• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membangun Usaha Pasca Konflik T2 092010007 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membangun Usaha Pasca Konflik T2 092010007 BAB II"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

B ab D ua

Pemenuhan Kebutuhan Hidup, Kew irausahaan, Human

Capital

, Akses Terhadap Modal Dan Socia l Capital

Kajian konseptual terhadap pedagang kecil yang akan dilakukan dalam bagian ini, difokuskan pada pemeriksaan ilmiah terhadap konsep-konsep seperti rumah tangga dan pemenuhan kebutuhan hidup, kewirausahaan, human capital, akses terhadap modal dan konsep sosial capital.

Biasanya pedagang kecil, selalu saja dikaitkan atau keterkaitan dengan persoalan klasik domestik rumah tangga atau individu yaitu pemenuhan kebutuhan hidup. Tema seperti ini, erat terkait dengan persoalan kerentanan dan kemiskinan, baik karena faktor alam yang tidak produktif, persoalan sosial seperti konflik agama atau politik. Persoalan-persoalan yang disebutkan terakhir, terkadang menyebabkan hilangnya pekerjaan yang berdampak langsung pada pendapatan dan terus mendegradasi kebutuhan lainya, seperti konsumsi rumah tangga, pendidikan maupun kesehatan.

M embangun usaha dalam kondisi sosial dan politik yang tidak stabil, bukanlah perkara mudah. M enjadi pedagang walau kecil usahanya, pelibatan potensi-potensi sumber daya, tetap diperlukan. Seperti pengetahuan dan pengalaman (human capital) sebagai potensi diri yang dibentuk baik dari proses pendidikan formal - informal atau yang dihasilkan dari pengalaman kerja.

Begitu sebaliknya dengan kemampuan akses terhadap modal usaha. Tidak dapat dilepas pisahkan dari kemampuan menggunakan human capital, dan membentuk kapital sosial (social capital) untuk menghasilkan kapital-kapital lain, seperti kapital finansial sebagai salah satu tujuan berusaha.

(2)

10

menerima keuntungan. Tidaklah keliru jika wirausaha replikatif atau peniru1 seperti pedagang kecil (small traders), dikatakan

sebagai entrepreneur.

M eskipun tidak terdapat inovasi teknologi, atau menghasilkan prodak baru. Tetapi pedagang kecil (small traders) juga melakukan inovasi pada strategi berusaha, selain inisiatif, optimis, dan kesediaan menanggung kerugian maupun keuntungan sebagai sikap dan ciri universal seorang entrepreneur.

Dalam upaya untuk memahami dinamika pedagang kecil (small traders) yang kompleks itulah, kajian literatur ini hendak ditempatkan.

Pemenuhan Kebutuhan H idup

livelihood (mata pencaharian) merupakan konsep yang selalu mengakar pada persoalan kemiskinan. Sedangkan penyebab kemiskinan itu sendiri tidak tunggal, tetapi beragam, dan saling kait. Seperti pekerjaan-pendapatan, pendidikan, kesehatan, politik maupun sebab-sebab sosial lainya.

Untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup baik pribadi maupun rumah tangga, tidak lepas dari kemampuan ekonomi rumah tangga. Berbicara ekonomi rumah tangga erat kaitannya dengan pendapatan (uang dan barang), sebagai instrumen untuk menghidupi rumah tangga melalui keterpenuhinya kebutuhan.

Jika ekonomi rumah tangga baik, hal itu akan berdampak terpenuhinya kebutuhan dasar. Sebaliknya jika kebutuhan dasar tidak terpenuhi, pada titik inilah kemiskinan merupakan antiklimaks dari hal yang disebutkan pertama.

