ANALISIS YURIDIS TERHADAP PEMBERIAN KREDIT JANGKA PENDEK
MELALUI KEWENANGAN BANK INDONESIA TERHADAP
BANK-BANK BERMASALAH DALAM PEMBAYARAN KREDIT
(STUDI TERHADAP KASUS BANK CENTURY)
T E S I S
OLEH
ANDREAS DIMPOS PASARIBU 097005062 / HK
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
ANALISIS YURIDIS TERHADAP PEMBERIAN KREDIT JANGKA PENDEK
MELALUI KEWENANGAN BANK INDONESIA TERHADAP
BANK-BANK BERMASALAH DALAM PEMBAYARAN KREDIT
(STUDI TERHADAP KASUS BANK CENTURY)
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Magister Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
OLEH
ANDREAS DIMPOS PASARIBU 097005062 / HK
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS TERHADAP PEMBERIAN KREDIT JANGKA PENDEK MELALUI KEWENANGAN BANK INDONESIA TERHADAP BANK-BANK BERMASALAH DALAM PEMBAYARAN KREDIT (STUDI TERHADAP KASUS BANK CENTURY)
Nama Mahasiswa : Andreas Dimpos Pasaribu
Nomor Pokok : 097005062
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
Ketua
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH
Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum
Anggota Anggota
Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Dekan Fakultas Hukum
Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum
Telah diuji pada
Tanggal 11 Agustus 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH
Anggota : 1. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum
2. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum
3. Dr. T. Keizerina Devi. A, SH, CN, M.Hum
ABSTRAK
Bank Indonesia sebagai bank sentral memiliki kewenangan mengeluarkan
kebijaksanaan dalam pemberian kredit jangka pendek untuk menyelamatkan
bank-bank bermasalah. Bank Indonesia dapat memberikan dana kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas melalui Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dalam bentuk kredit untuk mengatasi masalah keuangan jangka pendek agar dapat diselesaikan sebab jika tidak ditangani akan berdampak sistemik.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah: pertama, bagaimanakah pengaturan pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek dalam sistim perbankan di Indonesia? kedua, bagaimanakah penanganan terhadap bank bermasalah
oleh Bank Indonesia melalui mekanisme pemberian kredit jangka pendek? Dan ketiga, apakah pertimbangan Bank Indonesia melakukan penanganan Bank Century
melalui pemberian kredit jangka pendek?
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis normatif yakni penelitian yang mengacu kepada norma-norma yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Bahan hukum primer yaitu UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia junto UU No.3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia junto UU No.6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No.23 Tahun 1999 tentang BI Menjadi Undang-Undang.
Kesimpulan menunjukkan bahwa pengaturan pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek sesuai Pasal 11 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU No.6 Tahun 2009 yang kemudian diatur PBI No.10/26/PBI/2008 dan PBI No.10/30/PBI/2008 tentang Perubahan atas PBI No.10/26/PBI/2008 tentang FPJP bagi Bank Umum serta SE No.10/39/DPM. FPJP diberikan oleh Bank Indonesia kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar. Pemberian FPJP dijamin dengan agunan yang berkualitas tinggi dengan nilai agunan yang memadai. Penanganan ini dilakukan melalui keputusan KSSK yang tergabung di dalamnya pejabat Departemen Keuangan berkoordinasi dengan Bank Indonesia sebagai the
lender of the last resort (LoLR) yakni sebagai lembaga pemberi pinjaman terakhir
serta Lembaga Penjamin Simpanan sebagai lembaga independen yang berwenang melaksanakan program penjaminan terhadap simpanan nasabah bank yang gagal atau bermasalah dalam hal likuiditas. Pertimbangan Bank Indonesia dalam melakukan penanganan Bank Century melalui pemberian kredit jangka pendek mengedepankan keindependensian dan kompetensi BI sebagai otoritas moneter dan perbankan dalam mengambil keputusan melalui analisisnya sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
ABSTRACT
Bank Indonesia as the central bank has the authority issued a policy in the short-term loans to rescue troubled banks. Bank Indonesia may provide funds to banks experiencing liquidity problems through the Short Term Funding Facility (FPJP) in the form of credit to cope with short-term financial problems to be resolved because if not addressed will affect systemic.
The problems discussed in this study were: first, how is the setting of short-term financing facility in the banking system in Indonesia? second, how is the handling of troubled banks by Bank Indonesia through the mechanism of short-term credit? and third, whether the consideration of Bank Indonesia have addressed the Century Bank through the provision of short-term credit?
The method used in this research that the normative juridical research that refers to the norms contained in the legislation and court decisions. Primary legal materials of Law No.23 of 1999 concerning Bank Indonesia junto Act No.3 of 2004 on Amendments to Law No.23 of 1999 concerning Bank Indonesia junto Act No.6 of 2009 on Stipulation of Government Regulation in Lieu of Law No. 2 2008 on the Second Amendment Act No.23 of 1999 on Bank Become Law.
The conclusion suggests that the regulation of short-term financing facility pursuant to Article 11 paragraph (1), subsection (2), and (3) of Act No.6 of 2009 which was then governed No.10/26/PBI/2008 PBI and PBI. 10/30/PBI/2008 on Amendments to PBI No.10/26/PBI/2008 about FPJP for Banks and SE No.10/39/DPM. FPJP provided by Bank Indonesia to the bank to overcome the short-term funding difficulties caused by the flow of funds into smaller compared with the flow of funds out. Giving FPJP secured by collateral of high quality with adequate collateral value. Handling is done through decisions incorporated in it KSSK Ministry of Finance officials in coordination with Bank Indonesia as the lender of last resort (LoLR) as a lending institution that is the last as well as LPS as an independent agency authorized to implement the guarantee program of bank customer deposits failed or problematic in terms of liquidity. Consideration of Bank Indonesia in the handling of Century Bank through the provision of short-term credit and prioritizing independent BI competency as monetary and banking authorities in decision making through analysis in accordance with the provisions of the laws and regulations applicable.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
karuniaNya, sehingga akhirnya Penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul
“ANALISIS YURIDIS TERHADAP PEMBERIAN KREDIT JANGKA
PENDEK MELALUI KEWENANGAN BANK INDONESIA TERHADAP
BANK-BANK BERMASALAH DALAM PEMBAYARAN KREDIT
(STUDI TERHADAP KASUS BANK CENTURY“.
Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi
untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum, Pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara di Medan. Penulisan tesis ini tidak akan mungkin selesai
tanpa adanya arahan, bimbingan, bantuan maupun dukungan dari berbagai pihak,
hingga akhirnya tesis ini dapat diselesaikan.
Untuk itu, pada kesempatan ini Penulis sampaikan penghargaan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat: Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH,
Selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, selaku anggota
Komisi Pembimbing, dan Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, selaku anggota
Komisi Pembimbing saya dan sekaligus juga Sekretaris Program Studi Magister Ilmu
Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara di Medan. Atas kesediaan
bapak/ibu dalam memberikan bimbingan, arahan maupun petunjuk kepada Penulis,
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu dosen
penguji yang terhormat Dr. T. Keizerina Devi A, SH., CN., MHum dan
Dr. Utary Maharani Barus, S.H., M.Hum,
Dalam kesempatan ini Penulis juga memberikan penghargaan dan mengucapkan
terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda tersayang Drs, D.H Pasaribu
dan Ibunda tercinta Rena Hutabarat, karena atas berkat doa, dorongan dan motivasi
mereka, sehingga Penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
yang telah sangat banyak memberikan
masukan, petunjuk dan arahan yang sangat berguna dalam menyempurnakan tesis ini,
sejak tahap seminar proposal sampai selesainya penulisan tesis ini.
