i
HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DAN KONFORMITAS PADA SISWA KELAS VIII DI SMP N 2 BANTUL TAHUN AJARAN 2013/2014
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta
untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh Aniswiti Astuti NIM 10104241007
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
v MOTTO
“Orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia”
(Terjemahan Q.S. Al-Hajj; 22 : 50)
“Allah akan melipatgandakan bagi mereka yang bersedekah dan mereka akan mendapatkan pahala yang mulia”
(Terjemahan Q.S. Al-Hadid; 57 : 18)
“Hidup adalah PERJUANGAN, berjuang untuk mendapatkan KEIMANAN, ILMU, dan AMALAN SHOLEH”
(Penulis)
“ Hiduplah seakan engkau akan mati besok. Belajarlah seakan engkau akan hidup selamanya”
(Mahatma Gandhi)
“ Pekerjaan besar tidak dihasilkan dari kekuatan, melainkan oleh ketekunan”
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN
Dengan mengucap syukur kehadirat ALLAH SWT atas berkat Rahmat, hidayah, dan Kemudahan yang telah diberikan. Karya ini ku persembahkan untuk :
1. Papa. Eddy (alm) & Ibu. Purwati yang tiada habisnya mendo’akanku & mendukungku, serta mengasihiku tanpa merasa lelah, nasehat, senyum, dan kebahagiaanmu adalah semangatku, engkau orang tua terhebatku yang aku miliki. Untuk Ibu, semoga perjuanganmu selama ini dapat menjadikanku anak yang berbakti dan lebih baik. Untuk Papa di surga, Anis percaya bahwa do’a papa selalu menyertaiku.
2. Kakak dan adikku tersayang, mas Adnan dan Ike yang selalu menantiku di rumah tercinta, terimakasih telah mendo’akan dan mendukungku, serta memberi semangat yang tak henti-hentinya.
3. Bpk. Suroto & Ibu. Bibit yang selalu mendukung & mendo’akanku, terimakasih telah memberikan kasih sayang yang besar & tulus kepadaku. 4. Mas Muhtar yang selama ini selalu ada untukku walau jauh. Terimakasih
telah banyak membantu, menasehati, mengkhawatirkanku, dan menunggu. 5. Kakak & adik-adikku, kang Prayit, Sugeng, Jirin, dan Jambari yang ikut
serta memberi warna dalam langkahku dan selalu mendo’akanku, terimakasih telah menjadi kakak & adik-adik yang baik untukku.
vii
HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DAN KONFORMITAS PADA SISWA KELAS VIII DI SMP N 2
BANTUL TAHUN AJARAN 2013/2014
Oleh Aniswiti Astuti NIM 10104241007
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsep diri dengan konformitas pada siswa kelas VIII di SMP N 2 Bantul Tahun Ajaran 2013/2014.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan jenis korelasional. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII di SMP N 2 Bantul, Bantul, DIY, sejumlah 93 siswa. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan teknik random sampling. Alat pengumpulan data menggunakan skala Konsep Diri dan skala Konformitas. Uji validitas instrument menggunakan expert judgement dan rumus product-moment dari Pearson, sedangkan reliabilitas menggunakan Alpha Cronbach
dengan nilai koefisien 0,881 pada konsep diri dan 0,914 pada Konformitas. Analisis data untuk menguji hipotesis dengan menggunakan teknik korelasi product moment dari Pearson’s.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara konsep diri dengan konformitas pada siswa kelas VIII di SMP N 2 Bantul. Hal ini ditunjukkan koefisien korelasi (r) sebesar -0,255 dan p = 0. 014 (p < 0.05), artinya semakin tinggi konsep diri seorang siswa, maka semakin rendah konformitasnya. Sebaliknya jika rendah konsep diri seorang siswa, maka semakin tinggi konformitasnya.
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmannirrahim.
Alhamdulillah, tiada kata yang pantas terucap kecuali Puji Syukur
kehadirat ALLAH SWT, atas segala nikmat dan karunia yang telah diberikan.
Sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang telah menunjukkan jalan kebenaran dan menuntun manusia
menuju agama Allah SWT yang mulia.
Selanjutnya, dengan kerendahan hati penulis ingin menghaturkan
penghargaan dan rasa terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu penyelesaian skripsi yang berjudul “Hubungan antara konsep diri
dengan konformitas pada remaja kelas VIII di SMP N 2 Bantul tahun ajaran
2013/2014”. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan partisipasi berbagai
pihak, skripsi ini tidak akan terwujud dengan baik. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan
kepada saya untuk kuliah dan menyelesaikan tugas akhir skripsi.
2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang
telah mendukung secara akademik maupun administrasi.
3. Bapak Fathur Rahman, M. Si. selaku Ketua Jurusan Psikologi Pendidikan
ix
4. Ibu Eva Imania Eliasa, M. Pd. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
membimbing penulis dengan penuh perhatian dan kesabaran.
5. Bapak/Ibu dosen prodi BK, terimakasih telah memberikan banyak ilmu
kepada penulis.
6. Kepada para siswa kelas VIII di SMP N 2 Bantul yang telah membantu
untuk mengisi angket.
7. Kepada ayahku yang ada di surga dan ibuku yang berjuang sendiri untuk
anak-anaknya, terimakasih atas do’a serta dukungan moril maupun materil
yang telah diberikan.
8. Kepada kakak dan adik, serta seluruh keluarga besarku, yang tiada henti
memberikan dukungan, dorogan serta semangat.
9. Mas Muhtar yang tidak pernah lelah memberikan semangat, masukan, nasehat dan perhatian kepada penulis. Makasih.
10.Sahabat seperjuangan, mb Epi ingat selalu canda dan tanggis yang kita
alami di yogyakarta ini, serta neng Vuti yang manja, terimakasih kalian
telah membantu, memberi semangat dan memberi kenangan indah selama
ini.
11.Sahabat-sahabatku tercinta, yang selalu memberikan semangat kepada
penulis, Rini, Tutut, Aceh, Nelon, Domi, Prilly, Lia, Tuty, dan Wahyu.Rr,
dan kelompok praktikum A1, Emita, Umi, Laila, Akbar, Khoerul, dan
Santo. Ingat selalu canda dan tawa yang telah kita lalui bersama selama
kuliah di UNY tercinta. Kalian menjadi sahabat terbaik selama ini, selalu
xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 8
C. Batasan Masalah ... 9
2. Pembentukan Konsep Diri ... 14
3. Jenis-jenis Konsep Diri ... 15
xii
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri ... 24
6. Komponen Konsep Diri ... 26
7. Peranan Konsep Diri ... 27
B. Konformitas ... 29
1. Pengertian Konformitas ... 29
2. Tipe-tipe Konformitas ... 31
3. Aspek-aspek Konformitas ... 32
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konformitas ... 36
5. Dasar-dasar Konformitas ... 40
C. Remaja ... 41
1. Pengertian Remaja ... 41
2. Tugas Perkembangan Remaja ... 42
3. Karakteristik Remaja ... 44
D. Hubungan antara Konsep Diri dan Konformitas pada Remaja ... 47
E. Hipotesis ... 50
BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 51
B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 51
C. Variabel Penelitian ... 52
D. Populasi dan Sampel Penelitian ... 52
a. Populasi ... 52
b. Sampel ... 53
E. Definisi Operasional ... 53
F. Metode Pengumpulan Data ... 54
G. Instrumen Penelitian ... 55
1. Skala Konsep Diri ... 55
2. Skala Konformitas ... 58
xiii
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 67
1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 67
2. Deskripsi Waktu Penelitian ... 68
3. Deskripsi Data Hasil Penelitian ... 68
a. Diskripsi Sampel Penelitian ... 68
b. Hasil Penelitian ... 69
1) Kosep Diri ... 69
2) Konformitas ... 72
B. Pengujian Persyaratan Analisis ... 75
1. Uji Normalitas ... 75
2. Uji Homogenitas ... 76
3. Uji Linearitas ... 77
C. Pengujian Hipotesis ... 78
D. Pembahasan ... 79
E. Keterbatasan Penelitian ... 85
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 87
xiv
DAFTAR PUSTAKA ... 90
xv
DAFTAR TABEL
hal
Tabel 1. Keadaan Populasi Subyek Penelitian ... 52
Tabel 2. Kisi-kisi Instrumen Skala Konsep Diri ... 56
Tabel 3. Pola Opsi Alternatif Respon Model Skala Konsep Diri ... 57
Tabel 4. Kisi-kisi Instrumen Skala Konformitas ... 58
Table 5. Pola Opsi Alternatif Respon Model Skala Konformitas ... 59
Tabel 6. Item Valid dan Gugur ... 62
Tabel 7. Interprestasi Koefisien Korelasi ... 64
Tabel 8. Uji Reliabilitas Instrumen ... 64
Tabel 9. Deskripsi Sampel Penelitian ... 68
Tabel 10. Deskripsi Penilaian Data Konsep Diri ... 70
Tabel 11. Distribusi Frekuensi Kategorisasi Konsep Diri ... 71
Tabel 12. Deskripsi Penilaian Data Konformitas ... 72
Tabel 13. Distribusi Frekuensi Kategorisasi Konformitas ... 73
Tabel 14. Hasil Uji Normalitas Skala Konsep Diri dan Konformitas ... 76
Tabel 15. Hasil Uji Homogenitas Skala Konsep Diri dan Konformitas ... 77
Tabel 16. Hasil Uji Linearitas Skala Konsep Diri dan Konformitas ... 77
xvi
DAFTAR GAMBAR
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
hal
Lampiran 1. Skala Konep Diri dan Skala Konformitas ………... 93
Lampiran 2. Lembar Penilaian Expert Judgement Skala Konsep Diri dan Skala Konformitas……… 99
Lampiran 3. Hasil Uji Coba Skala Konsep Diri ... 110
Lampiran 4. Hasil Uji Coba Skala Konformitas ... 115
Lampiran 5. Rekap Data Penelitian ... 120
Lampiran 6. Kategorisasi ... 126
Lampiran 7. Hasil Uji Prasyarat ... 133
Lampiran 8. Hasil Uji Hipotesis ... 138
1
ini ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari
segi fisik, psikis dan sosialnya. Pada masa ini pula timbul banyak
perubahan yang terjadi, baik secara fisik maupun psikologis, seiring
dengan tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh remaja.
