• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dengan doktrin politik neo-

Dalam dokumen Majalah Kiblat Muharram Jadi (Halaman 59-66)

Murji’ah, mereka

bersabar untuk

menangguhkan

dan memaafkan

perlakuan jahat

para penguasa.

Akan tetapi,

mereka tidak

bersabar untuk

menangguhkan

aksi para

mujahid, lalu

dituding sebagai

anjing-anjing

neraka, yang

tidak akan

mencium bau

surga, boleh

dibunuh, disalib,

dipotong

silang tangan

dan kakinya

dan diusir

dari tempat

kediamannya di

dunia ini

adalah agama yang menyesuaikan para raja. Mereka mendapatkan kekayaan dunia dengan agama dan mengurangi agama mereka.’ Al-Makmun berkata, ‘Kamu benar.’’

Bukankah penguasa tersebut menunaikan shalat idul Fitri dan idul Adha? Bukankah dia merayakan hari kelahiran nabi? Bukankah dia berzina dengan dalih nikah mut’ah yang dikatakan sebagian dari penguasa tersebut? Bukankah ketika penguasa menelanjangi kebebasan dan pakaian kaum Muslim di berbagai penjara dan penyiksaan terhadap mereka, dia beralasan dengan perkataan Ali a kepada utusan Hatib bin Abu Balta’ah, ‘Keluarkan suratmu, atau kami akan menelanjangimu!’ Bukanlah penguasa dianjurkan untuk membunuh sepertiga rakyatnya untuk menerima dua pertiga? Alasan-alasan seperti itu telah ditunjukkan oleh para ulama penipu hari ini yang berperilaku seperti Dajjal.

Mufti Agung di Pakistan, Rafi ’ Utsmani, mengatakan bahwa orang-orang yang terbunuh karena membela jiwa mereka melawan berbagai serbuan tentara Pakistan, bukanlah syuhada. Rafi ’ Utsmani membantah hukum hadits Rasulullah n. bahwa barang siapa mati membela harta, jiwa, atau kezaliman terhadap dirinya, atau agamanya, dia mati syahid.

Rafi ’ Utsmani juga menyatakan bahwa orang-orang Amerika dan orang-orang

yang serupa dengan mereka aman dan terlindungi. Tidak diperbolehkan bermusuhan dengan mereka di negara kita atau di negara mereka. Dia menarik kembali pernyataan kebolehan praktek-praktek istisyhad (bom syahid) sebelumnya dari Darul Fatwa dan berkata, “Kami tidak mewajibkan jihad kecuali bila pemerintah, Musharraf, mewajibkannya, seperti kasus beberapa hari ketika Dhiyaul Haq menuntut jihad melawan Rusia.” Dia menambahkan bahwa (a) barang siapa bertempur bersama Amerika melawan kaum muslimin, dia hanya berdosa saja dan tidak kafi r dan (b) berhukum dengan selain hukum Allah berdosa, namun tidak mengeluarkan dari Islam, yaitu kemungkinan yang paling keras hanya kafi r kecil (kufur ashghar).

Bila kita memperhatikan doktrin politik neo-Murji’ah, mereka bersabar untuk menangguhkan dan memaafkan perlakuan dan aksi para raja dan penguasa. Akan tetapi, mereka tidak bersabar untuk menangguhkan aksi para mujahid, sehingga menghukumi bahwa mereka adalah anjing-anjing penghuni neraka, yang tidak akan mencium bau surga dan boleh dibunuh, disalib, dipotong silang tangan dan kakinya serta diusir dari tempat kediamannya di dunia ini.” Na’udzu billah![Dhany]

B

agi umat Islam, memahami status sebuah negeri sangatlah penting. Dari pemahaman inilah hubungan antara mereka dengan negeri dan penduduknya dibangun. Dalam terminologi Islam negeri atau wilayah kekuasaan hanya dibagi menjadi dua. Yaitu negeri Islam (darul Islam) dan negeri kar (darul kufr). Untuk mengetahui lebih jauh apa yang dimaksud dengan darul Islam dan darul kufr mari kita simak perkataan para ulama’ berikut ini tentang negeri Islam.