Selanjutnya ucapan terimakasih juga Penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara di Medan Cq Asisten
Pembinaan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara di Medan yang telah
memberikan kesempatan kepada Penulis untuk mengikuti Program Magister
Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana di Universitas Sumatera Utara, Medan.
2. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc(CTM). Sp.A(K),
selaku Rektor atas kesempatan menjadi mahasiswa pada Program Magister
Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Rahim Matondang , MSIE, selaku Direktur Sekolah
Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, Jajaran Asisten Direktur
beserta seluruh staff, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada
4. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu
Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan
fasilitas yang diberikan kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan
pendidikan ini.
5. Seluruh Guru Besar serta dosen dilingkungan Program Magister Ilmu Hukum
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara di Medan, atas jasa mereka
yang telah mencurahkan ilmu pengetahuanya dan mendidik Penulis sehingga
dapat menyelesaikan studi ini.
6. Para Pegawai/staff pada Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana,
Universitas Sumatera Utara di Medan, yang senantiasa memberikan
bantuanya kepada Penulis selama masa perkuliahan.
7. Teman-teman kuliah di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, terimakasih atas dukungan dan bantuan
tulus yang tak terlupakan.
Akhirnya Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada segala pihak yang
tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu, yang telah turut membantu dalam
penyelesaian tesis ini semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Medan, 11 Agustus 2011 Hormat Saya,
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Andreas Dimpos Pasaribu
Tempat/Tgl. Lahir : Tanjung Morawa/08 Februari 1986
Agama : Kristen Protestan
Status : Lajang
Pendidikan : 1. SD Methodist I Hangtuah Medan Tahun 1998
2. SMP Methodist II Hangtuah Medan Tahun 2001
3. SMA Methodist I Hangtuah Medan Tahun 2004
4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Medan Area Tahun 2009
5. S-2 Program Magister Pascasarjana Ilmu Hukum Fakultas
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... DAFTAR ISI ... vi
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 9
E. Keaslian Penelitian ... 9
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ... 10
1. Kerangka Teori... 10
2. Landasan Konsepsional ... 22
G. Metode Penelitian ... 25
1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 26
2. Sumber Data ... 27
3. Teknik Pengumpulan Data ... 28
4. Analisis Data ... 28
BAB II : PENGATURAN PEMBERIAN FASILITAS PENDANAAN
JANGKA PENDEK DALAM SISTIM PERBANKAN DI
INDONESIA ... 30
A. Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek dalam Sistim Perbankan di
Indonesia ... 30
1. Pengertian dan Dasar Hukum Fasilitas Pendanaan Jangka
Pendek ... 30
2. Tujuan Pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek oleh
Bank Indonesia ... 31
3. Syarat-Syarat Pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek 35
B. Perbedaan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek dengan
Pendanaan Lainnya ... 40
1. Perbedaan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek dengan
Fasilitas Likuiditas Intrahari ... 40
2. Perbedaan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek dengan
Blancket Guaranty ... 46
3. Perbedaan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek dengan
Bailout ... 48
4. Perbedaan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek dengan
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia ... 53
C. Jaminan Dalam Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek ... 61
D. Hubungan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek dengan Lembaga
BAB III : PENANGANAN TERHADAP BANK BERMASALAH OLEH
BI MELALUI MEKANISME PEMBERIAN KREDIT JANGKA
PENDEK ... 67
A. Bank Bermasalah dan Dampaknya Terhadap Perekonomian ... 67
1. Pengertian Bank Gagal ... 67
2. Dampaknya Terhadap Perekonomian ... 70
B. Peranan Bank Indonesia Terhadap Bank Bermasalah ... 74
C. Penanganan Bank Bermasalah Melalui Pemberian FPJP ... 80
BAB IV : PERTIMBANGAN BI MELAKUKAN PENANGANAN BANK CENTURY MELALUI PEMBERIAN KREDIT JANGKA PENDEK ... 86
A. Kronologis Penanganan Bank Century Melalui FPJP Hingga Dibentuknya Panitia Khusus ... 86
B. Pihak-pihak yang Berkepentingan dalam Penanganan Bank Century 95 1. Menteri Keuangan ... 95
2. Bank Indonesia Sebagai Otoritas Moneter ... 97
3. Komite Stabilitas Sistim Keuangan (KSSK)... 98
4. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ... 100
5. Pemilik Bank ... 103
C. Skema Penanganan Bank Century Melalui Mekanisme Pemberian Kredit Jangka Pendek ... 105
1. Skema Status Bank Century ... 105
D. Pertimbangan Bank Indonesia Melakukan Penanganan ... 113
1. Metode Analisis Bank Indonesia Terhadap Rasio-Rasio Keuangan Bank Century ... 113
2. Pertimbangan Stabilitas Moneter ... 120
3. Bank Cantury Berdampak Sistemik ... 124
E. Implikasi Penggunaan UU No.6 Tahun 2009 tentang BI dalam Kasus Bank Century ... 128
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 134
A. Kesimpulan ... 134
B. Saran ... 137
DAFTAR TABEL DAN SKEMA
TABEL:
Tabel 1: Rasio Keuangan Bank Century Ketika Berganti Nama Menjadi Bank
Mutiara ... 92
Tabel 2: Jumlah Tambahan Modal yang Disetorkan LPS Kepada Bank
Century ... 101
Tabel 3: Rasio Keuangan Bank Century per 31 Juli 2009 setelah ditangai LPS 103
SKEMA:
Skema 1: Status Bank Century ... 107
Skema 2: Aliran FPJP I dan II ke Bank Century ... 111
ABSTRAK
Bank Indonesia sebagai bank sentral memiliki kewenangan mengeluarkan
kebijaksanaan dalam pemberian kredit jangka pendek untuk menyelamatkan
bank-bank bermasalah. Bank Indonesia dapat memberikan dana kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas melalui Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dalam bentuk kredit untuk mengatasi masalah keuangan jangka pendek agar dapat diselesaikan sebab jika tidak ditangani akan berdampak sistemik.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah: pertama, bagaimanakah pengaturan pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek dalam sistim perbankan di Indonesia? kedua, bagaimanakah penanganan terhadap bank bermasalah
oleh Bank Indonesia melalui mekanisme pemberian kredit jangka pendek? Dan ketiga, apakah pertimbangan Bank Indonesia melakukan penanganan Bank Century
melalui pemberian kredit jangka pendek?
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis normatif yakni penelitian yang mengacu kepada norma-norma yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Bahan hukum primer yaitu UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia junto UU No.3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia junto UU No.6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No.23 Tahun 1999 tentang BI Menjadi Undang-Undang.
Kesimpulan menunjukkan bahwa pengaturan pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek sesuai Pasal 11 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU No.6 Tahun 2009 yang kemudian diatur PBI No.10/26/PBI/2008 dan PBI No.10/30/PBI/2008 tentang Perubahan atas PBI No.10/26/PBI/2008 tentang FPJP bagi Bank Umum serta SE No.10/39/DPM. FPJP diberikan oleh Bank Indonesia kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar. Pemberian FPJP dijamin dengan agunan yang berkualitas tinggi dengan nilai agunan yang memadai. Penanganan ini dilakukan melalui keputusan KSSK yang tergabung di dalamnya pejabat Departemen Keuangan berkoordinasi dengan Bank Indonesia sebagai the
lender of the last resort (LoLR) yakni sebagai lembaga pemberi pinjaman terakhir
serta Lembaga Penjamin Simpanan sebagai lembaga independen yang berwenang melaksanakan program penjaminan terhadap simpanan nasabah bank yang gagal atau bermasalah dalam hal likuiditas. Pertimbangan Bank Indonesia dalam melakukan penanganan Bank Century melalui pemberian kredit jangka pendek mengedepankan keindependensian dan kompetensi BI sebagai otoritas moneter dan perbankan dalam mengambil keputusan melalui analisisnya sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
ABSTRACT
Bank Indonesia as the central bank has the authority issued a policy in the short-term loans to rescue troubled banks. Bank Indonesia may provide funds to banks experiencing liquidity problems through the Short Term Funding Facility (FPJP) in the form of credit to cope with short-term financial problems to be resolved because if not addressed will affect systemic.