Menurut Havighurst (dalam Rita Eka Izzaty, dkk, 2008: 126), salah
satu tugas perkembangan remaja yaitu mencapai hubungan baru yang
lebih matang dengan teman sebaya serta mencapai peran sosial baik
sebagai pria maupun wanita. Remaja di sini diharapkan mampu mencapai
peran sosial karena remaja harus mampu menempatkan diri dalam
lingkungan sosial.
Remaja dalam menjalin hubungan sosial dengan orang di luar
lingkungan keluarga, tentu perlu adanya penyesuaiaan diri terhadap
pengaruh kelompok. Kuatnya pengaruh kelompok terjadi karena remaja
lebih banyak berada di luar rumah bersama teman sebaya, sehingga
penting bagi remaja untuk memiliki konsep diri yang baik dalam menjaga
dirinya sendiri dari pengaruh sosial yang negatif.
Menurut Hurlock (1999: 238), konsep diri (self-concept) merupakan inti dari pola kepribadian. Banyak kondisi dalam kehidupan remaja yang
2
seperti perubahan fisik dan psikologis pada masa remaja. Konsep diri di
sini merupakan penilaian dan perasaan individu mengenai dirinya sendiri
yang timbul dari suatu interaksi sosial sebagai konsep diri.
Konsep diri perlu dibangun secara baik untuk bisa menyesuaikan diri
dengan ciri-ciri kelompok karena setiap kelompok mempunyai
norma-norma tertentu yang mengikat dan berpengaruh terhadap pembentukan
konsep diri individu (Jalaluddin Rakhmat, 2005: 104). Konsep diri di sini
merupakan sesuatu yang sangat penting dalam menentukan sikap
ditengah-tengah kelompok teman sebaya bagi remaja. Konsep diri akan
mempengaruhi cara individu dalam bertingkah laku. Banyak dari remaja
saat ini yang mengikuti tuntutan kelompok tanpa melihat apa yang
dilakukan tersebut positif atau negatif.
Hubungan dengan teman sebaya yang ditunjukan dengan interaksi
yang terus terjalin, membuat remaja mempersepsikan diri berdasarkan
cerminan dari penilaian teman sebaya. Penilaian orang lain menurut
persepsi individu yang bersangkutan dan penilaian diri yang dilakukan
oleh dirinya sendiri mempengaruhi konsep diri remaja.
Jika konsep diri positif, remaja akan mengembangkan sifat-sifat
seperti kepercayaan diri, harga diri dan kemampuan melihat diri secara
realistis, sehingga akan menumbuhkan penyesuaian yang baik. Sebaliknya
apabila konsep diri negatif, dapat membentuk kepribadian remaja yang
tidak sehat seperti rendah diri, tidak percaya diri, pemalu dan sebagainya.
3
bahwa, penyesuaian remaja terhadap norma dan berperilaku sama dengan
kelompok teman sebaya disebut konformitas.
Konformitas adalah suatu bentuk tekanan kelompok yang nyata atau
yang dibayangkan individu dalam mengubah sikap dan tingkah laku
menuju norma kelompok (Jalaluddin Rakhmat, 2005: 150). Individu yang
melakukan konformitas akibat dari tekanan kelompok akan sangat mudah
dalam mengubah sikap dan tingkah lakunya. Konformitas merupakan
salah satu bentuk perilaku yang menyamakan diri dengan orang lain
sebagai keinginan sendiri. Adanya konformitas dapat dilihat dari
perubahan perilaku atau keyakinan karena adanya tekanan dari kelompok.
Remaja yang melakukan konformitas cukup kuat tidak jarang akan
membuat individu melakukan sesuatu yang merusak atau melanggar
norma sosial. Remaja yang ingin diterima dalam kelompoknya akan
melakukan perubahan dalam sikap dan prilaku sesuai dengan prilaku
kelompok.Tekanan yang terjadi didalam kelompok baik langsung maupun
tidak langsung akan menyebabkan perubahan prilaku remaja. Perubahan
ini terjadi sebagai usaha remaja untuk menyesuaikan diri dengan norma
kelompok. Remaja yang tidak menyesuaikan diri dengan norma kelompok
akan menyebabkan kesenjangan antar anggota kelompok. Kuatnya
pengaruh norma kelompok pada perilaku remaja memicu munculnya
perilaku-perilaku yang tidak sesuai dengan norma masyarakat.
Konsep konformitas seringkali digeneralisasikan untuk masa remaja.
4
pemantapan diri sedang berlangsung sehingga remaja akan lebih rentan
terhadap pengaruh perubahan dan tekanan yang ada di sekitarnya. Dasar
utama dari konformitas yaitu ketika individu melakukan aktivitas dimana
terdapat dorongan yang kuat untuk melakukan sesuatu yang sama dengan
kelompoknya, walaupun tindakan tersebut merupakan cara-cara yang
menyimpang.
Remaja yang mempunyai tingkat konformitas tinggi akan lebih
banyak tergantung pada aturan dan norma yang berlaku dalam
kelompoknya, sehingga remaja cenderung mengatribusikan setiap
aktivitasnya sebagai usaha kelompok, bukan usahanya sendiri (Monks,
Knoers, dan Siti Rahayu Hadito 2004: 283). Hal seperti ini, dapat
dikatakan bahwa kelompok teman sebaya cukup tinggi pengaruhnya
terhadap remaja, karena remaja berusaha melakukan berbagai hal agar
diterima dan diakui keberadaannya dalam kelompok. Apabila kelompok
tersebut dirasa menguntungkan maka remaja akan berbuat sesuai dengan
tuntutan kelompoknya, maka kecenderungan melakukan konformitas
semakin banyak. Kondisi emosional yang labil pada remaja juga turut
mendorong individu untuk lebih mudah melakukan konformitas.
Menurut Syamsu Yusuf (2011: 198) perkembangan sikap
konformitas pada remaja dapat memberikan dampak yang positif maupun
yang negatif bagi diri remaja. Apabila kelompok teman sebaya yang
diikuti itu menampilkan sikap dan perilaku yang secara moral atau agama
5
beribadah, memiliki budi pekerti yang luhur, rajin belajar, dan aktif dalam
kegitan-kegitan sosial, maka kemungkinan besar remaja tersebut akan
menampilkan pribadinya yang baik. Sebaliknya, apabila kelompok teman
sebaya menampilkan sikap dan perilaku yang melecehkan nilai-nilai
moral, maka sangat dimungkinkan remaja akan menampilkan perilaku
seperti kelomponya tersebut. Contohnya apabila anggota kelompok
mencoba minum alkohol, obat-obat terlarang atau merokok, dan perilaku
yang menyimpang moral lainya, maka remaja cenderung mengikutinya
tanpa memperdulikan akibatnya bagi diri mereka sendiri.
