STUDI KOMPARASI PASAL 76 KHES DAN HUKUM ISLAM
TERHADAP PANDANGAN TOKOH AGAMA TENTANG JUAL
BELI ANAK SAPI DALAM KANDUNGAN DI DESA SUMBER
ANYAR KECAMATAN MAESAN KABUPATEN BONDOWOSO
SKRIPSI
Oleh Wiwit Nurdiyanti NIM. C02213077
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM JURUSAN HUKUM PERDATA ISLAM
PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAH) SURABAYA
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan (field research) dengan judul
Studi Komparasi Pasal 76 KHES dan Hukum Islam Terhadap Pandangan Tokoh Agama Tentang Jual Beli Anak Sapi dalam Kandungan di Desa Sumber Anyar Kecamatan Maesan Kabupaten Bondowoso. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan mengenai bagaimana kegiatan praktik jual beli anak sapi dalam kandungan, bagaimana pendapat tokoh agama terhadap praktik jual beli anak sapi dalam kandungan, dan bagaimana tinjauan pasal 76 KHES dan Hukum Islam terhadap pendapat tokoh agama terhadap jual beli anak sapi dalam kandungan di Desa Sumber Anyar.
Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan teknik
wawancara (interview), observasi, dan dokumentasi. Setelah data terkumpul, data
diolah dan dianalisis dengan metode deskriptif dengan pola pikir deduktif yaitu penyimpulan data yang bertitik tolak dari isi pasal 76 KHES dan dari segi hukum Islam kemudian ditarik menuju fakta-fakta lapangan yang sifatnya khusus yaitu mengenai komparasi antara pasal 76 KHES dan hukum Islam terhadap pandangan tokoh agama tentang jual beli anak sapi dalam kandungan.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa dalam praktik jual beli anak sapi yang masih berada dalam kandungan terdapat indikasi ketidakjelasan, yakni objeknya belum dapat diketahui oleh kedua belah pihak sehingga belum dapat diserahkan ketika akad berlangsung, harus menunggu anak sapi tersebut lahir. Kemudian menurut pendapat para tokoh agama di Desa Sumber Anyar sama-sama memperbolehkan adanya jual beli anak sapi dalam kandungan yang dikembangkan oleh peternak Bapak Nur Hasan yang tidak sesuai dengan isi pasal
76 KHES dan hukum Islam karena mengandung unsur gharar (ketidakjelasan).
Berdasarkan hasil penelitian di atas, jual beli anak sapi dalam kandungan tersebut tidak diperbolehkan oleh Hukum Islam maupun isi daripada pasal 76 KHES. Maka disarankan kepada pemilik yang mengembangkan jual beli anak
sapi dalam kandungan di Desa Sumber Anyar untuk menghilangkan unsur gharar
dalam bertransaksi dan lebih memperdalam pengetahuan mengenai jual beli agar
dalam bermu’ama>lah tidak bertentangan dengan isi daripada pasal 76 KHES dan
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBINGAN ... iii
PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK... viii
KATA PENGANTAR ... xi
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TRANSLITERASI ... xvi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 8
C. Rumusan Masalah ... 9
D. Kajian Pustaka ... 10
E. Tujuan Penelitian... 13
F. Kegunaan Penelitian ... 13
G. Definisi Operasional ... 14
H. Metode Penelitian ... 15
I. Sistematika Pembahasan ... 20
BAB II JUAL BELI DAN AKAD DALAM ISLAM a. Pengertian Jual Beli... 22
b. Landasan Hukum Jual Beli ... 23
c. Rukun dan Syarat Jual Beli ... 26
d. Akad dalam Jual Beli ... 34
f. ‘Ada<tul‘Urf... 39
BAB III KEGIATAN PRAKTIK JUAL BELI ANAK SAPI DALAM
KANDUNGAN DI DESA SUMBER ANYAR KECAMATAN MAESAN KABUPATEN BONDOWOSO
A. Gambaran Umum Jual Beli Anak Sapi dalam Kandungan di Desa
Sumber Anyar Kecamatan Maesan Kabupaten Bondowoso ... 41
1. Lokasi Jual Beli Anak Sapi dalam Kandungan ... 41
2. Produk yang Diperjualbelikan ... 41
B. Praktik Jual Beli Anak Sapi dalam Kandungan di Desa Sumber
Anyar Kecamatan Maesan Kabupaten Bondowoso ... 42
1. Latar Belakang Jual Beli Anak Sapi dalam Kandungan di Desa
Sumber Anyar Kecamatan Maesan Kabupaten Bondowoso... 42
2. Praktik Pelaksanaan Jual Beli Anak Sapi dalam Kandungan di
Desa Sumber Anyar Kecamatan Maesan Kabupaten
Bondowoso ... 45 C. Pandangan Tokoh Agama ... 47
BAB IV ANALISIS KHES DAN HUKUM ISLAM TERHADAP
PANDANGAN TOKOH AGAMA TENTANG JUAL BELI ANAK SAPI DALAM KANDUNGAN DI DESA SUMBER ANYAR KECAMATAN MAESAN KABUPATEN BONDOWOSO
a. Analisis Pasal 76 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dan Hukum
Islam Terhadap Jual Beli Anak Sapi dalam Kandungan di Desa
Sumber Anyar Kecamatan Maesan Kabupaten Bondowoso ... 51
b. Analisis Hukum Islam Terhadap Pandangan Tokoh Agama
Tentang Jual Beli Anak Sapi dalam Kandungan di Desa Sumber Anyar Kecamatan Maesan Kabupaten Bondowoso ... 55
a. Kesimpulan ... 72
b. Saran ... 73
DAFTAR PUSTAKA ... 74
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk Allah yang sempurna dan amat mulia yang
diberi kelebihan atas banyak makhluk-makhluk lainnya termasuk akal fikiran.
Manusia diciptakan dari tanah dan diberinya akal untuk menuntut ilmu,
memikirkan, dan merenungkan segala yang diciptakan Allah Swt. Manusia juga
merupakan makhluk hidup yang mempunyai kebutuhan beraneka ragam dan
kebutuhan itu selalu meningkat. Sedangkan kemampuan untuk mencapai sesuatu
yang diinginkannya itu terbatas. Manusia membutuhkan satu sama lain untuk
bertahan hidup, sehingga manusia memerlukan pula kerjasama yang bersifat
saling menguntungkan dengan yang lain. Allah telah menjadikan manusia antara
yang satu berhajat kepada yang lainnya. Ini mengandung sebuah isyarat agar
mereka saling tolong-menolong, tukar menukar keperluan dalam segala urusan
kepentingan hidup, antara lain melalui proses jual beli yang manfaatnya untuk
diri sendiri atau untuk kemaslahatan umum.
Persoalan yang telah dijabarkan di atas inilah yang disebut dengan
bermuamalah.1 Di samping bermuamalah sudah menjadi sunnatullāh pula bagi
manusia untuk hidup bermasyarakat, tunjang menunjang, topang-menopang dan
tolong-menolong antara satu dengan yang lainnya. Sebagai makhluk sosial,
manusia menerima dan memberikan andilnya kepada orang lain. Saling
2
bermuamalah untuk memenuhi hajat dan mencapai kemajuan dalam hidupnya.
Sedangkan ntuk mencapai tujuan dan kemajuan hidup manusia, diperlukan
adanya kerja sama antara sesama manusia seperti yang dijelaskan dalam Al-quran
surat al-Maidah ayat: 2
……
Artinya:‚…Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…‛(Q.S. al
-Maiddah: 2).2
Di antara sekian banyak aspek kerjasama dan perhubungan manusia, maka
ekonomi perdagangan termasuk salah satu di antaranya. Bahkan aspek ini
teramat penting peranannya dalam meningkatkan kesejahteraan hidup manusia.