Lihat saja konsep kemiskinan yang dirumuskan BPS (Badan Pusat Statistik) Indonesia berikut ini :

“Standar yang dipakai Badan Pusat Stastiki (BPS) di Indonesia, untuk mengukur kemiskinan adalah

1

(3)

11 menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan

dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi Penduduk M iskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan. Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan M akanan (GKM ) dan Garis Kemiskinan Non M akanan (GKNM ). Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin. Garis Kemiskinan M akanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll). Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan.” Sumber : http://www.bps.go.id. Dikunjungi, 18 Maret 2014

Rumusan konsep kemiskinan yang dibuat BPS (Badan Pusat Statistik) pada intinya menunjuk pada ketidakmampuan ekonomi. Yakni berkaitan dengan basic needs approach (kemampuan memenuhi kebutuhan dasar) sehingga instrument dasarnya didasarkan pada standar Garis Kemiskinan M akanan (GKM ) dan Garis Kemiskinan Non M akanan (GKNM ) hanya sebagai akibat kemiskinan2.

Kalau ketidak mampuan ekonomi menjadi sebab kemiskinan, dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada titik inilah terlihat hubungan kemiskinan dengan pendapatan (uang dan barang)3 tidak

hanya sebagai sarana pemenuhan kebutuhan tetapi juga sebagai indikator kemiskinan.

Jika BPS menitik beratkan konsep kemiskinan pada kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Lain

2 http://www.bps.go.id. Dikunjungi, 18 Maret 2014.

3 Pandangan Ellis tentang income (pendapatan) melingkupi capital (uang) dan barang

(4)

12

halnya dengan badan-badan penelitian seperti Lembaga Penelitian SM ERU dan TNP2K bekerja sama dengan SEADI dan USAID. Dalam upaya penyusunan Paket informasi dasar- Pengarus Utamaan Penanggulaan Kemiskinan dan Kerentanan (PPKK) mendefinisikan konsep kemiskianan antara lain :

“… merupakan kondisi tidak tercapainya suatu standar kehidupan yang dianggap layak oleh masyarakat.”4

Kerja bersama antar badan-badan ini, untuk menyusun Paket informasi dasar Pengarusutamaan Penanggulangan Kemiskinan dan Kerentatan (PPKK), pertama-tama di dasarkan pada kesadaran bahwa kemiskinan merupakan tragedi kemanusiaan.

Sebagai suatu tragedi, kemiskinan dipandang tidak tunggal penyebabnya. Tidak semata-mata disebabkan karena ketidak mampuan memenuhi kebutuhan dasar, sebagai akibat dari pendapatan yang terbatas, melainkan memiliki sifat multidimensi :

“ketidakmampuan di bidang kesehatan, gizi, dan pendidikan; kerentanan; ketidakberdayaan; ketimpangan; ketersisihan sosial; dan ketidakmampuan bersuara/berpendapat.”5

Dari rumusan konsep ini, individu atau keluarga dikatakan miskin bukan hanya karena keterbatasan ekonomi, melainkan telah mencakup keterbatasan dan ketersisihan sosial.

Rumusan kemiskian dan sebab kemiskian yang beragam dikemukakan oleh para konseptornya, hal itu tidak lepas dari lokus dan fokus mereka terhadap objek yang diamati. Jelas terlihat bahwa konsep BPS menekankan sisi ekonomi (kemampuan konsumsi), sedangkan SEM ERU grup melihat kemiskinan sebagai akibat dari keterbatasan individu atau keluarga yang multidimensi, ekonomi, dan sosial.

4 Menyusun “Paket I nformasi Dasar - Pengarusutamaan Penanggulangan Kemiskinan

Dan Kerentanan”, Kerjasama Lembaga Penelitian SMERU Research Institute, 2013 dengan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), Suport For Ekonomic Analisis Development In Indonesia (SEADI ) Dan USAI D From The American People. Cetak pertama Juni 2013. p.7 . www.semeru.or.id.

5

(5)

13 Chambers (1995) dalam paper-Nya yang berjul “Poverty and Livelihoods : W hose reality counts” mengemukakan bahwa orientasi cara berpikir tentang kemiskinan itu, pada umumnya berkaitan dengan pendapatan dan pekerjaan. Namun lebih lanjut Ia mengatakan bahwa hal itu hanyalah salah satu indikator kemiskinan.