The problems discussed in this study were: first, how is the setting of short-term financing facility in the banking system in Indonesia? second, how is the handling of troubled banks by Bank Indonesia through the mechanism of short-term credit? and third, whether the consideration of Bank Indonesia have addressed the Century Bank through the provision of short-term credit?
The method used in this research that the normative juridical research that refers to the norms contained in the legislation and court decisions. Primary legal materials of Law No.23 of 1999 concerning Bank Indonesia junto Act No.3 of 2004 on Amendments to Law No.23 of 1999 concerning Bank Indonesia junto Act No.6 of 2009 on Stipulation of Government Regulation in Lieu of Law No. 2 2008 on the Second Amendment Act No.23 of 1999 on Bank Become Law.
The conclusion suggests that the regulation of short-term financing facility pursuant to Article 11 paragraph (1), subsection (2), and (3) of Act No.6 of 2009 which was then governed No.10/26/PBI/2008 PBI and PBI. 10/30/PBI/2008 on Amendments to PBI No.10/26/PBI/2008 about FPJP for Banks and SE No.10/39/DPM. FPJP provided by Bank Indonesia to the bank to overcome the short-term funding difficulties caused by the flow of funds into smaller compared with the flow of funds out. Giving FPJP secured by collateral of high quality with adequate collateral value. Handling is done through decisions incorporated in it KSSK Ministry of Finance officials in coordination with Bank Indonesia as the lender of last resort (LoLR) as a lending institution that is the last as well as LPS as an independent agency authorized to implement the guarantee program of bank customer deposits failed or problematic in terms of liquidity. Consideration of Bank Indonesia in the handling of Century Bank through the provision of short-term credit and prioritizing independent BI competency as monetary and banking authorities in decision making through analysis in accordance with the provisions of the laws and regulations applicable.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peningkatan risiko resesi ekonomi pada perekonomian Amerika Serikat
terjadi pada tahun 2007 ditandai dengan tumbangnya perusahaan-perusahaan
keuangan besar seperti Lehman Brothers Holdings Inc yang dinyatakan bangkrut dan
beberapa perusahaan lainnya (Lehman Merrill Lynch, American International Group)
mengalami kesulitan likuiditas, sehingga di akhir tahun 2007, diskusi tentang
instabilitas finansial pun menghangat. Penyebabnya adalah terjadinya krisis di pasar
finansial Amerika Serikat yang bersumber dari masalah kredit perumahan berkualitas
rendah (subprime mortgage). Pengaruhnya dapat menimbulkan terganggunya sistim
perekonomian di pasar global.1
Krisis di pasar finansial tersebut berdampak pada dunia perbankan Amerika
Serikat di tahun 2008. Pemerintah Amerika Serikat melakukan bailout
2
1
A. Prasetyantoko, Bencana Financial, Stabilitas Sebagai Barang Publik, (Jakarta: Kompas 2008), hal. 11-12. Instabilitas finansial adalah istilah yang digunakan dalam hal perubahan drastis harga-harga aset-aset produk finansial seperti: saham, obligasi, mortgage, futures, dan berbagai bentuk surat berharga dan produk derivatif (produk turunan) lainnya.
terhadap
Citigroup sebagai salah satu bank terbesar di Amerika Serikat. Hal ini tentu sangat
erat kaitannya dengan eksistensi Bank Sentral di Amerika Serikat pada waktu itu,
2
Bambang Soesatyo, Skandal Gila Bank Century, Mengungkap Yang Tak Terungkap Skandal
Keuangan Terbesar Pasca Reformasi, (Jakarta: Ufuk Publishing House, 2010), hal. 106. Bailout
yaitu Federal Reserve Bank. Pemerintah meminta pertanggungjawaban Gubernur
Bank Sentral Negara (Federal Reserve Bank), Alan Greenspan, untuk menjelaskan
posisinya dalam mengambil kebijaksanaannya yang menimbulkan krisis ekonomi
global tahun 2008 tersebut.3
Kerugian pada sejumlah lembaga finansial besar yang tercatat di pasar modal,
mengubah krisis sektor perumahan menjalar menjadi sentimen negatif terhadap
industri pasar modal finansial. Kecemasan pun terus menjalar, terkait penurunan daya
serap pasar terbesar Amerika Serikat. Akibat pelemahan ekonomi yang bersumber
dari AS tersebut, sentimen buruk terus menular ke belahan dunia lainnya.4
Hal tersebut secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi stabillitas
sistem finansial di Indonesia. Pengaruhnya adalah munculnya keraguan masyarakat
3
Sawidji Widoatmodjo, Mencari Kebenaran Objektif Dampak Sistemik Bank Century, Kajian
Teoritis dan Empiris, (Jakarta: Alex Media Komputindo, 2010), hal. 1-2. Permasalahannya adalah
ketika penerus pimpinan Federal Reserve Bank (penerus Greenspan), yaitu Ben Bernanke, menaikkan suku bunga dengan tujuan untuk memerangi inflasi pada waktu itu. Akibatnya para pengambil KPR tidak sanggup membayar bunga KPR atau dengan kata lain mengalami kredit macet (kredit bermasalah). Oleh karena KPR macet, maka sekuritas beragun KPR tersebut ikut macet juga, sehingga muncullah krisis di Amerika Serikat dan berpengaruh terhadap global dimana pembayaran KPR beserta sekuritas turunannya macet, harga rumah ambruk, para investor sekuritas beragun KPR di seluruh penjuru dunia merugi. Ambruknya harga sekuritas beragun KPR yang disebut suprime
mortage tersebut diikuti dengan ambruknya harga-harga saham di bursa-bursa utama dunia. Akhirnya
krisis ekonomi global pun terjadi dan mantan Gubernur Federal Reserve Bank (Alan Greenspan) yang telah memimpin bank sentral selama 20 (dua puluh tahun) dipersalahkan oleh panel karena kebijaksanaannya merendahkan suku bunga telah menyebabkan kredit rumah dengan suku bunga yang rendah, tentu banyak konsumen rumah yang berminat mengambil kredit untuk membeli rumah. Karena Kredit Pemilikan Rumah (KPR) tersebut telah dijadikan sekuritas beragun KPR menjadi produk derivatif dan dijual kepada konsumen yang kemudian menjualnya kembali kepada investornya, maka imbal hasil yang ditawarkan semakin tinggi paling tidak lebih tinggi jika dibandingkan dengan suku bunga KPR awal. Apalagi derivasi tersebut terjadi berulang-ulang, maka imbal hasil yang harus ditawarkan penerbit sekuritas beragun KPR tersebut semakin tinggi.
4
Nia Avenasari., Pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) Dalam Mengatasi
Krisis Perbankan (Studi Perbandingan Pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia-BLBI), Tesis,
terhadap lembaga perbankan yang ditandai dengan meningkatnya kepanikan
masyarakat dalam menyikapi krisis, walaupun krisis dimaksud belum secara langsung
berdampak pada sektor perbankan dan pasar modal di Indonesia.5
Mantan Gubernur Bank Indonesia, Boediono, dipersalahkan karena
mengambil kebijaksanaan dalam menyelamatkan Bank Century dengan tujuan untuk
menghindarkan ekonomi Indonesia dari dampak krisis ekonomi global tahun 2008.
