• Tidak ada hasil yang ditemukan

pointers press release century 241109c

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "pointers press release century 241109c"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

Penjelasan Pjs.Gubernur Bank Indonesia

Dalam Press Conference bersama Departemen Keuangan, BI, & LPS Mengenai Hasil Audit Investigasi BPK

di Departemen Keuangan Tanggal 24 November 2009

1. Selama proses audit investigasi, Bank Indonesia sudah bersikap kooperatif dan terbuka dalam mendukung kelancaran proses tersebut, dengan memberikan seluruh data dan informasi yang diperlukan. Bank Indonesia juga sudah memberikan penjelasan maupun klarifikasi atas kebijakan maupun tindakan Bank Indonesia dalam penanganan Bank Century dari saat proses merger hingga keputusan penyelamatan Bank Century. Namun Bank Indonesia sangat menyayangkan bahwa hasil audit BPK belum sepenuhnya menggambarkan fakta dan permasalahan yang sesungguhnya sebagaimana respon yang telah disampaikan Bank Indonesia kepada BPK.

2. Bank Indonesia juga menyayangkan bahwa pertimbangan kondisi krisis global dan dampaknya pada perekonomian Indonesia yang melatarbelakangi penyelamatan Bank Century tidak tampak dalam laporan audit tersebut. Dalamnya ancaman dan ketidakpastian yang tinggi terkait dampak krisis keuangan global terhadap perekonomian nasional, telah menuntut Pemerintah untuk menempuh langkah hukum yang mendesak yaitu dengan menerbitkan Perpu sebagai dasar bagi pengambilan kebijakan sektor keuangan oleh Pemerintah dan Bank Indonesia.

3. Dalam upaya menangani dampak krisis global tersebut, hanya dalam kurun waktu 2 bulan saja (Oktober – November 2008) Bank Indonesia telah menerbitkan berbagai kebijakan, baik di bidang moneter maupun di bidang perbankan. Fokus dari sebagian besar kebijakan tersebut adalah pada pelonggaran likuiditas perbankan, antara lain dalam bentuk perubahan ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) Rupiah dan valas, penurunan over night Repo Rate, penyesuaian Fasbi rate, perpanjangan waktu Fine Tune Operation, peniadaan pembatasan saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek, perpanjangan tenor forex swap, komitmen penyediaan valas bagi korporasi domestik melalui perbankan, perubahan ketentuan Fasilitas Likuiditas Intra-hari, perubahan ketentuan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek, serta penerbitan Peraturan Bank Indonesia mengenai Fasilitas Pendanaan Darurat.

4. Oleh karena itu, penyelamatan Bank Century harus dilihat dalam konteks penyelamatan sistem keuangan, perbankan dan perekonomian secara keseluruhan yang pada periode tersebut diambang krisis sebagai dampak daripada krisis perekonomian global yang saat itu tengah berlangsung. Kebijakan Bank Indonesia dalam penetapan Bank Century sebagai bank gagal yang berpotensi sistemik, merupakan bagian dari kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia dalam upaya penanganan dampak krisis global, dengan maksud untuk menyelamatkan sistem keuangan, perbankan dan perekonomian Indonesia.

5. Kondisi Makro global:

5.1. Kondisi Makro Global

(2)

2

Crash pasar keuangan yang terjadi di Amerika Serikat tersebut terjadi setelah Lehman Brothers ditutup dan dengan cepat menyebar ke negara emerging, termasuk Indonesia. Risiko negara (credit default swap) Indonesia memburuk secara dramatis hingga mencapai sekitar 1200 bps sehingga praktis akses Indonesia kepada pasar keuangan internasional tertutup di paruh terakhir Kwartal III 2008.

Krisis keuangan dunia menjadi semakin memburuk sejak Oktober 2008. Hal ini tercermin dari kerugian kredit yang melonjak sebagai akibat insolvabilitas dan penutupan operasi beberapa perusahaan keuangan raksasa, pengalihan risiko dan ketatnya likuiditas global. Selanjutnya kondisi ini memperburuk pertumbuhan ekonomi negara maju dan negara emerging market cenderung menurun, diikuti oleh harga-harga komoditas yang menurun.

Menyikapi kondisi keuangan global yang memburuk tersebut, semua negara melakukan konsolidasi kebijakan untuk meminimalkan dampak ketidakstabilan di pasar keuangan dan menjaga stabilitas makro dengan cara menjaga kecukupan likuiditas di pasar keuangan, mengurangi risiko dan menjaga kepercayaan deposan. Beberapa kebijakan ekonomi yang ditempuh oleh negara-negara tersebut antara lain adalah dengan menurunkan suku bunga kebijakan, seperti yang dilakukan oleh AS, Inggris, ECB, Kanada dan Korea, guna mendorong pertumbuhan ekonomi yang melambat; menambah obligasi dari sektor swasta secara langsung (Commercial Paper Funding) seperti yang dilakukan oleh AS, ECB, Kanada, Jepang, Australia, Chili; menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) guna menambah likuiditas perekonomian domestik seperti yang diterapkan di China, India, Brazil dan Chili; melakukan penjaminan deposito dan antar bank seperti yang diberlakukan di AS, Inggris, Yunani, Denmark, Irlandia dan penerapan blanket guarantee di Singapura dan Malaysia untuk menjaga kepercayaan publik terhadap perbankan; bail out terhadap sistem perbankan dengan melakukan rekapitalisasi seperti di Inggris; intervensi valuta asing yang dilakukan oleh Korea, Brazil dan Thailand; serta meminta bantuan dari IMF oleh Pakistan, Hungaria, Eslandia, Ukrania dan Belarusia.