M enurut Chambers (1995), kemiskinan itu sifatnya dinamis, kompleks dan beragam. Selain persoalan ekonomi, dimensi kemiskinan juga menyangkut persoalan kesehatan-kesejahteraan, dan juga mencakup inferioritas sosial, isolasi, kerentana, ketidak berdayaan dan penghinaan.

Apa yang dikemukakan Chambers, memiliki beberapa kesamaan dengan konsep kemiskinan yang dikemukakan SEM ERU grup, dimana kemiskinan merupakan kondisi ketidak berdayaan yang disebabkan oleh berbagai dimensi, kompleks dan dinamis sifatnya.

Dari konsep-konsep kemiskian yang ada, dapat dikatakan bahwa kemiskinan pada intinya merupakan kondisi ketidak mampuan individu atau rumah tangga untuk mencapai duaja kehidupan layak, baik karena keterbatasan ekonomi, dan ketimpangan sosial.

Untuk menghidupi baik individu maupun rumah tangga dibutuhkan nafkah penghidupan (livelihood) sebagai sumber finasial, bagi berbagai kebutuhan.

M enurut Chambers and Conway (1991) Nafkah penghidupan (livelihood) adalah :

“ a livelihood comprises the capabilities, assets (including both material and social resources) and activities required for a means of living.” (Chambers & Conway, 1991)

(6)

14

Seperti Chambers and Conway, substansi konsep livelihhod yang dikemukakan oleh Frank Ellis (1999), sehingga Ia mendefinisikan konsep livelihood sebagai :

“the activities, the assets, and the access that jointly determine the living gained by an individual or household.”

Bagi Ellis (1999), livelihood merupakan aktifitas individu atau rumah tangga untuk mempertahankan hidupnya dengan menggunakan aset dan akses yang dimiliki.

M elalui penelitian terhadap kehidupan petani di perdesaan negara-negara berekembang menunjukan bahwa, bagi banyak keluarga miskin di pedesaan, sektor pertanian sendiri tidak mampu untuk menyediakan sarana yang cukup untuk bertahan hidup Ellis (1999).

Sebagai aktifitas yang melibatkan aset dan akses, livelihood strategy yang umumnya dilakukan petani diperdesaan negara-negara berkembang, seperti di sub Sahara Afrika, Afrikan Selatan maupun Asia Selatan, menunjukan bahwa rumah-rumah tangga di negara-negara tersebut, menunjukan bahwa mereka cenderung melakukan beberapa kegiatan untuk nafkah penghidupan (Ellis,1999). Cara inilah yang disebut livelihood diversification (pengragaman mata pencaharian).

Ellis (1999) secara spesifik mendefinisikan diversification sebagai suatu upaya pengragaman mata pencaharian melalui beragam kegiatan dan dukungan sosial bagi kelangsungan hidup dan untuk meningkatkan taraf hidup rumah tangga.

(7)

15 Individu atau rumah tangga dalam memilih suatu aktifitas sebagai sumber nafkah penghidupan cenderung didasarkan pada kemampuan diri yakni, aset dan akses yang mereka miliki.

Tujuan akhir memiliki mata pencaharian livelihood, tentu berujung pada perolehan pendapatan. Ellis (2000) dalam kaitan ini, menyebutkan ada dua sifat pendapatan yang dihasilkan dari nafkah penghidupan yakni, pendapatan yang bersifat tunai maupun barang, keduanya diperlukan untuk kelangsungan hidup suatu rumah tangga.

Untuk dapat mengatasi kemiskinan dan kerentanan, nafkah penghidupan (livelihood) harus dapat bertahan terhadap guncangan dan krisis yang dihadapi. Oleh karena itu nafkah penghidupan harus dapat dijaga, ditingkatkan, berkelanjutan dan dapat diwariskan pada generasi berikutnya, baik pada tingkat lokal maupun global, baik pada jangka pendek atau jangka panjang (Chamber and Conway, 1991).

Diversifikasi usaha, cenderung juga berbarengan dengan optimalisasi tenaga kerja melalui keterlibatan anggota keluarga, dan penggunaan moda-modal yang ada merupakan cara yang lazim dilakukan orang miskin. Hal ini dapat dilihat sebagai bentuk adaptasi individu atau rumah tangga ketika menghadapi kondisi rentan, demi memenuhi kebutuhan rumah tangga (Start and Johnson, 2004).