Setiap orang akan mengalami kesulitan dalam memenuhi hajat hidupnya jika
tidak bekerjasama dengan orang lain. Dan bentuk kerja sama itu harus sesuai
dengan etika agama. Sebagaimana yang dimaksudkan didalam Al-quran dan
as-Sunnah terdapat pengakuan masalah ekonomi dengan maksud memberi arah bagi
manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Al-quran dan as-Sunnah juga
mengisyaratkan bahwa manusia diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk
menjalankan kegiatan ekonominya, baik dengan mengeksploitasi sember alam
secara langsung seperti pertanian, pertambangan maupun yang tidak langsung
seperti perdagangan dan berbagai kegiatan produktif lainnya. Sebagaimana
firman Allah Swt dalam surat al-Mulk ayat 15:
3
Artinya: ‚Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah
disegala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. Dan hanya
kepada-Nya lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.‛ (QS. al-Mulk: 15).3
Berkaitan dengan hal di atas, Islam datang dengan dasar-dasar dan prinsip
yang mengatur secara baik persoalan-persoalan muamalah yang akan dilalui oleh
setiap manusia dalam kehidupan sosial mereka. Perkembangan jenis dan bentuk
muamalah yang dilaksanakan oleh manusia sejak dahulu sampai sekarang sejalan
dengan perkembangan kebutuhan dan pengetahuan manusia itu sendiri. Atas
dasar itu dijumpai dalam berbagai suku bangsa jenis dan bentuk muamalah yang
beragam, yang esensinya adalah saling melakukan interaksi sosial dalam upaya
memenuhi kebutuhan masing-masing.4Ajaran tentang muamalah berkaitan
dengan persoalan-persoalan hubungan antara sesama manusia dalam memenuhi
kebutuhan masing-masing, untuk menghindari kesewenang-wenangan dalam
bermuamalah. Agama telah mengatur sebaik-baiknya masalah inisesuai dengan
ajaran-ajaran dan prinsip-prinsip yang dikandung oleh Al-quran dan al-Hadis.
Sebagaimana penjabaran di atas bahwasanya agama telah mengatur
manusia satu dengan lainnya, di dalam Islam pun tidak ada suatu pembatasan
untuk memiliki harta dan tidak ada larangan untuk mencari karunia Allah
sebanyak-banyaknya asalkan jelas penyaluran dan pemanfaatannya. Sebagaimana
di dalam firman Allah Swt dalam surat al-Jumu’ah ayat 10:
3Ibid, 283.
4
Artinya:‚Apalia telah ditunaikan sholat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung‛.(Q.S. al-Jumu’ah 10).5
Dari ayat di atas kita diperintahkan untuk mencari penghidupan di muka
bumi ini dengan sebanyak-banyaknya untuk kehidupan kita yang akan datang
dengan memanfaatkan bumi sebagai tempat untuk mencari rizki yang halal. Ayat
ini juga menjelaskan bahwa Islam menetapkan berbagai aturan kepada
pemeluknya untuk mengadakan komunikasi dan interaksi antara sesama. Di
antara aturan tersebut adalah berdagang. Kegiatan perdagangan dilakukan
dengan barang secara langsung maupun tidak langsung dengan menggunakan
alat-alat pembayaran (mata uang) yang biasa disebut dengan jual beli, yaitu
pertukaran harta atas dasar saling rela atau memindahkan milik dengan ganti
yang dapat dibenarkan. Kemudian praktik jual beli yang sering terjadi
ditengah-tengah masyarakat dan dilakukan dikehidupan sehari-hari sering tidak sesuai
dengan syarat dan rukun jual beli.
Bagi mereka yang bergerak di bidang perdagagan atau transaksi jual beli
wajib untuk mengetahui hukum yang berkaitan dengan sah dan rusaknya
transaksi jual beli tersebut, lebih-lebih mengetahui apa saja syarat dan rukun
transaksi dalam hal jual beli. Supaya praktiknya nanti sesuai dengan ketentuan
syariat dalam hukum Islam serta tujuan usaha yang dilakukannya nanti sah
5
secara hukum dan terhindar dari hal yang tidak dibenarkan.6Allah Swt dalam
kegiatan bermuamalah melarang manusia merugikan orang lain dengan tujuan
untuk mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Selain itu manusia
juga dilarang memakan harta yang diperolehnya dengan cara batil (tidak sah).
Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat an-Nisa ayat 29:
Artinya: ‚Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu,
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu‛. (Q.S. an-Nisa: 29)7
Kegiatan jual beli ini merupakan salah satu kegiatan yang dapat memicu
persoalan dalam kehidupan seseorang dari segala lapisan masyarakat. hal
tersebut dipicu dengan adanya krisis ekonomi. Namun dalam Islam kegiatan jual
beli dilarang merugikan orang lain, sehingga akan tercapai kemaslahatan umat.
Sedangkan orang-orang yang telah terjun dalam kegiatan usaha sudah seharusnya
mengetahui hak-hak yang didapatkan sehingga dapat mengakibatkan jual beli itu
sah atau tidak fasid. Hal tersebut dimaksudkan dengan tujuan agar kegiatan
muamalah dapat berjalan dengan sah dan segala pikiran dan tindakannya jauh
dari kerusakan yang tidak dibenarkan. Tidak banyak umat muslimin yang
mempelajari muamalah, mereka telah lalai sehingga tidak memperdulikan jika
6
mereka memakan barang haram sekalipun semakin hari usahanya akan
meningkat dan mendapatkan keuntungan yang melimpah.8
Banyak pula manusia yang dalam melakukan transaksi jual beli tidak
memperhatikan rukun jual beli, salah satunya terletak pada objek jual beli yang
mudah diselewengkan. Hal tersebut terjadi di salah satu desa Sumber Anyar
kabupaten Bondowoso, yang mana terdapat seorang penjual yang bernama Bapak
H. Nur Hasan yang menjual sapi-sapinya, bahkan Ia menjual anak sapi yang
masih berada didalam kandungan induknya kepada para pembeli langganannya.
Hal tersebut bertentangan dengan pasal 76 KHES (Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah) yang mana isi di dalam pasal tersebut menyatakan bahwa :
a. Barang yang diperjualbelikan harus sudah ada. Sedangkan objek transaksi
yang dilakukan oleh Bapak H. Nur Hasan dan pembelinya tersebut masih
belum ada, artinya masih berada di dalam kandungan induknya.
b. Barang yang diperjualbelikan harus dapat diserahkan. Di dalam bisnis
transaksi tersebut belum dapat diserahkan setelah kesepakatan yang terjalin
antara penjual dan pembeli dikarenakan objeknya masih berada di dalam
kandungan induknya.
c. Barang yang diperjualbelikan harus diketahui oleh pembeli.9 Sedangkan pada
jual beli di atas pembeli belum bisa mengetahui objeknya dan sudah menawar
hingga sampai untuk saling bersepakat melakukan transaksi pada waktu
tersebut.
8 Sayyid Sabiq, ‚Fiqh Sunnah‛, ( Al-Ma’arif: Bandung, 1987), 46.
9 Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIMM), ‚Kompilasi Hukum
7
d. Barang yang dijual harus ditentukan secara pasti pada waktu akad.10 Dilihat
dari objek jual beli yang masih belum jelas adanya, pembeli akan berani
menawar anak sapi dan membelinya ketika masih di dalam kandungan
induknya yang benar-benar objek dari jual beli tersebut belum diketahui.
Pak Nur Hasan ini telah menjalankan bisnis jual beli sapinya tersebut
selama 6 tahun. Bisnisnya telah mashur dikenali oleh masyarakat di desanya
sangat berkualitas lebih dan dapat dipercaya. Dan beberapa pendapat tokoh
agama yang terkemuka di desa tersebut mengatakan bahwa transaksi jual beli
sebagaimana yang telah dijalankan oleh Bapak Nur Hasan tersebut boleh
dilakuakan dengan bertumpu terhadap adanya saling percaya antara bapak Nur
Hasan dan para pembelinya. Pendapat tersebutlah yang bertentangan dengan isi
daripada pasal 76 KHES, khususnya di poin a,b,e, dan i yang kesemuanya
menjabarkan bahwasanya objek dari jual beli harus jelas dan dapat diketahui oleh
pembeli.