• Imam Ibnul Qayyim berkata,” Mayoritas ulama mengatakan bahwa Daarul Islam adalah negeri yang dikuasai oleh umat Islam dan hukum-hukum Islam diberlakukan di negeri tersebut. Bila hukum-hukum Islam tidak diberlakukan, negeri tersebut bukanlah Daarul Islam, sekalipun negeri tersebut berdampingan dengan sebuah Darul Islam. Contohnya adalah Thaif, sekalipun letaknya sangat dekat dengan Makkah, namun dengan terjadinya fathu Mekkah; Thaif tidak

Sebuah negeri

akan menjadi

Darul Islam

dengan domi-

nasi hukum

Islam di da-

lamnya.

hubungan

rakyat

dan

penguasa

berubah menjadi Darul Islam.” (Ahkamu Ahli Dzimmah 1/366, Ibnu Qayyim).

• Alaudin Al-Kasani Al-Hanafi berkata, “Sebuah negeri akan menjadi negeri Islam ( darul Islam ) dengan dominasi hukum Islam di dalamnya.” (Bada’iush Shanai’ fi Tariibisy Syarai’ 7/130).

• Abu Zahrah berkata, “Negeri Islam adalah negeri yang diatur dengan kekuasaan kaum muslimin yang kekuatan dan dominasi dipegang oleh kaum muslimin, negeri yang seperti ini wajib dibela oleh kaum muslimin, dan berjihad mempertahankannya adalah fardu kifayah.” (Al-‘Ilaqat ad dauliyah fil Islam, 53)

• Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata, “Negeri Islam adalah negeri yang diperintah oleh kaum muslimin, hukum Islam berlangsung di dalamnya dan diterapkan oleh orang-orang islam, walaupun mayoritas penduduknya adalah orang kafir.” (Fatawa Sa’diyah, 92)

Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebuah negeri dikatakan negeri Islam jika hukum yang berlaku di dalamnya adalah hukum Islam. Lantas bagaimana dengan sebuah negeri yang tidak berhukum dengan hukum Islam akan tetapi mayoritas penduduknya adalah umat Islam? Maka jika syarat mutlak sebuah negeri bisa disebut negeri Islam adalah berlakunya hukum Islam, maka negeri jenis ini belum layak disebut negeri Islam walaupun salah satu komponennya yaitu rakyatnya adalah mayoritas umat Islam.

Sebaliknya jika sebuah negeri menerapkan sistem hukum Islam, sedanggkan mayoritas rakyatnya adalah non-Muslim maka negeri tersebut layak disebut negeri Islam, karena hukum Islam berlaku di dalamnya. negeri jenis ini pernah terjadi pada zaman Rasulullah n. Yaitu Khabar. Ketika Rasulullah

n menaklukkannya pada tahun 7 H, beliau menyetujui kaum Yahudi tetap tinggal di Khaibar dan menggarap lahan pertaniannya Mengantre pencairan dana Program Simpanan Keluarga Sejahtera (PSKS). [Foto: Kabar24]

(hadits Bukhari no. 4248). Rasulullah n lalu mengutus seorang shahabat Anshar sebagai amir (penguasa) Khaibar {hadits Bukhari no. 4246). Jadi, sebagian besar warga negeri Khaibar adalah kaum Yahudi, sampai mereka diusir oleh Umar bin Khaththab pada masa kekhilafahannya. Meski demikian hal ini tidak menghalangi status Khaibar sebagai sebuah negeri Islam, karena Khaibar berada di bawah kekuasaan kaum muslimin dan hukum-hukum Islam diberlakukan di Khaibar. Abul Qasim Ar Rafi’i Asy Syafi’i mengatakan, “Untuk disebut sebagai negeri Islam, suatu negeri tidak berlaku syarat di dalamnya harus ada kaum muslimin, tetapi cukup dengan keberadaan negeri tersebut berada di bawah pemerintahan seorang penguasa muslim.” (Fathul Aziz Syarhu Al Wajiz 8/14).