6
Bank Century bermasalah dari segi permodalan dan aliran dana (cash flow).7 Bank
Century mengalami kesulitan likuiditas ketika krisis ekonomi global sedang
berlangsung hingga Bank Century diberikan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek
(FPJP) oleh Bank Indonesia (selanjutnya ditulis BI).8
Kesulitan likuiditas tidak menutup kemungkinan terjadi pada bank-bank lain
di Indonesia sebagai akibat rumor negatif yang sudah beredar di masayarakat.
Kesulitan likuiditas menyebabkan bank-bank akan bermasalah misalnya kalah kliring
atau tidak bisa membayar dana nasabah yang dapat mengakibatkan dampak
terjadinya rush yaitu penarikan dana besar-besaran oleh para nasabah bank yang
5
http://www.scribd.com/doc/9789796/Membendung-Badai-Krisis-Finansial, diakses tanggal 15 Maret 2011. Pada tahun 2008, terjadi penurunan saham di BEI yang tidak dapat diprediksi sebab inflasi sudah menyentuh 12,14%, BI rate (suku bunga) hanya mencapai 9,5% dan IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) anjlok sampai 10,38% menuju titik 1.451,67. Situasi di tahun 2008, intervensi dan koordinasi dari Pemerintah dan BI harus diperkuat agar pelaku pasar tidak panik. Menyusul anjoknya IHSG sebesar 10,38%, penutupan sementara transaksi di BEI pada 8 Oktober 2008 merupakan langkah strategis untuk menghindari kepanikan investor.
6
http://www.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=15497, diakses terakhir tanggal 21 Januari 2011.
7
Aloysius Soni BL de Rosari, Skandal Bank Century, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010), hal. 123.
8
bersangkutan.9
Penanganan bank-bank bermasalah melalui kewenangan BI, didasarkan
kepada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
BI sebagai bank sentral memiliki kewenangan mengeluarkan
kebijaksanaan dalam pemberian kredit jangka pendek untuk menyelamatkan
bank-bank bermasalah.
10
BI sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang11 Perubahan Atas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI. Terakhir
pada tanggal 13 Januari 2009, diundangkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang12 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang13
9
http://mahriza.wordpress.com/2010/03/04/skandal-bank-century-mengapa-menimbulkan-banyak-keresahan-dan-kemarahan/, diakses tanggal 3 Januari 2011.
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang BI Menjadi Undang-Undang (selanjutnya ditulis UUBI). Pasal 11 ayat (1)
UU BI, ditentukan bahwa BI dapat memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kepada bank
untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek bank yang bersangkutan.
10
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843.
11
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Pertama atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357.
12
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962.
13
Diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 sehubungan dengan
suntikan dana atau lebih tepatnya disebut dengan pemberian FPJP dalam bentuk
kredit jangka pendek terhadap bank-bank bermasalah. Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 mengatur lebih spesifik mengenai kriteria agunan yang dijaminkan oleh
bank untuk memperoleh kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dari BI.
Ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 terdapat
pengaturan mengenai kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dari BI
kepada bank-bank yang bermasalah dalam hal kesulitan likuiditas sebelum dilakukan
bailout. Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
BI menjadi undang-undang merupakan langkah tepat untuk menjaga kepercayaan
masyarakat terhadap dunia perbankan, khususnya dalam hal mengatasi kesulitan
pendanaan jangka pendek bagi bank-bank bermasalah.
Kebangkrutan bank adalah fenomena yang notabene disebabkan oleh
kegagalan bisnis akibat tidak terpenuhi keinginan konsumen dalam mekanisme pasar,
oleh sebab itu harus dihindari dan diselesaikan melalui pemberian dana dalam bentuk
kredit jangka pendek.14
14
Bambang Soesatyo, Op. cit., hal. 107.
Bank bermasalah atau mengalami kesulitan likuditas dapat
(CAR) negatif atau turun misalnya rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy
Ratio (CAR) merosot penuh minus 3% menjadi 35%.15
Kesulitan likuiditas digambarkan adalah suatu kesulitan entitas atau suatu
bank yang tidak mampu memenuhi seluruh kewajibannya yang harus dilunasi dalam
waktu singkat sehingga mengalami kesulitan dana likuid namun memiliki asset yang
cukup. BI dapat memberikan dana kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas
melalui FPJP dalam bentuk kredit untuk mengatasi masalah keuangan jangka pendek
agar dapat diselesaikan.16
Ketentuan mengenai FPJP diatur dalam PBI No.10/26/PBI/2008 tanggal 30
Oktober 2008 yang kemudian disempurnakan melalui PBI No.10/30/PBI/2008
tanggal 14 November 2008 tentang Perubahan atas PBI No.10/26/PBI/2008. FPJP
diberikan oleh BI sebagai upaya untuk mengurangi dampak bahaya krisis global
khususnya yang mengancam stabilitas sistem keuangan dalam industri perbankan.
FPJP merupakan bagian integral dari Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK)
yang diperlukan dalam rangka memelihara stabilitas keuangan.
FPJP pada dasarnya merupakan tindakan antisipatif melalui Menteri
Keuangan dan Gubernur BI yang tergabung dalam Komite Stabilitas Sistem
Keuangan (KSSK). FPJP diberikan bagi bank untuk mengatasi kesulitan keuangan
atau kesulitan likuiditas (mismatch) agar dapat memenuhi kewajiban Giro Wajib
15
Steve Susanto, Menyibak Tabir Bank Century, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2010), hal. 49.
16
Minimum (GWM) yang diatur dalam PBI No. 10/19/PBI/2008 tentang Giro Wajib
Minimum Bank Umum Pada BI Dalam Rupiah Dan Valuta Asing, yang menentukan
bahwa GWM harus dipenuhi setiap bank sebesar 7,5% dari dana pihak ketiga.17
Tingginya intensitas rumor negatif yang beredar di masyarakat, diperparah
dengan kondisi perbankan yang sedang mengalami kesulitan likuiditas antar bank
hingga menyebabkan gagal kliring, maka bank yang mengalami gagal kliring tersebut
dapat diambil alih oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan dimusyawarahkan
terlebih dahulu melalui rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Apabila
hasil rapat komite mengatakan bahwa bank tersebut berdampak sistemik jika tidak
ditangani, langkah BI adalah memberikan Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI) namun
apabila tidak dapat juga melunasi nilai FLI sampai dengan batas waktu pelunasan
yang ditetapkan, maka terhadap nilai FLI yang tidak dilunasi tersebut oleh BI dapat
mengeluarkan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP), jika tidak dapat melunasi
FPJP dalam jangka waktu yang ditetapkan, bank bersangkutan dinyatakan sebagai
bank gagal dan selanjutnya KSSK menyerahkan penanganan bank tersebut kepada
LPS.
18
Pemberian kredit jangka pendek melalui Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek
(FPJP) dapat dilakukan oleh BI dengan pertimbangan sebagai alternatif terakhir
bahwa suatu bank telah mengalami kesulitan likuiditas atau kesulitan keuangan yang
17
HLB Hadori, Studi Keuangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, (Jakarta: Bank Indonesia, 2002), hal. 7. Bank Century merupakan bank pertama penerima akses FPJP.
18
berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem
keuangan, maka BI dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang
pendanaannya menjadi beban Pemerintah. Uraian di atas, penting dilakukan
penelitian tentang ”Analisis Yuridis Terhadap Pemberian Kredit Jangka Pendek
Melalui Kewenangan BI Terhadap Bank-Bank Bermasalah Dalam Pembayaran
Kredit” sebagai judul dalam penelitian ini.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, ditemukan permasalahn dalam penelitian ini.