Dari uraian-uraian di atas terlihat bahwa jual beli tersebut mengandung
unsur gharar serta dapat merugikan salah satu pihak. Padahal Islam telah
melarang jual beli yang mengandung unsur gharar serta yang dapat merugikan
salah satu pihak. Sementara penjual tersebut masih menekuni bisnis transaksi
jual belinya yang jelas-jelas itu sudah mengandung gharar. Dan yang menjadi
pertanyaan lagi adalah bagaimana isi dari pasal 76 KHES dan pandangan tokoh
agama di desa setempat tersebut mengenai masalah jual beli anak sapi dalam
kandungan induknya tersebut bila ditinjau dari segi hukum Islam.
8
Berpijak dari uraian di atas penulis memandang perlu untuk mengadakan
penelitian dan pembahasan yang jelas serta mendalam agar memperoleh
kejelasan hukum, dan bagaimana persamaan serta perbedaan mengenai transaksi
jual beli anak sapi dalam kandungan induknya tersebut, serta penulis tertarik
untuk mengkaji dan mengkomparasikan pasal 76 KHES dan pedapat tokoh
agama selaku ulama’ yang menjadi panutan dan acuan bagi masyarakat desa
Sumber Anyar disana. Maka studi ilmu tentang ‚Studi Komparasi Pasal 76
KHES dan Hukum Islam Terhadap Pandangan Tokoh Agama Tentang Jual Beli
Anak Sapi dalam Kandungan Di Desa Sumber Anyar Kecamatan Maesan
Kabupaten Bondowoso‛ ini amat diperlukan dan Insya Allah sangat bermanfaat
untuk penelitian-penelitian tentang praktik ber mu’āmalah.
B. Indentifikasi dan Batasan Masalah
Identifikasi dan Batasan Masalah dilakukan untuk menjelaskan
kemungkinan-kemungkinan cakupan yang dapat muncul dalam penelitian dengan
melakukan identifikasi dan interventarisasi sebanyak-banyaknya kemungkinan
yang dapat diduga sebagai masalah yang akan didekati dan dibahas.11
Berdasarkan dari uraian latar belakang di atas, maka dapat diperoleh
identifikasi masalah sebagai berikut :
11 Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan
9
1. Praktik transaksi jual beli anak sapi dalam kandungan induknya.
2. Objek yang belum diketahui dari transaksi jual beli anak sapi dalam
kandungan induknya.
3. Isi penjabaran dari pasal 76 KHES terhadap keterkaitan dari praktik jual
beli anak sapi dalam kandungan
4. Analisa dari pasal 76 KHES terhadap pandangan tokoh agama setempat
mengenai jual beli anak sapi dalam kandungan
5. Tinjauan hukum Islam pasal 76 KHES terhadap pandangan tokoh agama
tentang jual beli anak sapi dalam kandungan induknya.
Agar pembahasan tidak melebar, diperlukan batasan masalah dalam
penelitian ini, maka penulis akan membatasi masalah yang akan diteliti sebagai
berikut:
1. Bagaimana praktik jual beli anak sapi dalam kandungan di Desa Sumber
Anyar Kecamatan Maesan Kabupaten Bondowoso.
2. Bagaimana persamaan dan perbedaan analisis pasal 76 KHES dan Hukum
Islam terhadap pendapat tokoh agama di Desa Sumber Anyar Kecamatan
Maesan Kabupaten Bondowoso tentang jual beli anak sapi dalam
kandungan.
C. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang yang telah diidentifikasi dan dibatasi
permasalahan yang akan diteliti, maka penulis dapat merumuskan permasalahan
10
1. Bagaimana praktik dan pandangan tokoh agama terhadap jual beli anak sapi
dalam kandungan di desa Sumber Anyar Kecamatan Maesan Kabupaten
Bondowoso?
2. Bagaimana persamaan dan perbedaan analisis pasal 76 KHES dan hukum
Islam terhadap pandangan tokoh agama tentang jual beli anak sapi dalam
kandungan di Desa Sumber Anyar Kecamatan Maesan Kabupaten
Bondowoso?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka pada dasarnya adalah untuk mendapatkan gambaran
hubungan topik yang akan diteliti dengan penelitian sejenis yang sudah pernah
dilakukan pada penelitian sebelumnya, sehingga tidak ada pengulangan.12
Kajian Pustaka merupakan deskripsi ringkas tentang kajian atau
penelitian yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang akan diteliti.
Berawal dari kajian yang ditulis oleh Lukmanul Khakim (2013) dengan
judul: Analisis Hukum Islam Terhadap Mekanisme Jual Beli Ikan Laut Dalam
Tendak Di Desa Blimbing Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan, skripsi ini
meneliti dan membahas pada mekanisme jual beli ikan laut dalam tendak seperti
halnya jual beli pada umumnya yang lebih menitikberatkan pada status barang
yang akan diperjualbelikan atau lebih kepada objek jual belinya. Dari segi jual
belinya telah memenuhi rukun daripada jual beli itu sendiri yaitu adanya pelaku
11
(penjual dan pembeli), adanya uang, barang, dan akad. Namun pada jual beli ini
tidak memenuhi syarat objek yang diperjualbelikan maka hukum jual belinya
tidak diperbolehkan.13
Yang kedua ditulis oleh Isma Wahyu Fadilah (2013) dengan judul:
Analisis Hukum Islam Pada Jual Beli Handphon Rusak Di Pasar Wonokromo,
skripsi ini membahas suatu permasalahan yang dikaji yakni diantaranya, dalam
bentuk praktik jual beli handphone rusak yang berada di Pasar Wonokromo
terdapat dua bentuk praktik yaitu, (1) dilaksanakan secara beja-beji yakni
untung-untungan dan pembeli dianjurkan untuk membayar dahulu tanpa si
pembeli mengetahui kondisi handphone yang rusak tersebut masih bisa
dimanfaatkan ataupun tidak, dan para pembeli juga belum mengetahui dalamnya
handphone tersebut melainjkan hanya mengetahui kondisi luarnya saja. (2)
analisis hukum Islam pada jual beli handphone rusak yang mana jual belinya
dianggap sah, namun jika dilihat dari dari bentuk praktik jual belinya bahwa
bentuk praktik yang semacam itu menyebabkan adanya larangan akad, yang
mana jual beli handphone rusak dipandang telah melanggar prinsip antāradin
minkum dan melanggar prinsip la tazdlimūn wa lā tudzlamūn (jangan
mendzalimi dan jangan didzalimi) yang mana dalam bentuk praktik tersebut
terdapat gharar (ketidakjelasan).14
13Lukmanul Khakim, ‚Analisis Hukum Islam Terhadap Mekanisme Jual Beli Ikan Laut Dalam
Tendak Di Desa Blimbing Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan‛(Skripsi--UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2013).