Pemenuhan kebutuhan dalam pandangan Carswell berkaitan dengan kemampuan individu untuk mengakumulasi aset yang dimiliki sebagai sarana penghidupan (Bryceson,1999).

Setiap individu maupun rumah tangga tentu tak lepas dari kebutuhan. Sedangankan untuk mewujudkan atau memenuhi kebutuhan membutuhkan sumber nafkah, karena darinya menghasilkan uang atau barang (Ellis,2000).

(8)

16

Kewirausahaan: Pedagang Kecil dan Pasar Tradisional

Pertalian pedagang kecil dan pasar tradisional, merupakan fenomena yang lazim dijumpai. Kesan tidak teratur, ilegal, dan tidak berjalan dalam tatanan hokum formal yang berlaku, menjadikan mereka rentan terhadap isu negatif. Lebih lanjut persepsi kumuh, kotor, dan deretan pelabelan negatif lainya, telah membentuk perspektif orang akan buruknya pasar tradisional dangan pedagang kecil yang tak teratur sebagai komunitas penghuni yang dominan.

Sehingga menimbulkan kesan bahwa tempat yang pantas bagi pedagang kecil untuk berusaha adalah di pasar tradisional. Tempat tersebut “diidentikan” sebagai kubangan pedagang kecil yang informal untuk mengais rezeki, di tempat yang cenderung diejawantahkan sebagai tempat yang kumuh, kotor dan tidak teratur, adalah tempat bagi warga kelas menengah ke bawah menggantungkan hidupnya.

Pandangan J Cross terhadap pelaku usaha di sektor informal seperti terdapat dalam Kayuni dan Tambulasi (2009), membenarkan bahwa aktifitas ekonomi yang terjadi juga melingkupi proses produksi dan perdagangan barang maupun jasa dilangsungkan secara legal layaknya suatu usaha formal. Tetapi pada sisi lain mengabaikan kewajiban baik, legalitas usaha maupun kepatuhan membayar pajak dan ketidakpatuhan penempatan wilayah usaha yang tak tetap dan teratur. Status usaha yang informal dan minus legalitas berusaha, hal itu beresiko terhadap relasi antar aktor dalam berbagai tingkatan hubungan yang dibangun, dimana tidak terdapat jaminan hukum yang mengikat baik antara suplliers dan konsumennya.

Pada kondisi demikian itulah menurut Chukuezi (2010) bahwa adalah wajar jika kehancuran selalu menimpa pelaku usaha informal setiap kali terjadi guncangan, karena sebagian besar usaha mereka tidak memiliki jaminan terhadap setiap shock yang menghancurkan usaha mereka.

(9)

17 banyak orang untuk terjun ke sektor usaha ini, yang seakan-akan menafikan aspek legalitas formal suatu usaha dan untuk menghindari kewajiban pajak usaha.

Kunci keberhasilan pedagang kecil (small traders) dalam menjalankan usaha, sangat ditentukan pada kemampuan untuk memanfaatkan aset yang dimiliki (pengetahuan dan financial), dan relasi yang dimilikinya (Dasgupta, 1992).

Pedagang kecil (small traders) dan pasar tradisional dapat dikatakan merupakan kembar siam dalam aktifitas ekonomi yang tak mungkin dapat dipisahkan. M enurut Nastiti (2003), dalam penelusuran terhadap pasar di Jawa pada masa M ataram kuno abad VIII-IX M asehi, menemukan bahwa kehadiran pasar terkait dengan dua hal utama yakni, sebagai tempat untuk menjual kelebihan hasil panen dan sebagai tempat yang efektif untuk memenuhi kebutuhan lain melalui cara barter atau dibeli. Atau dengan lain kata, pasar merupakan media penyalur dan pemenuhan kebutuhan.