5.2. Dampak Krisis Keuangan Global terhadap Perekonomian Indonesia

Dampak krisis keuangan memberikan dampak yang cenderung memburuk dan mencapai puncaknya pada bulan November 2008. Terlebih lagi disaat negara sekitar kawasan telah memberlakukan full blanket guarantee sedangkan Indonesia hanya meningkatkan batas penjaminan dana pihak ketiga. Pemburukan kondisi makro– ekonomi Indonesia ditandai dengan adanya tekanan terhadap pasar valas dan stabilitas nilai tukar, pasar modal, kondisi global bond, memburuknya likuiditas dan ketatnya pasar uang, melemahnya kinerja neraca pembayaran, dan pada akhirnya menyebabkan resiko-resiko perbankan cenderung meningkat secara drastis.

(3)

3

Agustus 2008 kepemilikan asing pada SBI dan SUN mulai menunjukkan penurunan dan mencapai puncaknya pada bulan Oktober 2008.

Penurunan modal asing secara drastis tersebut menimbulkan tekanan terhadap kestabilan nilai rupiah yang tercermin dari terdepresiasinya rupiah secara cepat dari sekitar Rp.9.000,00 an di bulan September 2008 menjadi sekitar Rp.12.000,00 dibulan November 2008. Pelemahan rupiah yang cukup drastis tersebut diiringi dengan menurunnya kepemilikan asing di SBI, SUN dan saham mulai dari September 2008 dan terus berlangsung sampai dengan Maret 2009. Berkurangnya kepemilikan asing yang sangat signifikan tersebut semakin menimbulkan tekanan (volatility) terhadap penurunan nilai rupiah secara signifikan.

Menipisnya kepercayaan investor asing secara umum selanjutnya memperburuk kinerja pasar seperti tercermin pada penurunan IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) yang mencapai titik terendah 1111,39 dan bahkan pada tanggal 8 s.d. 10 Oktober 2009, Bursa Efek Indonesia ditutup untuk sementara. Pemburukan di Pasar Keuangan juga ditandai dengan kenaikan imbal hasil yang diminta oleh investor untuk instrument SUN Pemerintah RI. Kondisi pasar SUN yang mengalami pelemahan tersebut ditunjukkan dengan peningkatan rata-rata yield SUN hingga mencapai 16,10% dibulan September 2008 dan mencapai tingkat tertinggi pada bulan Oktober 2008 di tingkat 17,14%. Sementara itu, terjadi peningkatan drastis atas premi risiko Indonesia sebagaimana tercermin pada data Credit Default Swap/CDS yang melonjak dari kisaran 350 bps menjadi 1200 bps hanya dalam kurun waktu kurang dari satu bulan, yaitu awal Oktober-akhir Oktober 2008. Sebagai perbandingan, saat ini CDS Indonesia adalah di bawah angka 200 bps, yang menunjukkan tingginya keyakinan investor kepada Indonesia.

Peningkatan intensitas krisis keuangan global dan pelemahan nilai tukar dollar AS pada semester I-2008 mendorong beralihnya arus dana investasi ke pasar komoditi sehingga mendorong naiknya harga-harga komoditas yang mencapai puncaknya pada Juli 2008. Kondisi ini berdampak kepada peningkatan tekanan inflasi domestik hingga pada Juli 2008 mencapai level 12.56%, tertinggi sejak September 2006.

5.3. Kondisi Sistem Perbankan Indonesia

Sejak pertengahan tahun 2008, liquidity gap di industri perbankan mulai meningkat. Perbankan berupaya memenuhi kebutuhan likuiditasnya melalui Pasar Uang Antar Bank (PUAB). Namun demikian situasi krisis mengakibatkan seluruh bank di dunia termasuk bank-bank di Indonesia mempertahankan likuiditas yang ada guna memenuhi kewajibannya kepada nasabah penyimpan dana. Dalam perkembangannya hal ini mengakibatkan segmentasi di PUAB. Kondisi ini dapat diindikasikan dari sangat

Waktu CDS (bps)

1 Januari 2008 152,83

1 Oktober 2008 352,22

23 Oktober 2008 1243,84

24 Oktober 2008 1248,35

(4)

4

menurunnya rata-rata transaksi PUAB dari periode Januari-September 2008 dan Oktober-Desember 2008, baik pada PUAB Rupiah maupun PUAB valuta asing. Pada saat ini, yang sangat dikhawatirkan adalah terjadinya flight to quality dari bank-bank kecil dan menengah ke bank-bank besar.

Ditengah risiko yang meningkat tersebut, kinerja industri perbankan secara umum sampai Tw III-2008 baik. Modal sebagian besar bank masih mencukupi, kredit macet masih rendah (NPL Gross= 3.5 – 4%) dan fungsi intermediasi berjalan baik. Namun pada saat itu ditengarai berbagai risiko (risiko pasar, risiko kredit) yang sudah mulai meningkat, khususnya menurunnya rasio alat likuid dibandingkan dengan non core deposits (NCD) yang mencapai titik terendah yaitu 84,9% pada November 2008 (rasio alat likuid pada masa-masa normal adalah di atas 200%).