12
Yang ketiga ditulis oleh Diswatin Nunung (2010) dengan judul: ‚Analisis
Hukum Islam Terhadap Jual Beli Nelethong Di Desa Tergambang Kecamatan
Bancar Kabupaten Tuban : Studi Analisis Hukum Islam‛. Skripsi ini membahas
suatu permasalahan yang dikaji yakni diantaranya, membahas praktik jual beli
Nelethong (jual beli hewan ternak dan juga beberapa anak hewan ternak yang
masih berada dalam kandungan induknya). Yang mana analisis hukum Islam
pada transaksi jual beli tersebut tidak diperbolehkan karena mengandung unsur
gharar (ketidakjelasan).15
Sedangkan di dalam skripsi ini berbeda dengan yang ditelusuri oleh
peneliti di atas mengenai objek yang dibahas dan diteliti serta dari perbandingan
yang akan dituangkan dari pasal 76 KHES dan pandangan tokoh agama setempat
mengenai transaksi jual beli tersebut, yang membedakan adalah bagaimana
pendapat dan anggapan dari beberapa tokoh agama di desa Sumber Anyar
tersebut yang membolehkan melakukani jual beli anak sapi di dalam kandungan
induknya dengan menitikkan pada saling adanya kepercayaan dan
pertanggungjawaban dari penjual dan para pembelinya. Hal itulah yang
menyebabkan perbedaan antara isi dari pasal 76 KHES mengenai objek dari jual
beli itu harus diketahui dan harus jelas adanya. Namun tetap saja tokoh agama di
desa setempat itu menganggapnya sah jika dilandaskan terhadap saling percaya
antara satu pihak dengan pihak yang lainnya.
13
E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan utama penelitian ini
adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana praktik jual beli anak sapi dalam
kandungan di Desa Sumber Anyar Kecamatan Maesan Kabupaten
Bondowoso.
2. Untuk mengetahui bagaimana ulasan dari analisa pasal 76 KHES dan
Hukum Islam terhadap pandangan tokoh agama di Desa Sumber Anyar
Kecamatan Maesan Kabupaten Bondowoso tentang jual beli anak sapi
dalam kandungan.
F. Kegunaan Penelitian
Berdasarkan Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian di atas, maka
diharapkan dengan adanya penelitian ini mampu memberikan manfaat bagi
pembaca maupun penulis sendiri, baik secara teoretis maupun secara praktis.
Secara umum, kegunaan penelitian yang dilakukan ini dapat ditinjau dari dua
aspek, yaitu:
1. Secara Teoritis
a. Diharapkan berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan,
khususnya dalam permasalahan jual beli di dalam hukum Islam.
b. Memberikan sumbangan pemikiran dalam mengembangkan dan
14
Syariah dan Hukum pada umumnya dan mahasiswa Prodi Hukum
Ekonomi Syariah (Muamalah) pada khususnya.
2. Secara Praktis
a. Dapat dijadikan bahan rujukan bagi para peneliti yang ingin
mengeksplor lebih jauh berkaitan dengan masalah jual beli terutama
untuk mahasiswa fakultas Syariah dan Hukum, khususnya prodi
Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah).
G. Definisi Operasional
Untuk memahami judul sebuah skripsi perlu adanya pendefinisian judul
secara operasional agar tidak salah persepsi. Untuk menghindari terjadinya
kesalahpahaman dalam pengertian maksud dari judul di atas, maka penulis
memberikan definisi yang menunjukkan kearah pembahasan sesuai dengan
maksud yang dikehendaki oleh judul tersebut:
Studi Komparasi : Suatu perbandingan penelitian
ilmiah dan telaah untuk mencari persamaan dan perbedaan antara pasal 76 KHES
dan pendapat tokoh agama tentang jual beli anak sapi dalam kandungan.16
Pandangan tokoh agama : Pendapat dan pertimbangan yang
dimiliki seseorang yang mengetahui ilmu agama dengan standarisasi ketokohan
terhadap lingkungan sekitar.17
15
Jual beli anak sapi dalam kandungan : Pertukaran benda (anak sapi) yang
masih berada di dalam kandungan induknya dengan uang oleh pembeli dan akan
diserahkan setelah 3 bulan dari kelahiran induk sapi oleh penjual.18
H. Metode Penelitian
Agar penelitian berjalan dengan baik dan memperoleh hasil yang dapat
dipertanggungjawabkan maka penelitian ini memerlukan suatu metode tertentu.
Dalam melakukan penelitian ini peneliti menggunakan beberapa metode sebagai
berikut :
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yakni
penelitian yang dilakukan dalam kontek lapangan yang benar-benar terjadi
adanya jual beli anak sapi dalam kandungan induknya.
Selanjutnya untuk dapat memberikan deskripsi yang baik, dibutuhkan
serangkaian langkah yang sistematis. Langkah-langkah tersebut terdiri atas:
data yang dikumpulkan, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik
pengolahan data, teknik analisis data, dan sistematika pembahasan.
2. Data yang dikumpulkan
Berdasarkan rumusan seperti yang telah dikemukakan di atas, maka
data yang akan dikumpulkan adalah sebagai berikut:
16
a. Latar Belakang terjadinya jual beli anak sapi dalam kandungan
induknya.
b. Praktik terjadinya jual beli anak sapi dalam kandungan yang dilakukan
antara Bapak Nur Hasan dengan para pembelinya.
c. Data tentang objek yang akan dikaitkan dengan penjabaran pasal 76
KHES.
d. Data mengenai analisis yang dijabarkan oleh pasal 76 KHES dan hukum
Islam teradap pandangan tokoh agama tentang jual beli anak sapi dalam
kandungan.
3. Sumber Data
Data-data penelitian ini dapat diperoleh dari beberapa sumber data
sebagai berikut:
a. Sumber Primer, adalah sumber data yang diperoleh dari sumber-sumber
asli yang memberikan informasi langsung dalam penelitian. Dan sumber
tersebut diantaranya adalah wawancara dengan:
a) Bapak H. Nur Hasan (selaku penjual)
b) Para Pembeli
b. Sumber Sekunder, informasi yang telah dikumpulkan pihak lain19.
Dalam penelitian ini, merupakan data yang bersumber dari buku-buku;
catatan-catatan; publikasi atau dokumen tentang apa saja yang
berhubungan dengan penelitian, antara lain:
a) Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa adillatuhu,
17
b) Anwar Syamsul, Hukum Perjanjian Syariah
c) Basyir, Ahmad Azhar, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum
Perdata Islam)
d) Sabiq Sayyid, Fiqih Sunnah Jilid 4(terjemah)
e) Syafe’i Rahmat, Fiqih Muamalah
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan data
sebagai berikut:
a. Wawancara (interview)
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan
penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara si
penanya dengan si penjawab dengan menggunakan alat yang dinamakan
interview guide (panduan wawancara).20 Dimana wawancara dilakukan
dengan bertanya langsung kepada pihak-pihak yang terkait baik dari
pihak penjual yakni Bapak H. Nur Hasan dan kaki tangan atau pekerja
yang sangat dipercayai oleh penjual tersebut. Wawancara sebagai alat
pengumpul data dengan jalan Tanya jawab sepihak yang dikerjakan
dengan sistematis dan berlandasaskan pada tujuan penelitian.
Wawancara yang peneliti lakukan, yaitu dengan:
a) Bapak H. Nur Hasan, selaku penjual sapi di Desa Sumber Anyar
tersebut.
b) Salah satu pekerja dari Bapak Nur Hasan.
18
c) Salah satu pembeli yang sering membeli sapi ternak Pak Nur
Hasan tersebut.
b. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan suatu pelengkap dalam pengumpulan data
yang mana penulis menggunakan data dari sumber-sumber yang
memberikan informasi terkait dengan permasalahan yang dikaji. Seperti
para pihak yang bertransaksi di Desa Sumber Anyar Tersebut.
5. Teknik Pengolahan Data
Data-data yang diperoleh dari hasil penggalian terhadap sumber-sumber
data akan diolah melalui tahapan-tahapan berikut:
a. Editing
Yaitu memeriksa kembali lengkap atau tidaknya data-data yang
diperoleh dan memperbaiki bila terdapat data yang kurang jelas atau
meragukan.21 Teknik ini betul-betul menuntut kejujuran intelektual
(intelectual honestly) dari penulis agar nantinya hasil data konsisten
dengan rencana penelitian.
b. Organizing
Yaitu mengatur dan menyusun data sumber dokumentasi
sedemikian rupa sehingga dapat memperoleh gambaran yang sesuai
dengan rumusan masalah, serta mengelompokkan data yang diperoleh.