Kehadiran dan kedudukan pasar tradisional oleh Jati (2012) juga memiliki beberapa fungsi antara lain :

“pasar tradisional merupakan instrument vital bagi rakyat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pasar tradisional tidak hanya berfungsi sebagai pranata ekonomi yang fungsi utamanya mendinamisasi transaksi perdagangan pembeli dan penjual. Lebih dari itu, pasar tradisional juga mengembang fungsi sebagai ruang kultural, dimana proses alkulturasi berlangsung antara berbagai ragam mata pecaharian ekonomi berlangsung dalam suatu kesatuan.”

(10)

18

Pertukaran di pasar tradisional tidak mengutamakan keutungan ekonomi ‘economic gains’ semata, melainkan iklim perekonomian yang terbangun dan menguat menjadi ciri dari pasar tradisional seperti, (cooperation) “kerjasama,” dan adanya (trust) “kepercayaan” (Janti, 2012). Dapat dikatakan bahwa perdagangan di pasar tradisional member dua keuntungan yakni, keuntungan ekonomi dan sosial.

Untuk menemukan korelasi antara pedagang kecil (small traders) dengan kewirausahaan berikut ini penting untuk menelusuri konsep-konsep entrepreneurship. Robert D. Hisrich.et.al (2008) mengkonsepkan wirausaha sebagai berikut :

“Kewirausahaan (entrepreneurship) adalah proses penciptaan sesuatu yang baru pada nilai menggunakan waktu dan upaya yang diperlukan, menanggung risiko keuangan, fisik, serta risiko sosial yang mengiringi, menerima imbalan monoter yang dihasilkan, serta kepuasan dan kebebasan pibadi.”

Dari terminologi kewirausahan yang dikemukakan Hisrich, Peters dan Shepherd (2008), secara ringkas merupakan proses penciptaan sesuatu yang baru, pengambilan resiko, tetapi yang juga yang menerima keuntungan.

Jadi dapat dikatakan bahwa Hisrich.et.al (2008) mendasarkan konsep entrepreneurs-Nya pada proses penciptaan suatu produk dan nilai baru maupun nilai tambah, baik bagi konsumen maupun wirausaha itu sendiri. Sedangkan kerugian dan keuntungan merupakan dampak tetapi juga sebagai tujuan dari proses penciptaan yang sepenuhnya disadari wirausaha (entrepreneurs).

Jika Hisrich.et.al, memberi tekakan pada komponen proses penciptaan kebaruan benda, nilai dan manfaat, hal yang tak jauh berbeda juga dilakukan Schumpeter dalam defenisi entrepreneur memberi penekakan pada aspek kreatifitas, seperti terlihat dapa rumusan berikut ini:

(11)

19 by creating new forms of organization, or by exploiting new

raw materials.” Schumpeter (Bygrave, 1994)

Bagi Schumpeter seorang wirausaha adalah orang yang mendobrak sistem ekonomi, melalui kreaktifitasnya dengan menciptakan barang dan jasa, maupun menciptakan bentuk organisasi atau memanfaatkan bahan baku baru. Dari konsep Schumpeter, dapat di katakana bahwa seorang entrepreneur adalah individu yang dinamis, kreatif, dan selalu berinovasi, untuk meciptakan kebaharuan.

Karakteristik yang tersirat dalam konsep wirausaha (entrepreneur) adalah keberanian dan kemampuan organisir, mendaur kembali mekanisme sosial dan ekonomi untuk mengubah sumber daya dan situasi menjadi praktis, serta bersedia menerima kegagalan (Shapero, 1975).

M eskipun tidak menciptakan produk baru dan nilai tambah pada produk tersebut. Inisiatif, keberanian dan kemampuan mengorganisir mekanisme sosial dan ekonomi yang ada, serta keberanian menghadapi resiko, dan menerima keuntungan sebagai imbalannya. Pada tingkatan ini menempatkan pedagang kecil (small traders) sebagai wirausaha (entrepreneus) tetapi dalam pengertian terbatas sebagai wirausaha replikatif atau peniru. Boumol.et.al. (2010).