Begitu pula dengan hasil penelitian R. Kintoko Rochadi (2004)
menunjukkan bahwa mayoritas responden mulai merokok pada usia 12-14
tahun dan mengenal rokok dari temannya dimana mayoritas
teman-teman sebayanya adalah perokok. Didukung pula berdasarkan hasil
penelitian Levianti (2008: 1) menyatakan bahwa anak yang pernah
menjadi korban atau menyaksikan bullying cenderung akan menjadi pelaku bullying, atau menganggap bullying menjadi hal yang wajar terjadi, prilaku tersebut karena remaja ingin menyesuaikan dan berperilaku serupa
mengikuti teman-teman sebayanya.
Prilaku konformitas sangat marak dilakukan oleh remaja, bahkan
masih banyak tindakan konformitas yang dilakukan oleh remaja. Hal
tersebut tidak mengherankan, karena remaja akan melakukan apapun
sesuai penilaian dan persetujuan dari kelompok teman sebaya agar remaja
6
Konsep diri dan konformitas dalam ranah BK berkaitan pada BK
pribadi dan sosial. Konsep diri lebih berkaitan dengan BK pribadi yang
memiliki pemahaman dan penerimaan diri secara objektif, baik yang
terkait dengan kelebihan maupun kelemahan, baik fisik maupun psikis.
Konformitas lebih berkaitan dengan BK sosial yang memiliki kemampuan
interaksi sosial, diwujudkan dalam bentuk hubungan persahabatan,
persaudaraan, atau silaturahim dengan sesama manusia. Konformitas
termasuk dalam ranah BK sosial karena konformitas di sini merupakan
perubahan pola pikir atau perilaku karena mengikuti teman sebaya atau
tuntutan kelompok.
Berdasarkan observasi yang dilakukan selama PPL di SMP N 2
Bantul, diketahui bahwa konsep diri yang terdapat pada siswa kelas VIII
yaitu selalu aktif, baik dalam kelas maupun organisasi, berani untuk
mengungkapkan pendapat, mampu menyelesaikan permasalahan antar
teman, serta mampu mengetahui kekurangan dan kelebihan diri. Siswa
yang seperti ini cenderung bisa mengetahui perasaan dan pandangan
tentang dirinya sendiri. Akan tetapi ada pula siswa yang cenderung
pendiam, pemalu, kurang bisa menjalin persahabatan dengan temanya,
serta tidak mengetahui kekurangan dan kelebihan diri. Siswa yang seperti
ini cenderung tidak bisa memandang dirinya sendiri.
Sikap konformitas ditunjukkan juga oleh siswa kelas VIII ditandai
dengan adanya perubahan sikap dan prilaku yang menyamakan diri
7
menyukai hal yang berhubungan dengan Korea maka individu juga akan
menyamakan diri dengan kelompok, ketika kelompok memiliki gadget,
laptop, ipad, hp android, maka individu akan berusaha untuk dapat
memilikinya karena alasan ingin seperti teman-temanya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan guru BK menunjukkan bahwa,
banyaknya siswa kelas VIII yang malas, kurang aktif jika dikelas, dan
cenderung cuek biasanya akan cenderung berperilaku sesuai dengan
kelompoknya, contohnya ketika siswa datang keperpustakaan yang
seharusnya untuk belajar, siswa justru berperilaku sesuai kelompok yaitu
asyik bermain game online. Disisi lain, ada pula siswa yang tidak mudah untuk terpengaruh temannya seperti siswa yang aktif dalam kelas maupun
organisasi dan bisa menghargai pendapat orang lain.
Konsep diri yang dimiliki remaja sebagai acuan untuk menentukan
perilaku di lingkungan sosialnya. Perilaku yang dilakukan remaja salah
satunya adalah konformitas, yang ditunjukkan dengan selalu mengikuti
aturan kelompok dan menganggap semua cara-cara kelompok itu benar.
Sama halnya dengan konformitas yang dilakukan siswa kelas VIII di SMP
N 2 Bantul yang terwujud dari konsep dirinya sendiri. Siswa yang
cenderung memandang dirinya sebagai penilaian dari kelompok bukan
dari padangan dirinya sendiri. Didukung dengan penelitian Irnanda
Ibrahim (2006) yang meneliti tentang hubungan konsep diri dengan
konformitas pada remaja di SMKN II Ciamis, dengan hasil nilai koefisen
8
antara konsep diri dengan konformitas, yang berarti jika konsep dirinya
tinggi maka konformitasnya rendah, sebaliknya jika konsep dirinya rendah
amak konformitasnya tinggi.
Pertimbangan berdasarkan pemikiran dan berbagai masalah yang
telah diungkapkan di awal, maka penelitian ini dimaksudkan untuk
mengetahui lebih jauh hubungan antara konsep diri dan konformitas pada
siswa kelas VIII di SMP N 2 Bantul.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas masalah-masalah yang
dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut :
1. Maraknya pengaruh negatif kolompok teman sebaya yang dilakukan
oleh remaja.
2. Kurangnya pandangan dan perasaan tentang diri sendiri pada remaja
dalam menentukan sikap terhadap pengaruh sosial.
3. Remaja saat ini rela melakukan hal yang menyimpang demi pengakuan
dalam suatu kelompok.
4. Terdapat siswa kelas VIII di SMP N 2 Bantul yang memiliki
kecenderungan tidak mengetahui konsep dirinya.
5. Banyak ditemui perilaku konformitas pada siswa-siswi kelas VIII di
SMP N 2 Bantul.
6. Belum diketahui hubungan konsep diri dan konformitas pada siswa
9
C. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perlu adanya
pembatasan masalah pada hubungan antara konsep diri dan konformitas
pada siswa kelas VIII.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan penelitian, maka penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut: “Apakah ada hubungan antara konsep diri dan
konformitas pada siswa kelas VIII di SMP N 2 Bantul?”
E. Tujuan Penelitian
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah “Mengetahui hubungan
antara konsep diri dan konformitas pada siswa kelas VIII di SMP N 2
Bantul”.
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapakan dapat memberi manfaat yaitu:
1. Secara Teroritis
Hasil dari penelitian ini diharapakan dapat memberikan
kontribusi ilmu pengetahuan, informasi, dan pemikiran, khususnya
10
tentang variabel-variabel yang signifikan dalam menjelaskan
konsep diri dan konformitas.
2. Secara praktis
a. Bagi siswa
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kesadaran kepada siswa laki-laki maupun siswa perempuan
akan pentingnya konsep diri dalam menjalin hubungan
dengan kelompok teman sebaya.
b. Bagi guru
Hasil dari penelitian ini diharapkan guru bisa
memberikan bimbingan dan pendidikan tentang pentingnya
konsep diri kepada anak didik dalam berperilaku atau
meniru kelompok sebaya.
c. Bagi Peneliti Selanjutnya
Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat
serta digunakan sebagai dasar atau tolak ukur bagi
penelitian-penelitian selanjutnya guna memperbaiki dan
11
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Diri
1. Pengertian Konsep Diri
Konsep diri merupakan gambaran mental diri sendiri yang terdiri
dari pengetahuan tentang diri sendiri, pengharapan diri dan penilaian
terhadap diri sendiri (Calhoun & Acocella, 1995: 90). Konsep diri di
sini diartikan sebagai gambaran keseluruhan diri individu mengenai
dirinya sendiri. Menurut Hurlock (1999: 58), konsep diri menyangkut
gambaran fisik dan psikologis. Aspek fisik berkaitan dengan tampang
atau penampakan lahiriah (appearance) anak, yang menyangkut kemenarikan dan ketidakmenarikan diri yang ada pada dirinya,
sedangkan konsep diri yang bersifat psikologis berdasarkan pikiran,
perasaan, dan emosional. Hal ini berhubungan dengan kualitas dan
abilitas yang memainkan perananan penting dalam penyesuaian dalam
kehidupan, seperti keberanian, kejujuran, kemandirian, kepercayaan
diri, aspirasi dan kemampuan diri dari tipe-tipe yang berbeda.
