• Tidak ada hasil yang ditemukan

Majalah Kiblat Muharram Jadi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Majalah Kiblat Muharram Jadi"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Bismillah...

Umat Islam masih saja dibuat bingung oleh oknum sebagian dai yang tiba-tiba melabeli Jokowi yang memenangkan pemilu 2014 sebagai ulil amri yang wajib ditaati.

Ulil amri adalah istilah Islam yang memiliki defi nisi dan konsekuensi yang telah de nitif. Menyematkan ulil amri kepada orang yang tidak berhak adalah kezaliman dan penyesatan yang nyata bagi umat sekaligus orang yang dilabeli. Bila ada orang munafi k dilabeli sebagai orang yang jujur, maka ia akan bangga dengan kemunafi kannya dan semakin jauh dari pertobatan. Bagi umat Islam sendiri yang dalam doktrin agamanya ilmu merupakan dasar utama dalam segala hal, maka memahami ulil amri secara komprehensif, mulai dari defi nisi sampai keluar dari ketaatan kepada penguasa akan menjadi bekal

sekaligus benteng dari kemungkinan oknum-oknum nyleneh pada

masa mendatang sampai sistem demokrasi lenyap dari muka bumi dengan izin Allah.

Selamat membaca!

Redaktur Ahli : Abu Zahrah, Abu Abdurrahman Pimpinan Redaksi : Tony Syarqi Redaksi : Agus Abdullah, Fahruddin, Dhani el-Ashimi, Bashirudin R,

Miftahul Ihsan

MAJALAH DIGITAL KIBLAT adalah salah satu konten dari situs berita Islam

www.kiblat.net. Dapat diunduh dan sebarluaskan secara cuma-cuma.

Email : kiblatmedia@gmail.com Donasi: BCA 7735072587 BNI Syariah 0298526555 BNI Syariah atas nama Muh

(3)

ISI

4

Menyelamat-kan Bahtera

Tak Hanya

dengan

“Empat Mata”

Pemerintah

Sekuler Bukan

Ulil Amri

Penguasa

Saleh Rakyat

pun Saleh

Penguasa

Berhati Setan

Indonesia

Bukan Negara

Islam

Syaikh Bin Baz

Mengka

r-kan Penguasa

Meskipun

Shalat

Melawan Penguasa

Tidak Selalu Khawarij

Hubungan

Rakyat dan

Penguasa

SEJARAH

HITAM

MURJIAH

Menjual Agama

Demi Penguasa

17

27

70

40

44

48

34

52

62

(4)

S

ecara umum aktivis Islam penerus manhaj dakwah salafus saleh tidak sepakat dengan sistem demokrasi. Saat pemilu presiden berlangsung pilihannya adalah tidak mencoblos (golput) atau memilih calon yang menurut pertimbangan maslahat lebih ringan dampak buruknya bagi dakwah Islam.

Anehnya, siapa pun pemenang pemilu langsung dilabeli ulil amri yang wajib ditaati, tidak boleh dikritik. Kalau ada yang mengritik langsung disebut khawarij. Penguasa yang tidak mewujudkan tujuan kepemimpinan

(maqashidul imamah) seolah-olah manusia suci, sedangkan aktivis Islam dituding sebagai anjing-anjing neraka.

Memahami secara komprehensif apa dan siapa sejatinya ulil amri dalam konsep Islam akan menjawab pantaskah penguasa itu layak disebut ulil amri.

Definisi Ulil Amri

Ibnu Mandzur dalam Lisanul Arab, uli bermakna memiliki. Kata ini dalam bahasa Arab tidak bisa berdiri sendiri. Sedangkan al-amr, Ibnu Mandzur mengatakan, “Seseorang memimpin pemerintahan, bila ia menjadi amir bagi mereka. Amir adalah penguasa mengimpementaskan perintahnya di antara rakyatnya.”

Menurut Istilah, Ulil Amri adalah para pemilik otoritas dalam urusan umat. Mereka adalah orang-orang yang memegang kendali semua urusan. (Al-Mufradat, 25).

Ulil Amri Menurut Para Ulama

Ulil Amri menurut Imam Asy-Syaukani adalah:

   

Anehnya, siapa pun pemenang pemilu

langsung dilabeli ulil amri yang wajib ditaati, tidak boleh dikritik. Kalau ada yang mengritik langsung disebut khawarij. Penguasa yang tidak mewujudkan tujuan kepemimpinan

(maqashidul imamah) seolah-olah manusia suci, sedangkan aktivis Islam dituding sebagai anjing-anjing neraka.

Memahami secara komprehensif apa dan siapa sejatinya ulil amri dalam konsep Islam akan menjawab pantaskah penguasa itu layak disebut ulil amri.

mengimpementaskan perintahnya di antara rakyatnya.”

Menurut Istilah, Ulil Amri adalah para pemilik otoritas dalam urusan umat. Mereka adalah orang-orang yang memegang kendali semua urusan. (Al-Mufradat, 25).

Ulil Amri Menurut Para Ulama

Ulil Amri menurut Imam Asy-Syaukani adalah:

   





(5)

    

Ulil amri adalah para imam, penguasa, hakim dan semua orang yang memiliki kekuasaan yang syar’i, bukan kekuasaan thaghut.” (Fathul Qadir, Asy-Syaukani, 1/556).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan menjelaskan dengan ungkapan:

    

          

 



   

     

  

 

  

“Ulil amri adalah pemegang dan pemilik kekuasaan. Mereka adalah orang-orang yang memerintah manusia. Perintah tersebut didukung oleh orang-orang yang memiliki kekuatan (ahli qudrah) dan ahli ilmu. Karena itulah, ulil amri terdiri atas dua kelompok manusia: ulama dan

umara. Bila mereka baik, manusia pun baik. Bila mereka buruk, manusia pun buruk. Hal ini seperti jawaban Abu Bakar Ash-Shiddiq kepada wanita dari bani Ahmas saat bertanya kepadanya, ‘Apa hal yang menjamin kami akan senantiasa berada di atas perkara (yang baik yang Allah datangkan setelah masa jahiliah)

ini?’ Abu Bakar Ash-Shiddiq menjawab, ‘Kalian akan senantiasa di atas kebaikan (Islam) tersebut selama para pemimpin kalian bertindak lurus.” (HR Al-Bukhari)

(Majmu’ Al-Fatawa, 28/170)

Sejalan dengan Ibnu Taimiyyah, Syaikh Utsaimin mengatakan, “Ulil Amri kaum muslimin itu ada dua kelompok. Pertama dan yang utama dari keduanya adalah para ulama yang menjelaskan apa yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya Muhammad n. Mereka adalah orang-orang yang mengatakan sesuai dengan perkataan Allah dan Rasul-Nya.

Kedua adalah umara (para penguasa). Dalam dunia nyata, mereka adalah orang-orang yang menerapkan perintah Allah dan Rasul-Nya. Yakni perintah yang telah disampaikan oleh ulil ilmi (ulama).”

Syaikh Shalih Al-Fauzan mengatakan, “Mereka (para ulama) adalah ulil amri dari sudut pandang bahwa mereka membawa syariat dan menyampaikannya kepada manusia, baik perintah maupun larangan.” Beliau menambahkan, ulama memegang otoritas syariat, sedangkan

umara memegang otoritas politik. Karena kekuasaan berada di tangan

umara. Umara adalah ujung tombak ulil amri dalam kewenangan eksekutif.

Syaikh Mahmas Al-Jal’ud dalam kitab

Al-Muwalah wal Mu’adah fi Syari’atil Islamiyyah (II/206) setelah nyebutkan hadis-hadits tentang wajibnya taat kepada penguasa yang zalim,

   

  

 

  

“Ulil amri adalah pemegang dan pemilik kekuasaan. Mereka adalah orang-orang yang memerintah manusia. Perintah tersebut didukung oleh orang-orang yang memiliki kekuatan (ahli qudrah) dan ahli ilmu. Karena itulah, ulil amri terdiri atas dua kelompok manusia: ulama dan

umara. Bila mereka baik, manusia pun baik. Bila mereka buruk, manusia pun buruk. Hal ini seperti jawaban Abu Bakar Ash-Shiddiq kepada wanita dari bani Ahmas saat bertanya kepadanya, ‘Apa hal yang menjamin kami akan senantiasa berada di atas perkara (yang baik yang Allah datangkan setelah masa jahiliah)

Syaikh Shalih Al-Fauzan mengatakan, “Mereka (para ulama) adalah ulil amri dari sudut pandang bahwa mereka membawa syariat dan menyampaikannya kepada manusia, baik perintah maupun larangan.” Beliau menambahkan, ulama memegang otoritas syariat, sedangkan

umara memegang otoritas politik. Karena kekuasaan berada di tangan

umara. Umara adalah ujung tombak ulil amri dalam kewenangan eksekutif.

Syaikh Mahmas Al-Jal’ud dalam kitab

(6)

mengatakan, “Hadits-hadits tadi tidak berarti membolehkan sepakat dengan penguasa dalam kezaliman dan kebatilan mereka. Atau boleh tidak mengingkari kejahatan yang mereka lakukan, atau taat kepada mereka dalam kemaksiatan.