H uman Capital

M enurut Tom Schuller dalam suatu analisisnya tentang human capital dan kapital sosial (social capital) yang saling melengkapi, Ia merujuk pada definisi konsep yang dikemukakan oleh OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development), yang menunjuk pada pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills) dan kemampuan (competences) yang dimiliki seseorang dan terkait dengan aktifitas ekonomi. Sedangakan ukuran standar pendidikan terletak pada lamanya pendidikan dan tingkat kualifikasinya (Schuller,2001).6

6

(12)

20

Sejalan dengan itu Robert Lawang pun mendefinisikan konsep human capital sebagai kemampuan diri yang dimiliki seseorang melalui pendidikan dan pelatihan atau pengalaman untuk aktifitas tertentu (Lawang,2005).

Begitu juga dengan Coleman, dalam konsep human capital yang dirumuskanNya sebagai berikut :

“Just as physicalcapital is created by chnges in materials to form tools that facilitate prodiction, human capital is created by changes in persons that bring about skill and capabilities than make them able to act in new ways.”

Coleman (1988)

Bagi Coleman, kalau physical capital merupakan ciptaan dihasilkan dari perpaduan beberapa material untuk membentuk alat-alat dan yang memfasilitasi proses produksi. Demikian juga kapital manusia diciptakan dari perpaduan berbagai aktifitas, yang menyebabkan seseorang memiliki keterampilan dan kemampuan dan memungkinkan mereka melakukan perubahan dengan cara baru.

Dalam klasifikasi modal-modal yang dilakukan Bourdieu, human capital ditempatkan ke dalam modal budaya, yang melingkupi keseluruhan kualifikasi intelektual, yang dihasilkan dari proses pendidikan formal, atau warisan keluarga, Fashri (2007).

Pengusaha dengan pengalaman dan pengetahuan yang mumpuni, akan lebih efektif dan mudah menentukan peran dan tugasnya, untuk mencapai keberhasilan. Pengalaman dan pengetahuan juga memudahkan pengusaha ketika adaptasi diri pada situasi baru.

Dalam hal ini pengalaman dan pengetahuan berusaha sebelumnya menjadi dasar pengambilan keputusan. Sehingga memungkinkan mereka lebih kreatif dalam memunculkan ide atau solusi dan komunikatif (Hisrich,et.al. 2008).

(13)

21 Setelah memeriksa konsep-konsep Human capital yang dikemukakan masing-masing konseptornya. Dapat dibuat simpulan seperti berikuti ini. Human capital adalah potensi diri, berupa daya dan keahlian yang dimiliki seseorang, melalui pendidikan formal, informal atau dari keseharian hidupnya.

Dari sisi operasional human capital, dapat sebagai tools juga sebagai stimulant yang besar kontribusinya bagi seorang wirausaha, baik pada awal, maupun ketika mengembangkan usaha yang ada atau menambah usaha baru.

Dari semua konsep human capital yang dikemukakan dalam bagian ini, terlihat bahwa kedudukan dan perannya dapat memfasilitasi suatu pencapaian kehidupan yang sukses.

Akses Terhadap M odal

Nampaknya tidak ada bisnis yang dijalankan tanpa melibatkan modal finances (uang), walau dalam jumlah yang relatif kecil sekalipun, apa lagi tidak sama sekali. Kalau pun ada hal itu tentu terafiliasi dalam modal-modal yang lain, sebut saja modal sosial.

M odal (uang) merupakan aset fital dalam suatu usaha, dan bagaimana mendapatkannya, hal ini merupakan salah satu masalah tersulit dalam proses pendirian suatu usaha baru.

Pembiayaan suatu usaha, umumya dilakukan melalui dua cara yakni pembiayaan ekuitas (equity financing) dan pembiayaan utang (debt financing) (Hisrich,et.al. 2008; Saiman, 2009). Debt financing (pembiayaan utang) adalah cara pendanaan usaha melalui mengutang dalam jangka dan bunga tertentu yang sudah ditentukan pemberi utang. M odel pendanaan seperti ini biasanya disebut juga pembiayaan berbasis aset. Dikatakan demikian karena untuk dapat mengutang dibutuhkan suatu penyertaan aset tertentu, biasanya berupa mobil, rumah atau lahan, sebagai anggunan (Hisrich,et.al.2008).