6. Respons Kebijakan yang Ditempuh

Menghadapi tekanan kondisi makro-ekonomi dan dampaknya terhadap sistem perbankan, dalam rangka menjaga kestabilan sistem keuangan, Pemerintah dan Bank Indonesia harus mengambil beberapa langkah kebijakan terutama untuk mengurangi risiko terjadinya instabilitas pasar uang antar bank (risiko likuiditas) dan instabilitas sektor keuangan secara keseluruhan (risiko sistemik).

Selanjutnya, BI selaku otoritas moneter dan pengawas perbankan, mengambil serangkaian langkah kebijakan untuk untuk mengurangi risiko likuiditas, risiko pasar, risiko kredit dan risiko sistemik, sebagai berikut: penurunan O/N repo rate dari BI rate plus 300 bps menjadi BI rate plus 100 bps, penyesuaian FASBI rate dari BI rate minus 200 bps menjadi BI rate minus 100 bps; perpanjangan jangka waktu Fine Tune Operation (FTO) dari 1 hari s.d 14 hari menjadi 1 hari s.d 3 bulan; perubahan beberapa ketentuan untuk meningkatkan likuiditas perbankan seperti ketentuan GWM dan peniadaan pembatasan posisi saldo harian Pinjaman Luar Negeri (PLN) jangka pendek; beberapa ketentuan untuk menjamin ketersedian valas di pasar domestik melalui perpanjangan tenor FX Swap dari paling lama 7 hari menjadi 1 bulan, komitmen penyediaan valas bagi korporasi domestik melalui perbankan; ketentuan yang melarang transaksi spekulative valas terhadap rupiah dengan mewajibkan adanya underlying transaksi dan melarang transaksi derivatif structured product yang terkait dengan transaksi valas.

Sebagai antisipasi mencegah krisis dan memberikan landasan hukum yg lebih kuat ketika terjadi krisis, Pemerintah menerbitkan 3 Perpu yang terdiri dari PERPPU No.2 Tahun 2008 tentang perubahan Undang-Undang Bank Indonesia yang memungkinkan kredit berkolektibilitas lancar dijadikan agunan untuk mendapatkan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP); Penerbitan PERPPU No.3 Tahun 2008 yang mengatur kenaikan nilai simpanan nasabah yang dijamin LPS dari Rp.100 juta menjadi Rp.2 milyar; PERPPU No.4 tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).

(5)

5

6.1. Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU)

Mempertimbangkan kondisi makro-ekonomi tersebut di atas, Pemerintah memandang bahwa perekonomian Indonesia memasuki kondisi yang mengkhawatirkan. Dengan mengacu kepada Pasal 22 UUD 1945 maka Pemerintah menerbitkan 3 PERPU, yaitu:

a. PERPU No.2 Tahun 2008 tentang Amandemen UU Bank Indonesia

Perpu ini diterbitkan dilatarbelakangi oleh keterbatasan kepemilikan surat berharga perbankan sebagai secondary reserve yang dapat diagunkan kepada Bank Indonesia dikaitkan dengan peran sebagai Lender of The Last Resort. Untuk itu, PERPU ini mengubah syarat agunan FPJP (Pasal 11 UU Bank Indonesia) yang semula hanya berupa surat berharga yang bernilai tinggi dan mudah dijual, menjadi sebagai berikut: “….surat berharga dan/atau tagihan yang diterbitkan oleh Pemerintah atau badan hukum lain yang mempunyai peringkat tinggi berdasarkan hasil penilaian lembaga pemeringkat yang kompeten dan sewaktu-waktu dengan mudah dapat dijual ke pasar untuk dijadikan uang tunai dan aset kredit kolektibilitas lancar….”.

b. PERPU No.3 Tahun 2008 tentang Amandemen UU LPS

(6)

6

c. PERPU No.4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan

Dilatarbelakangi kebutuhan untuk memperjelas crisis management protocol (CMP) Sistem Keuangan Indonesia, terutama terkait dengan otoritas yang berkepentingan dan pengaturan mengenai hak dan kewajiban serta belum selesainya penyusunan RUU JPSK maka Pemerintah mengeluarkan PERPU yang mengatur sebagaimana tabel berikut:

Sumber : Sekretariat KSSK

7. Tanggapan BI terhadap Temuan BPK terkait Pemberian FPJP kepada Bank Century

Perubahan ketentuan tentang FPJP dan pemberian FPJP ke Bank Century harus dilihat dalam konteks penyelamatan sistem perbankan, keuangan, dan perekonomian nasional secara keseluruhan. Karena di samping kebijakan FPJP tersebut terdapat sejumlah kebijakan lain dalam rangka merespon dampak krisis global sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Dalam Laporan Temuan Audit Investigasi BPK terkait dengan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) pada intinya terdapat 3 hal yang menjadi pertimbangan kesimpulan BPK, yaitu yang terkait dengan:

a) Pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) kepada Bank Century dilakukan dengan cara merubah ketentuan.

b) Nilai CAR Bank Century pada saat persetujuan pemberian FPJP oleh Bank Indonesia tanggal 14 November 2008 adalah negative.

c) Nilai Agunan FPJP berada dibawah 150% dari Plafon Kredit.

