih kompetitif dibandingankan dengan generasi sebelumnya. Mereka tidak takut kalah karena yakin bahwa kalah dan tetap berjuang. Melihat kegigihan

(42)

orang-orang yang dia kagumi melalui biografi membuat generasi Z semakin terpacu dan tidak mau kalah.

2.3.3. Indikator Generasi Z

Elizabeth T. Santosa (2015) menyebutkan bahwa individu yang termasuk dalam Generasi Z ada 6 indikator, yaitu:

a. Memiliki ambisi yang besar untuk sukses. Mereka cenderung optimis dan positif.

b. Praktis dan instan. Mereka menyukai pemecahan masalah yang praktis karena sudah terbiasa dengan hal-hal yang instan tanpa harus menunggu lama.

c. Mencintai kebebasan dan memiliki percaya diri tinggi. Mereka sangat percaya diri dan juga tidak menyukai pendidikan berbasi hafalan, mereka menyukai eskplorasi dan bebas berekspresi.

d. Menyukai hal-hal detail. Mereka kritis dalam berpikir dan detail dalam mengolah suatu informasi karena banyaknya informasi hoaks yang harus mereka hindari.

e. Sangat butuh pengakuan. Mereka menganggap diri mereka unik sehingga harus mendapat lebih banyak pengakuan. Mereka sangat menyukai reward saat berhasil melakukan suatu hal.

f. Informasi digital. Mereka sangat mahir menggunakan segala macam gadget karena sudah biasa hidup di era digial. Mereka lebih memilih

(43)

untuk berkomunikasi melalui dunia maya daripada menghabiskan waktu menjumpai orang lain (Santosa, 2015).

2.4. Dinamika Teori

Kemunculan internet membuat nilai, pandangan hidup dan tujuan hidup seseorang menjadi berbeda. Kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh internet menyebabkan individu menunjukkan gejala adiksi terhadap internet (Young & Abreu, 2011). Menurut Van den Eijnden dkk. (2016) adiksi media sosial adalah salah satu bagian dari adiksi internet. Adiksi media sosial bahkan membuat seseorang individu kehilangan ketertarikannya dengan hobi- hobinya terdahulu. Van den Eijnden dkk. (2016) juga menyatakan adiksi media sosial adalah ketika pengguna media sosial berlebihan dan kompulsif dalam penggunaan sosial media yang mengakibatkan masalah sosial dan emosional. Individu yang mengalami adiksi sosial media menganggap berkomunikasi menggunakan sosial media lebih aman dan mudah (Montag &

Rauter, 2015).

Salah satu faktor pendorong terjadinya adiksi media sosial menurut Montag & Rauter (2015) adalah faktor sosial. Individu yang kesulitan berkomunikasi menjadi penyebab awal terjadinya penggunaan internet secara berlebihan. Komunikasi menggunakan internet dianggap lebih mudah dan aman sehingga individu lebih memilih untuk menggunakan media sosial, hal ini megakibatkan penggunaan berlebihan pada media sosial. Selain itu, faktor

(44)

psikologi juga menjadi faktor pendorong terjadinya adiksi media sosial.

Montag & Rauter (2015) menjelaskan bahwa individu yang mengalami masalah psikologis seperti depresi, kecemasan, loneliness, OCD, dan penyalahangunaan obat-obatan menganggap internet bisa menjadi tempat untuk melarikan diri dari permasalahan di dunia nyata. Salah satu bentuk dari kecemasan adalah Fear of Missing Out (FoMO).

FoMO menyebabkan individu merasa tidak nyaman, cemas, dan risau jika tidak mengakses media sosial atau melihat postingan terbaru dari orang lain (Przybylski dkk., 2013). FoMO merupakan salah satu dampak dari kecemasan sosial, individu yang mengalaminya akan merasa rendah diri, penghinaan, dan depresi karena takut dihakimi oleh orang lain (Akbar dkk., 2018). Individu dengan FoMO tidak mengetahui secara spesifik mengenai apa yang hilang, melainkan rasa kehilangan akan muncul ketika orang lain memiliki momen yang berharga (JWT Intelligence, 2011).