Hadits-hadits itu justru menunjukkan bahwa siapa yang membenci kemungkaran maka ia telah lepas dari dosa dan akibatnyaa. Dalam hal ini, orang yang mampu mengingkari k e m u n g k a r a n dengan lisannya, dan mengingkaarinya, ia lepas dari dosa bila memang tidak mampu mengingkari dengan tangan. Orang yang tidak mampu membasmi kemungkaran (dengan lisan dan tangan) tidaklah berdosa dengan sekedar diam.”

Lebih lanjut, Syaikh Utsaimin, menjelaskan bahwa dua kelompok itulah uli amri kaum muslimin. Allah telah memerintahkan agar umat Islam menaati mereka. Namun ketaatan ketaatan ini menyesuaikan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Allah tidak berfi rman,

“Taatilah Allah, taatilah Rasul, dan taatilah ulil amri,” hal ini karena ketaatan kepada ulil amri bukanlah independen, melainkan mengikuti ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena itulah, bila ulil amri memberikan perintah yang menyelisihi perintah Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada ketaatan bagi mereka dalam perintah tersebut.

Selama mereka muslim, kesalahan yang dilakukan oleh ulil amri tidak lantas menjadi pintu untuk menjelek-jelekkan mereka di depan umum. Ini akan

menyebabkan rakyat benci kepada mereka dan setiap pekerjaan yang dilakukan meskipun benar. Selain itu juga akan menyebabkan rakyat menentang dan tidak taat. Ini bisa berakibat kehancuran masyarakat serta kekacauan dan kerusakan.

Namun, kata ulama yang pendapatnya sering menjadi rujukan umat Muslim Indonesia ini, hal itu tidak berarti bahwa kita harus mendiamkannya tanpa menasihati (bila melakukan kesalahan).

Ulil amri yang melakukan kezaliman

terhadap rakyat tidak sampai kepada

keka

ran yang nyata. Yakni tidak

sampai mengingkari syariat, tidak

menolak berhukum dengannya, dan tidak

meninggalkan kewajiban menegakkan

Dien. Zalim yang dilakukan adalah

kezaliman yang bersifat duniawi. Dalam

(7)

Sebab menasihati mereka adalah wajib. Mengingatkan ulil amri adalah bagian dari agama Allah.

“Agama ini nasihat,” sabda Nabi n

sampai tiga kali.

“Bagi siapa wahai Rasulullah?” tanya para sahabat.

“Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan masyarakat umum.”

Syaikh Utsaimin menafsirkan, “Nabi mendahulukan nasihat untuk para pemimpin sebelum nasihat untuk rakyat, karena para pemimpin itu bila baik, maka baik pula rakyatnya.”

Maksud taat kepada mereka adalah taat dalam perintah dan menjauhi larangan selama tidak maksiat.” (Fathul Qadir, Asy-Syaukani, 1/556).

Ulil Amri yang ditaati

Banyak nash yang memerintahkan ketaatan kepada ulil amri dengan batasan menegakkan Dien. Rasulullah bersabda:

 

 

“Jika kalian dipimpin oleh seorang hamba hitam berambut keriting, yang memimpin kalian dengan kitab Allah, maka taatlah kepadanya.” (HR Muslim).

    



“Sesungguhnya urusan ini (kepemimpinan kaum muslimin) adalah

milik Quraisy. Tidak ada seorang pun yang menentangnya kecuali akan ditelungkupkan oleh Allah dengan wajahnya di neraka selama menegakkan dien.” (Al-Bukhari).

Syaikh Hamid bin Abdullah Al-Ali, ulama Kuwait lulusan Universitas Madinah, menjelaskan, “Hadits-hadits tersebut dan lainnya menjelaskan bahwa ulil amri yang melakukan kezaliman terhadap rakyat tidak sampai kepada kekafi ran yang nyata. Yakni tidak sampai mengingkari syariat, tidak menolak berhukum dengannya, dan tidak meninggalkan kewajiban menegakkan dien. Zalim yang dilakukan adalah kezaliman yang bersifat duniawi. Dalam hal ini rakyat tidak boleh merebut kekuasaannya. Karena ini akan meruntuhkan kesatuan umat. Menjaga persatuan umat lebih utama daripada melawan kezaliman penguasa.

(8)

Syaikh Hamid bin Abdullah Al-Ali

kekuasaan dari pemiliknya.’ Rasul n

bersabda, “Kecuali kalian melihat kekafi ran yang nyata, yang dengan itu kalian memiliki alasan di hadapan Allah.”

Bila kekafi ran yang nyata telah muncul dalam sebuah kekuasaan, maka ini merupakan kekuasaan kafi r yang tidak ditaati. Ia wajib dimusnahkan dengan kekuatan. Bila kaum muslimin tidak mampu melakukannya, mereka wajib melakukan persiapan (i’dad). Allah berfi rman, ‘Seandainya mereka ingin keluar (untuk berjihad) mereka tentu melakukan persiapan.’ (At-Taubah: 47). Di antara persiapan yang dilakukan adalah mengembalikan kaum muslimin kepada agama mereka dengan dakwah Islam; melatih para pemimpin Islam yang mengendalikan urusan umat agar eksistensi politiknya yang merealisasikan kemenangan agama mereka di bumi, syariat Islam tegak, dan mengantarkan kepada dunia dengan jihad. Di antara persiapan bekal adalah mengarahkan umat ke medan-medan jihad.” (http:// ar.islamway.net/fatwa/3746/ 3746/

-ي-أ - س ي - ي-تج -ط عت )

Syaikh Bin Baz menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh kaum muslimin ketika melihat kekafiran yang nyata pada penguasa:









       

      



٨



“Kecuali bila kaum muslimin melihat kekafi ran yang nyata, mereka memiliki hujjah di hadapan Allah, maka tidak masalah bagi mereka melawan penguasa ini, untuk menggulingkannya. Yakni bila mereka mampu. Adapun bila mereka belum memiliki kekuatan, mereka tidak boleh melawan. Atau bila melawan malah menyebabkan keburukan yang lebih banyak, mereka tidak boleh melawan, demi menjaga kemaslahatan umum. Ada kaidah syar’i yang disepakati ‘Memberantas keburukan tidak boleh dilakukan dengan keburukan yang lebih besar darinya.’” (Al-Fatawa, VIII/203).

Tentang keluar dari penguasa, beliau mengatakan:





   

 

 

(9)

maka saat itu kita harus melawan penguasa itu. Bila kita tidak mampu, maka kita tidak melawan. Sebab semua kewajiban syariat memiliki syarat adanya kemampuan (bagi yang diwajibkan).” (Babul Maftuh, III/126, Pertemuan ke-51, Pertanyaan ke-1222).

Syaikh Shalih Al-Fauzan juga mengatakan hal yang sama:









     



Adapun hubungan dengan penguasa kar, hal ini berbeda-beda mengikuti kondisi. Bila kaum muslimin memiliki kekuatan dan mampu memerangi dan menggulingkannya dari kekuasaan, serta bisa mewujudkan penguasa muslim, maka wajib bagi mereka melakukannya. Ini adalah jihad sabilillah.”

Lebih jelas lagi, bagi kaum muslimin yang tinggal di wilayah penguasa ka r da belum memiliki kemampuan

untuk menggulingkan penguasa, Ibnu Taimiyyah mengatakan:







 

“Maka bagi kaum beriman di suatu negeri

bila kemungkaran yang wajib diingkari merupakan perkara yang sangat berbahaya dan buruk bagi umat, Tidak terbatas pada penguasa saja yang bermaksiat. Bila

demikian, semua orang yang melakukannya harus diingatkan. Demikian pula orang yang masih ragu tentang perkara yang buruk itu. Misalnya riba.

(10)

dalam keadaan lemah, atau pada saat itu ia lemah, hendaknya ia mengamalkan ayat sabar dan memaafkan orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya dari kalangan ahli kitab dan musyrikin.”

(Ash-Sharim Al-Maslul, II/413).

Dari uraian para ulama tersebut dapat disimpulkan bahwa melawan penguasa kafi r

adalah wajib. Namun pelaksanaan kewajiban tersebut berkaitan dengan kemampuan sebagai syaratnya. Ketika kaum muslimin belum mampu, i’dad wajib bagi ereka sampai memenuhi syarat tersebut. Ibnu Taimiyyah mengatakan:

  





     



“(Kaum muslimin) wajib melakukan persiapan (i’dad) jihad dengan menyiapkan kekuatan dan menambatkan kuda ketika jihad tidak bisa dilaksanakan karena

lemah. Sebab, kewajiban yang tidak bisa sempurna dengan sesuatu maka sesuatu itu menjadi wajib.”

(Al-Fatawa, 28/259).