Adapun tentang pengertian negeri Kafir

(Darul Kufr) sudah dapat disimpulkan dari pengertian negeri Islam sebelumnya. Jika negeri Islam adalah negeri yang menjadikan syariat Islam sebagai landasan hukum, maka negeri Kafir adalah sebaliknya. Berikut kami nukilkan definisi negeri Kafir yang disebutkan oleh para ulama.

Al-Kasani berkata, “Sebuah negeri akan menjadi negeri kafir apabila hukum kafir mendominasi di dalamnya.” (Bada’iush Shanai’ fi Tartiibisy Syarai’ 7/131).

Abu Yusuf dan Muhammad Asy-Syaibani berkata, “Jika mereka menampakkan hukum syirik di dalam sebuah negeri, maka negeri tersebut telah jadi negeri kafir, karena penisbatan kekafiran atau keislaman sebuah daerah dilihat dari kekuatan dan dominasi. Maka setiap tempat yang didominasi hukum syirik, itu adalah tempat orang-orang musyrik dan tempat tersebut menjadi negeri harb (boleh diperangi)." (Al Mabsut 10/114)

Al-Qadhi Abu Ya’la Al-Hanbali mengatakan, “Setiap negeri di mana hukum yang dominan (superioritas hukum) adalah hukum-hukum kafir dan bukannya hukum-hukum Islam, adalah Darul kufri.” (Al Mu’tamadu fi Ushuli Dien, 276).

Hukum Tinggal di Negeri Kar

Seorang muslim diharuskan untuk melaksanakan agamanya secara kaffah. Sebagaimana firman Allah :



  

“Hai orang-orang yang beriman, masuk- lah kalian ke dalam agama Islam secara kaffah.” (Al-Baqarah: 208)

Untuk melaksanakan Islam secara kaffah maka seorang muslim membutuhkan naungan sebuah institusi berupa negeri. Hal ini dapat dilihat dari sejarah Nabi n. Bagaimana beliau membangun sebuah kekuatan yang akhirnya menjadi kekuatan yang disegani kawan maupun lawan. Titik tolaknya adalah saat Nabi Muhammad n hijrah ke Madinah. Di sana Rasulullah dan kaum muslimin bisa dengan leluasa menjalankan syariat Islam dengan aman dan nyaman tanpa khawatir gangguan dari musuh-musuh Islam.

Dari peristiwa sejarah ini dan tuntutan untuk menjalankan Islam secara kaffah maka seorang muslim haruslah hidup di bawah naungan negeri Islam. Lantas bagaimana dengan umat Islam yang tidak tinggal di negeri Islam? Dalam hal ini Ibnu Qudamah dalam kitab beliau yang cukup fenomenal yaitu Al-Mughni menyebutkan ada beberapa kondisi seorang muslim yang tinggal di negeri kafir.

lim yang tidak bisa menampakkan syiar agamanya di negeri kafir, dan mampu untuk hijrah, maka dalam kondisi seperti ini wajib baginya hijrah. Haram baginya untuk tinggal di negeri kafir. Hal ini di- dasarkan kepada firman Allah:

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafat- kan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat ber- tanya, ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini.’ Mereka menjawab, ‘Adalah kami orang- orang yang tertindas di negeri (Mekkah).’ Para malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Al- lah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu. Bagi mereka adalah Jahannam dan ia adalah seburuk-buruk tempat kemba- li.’” (An Nisa’: 97).

Dalam tafsir Fathul Qadir dijelaskan bah- wa ayat ini berbicara tentang orang- orang yang mengaku muslim tapi tidak mau berhijrah, sehingga mereka dipak- sa oleh orang Quraisy untuk keluar ber- perang melawan pasukan umat Islam saat perang Badar.

Kemudian dalam ayat lain Allah berfir- man :

 



“Dan (terhadap) orang-orang yang ber- iman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban atasmu melindungi mere- ka, sebelum mereka berhijrah.” (Al-An- fal: 72).

Ayat ini menjelaskan bahwa orang mus- lim yang tidak mau berhijrah maka mereka tidak mendapatkan perlindun- gan Nabi n. Rasulullah n bersabda :

       

 

“Saya berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal di tengah-tengah kaum musyrik, supaya api keduanya tidak ber- temu.” (HR. Abu Daud dengan sanad mursal shahih).