Aspek competence pada FoMO adalah suatu keinginan individu untuk merasa efektif dalam berinteraksi dengan lingkungannya untuk melatih kemampuan dan mencari tantangan yang optimal (Przybylski dkk., 2013). Jika competence tidak terpenuhi maka kemungkinan displacement terjadi, yaitu ketika individu kehilangan minat dalam hubungan dan kegiatan di kehidupan nyata, hobi-hobi terdahulu, dan hiburan lainnya selain mengakses sosial media. Individu menganggap bahwa mengakses media sosial merupakan kegiatan yang paling penting dalam kehidupannya dan mendominasi pikiran, perasaan, serta perilakunya (Van den Eijnden dkk., 2016).

(45)

Aspek autonomy pada FoMO adalah inisiatif individu atau kapasitasnya untuk mengambil sebuah keputusan (Przybylski dkk., 2013).

Autonomy juga dapat diartikan sebagai pengalaman merasakan adanya pilihan, dukungan, dan kemauan yang berkaitan dengan memulai, memelihara, dan mengakhiri keterlibatan tertentu (Akbar dkk., 2018). Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa autonomy membuat individu ingin menjadi sumber dari perilakunya tanpa kontrol dari orang lain. Autonomy berkaitan dengan individu yang memiliki adiksi media sosial. Menurut Van den Eijnden dkk.

(2016) individu yang mengalaminya akan menganggap bahwa mengakses media sosial merupakan kegiatan yang paling penting dalam kehidupannya dan mendominasi pikiran, perasaan, serta perilakunya sehingga individu akan individu akan terus berada pada media sosial karena keinginannya yang kuat.

Relatedness adalah kebutuhan individu untuk berhubungan dengan orang lain, apabila seorang individu tidak dapat memenuhi kebutuhan psikologis akan relatedness maka akan menyebabkan individu merasakan cemas dan mencoba mencari tahu pengalaman dan apa yang dilakukan oleh orang lain, salah satunya adalah dengan menggunakan media sosial (Przybylski dkk., 2013). Ketika individu terus menghabiskan banyak waktu dalam menggunakan internet dan tidak mampu mengontrol penggunaannya, maka terjadilah adiksi internet (Young & Abreu, 2011). Van den Eijnden dkk.

(2016) menambahkan bahwa individu yang memiliki adiksi media sosial akan merasa kesulitan menghentikan aktivitas mengakses media sosial dan bahkan menambah waktu penggunaan untuk mengakses media sosial.

(46)

Media sosial yang terus meningkatkan dan memperbarui fitur-fitur di dalamnya telah membuat individu meluangkan lebih banyak waktu untuk menggunakannya. APJII (2018) menunjukkan bahwa pengguna internet di Indonesia mencapai 171,17 juta jiwa (64,8%). Mengacu pada penetrasi pengguna internet berdasarkan usia ditemukan bahwa pengguna internet paling banyak adalah pada rentang usia 15-19 tahun dengan 91%

menggunakan internet. Selanjutnya diikuti pengguna internet pada rentang usia 20-24 tahun dengan 88,5% menggunakan internet. Rentang usia ini merupakan Generasi Z, Stillman & Stillman (2019) menyebutkan bahwa FoMO merupakan salah satu karakteristik Generasi Z.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan setiap aspek Fear of Missiong Out dapat mempengaruhi kecenderungan adiksi media sosial pada generasi Z. Aspek FoMO yang tidak terpenuhi mempengaruhi individu untuk terus menggunakan sosial media sebagai pemenuhan kebutuhannya. Generasi Z merupakan generasi yang paling akrab dengan teknologi sehingga paling mungkin mengalami FoMO dan adiksi media sosial. Penelitian ini berfokus untuk melihat adanya pengaruh Fear of Missing Out (FoMO) terhadap kecenderungan adiksi media sosial pada Generasi Z.

2.5. Hipotesis

Berasarkan uraian teori di atas, hipotesis yang diajukan adalah ada pengaruh Fear of Missing Out (FoMO) dengan kecenderungan adiksi media sosial.