Amar Makruf Nahi Mung-kar terhadap Penguasa

Syaikh Dr. Ahmad bin Abdul Karim Najib menjelaskan dengan baik syarat dan kondisi untuk mengingkari

kezaliman penguasa secara rahasia maupun terang-terangan. Kami mengutipnya secara ringkas berikut ini:

Pertama: Ada perbedaan

antara mengingkari kemungkaran dan keluar

(11)

menunjukkan bahwa mereka dituduh telah keluar dari ketaatan atau dituduh keluar dari penguasa sama sekali. Apalagi dituduh sebagai khawarij (dalam makna sekte) hanya karena mengingkari kemungkaran secara terang-terangan kepada penguasa. Atau menyeru penguasa agar berbuat adil, mengembalikan hak-hak yang dizalimi serta menegakkan kebenaran.

Persoalan ini dikuatkan oleh Imam Muslim dengan membuat judul Bab di kitab Sahihnya: Bab wajibnya mengingkari para penguasa dalam hal yang menyelisihi syariat dan tidak memerangi mereka.

Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanad sahih dari Abu Said Al-Khudri, bahwa Rasulullah bersabda, “Jihad yang paling utama adalah perkataan yang adil di depan penguasa yang jahat.”

Seandainya mengingkari kemungkaran yang dilakukan penguasa yang jahat adalah tindakan yang keliru, tentu melakukannya tidak disebut sebagai jihad yang paling utama di jalan Allah! Ya, tidak mungkin pula orang yang terbunuh karena melakukan itu berada dalam peringkat pemimpin syuhada. Seperti disebutkan dalam hadits sahih dari Nabi n“Pemimpin syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthallib dan seorang yang berdiri di depan penguasa yang jahat, lalu

Seorang dai

yang jujur harus

mengutamakan

ketaatan

kepada Allah

daripada

diam dan

tunduk kepada

(12)

itu.

Demikian pula keburukan (mafsadat) yang kemungkinan timbul bila ditinggalkan. Hal ini berbeda-beda sesuai perkara yang diingkari, kondisi orang yang mengingkari, orang yang diingkari, dan cara mengingkari. Karena itulah, kita melihat para tokoh salaf mengingkari para penguasa kadang-kadang secara terang-terangan dan rahasia, tanpa menimbulkan kesempitan atau membuat orang menggerutu terhadap pendapatnya.

Salah satu contoh pengingkaran secara rahasia dilakukan oleh Usamah bi Zaid kepada Utsman bin Affan. Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid, bahwa dikatakan kepadanya, “Mengapa engkau tidak menemui laki-laki ini dan berbicara kepadanya?” Maksudnya adalah Utsman. Usamah menjawab, “Apakah kalian menyangka bahwa setiap aku berbicara kepadanya, aku harus

ia mmmmmmenennnnnaaaaaaasihatinya, lalu ia dibunuh.”” (HR

Ha Ha

Ha

Ha

Ha

Hakikiiiiim)mmmmm .

Ke

Keduddudududuaaa,meembbbbatbataataata asasasassssi bentukkkpppppenenenenenngigigigggngkaran

de d

de

de

de

deengnganan ttererererereraraaaang-tetetet rangan atau rahasia

ad ad

ad

adddaldalalalllahaahahahahahh uururusasasaaaannnnn yangyayayayay gg diatutututututur r s suse ai tttttujuuuujujujjuan

sy

sy

sy

sy

sy

syararararariariaii t.t. AdaAda bbatatatatatataaaasa an-bbatatatatatataasa annyyyyaaaa ddddadadann

pe

perlrluu did peperhatatiiiikiikaaanaaan kkebe aaiaaaia kkkkkak nn (mam slahat))

y g g g

ya

y ngng mmuungkgkin dddddiiriririrraiaiaiaiihhhhhh ddededededenngngananannnnmmmmmele akkukukkkkanananana

i memperdengarkan kepada kalian?! Aku

telah berbicara kepadanya ketika hanya berdua dengannya saja, tanpa membuka satu perkara yang aku tidak suka untuk membukanya pertama kali.”

Qadhi Iyadh mengatakan, “Maksud Usamah bahwa ia tidak membuka pintu pengingkaran secara terang-terangan kepada Imam karena takut akibatnya. Ia memilih bersikap lembut dan menasihati secara rahasia. Ini lebih mungkin diterima.”

(Fathul Bari, 13/57).

(13)

Mengingkari perbuatan zalim penguasa muslim secara rahasia adalah aturan dasar yang berlaku, selama ini sudah cukup dan merealisasikan kebenaran, dan mencegah kemungkaran.

Adapun bila itu tidak mungkin dilakukan, sedangkan kemungkaran bisa menyebar luas maka hukum dasar tersebut tidak berlaku. Peringatan secara terang-terangan harus disampaikan dalam beberapa kondisi:

Pertama: Bila dunia telah menyaksikan

terjadinya kemungkaran maka harus ini diingkari dan tidak boleh ditunda-tunda lagi. Contohnya adalah pengingkaran Abu Sa’id Al-Kudri a dan lainnya terhadap Marwan bin Al-Hakam yang mendahulukan khutbah Ied daripada shalatnya. Hal ini menyelisihi sunnah yang sudah tetap dari Nabi n . Muslim meriwayatkan dari Thariq bin Syihab dan ini adalah hadits Abu Bakar, “Orang pertama yang berkhutbah pada Hari Raya sebelum shalat Ied didirikan ialah Marwan. Lalu seorang lelaki berdiri dan berkata kepadanya, “Shalat Hari Raya hendaklah dilakukan sebelum membaca khut-bah.” Marwan menjawab, “Sungguh, apa yang ada dalam khutbah sudah banyak ditinggalkan.” Kemudian Abu Said berkata, “Sungguh, orang ini telah merealisasikan apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah n yang bersabda, ‘Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan. Jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.’”

Kedua: bila kemungkinan besar penguasa

akan bertindak arogan kepada kebenaran dan

Utusan Khalifah Al-Walid

mendatangi Abdullah

bin Mas’ud dan berkata,

“Amir berkata kepadamu,

tinggalkanlah kata-kata yang

sering engkau ucapkan’.”

“Kalimat apa? Kalimat-kalimat

ini?”

Abdullah terus

mengulangnya, lalu utusan itu

berkata, “Perkataanmu: Setiap

hal yang baru adalah bid’ah.”

“Saya tidak akan

meninggalkannya.”

“Kalau begitu, baginda

memerintahkan agar engkau

pergi.”

“Ya, saya akan keluar.”

Maka Abdullah akhirnya pergi

ke Madinah.”

para pengusungnya, menghadapi setiap orang yang menyuruh kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran dengan pedang dan kekuatan, maka sebaiknya

pengingkaran kemungkaran dilakukan dengan cara lain yang

lebih mudah, sekurang-kurangnya mengingatkan manusia dari kemungkaran yang didukung oleh penguasa.

Ibnu Majah meriwayatkan hadits dengan sanad hasan dari Hudzaifah, Rasulullah bersabda,

(14)

“Menantang rintangan yang ia sendiri tidak mampu menghadapinya.”

Ketiga, bila kemungkaran yang

wajib diingkari perkara yang sangat berbahaya dan buruk bagi umat. Tidak terbatas pada penguasa saja yang bermaksiat. Bila demikian, semua orang yang melakukannya harus diingatkan. Demikian pula orang yang masih ragu tentang perkara yang buruk itu atau orang yang terkena dampaknya. Misalnya meniadakan jihad pada kondisi fardhu ain atas kaum muslimin seperti situasi hari ini di Baitul Maqdis dan lingkungannya. Bila ternyata penguasa menghentikan perang melawan musuh, tidak membela kehormatan, negeri dan tempat-tempat suci, maka ia telah melakukan kemungkaran besar yang wajib diingatkan.

Contohnya mengingatkan penguasa dari kemungkaran yang menyebar luas, seperti muamalah dalam riba, perzinaan yang meluas dan kemaksiatan lainnya yang umum terjadi. Kita tidak boleh diam terhadap orang yang terlibat di dalamnya.

Keburukan yang paling berbahaya adalah yang disebarluaskan melalui media serta kriminalitas yangg merusak akal, perilaku dan moralitas. Orang yang mampu harus mengingatkan penguasa yang melegalkan hal-hal seperti ini. Rakyat harus diingatkan apa bahayanya. Karena dien ini adalah nasihat bagi Allah, rasul-Nya, kaum muslimin, dan para pemimpin mereka. Orang yang mampu tidak akan lepas dari dosa hanya dengan bisik-bisik di telinga penguasa, namun semua kejahatan itu tetap berjalan. Dan

bisikan itu tidak berpengaruh apa pun, serta kaum muslimin tidak terjaga dari pengaruh untuk melakukannya.

Tidak hanya diam, penguasa harus diingatkan secara terang-terangan, dijelaskan dampak buruk dan bahayanya di depan publik. Agar jelas siapa yang hancur oleh penjelasan dan siapa yang menjadi baik dengannya.