(14)

22

saudara) perusahan pemodal venture, atau melalui program-program pemerintah (Saiman, 2009).

Sebaliknya equity financing (pembiayaan ekuitas atau modal sendiri) merupakan model pembiayaan yang sumber pendanaanya berasal dari tabungan sendiri, penjualaan aset, atau didapat dari teman, saudara, investor perorangan, maupun dari perusahan ventura pemodal besar (Saiman, 2009). M odel pembiayaan ini tidak membutuhkan anggunan, melainkan debitur cenderung memberi tawaran kepemilikan saham terhadap pemodal, sedangkan perolehan deviden dibagi berdasarkan proporsi kepemilikan saham (Hisrich.et.al,2008).

Selain kedua bentuk pendanaan tersebut, Hisrich.et.al (2008), juga membedakan sumber-sumber dana yang dapat diperoleh dalam suatu usaha (internal) dan dana yang diperoleh dari pihak luar (eksternal). Dana yang diperoleh dari internal usaha dapat diupayakan dengan menjual aset-aset yang sudah tak terpakai, pengurangan modal kerja, penundaan pembayaran utang-piutang dan penginvestasian kembali keuntungan yang cenderung dilakukan diawal memulai usaha.

Lain halnya pendanaan dari luar usaha, biasanya diperoleh dari keluarga, teman, lembaga keuangan (bank), atau hibah dari pemerintan. Penggunaan dana yang paling ‘termurah’ dalam hal control dan biaya, ialah pengunaan dana pribadi. Selain itu kepemilikan dana pribadi juga dapat menarik minat pemodal venture untuk menyertakan modal mereka. Sumber dana-dana pribadi biasanya berasal dari simpanan, asuransi, penjualan atau penggadaan aset berupa mobil atau rumah Hisrich.et.al, 2008; Saiman, 2009.

Selain penggunaan dana pribadi yang kecil resiko dan biayanya, menggunakan dana keluarga dan kolega, juga merupakan sumber alternatif mengatasi kekurangan modal usaha. Kedekatan dan hubungan persaudaraan yang dimiliki seorang pengusaha memungkinakan dukungan modal usaha dengan mudah bisa ia dapatkan Hisrich.et.al, 2008; Saiman, 2009.

(15)

23 jasa bisa diproduksi (Bourdieu,1986 dalam Lawang, 2005). Dapat dikatakan bahwa modal finansial sebagai yang memproduksi kapital-kapital lain, seperti barang dan jasa.

Selain sebagai kapital ekonomi, ada juga yang berpendapat bahwa, capital semacam ini bukanlah capital finances atau spesifik sebagai uang, melainkan sebagai alat untuk membentuk kapital fisik (Ostrom, 2000 dalam Lawang, 2005)

Bagi mereka yang berpandangan demikian, capital finances adalah simbol dan hak yang diperoleh melalui kontrak atau perjanjian dengan pihak lain. Karena itu menurut Suryana (2011) modal material dilihat sebagai akibat dari kepemilikan modal-modal non kapital, seperti modal intelektual, modal sosial, moral dan mental. Dengan kata lain perkataan Lawang menegaskan sisi fungsinya kapital finansial sebagai penata peluang atau kesempatan untuk mendapatkan uang (Lawang, 2005).

Usaha kecil, pelaku ekonomi menengah dan usaha swasta lainya, merupakan pihak yang cenderung mengalami kendala akses terhadap ekuitas modal pada lembaga keuangan formal. Hal itu erat hubungannya dengan persoalan legalitas usaha maupun aset yang dimiliki.

Kedudukan modal finansial yang tak seragam dalam pandang para pemikir merupakan kenyataan yang tak mungkin disatukan, meskipun bisa diperdamaikan. Yang utama adalah bahwa, dalam kedudukan baik sebagai penyebab atau akibat dari adanya kapital-kapital lain, modal finansial (finances capital) memegang peran penting, baik dalam proses produksi, atau dalam fungsinya sebagai penata peluang mendapatkan finansial.