(47)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1.Jenis Penelitian

Penelitian ini mengunakan jenis penelitian kuantitatif karena kualitas yang ada akan diskor dalam angka dan pengumpulan serta analisisnya menggunakan sistem statistika. Penelitian kuantitatif berusaha memahami bahwa suatu fenomena adalah sebuah keteraturan yang dapat digeneralisasi dalam aturan umum yang berlaku untuk wilayah populasi yang diambil. Penelitian kuantitatif bersifat lebih objektif sehingga memungkinkan kebenaran selalu terbuka untuk diuji. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif korelasional bivarat, yaitu penelitian yang melibatkan hubungan satu variabel bebas dan satu variable terikat.

Hubungan ini terjadi di dalam suatu populasi (Purwanto, 2007).

3.2.Identifikasi Variabel

Variabel adalah gejala yang dipersoalkan. Variabel bersifat membedakan sehingga variabel harus mempunyai nilai yang bervariasi (Purwanto, 2007).

Dalam penelitian ini terdapat variabel bebas dan variabel terikat, yaitu:

- Variable bebas: Fear of Missing Out (FoMO) - Variable terikat: Adiksi Media Sosial

(48)

3.3.Definisi Operasional

Variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah Fear of Missing Out dan Adiksi Media Sosial.

3.3.1. Fear of Missing Out (FoMO)

Fear of Missing Out adalah suatu perasaan individu berupa ketakutan, tidak nyaman, cemas, dan risau akan kehilangan momen berharga di sosial media dari individu ataupun kelompok lainnya. FoMO akan diukur dengan menggunakan skala yang telah dibuat oleh Przyblylski dkk. (2013) yang akan diterjemahkan. Adapun dimensi yang telah dikemukakan, yaitu, Competence, Autonomy, dan Relatedness. Mereka yang memiliki tingkat FoMO yang tinggi maka skor skala FoMO juga tinggi, dan begitu juga sebaliknya, jika tingkat FoMO rendah maka skala FoMO akan menunjukkan skor yang rendah.

3.3.2. Adiksi Media Sosial

Adiksi media sosial merupakan perilaku menggunakan media sosial secara berlebihan, menghabiskan banyak waktu, mengakibatkan masalah sosial, emosional, dan gagal mengontrol diri. Adiksi media sosial ini akan diukur menggunakan skala yang telah dibuat oleh Van den Eijnden dkk. (2016). Adapun aspek-aspek yang telah mereka kemukakan, yaitu, Preoccupation, Tolerance, Withdrawal. Persistence, Displacement, Problem, Deceptions, Escape, Conflict. Semakin tinggi skor pada skala maka semakin tinggi adiksi media sosial seseorang, sebaliknya jika skor

(49)

pada skala rendah maka adiksi media sosial seseorang dikatakan rendah/tidak adiksi.

3.4.Populasi dan Pengambilan Sampel

3.4.1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan atau wilayah generalisasi objek yang mempunyai suatu karakteristik yang sama (Purwanto, 2007). Dalam penelitian ini, populasi adalah wanita/pria yang berusia 15-21 tahun, mempunyai setidaknya salah satu atau lebih akun media sosial yaitu Facebook, Instagram, Youtube, Twitter, Linkedin, TikTok.

3.4.2. Teknik Pengambilan Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menngunakan non probability sampling yaitu accidental sampling yaitu ketika peneliti bisa menggunakan seseorang yang tidak sengaja dijumpainya sebagai subjek. Jumlah sampel di dapat dengan menggunakan rumus Wibisono sebagai berikut:

N = ( (𝑍𝑎

2) σ

e )

2

(50)

Keterangan:

N = jumlah sampel minimal yang diperlukan

Za/2 = nilai dari tabel distribusi normal atas tingkat keyakinan 95% = 1.96 σ = Standar deviasi 25%

e = Error (batas kesalahan 5%

Perhitungan di atas mendapatkan hasil 96.4. karena batas kesalahan dalam penelitian ini sebesar 5% maka tingkat akurasi menjadi 95%.

Dengan demikian, diperoleh jumlah 100 subjek untuk jumlah minimum sampel yang digunakan.