Al-Hakim meriwayatkan bahwa pemimpin Kuffah memanggil tukang sihir untuk menunjukkan permainannya di hadapan publik. Hal ini terdengar oleh Jundub. Maka ia datang dengan menghunus pedang dan meletakkan di atas pundaknya. Ketika Jundub melihat tukang sihir itu, ia memukulkan pedangnya. Orang-orang pun menying-kir. Ia berkata, “Wahai manusia, jangan takut, saya hanya menginginkan tukang sihir ini.” Maka Gubernur menarik dan menahannya. Hal ini terdengar juga oleh Salman. Maka ia berkata, “Betapa buruk apa yang dilakukan keduanya. Ia (gubernur) tidak pantas melakukannya. Karena ia seorang imam yang dipercaya tetapi malah memanggil tukang sihir agar bermain di depannya. Namun orang ini juga tidak sebaiknya mengancam amirnya dengan pedang.”

Ini adalah ijtihad Jundub karena

fi tnah telah muncul secara nyata di depan publik. Salman tidak setuju atas tindakannya mengancam dengan pedang. Namun ia tidak mengingkari tindakannya dalam mengingatkan penguasa (dan tidak pula menuduhnya sebagai khawarij).

(15)

penguasa memutuskan perkara dengan menyelisihi Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, maka ia wajib mengingkarinya saat itu pula. Bila ia mendegarnya dari orang yang tepercaya, maka harus segera dijelaskan kepada umat sebab tidak halal mengakhirkan penjelasan saat dibutuhkan. Terutama bila ia seorang yang berilmu dan banyak pengikutnya; seorang panutan dan teladan dalam ilmu.

Kelima, bila penguasa melarang

penyampaian kebenaran atau upaya menghidupkan sunah atau membasmi bid’ah. Dalam hal ini, seorang dai yang jujur harus mengutamakan ketaatan kepada Allah daripada diam dan tunduk kepada penguasa.

Abdurrazzaq meriwayatkan dalam Mushannafnya dari Asy-Sya’bi, dari Qais bin Abd, yang berkata, “Aku sering bertemu Abdullah bin Mas’ud selama satu tahun. ... Ketika kami sedang berada di tempatnya pada suatu malam, ia datang. Lalu dikatakan kepadanya, ‘Ini adalah utusan Al-Walid.’ Abdullah berkata, ‘Matikan lampunya.’ Utusan itu masuk lalu berkata, ‘Amir (penguasa) berkata kepadamu, tinggalkanlah kata-kata yang sering engkau ucapkan.’

‘Kalimat apa?’

‘Kalimat-kalimat ini?’

Abdullah terus mengulangnya, lalu utusan itu berkata, ‘Perkataanmu: Setiap hal yang baru adalah bid’ah.’

‘Saya tidak akan meninggalkannya.’

‘Kalau begitu, baginda memerintahkan agar engkau pergi.’

‘Ya, saya akan keluar.’

Maka Abdullah akhirnya pergi ke Madinah.”

Tidak berbeda jauh, adalah sebagian penguasa hari ini yang mengubah kurikulum pendidikan, yang bertujuan menjauhkan dari hukum-hukum Islam, menyembunyikan sebagian, atau mempersempit sebagian hukum had dan aturannya, terutama terkait

wala wal bara’, i’dad dan isti’dad, dan keluar di jalan Allah untuk berjihad.

Keenam: jika penguasa melakukan

kejahatan atau kezaliman disebabkan oleh fatwa yang diinterpretasikan bukan semestinya dari ulama yang tsiqah, maka orang yang tahu wajib mengingkari dan menyelamatkan orang yang dizalimi.

(16)

Ingin Beriklan

di Majalah Kiblat?

Hubungi:

(17)

Menyelamatkan

Bahtera

Tak Hanya dengan

“Empat Mata”

(18)

Terkadang penguasa negeri melakukan tindak pencegahan terhadap rakyatnya, sebaliknya rakyat pun juga berhak melakukan tindak pencegahan terhadap penguasa. Dalam hal ini posisi keduanya sama, saling mengemban kewajiban dan masing-masing memperoleh hak.

Penguasa yang melakukan tindakan pencegahan terhadap rakyatnya, dapat dipastikan ‘bebas’ menggunakan cara

M

uatan atau penumpang

berlebih bukan satu-sat-unya sebab kapal menjadi karam. Jika ada seseorang melubangi kapal, tentu saja bisa me-nyebabkan kapal itu tenggelam. Hal ini manakala tidak seorang pun mencegah perbuatannya. Begitu juga dengan se-buah negeri, tidak lantas karena ban-yaknya penduduk, negeri tersebut akan hancur dan kelaparan. Namun, saat ada seorang yang merusak kondisi negeri tersebut – dengan hal apapun—tentu saja dapat mengakibatkan kehancuran.

Maka dari itu, tindakan pencegahan sesegera mungkin harus dilaksanakan. Jangan sampai nasi menjadi bubur, saat negeri sudah hancur, barulah penduduk negeri bangun tidur. Tindakan pencegahan ini di dalam Islam terkait dengan sebuah ibadah, yaitu amar ma’ruf nahi munkar. Maknanya adalah menganjurkan kebaikan dan melakukan perbaikan, serta mencegah dari kemungkaran dan menahan pengrusakan. Inilah yang seharusnya dilakukan demi mempertahankan keutuhan sebuah negeri.

Tindakan pencegahan (baca: amar ma’ruf nahi munkar) bukan hak dan kewajiban kalangan tertentu. Tidak terbatas pada satu golongan yang lebih tinggi dibanding yang lebih rendah, begitu pula sebaliknya. Setiap person atau golongan – ketika ia mampu— hendaknya dapat merealisasikan tindakan pencegahan. Tentu saja, hal ini dalam rangka mencapai kemaslahatan bersama dan menghindari timbulnya kemadharatan.

Ada hal-hal yang perlu diperhatikan, berkaitan dengan dua pihak yang saling terkait, yaitu si pencegah dan yang dicegah. Dari sini perlu ada sebuah batasan-batasan yang perlu dijaga. Si pencegah bukan asal mencegah dengan bertindak semaunya, di sisi lain yang dicegah hendaknya sadar kalau memang benar-benar bertindak salah. Keduanya harus sama-sama jujur akan tindakan yang diperbuatnya, karena hal itu dapat mempengaruhi hasil dari tindakan pencegahan.

Dalam satu sekup misalnya, terkait sebuah negara atau wilayah kekuasaan, subjek pencegahan bisa jadi bergantian, begitu pula dengan objeknya.

Siapa

(19)

Rakyat boleh melakukan tindak pencegahan apa saja, selama dimampui dan sesuai kondisi.

Satu contoh tindakan pencegahan adalah sebagaimana paparan hadits riwayat Imam Ahmad.

“Barang siapa yang hendak menasihati penguasa dengan sebuah perkara, maka janganlah ditampakkan, tetapi ambillah tangan-nya lalu bawalah ke tempat yang kosong. Jika ia menerima, maka itulah yang didapat, jika tidak, maka engkau telah melakukan kewajibanmu kepadanya.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya 3/403 dan Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah hal. 507 dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Zhilalul Jannah: 1096)

Imam Ahmad menceri-takan sebuah kejadian ketika meriwayatkan hadits di atas. Secara lengkap disebutkan sebagai berikut:



    



   











    

kemampuan dan kuasa

untuk bertindak. Lantas bagaimanakah dengan rakyat – di mana secara strata posisinya di bawah dan lemah – ketika mereka dapati bahwa penguasanya melakukan hal yang dapat menyebabkan “karamnya kapal”. Tindakan apa yang seharusnya dilakukan? Bolehkah dengan sembarang cara atau dalam bentuk apapun? Tentu ini menjadi sebuah masalah tersendiri.

Rakyat tentu saja memiliki hak dan kewajiban sama. Ketika penguasa melakukan tindak kesalahan yang dapat menghancurkan sebuah negara, rakyat

harus bergerak, mencegah sekuat tenaga agar hal itu tidak terjadi. Tindakan

tersebut dapat dilakukan dengan cara

apapun, asalkan sesuai jalur syariat dan dapat diharapkan hasilnya.

(20)



























    



Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Abi Ashim dan Ibnu Adi melalui jalur Shafwan bahwa ia berkata,

telah menceritakan kepadaku Syuraih bin Ubaid Al Hadlrami bahwa ia berkata, “Iyadl bin Ghanam

pernah mencambuk penduduk Darya ketika sudah ditaklukkan. Maka Hisyam bin Hakim pun berkata keras kepadanya sehingga Iyadh pun marah.

Kemudian ia pun menginap beberapa malam. Hisyam kemudian mendatanginya dan memberi tahu alasan perkataannya tersebut. Hisyam pun berkata kepada Iyadh, ‘Tidakkah engkau mendengar sabda

Nabi n (Sesungguhnya manusia yang paling keras adzabnya adalah mereka yang paling keras adzabnya kepada manusia di dunia).’ Iyadh bin Ghanam pun berkata, ‘Wahai Hisyam, kita telah mendengar apa yang engkau dengar dan melihat apa yang engkau lihat, tapi bukankah engkau engkau mendengar

sabda Rasulullah saw (Barang siapa yang hendak menasehati penguasa dengan sebuah

perkara, maka janganlah ditampakkan, tetapi ambillah tangannya lalu bawalah ke tempat yang kosong. Jika ia menerima, maka itulah yang didapat, jika tidak, maka engkau telah melakukan kewajibanmu kepadanya). Dan bahwasanya engkau wahai Hisyam, engkau benar-benar berani karena telah berani kepada penguasa Allah, apakah engkau tidak takut jika penguasa itu membunuhmu, lalu engkau menjadi orang yang dibunuh penguasa Allah ta’ala.’.”