Konsep diri adalah keyakinan yang dimiliki individu tentang
atribut (ciri-ciri sifat) yang dimilikinya menurut Brehm & Kassin
(dalam Tri Dayakisni Hudaniah, 2006: 78). Konsep diri didefinisikan
sebagai totalitas dari pemikiran individu dan perasaan memiliki
referensi untuk dirinya sendiri sebagai obyek.
Senada dengan pendapat di atas, Papalia, Olds, dan Feldman
12
ourselves”. Maksud dari pendapat tersebut adalah hal yang kita percaya tentang diri kita sendiri, atau yang dikatakan sebagai gambaran
dari kemampuan dan sifat, dan hal ini juga merupakan a cognitive construction, yang merupakan sebuah sistem representasi deskriptif dan evaluatif tentang diri. Jadi, konsep diri adalah rasa terhadap diri,
dimana merupakan gambaran deksriptif dan evaluatif mental terhadap
kemampuan dan sifat-sifat seseorang.
Stuert dan Sundeen (dalam Budi Anna Keliat, 1992: 2),
mendefinisikan konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan,
dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan
mempengaruhi individu dalam hubungan dengan orang lain. Jadi
konsep diri merupakan pandangan dan perasaan kita tentang diri kita,
yang mencangkup sesuatu yang bersifat fisik, psikologis, dan sosial
sebagai pengalaman dan interaksinya dengan orang lain.
Pengertian konsep diri menurut Jalaluddin Rakhmat (2005: 99),
konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita, presepsi ini bisa
bersifat psikologis, sosial, dan psikis. Konsep diri bukan hanya
gambaran deskriptif, tetapi juga penilaian kita. Sehingga konsep diri
dalam istilah umum mengarah pada presepsi seseorang mengenai
dirinya sendiri. Presepsi ini terbentuk melalui kesimpulan-kesimpulan
yang diambil berdasarkan pengalaman dan presepsi yang terutama
13
Clara R. Pudjijogyanti (1995: 2), berpendapat bahwa konsep diri
merupakan salah satu faktor yang menentukan apakah seseorang akan
berperilaku negatif atau positif. Perilaku negatif merupakan cerminan
adanya ketidakmampuan individu dalam memandang kualitas
kemampuan yang ia miliki dan hal itu merupakan perwujudan dari
kegagalan seseorang dalam pencapaian harga dirinya. Apabila seorang
individu gagal dalam pencapaian harga diri, maka ia akan merasa
kecewa terhadap keadaan dirinya dan lingkunganya. Individu akan
menganggap bahwa dirinya tidak mempunyai kemampuan apa-apa dan
memandang dirinya dengan sikap negatif, sebaliknya individu berhasil
dalam mencapai harga dirinya, maka individu akan menganggap
dirinya mampu dan merasa puas dengan dirinya maupun terhadap
lingkunganya. Hal ini akan membuat individu bersikap positif terhadap
dirinya.
Dapat diambil kesimpulan bahwa konsep diri merupakan gambaran
yang ada pada diri individu yang berisikan tentang bagaimana individu
melihat dirinya sendiri sebagai pribadi yang disebut dengan
pengetahuan diri, bagaimana individu merasa atas dirinya yang
merupakan penilaian diri sendiri serta bagaimana individu
14
2. Pembentukan Konsep Diri
Harry Stack Sullivan (dalam Jalaluddin Rakhmat, 2005: 101),
menjelaskan bahwa pembentukan konsep diri terjadi jika individu
diterima orang lain, dihormati, dan disenangi karena keadaan diri kita.
Sebaliknya, bila orang lain selalu meremehkan kita, menyalahkan kita,
dan menolak kita, kita akan cenderung tidak akan menyenangi diri kita.
Baldwin dan Holmes (dalam Calhoun & Acocella, 1995: 77),
menyatakan bahwa konsep diri adalah ciptaan sosial, hasil belajar
melalui hubungan dengan orang lain. Pendapat tersebut didukung oleh
Hendriyanti Agustiani (2006: 2008), yang menyatakan bahwa konsep
diri juga merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya,
yang dibentuk melalui pengalam-pengalaman yang diperoleh dari
interaksi dengan lingkungan.
Konsep diri remaja tidak hanya terbentuk dari lingkungan
keluarganya saja, akan tetapi seorang remaja akan mengembangkan
konsep dirinya melalui pergaulan yang lebih luas dengan teman dan
orang lain dalam lingkungan yang lebih luas, sehingga individu akan
mengalami peoses belajar dalam memahami dan mengembangkan
konsep dirinya. Seperti yang dijelaskan oleh Calhoun & Acocella
(1995: 79), bahwa konsep diri merupakan hasil belajar yang
berlangsung setiap hari dan hal ini biasanya tanpa kita sadari.
Pergaulan yang lebih luas dengan orang lain dan kebiasaan anak yang
15
menimbulkan berbagai pandangan yang lebih luas dalam memahami
diri sendiri dan orang lain yang pada akhirnya akan berpengaruh dalam
pembentukan konsep diri sekunder pada individu.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
perkembangan konsep diri merupakan suatu proses yang terus
berlanjut di sepanjang kehidupan manusia. Perkembangan konsep diri
seseorang dipengaruhi oleh banyak hal, salah satunya yaitu melalui
proses belajar. Proses belajar berkembang melalui interaksi individu
dengan lingkungan sekitarnya dalam bentuk umpan balik yang
diterima dari orang-orang yang berarti bagi individu. Dapat diketahui
pula bahwa faktor yang mempengaruhi pembentukan dan
perkembangan dari konsep diri adalah orang lain seperti orang tua,
teman sebaya, dan masyarakat.
3. Jenis-Jenis Konsep Diri
Menurut William D. Brooks (dalam Jalaluddin Rakhmat, 2005:
105), menyatakan bahwa dalam menilai dirinya seseorang ada yang
menilai positif dan ada yang menilai negatif. Maksudnya individu
tersebut ada yang mempunyai konsep diri yang positif dan ada yang
mempunyai konsep diri yang negatif. Tanda-tanda individu yang
memiliki konsep diri yang positif adalah:
16
Individu mempunyai rasa percaya diri sehingga individu
mampu dan yakin untuk mengatasi masalah yang dihadapi,
tidak menghindari atau lari dari masalah, dan percaya bahwa
setiap masalah ada jalan keluarnya.
b. Individu merasa setara dengan orang lain.
Individu selalu rendah diri, tidak sombong, mencela atau
meremehkan siapapun, selalu menghargai orang lain.
c. Individu menerima pujian tanpa rasa malu.
Individu menerima pujian tanpa menghilangkan rasa rendah
diri, jadi meskipun individu menerima pujian, maka dirinya
tidak merasa bangga apalagi meremehkan orang lain.
d. Individu menyadari bahwa setiap orang memiliki berbagai
perasaan dan keinginan serta perilaku yang tidak seharusnya
disetujui oleh masyarakat.
Individu seperti ini akan lebih bisa menghargai perasaan orang
lain meskipun kadang tidak disetujui oleh masyarakat.
e. Individu mampu memperbaiki kesalahan.
Indivisu memiliki kemampuan untuk mengintrospeksi dirinya
sendiri sebelum mengintrospeksi orang lain, dan mampu
mengubahnya menjadi lebih baik agar diterima
dilingkunganya.
Sedangkan tanda-tanda individu yang memiliki konsep diri negatif
17 a. Peka terhadap kritik.
Individu yang seperti ini tidak tahan kritik yang diterimanya
dan mudah marah, hal ini dapat dilihat dari faktor yang
mempengaruhi diri individu tersebut bahwa individu belum
dapat mengendalikan emosinya, sehingga kritikan sebagai hal
yang salah. Bagi individu yang seperti ini koreksi sering
dipresepsi sebagai usaha untuk menjatuhkan harga dirinya dan
dalam berkomunikasi individu cenderung menghindari dialog
yang terbuka, serta bersikeras mempertahankan pendapatnya
dengan berbagai logika yang keliru.
b. Responsif terhadap pujian.
Individu pada hal ini sangat menjunjung tinggi harga dirinya
dan senang terhadap pujian, merekapun hiperkritis terhadap
orang lain.
c. Hiperkritis terhadap orang lain.