(7)

7

dengan FPJP. Beberapa hal hanya dimuat sebagian saja atau bahkan tidak dimuat. Hal ini berakibat bahwa kesimpulan BPK tidak didukung data/keterangan/informasi yang memadai. Beberapa hal yang tidak digali dan dimuat secara lengkap oleh BPK terhadap FPJP ini adalah menyangkut:

a) Latar Belakang PERPU No.2 Tahun 2008 tentang Amandemen UU Bank Indonesia yang erat kaitannya dengan FPJP

b) Pertimbangan perkembangan kondisi makro-ekonomi dan perbankan yang terjadi sebagai dasar pengambilan keputusan yang terkait dengan ketentuan FPJP.

c) Tidak mengungkapkan proses penyusunan sistem Laporan Bulanan Bank Umum yang memiliki time-lag 25 hari sebagai dasar formal penetapan neraca Bank Umum yang kemudian digunakan sebagai dasar pembuatan rasio keuangan pokok untuk keperluan pengawasan.

d) Kutipan transkrip hanya sepotong-potong, sehingga membuat kesimpulan yang tidak sesuai dengan jika keseluruhan transkrip tersebut dimuat secara utuh.

e) Pemahaman hukum yang lemah terhadap Agunan FPJP. Karena BPK hanya mendasarkan kepada memorandum internal BI yang di dalamnya masih mengandung pemahaman yang belum tepat dari beberapa pihak di BI tentang pengertian aset kredit sebagai agunan FPJP, dimana seharusnya yang diagunkan adalah hak tagih kepada debitur dan bukan agunan kredit debitur tersebut.

Sehingga kalau kemudian, BPK mengumpulkan dan mengungkapkan data/keterangan/ informasi yang memadai maka dapat tergambarkan bahwa pemberian FPJP pada saat itu merupakan pelaksanaan dari amanat PERPU No.2 Tahun 2008 tentang Amandemen UU BI yang pada dasarnya mempermudah akses perbankan dalam mendapatkan likuiditas dalam periode krisis. Oleh karena itu, persyaratan yang diberlakukan di dalam aturan FPJP periode krisis diperlonggar agar maksud dan tujuan PERPU dalam mencegah dan mengatasi ketidakstabilan sistem keuangan dapat tercapai.

Dengan demikian, keterkaitan FPJP sebagai bagian dari kebijakan yang diambil oleh Bank Indonesia dan Pemerintah merupakan respon kondisi makro yang sudah mengkhawatirkan, sehingga kebijakan tersebut ditujukan untuk melakukan penyelamatan sistem keuangan tidak untuk kepentingan individual lembaga keuangan baik bank maupun non-bank. Fakta juga menunjukkan bahwa data permodalan bank-bank saat itu (posisi 30 September 2008) terdapat beberapa bank yang CAR-nya di bawah 8% dan beberapa bank lagi yang CAR-nya berada pada ambang batas minimum.

7.1 Tanggapan BI terhadap Nilai CAR Bank Century pada Saat Persetujuan Pemberian FPJP oleh BI tanggal 14 November 2008 adalah Negatif.

(8)

8

tanggal 25. Dengan demikian, CAR posisi bulan Oktober 2008 baru dapat diperoleh pengawas bank pada tanggal 25 November 2008.

b. Sementara itu, mengingat BC mengalami permasalahan likuiditas yang parah, maka Bank Indonesia mengupayakan untuk memperoleh neraca posisi 31 Oktober 2008 guna menghitung CAR posisi tersebut. Untuk itu, pada tanggal 11 November 2008 pengawas yang ditempatkan di BC telah mendesak bank agar menyampaikan neraca dan perhitungan CAR posisi 31 Oktober 2008, namun ternyata bank tidak mampu memenuhinya. Bank baru dapat menyediakan neraca posisi 31 Oktober 2008 pada tanggal 19 November 2008 sore hari dan selanjutnya pada tanggal 20 November 2008 BI melakukan perhitungan CAR yang ternyata CAR bank posisi 31 Oktober 2008 sebesar negatif 3,53%. Dengan demikian, pada saat pemberian FPJP tanggal 14 November 2008, data CAR yang ada hanyalah posisi September 2008 yaitu positif 2,35%.

7.2 Tanggapan BI terhadap Temuan BPK Terkait Nilai Agunan Berada di Bawah 150% dari Plafon Kredit

a. Sesuai dengan PBI FPJP, ketentuan bahwa nilai agunan FPJP paling kurang sebesar 150% dari plafon FPJP adalah mengacu pada agunan FPJP berupa Aset Kredit dan tidak mengacu untuk seluruh jenis agunan (vide Pasal 5 PBI FPJP).

b. Sesuai dengan PBI FPJP, agunan FPJP adalah berupa surat berharga (SBI, SUN), surat berharga yang diterbitkan oleh badan hukum lainnya (obligasi korporasi) dan piutang/hak tagih yang dimiliki oleh bank kepada debitur (aset kredit)

c. Persyaratan aset kredit sebagai agunan FPJP adalah:

• Kolektibilitas Lancar selama minimal 3 (tiga) bulan terakhir;

• Bukan merupakan kredit konsumsi kecuali kredit pemilikan rumah (KPR); • Bukan merupakan kredit pada pihak terkait;

• Aset kredit memiliki agunan;

• Baki debet (outstanding) kredit tidak melebihi plafon kredit dan BMPK pada saat kredit diberikan;