3.5.Alat Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan skala dalam bentuk link google form. Skala yang digunakan adalah skala yang sudah dibentuk oleh masing-masing grand theory yaitu skala FoMO oleh Przyblylski, Murayama, DeHaan dan Gladwell dan skala Adiksi Media Sosial oleh Van den Eijnden dkk. (2016). Skala Fear of Missiong Out mengunakan skala yang telah diterjemahkan oleh Fathadhika &

Afriani (2018) dan Skala Social Media Disorder diterjemahkan menggunakan teknik forward translation pada setiap butir pertanyaan. Setelahnya akan dilakukan try out, dan akhirnya disebarkan kepada partisipan. Adapun penyajian kepada responden dalam skala likert.

(51)

3.5.1. Skala Fear of Missing Out (FoMO)

Skala FoMO akan menggunakan skala likert berupa: Tidak Menggambarkan Saya, Sedikit Menggambarkan Saya, Agak Menggambarkan Saya, Menggambarkan Saya, dan Sangat Menggambarkan Saya. Bobot skor untuk setiap pernyataan memiliki skor 5 (sangat menggambarkan saya), 4 (menggambarkan saya), 3 (agak menggambarkan saya), 2 (sedikit menggambarkan saya), dan skor 1 (tidak menggambarkan saya).

Tabel 3.1. Kisi-Kisi Alat Ukur Fear of Missing Out

Skala ini merupakan Fear of Missing Out Scale yang dibuat oleh Przyblylski dkk. (2013). Mereka menciptakan alat ini untuk membuat fenomena FoMO lebih berbasis empiris dan bermakna secara teoritis. Oleh karena itu, mereka merancang dan melakukan tiga studi. Studi pertama untuk membuat ukuran perbedaan individu yang kuat dari FoMO. Studi kedua untuk menyelidiki variabilitas demografis pada FoMO dan untuk mengevaluasi FoMO sebagai faktor yang menjadi media penghubung perbedaan individu yang diidentifikasikan dalam motivasi masa lalu dan dengan perilaku media sosial. Studi ketiga untuk melihat kaitan FoMO

No. Dimensi Aitem

Jumlah Favorable Unfavorable

1. Competence 1,2,3,4,5,6 - 6

2. Autonomy 7,8 - 2

3. Relatedness 9,10 - 2

Total 10

(52)

dengan emosi dan perilaku dan melihat bagaimana perasaan “ketakutan ketinggalan hal apapun mengenai sosial media” yang mereka alami dan melihat seberapa besar peran media sosial untuk memunculkan FoMO.

3.5.2. Skala Adiksi Media Sosial

Adapun skala likert yang digunakan adalah: Sangat Jarang (SJ), Jarang (J), Netral (N), Sering (S), dan Sangat Sering (SS). Bobot skor untuk setiap pernyataan yang bersifat favorable yang memiliki skor 5 (sangat sering), 4 (sering), 3 (netral), 2 (jarang), dan skor 1 (sangat jarang).

Tabel 3.2. Kisi-kisi Alat Ukur Adiksi Media Sosial

No Dimensi Aitem

Jumlah Favorable Unfavorable

1 Preoccupation 1,16,15 - 3

2 Tolerance 17,24,2 - 3

3 Withdrawal 3,18,14 - 3

4 Persistence 19,25,4 - 3

5 Displacement 5,20,13 - 3

6 Problem 21,26,6 - 3

7 Deceptions 7,22,12 - 3

8 Escape 10,27,8 - 3

9 Conflict 9,23,11 - 3

Total - 27

Skala yang akan digunkaan adalah Social Media Disorder Scale milik Van den Eijnden dkk. (2016). Mereka membuat skala ini karena melihat adanya bukti empiris yang menunjukkan bahwa penggunaan media sosial secara kompulsif merupakan masalah kesehatan mental yang berkembang. Tidak adanya definisi yang jelas dan ukuran untuk

(53)

kecanduan media sosial menghambat penelitian tentang perilaku ini. Oleh karena itu, Van den Eijnden dkk. (2016) melakukan penelitian untuk menguji reliabilitas dan validitas Skala Social Media Disorder (SMD) yang berisi batasan diagnostik yang jelas untuk membedakan antara kecanduan dan yang tidak dianggap kecanduan. Tidak adanya kriteria DSM untuk kecanduan internet, membuat sebagian besar instrumen didasarkan pada kriteria DSM-V untuk ketergantungan zat dan/atau gambling (perjudian). Mereka menyimpulkan bahwa skala 9-item menunjukkan validitas struktural yang solid, penelitian ini menghasilkan bukti bahwa skala 9-item yang pendek adalah instrumen yang valid untuk mengukur SMD dan sama juga dengan skala 27-item.