2. Kondisi kedua adalah seorang muslim yang tidak mampu menampakkan ag- amanya dan juga dalam keadaan lemah, sehingga tidak bisa berhijrah. Kelompok ini tidak wajib berhijrah karena kelema- han mereka. Ketidakmampuan mereka untuk hijrah bisa disebabkan paksaan dan intimidasi, kelemahan orang tua, anak-anak dan orang-orang yang seper- ti mereka. Orang-orang dengan kondisi ini dibolehkan tetap tinggal di negeri ka-

fir. Hal ini didasarkan pada firman Allah

l:

“Kecuali mereka yang tertindas baik la- ki-laki atau perempuan dan anak-anak yang tidak berdaya dan tidak mengetahui jalan (untuk berhijrah)." (An-Nisa’: 97). 3. Kondisi ketiga adalah seorang mus-

lim mampu menampakkan agamanya di negeri kafir dan juga mampu untuk berhijrah. Hukum hijrah ke negeri Islam bagi kelompok dengan kondisi seperti ini adalah sunnah. Mereka boleh untuk tinggal di negeri kafir. Kondisi inilah yang dialami oleh paman Nabi n Abbas bin Abdul Muthalib saat berada di kota Me- kkah.

Untuk kelompok ketiga, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam Majmu’ Fatawanya, fatwa nomor 288, beliau memberikan dua syarat agar seorang bisa tinggal di negeri kafir.

• Orang yang tinggal di negeri kafir bisa ter- jaga agamanya yaitu dengan mempunyai ilmu, iman dan tekad yang membuatnya bisa bertahan dengan agamanya. Ia juga hendaknya selalu waspada terhadap kes- esatan, memendam permusuhan kepada orang kafir, membenci mereka, dan meng- hindari berwala’ dan cinta kepada orang kafir Karena sesungguhnya berwala kepa- da orang kafir menafikan keimanan.

• Hendaknya orang yang akan tinggal di negeri kafir mampu menampakkan ag- amanya dengan melakukan syiar-syiar ag- ama tanpa adanya yang melarang. Tidak dilarang untuk mengerjakan shalat fardu berjamaah, shalat Jum’at jika memang ada orang yang melakukan Jum’at dan jamaah. Ia juga tidak dilarang untuk membayar zakat, menunaikan puasa dan naik haji. Apabila ia tidak mampu melakukan hal tersebut, ia dilarang tinggal di negeri kafir. Ia wajib hijrah.

Realita Hari Ini

Dapat disimpulkan bahwa hari ini kita akan mendapati negeri Islam yang sesuai dengan denisi yang disebutkan para ulama. Karena tidak ada negeri yang menjadikan syariat Islam sebagai alat untuk mengatur negeri. Bila dihubungkan dengan kondisi kaum muslimin, kita tentu akan menemukan orang-orang yang wajib berhijrah, tetapi ke mana tujuannya? Solusinya, kita bisa melihat kemampuan menampakkan Islam di tempat kita saat ini. Jika kita dihalang-halangi untuk beribadah dan melakukan syiar-syiar Islam, kita harus mencari tempat yang lebih baik untuk melakukan ibadah dan syiar-syiar Islam, walaupun negeri itu tidak berhukum dengan hukum Allah.

Upaya mencari tempat untuk menyelamatkan agama pernah dilakukan oleh orang-orang lemah (mustadh’afin) dari kalangan sahabat, saat gangguan musyrikin Quraisy semakin menjadi-jadi. Istri Nabi n Ummu Salamah

x berkata, “Saat Mekkah menjadi sempit bagi kami (karena gangguan kuffar Quraisy), dan sebagian sahabat nabi diganggu dan mendapat cobaan dan mereka melihat cobaan yang diberikan kepada mereka dan ujian yang menimpa agama mereka sementara Rasulullah tidak bisa mencegah hal tersebut karena saat itu rasulullah dan pamannya sedang diembargo kaumnya, sehingga tidak sampai kepada beliau kabar tentang apa yang diterima ( ujian ) oleh para

Seorang yang muslim

Dalam dokumen Majalah Kiblat Muharram Jadi (Halaman 59-66)

Dokumen terkait