Individu dengan ciri ini selalu mengeluh, mencela atau
meremehkan apapun dan siapapun. Mereka tidak pandai dan
tidak sanggup mengungkapkan penghargaan atau pengakuan
pada kelebihan orang lain.
d. Merasa tidak disenangi oleh orang lain.
Individu seperti ini merasa tidak diperhatikan karena itulah
individu bereaksi pada orang lain sebagai musuh, sehingga
18 e. Pesimis terhadap kompetisi.
Hal ini terungkap dalam keenggananya untuk bersaing dengan
orang lain dalam membuat prestasi. Individu akan menganggap
tidak akan berdaya melawan persaingan yang merugikan
dirinya.
Menurut Calhoun & Acoccela (1995: 95), dalam perkembangannya
konsep diri terbagi dua, yaitu konsep diri positif dan konsep diri
negatif.
a. Konsep diri positif
Konsep diri positif lebih kepada penerimaan diri bukan
sebagai suatu kebanggan yang besar tentang diri. Konsep diri
positif bersifat stabil dan bervariasi. Individu yang memiliki
konsep diri positif adalah individu yang tahu betul tentang
dirinya, dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang
bermacam-macam tentang dirinya sendiri, evaluasi terhadap
dirinya sendiri menjadi positif dan dapat menerima keberadaan
orang lain. Individu yang memiliki konsep diri yang positif
akan merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas,
yaitu tujuan yang mempunyai kemungkinan besar untuk dapat
dicapai, mampu menghadapi kehidupan didepannya serta
menganggap bahwa hidup adalah suatu proses penemuan.
Singkatnya, individu yang memiliki konsep diri positif adalah
19
menerima segala kelebihan dan kekurangan, evaluasi terhadap
dirinya menjadi lebih positif serta mampu merancang
tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas.
b. Konsep diri negatif
Menurut Erikson (dalam Calhoun & Acoccela, 1995: 72), membagi
konsep diri negatif menjadi dua tipe, yaitu:
1) Pandangan individu tentang dirinya sendiri benar-benar tidak
teratur, tidak memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri.
Individu tersebut benar- benar tidak tahu siapa dirinya, kekuatan
dan kelemahannya atau yang dihargai dalam kehidupannya.
2) Pandangan tentang dirinya sendiri terlalu stabil dan teratur. Hal ini
bisa terjadi karena individu dididik dengan cara yang sangat keras,
sehingga menciptakan citra diri yang tidak mengizinkan adanya
penyimpangan dari seperangkat hukum yang dalam pikirannya
merupakan cara hidup yang tepat.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa konsep
diri ada dua jenis yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif.
Seseorang yang memiliki konsep diri yang positif yaitu individu yang
mampu menerima dirinya sendiri, pengendalian diri terhadap emosi,
menerima kritik dan pujian dari orang lain, dan mampu mengevaluasi
atau introspkeksi dirinya sendiri. Sedangkan seseorang yang memiliki
konsep diri negatif adalah individu yang tidak dapat memahami
20
karena tidak mengetahui sesuatu yang berharga di dalam dirinya,
sehingga seseorang yang memiliki konsep diri negatif tidak akan
mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan pada akhirnya
akan menimbulkan harapan-harapan yang tidak realistis.
4. Aspek-Aspek Konsep Diri
Calhoun & Acoccela (1995: 67), menjelaskan bahwa konsep diri
memiliki tiga aspek yaitu:
a. Pengetahuan, yaitu apa yang kita ketahui tentang diri kita,
gambaran tentang diri kita, usia kita, jenis kelamin, suku,
pekerjaan, kebangsaan dan dibandingkan dengan kelompok
sosial contohnya baik hati atau egois, tenang atau temperamen
tinggi, tergantung atau mandiri.
b. Pengharapan yaitu suatu pandangan tentang kemungkinan kita
menjadi apa dimasa yang akan datang. Pengharapan ini
merupakan pandangan tentang diri ideal.
c. Penilaian yaitu mengukur dan membandingkan apakah kita
bertentangan dengan “saya dapat menjadi apa” dan
“seharusnya saya menjadi apa” pengukuran ini berarti untuk
mengetahui seberapa besar kita menyukai diri sendiri.
Melengkapi data di atas Fitts (dalam Hendriyanti Agustiani, 2006:
21
a. Aspek internal atau yang disebut juga sebagai kerangka acuan
internal (internal frame of reference) yaitu penilaian yang dilakukan individu terhadap dirinya sendiri berdasarkan dunia
di dalam dirinya. Aspek ini dibagi menjadi tiga bentuk yaitu:
1) Diri identitas (identity self)
Bagian diri identitas merupakan bagian mendasar dari
konsep diri. Dalam bagian ini individu
menggambarkian dirinya dan membangun identitasnya.
Gambaran diri ini dapat berupa gambaran fisik dan
psikologis.
2) Diri perilaku (behavioral self)
Diri perilaku merupakan persepsi individu tentang
tingkah lakunya. Diri perilaku berkaitan erat dengan
identitas. Diri yang baik akan menunjukkan adanya
keserasian antara diri identitas dan diri perilaku,
sehingga individu dapat mengenali dan menerima, baik
diri sebagai identitas dan diri sebagai perilaku.
3) Diri penerimaan/penilai (judging self)
Diri penilai berfungsi sebagai pengamat, penentu
standar dan evaluator. Kedudukanya adalah sebagai
perantara (mediator) antara diri identitas dan diri
perilaku. Manusia cenderung memberi penilaian
22
label-label yang dikenakan pada diri individu bukan
semata-mata menggambarkan dirinya, tetapi sarat
dengan nilai-nilai. Selanjutnya, penilaian ini lebih
berperan dalam menentukan tindakan yang akan
ditampilkan. Diri penilai menentukan kepuasan
seseorang akan dirinya atau seberapa jauh seseorang
menerima dirinya.
b. Aspek eksternal adalah aspek dimana individu menilai dirinya
melalui hubungan dan aktivitas sosialnya, niali-nilai yang
dianutnya, serta hal-hal lain yang di luar dirinya. Aspek ini
dibedakan menjadi lima bentuk, yaitu:
a. Diri fisik (psysical self)
Diri fisik mencangkup presepsi seseorang terhadap
keadaan dirinya secara fisik, misalnya kesehatan diri,
penampilan diri, keadaan tubuh.
b. Diri etik moral (moral-ethical self)
Diri etik moral merupakan presepsi seseorang terhadap
dirinya berdasarkan berdasarkan nilai moral etika. Hal
ini berupa presepsi seseorang mengenai hubunganya
dengan Tuhan, kepuasan seseorang dalam kehidupan
keagamaanya dan ilai-nilai moral yang dipegangnya,
yang meliputi batasan baik dan buruk.
23
Merupakan perasaan atau presepsi seseorang terhadap
keadaan pribadinya. Seperti memiliki pandangan yang
positif terhadap dirinya sendiri (percaya diri).
d. Diri keluarga (family self)
Diri keluarga menunjukkan perasaan dan harga diri
seseorang dalam kedudukanya sebagai anggota
keluarga.
e. Diri soaial (aocial self)
Merupakan penilaian individu terhadap interaksi
dirinya dengan orang lain maupun dengan lingkungan
sekitarnya. Seperti hubungan individu dengan orang
lain yang ditunjukkan dengan sikap hormat kepada
orang lain.
Berzonsky (dalam Maria, 2007: 33-34), mengemukakan bahwa
aspek-aspek konsep diri meliputi:
a. Aspek fisik (psysical self) yaitu penilaian individu terhadap segala sesuatau yang dimiliki individu seperti tubuh, pakaian,
benda miliknya, dan sebagainya.
b. Aspek sosial (social self) meliputi bagaimana peranan sosial yang dimainkan oleh individu dan sejauh mana penilaian
individu terhadap performanya.
24
d. Aspek psikis (psychological self) meliputi pikiran, perasaan, dan sikap-sikap individu terhadap dirinya sendiri.
Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, maka peneliti cenderung
menggunakan aspek-aspek konsep diri yang diutarakan oleh
Berzonsky (dalam Maria, 2007: 33-34), yaitu aspek fisik, psikologis,
sosial dan moral. Alasan penulis mengambil aspek-aspek dari
Berzonsky yaitu kejelasan bahwa terdapat perbedaan pada
masing-masing aspek dan operasionalisasinya, sehingga dianggap lebih sesuai
dalam penyusunan alat ukur untuk mengungkap konsep diri.