Dengan teknik ini diharapkan penulis dapat memperoleh gambaran
19
secara jelas tentang praktik jual beli anak sapi dalam kandungan oleh
pembeli.
c. Analyzing
Yaitu dengan memberikan analisis lanjutan terhadap hasil editing
dan organizing data yang telah diperoleh dari sumber-sumber
penelitian, dengan menggunakan teori dan dalil-dalil lainnya,
sehingga diperoleh kesimpulan.
6. Teknik Analisis Data
Dalam pembahasan skripsi ini, data yang digunakan dalam penelitian
ini menggunakan analisis diskriptif komparatif, yaitu memaparkan isi dari
pasal 76 KHES dan pendapat tokoh agama di Desa Sumber Anyar tersebut
tentang jual beli anak sapi dalam kandungan induknya melalui cara dengan
mencari perbedaan dan persamaannya untuk dijadikan suatu perbandingan.
Hasil dari penggumpulan data tersebut akan dibahas dan kemudian
dilakukan analisis secara kualitatif, yaitu penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
perilaku yang dapat diamanati dengan metode yang telah ditentukan.
a. Analisis Deskriptif, yaitu dengan cara menuturkan dan menguraikan
serta menjelaskan data yang terkumpul. Tujuan metode ini adalah
untuk membuat deskripsi atau gambaran mengenai objek penelitian
secara sistematis, aktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat
serta hubungan antar fenomena yang telah diselidiki.22 Metode ini
20
digunakan untuk memberikan penjelasan lebih jelas lagi mengenai
praktek jual beli anak sapi dalam kandungandi Desa Sumber Anyar.
b. Pola Pikir Deduktif, Dalam penelitian ini penulis menggunakan pola
pikir induktif yang berarti pola pikir yang berpijak pada fakta-fakta
yang bersifat khusus kemudian diteliti dan akhirnya dikemukakan
pemecahan persoalan yang bersifat umum. Pola pikir ini digunakan
untuk mengemukakan fakta-fakta dari hasil penelitian yang kemudian
di analisis secara umum menurut hukum Islam.
I. Sistematika Pembahasan
Dalam penyusunan skripsi ini terbagi dalam beberapa bab yang
masing-masing bab terdapat sub bab, rangkaian bab ini disusun dengan sistematika
pembahasan sebagai berikut:
Bab pertama : Terdiri dari Terdiri dari pendahuluan, yang meliputi: Latar
belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian
pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, metode penelitian, definisi
operasional, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua : Merupakan landasan teori yang membahas tentang pengertian
jual beli, landasan hukum jual beli, syarat dan rukun jual beli, objek jual beli
didalam pasal 76 KHES, akad dalam jual beli, akad salam, dan ‘urf.
Bab ketiga : Berisikan tentang penyajian empiris yang berhasil dihimpun
21
dari pemilik bisnis jual beli anak sapi dalam kandungan, praktik jual beli anak
sapi dalam kandungan, proses pelaksanaan akad yang terjalin antara penjual dan
pembeli anak sapi dalam kandungan, pandangan tokoh agama tentang jual beli
anak sapi dalam kandungan di Desa Sumber Anyar Kecamatan Maesan
Kabupaten Bondowoso.
Bab keempat : Berisikan tentang analisis antara pasal 76 KHES dan Hukum
Islam terhadap praktik jual beli anak sapi dalam kandungan dan pandangan tokoh
agama tentang jual beli anak sapi dalam kandungan di Desa Sumber Anyar
Kecamatan Maesan Kabupaten Bondowoso.
BAB kelima : Merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
Kesimpulan merupakan jawaban yang menyeluruh dari pembahasan pada
bab-bab sebelumnya yang disesuaikan dengan rumusan masalah yang ada, dan
saran-saran yaitu membuat nasehat atau rekomodasi hukum diberikan kepada penulis
22
BAB II
AKAD DALAM JUAL BELI
A. Pengertian Jual Beli
Menurut terminologi fikih, jual beli diartikan dengan al-bai’ yang berarti
menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lainnya. Secara
makna etimologi jual beli merupakan masdar dari kata
عاب
yang bermaknamemiliki dan membeli. Sedangkan jual beli secara istilah syara’ adalah suatu
perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara ridha
diantara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain
menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan
syara’ dan disepakati.
Didalam fikih muamalah jual beli diartikan sebagai
ئْيَشلا ُةَلَ باَقُم
(Pertukaransesuatu dengan sesuatu yang lainnya).1 Sedangkan menurut Hanafiah pengertian
jual beli (al-bai’) yaitu tukar menukar harta benda atau sesuatu yang diinginkan
dengan sesuatu yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.2 Sedangkan
menurut Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, bahwa jual beli (al-bai’) yaitu
tukar menukar harta dengan harta pula dalam bentuk pemindahan milik dan
kepemilikan.3 Dan menurut Pasal 20 ayat 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah,
1 Rachmat Syafei, Fiqih muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 73.
2
23
bai’ merupakan jual beli antara benda dengan benda, atau pertukaran antara
benda dengan uang.4
Berdasarkan dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa jual beli
merupakan suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang dengan barang,
uang dengan barang yang mempunyai nilai dengan pemindahan kepemilikan
benda tersebut yang dilakukan secara sukarela diantara kedua belah pihak dan
sesuai dengan aturan hukum di dalam Islam.5 Kata Benda di atas dapat
mencakup pengertian barang dan uang, Sedangkan sifat benda tersebut harus
dapat dinilai yakni benda-benda yang berharga dan dapat dibenarkan
penggunaannya menuruit syara’. Baik benda tersebut bergerak (dipindahkan),
tetap (tidak dapat dipindahkan), dapat dibagi-bagi, tidak dapat dibagi-bagi, dan
lain sebagainya. Penggunaan harta tersebut diperbolehkan sepanjang tidak
dilarang oleh syara’.
B. Landasan Hukum Jual Beli
Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia
mempunyai landasan yang kuat, baik landasan tersebut bersumber dari dalil naqli
(Al-quran dan hadis) maupun dalil aqli.
1. Al-quran, diantaranya;
Terdapat beberapa jumlah ayat Al-quran yang berbicara mengenai
jual beli, di antaranya adalah surat al-Baqarah ayat 275:
4 Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIMM), Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah (Jakarta: Kencana, 2009), 15.
24
Artinya‚Orang-orang yang Makan mengambil riba tidak dapat berdiri melainkan sepertiberdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila.Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal didalamnya.‛6.
Firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 29:
Artinya: ‚Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan suka sama suka diantara kamu, dan janganlah kamu membunuh
dirimu karena sesungguhya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.‛7
Di dalam surat al-Baqarah juga disebutkan:
25
Artinya: ‚Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain dengan jalan berbuat dosa,
padahal kamu mengetahui.‛ (al-Baqarah 2: 188)8
2. As-sunnah
Hal ini sebagaimana yang pernah disabdakan oleh Rosulullah saw;
.ِرَرَغْلا ِعْيَ ب ْنَعَو ِةاَصَحْا ِعْيَ ب ْنَع َملسو يلع ُها ىلص ِّللا ُلوُسر َىه
Artinya: ‚Rasulullah saw melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar.‛9
Maksudnya dalam hadis di atas adalah Rasul melarang melakukan jual beli
al-hashah dan jual beli gharar yang mengandung unsur ketidakjelasan dan
penipuan, serta dapat merugikan orang lain.
) جام نباو ىقهيبلا اور( ٍضاَرَ ت ْنَع ُعْيَ بْلا اَََِإَو
Artinya: ‚Jual beli harus dipastikan harus saling meridai.‛ (HR. Baihaqi dan Ibnu
Majah).
3. Ijma’
Ulama’ telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan
bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya tanpa
bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain
8 Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, 16.
26
yang sudah dibutuhkannya itu harus diganti dengan barang lainnya yang
sesuai.