3.6.Validitas dan Reliabilitas

3.6.1. Validitas

Validitas memiliki arti sejauh mana akurasi suatu alat ukur dalam menjalankan fungsi pengukurannya. Pengukuran dianggap mempunyai validitas yang tinggi apabila menghasilkan data yang akurat memberikan gambaran mengenai variabel yan diukur seperti dikehendaki oleh tujuan dari alat ukur tersebut (Azwar, 2012). Dalam pembuatan skala dibutuhkan professional judgment yang akan menilai kerancuan skala yang telah dibuat oleh peneliti.

(54)

3.6.2. Daya Diskriminasi Aitem

Koefisien korelasi aitem-total harus memperlihatkan kesesuai fungsi aitem dengan fungsi tes dalam mengungkapkan perbedaan individual. Sebagai criteria pemilihan aitem berdasarkan korelasi aitem- total, biasanya digunakan batas koefisien ≥0,30. Semua aitem yang mencapai batas koefisien minimal 0,30 daya pembedanya dinyatakan memenuhi syarat psikometrik sebagai bagian dari tes (Azwar, 2012).

Pengujian daya beda aitem yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan koefisien korelasi Pearson Product Moment, yang di analisis menggunakan bantuan SPSS version 22.0 for Windows dan Microsoft Office Excel 2007.

3.6.3. Reliabilitas

Suatu alat ukur dianggap reliable (memiliki reliabilitas) jika setelah beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok yang sama diperoleh hasil yang relatif sama selama aspek yang diukur memang belum berubah. Relatif sama berarti memberikan toleransi terhadap perbedaan kecil yang muncul di dalam hasil dalam suatu pengukuran.

Namun, ketika perbedaan yang muncul terlalu besar maka alat ukur tersebut tidak reliable karena tidak konsisten (Azwar, 2012). Reliabilitas hasil akan diukur menggunakan aplikasi SPSS 22.0 for Windows.

(55)

3.7.Prosedur Pelaksanaan Penelitian

3.7.1. Tahap Persiapan Penelitian a. Studi Literatur

Peneliti akan melengkapi kajian-kajian teoritis pengertian Fear of Missing Out dan juga adiksi media sosial, peneliti juga mengkaji dimensi-dimensi tiap teori dan menyesuaikan pencetusnya.

b. Pembuatan Alat Ukur

Peneliti akan memulai dengan menerjemahkan alat ukur yang telah ada dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia dibantu oleh orang-orang yang ahli di bidang tersebut. Adaptasi alat ukur akan melewati professional judgment sebelum di uji coba.

c. Uji Coba Alat Ukur

Setelah perancangan skala selesai, peneliti akan melakukan uji coba alat ukur. Kemudian data hasil uji coba alat ukur langsung digunakan sebagai data hasil penelitian. Selanjutnya peneliti akan melakukan analisis aitem yang dilakukan secara kuantitatif menggunakan program SPSS versi 22.0 for windows untuk mengetahui daya beda aitem, validitas dan reliabilitas skala.

d. Penyusunan Alat Ukur

Setelah alat ukur reliable dan validitasnya sesuai dengan norma, maka alat ukur akan siap dipakai untuk peneitian di lapangan.

(56)

3.7.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan penyebaran skala yang dilakukan oleh peneliti sendiri menggunakan link google form.

Sebelumnya peneliti tidak lupa mengawalinya dengan informed consent.

Pengambilan data pada penelitian menggunakan metode tryout terpakai, yang artinya bahwa penyebaran skala atau pengambilan data hanya dilakukan satu kali saja. Data subjek yang telah digunakan untuk uji coba sebelumnya juga akan digunakan sebagai data penelitian.

3.7.3. Tahap Pengolahan Data

Setelah seluruh skala terkumpul, peneliti selanjutnya akan memasukkan data-data penelitian dan menganalisis data tersebut dengan menggunakan bantuan SPSS versi 22.0 for windows.