• memiliki perjanjian kredit dan pengikatan agunan yang mempunyai kekuatan hukum.

d. Besarnya aset kredit (nilai hak tagih) adalah sebesar outstanding kredit dan tidak digantungkan pada nilai agunan dari kredit dimaksud. Apabila pada saat bank gagal bayar maka yang dilakukan oleh BI adalah melakukan eksekusi atas aset kredit yang menjadi agunan FPJP dimaksud sesuai dengan UU Jaminan Fidusia yakni pelaksanaan titel eksekutorial, penjualan melalui secara langsung atau lelang, dan/atau penjualan di bawah tangan. Dalam hal hasil eksekusi agunan FPJP nilainya tidak mencukupi untuk melunasi FPJP, BI selaku kreditur tetap mempunyai hak untuk menagih kepada Bank atas FPJP yang belum dilunasi.

(9)

9

mengatur bahwa “aset kredit yang dapat dijadikan jaminan FPJP wajib memiliki agunan dan nilai jaminan FPJP berupa aset kredit dihitung berdasarkan baki debet aset kredit”. Dengan demikian sesuai PBI tersebut aset kredit yang memiliki agunan berapapun nilainya dan apapun jenisnya (baik deposito atau selain deposito) semuanya dapat digunakan sebagai jaminan FPJP dan dinilai berdasarkan baki debet aset kredit. Berdasarkan ketentuan tersebut maka nilai jaminan FPJP berupa aset kredit dengan agunan deposito dari beberapa debitur yang disebutkan dalam laporan BPK seharusnya dihitung berdasarkan baki debet debitur-debitur tersebut. Berdasarkan perhitungan tersebut maka agunan (yang berupa hak tagih kepada debitur) adalah 150% dari nilai FPJP.

8. Tanggapan BI terhadap Temuan BPK Terkait Analisis Dampak Sistemik

a. Dalam PERPU No.4 Tahun 2008 mengenai Jaring Pengaman Sistem Keuangan tidak diatur secara jelas mengenai ukuran dan kriteria bank dapat dikategorikan sebagai bank yang ditengarai berdampak sistemik. Secara international best practices tidak pernah ditemui adanya definisi dan ukuran baku mengenai dampak sistemik di dunia ini. Apabila didalam PERPU tidak diatur secara jelas dan tegas mengenai ukuran dan kriteria dampak sistemik, hal tersebut bukanlah merupakan kelemahan PERPU, karena pengaturan yang rinci dan jelas dapat menimbulkan moral hazard bagi pengurus dan pemilik bank untuk dengan sengaja mengarahkan agar banknya memenuhi kriteria sistemik sehingga harus diselamatkan oleh otoritas apabila mengalami permasalahan. b. Dalam menganalisa dampak sistemik, dalam hal ini Bank Century sebagai Bank yang

Ditengarai berdampak sistemik, Bank Indonesia mengadaptasi kriteria yang terdapat dalam MoU Uni Eropa yang menjadi acuan untuk diterapkan Otoritas Pengawasan dan Bank Sentral anggota EU. MoU ini mempertimbangkan beberapa aspek kuantitif dan kualitatif serta unsur judgment yang tercantum dalam petikan MoU di bawah ini : “.... Prioritisation in the assessment. In the case of a rapidly unfolding crisis, one may need to focus the assessment on the most critical parts of the financial system. These are likely to be the (major) banks, the markets they use for their daily funding and active balance sheet management, and the related infrastructure (e.g. large value payment systems). In such a situation, one may also need to place more reliance on qualitative judgements rather than on up-to-date quantitative information....(Page 34 MoU on Cooperation Between the Financial Supervisory Authorities, Central Banks and Finance Ministries of The European Union – 1 Juni 2008)...”

c. Dari MoU uraian di atas cukup jelas bahwa penggunaan unsur penilaian kualitatif menjadi lebih penting daripada informasi kuantitatif yang up to date. Pertimbangan yang mendasari MoU Uni Eropa diatas tentu telah didasari baik oleh hasil kajian maupun pengalaman mereka didalam mencegah dan menangani krisis keuangan. d. Bank Indonesia mengadaptasi framework MoU Uni Eropa dengan menambahkan satu

(10)

10

Eropa. Dengan kondisi sedemikian, gangguan pada sektor keuangan dapat dengan cepat menjalar ke berbagai sektor lainnya, sehingga menciptakan ketidakstabilan sosial politik yang dapat cepat mengganggu psikologi pasar dan meruntuhkan kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu dalam kondisi krisis di Indonesia, masih diperlukan satu lagi aspek yaitu aspek psikologi pasar yang akan dapat menghubungkan antara analisis makro perbankan dengan analisis mikro Bank Century itu sendiri atau dengan kata lain dapat menghubungkan empat aspek lainnya serta dampaknya kepada ketidakstabilan sosial politik yang dapat mengganggu kepercayaan masyarakat.

e. Sehingga agar analisis lebih komprehensif, terdapat lima aspek yang digunakan Bank Indonesia untuk melakukan analisis terhadap bank gagal yang ditengarai sistemik yaitu:

i. Institusi Keuangan ii. Pasar Keuangan iii. Sistem Pembayaran iv. Sektor Riil, dan

v. Psikologi Pasar

f. Perlu kami tegaskan bahwa kerangka analisis dengan menggunakan lima aspek tersebut diatas telah dapat diterima oleh Panitia Kerja RUU - JPSK Komisi XI-DPR RI periode 2004 – 2009 seperti tercantum dalam Pasal 7 dan Penjelasan Pasal 7 Draft RUU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).