C. Rukun dan Syarat Jual Beli
Dalam pembahasan jual beli, ada beberapa syarat dan rukun yang harus
dipenuhi. Para Ulama berbeda pendapat dalam menentukan rukun dan syarat jual
beli. Menurut ulama Hanafiyah rukun jual beli ialah ijab (ungkapan membeli dari
pembeli) dan qabul (ungkapan menjual dari penjual) yang menunjukkan
pertukaran barang secara ridha, baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan.
Adapun rukun jual beli menurut jumhur Ulama ada empat yaitu :10
1. Orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli)
2. Shighat (ijab dan qabul)
3. Ma’qud alaih (Benda atau barang)
4. Ada nilai tukar pengganti barang.
Adapun syarat dari jual beli yang sesuai dengan rukun jual beli yang
dikemukakan oleh jumhur Ulama di atas adalah sebagai berikut :
1. Orang yang berakad (penjual dan pembeli)
Para Ulama fikih sepakat menyatakan bahwa orang yang melakukan
akad jual beli harus memenuhi syarat:
27
a. Berakal
Orang yang berakad haruslah berakal, artinya jika dia gila atau
bodoh maka tidak sah jual belinya.11 Orang berakal dapat membedakan
atau memilih mana yang terbaik bagi dirinya dan orang lain. Apabila
salah satu pihak tidak berakal maka jual beli yang diadakan tidak sah.
Jika jual beli yang dilakukan anak kecil yang belum berakal hukumnya
tidak sah.
b. Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda. Dalam artian
bahwa, seseorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan
sebagai penjual, sekaligus pembeli. Demikian tersebut tidak
diperbolehkan oleh para Ulama.
c. Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa)
Maksudnya, dalam jual beli tidak terdapat unsur paksa yang dapat
merugikan, baik bagi si penjual maupun pembeli. Sehingga pihak yang
lain tersebut melakukan perbuatan jual beli bukan lagi disebabkan
kemauannya sendiri, tapi disebabkan adanya unsur paksaan. Jual beli
yang dilakukan bukan atas dasar ‚kehendaknya sendiri‛ adalah tidak
sah untuk dilakukan.
Adapun yang menjadi dasar acuan suatu jual beli harus atas
kehendak sendiri dapat dilihat dalam ketentuan Al-quran surat an-Nisa’
ayat 29 yang artinya : ‚Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
28
dengan jalan perniagaan (jual beli) yang berlaku dengan suka sama suka
diantara kamu.‛12 Perkataan ‚suka sama suka‛ dalam ayat tersebut
menjadi dasar bahwa jual beli haruslah merupakan ‚kehendak bebas
atau kehendak sendiri‛ yang bebas dari unsur tekanan atau paksaan dan
tipu daya.
d. Baligh atau dewasa
Anak kecil tidak sah melakukan jual beli. Dikatakan dewasa
dalam hukum Islam ialah apabila telah berumur 15 tahun, atau telah
bermimpi (bagi anak laki-laki) dan haid (bagi anak perempuan).
2. Syarat Benda atau Barang yang Menjadi Obyek Akad
Objek jual beli di sini dapat diartikan sebagai benda yang menjadi
sebab terjadinya perjanjian jual beli. Adapun syarat-syaratnya adalah :
a. Suci
Barang najis tidak sah dijual dan tidak boleh dijadikan uang untuk
dibelikan seperti kulit binatang atau bangkai yang belum disamak. Suci
adalah syarat yang harus ada pada benda tersebut untuk melakukan
transaksi. Mazhab Hanafi dan Mazhab Zhahiri mengecualikan barang
yang ada manfaatnya, hal itu dinilai halal untuk dijual. Untuk itu
mereka mengatakan: ‚Diperbolehkan seseorang menjual
kotoran-kotoran atau tinja dan sampah-sampah yang mengandung najis, karena
sangat dibutuhkan untuk keperluan perkebunan. Barang-barang tersebut
29
dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar perapian dan juga dapat
digunakan sebagai pupuk tanaman.‛
b. Ada manfaatnya
Tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Dilarang
pula mengambil tukarannya karena hal itu termasuk dalam arti
menyia-nyiakan (memboroskan) harta yang terlarang dalam Al-quran,
sebagaimana di dalam surat al-Isra’ ayat 2713 yang berbunyi;
‚Sesungguhnya pemboros-pemboros itu saudara setan,‛. Jual beli
seperti serangga, ular, dan tikus tidak diperbolehkan kecuali untuk
dimanfaatkan. Juga, boleh menjualbelikan kucing, lebah, singa, dan
binatang lainnya yang berguna untuk berburu atau dimanfaatkan
kulitnya. Demikian pula memperjual belikan gajah untuk mengangkut
barang, burung merak, burung beo yang bentuknya indah sekalipun
tidak untuk dimakan tetapi dengan tujuan menikmati suara dan
bentuknya.
c. Barang itu dapat diserahkan
Tidak sah menjual suatu barang yang tidak dapat diserahkan
kepada yang membeli, misalnya ikan di dalam laut, barang rampasan
yang masih ada ditangan yang merampasnya, barang yang sedang
dijaminkan, sebab semua itu mengandung tipu daya atau gharar.
Sebagaimana Hadist Nabi yang menegaskan bahwa menjual sesuatu
yang belum dimiliki atau belum diserahterimakan (dimiliki secara sah)
30
itu tidak bolehkan oleh syariah. Oleh karena itu, para ahli fikih sudah
menjelaskan abhwa bai’ al-ma’dum (menjual barang yang tidak ada) itu
termasuk bai’ al-gharar (jual beli tidak jelas).14
ُ َىه
ييَلا
َملسو يلع ُها ىلص ِّللا
َمَلَسَو
ْنَع
ِعْيَ ب
ْضِبْقَ ي ََْاَم
Artinya: ‚Rasulullah saw melarang menjual sesuatu yang belum diserahterimakan.‛
d. Milik sendiri
Objek dari jual beli haruslah milik sendiri. Tidak dapat dikatakan
jual beli yang sah apabila barang tersebut miik orang lain. Jikalau jual
beli berlangsung sebelum ada izin dari pemilik barang, maka jual beli
seperti itu dinamakan bai’ fudu>l.15
e. Diketahui
Jika barang dan harga tidak diketahui atau salah satu keduanya
tidak diketahui maka jual beli tersebut tidak sah karena mengandung
unsur penipuan. Di dalam Al-quran surat al-Baqarah ayat 282 yang
berbunyi: …
14 Ibid, 93.
31
Artinya: ‚Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya.‛16(Qs. Al-Baqarah: 282)
Kata
ِلْدَعْلاِب
di atas menjabarkan akan keadilan dari transaksi dalambermuamalah, baik dari pihak penjual maupun pembeli dalam
melakukan jual beli haruslah adil. Artinya penjual menjualkan barang
daganganya harus diketahui terlebih dahulu oleh pembelinya. Jika objek
daripada jual beli tersebut tidak diketahui oleh pembelinya, maka jual
beli itu tidak sah untuk dilakukan karena mengandung unsur gharar.
f. Barang yang diakadkan ada di tangan
Adapun menjual barang sebelum di tangan maka tidak boleh.