3.8.Hasil Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur

3.8.1. Hasil Try Out skala Fear of Missing Out

Hasil uji coba terdahulu skala Fear of Missing Out yang dilakukan oleh peneliti sebelumya dengan teknik Alpha Cronbach dengan hasil reliabilitas sebesar 0.82. Lalu selanjutnya peneliti melakukan try out kembali terhadap alat ukur dengan jumlah subjek sebanyak 44 orang, lalu didapatkan hasil reliabilitas sebesar 0.838 dengan kriteria reliabilitas yang sangat tinggi.

(57)

Tabel 3.3. Reliabilitas Alat Ukur Fear of Missing Out

Cronbach's Alpha

Cronbach's Alpha Based on

Standardized Items N of Items

,838 ,841 10

3.8.2. Hasil Try Out skala Adiksi Media Sosial

Hasil uji coba terdahulu skala Adiksi Media Sosial yang dilakukan oleh peneliti sebelumya dengan teknik Alpha Cronbach mendapatkana hasil reliabilitas sebesar 0.82. Lalu selanjutnya peneliti melakukan try out kembali terhadap alat ukur dengan jumlah subjek sebanyak 44 orang, lalu didapatkan hasil reliabilitas sebesar 0.951 dengan kriteria reliabilitas yang sangat tinggi.

Tabel 3.4. Reliabilitas Alat Ukur Adiksi Media Sosial

Cronbach's Alpha

Cronbach's Alpha Based on

Standardized Items N of Items

,951 ,952 27

3.9.Teknik Pengolahan Data

3.9.1. Uji Normalitas

Uji normalitas data dalam penelitian bertujuan untuk mendeteksi setiap variabel dalam penelitian telah menyebar dengan baik sehingga hasil bisa digeneralisasikan. Uji normalitas akan dilakukan dengan menggunakan program SPSS untuk melihat apakah sampel yang digunakan berasal dari populasi yang terdistribusi normal. Pengujian normalitas akan menggunakan Kolmogorow Smirnov yang mana

(58)

signifikansi (p) harus lebih besar dari 0,05 agar sampel dianggap berasal dari populasi yang terdistribusi normal.

3.9.2. Uji Linearitas

Uji linearitas yang dilakukan untuk mengetahui apakah variabel bebas (Fear of Missing Out) berkorelasi secara linier atau tidak terhadap variabel tergantung (adiksi media sosial). Data dapat dikatakan linear apabila nilai signifikansi variabel lebih kecil dari 0,05 (Priyatno, 2010).

Uji linearitas pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bantuan program SPSS.

Referensi

Dokumen terkait

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara fear of missing out (FoMO) dengan kecenderungan kecanduan internet pada emerging adulthood..

HUBUNGAN ANTARA KESEPIAN DAN FEAR OF MISSING OUT DENGAN PERILAKU ADIKSI MEDIA SOSIAL PADA MAHASISWA UNIVERSITASi.

Hipotesis yang diajukan penulis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan positif antara fear of missing out (FoMO) dengan intensitas penggunaan media sosial

Hipotesis dalam penelitian adalah untuk mengetahui tingkat Fear of Missing Out (FOMO) pada mahasiswi Program Studi Psikologi, Hubungan Internasional, Administrasi Bisnis, dan

Contribute to research on educational psychology, add information related to important efforts to determine the relationship between self-esteem and fear of Missing Out FoMo in

Gambar 4.8 Diagram Fear Of Missing Out Berdasarkan Jenis Kelamin 4.3.2 Deskriptif FoMO Berdasarkan Usia Berdasarkan hasil kategorisasi pada variabel FoMO yang terdiri dari 253

The Phenomenon of Fear of Missing Out FoMO in West Sumatra PTKIN Students Desmita* Universitas Islam Negeri Mahmud Yunus Batusangkar, Sumatra Barat, Indonesia E-mail:

Individu pengguna media sosial yang mengalami FoMO tinggi cenderung menunjukkan dirinya ketakutan dalam berbagai situasi meliputi takut akan penilaian orang lain, takut ditinggalkan