g. Dalam melakukan analisis terhadap Bank Century sebagai Bank Gagal yang Berdampak Sistemik, Bank Indonesia menggunakan data kuantitatif dan kualitatif dalam merumuskan assesment dari kelima aspek diatas. Data kuantitatif yang menjadi dasar analisis bank Century sebagai bank yang ditengarai berdampak sistemik memperhatikan data kuantitatif sebagai berikut:

i. kondisi makro ekonomi, termasuk data mengenai pertumbuhan ekonomi, kondisi neraca pembayaran, nilai tukar rupiah, kondisi pasar modal, dan kondisi pasar keuangan internasional. Sumber data-data ini berasal baik dari Bank Indonesia maupun BPS, Bapepam-LK dan publikasi keuangan luar negeri;

ii. penurunan DPK (sebagai indikator penurunan kepercayaan), yang bersumber dari Laporan Bulanan Bank Umum (LBU) maupun hasil pengamatan langsung oleh pengawas Bank Indonesia;

iii. interbank stress-testing (dampak contagion), yang bersumber dari hasil kajian Bank Indonesia dengan menggunakan data-data dari LBU;

iv. simulasi ketahanan likuiditas perbankan (terhadap 18 bank peer dan 5 bank dengan total aset yang hampir sama dengan Bank Century) yang bersumber dari hasil kajian Bank Indonesia dengan menggunakan data LBU dan informasi pengawas.

(11)

11

h. Data kuantitatif maupun kualitatif serta hasil uji ketahanan sistem perbankan selalu dilaporkan dan disajikan dalam RDG Bank Indonesia secara regular (baik mingguan maupun bulanan) sehingga Dewan Gubernur memiliki informasi dan pengetahuan yang cukup ketika mengambil kebijakan di bidang moneter dan perbankan. Bahkan sejak tanggal 29 Oktober 2008 ketika Dewan Gubernur mengaktifkan Crisis Management Protocol - sebagai tanda semakin berbahayanya situasi moneter dan perbankan – laporan dan penyajian data dan informasi mengenai kondisi moneter dan perbankan dilakukan setiap hari. Termasuk dalam hal ini informasi mengenai berita-berita negatif dan rumor yang mempengaruhi psikologi pasar atau kepercayaan masyarakat. Data dan informasi inipun telah disajikan baik dalam rapat konsultasi KSSK maupun dalam rapat KSSK.

i. Oleh karena itu Dewan Gubernur Bank Indonesia maupun KSSK ketika melakukan analisis Bank Century yang ditengarai berdampak sistemik, tidak hanya didukung oleh data yang berasal dari LBU, namun telah didukung data dan informasi yang lengkap dan mutakhir dari berbagai sumber. Dengan demikian Dewan Gubernur memiliki data dan informasi yang cukup mengenai kondisi dan kerentanan sistem keuangan dan perbankan guna mengambil keputusan yang bertujuan untuk mencegah krisis dan memelihara stabilitas sistem keuangan. Sehingga tudingan bahwa analisis sistemik ini dibuat terburu-buru adalah tidak benar.

j. Berdasarkan Surat Gubernur Bank Indonesia BI No.10/232/GBI/Rahasia tanggal 20 November 2008, analisis dampak sistemik terhadap kegagalan Bank Century dilakukan dengan mempertimbangkan aspek mikro kondisi bank dan aspek kondisi ekonomi makro sebagaimana kelima aspek yang telah dijelaskan sebelumnya. Perlu ditegaskan kembali bahwa analisis dampak sistemik ini pada dasarnya merupakan analisis kegagalan Bank Century yang dikaitkan dengan perkembangan ekonomi makro dan risiko-risiko yang dihadapi sektor keuangan/perbankan Indonesia yang telah secara regular dilaporkan ke RDG maupun rapat konsultasi KSSK. Ringkasan analisis yang menggambarkan kondisi pada waktu itu adalah sebagai berikut:

i. Karakteristik kejadian:

• Kondisi Bank Century telah memicu rumor yang menurunkan kepercayaan masyarakat serta mengganggu kinerja bank-bank lainnya.

Walaupun gangguan/shock di sektor keuangan/perbankan masih bersifat sporadis, pada saat yang bersamaan terdapat 23 bank dan beberapa BPR yang kondisi likuiditasnya sangat rentan terhadap adanya isu-isu tersebut. Dikhawatirkan eskalasi permasalahan menjadi lebih cepat dan berpotensi menjalar ke bank-bank lainnya.

ii. Kondisi sistem keuangan dan sektor riil

Dengan kondisi ekonomi dan keuangan global yang terus memburuk, kondisi sistem keuangan domestik terus tertekan. Kondisi neraca pembayaran terus tertekan, cadangan devisa

menurun. Peningkatan pembayaran utang luar negeri dalam Q-IV/2008 diwaspadai, khususnya pengaruhnya terhadap ketersediaan USD dan kestabilan nilai tukar. Selain itu pelemahan kegiatan ekonomi berpotensi meningkatkan kredit bermasalah.