Karena dapat terjadi barang itu sudah rusak pada waktu masih berada
ditangan penjual, sehingga menjadi jual beli gharar , dan jual beli gharar
tidak sah hukumnya baik itu bentuk gharar iqar (yang tidak bergerak)
atau yang dapat dipindahkan, baik itu yang dapat dihitung kadarnya
atau jazaf.17
Sedangkan di dalam pasal 76 KHES (Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah), disebutkan bahwasanya objek dari jual beli haruslah memenuhi
beberapa hal di bawah ini, diantaranya:
32
a. Barang yang diperjualbelikan harus sudah ada
Salah satu objek dari jual beli di dalam pasal 76 KHES ialah barang
yang diperjualbelikan harus ada atau nampak. Sama halnya dengan
beberapa syarat benda atau barang yang menjadi obyek akad, salah
satunya adalah harus diketahui dan berada ditangan. Artinya, barang
yang akan dijualkan kepada pembeli haruslah diketahui oleh pihak
pembeli itu sendiri. Karena dapat terjadi barang itu sudah rusak pada
waktu masih berada di dalam kandungan sehingga menjadi jual beli
gharar, dan jual beli gharar tidak sah hukumnya.18
b. Barang yang diperjualbelikan harus dapat diserahkan
Salah satu objek dari jual beli di dalam pasal 76 KHES pada poin b
ini ialah barang yang diperjualbelikan harus dapat diserahkan. Tidak sah
menjual suatu barang yang tidak dapat diserahkan kepada yang
membeli, sebab semua itu mengandung tipu daya atau gharar.
c. Barang yang diperjualbelikan harus diketahui oleh pembeli19
Didalam melakukan transaksi jual beli telah dijelaskan dalam
ketentuan KHES pada pasal 76 poin e, yakni barang yang
diperjualbelikan harus diketahui oleh pembelinya.20 Jika barang tidak
diketahui maka jual beli tersebut tidak sah karena mengandung unsur
penipuan atau unsur gharar.
18 Adiwarman Karim, Riba,Gharar dan Kaidah-Kaidah Ekonomi Syariah Analisis Fikih dan
Ekonomi (Jakarta: Rajawali Pres, 2015), 88.
19
Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIMM), Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, 34.
20 Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIMM), Kompilasi Hukum
33
Mengenai syarat mengetahui barang yang dijual, cukup dengan
penyaksian barang sekalipun tidak diketahui (jazaf). Untuk barang
zimah (barang yang dihitung, ditakar, dan ditimbang) maka kadar
kuantitas dan sifat-sifatnya harus diketahui oleh kedua belah pihak yang
melakukan akad
d. Barang yang dijual harus ditentukan secara pasti pada waktu akad21
Salah satu objek dari jual beli yang telah ditentukan dalam pasal 76
KHES poin i ialah, barang yang dijual harus ditentukan secara pasti
pada waktu akad. Adapun menjual barang setelah akad terjadi, dan
barang tersebut belum ditangan maka tidak boleh. Karena dapat terjadi
barang itu rusak pada waktu masih berada ditangan penjual, sehingga
dapat menjadi jual beli gharar dan jual beli gharar tidak sah hukumnya,
baik itu bentuk gharar iqrar (yang tidak bergerak) ataupun yang dapat
dipindahkan (jazaf)
3. Syarat ijāb dan qabu>l
Para Ulama fikih sepakat bahwa unsur utama dari jual beli yaitu
kerelaan dari kedua belah pihak. Kerelaan dari kedua belah pihak dapat
dilihat dari ija>b dan qabu>l yang dilangsungkan. Menurut mereka, ija>b dan
qabu>l perlu diungkapkan secara jelas dalam transaksi-transaksi yang
bersifat mengikat kedua belah pihak, seperti akad jual beli, sewa-menyewa,
dan nikah. Terhadap transaksi yang sifatnya mengikat salah satu pihak,
seperti wasiat, hibah dan wakaf, tidak perlu qabu>l karena akad seperti ini
21
34
cukup dengan ija>b saja. Bahkan menurut Ibn Taimiyah (Ulama fikih
Hanbali) dan Ulama lainnya ija>b pun tidak diperlukan dalam masalah
wakaf.
Apabila ija>b dan qabu>l telah diucapkan dalam akad jual beli maka
pemilikan barang atau uang telah berpindah tangan dari pemilik semula.
Barang yang dibeli berpindah tangan menjadi milik pembeli, dan nilai/
uang berpindah tangan menjadi milik penjual. Para Ulama fikih
mengemukakan bahwa syarat ija>b dan qabu>l itu adalah sebagai berikut:
a. Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal.
b. Qabu>l sesuai dengan ija>b.
c. Ija>b dan qabu>l itu dilakukan dalam satu majelis atau satu tempat.22
d. Ija>b dan qabu>l dinyatakan di satu tempat. Konkritnya, kedua pelaku
transaksi hadir bersama di tempat atau transaksi dilangsungkan di satu
tempat dimana pihak yang absen mengetahui terjadinya pernyataan
ija>b.
4. Mempunyai nilai tukar, Termasuk unsur penting dalam jual beli adalah
nilai tukar dari barang yang dijual (untuk zaman sekarang adalah uang).
D. Akad dalam Jual Beli
1. Pengertian Akad
Akad
(
ُدْقَعلا
)
adalah ikatan, perjanjian, dan pemufakatan. Pertalian ija>b(pernyataan melakukan ikatan) dan qabu>l (pernyataan menerima ikatan)
35
sesuai dengan kehendak syari’at yang berpengaruh pada objek perikatan.
Menurut istilah, akad adalah suatu ikatan antara ija>b dan qabu>l dengan cara
yang dibenarkan syara’ yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada
objeknya.23 Ija>b adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan
yang diinginkan, sedangkan qabu>l adalah pernyataan pihak kedua untuk
menerimanya. Ija>b dan qabu>l itu diadakan dengan maksud untuk
menunjukkan adanya sukarela timbal balik terhadap perikatan yang
dilakukan oleh dua pihak yang bersangkutan. Dari pengertian tersebut,
akad terjadi antara dua pihak dengan sukarela dan menimbulkan kewajiban
atas masing-masing secara timbal balik.
Unsur-unsur akad adalah sesuatu yang merupakan pembentukan adanya
akad termasuk sighat akad. Yang dimaksud dengan sighat akad adalah
dengan cara bagaimana ija>b dan qabu>l yang merupakan rukun-rukun akad
dinyatakan. Sighat akad dapat dilakukan dengan cara :
a. Sighat akad secara lisan
Adalah cara alami untuk menyatakan keinginan bagi seseorang
adalah kata-kata. Maka akad dipandang telah terjadi apabila ija>b dan
qabu>l dinyatakan secara lisan oleh pihak-pihak bersangkutan. Bahasa
apapun yang digunakan asal dapat dipahami oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.
36
b. Sighat akad dengan tulisan
adalah cara kedua setelah lisan untuk menyatakan sesuatu
keinginan. Maka jika kedua pihak yang akan melakukan akad tidak ada
disatu tempat, akad tersebut dapat dilakukan melalui yang dibawa
seseorang utusan atau melalui perantara.
c. Sighat akad dengan isyarat
Adalah apabila seseorang tidak mungkin menyatakan ija>b dan qabu>l
dengan perkataan karena bisu, akad tersebut dapat terjadi dengan
memakai isyarat. Namun dengan isyarat Ia pun tidak dapat menulis
sebab keinginan seseorang yang dinyatakan dengan tulisan lebih dapat
meyakinkan daripada yang dinyatakan dengan isyarat.
d. Sighat dengan perbuatan
cara ini adalah cara lain selain cara lisan, tulisan, dan isyarat.
Misalnya seorang pembeli menyerahkan sejumlah uang tertentu,
kemudian penjual menyerahkan barang yang dibelinya. Cara ini disebut
jual beli dengan saling menyerahkan harga dan barang (jual beli dengan
mu’atah). Yang penting dengan cara mu’atah ini untuk dapat
menumbuhkan akad itu yang jangan sampai terjadi semacam tipuan,
kecohan, dan lain sebagainya. Segala sesuatu harus dapat diketahui
dengan jelas.