Dalam hadits di atas, poin penting yang dijadikan satu landasan tindakan pencegahan adalah, larangan untuk mencegah

tindakan buruk secara terang-terangan. Tidak boleh seseorang menegur tindakan yang salah dari orang yang berkuasa di hadapan khalayak. Hendaknya hal tersebut dilakukan secara diam-diam.

(21)

Apa hanya thariqah seperti inilah yang boleh dikerjakan untuk menegur pihak yang lebih berkuasa? Apakah cara-cara lain tertutup, sehingga kesalahan tetap saja dibiarkan?

Hadits tersebut memang terdapat kontroversi tentang derajat

keshahi-hannya. Syaikh Al-Albani memang menyatakan riwayat tersebut shahih – berdasarkan metode ilmu hadits yang dijadikan acuan. Namun, jika dilihat dari jalur-jalur periwayatan dan sanadnya, hadits ini lemah/dha’if.

Jalur sanad hadits di atas ada beberapa koreksi, yaitu tidak bertemunya Syuraih dan Iyadl. Karena tidak bertemu, otomatis jalurnya terputus. Selain

itu, Ibnu Hajar menilai Syuraih sebagai orang yang banyak meriwayatkan hadits mursal.

Muhammad bin Auf perrnah ditanya: Apakah Syuraih bin Ubaid pernah mendengar dari Abu Darda? Ia menjawab, “Tidak, belum pernah.”

Dikatakan kembali kepadanya, “Dia pernah

mendengar dari salah seorang sahabat Nabi?” Dijawab, “Aku tidak berpikir demikian. Dia belum pernah mengatakan ‘(sami’tu) aku telah mendengar padahal ia tsiqah.’.” (Tahdzibul Kamal: 22/447)

Abu Hatim Ar Razi pernah

memutuskan bahwa Syuraih tidak pernah kenal Abu Umamah dan Harits bin Al Harits serta

Al Miqdam. Riwayatnya dari Abu Malik Al Asy’ari adalah mursal. (Al Marasil, Ibnu Abi Hatim: 1/90)

Abu Umamah wafat tahun 86 H, Miqdam bin Ma’ad dekat dengannya, yaitu 87 H. Lantas bagaimana bisa ia berjumpa dengan Iyadh yang wafat tahun 20 H?

Perkataan Syaikh Al Albani dalam takhrijnya atas Kitab Sunnah milik Ibnu Abi ‘Ashim –bahwa sanadnya adalah shahih dan rijalnya tsiqah— adalah tidak benar. Para perawi yang ada dalam Kitab Sunnah Ibnu Abi ‘Ashim di antara mereka ada Baqiyah bin Al-Walid, kata-katanya memang diketahui tapi sanadnya terputus dan tidak baik.

Menurut Ibnu Abi ‘Ashim, disebutkan bahwa ada

“perantara” antara Syuraih dan kejadian yang

(22)

berkata kepada Hisyam bin Hakim...Al hadits

Sanad di atas adalah lemah sekali. Terdapat beberapa cacat pada perawi di dalamnya.

1. Muhammad bin Is-mail bin Iyasy.

Abu Dawud berkata tentangnya, “Dia be-lum pernah melaku-kan –periwayatan tersebut—dari ayah-nya”

Abu Hatim da-lam Al Jarh wa At-Ta’dil 7/190 berkata, “Dia belum pernah mendengar apapun dari ayahnya.”

Dalam kitab Ishabah (4/510) Al-Hafizh Ibnu Hajar sempat menyebut riwayatnya, kemudi-an melemahkkemudi-annya dengan pernyataan, ”Tapi Muhammad bin Ismail ini dha’if jiddan (sangat lemah).” Hal ini

se-bagaimana yang di-hukumi Abu Dawud terhadapnya, “Dia seorang yang lemah dan pemalsu hadits.” 2. Ismail bin Iyasy

Dia adalah seorang yang lemah ketika meriwayatkan dari penduduk negerin-ya. Padahal di sini,

ia meriwayatkan dari seorang penduduk negerinya. Oleh ka-rena itu, lepas sudah ikatannya.

3. Dhamdham bin Zur’ah. Yahya bin Ma’in berkata bah-wa ia tsiqah. Ibnu Hibban juga per-nah menyebutnya dalam kitabnya “Ats Tsiqaat”. Ibnu Hajar berkata, “Dia orang yang jujur.”

Abu Hatim mengatakan bahwa ia lemah. Dapat dimaklumi bahwa Abu Hatim termasuk keras ketika menghukumi berkaitan masalah rijal. Sebutan yang paling dekat –kebenarannya— terhadap Dhamdham insya Allah bahwa ia orang yang jujur.

Maka yang tersisa adalah Muhammad bin Ismail. Ia sungguh telah menyelisihi orang-orang yang tsiqah dalam hadits ini dengan menyebut Jubair bin Nufair antara Syuraih dan kejadian Iyadh. Ini adalah riwayat yang munkar lagi cacat –tidak ada perbedaan teknik periwayatan antara ahli mushtalah hadits terdahulu dengan

yang sekarang.

Selain dua jalur periwayatan di atas, ada satu jalur lagi dari Fudhail Fadhalah. Namun, sanad ini juga nilainya lemah. Ibnu Hajar berkata tentang Fudhail bin Fadhalah, “Ia bisa diterima, bila

mutabi’ (bersekutu atau ada kesesuaian dengan periwayatan dari perawi lain yang lebih populer dalam meriwayatkan), bila tidak maka statusnya

layyin (perawi yang cacat tetapi tidak gugur dari tahap keadilan [‘adalah]), tetapi telah memursalkan sesuatu.

Ibnu Aidz adalah Ats-Tsimali. Imam Adz Dzahabi berkata tentang dirinya,

“Al-Azdi mendhaifkannya dan namun An-Nasa’i menguatkannya. Ia banyak meriwayatkan hadits mursal. Ibnu Hatim juga berkata bahwa hadits-haditsnya mursal.

(23)

masalah sanad di mana Imam Az-Zuhri dan lainnya tinggal di sana.”

Menurut Abu Qatadah

Al-Filasthini, Ibnu Aidz di sini tidak jelas

pendengarannya. Oleh karena itu, sanad ini menjadi dha’if karena terdapat 2 cacat:

1. Terputusnya Fudhail dan Ibnu Aidz

2. Terputusnya Ibnu Aidz dan Jubair bin Nufair

Dari paparan di atas, dapat diketahui bahwa hadits tersebut dhaif karena sanad-sanadnya telah disepakati akan kedhaifannya. Dalam bentuk seperti ini, salah satu (sanad) tidak bisa menjadi syahid bagi lainnya.

Hal ini menegaskan kesalahan Syaikh Al-Albani saat memberikan ta’liq atas hadits itu, yang mana ia mengatakan tentang sanad kedua untuk menguatkan sanad pertama. Untuk itu

nilainya dhaif. Dia juga berusaha menguatkan dengan jalur sebelumnya dan jalur lain setelahnya. Yaitu ketika menjadikan ketiga sanad ini berbeda

satu dengan lainnya. Padahal ketiganya adalah sama-sama dhaif.

Hal lain yang menjadi saksi akan kedhaifan hadits ini adalah sanadnya menyelisihi sanad shahih

yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Yaitu bahwa Nabi saw bersabda (Sesungguhnya Allah mengadzab orang-orang yang mengadzab ketika di dunia), tanpa tambahan ini.

Imam Muslim meriwayatkan hadits ini

dalam shahihnya di Kitab Al birru wash Shillah wal Adab melalui jalur Hisyam bin hakim bin Hizam, bahwa ia berkata, “Telah lewat di Syam di antara manusia dan mereka berdiri di bawah terik matahari, dituangkan di atas kepala-kepala mereka minyak. Maka ia berkata, ‘Apa ini?’ Dikatakan, ‘Mereka disiksa karena tidak mau

membayar kharaj.’ Maka ia berkata: Adapun aku mendengar Rasulullah saw ... Al Hadits

Dari sinilah Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam kitabnya Tuhfatul Mujib

cenderung menilai bahwa riwayat tambahan ini syadz karena menyelisihi riwayat yang shahih dari jalur Urwah yang ada dalam Shahih Muslim. Dalam halaman 164 dikatakan, (cetakan Darul Aatsaar, Shan’a`): (sumber: h t t p : / / k a w a l i t a r e n g . blogspot.com/2013/11/ kelemahan-hadits-iyadh-bin-ghanm.html)

Selain karena jalur periwayatan yang bermasalah, dari sisi lafadz hadits tersebut dinilai munkar. Hal tersebut dapat dilihat dari keterangan di bawah ini:

Perkataan Iyad bin Ghanam kepada Hisyam (Apakah engkau tidak takut kalau penguasa itu membunuhmu, sehingga engkau menjadi orang yang dibunuh penguasa Allah tabaraka wa ta’ala). Perkataan dari Iyadh ini salah dilihat dari dua sisi –selaras dengan kesalahan atas kedhaifan hadits ini sebagaimana telah dijelaskan:

(24)

Terlepas dari itu semua, seandainya hadits ini pada akhirnya bernilai lemah, dalam hal-hal kemaslahatan hadits tersebut tetap dapat dijadikan acuan. Minimal menjadi satu

metode dalam hal pencegahan.