Permasalahan dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek
dalam sistim perbankan di Indonesia?
2. Bagaimanakah penanganan terhadap bank bermasalah oleh BI melalui
mekanisme pemberian kredit jangka pendek?
3. Apakah pertimbangan BI melakukan penanganan Bank Century melalui
pemberian kredit jangka pendek?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam melakukan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui dan mendalami mengenai pengaturan pemberian fasilitas
2. Untuk mengetahui dan mendalami penanganan terhadap bank bermasalah
oleh BI melalui mekanisme pemberian kredit jangka pendek.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan BI melakukan penanganan
Bank Century melalui pemberian kredit jangka pendek.
D. Manfaat Penelitian
Sedangkan manfaat dalam penelitian ini, dapat dikelompokkan menjadi 2
(dua) bagian yaitu secara teoritis dan praktis sebagai berikut:
1. Manfaat secara teoritis. Manfaat secara teoritis adalah sebagai bahan kajian
penelitian lebih lanjut bagi para akademisi maupun masyarakat pada
umumnya dan bermanfaat menambah khasanah ilmu hukum perbankan
khususnya mengenai penanganan bank bermasalah melalui pemberian kredit
jangka pendek.
2. Manfaat secara praktis. Manfaat secara praktis adalah sebagai kontribusi bagi
lembaga-lembaga keuangan, bank-bank, dan BI serta Pemerintah dalam kajian
mengenai kebijakan-kebijakan perbankan.
E. Keaslian Penelitian
Untuk menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang
sama dengan penelitian ini, maka dilakukan pemeriksaan terhadap judul dan
permasalahan tesis-tesis di Perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum
ditemukan judul tesis tentang “Pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP)
Dalam Mengatasi Krisis Perbankan (Studi Perbandingan Pemberian Bantuan
Likuiditas BI-BLBI)” atas nama Nia Avenasari, NIM: 077005085, fokus
permasalahannya yakni mekanisme bank yang dikategorikan dalam masalah
likuiditas, persyaratan pemberian BLBI dan FPJP, dan hubungan BI dengan
pemerintah dalam hal pemberian bantuan likuiditas.
Perbedaannya bahwa penelitian ini difokuskan kepada pengaturan pemberian
kredit jangka pendek dalam sistim perbankan, penanganan Bank Century oleh BI
melalui pemberian kredit jangka pendek, dan membahas faktor-faktor pertimbangan
BI memberikan kredit jangka pendek kepada bank. Berdasarkan perbedaan
perumusan masalah antara kedua penelitian di atas, maka penelitian ini dapat
dikatakan memiliki keaslian, dan jauh dari unsur plagiat serta sesuai dengan asas-asas
keilmuan yang harus dijunjung tinggi yaitu kejujuran, rasional, objektif, dan terbuka
sesuai dengan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional
1. Kerangka Teori
Diawali dari abad XIX, manusia semakin sadar akan kemampuannya untuk
mengubah keadaan dalam segala bidang.19
19
http://tubiwityu.typepad.com/blog/2010/02/teori-hukum.html, diakses tanggal 17Maret 2011.
Muncul berbagai teori pada abad XIX
berpandangan bahwa teori hukum merupakan kelanjutan dari usaha untuk
mempelajari hukum positif. Para penganut positivisme menggunakan hukum positif
sebagai bahan kajian dengan telaah filosofis sebagai salah satu sarana bantuan untuk
menjelaskan tentang hukum. Penganut paham positivisme ini antara lain adalah
H.L.A Hart, John Austin, Jeremy Bentham, Rudolph von Jhering, dan John Stuart
Mill.
Jeremy Bentham, Rudolph von Jhering, dan John Stuart Mill adalah para
penganut teori positivisme yang utilitarian (utilitarianisme). Prinsip utilitarian
menyatakan bahwa: ”An action is right from an ethical point of view if and only if the
sum total of utilities produceed by that act is greater than the sum total of utilities
produced by any other act the agent could have performed in its place.”20
Rudolph von Jhering sering disebut sebagai “social utilitarianism”. Rudolph
von Jhering mengembangkan segi-segi positivisme dari John Austin dan
menggabungkannya dengan prinsip-prinsip utilitarianisme dari Jeremy Bentham dan
John Stuart Mill. Rudolph von Jhering memusatkan perhatian filsafat hukumnya
kepada konsep tentang “tujuan”, seperti dikatakannya bahwa tujuan hukum
merupakan tujuan dari penciptanya, tidak ada suatu peraturan hukum yang tidak (Terjemahan bebas: Suatu tindakan dianggap benar dari sudut pandang etis jika dan
hanya jika jumlah total utilitas yang dihasilkan dari tindakan tersebut lebih besar dari
jumlah utilitas total yang dihasilkan oleh tindakan lain yang dilakukan).
20
memiliki asal-usulnya pada tujuan dari pencipta, yaitu pada motif yang praktis.
Menurutnya hukum dibuat dengan sengaja oleh manusia untuk mencapai hasil-hasil
tertentu yang diinginkan. Rudolph von Jhering mengakui bahwa hukum itu
mengalami suatu perkembangan sejarah, tetapi menolak pendapat para teoritisi aliran
sejarah, bahwa hukum itu tidak lain merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan historis
murni yang tidak direncanakan dan tidak disadari. Hukum terutama dibuat dengan
penuh kesadaran oleh negara dan ditujukan kepada tujuan tertentu.21
John Stuart Mill berpendapat hampir sama dengan Jeremy Bentham, yaitu
bahwa tindakan itu hendaklah ditujukan kepada tercapainya kebahagiaan. Standar
keadilan hendaknya didasarkan kepada kegunaannya. Pandangan Rudolph von
Jhering dikritik oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, mereka berpandangan
bahwa “asal usul kesadaran akan keadilan itu tidak ditemukan pada kegunaan,
melainkan pada dua sentimen, yaitu rangsangan untuk mempertahankan diri dan
perasaan simpati”. Menurut John Stuart Mill, keadilan bersumber pada naluri
manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri,
maupun oleh siapa saja yang mendapatkan simpati itu. Perasaan keadilan akan
memberontak terhadap kerusakan, penderitaan, tidak hanya atas dasar kepentingan
individual, melainkan lebih luas dari itu, sampai kepada orang-orang lain yang
disamakan dengan diri sendiri. Hakikat keadilan sebenarnya, mencakup semua
persyaratan moral yang sangat hakiki bagi kesejahteraan umat manusia.22
21
Ibid., hal. 70. 22
Teori utilitarisme yang terkenal, pertama kalinya dikembangkan oleh Jeremy
Bentham (1748-1832) dalam karya tulisannya berjudul “An Introduction to the
Principles of Morals and Legislation” menjelaskan bahwa suatu kebijaksanaan atau
tindakan dinilai baik secara moral kalau hanya mendatangkan manfaat bagi orang
sebanyak mungkin. Postulat dari Bentham yang selalu dikenang, yakni bahwa mereka
diharapkan mampu memaksimalkan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin
orang.23
Utilitarisme menekankan pentingnya konsekuensi perbuatan dalam menilai
baik atau buruk. Kualitas moral suatu perbuatan dikatakan baik atau buruk
bergantung pada konsekuensi atau akibat yang dibawakan olehnya.