2. Rukun dan syarat akad
Rukun-rukun akad ialah sebagai berikut:24
37
a. A>qid (orang yang berakad)
b. Ma’qud alaih (benda-benda yang diakadkan)
c. Maudu’ al aqd (tujuan atau maksud pokok mengadakan akad)
d. Sighat al aqd ialah ija>b dan qabu>l.25
3. Macam-macam Akad
Menurut Ulama fikih akad dapat dibagi dari berbagai segi. Apabila
dilihat dari segi keabsahannya menurut syara’, maka akad dibagi dua
macam, yakni:
a. Akad sahih
Yang dinamakan dengan akad yang sahih yaitu akad yang telah
memenuhi syarat dan rukun. Dengan demikian segala akibat hukum
yang ditimnbulkan oleh akad itu berlaku kepada kedua belah pihak.
b. Akad yang tidak sahih
Tidak akan sahih akad tersebut jika terdapat kekurangan pada rukun
atau pada syaratnya, sehingga akibat hukum tidak berlaku bagi kedua
belah pihak yang melakukan akad itu.
E. Akad Salam
Di dalam akad jual beli terdapat suatu akad salam atau pesanan untuk lebih
mempermudah melakukan transaksi dalam bermu’ama<lah.
1. Pengertian Salam
Bai’ as-salam atau disingkat salam secara bahasa berarti pesanan atau
jual beli dengan melakukan pesanan terlebih dahulu. Salam ialah pembeli
38
memesan barang dengan memberitahukan sifat-sifat serta kualitasnya
kepada penjual dan setelah ada kesepakatan. Dengan kata lain pembelian
barang dengan membayar uang terlebih dahulu dan barang yang dibeli
diserahkan dikemudian hari, artinya penyetoran harga baik lunas maupun
sebagian harga pembelian sebagai bukti kepercayaan sehubungan dengan
transaksi yang telah dilakukan.
2. Rukun dan Syarat Salam
Pelaksanaan bai’ as-salam harus memenuhi jumlah rukun di bawah ini:
a. Muslam (pembeli)
b. Muslam alaih (penjual)
c. Modal atau uang
d. Muslam fiihi (barang)
e. Shigat (ucapan)
Disamping itu, kesepakatan melakukan transaksi jual beli dapat juga
disebut dengan khiya>r.26 Khiya>r artinya boleh memilih antara dua, meneruskan
akad jual beli atau mengurungkan (menarik kembali, tidak jadi jual beli).
Diadakan khiya>r oleh syara’ agar kedua orang yang berjual beli dapat
memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi
penyesalan di kemudian hari lantaran merasa tertipu. Khiya>r ada 3 macam,
yaitu:27
26 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, 286.
39
a. Khiya>r majelis, artinya si pembeli dan si penjual boleh memilih antara dua
perkara tadi selama keduanya masih tetap berada ditempat jual beli
b. Khiya>r syarat, artinya khiya>r itu dijadikan syarat sewaktu akad oleh
keduanya atau oleh salah seorang, seperti kata si penjual, ‚Saya jual barang
ini dengan harga sekian dengan syarat khiya>r dalam tiga hari atau kurang
dari tida hari.‛
c. Khiya>r ‘aibi, artinya si pembeli boleh mengembalikan barang yang
dibelinya apabila pada barang itu terdapat suatu cacat yang mengurangi
kualitas barang itu, atau mengurangi harganya, sedangkan biasanya barang
yang seperti itu baik, dan sewaktu akad cacatnya itu sudah ada tetapi si
pembeli tidak tahu atau terjadi sesudah akad, yaitu sebelum diterimanya.
Keterangannya adalah ijma (sepakat ulama mujtahid).
F. Al-‘urf/ Al-‘A<dah
1. Pengertian al-‘urf
Dari segi kebahasaan (etimologi) al-‘urf berarti kenal, dengan kata ‘urf
yakni (kebiasaan yang baik). Adapun dari segi terminologi, kata ‘urf
mengandung makna sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka
mengikutinya dalam bentuk setiap perbuatan yang popular di antara
mereka. Kata ‘urf dalam pengertian etimologi sama dengan istilah al-‘a<dah
40
ْنِم ِسْوُفي لا ِِ َرَقَ تْسِا اَم
. ِلْوُ بَقْلاِب ُةَمْيِلَسلا ُعاَبَطلا ُْتَقَلَ تَو ِلْوُقُعلْا ِةَهِج
28
Artinya: ‚sesuatu yang telah mantab di dalam jiwa dari segi dapatnya diterima oleh akal yang sehat dan watak yang benar.‛
kata al-‘a<dah itu sendiri, disebut demikian karena ia dilakukan secara
berulang-ulang. Sehingga menjadi kebiasaan masyarakat.
2. Kedudukan al-‘urf sebagai dalil syara’
Pada dasarnya semua ulama menyepakati kedudukan al-‘urf al-sahi<h
sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi diantara mereka terdapat
perbedaan pendapat dari segi intensitas penggunaan sebagai dalil. Dalam
dalil-dalil kehujjahan ‘urf , para ulama terutama ulama Hanafiyah dan
Malikiyah merumuskan kaidah hukum yang berkaitan dengan al-‘urf antara
lain, berbunyi:
ةَمَكَُُ ُةَداَعْلَا
.
29
Adat kebiasaan dapat menjadi kebiasaan hukum.
41
BAB III
KEGIATAN PRAKTIK JUAL BELI ANAK SAPI DALAM
KANDUNGAN DAN PANDANGAN TOKOH AGAMA DI DESA
SUMBER ANYAR KECAMATAN MAESAN KABUPATEN
BONDOWOSO
A. Gambaran Umum Jual Beli Anak Sapi dalam Kandungan di Desa Sumber Anyar
Kecamatan Maesan Kabupaten Bondowoso
1. Lokasi Jual Beli Anak Sapi dalam Kandungan
Praktik kegiatan jual beli ini berada pada lokasi agak strategis karena
terletak di dekat kantor kecamatan Maesan yang tepatnya di Jalan Raya
Maesan Bondowoso. Jarak dari kecamatan Maesan ke lokasi jual beli tersebut
sekitar 2 km. jika dilihat dari ekonomisnya tempat praktik jual beli anak sapi
dalam kandungan tersebut agak mudah dijangkau karena letaknya juga agak
strategis karena berdekatan dengan jalan raya menuju arah kota Bondowoso
dan Kota Jember, dan berdekatan pula dengan kantor kecamatan Maesan.
2. Produk yang diperjualbelikan
Produk atau objek yang menjadi jual beli disini adalah anak sapi. Tetapi
anak sapi biasanya dengan anak sapi limosin sangat berbeda, baik dari berat
yang membedakan keduanya, jenisnya, pemeliharannnya, cara memberi
makannya, dan harga jika dijual. Pada umumnya sapi limosin lebih dikenali
masyarakat sebagai sapi yang lebih kuat dan lebih berat daripada sapi
biasanya. Sapi biasa jarang ditemukan dengan berat mencapai satu ton, tapi
42
B. Praktik Jual Beli Anak Sapi dalam Kandungan di Desa Sumber Anyar
Kecamatan Maesan Kabupaten Bondowoso
1. Latar Belakang Jual Beli Anak Sapi dalam Kandungan di Desa Sumber
Anyar Kecamatan Maesan Kabupaten Bondowoso
Desa Sumber Anyar merupakan desa yang sebagian besar penduduknya
bermata pencaharian sebagai seorang petani karena sesuai dengan kondisi
wilayah desa Sumber Anyar yang sebagian besar terdiri dari wilayah
persawahan. Dalam mengelola sawah, para petani di desa Sumber Anyar
masih menggunakan peralatan tradisional yang dibantu oleh tenaga
manusia dan tenaga binatang yaitu sapi, dan untuk lebih membuat hasil
lahan tanah bagus biasanya para petani akan memanfaatkan tenaga sapi
limosin dikarenakan lebih kuat dan lebih besar sapi limosin dibandingkan
dengan sapi ternak biasanya. Masyarakat desa Sumber Anyar juga gemar
memarakkan bulan lomba terbesar ketika 17 agustus tiba, mereka akan
memperlombakan sapi peliharaannya dengan keahlian sapi-sapi yang