(12)

12

berbagai penyesuaian dalam bentuk kenaikan upah buruh, peningkatan biaya produksi dan pemutusan hubungan kerja; • Respons dari Pemerintah dan Bank Indonesia untuk

menenangkan pasar telah dilakukan antara lain dengan pelonggaran likuiditas, kenaikan batas atas penjaminan simpanan menjadi Rp.2 miliar, pemberian jaminan ketersediaan valas bagi perusahaan-perusahaan domestik, dll. Namun langkah-langkah ini masih membutuhkan waktu sebelum diketahui efektivitasnya. • Sementara itu untuk menghadapi gejolak dan potensi krisis

yang mungkin timbul di sektor keuangan Pemerintah telah mengeluarkan 3 PERPPU, yaitu tentang JPSK, amandemen UU LPS dan amandemen UU BI.

iii. Analisis Peran Bank Century

o Peran Bank ini dilihat dari sisi fungsinya dalam intermediasi/pemberian kredit, ukuran bank, substitutability, dan keterkaitan dengan bank / lembaga keuangan lainnya tidak signifikan. Namun, dari sisi jumlah nasabah dan jaringan kantor cabang, Bank ini termasuk memiliki jumlah nasabah yang cukup besar (65.000 nasabah) dan jaringan cukup luas di seluruh Indonesia (30 KC). Oleh karena itu, penjaminan secara penuh menjadi sangat penting untuk diterapkan.

o Dalam kondisi pasar yang normal, jika bank ini ditutup maka diperkirakan relatif tidak akan menimbulkan dampak sistemik bagi bank lain.

o Namun dalam kondisi pasar yang saat itu cenderung rentan terhadap berita-berita negatif maka penutupan bank ini berpotensi menimbulkan contagion effect berupa upaya rush terhadap bank-bank lainnya, terutama peer banks atau bank yang lebih kecil. Dengan demikian, penutupan bank ini dikhawatirkan dapat mengganggu kelancaran sistem pembayaran, serta menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan dan sistem keuangan secara keseluruhan;

o Patut dipertimbangkan pula, kondisi makroekonomi yang sedang mengalami tekanan, serta adanya gangguan pada sistem perbankan/keuangan dapat memperburuk situasi sehingga dapat menimbulkan instabilitas yang signifikan.

iv. Analisis Dampak terhadap Pasar Keuangan

Situasi pasar keuangan saat itu relatif labil terhadap berita-berita negatif. Pasar modal mengalami penurunan harga saham terus menerus, penurunan kepercayaan investor asing terhadap pasar modal Indonesia, serta penurunan harga saham sektor keuangan. Sementara itu terjadi asymmetric information di PUAB. Pasar SUN mengalami penurunan harga SUN terus menerus yang berdampak terhadap harga obligasi korporasi. Credit Default Swap spread Indonesia mengalami peningkatan sebagai cerminan peningkatan country risk. Selain itu terdapat gangguan likuiditas di pasar karena peningkatan liquidity premium akibat pelebaran bid-ask spread dalam perdagangan di pasar saham.

(13)

13

pasar keuangan yang dapat berakibat turunnya kepercayaan internasional.

v. Analisis Sistem Pembayaran

• Sistem pembayaran berjalan normal, namun dengan gejala segmentasi di PUAB yang semakin meluas. Data selama seminggu terakhir menunjukkan bahwa transaksi PUAB dilakukan antara sesama bank di kelompok Bank Besar. Hal yang sama terjadi dengan kelompok bank menengah dan kecil. Hal ini menimbulkan kerentanan apabila terjadi flight to quality atau capital outflow yang mengakibatkan bank-bank menengah – kecil akan mengalami kesulitan likuiditas. Pemantauan menunjukkan terdapat 18 bank yang berpotensi tinggi akan mengalami kesulitan likuiditas bila hal tersebut terjadi. Sementara terdapat 5 bank yang memiliki karakteristik mirip seperti Bank Century diduga juga akan mengalami kesulitan likuiditas. • Situasi seperti ini membuat bank-bank cenderung menahan

likuiditas baik Rupiah atau valas untuk keperluan likuiditasnya masing-masing. Kondisi seperti ini akan membahayakan bank-bank yang tidak memiliki kekuatan likuiditas yang cukup. Jika kemudian muncul rumor atau berita negatif mengenai kegagalan 23 bank di atas dalam settlement kliring/RTGS, hal ini akan dengan cepat memicu terjadinya kepanikan di kalangan masyarakat dan berpotensi untuk menimbulkan bank run.

• Penjaminan penuh untuk transaksi antar bank menjadi isu penting dan strategis untuk mengurangi segmentasi.

vi. Kesimpulan

Penutupan Bank Century berpotensi menimbulkan dampak sistemik terutama dilihat dari jalur-jalur sebagai berikut:

Melalui sistem pembayaran: medium to high impact

• Apabila bank ini ditutup dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya rush pada peer banks dan bank-bank yang lebih kecil, sehingga akan mengganggu kelancaran sistem pembayaran. Melalui pasar keuangan: medium to high impact

• Penutupan bank ini akan menimbulkan sentimen negatif di pasar keuangan, terutama dalam kondisi pasar yang sangat rentan terhadap berita-berita yang dapat merusak kepercayaan terhadap pasar keuangan.

Melalui psikologi pasar: medium to high impact

• Kegagalan bank ini dapat menambah ketidakpastian pada pasar domestik yang dapat berakibat fatal pada psikologi pasar yang sedang sensitif.