24
Postulat
Bentham yang terkenal adalah “the greatest good for the greatest number” artinya
jika suatu perbuatan mengakibatkan manfaat paling besar, paling memajukan
kemakmuran, kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat, maka perbuatan itu adalah
baik. Postulat Bentham di atas dapat dipahami sebaliknya, jika perbuatan membawa
lebih banyak kerugian dari pada manfaat, perbuatan itu harus dinilai buruk.25
Utilitarian Bentham memusatkan pandangannya tentang kebahagiaan. Ada
tiga karakteristik utama dari basis filsafat moral dan politik Bentham: the greatest
happiness principle, universal egoism, dan the artificial identification of one’s
23
Ian Saphiro, Asas Moral Dalam Politik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia bekerja sama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat dan Freedom Institute, 2006), hal. 13. Karyanya Jeremy Bentham Introduction to the Principles of Morals and Legislation, pertama kali diterbitkan tahun 1789 adalah karya klasik yang menjadi rujukan (locus classicus) tradisi utilitarian. Utilitarisme berasal dari kata Latin “utilis” yang berarti “manfaat”.
24
A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hal. 93-94.
25
interests with those of others. Semua karakteristik ini disebutkan dalam
karya-karyanya, terutama dalam Introduction to the Principles of Morals and Legislation,
dimana Bentham berfokus pada pengartikulasian prinsip rasional yang akan
menunjukkan sebuah basis dan petunjuk untuk reformasi hukum, sosial dan moral.
Filsafat moral Bentham merefleksikan apa yang disebutnya dengan “the
greatest happiness principle” atau “prinsip utilitas”. Meskipun Bentham
berhubungan dengan prinsip ini, namun teorinya itu tidak hanya mengacu pada
kegunaan benda-benda atau tindakan, tetapi lebih jauh lagi pada benda atau tindakan
yang membawa kebahagiaan umum. Khususnya kewajiban moral yang menghasilkan
the greatest amount of happiness for the greatest number of people, kebahagiaan
yang ditentukan dengan adanya kenikmatan dan hilangnya kesakitan atau
penderitaan.
Bentham menulis, “By the principle of utility is meant that principle which
approves or disapproves of every action whatsoever, according to the tendency which
it appears to have to augment or diminish the happiness of the party whose interest is
in question: or, what is the same thing in other words, to promote or to oppose that
happiness?”, artinya (terjemahan bebas: dengan prinsip utilitas berarti bahwa prinsip
yang menyetujui atau tidak menyetujui setiap tindakan apapun, sesuai dengan
pihak lain, namun pertanyaan selanjutnya adalah apa hal yang sama dengan itu untuk
mempromosikan atau untuk menentang kebahagiaan?26
Berdasarkan tulisan Bentham di atas menunjukkan bahwa hal ini berlaku
untuk “setiap tindakan secara keseluruhan” yang tidak memaksimalkan the greatest
happiness (seperti pengorbanan yang menyebabkan kesengsaraan) secara moral
adalah tindakan yang salah (tidak seperti usaha pengartikulasian pada hedonisme
universal, pendekatan Benthamis lebih naturalistik).
Filsafat moral Bentham, secara jelas merefleksikan pandangan psikologis
bahwa motivator utama dalam diri manusia adalah kenikmatan dan kesengsaraan.
Bentham menerima bahwa versinya dari prinsip utilitarian adalah sesuatu yang tidak
memasukkan bukti langsung, tetapi Bentham mencatat bahwa hal tersbut bukanlah
sebuah masalah sebagaimana prinsip penjelasan yang tidak menunjukkan penjelasan
apapun dan semua penjelaan harus dimulai pada suatu tempat. Karena itulah tidak
menjelaskan mengapa kebahagiaan lain atau kebahagiaan umum harus dihitung.
Dorongan teori Bentham karena pertanyaan yang sering muncul dibenaknya yaitu,
mengapa kita harus peduli dengan kebahagiaan orang lain?.
Bentham memandang moral harus dikedepankan. Moral biasanya mengacu
pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Moralisme hukum paling baik
dipahami sebagai pola alami institusional, yakni pola dari upaya untuk membuat
nilai-nilai menjadi efektif untuk memberikan arahan bagi tingkah laku manusia.
Moral dilegalisasi ketika ideal-ideal kebudayaan diidentikkan dengan suatu gambaran
26
pasti mengenai tatanan sosial. Sehingga moralisme hukum bergerak ke arah hukum
punitif, yakni dengan memasukkan suatu kecendrungan untuk memberi sanksi ke
dalam proses hukum.27
Sehubungan dengan teori Bentham di atas, dalam melihat keadilan, John
Rawls mengatakan:28
Keadilan tidak membiarkan pengorbanan yang dipaksakan pada segelintir orang diperberat oleh sebahagian besar keuntungan yang dinikmati banyak orang sebab, dalam masyarakat yang adil kebebasan warga negara dianggap mapan hak-hak yang dijamin oleh keadilan tidak tunduk pada tawar-menawar politik atau kalkulasi kepentingan sosial. Satu-satunya hal yang mengijinkan kita menerima teori yang salah adalah karena tidak tidak adanya teori yang lebih baik, secara analogis, ketidakadilan bisa dibiarkan hanya ketika ia butuh menghindari ketidakadilan yang lebih besar. Sebagai kebijakan utama umat manusia, kebenaran dan keadilan tidak bisa diganggu gugat.
Menurut Teori John Rawls di atas, keadilan adalah kebijakan utama dalam
institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistim pemikiran. Suatu teori
betapapun elegan dan ekenomisnya, harus ditolak atau direvisi jika teori itu tidak
benar. Demikian juga hukum dan institusi, tidak peduli betapapun efisien dan
rapinya, harus direformasi atau dihapuskan jika teori itu dianggap tidak adil. Setiap
orang memiliki kehormatan yang berdasar pada keadilan sehingga seluruh
masyarakat sekalipun tidak bisa membatalkannya. Atas dasar ini keadilan menolak
27
Rafael Edy Bosco, Hukum Responsif Pilihan di Masa Kini, (Jakarta: Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis-Hu Ma), hal. 39.
28
John Rawls, diterjemahkan oleh: Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, A Theory of Justice:
jika lenyapnya kebebasan bagi sejumlah orang dapat dibenarkan oleh hal lebih besar
yang didapatkan orang lain.29
John Rawls dalam mengungkapkan teori keadilan, bersandarkan kepada
teori-teori kemanfaatan dimana semua orang bebas menggunakan prinsip-prinsip keadilan
yang disebutnya dengan full theory of the good. Teori keadilan dipandang oleh John
Rawls dari sudut manfaat lebih menekankan kepada hal-hal yang rasionalitas dengan
menitikberatkan pada ”keadilan sebagai fairness” artinya konsep hak adalah paling
tertinggi dan harus lebih didahulukan daripada konsep tentang manfaat. John Rawls
pun memadukan kedua konsep ini dengan menyesuaikan antara keadilan dan
kemanfaatan yang disebutnya sebagai “kongruensi”.30
Budaya hukum (legal culture) tidak hanya memandang hukum an sich atau
hukum adalah hukum. Pandangan hukum an sich dalam konteks pranata hukum yang
didasarkan pada teori hukum untuk mencari pranata hukum yang tepat dan efektif.
Agar hukum yang menanggulangi masalah hukum menjadi bermakna, maka pranata
hukum harus dimuat unsur moral. Sebab, hukum yang bermuatan moral sesuai
dengan rasa keadilan. Hal ini sejalan dengan tujuan teori keadilan yang diungkapkan
John Rawls dengan cara memasukkan moral ke dalam struktur hukum dalam
mencapai keadilan.