Dalam upaya pencegahan, apa yang menjadi poin dalam hadits di atas sebenarnya bukan satu-satunya cara. Upaya diam-diam memang bisa diterapkan dalam satu kondisi. Namun, upaya tersebut tidak lantas menutup

jalan-jalan pencegahan yang lain, semisal secara terang-terangan. Terlebih ketika keburukan tersebut membahayakan dan

berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.

Tindakan buruk tetap harus dikoreksi baik secara diam-diam ataupun terang-terangan, tentu saja harus sesuai kondisi dan dengan cara yang bijak, bukan dengan mengungkap aib

Abu Syahid Komandan Brigade Abu Fadl Al-Abbas Irak di Suriah, memberi hormat kepada foto Basyar Asad sebelum bertempur [foto: Abna.co]

Salah satu upaca pemakaman tentara Hizbullah Lebanon yang tewas di Suriah

dan kemaksiatan pribadi yang sudah ada upaya untuk ditutupi.

Upaya pencegahan secara terang-terangan tersebut bukan lantas tanpa

landasan. Generasi salaf dalam beberapa kasus pernah melakukan hal itu. Di antaranya adalah Marwan (Amir Madinah) ketika itu yang dikoreksi oleh Abu Said Al-Khudri

a secara terang-terangan saat shalat ‘Ied, seperti disebutkan sebelumnya. Said bin Musayyaf bahkan sering dicambuki oleh para penguasa agar ia berhenti mengkritik mereka. Dalam suatu kisah, Penguasa zamannya berkata, “Apakah Said jera sejak kami cambuk?” Ada yang menjawab, “Demi Allah ia justru lebih keras berbicara sejak engkau mencambuknya. Cukuplah menghukum orang itu.” (Ath-Thabaqat, V/127). Said melakukan amar makruf nahi Munkar

tersebut kepada penguasa muslim, bagaimana dengan penguasa sekuler?

Dalam kasus lain, Amirul Mukminin Umar bin Khaththab juga pernah diprotes langsung oleh seorang wanita dan beliau penguasa Allah). Ini adalah menyelisihi

ha-dits-hadits yang menunjukkan fadhilah-fa-dhilah ketika dibunuh oleh penguasa lantaran menasehatinya.

(25)

tidak mengingkarinya. Diceritakan bahwa ketika Umar bin Khaththab a

menyampaikan khutbah di atas mimbar, dia menyampaikan bahwa Umar hendak membatasi mahar sebanyak 400 Dirham, sebab nilai itulah yang dilakukan oleh Rasulullah n. Jika

ada yang lebih dari itu, maka selebihnya dimasukkan ke dalam kas negara. Hal ini diprotes langsung oleh seorang wanita, di depan manusia saat itu, dengan perkataannya:

 

  

janganlah kamu mengambil kembali dari padanya

barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?” (An-Nisa: 20) Umar menjawab, “Ya Allah ampunilah, semua manusia lebih tahu dibanding

Umar.” Kemudian Umar pun meralat keputusannya. Kemudian naik ke mimbar dan berkata, “Dahulu aku melarang kalian untuk membayar mahar wanita lebih dari 400 dirham, maka (sekarang) barang siapa yang mau (silakan) memberi dari hartanya sebanyak yang dia suka.”. Mengutip Al-Hafidz Abu Ya’la, Imam Ibnu katsir mengatakan: sanadnya jayyid qawiy (baik lagi kuat. (Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/243 – 244, Dâru Thayyibah Lin Nasyri wat Tawzî’, Cet. II, Maktabah Syâmilah)

Secara umum, tindakan pencegahan sudah “Wahai Amirul mukminin,

engkau melarang manusia dari memberi mahar buat wanita melebihi 400 Dirham?” Umar

menjawab, “Benar.” Wanita itu berkata, “Apakah kau tidak mendengar firman Allah, “…. sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka

(26)

diajarkan oleh Nabi n sang pemilik akhlak mulia. Dalam hadits, Rasulullah n mengajarkan, “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, jika tidak bisa hendaklah mengubahnya dengan lisannya, dan jika tidak mampu hendaklah dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman.”

Metode-metode yang disebutkan dalam hadits, berupa tindakan pencegahan dengan tangan, lisan, dan hati adalah sebuah pilihan sesuai

kondisi yang berlaku. Pilihan tersebut tidak lantas menafikan satu dengan yang lainnya. Selama hal itu dimampui, relevan dengan keadaan, dan lebih berdampak positif, maka hendaknya itu

menjadi sebuah pilihan. Pertimbangan tersebut hendaknya didasarkan pada ketentuan syariat dan realita yang terjadi, bukan lantaran hawa nafsu.

Hal tersebut bertujuan agar pihak yang menjadi objek pencegahan dapat berjalan lagi sesuai jalurnya. Tidak menyimpang dengan melakukan berbagai tindak keburukan dan kezaliman. Begitu pun ketika objek pencegahan memiliki kuasa dan kekuatan, tidak lantas menjadikannya bebas dari kritik dan koreksi. Pencegahan tetap harus dilakukan, dengan cara apapun. Agar tidak menimbulkan sebuah kesenjangan bahwa yang berkuasa bisa bebas

secara tidak langsung mendapatkan legalitas untuk berbuat seenak hati memperlakukan pihak-pihak yang lebih lemah dari dirinya.

[M. Basyiruddin]

Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, jika tidak bisa hendaklah mengubahnya dengan lisannya, dan jika tidak mampu hendaklah dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman.

(27)

S

elang beberapa hari setelah p e l a n t i k a n Jokowi sebagai presiden, banyak beredar

broadcast tentang anjuran untuk menaati ulil amri. Pesan tersebut diwarnai dengan seabrek dalil tentang kewajiban taat kepada pemimpin. Tak ada yang aneh atau perlu dipertanyakan seputar dalil yang terdapat dalam pesan tersebut. Namun timbul pertanyaan ketika yang dimaksud ulil amri adalah Jokowi.

Alasannya simpel, yaitu karena mantan gubernur

DKI itu, saat ini telah resmi menjadi presiden Indonesia. Tanpa harus m e m b e d a - b e d a k a n , siapa pun yang menjadi presiden maka wajib untuk ditaati.

Tema ini sempat menjadi tranding topik yang diperdebatkan oleh para aktivis Islam. Banyak yang membantah, namun sebagian lain setuju dengan anjuran tersebut. Bahkan dalam salah satu tulisan yang beredar di internet, penyebutan nama Jokowi diikuti dengan kata-kata hafidhahullah. Salah satu doa yang sering disebutkan ketika

menyebut nama tokoh muslim yang sedang memperjuangkan Islam.

Tidak hanya gelar Ulil Amri, lebih tinggi dari itu, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj, menyematkan gelar khalifah kepada Jokowi.

“NKRI sudah sesuai jalan Islam. Pak Jokowi khalifah kita sekarang, pemimpin

bangsa Indonesia, termasuk umat Islam,” kata

Said Aqil usai penutupan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Jakarta, Minggu (2/11)

PEMERINTAH SEKULER

(28)

Para aktivis yang selama ini gigih memperjuangkan syariat Islam pun kembali dibuat kaget dan heran dengan pernyataan tersebut. Gelar yang seharusnya dinisbatkan kepada mereka yang memimpin

umat dalam menjalankan undang-undang Allah, kini dinisbatkan kepada pemimpin negara berasas Pancasila.

Wajar jika para aktivis Islam banyak yang m e m p e r t a n y a k a n n y a , karena dalam literatur Islam yang selama ini lazim diketahui oleh orang muslim, seseorang yang diangkat menjadi ulil amri atau khalifah, dia akan memiliki peran penting dalam menjaga agama dan

mengurus kemaslahatan umat sesuai dengan syariat yang telah diatur dalam Islam. Oleh karena memiliki peran tersebut, setiap muslim diperintahkan untuk menaatinya, baik dalam keadaan rela maupun terpaksa kecuali jika dia memerintahkan kepada kemaksiatan.