Melalui lembaga keuangan: low to medium impact

(14)

14

Melalui sektor riil: low impact

Karena perannya pada pemberian kredit terhadap sektor riil tidak signifikan, maka kegagalan bank ini memiliki dampak yang relatif terbatas terhadap sektor riil.

Dari analisis tersebut di atas, permasalahan pada Bank Century berpotensi menimbulkan dampak sistemik terutama melalui jalur psikologi pasar, sistem pembayaran, dan pasar keuangan.

9. Tanggapan terhadap Penghitungan Biaya Penyelamatan Bank Century Tidak didasarkan pada Data Bank Century yang Sesungguhnya

Konsepsi/policy mengenai penyelamatan bank berdampak sistemik atas dasar PERPU No.4. Pada dasarnya keputusan untuk menyelamatkan Bank Century tidak didasarkan oleh besarnya biaya penyelamatan tetapi atas dasar penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik sebagaimana diatur dalam pasal 22 ayat (1) b Undang-Undang RI No.24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.

Sementara itu, tidak tepat jika disimpulkan bahwa penghitungan biaya penyelamatan Bank Century tidak didasarkan pada data yang sesungguhnya karena perhitungan tersebut sebenarnya telah didasarkan pada data/informasi yang ada pada saat itu, sebagai berikut: a. Bank Indonesia sudah melakukan koordinasi dengan KSSK mengenai permasalahan

Bank Century sejak tanggal 13 November 2008.

b. Pada saat menyampaikan surat GBI kepada KSSK tanggal 20 November 2008, pemeriksaan Bank Indonesia terhadap Bank Century masih berlangsung sehingga kondisi riil Bank Century secara utuh belum dapat diketahui, sehingga perhitungan CAR pun masih bisa berubah sesuai dengan hasil temuan pemeriksaan. Setelah Bank Indonesia menyatakan Bank Century sebagai bank gagal berpotensi sistemik pada tanggal 20 November 2008, Bank Indonesia menyampaikan kebutuhan modal untuk mengembalikan CAR ke posisi 8%. Pada saat itu, pengawas Bank Indonesia mengetahui bahwa terdapat SSB valas jatuh tempo pada bulan November 2008 (USD45 juta) dan Desember 2008 (USD40,36 juta). Pengawas memperkirakan SSB tersebut tidak akan terbayar dan apabila tidak terbayar, maka SSB tersebut dikategorikan Macet. Atas dasar pengetahuan tersebut, dengan mengikuti prinsip konservatif, BI memperkirakan kebutuhan modal adalah sebesar Rp 1,77 Trilyun (Rp.632 miliar + Rp.1,138 triliun). Di samping itu BI juga memberikan informasi kepada KSSK bahwa bank memerlukan tambahan likuiditas sebesar Rp.4,79.Trilyun, sehingga secara total kebutuhan dana untuk penyelamatan bank diperkirakan sebesar Rp.6,56.Trilyun. Selanjutnya hasil pembahasan dengan sekretaris KSSK menyepakati bahwa yang digunakan adalah data kebutuhan modal berdasarkan neraca per 31 Oktober 2008 dengan pertimbangan asumsi SSB macet masih merupakan perkiraan. Disepakati juga bahwa jumlah tersebut akan terus bertambah seiring dengan pemburukan kondisi bank selama bulan November 2008. Hal itu disebabkan pemeriksaan belum tuntas dan masih berlangsung sehingga terdapat kemungkinan pemburukan kondisi bank.

10. Perlu kami informasikan bahwa dari serangkaian langkah kebijakan dan tindakan yang ditempuh selama ini menghasilkan hal positif bagi stabilitas sIstem keuangan dan perenomian nasional. Hal ini tercermin dari indikator dan opini-opini yang muncul dari para pelaku pasar.

(15)

Referensi

Dokumen terkait

Saudara diharapkan membawa Dokumen ASLI Perusahaan dan menyerahkan Fotocopynya antara lain : Dokumen Penawaran, Jaminan Penawaran, Surat Dukungan Keuangan Dari Bank, Ijin Usaha

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui perbedaan angka kuman pada linen setelah proses akhir (penyetrikaan) di ruang Laundry dan setelah pendistribusian di ruang

Pengaruh audit internal ditunjukkan oleh R 2 (koefisien determinasi) dari analisis regresi, R 2 ini menunjukkan proporsi atau presentase variasi total dalam

Banyak pengertian media yang dikemukakan para ahli, diantaranya adalah Gagne dan Briggs dalam Arsyad (2010) menyatakan bahwa,“Media pembelajaran meliputi alat yang

Program GERNAS ini adalah suatu terobosan yang inovatif dan berpotensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan petani kakao, khususnya petani di Kawasan Timur Indonesia..

Besarnya kawat grounding yang dapat dipergunakan minimal berpenampang sama dengan penampang kabel masuk (incoming feeder) untuk penampang kabel lebih kecil dari 50 MM 2 , atau.

Besar kemungkinan bahwa manfaat keekonomisan di masa yang akan datang yang berkaitan dengan aset tersebut akan mengalir dalam perusahaan; untuk dapat menilai apakah

Salah satunya penelitian terhadap situs berita radar malang yang penulis lakukan yang bertujuan untuk mengklasifikasikan jenis berita yang sesuai dengan konten berita pada