Berdasarkan teori-teori Bentham dan teori John Rawls di atas, dapat memberi
pemahaman bahwa sesuatu adalah baik jika membawa manfaat, tetapi manfaat itu
29
Ibid., hal. 3-4. 30
harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai
keseluruhan yang harus dipertimbangkan sebagai manfaat rasional. Oleh sebab itu,
utilitarianism tidak boleh dimengerti dengan cara egoistis. Konsep pemikiran
utilitarisme (utilitarianism) untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah
kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar. Perbuatan yang mengakibatkan
paling banyak orang merasa senang dan puas adalah perbuatan yang terbaik.31
Dunia perbankan menyangkut anasir-anasir kepentingan umum dalam arti
pihak-pihak tertentu tidak diperkenankan untuk mendahulukan kepentingan pribadi
karena terkait adanya hak-hak bersifat umum di dalamnya. Teori menyangkut
kepentingan umum berpandangan, bahwa orang tidak boleh menyimpang dari hal-hal
yang umum atau pendapat umum. Pendapat umum dimaksud adalah doktrin-doktrin
dari para ahli hukum (communis opinio doctorum) melainkan juga harus melibatkan
pendapat selain pendapat para ahli hukum misalnya ahli perbankan dan masyarakat.
Hal ini dimaksudkan dalam pembentukan pengaturan perbankan di Indonesia untuk
melindungi kepentingan-kepentingan umum.
Hal ini
dapat dipahami dari alasan diberikannya bantuan likuiditas pada bank-bank yang
masih mungkin diselamatkan misalnya melalui pemberian dana jangka pendek untuk
mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan di samping
membentuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk menjamin simpanan nasabah.
32
31
K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hal. 66.
32
Teori-teori utilitarianisme mengedepankan kepentingan umum yang dalam
hal ini difokuskan kepada peran Bank Inodneisa (selanjutnya ditulis BI) mengemban
berbagai kepentingan umum yakni kepentingan masyarakat (nasabah) pada
bank-bank yang berada di bawah pengawasan BI. Bank-bank-bank di Indonesia diatur dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1972 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan. Kegiatan perbankan diawasi dan dikontrol oleh BI melalui
regulasi yang dikeluarkan oleh BI dimana BI berkedudukan sebagai bank sentral.33
Bank sentrak bertujuan untuk menjamin keberhasilan dalam memelihara stabilitas
nilai mata uang negara dengan negara lain. Bank sentral yang memiliki kedudukan
yang independen.34
Dasar hukum BI adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI
(UU No.23 Tahun 1999) yang diundangkan pada tanggal 17 Mei 1999, kemudian
pada tanggal 15 Januari 2004 ditetapkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004
tentang BI sebagai perubahan pertama atas UU No.23 Tahun 1999. Pada tanggal 13
Januari 2009, Pemerintah Republik Indonesia mengundangkan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang-Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI Menjadi Undang-Undang (UUBI).
33
Geoffrey P. Miller, “An Interest-Group Theory of Central Bank Independence, Journal of
Legal Studies, Vol. XXVII, Tahun 1998, hal. 449.
34
Rosa Maria Lastra and Geoffrey P. Miller, Central Bank Independence in Ordinary and Extraordinary Times dalam Jan Kleinman (ed), Central Bank Independence, The Economic
Foundations, the Constitutional Implications and Democratic Accoutability, (Kluwer: International,
Bank Sentral adalah suatu lembaga negara yang mempunyai wewenang untuk
mengeluarkan alat pembayaran yang sah dari suatu negara, merumuskan dan
melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistim
pembayaran, mengatur dan mengawasi sistim perbankan, serta menjalankan fungsi
sebagai the lender of the last resort (LoLR) yakni sebagai lembaga pemberi pinjaman
terakhir.35 Bank Sentral dalam pengertian lain adalah suatu bank yang berfungsi
sebagai pengatur bank-bank yang ada dalam suatu negara tertentu. Bank Sentral
hanya ada satu di setiap negara dan mempunyai kantor yang hampir ada di setiap
provinsi, Bank Sentral yang ada di Indonesia adalah BI.36
BI dalam kedudukannya sebagai badan hukum publik yaitu sebagai salah satu
lembaga negara selain mempunyai wewenang dalam mengelola kekayaan sendiri
yang terlepas dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), juga
berwenang untuk menetapkan peraturan dan mengenakan sanksi dalam batas
kewenangannya. Dengan demikian sebagai lembaga negara, BI merupakan lembaga
independen yang bidang tugasnya berada di luar Pemerintah dan lembaga-lembaga
lainnya, kecuali yang telah tegas diatur dalam UUBI.37
BI mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dan melaksanakan setiap
tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam UU BI. Pihak luar tidak
35
Chatamarrasjid Ais, Hukum Perbankan Nasional Indonesia Ditinjau Dari Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009),
hal. 49. 36
Ismail, Manajemen Perbankan, Dari Teori Menuju Aplikasi, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 13.
37
dibenarkan mencampuri pelaksanaan tugas BI, dan BI juga berkewajiban untuk
menolak atau mengabaikan intervensi dalam bentuk apapun dari pihak manapun juga.
Status dan kedudukan yang khusus diberikan kepada BI agar BI dapat melaksanakan
peran dan fungsinya sebagai otoritas moneter secara lebih efektif dan efisien.38
Kemandirian BI menyebabkan pihak lain dilarang untuk melakukan segala
bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas BI, namun, sebaliknya BI wajib
pula menolak dan/atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak
manapun. Akan tetapi dalam kemandiriannya itu, BI tetap berkewajiban
menyampaikan informasi kepada masyarakat luas secara terbuka, menyampaikan
laporan secara tertulis kepada Presiden dan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Laporan keuangan BI wajib diperiksa oleh BPK.
Tujuan tunggal BI yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang
terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain. Aspek
pertama tercermin pada perkembangan laju inflasi, sementara aspek kedua tercermin
pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Perumusan
tujuan tunggal BI dimaksudkan untuk memperjelas sasaran yang harus dicapai BI
serta batas-batas tanggung jawabnya.39
38
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan Keempat Edisi Revisi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), hal. 243. Lihat Juga: Ismail, Manajemen Perbankan Dari Teori
Menuju Aplikasi, Op. cit., hal. 13-15.
BI didukung oleh tiga pilar yang merupakan
tiga bidang tugasnya, yaitu: menetapkan dan mekaksanakan kebijakan moneter,
39
mengatur dan menjaga kelancaran sistim pembayaran, dan mengatur dan mengawasi
bank-bank di bawahnya. Ketiga bidang tugas tersebut diintegrasi agar tujuan
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dapat dicapai secara efektif dan
efisien.
Bidang tugas termasuk di dalamnya dalam hal penyaluran kredit terhadap
bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas. Sebagaimana dalam Pasal 11 ayat (1)
UUBI, ditentukan bahwa, “BI dapat memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kepada bank
untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek bank yang bersangkutan”.
Penyaluran kredit terhadap bank-bank dimaksudkan kepada bank yang bermasalah
dalam hal kesulitan likuiditas dimana bank terkait tidak mampu memenuhi seluruh
kewajibannya untuk melunasi hutang-hutangnya, maka dalam hal ini BI dapat
memberikan bantuan dalam bentuk kredit jangka pendek melalui Fasilitas Pendanaan
Jangka Pendek (FPJP).