Kewajiban taat kepada ulil amri

Para ulama sepakat bahwa ketaatan kepada ulil amri adalah perintah yang wajib ditaati oleh setiap muslim. Banyak sekali dalil yang menyebutkan kewajiban tersebut. Di antaranya, dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 59, Allah l berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kamu sekalian kepada Allah dan Rasul-Nya, serta pemimpin di antara kalian.” (An-Nisâ’: 59)

Ketegasan perintah tersebut, juga disampaikan oleh Nabi

shallallahu’alaihi wa sallam dalam wasiatnya kepada umat Islam. Sabdanya:

“Aku wasiatkan kalian agar senantiasa takwa kepada Allah serta mendengar dan taat kepada pemimpin (negara) meskipun pemimpin tersebut seorang budak dari Habasyah.” (HR. Abu Daud, no. 4609 dan At-Tirmidzi, no. 2677)

Tentunya masih banyak dalil-dalil lain

(29)

ketaatan kepada ulil amri adalah haram. Namun permasalahannya adalah siapakah ulil amri yang wajib ditaati? Apakah setiap pemimpin yang beragama Islam pada saat ini bisa disebut ulil amri? Padahal telah kita ketahui bersama bahwa hampir seluruh pemimpin negara muslim hari ini hanya menjalankan sistem pemerintahan sekuler. Dan sistem tersebut jelas sangat bertentangan dengan sistem undang-undang Islam. lantas kalau memang tidak, apakah ada pemimpin hari ini yang wajib ditaati?

Ketika menafsirkan surat An-Nisa ayat 59, Jumhur ulama berpendapat bahwa definisi ulil amri yang wajib ditaati adalah para penguasa dan pemimpin yang mengatur kemaslahatan umat.

Asy-Syaukani dalam kitab tafsirnya, Fathul Qadir, mengatakan, “Ulil amri adalah para

pemimpin, penguasa, hakim dan semua orang yang memegang pemerintahan yang menjalankan syariat, bukan pemerintahan thaghut.” (As-Syaukani, Fathul Qodir, hal. 308)

Imam Nawawi v berkata, “Ulil Amri yang dimaksud

adalah orang-orang yang Allah l wajibkan untuk ditaati dari kalangan para penguasa dan pemimpin umat, inilah pendapat

mayoritas ulama terdahulu dan sekarang

yaitu dari kalangan ahli tafsir, fikih, dan selainnya.”(Syarh Shahih Muslim 12/222)

Setidaknya ada tiga kesimpulan mendasar yang dituliskan oleh para ulama mufassir dalam menafsirkan surat An-Nisa ayat 59:

1. Ulil amri yang wajib ditaati adalah ulil amri dari kalangan orang-orang beriman dan memerintah dengan adil.

2. Ketaatan kepada ulil amri tidak mutlak, namun bersyarat. Yaitu selama bukan dalam perkara maksiat.

3. Ulil amri yang tidak menjadikan syariat Islam sebagai hukum dalam p e m e r i n t a h a n n y a

tidak wajib ditaati

Ulil amri

adalah para

pemimpin,

penguasa,

hakim dan

semua

orang yang

memegang

pemerintahan

yang

menjalankan

syariat, bukan

pemerintahan

(30)

secara mutlak baik ketika hukumnya bersesuaian dengan hukum syar’i ataupun menyelisihi. Ulil amri seperti ini tidak sah.

Ketiga poin ini penting untuk diperhatikan dalam memandang penguasa yang memerintah di negeri-negeri berpenduduk muslim. Termasuk di Indonesia, agar dengan demikian kita akan lebih bisa menilai siapakah yang disebut ulil amri sebenarnya.

Selai itu, ada satu hal lain yang cukup mendasar juga adalah memahami tujuan

(maqashid) kepemimpinan dalam Islam itu sendiri. Para ulama menyebutkan bahwa tujuan pokok dari adanya kepemimpinan adalah untuk mengatur kemaslahatan umat dengan menjalankan syariat yang telah Allah gariskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, dalam Islam pemimpin juga disebut sebagai pengganti peran Rasulullah n

dalam menjalankan tugas kenabian.

Al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkamus Sulthaniyah, 1/3 berkata:

   



“Kepemimpinan adalah pengganti tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia.” Sementara Ibnu Khaldun menulis bahwa imamah merupakan pengganti (tugas) pemegang (otoritas) syariat dalam melindungi agama dan mengatur urusan keduniawian.” (Ibnu Khaldun,

Muqaddimah, hal. 195, dinukil dari Al-Imamah Al-‘Uzhma ‘inda Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah karya Abdullah bin Umar bin Sulaiman Ad-Dumaiji, hal 29)

Al-Baidhawi juga menyebutkan bahwa kepemimpinan adalah sebagai proses seseorang (di antara umat Islam) dalam menggantikan (tugas) Rasulullah untuk menegakkan pilar-pilar syariat dan menjaga eksistensi agama, di mana ada kewajiban bagi seluruh umat Islam untuk mengikuti (tunduk kepada)nya. (Al-Baidhawi, Hasyiyah Syarh Al-Mathali’, hal. 228, dinukil dari Wajiz fi Fiqh Al-Khilafah karya Shalah Shawi, hal. 5)

Dengan demikian kewajiban pertama dan yang paling pokok bagi ulil amri adalah mewujudkan tujuan-tujuan kepemimpinan tersebut, pertama, menegakkan agama. kedua, mengatur rakyatnya dengan syariat Islam. Dengan peran ini, ia disebut ulil amri yang wajib ditaati dan tidak boleh dilawan karena telah menegakkan agama dan menerapkan syariat. Adapun jika pemimpin yang tidak menegakan agama dan syariat maka tidak layak disebut ulil amri yang wajib ditaati.

(31)

didengar, ditaati dan tidak ditentang. Ulil Amri berhak mendapatkan itu semua dikarenakan mereka melaksanakan kepentingan (urusan) kaum muslim, menjaga dan menyebarkan agama, melaksanakan hukum-hukum, menjaga perbatasan, memerangi orang-orang yang menolak Islam setelah mendakwahinya, mencintai kaum muslimin dan memusuhi orang-orang kafir.

Jika dia tidak menjaga agama atau tidak melaksanakan urusan kaum muslim maka hak kepemimpinan telah hilang darinya. Umat (dalam hal ini diwakili oleh Ahlul Halli Wal ‘Aqdi, karena kepada merekalah kembalinya kendali permasalahan) wajib mencopotnya dan menggantinya dengan orang yang mampu merealisasikan tujuan kepemimpinan.

Ketika Ahli Sunnah tidak membolehkan keluar dari para pemimpin yang zalim dan fasik—karena kejahatan dan kezaliman tidak berarti menyia-nyiakan agama— maka yang dimaksud mereka adalah pemimpin yang berhukum dengan syariat Allah. Kalangan salafus saleh tidak mengenal istilah pemimpin (ulil amri) yang tidak menjaga agama. Menurut mereka pemimpin seperti ini bukanlah ulil amri. Yang dimaksud kepemimpinan (ulil amri) adalah menegakan agama. Setelah itu baru ada yang namanya kepemimpinan yang baik dan kepemimpinan yang buruk.”

(Abdullah bin Abdul Hamid, Al Wajîz Fî Aqîdati al Salaf al Shâlih Ahli al Sunnah Wal Jamâ’ah, Riyadh: Wazârah al Syu’ûn al Islâmiyyah Wa al Da’wah Wa al Irsyâd,

1423, hlm. 169)

Rasulullah n bersabda:





“Dengar dan taatilah, meskipun yang memimpinmu seorang budak dari Habsyi yang kepalanya seperti anggur.”

(HR. Al-Bukhari dari Anas bin Malik) dalam riwayat Ahmad dari Ummul Hushain al-Ahmasiyyah terdapat tam-bahan, “Selama ia menegakkan kitab-ullah di tengah-tengah kalian.”

Taat kepada Ulil Amri kecuali dalam kemaksiatan

Kita telah mengetahui bahwa ulil amri yang wajib didengar dan ditaati adalah yang mengatur rakyatnya dengan syariat Islam. Kemudian ketaatan kepada pemimpin tidak bersifat mutlak namun ketaatan kepadanya harus sesuai dengan batasan-batasan hukum yang telah diturunkan Allah. Karena tidak boleh menaati makhluk dalam perkara kemaksiatan.

Dari Ibnu Umar h Rasulullah n

(32)

  

 

“Mendengar dan menaati seorang (pem-impin) yang Muslim adalah wajib, baik dalam perkara yang disenangi atau dibenci, selama tidak diperintahkan un-tuk maksiat.” (HR Al-Bukhari, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ahmad dari Ibnu Umar)

Nash-nash di atas menunjukkan bahwa kaum muslimin diwajibkan menaati pemimpin. Hanya saja ketaatan itu tidak mutlak. Ia harus selaras dengan aturan syariat. Artinya, tidak dalam rangka melanggar perintah Allah. Para ulama sepakat bahwa ketaatan terhadap ulil amri tidak bersifat mutlak. Namun ada batasan-batasan yang diberikan. Secara garis besar perintah yang dimaksudkan adalah tidak boleh ada unsur kemaksiatan kepada Allah.

    

“Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan, sesungguhnya ketaatan itu dalam kebajikan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ali bin Abi Thalib a pernah menceritakan kisah yang cukup menarik dalam permasalahan ini, Ali berkata, “Nabi n

(33)

pun mulai mengumpulkan kayu bakar lalu menyalakannya.