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri
Menurut Calhoun & Acoccela (1990: 77), ada empat faktor yang
dapat mempengaruhi pembentukan konsep diri, yaitu:
a. Faktor orang tua
Orang tua adalah kontak sosial yang paling awal dan yang
paling kuat yang dialami individu. Anak bergantung kepada
orang tuanya untuk makanannya, perlindunganya,
kenyamanannya, tentu saja untuk kelangsungan hidupnya.
Akibat orang tua menjadi sangat penting di mata anak.
b. Faktor teman sebaya
Kelompok teman sebaya ada pada posisi kedua setelah
orang tua dalam mempengaruhi konsep diri individu tersebut.
25
cinta dari orang tua, akan tetapi pada kemudian hari individu
membutuhkan penerimaan teman sebaya dalam kelompoknya.
c. Faktor masyarakat
Anak muda atau remaja tidak terlalu mementingkan
kelahiran mereka, kenyataan bahwa mereka hitam atau putih,
anak laki-laki maupun anak perempuan. Tetapi masyarakat
mengganggap penting fakta-fakta semacam itu. Akhirnya
penilaian masyarakat terhadap individu akan sampai kepada
anak dan masuk ke dalam konsep diri.
d. Faktor belajar
Konsep diri kita adalah hasil belajar. Belajar ini
berlangsung secara terus menerus setiap harinya, biasanya
tanpa kita sadari. Belajar dapat didefinisikan sebagai perubahan
psikologis yang relatif permanen yang terjadi pada diri kita
sebagai akibat dari pengalaman. Melalui pengalaman jatuh
dalam bak mandi dan hidungnya kemasukan air, anak akan
belajar secara sendirinya untuk takut pada air. Proses
pembelajaran dapat diperoleh dari berbagai kegiatan, salah
satunya adalah dengan diskusi kelompok.
Dalam diskusi kelompok siswa dapat memperoleh
kesempatan untuk memecahkan masalah secara bersama-sama.
Setiap siswa memperoleh kesempatan untuk mengemukakan
26
Dalam pelaksanaan diskusi tentunya siswa berperan di dalam
kelompok yang kegiatanya dalam kelompok akan
menimbulkan rasa tanggung jawab dan harga diri yang dapat
mendorong pembentukan konsep diri pada siswa.
Dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi konsep
diri individu terdapat faktor orang tua, faktor teman sebaya, faktor
masyarakat, dan faktor belajar. Seluruh faktor tersebut sangat
berpengaruh dalam pembentukkan konsep diri individu, karena
individu juga tidak bisa lepas dari orang lain.
6. Komponen Konsep Diri
Menurut Jalaluddin Rakhmat (2005: 100), terdapat dua komponen
konsep diri yaitu komponen kognitif dan komponen afektif. Dalam
psikologi sosial komponen kognitif disebut dengan citra diri ( self-image), dan komponen afektif disebut dengan harga diri (self-esteem).
a. Komponen Kognitif (Citra Diri)
Pandangan dan pemikiran individu terhadap dirinya sendiri.
Individu mampu menilai dirinya sendiri dengan menyadari
kekurangan dan kelebihanya. Individu dalam berfikir mengenai
dirinya sendiri tidak lepas dari pemikiran mengenai kekurangan
dan kelebihanya.
27
Individu memiliki pandangan sendiri tentang kekurangan
dirinya. Individu dalam melihat kekurangan diri ada yang
merasa malu, tapi ada pula yang mengabaikan bahkan merasa
lebih nyaman dengan kekurangan yang individu miliki.
Berdasarkan pemaparan tentang komponen konsep diri di atas
dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat dua komponen individu
yaitu komponen kognitif dan konponen afektif. Komponen kognitif
merupakan cara pandang dan pemikiran individu mengenai
kekurangan dan kelebihannya, sedangkan komponen afektif
merupakan suatu harga diri individu yang ditunjukkan dengan adanya
rasa menerima atau merasa malau mengenai kekurangan dirinya.
7. Peranan Konsep diri
Menurut Jalaluddin Rakhmat (2005: 104), konsep diri merupakan
faktor yang sangat menentukan dalam komunikasi interpersonal,
karena setiap orang bertingkah laku sedapat mungkin sesuai dengan
konsep dirinya. Misalnya bila seorang individu berpikir bahwa dia
bodoh, individu tersebut akan benar-benar menjadi bodoh. Sebaliknya
apabila individu tersebut merasa bahwa dia memiliki kemampuan
untuk mengatasi persoalan, maka persoalan apapun yang dihadapinya
pada akhirnya dapat diatasi. Hal ini dikarenakan individu tersebut
28
Dengan kata lain suksesnya komunikasi interpersonal banyak
bergantung pada kualitas konsep diri seseorang, positif atau negatif.
Hurlock (1994: 238), mengemukakan, konsep diri merupakan inti
dari pola perkembangan kepribadian seseorang yang akan
mempengaruhi berbagai bentuk sifat. Jika konsep diri positif, anak
akan mengembangkan sifat-sifat seperti kepercayaan diri, harga diri,
dan kemampuan untuk melihat dirinya secara realitas, sehingga akan
menumbuhkan penyesuaian sosial yang baik. Sebaliknya apabila
konsep diri negatif, anak akan mengembangkan perasaan tidak mampu
dan rendah diri. Mereka merasa ragu dan kuang percaya diri, sehingga
menumbuhkan penyesuaian pribadi dan sosial yang buruk pula.
Konsep diri juga dikatakan berperan dalam perilaku individu
karena seluruh sikap dan pandangan individu terhadap dirinya akan
mempengaruhi individu tersebut dalam menafsirkan setiap aspek
pengalamanya. Suatu kejadian akan ditafsirkan secara berbeada-beda
antara individu satu dengan individu yan lain, karena individu
mempunyai pandangan dan sikap yang berbeda terhadap dirinya
sendiri. Konsep diri dikatakan berperan dalam menentukan perilaku
karena konsep diri menentukan pengharapan individu, di mana
penghargaan ini merupakan inti dari konsep diri. Penghargaan dapat
berupa cita-cita dan tujuan individu yang ingin dicapainya demi
29
Konsep diri mempunyai peranan yang sangat penting dalam
individu menentukan prilaku dirinya. Individu dalam memandang atau
menilai dirinya sendiri akan tampak jelas dari perilaku yang
ditunjukkanya, dengan kata lain perilaku seseorang akan sesuai dengan
cara individu memandang dan menilai dirinya. Apabila individu
memandang dirinya sebagai pribadi yang berperilaku positif, maka
individu akan menampakkan perilaku yang positif pula. Sebaliknya
jika individu memandang dirinya sebagai pribadi yang berperilaku
negatif, maka individu akan menampakkan perilaku yang negatif pula.
B. Konformitas
1. Pengertian Konformitas
Menurt Myers (2012: 252), konformitas (conformity) adalah perubahan perilaku atau kepercayaan individu agar selaras dengan
orang lain. Jadi dapat diartikan bahwa konformitas merupakan
perubahan perilaku individu untuk menyamakan dirinya dengan orang
lain. Baron & Byrne (2005: 53), berpendapat bahwa konformitas
adalah penyesuaian terhadap kelompok sosial karena adanya tuntutan
dari kelompok tersebut untuk menyesuaikan meskipun tuntutan
tersebut tidak terbuka agar sesuai dengan norma sosial yang ada.
Selain itu, menurut Chaplin (2006: 105), mendefinisikan bahwa
30
tingkah laku seseorang dikuasai oleh sikap dan pendapat yang sudah
berlaku.
Santrock (2003: 221), berpendapat bahwa konformitas muncul
ketika individu meniru tingkah laku orang lain dikarenakan tekanan
yang nyata atau yang dibayangkan oleh mereka. Pendapat tersebut juga
didukung oleh pendapat Asch (dalam Baron & Byrne, 2005: 53), yang
mengatakan bahwa konformitas sebagai perubahan dalam sikap dan
perilaku seseorang sebagai keinginan untuk mengikuti kepercayaan
atau standar yang ditetapkan oleh orang lain. Asch juag menyatakan
bahwa tekanan kelompok akan membuat individu konformistis
terhadap norma kelompok. Tekanan untuk mengikuti teman sebaya
menjadi sangat kuat pada masa remaja. Artinya tekanan sosial dari
teman sebaya tidak hanya berupa tekanan nyata tetapi juga ada tekanan
yang ada dalam bayangan mereka sehingga dapat mengubah tingkah
laku mereka mengikuti perilaku teman sebaya.