2. Landasan Konsepsional
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa istilah sebagai landasan
konsepsional untuk menghindari kesimpangsiuran pemahaman mengenai definisi
atau pengertian serta istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berkut:
a. BI adalah Bank Sentral Republik Indonesia, sebagai lembaga negara yang
lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam
undang-undang.40
b. Bank bermasalah adalah bank-bank yang mengalami kegagalan karena sudah
tidak mampu lagi memenuhi kewajiban deposan dan kreditur/gagal bayar,
bersumber pada persoalan likuiditas bank.41
c. Analisis kredit adalah suatu proses untuk mengetahui dan mendalami
terhadapab bank-bank mengenai kepatutannya menerima atau tidak menerima
bantuan berupa kredit dengan menggunakan pendekatan-pendekatan dan
rasio-rasio keuangan untuk menentukan kebutuhan kredit yang wajar.42
d. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) adalah kredit atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan
puluh) hari kepada Bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek
Bank yang bersangkutan.43
e. Berdampak sistemik adalah suatu kondisi sulit yang ditimbulkan oleh suatu
bank, Lembaga Keuangan Bukan bank (LKBB), dan/atau gejolak pasar
keuangan yang apabila tidak diatasi dapat menyebabkan kegagalan sejumlah
40
Pasal 4 ayat (1), ayat (2), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. 41
Hilman Sahroni, Penanganan Bank Yang Bemasalah, (Jakarta: Universitas Gunadarma, 2010), hal. 3.
42
“Analisis Kredit”, Utama XV, Agustus, tanggal 16 Agustus 2008. 43
bank dan/atau LKBB lain sehingga menyebabkan hilangnya kepercayaan
terhadap sistem keuangan dan perekonomian nasional.44
f. Bailout adalah istilah ekonomi dan keuangan yang digunakan untuk
menjelaskan situasi dimana sebuah entitas yang bangkrut atau hampir
bangkrut, seperti perusahaan atau sebuah bank diberikan suatu injeksi dana
segar yang likuid, dalam rangka untuk memenuhi kewajiban jangka
pendeknya.45
g. Giro Wajib Minimum (GWM) adalah simpanan minimum yang harus
dipelihara oleh bank dalam bentuk saldo rekening giro pada BI yang besarnya
ditetapkan oleh BI sebesar persentase tertentu dari dana pihak ketiga.46
h. Bank rush adalah bank yang mengalami penarikan dana besar-besaran oleh
para pihak ketiga atau nasabah bank yang bersangkutan karena bank tersebut
berada dalam posisi sulit sehingga tergolong bank kurang sehat (bermasalah),
kurang dipercaya nasabah, dan berkemungkinan dilikuidasi.47
i. Blancket guaraty adalah penjaminan terhadap simpanan nasabah secara penuh
oleh bank yang bersangkutan terhadap simpanan nasabah penyimpan.
44
Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (Perppu JPSK).
45
http://www.lintasberita.com/go/823451, diakses tanggal 20 Januari 2011. Seringkali bailout dilakukan oleh pihak pemerintah atau konsorsium beberapa investor yang akan meminta peran kendali pada entitas tersebut sebagai timbal balik untuk dana yang disuntikkan.
46
Pasal 1 angka 7 PBI Nomor 10/19/PBI/2008 tentang Giro Wajib Minimum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing.
47
Penjaminan penuh dimaksudkan untuk menjaga kepercayaan para pemilik
modal agar mau menyimpan dananya di dalam negeri.48
j. Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI) adalah penyediaan pendanaan oleh BI
kepada bank dalam kedudukan bank sebagai peserta sistem Bank
Indonesia-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) dan peserta Sistem Kliring Nasional
Bank Indonesia (SKNBI), yang dilakukan dengan cara repurchase agreement
(repo) surat berharga yang harus diselesaikan pada hari yang sama dengan
hari penggunaan.
49
k. Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah dana yang disalurkan oleh
BI ke bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas dalam operasinya
sehari-hari disebabkan oleh penarikan dana secara tiba-tiba dan besar-besaran
oleh nasabah, sementara bank terkait tidak siap melayani peristiwa tersebut.
50
G. Metode Penelitian
Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang
menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.51
48
Harian Kompas, Tanggal 24 November 2008, hal. 1.
Sedangkan penelitian
merupakan suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran
49
Pasal 1 angka 6 PBI No.10/29/PBI/2008 tentang Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum.
50
Chatamarrasjid Ais., Op. cit., hal. 49. 51
secara sistematis, metodologis dan konsisten.52 Penelitian hukum merupakan suatu
kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu
yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu
dengan cara menganalisisnya.53
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jadi, metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk
memahami dan memecahkan suatu masalah berdasarkan metode tertentu.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum
yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan atau
disebut juga sebagai penelitian doktrinal.54
Alasan penggunaan penelitian hukum normatif-kualitatif ini adalah pertama,
didasarkan pada paradigma hubungan yang dinamis antara teori, konsep-konsep dan
data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep
yang didasarkan pada data yang dikumpulkan;55
52
Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tijnjauan Singkat, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001), hal. 1.
kedua, data yang dianalisis beraneka
ragam, memiliki sifat dasar yang berbeda antara satu dengan lainnya, serta tidak
mudah untuk dikuantifisir; ketiga, sifat dasar dari data yang dianalisis bersifat
menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang integral (holistic), dimana hal itu
53
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 6. 54
Bismar Nasution, ”Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah, disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003, hal. 1, penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in
the book, maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process. Penelitian
hukum normatif ini bersifat kualitatif. 55
menunjukkan adanya keanekaragaman data serta memerlukan informasi yang
mendalam (indepth information).56
2. Sumber Data
Oleh karena itu, sifat penelitian ini berdasarkan
penalaran deskriptif analitis.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian
kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin,
pendapat atau pemikiran konseptual dari penelitian terdahulu yang berhubungan
dengan objek yang ditelaah dalam penelitian ini yang dapat berupa peraturan
perundang-undangan, buku, karya ilmiah, makalah dan karya lainnya. Data pokok
dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi:
a. Bahan hukum primer, yaitu UU No.23 Tahun 1999 tentang BI sebagaimana
telah diubah dengan UU No.3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No.23
Tahun 1999 tentang BI. UU No.6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas UU No.23 Tahun 1999 tentang BI Menjadi UU.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku, makalah hasil-hasil
seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, majalah, jurnal ilmiah, artikel,
artikel bebas dari internet, surat kabar, majalah, bahkan dokumen pribadi
dan pendapat dari kalangan pakar hukum yang relevan dengan objek
56
telaahan dalam penelitian ini;57
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk
dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
seperti ensiklopedia dan kamus umum sepanjang memuat informasi yang
relevan dengan penelitian ini.58
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen yang
relevan dengan penelitian ini di perpustakaan (library research) dan melakukan
identifikasi data terhadap kasus Bank Century. Data yang diperoleh melalui studi
kepustakaan tersebut selanjutnya akan ditafsirkan/interpretasi untuk melihat
kesesuaian penerapan peraturan dihubungkan dengan permasalahan yang sedang
dihadapi dan disistematiskan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan
permasalahan dalam penelitian ini.59
4. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kualitatif yaitu penafsiran dan penerapan
hukum atau interpretasi pasal-pasal terpenting dalam UU Perbankan dan dalam UUBI
yang relevan dengan permasalahan. Kemudian membuat klasifikasi dari data
sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang
dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan
57
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hal. 24.
58
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op. cit., hal. 14-15. 59
dalam bentuk uraian secara sistematis pula, semua data diseleksi, ditulis secara
analisis sehingga dapat memberikan kesimpulan dan saran pada pokok
permasalahan yang ditelaah sebagai solusi yang diungkapkan secara deduktif.
H. Jadwal Penelitian
Waktu yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah 8 (delapan) bulan,
yaitu dari bulan Januari 2011 sampai dengan Agustus 2011 dengan jadwal
sebagaimana dalam tabel berikut:
Uraian Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst
Pengajuan judul teng awal
Persiapan bahan teng
Pengajuan konsep
proposal teng awal
Bimbingan awal
Kolokium teng
Pembuatan/bimbingan
tesis teng awal
Pengajuan konsep tesis teng
Seminar hasil penelitian awal