Tatkala mereka akan melompat masuk ke api tersebut, mereka hanya berdiri sambil memandang satu sama lain. Lalu sebagian di antara mereka berkata, ‘Kami hanyalah mengikuti Nabi n karena menghindar dari api (neraka), kalau begitu kenapa kami akan memasukinya.’ Demikian keadaan mereka hingga apinya padam dan kemarahan pemimpinnya reda. Hal ini kemudian diceritakan kepada Nabi n

maka beliau bersabda:

 



Seandainya mereka masuk ke dalam api tersebut niscaya mereka tidak akan keluar darinya (neraka) selama-laman-ya. Sesungguhnya ketaatan kepada pimpinan itu hanya dalam perkara yang baik’.” (HR. Muslim no. 1840)

Demikianlah batasan taat kepada pemimpin, selama pemimpin tersebut menegakkan syariat dan memerintahkan kepada yang makruf maka wajib ditaati, namun sebaliknya jika pemimpin tersebut memerintahkan kepada kemaksiatan maka wajib diingkari, dan di sinilah letak peran rakyat untuk melaksanakan hak mereka kepada pemimpin, yaitu menasihatinya jika menyimpang dari jalur syariat.

Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq dilantik menjadi khalifah, beliau berkhutbah, “Saya bukanlah yang terbaik di antara kalian. Oleh karena itu saya sangat menghargai dan mengharapkan saran dan pertolongan dari kalian semua. Menyampaikan

kebenaran kepada seseorang yang terpilih sebagai penguasa adalah kesetiaan yang sebenar-benarnya, sedang menyembunyikan kebenaran adalah suatu kemunafikan. Orang yang kuat maupun orang yang lemah sama kedudukannya dan saya akan memperlakukan kalian semua dengan adil. Jika aku bertindak dengan hukum Allah dan Rasul-Nya maka taatilah aku akan tetapi jika aku mengabaikan ketentuan Allah dan rasul-Nya, tidak layak kalian menaatiku.” [Fakhruddin]

Seandainya

mereka masuk

ke dalam api

tersebut niscaya

mereka tidak

akan keluar

darinya (neraka)

selama-lamanya.

Sesungguhnya

ketaatan kepada

pimpinan itu

hanya dalam

perkara yang

(34)

B

anyak sekali dalil yang menyebutkan bahwa pemimpin wajib ditaati selagi tidak menyuruh berbuat maksiat. Meskipun mereka masih sering melakukan kezaliman, kita dilarang menasihati di depan umum apalagi demonstrasi, karena itu bagian dari sifat Khawarij. Demikian anggapan sebagian dai yang mengklaim dirinya sebagai pengikut salaf. Menurut mereka, kalau memang ingin menasihati penguasa zalim harus dengan empat mata alias tidak boleh di depan khalayak umum. Kalau pun tidak bisa maka cukup lewat anggota DPR yang menjadi perwakilannya di parlemen.

Khuruj atau keluar dari ketaatan terhadap penguasa menjadi topik menarik dalam

wacana siyasah syar’iyyah. Inilah bentuk protes dan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah. Perwujudannya bisa beragam, mulai dari menolak baiat terhadap pemimpin, membatalkan baiat yang telah diikrarkan, hingga pemberontakan. Pertanyaannya, apakah setiap orang yang menentang penguasa tersebut disebut sebagai khawarij?

Cukup menarik apa yang ditulis Syaikh Abdullah Ad-Dumaiji ketika menguraikan permasalahan ini. Menurut beliau tidak semua orang yang menantang penguasa disebut Khawarij. Harus dilihat terlebih dahulu apa motivasi yang mendasari mereka ketika memutuskan untuk keluar dari kepemimpinan. Dengan demikian kita akan bisa lebih obyektif dalam menilai. Dengan latar belakang tersebut juga, kita akan dapat menilai jika status khuruj itu sendiri bisa beragam, kadang-kadang bisa jadi haram, makruh, mubah, sunnah, atau bahkan wajib.

Untuk mencapai kesimpulan yang obyektif diperlukan pendefinisian secara tepat tiga unsur utama, al-kharijun (kelompok yang khuruj), almakhruj ‘alaih (penguasa), dan

wasilatul khuruj (sarana khuruj). Ketepatan mendefinisikan tiga unsur ini sangat penting untuk mencapai sebuah konklusi hukum yang tepat.

MELAWAN

PENGUASA

(35)

Penguasa tidak lepas dari tiga kategori, yaitu imam adil, imam ja’ir/zalim (maksiat) dan imam murtad. Penegasan status kategori ini menjadi penting karena akan mempengaruhi status hukum al-kharijun (kelompok penentang). Khuruj

terhadap imam adil misalnya, tentu tidak bisa disamakan dengan khuruj terhadap penguasa murtad (kufrun bawwah).

Selain itu, dalam konteks ini, kelompok perlawanan terhadap penguasa, juga harus dibedakan atau diklarifikasikan terlebih dahulu. Karena orang yang menentang penguasa tidak selalu disebut khawarij.

Para ulama mengklarifikasi kelompok perlawanan terhadap penguasa Islam sekurang-kurangnya menjadi empat kategori, yakni Khawarij, Al-Muharabah, Bughat, dan Ahlul Haq.

Pertama, khawarij. Khawarij secara

historis adalah sekelompok orang yang melakukan pemberontakan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib. Pemberontakan dipicu oleh penolakan mereka terhadap proses tahkim, mereka digambarkan sebagai kelompok yang bersahaja namun tidak berilmu. Akibatnya, mereka terlalu gegabah dalam menuduh selain kelompoknya sebagai kafir. Terhadap kelompok ini, para ulama sepakat tentang kesesatan mereka. Sehingga tidak dilarang memerangi mereka.

Kedua, al-muharibun yaitu para pembuat

onar yang sering mengganggu stabilitas keamanan, meresahkan penduduk dengan melakukan aksi teror, perampokan, pencurian dan sejenisnya. Kewajiban imam adalah menegakkan hukum had

sebagaimana tertera dalam Al-Maidah: 33

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.”

Ketiga, bughat yaitu sekelompok yang

melawan imam adil. Motivasinya bisa karena menuntut hak, ambisi jabatan, ambisi dunia, kepentingan kelompok dan lain-lain.

Kelompok semacam ini tidak boleh langsung diperangi, melainkan diperlukan pendekatan persuasif (islah)

dengan mencoba melacak lebih jauh apa motivasi perlawanannya. Jika ada kesalahan pemahaman (syubhat) maka perlu diberikan penjelasan, jika ada hak yang dirampas maka perlu dikembalikan. Kemudian jika cara-cara persuasif tidak membuahkan hasil, baru dilakukan tindakan tegas. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Hujurat: 9

(36)

Keempat, Ahlul Haq (pembela kebenaran) yaitu sekelompok penegak keadilan yang melawan imam ja’ir. Ibnu Hajar mengatakan, “Orang-orang yang keluar dari ketaatan kepada penguasa dalam keadaan marah atas dasar dien (agama), karena melihat penguasa yang ja’ir (zalim) dan meninggalkan sunnah (tuntunan) Nabi, mereka adalah ahlul haq, termasuk di dalamnya, Husein bin Ali, penduduk Madinah dalam perang Harrah, dan mereka yang melawan Hajjaj bin Yusuf.”

(Ibnu Hajar, Fathul Bari, 12/286)

Para sahabat yang disebut Ibnu Hajar adalah

Referensi

Dokumen terkait

Langkah-langkah yang dilakukan pada tahap pelaksanaan, antara lain: (1) Menentukan kelas riset; (2) Memberikan tes kepada siswa yang menjadi subjek penelitian

mempertimbangkan pentingnya penanganan demam dan tindakan mandiri perawat dalam intervensi keperawatan, peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai perbedaan penurunan

Herkes, cephey bekrleyecek bir gürültü işitmek için kulak kabartı yor .Porta, onun artık Rusya'da değil, Ren nehri üze rinde olduğunu, çünkü Ren'in çok kez Almanya'mı

menyelesaikan skripsi yang berjudul, “ Analisis Serapan Hara Makro Beberapa Varietas Padi Sawah ( Oryza sativa L) di Bawah Tegakan Kelapa Sawit Umur 16 dan 20 Tahun.”..

Dari hasil pemotongan citra, kemudian dilakukan proses grayscale dan histogram untuk mendapatkan nilai piksel pada udang sehat dan udang sakit yang ditunjukkan dalam Tabel 1

dimana pada tabel 4.10 nilai F hitung sebesar 9.557 dan taraf signifikasi sebesar 0,000 (sig α < 0,05) hal ini sesuai dengan hipotesis yang diajukan Hasil ini ikut

Penelitian ini dilaksanakan di SD Inpres Lilimori. Kelas yang dijadikan objek penelitian yaitu kelas IV. Subyek penelitian pada Penelitian Tindakan Kelas ini adalah

pembelajaran, dapat disimpulkan bahwa hasil kemampuan menulis argumentasi kelompok siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis tinggi maupun rendah dan