Sarlito Wirawan Sarwono (1999: 182), menjabarkan konformitas
sebagai bentuk perilaku sama dengan orang lain yang didorong oleh
keinginan sendiri. Adanya konformitas dapat dilihat dari perubahan
perilaku atau keyakinan karena adanya tekanan dari kelompok, baik
yang sungguh-sungguh ada maupun yang dibayangkan saja (Kiesler &
Kiesler dalam Sarlito Wirawan Sarwono, 1999: 172).
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa
31
dalam sebuah kelompok karena adanya tuntutan ataupun tekanan yang
sifatnya nyata atau sesuatu yang dibayangkan sebagai tuntutan
kelompok yang bertujuan agar individu tersebut dapat diterima dalam
kelompok tersebut.
2. Tipe-Tipe Konformitas
Menurut Nail, dkk (dalam Myers, 2012: 253), ada beberapa tipe
konformitas, akan tetapi hanya tiga tipe yang dijelaskan diantaranya
yaitu pemenuhan, kepatuhan, dan penerimaan.
a. Pemenuhan (Complience)
Individu telah melakukan konformitas dengan adanya
persetujuan dan permintaan orang lain, sementara pibadinya
tidak menyetujuinya.
b. Kepatuhan (obedience)
Individu bertindak sesuai dengan perintah atau petunjuk
langsung dari orang lain atau kelompoknya.
c. Penerimaan (acceptance)
Individu yang bertindak konformitas sesuai perintah
diyakininya agar bisa menyesuaikan diri dengan tekanan sosial
yang ada disekitarnya.
Deutsch & Gerrad (dalam Oktantri Rujiantika Pratami, 2013: 17),
32
a. Complience, yaitu pengaruh yang menyebakan seseorang individu berperilaku konform karena didasarkan pada hal
untuk diterima kelompok.
b. Acceptance, yaitu pengaruh yang menyebabkan seseorang individu berperilaku konform karena didasarkan pada
keinginan dan kebutuhan untuk memperoleh informasi yang
benar dan akurat tentang realitas orang lain.
Allen, dkk (dalam Oktantri Rujiantika Pratami, 2013: 17),
mengemukakan dua tipe konformitas yaitu:
a. Private conformity disebut juga acceptance yaitu perilaku konformitas yang dilakukan dengan tidak hanya mengubah
perilaku tetapi juga mengubah pola pikir.
b. Public conformity disebut juga complience yaitu perilaku konformitas yang dilakukan untukk mengubah perilaku luar
tanpa mengubah pola pikir.
Berdasarkan uraian diatas terdapat tipe-tipe Konformitas, yaitu
Complience, obedience dan Acceptance. Selain itu dua tipe konformitas yang lain adalah Private conformity dan Public conformity.
3. Aspek-aspek konformitas
Konformitas merupakan sebuah kelompok acuan yang akan dapat
33
mengemukakan secara eksplisit aspek konformitas pada remaja yang
ditandai dengan tiga ahal sebagai berikut:
a. Kekompakan
Kekuatan yang dimiliki kelompok acuan menyebabkan
remaja tertarik dan tetap ingin menjadi anggota kelompok.
Hubungan remaja dengan kelompok acuan sangat erat yang
disebabkan dari perasaan suka antara anggota kelompok serta
harapan memperoleh manfaat dari keanggotaanya. Rasa suka
anggota yang satu terhadap anggota yang lain, dan semakin
besar harapan untuk memperoleh manfaat dari keanggotaan
kelompok serta semakin besar kesetiaan mereka, maka akan
semakin kompak kelompok tersebut.
a. Penyesuaian Diri
Kekompakan yang tinggi memunculkan tingkat
konformitas yang semakin tinggi pula. Individu yang
merasa dekat dan diakui anggota kelompok lain, maka
akan semakin menyenangkan dan semakin
menyakitkan bila anggota kelompok saling mencela.
Penyesuaian individu akan semakin besar apabila
memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi sebuah
anggota kelompok tertentu.
34
Peningkatan konformiatas yang terjadi pada individu
karena tidak mau disebut sebagai orang yang
menyimpang dari kelompok. Penyimpangan tersebut
akan menimbulkan resiko penolakan pada individu.
Anggota kelompok yang terlalu sering menyimpang
dan tidak menyenangkan bisa dikeluarkan dari
kelompok. Perhatian individu yang tinggi dalam
kelompok, maka akan semakin serius tingkat rasa
takutnya terhadap penolakan, dan semakin kecil untuk
tidak menyetujui aturan kelompok
b. Kesepakatan
Pendapat kelompok acuan yang telah dibuat memiliki tekanan
yang kuat sehingga remaja harus menyesuaikan pendapatnya
dengan pendapat kelompok. Tekanan yang terjadi dalam
kelompok membuat adanya kesepakan dalam kelompok
tersebut.
1) Kepercayaan
Apabila individu sudah tidak mempunyai
kepercayaan terhadap kelompok, maka akan dapat
mengurangi ketergantungan individu terhadap
kelompok sebagai sebuah kesepakatan.
35
Apabila dalam kelompok terdapat satu individu saja
yang tidak sependapat dengan kelompok lain maka
konformitas akan menurun. Persamaan pendapat dalam
kelompok akan meningkatkan konformitas.
3) Penyimpangan terhadap Pendapat Kelompok
Apabila individu mempunyai pendapat yang
berbeda dengan anggota kelompok lain, maka individu
akan dikucilkan dan dipandang sebagai orang yang
menyimpang, baik dalam pandangan orang lain maupun
pandangan dirinya sendiri. Individu yang menyimpang
akan menyebabkan penurunan kesepakatan dalam
melakukan konformitas.
c. Ketaatan
Tekanan atau tuntutan kelompok acuan pada remaja
membuat remaja melakukan tindakan walaupun tidak
diinginkanya. Bila ketaatan individu tinggi maka
konformitasnya akan tinggi pula.
1) Tekanan karena ganjaran, ancaman, atau hukuman
Salah satu cara untuk memunculkan ketaatan yaitu
dengan cara meningkatkan tekanan terhadap individu
untuk menampilkan perilaku yang diinginkan melaui
ganjaran, ancaman, atau hukuman karena akan
36 2) Harapan orang lain
Harapan-harapan orang lain akan menimbulkan
ketaatan, meskipun harapan tersebut bersifat umum atau
luas. Salah satu cara untuk memaksimalkan ketaatan
adalah dengan menempatkan individu dalam situasi
yang terkendali, dimana segala sesuatunya diatur
sedemikian rupa sehingga ketidak taatan merupakan hal
yang hampir tidak mungkin timbul dalam kelompok.
Berdasarkan pemaparan di atas maka peneliti akan menggunakan
aspek-aspek konformitas remaja yang dipaparkan oleh Sears, dimana
aspek yang dijelaskan cukup jelas dan terperinci. Aspek-aspek
tersebut mencangkup tiga aspek yaitu aspek kekompakkan, aspek
kesepakatan, dan aspek ketaatan. Ketiga aspek yang dikemukakan
oleh Sears inilah yang menyebabkan individu melakukan konformitas
terhadap kelompok teman sebaya.
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konformitas
Penelitian yang dilakukan oleh Asch (Baron & Byrne, 2005: 56),
menunjukkan terdapat empat faktor yang menentukan seseorang
menuruti tekanan konformitas, yaitu:
a. Kohesivitas (Cohesiveness)
Kohevitas didefinisikan sebagai derajat ketertarikan yang
37
tinggi maka tekanan untuk melakukan konformitas bertambah
besar. Sebaliknya apabila kohevitas rendah maka teknanan untuk
konformitas juga rendah.
b. Ukuran Kelompok
Faktor yang memiliki pengaruh besar penting dalam
kecenderungan melakukan konformitas adalah ukuran kelompok.
Semakin besar ukuran kelompok tersebut, makn semakin besar
pula kecenderungan seorang untuk ikut serta dalam kelompok
tersebut.
c. Norma Sosial Deskriptif
Norma sosial deskriptif atau himbauan (descriptive norms) adalah norma yang hanya mendeskripsikan apa yang sebagian
orang lakukan pada situasi tertentu. Norma ini mempengaruhi
tingkah laku dengan cara memberitahu mengenai apa yang
umumnya dianggap efektif atau adaptif pada situasi tertentu.
d. Norma Sosial Injungtif
Pada faktor ini, perempuan lebih tinggi intensitasnya dalam
38
lebih melekat keinginan untuk merubah penampilan yang
berhubungan dengan mode.
Myers (2005: 230) membagi faktor-faktor yang mempengaruhi
konformitas menjadi lima faktor, yaitu:
a. Group Size
Semakin besar anggota kelompok, maka semakin besar pula
pengaruhnya terhadap individu.
b. Cohession
Semakin seorang merasa tertarik dengan kelompoknya maka
semakin besar pengaruh dari kelompok terhadap individu tersebut.
c. Status
Didalam sebuah kelompok apabila seseorang memiliki status
yang tinggi cenderung memiliki pengaruh yang lebih besar,
sedangkan seseorang yang memiliki status rendah cenderung untuk
mengikuti pengaruh yang ada.
d. Public Respons
Ketika seseorang diminta untuk menjawab secara langsung di
hadapan publik, individu cenderung akan lebih conform daripada individu tersebut diminta untuk menjawab dalam bentuk tulisan
lisan.
39
Seseorang yang sudah memutuskan untuk memiliki
pendirianya sendiri, akan cenderung mengubah pendirianya
dikarenakan adanya aspek tekanan sosial.
Berdasarkan Serlito Wirawan Sarwono (2001: 182-185), ada enam
ciri yang menandai konformitas, yaitu:
a. Beasarnya Kelompok
Kelompok yang kecil lebih memungkinkan melakukan
konformitas daripada kelompok yang besar.
b. Suara Bulat
Lebih mudah mempertahankan pendapat jika banyak
kawanya.
c. Keterpaduan Kohesivitas
Semakin besar kohesivitas maka akan tinggi keingginan
individu untuk melakukan konformitas terhadap kelompoknya.
d. Status
Bila staus individu dalam kelompok belum ada maka
individu akan melakukan konformitas agar dirinya memperoleh
status sesuai harapanya.
e. Tanggapan Umum
Perilaku yang terbuka dapat didengar atau dilihat secara
umum akan lebih mendorong konformitas daripada prilaku yang
dapat didengar dan dilihat oleh orang-orang tertentu.
40
Konformitas akan lebih mudah terjadi pada orang yang tidak
mempunyai komitmen apa-apa.
Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi konformitas adalah kohevitas
(Cohesiveness), ukuran kelompok, norma sosial deskriptif, dan norma sosial injungtif, perbedaan jenis kelmin, suara bulat, status, tanggapan
umum atau public respons, dan komitmen paham.
5. Dasar-Dasar Konformitas
Terdapat dua pembentuk dasar konformitas menurut beberpa ahli
yaitu:
a. Pengaruh Normatif
Pengaruh normatif adalah penyesuaian dengan keinginan
atau harapan orang lain untuk mndapatkan penerimaan. Myres
(2005: 237), menambahkan bahwa dalam pengaruh ini, individu
berusaha untuk mematuhi standar norma yang ada di dalam
kelompok. Apabila norma ini dilanggar, maka hasil yang akan
diterima adalah penolakan dan pengasingan oleh kelompok pada
individu tersebut.
Sejalan dengan Baron & Byrne (2005: 62), yang
mengatakan bahwa pengaruh normatif adalah pengaruh sosial yang
didasarkan pada keinginan individu utuk disukai atau diterima
41 b. Pengaruh Informasional
Pengaruh informasional adalah penyesuaian individu atau
keinginan individu untuk memiliki pikiran yang sama sebagai
akibat adanya pengaruh menerima pendapat maupun asumsi
pemikiran kelompok dan beranggapan bahwa informasi dari
kelompok lebih baik dibandingkan dengan pendapat diri sendiri.
Sehingga individu cenderung untuk konform dalam menyampaikan
pendapat atau sugesti (Myers, 2005: 237).
Baron & Byrne (2005: 63) menyatakan bahwa, pengaruh
informasional adalah penagruh sosial yang didasarkan pada
keinginan individu untuk menjadi benar dan untuk memiliki
persepsi yang tepat mengenai dunia sosial.
Berdasarkan penjelasan diatas terdapat dua dasar pembentuk
konformitas, yaitu pengaruh normatif berupa keinginan untuk disukai
dan rasa takut akan penolakan terhadap kelompok, seta pengaruh
informasional berupa keinginan untuk merasa benar.
C. Remaja
1. Pengertian Remaja
Menurut Rita Eka Izzaty, dkk (2008 : 123), remaja diterjemahkan
42
sosial. Menurut Hurlock (dalam Rita Eka Izzaty, dkk, 2008: 124), awal
masa remaja berlangsung kira-kira dari 13- 16 tahun atau 17 tahun, dan
akhir masa remaja bermula dari usia 16 atau 17 tahun sampai 18 tahun
yaitu usia matang secara hukum.
Santrok (2003:26), remaja dimaksudkan sebagai masa
perkembangan praliahan antara masa anak dan masa dewasa yang
mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional. Perubahan
biologis, kognitif, dan sosial-emosional yang yang terjadi berkisar dari
perkembangan fungsi seksual, proses berfikir abstrak sampai pada
kemandirian. Masa remaja awal (early adolescence) kira-kira sama dengan sekolah menengah pertama dan mencakup kebanyakan perubahan
pubertas. Masa remaja akhir (late adolescence) menunjuk kira-kira setelah usia 15 tahun.
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulankan bahwa
remaja merupakan masa perkembangan serta peralihan antara masa
anak-anak ke masa dewasa yang mencakup perkembangan fisik, intelektual,
emosi dan sosial. Masa remaja berlangsung antara umur 13-18 tahun.
2. Tugas Perkembangan Remaja
Menurut Havighurst (dalam Rita Eka Izzaty dkk, 2008:126), ada
beberapa tugas perkembangan yang harus diselesaikan dengan baik
43
a) Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya
baik pria maupun wanita
Individu berusaha mempelajari peran masing-masing baik
sebagai pria atau wanita. Remaja dalam hal ini belajar untuk
menjalin hubungan baru dan menyesuaikan diri dengan teman
sebayanya.
b) Mencapai peran sosial pria dan wanita
Mempelajari peran sosial sesuai dengan jenis kelaminnya
sebagai pria atau wanita. Adanya penerimaan peran individu baik
sebagai pria maupun wanita akan membantu individu dalam
pencapaian peran sosialnya.
c) Menerima keadaan fisiknya dan menggunakannya secara efektif
Individu akan lebih menghargai dirinya sendiri dengan
menerima kondisi fisik, menjaga dan melindungi dirinya sendiri,
serta menggunakannya secara efektif.
d) Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung
jawab
Remaja belajar dan berpartisipasi sebagai orang dewasa
yang bertanggung jawab dalam kehidupan masyarakat dan mampu
menjunjung nilai-nilai masyarakat dalam perilakunya.
44
Individu belajar merencanakan kehidupannya sendiri.
Adanya keinginan remaja untuk dapat berdiri sendiri tanpa bantuan
orang lain.
f) Mempersiapkan perkawinan dan keluarga
Individu belajar untuk hidup bersama dengan orang lain,
serta belajar untuk dapat percaya, jujur, dan terbuka terhadap orang
lain. Mampu untuk memahami adanya perbedaan pendapat
maupun perilaku dengan orang lain.
g) Memperoleh perangkat nilai-nilai dan sistem etika sebagai
pegangan untuk berperilaku.
Remaja di sini belajar dari agama, budaya, maupun
pengalaman untuk pegangan dalam berpikir, berpendapat, dan
berperilaku dilingkungan masyarakat.
Rita Eka Izzaty dkk (2008:126), menerangkan bahwa tugas
perkembangan remaja sangat menuntut pada perubahan-perubahan besar
yang terjadi dalam sikap maupun tingkah laku individu. Sehingga hanya
sedikit anak laki-laki maupun perempuan yang diharapkan untuk dapat
menguasai tugas-tugas perkembangan tersebut selama masa remaja awal,
apalagi mereka yang kematanganya terlambat.
3. Karakteristik Remaja
Masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak dengan masa