(16)

24

baku. Sebagi sistem berfungsi menjembatani interaksi sosial untuk mendatangkan uang.

Dalam aktifitas ekonomi kedua fungsi tersebut embedded dalam aktifitas usaha, dimana kebutuhan ekonomi dan sosial menyatu dalam interaksi usaha, terlebih pada pedagang kecil (small traders). Hanya pada fungsi, keduanya ditemui.

Social Capital

Konsep Social capital yang dibicarakan dalam bagian ini, akan dibahas terbatas pada beberapa konsep teoritis. Selain karena telah banyak dikemukakan dan dibahas para ahli, dalam berbagai penelitian dan publikasi lewat tulisan-tulisan mereka, penggunaan konsep mengikuti prisnsip kesesuaian tematik yang dibahas dalam bagian analisis, agar tidak berlebihan atau terkesan dipaksakan.

Saat ini, perbincangan mengenai social capital, menjadi tema yang menarik perhatian banyak orang dari berbagai tingkatan, birokrat, akademisi, maupun lembaga-lembaga swasta pemerhati pembangunan. Umumnya pembangunan dimengerti atau dipersamakan dengan upaya untuk meningkatkan kehidupan, dalam hal ini menitik beratkan pada kemajuan material (Budiman,1995).

Untuk hal yang terakhir disebutkan,W oolcock dan Narayan (1999) menilai bahwa, teori-teori yang utama dipakai dalam, pembangunan ekonomi, merupakan teori-teori yang mengesampingkan peran hubungan sosial, setidaknya sampai tahun 1990-an.

(17)

25 Tuduhan dan kehendak kuat penghancuran dan peniadaan pranata sosial, yang diposisikan sebagai penghambat pembangunan, nampak terlihat dari kutipan W oolcock and Narayan (1999) dalam Escobar (1995) seperti berikut ini :

“ancient philosophies have to be scrapped; old social institutions have to disintegrate; bonds of caste, creed and race have to burst; and large numbers of persons who cannot keep up with progress have to have their expectations of a comfortable life frustrated.” (cited in Escobar 1995: 3)

Dengan kata lain filosofi-filosofi hidup, lembaga sosial, strata sosial, keyakinan juga ras harus dihancurkan, sebab hal-hal tersebut menyebabkan sebagian besar orang sulit bersaing untuk mencapai kemajuan yang mereka harapkan untuk suatu kehidupan yang nyaman terbebas dari frustrasi.

Pandangan-pandangan ini tentu tidak lepas dari cara pikir kapitalisme, yang melihat hubungan sosial sebagai suatu mekanisme eksploitasi khas kapitalis, dimana hubungan elit korporasi dan elit politik menjadi sangat primer. Di sini kecil kemungkinan terjadi hubungan yang saling menguntungkan antara pekerja dan pemilik, sebagai akibat kuatnya kepentingan M odal dan tenaga kerja, menyebabkan karakteristik sosial masyarakat di negara-negara miskin secara eksklusif didefinisikan dalam hal hubungan mereka dengan alat-alat produksi, demikian pandangan W oolcock et.al (1999).

Pembangunan yang berorientasi material, pada beberapa kasus menampakan sosoknya sebagai yang menggusur atau meminggirkan orang dari lingkungan tempat asalnya (Budiman, 1995). Namun dengan adanya pergeseran paradigma pembangunan itu sendiri, dari pengutamaan material, ke arah yang lebih komperhensif dari setiap dimensi kehidupan. M emungkinkan dimensi sosial mendapat tempat dalam setiap perencanaan pembangunan. Hal ini menyadarkan kita bahwa pembangunan tidak terjadi dalam ruang vakum.

(18)

26

seseorang. Physical capital (modal fisik) berupa barang atau jasa, financial capital (modal finasial) yakni uang, manufaktur capital dan natural capital (modal alam) Porritt (2002)7 ; Lawang, 2005.

M eskipun sebagai kapital, social capital memiliki dimensi yang berbeda dari kapital-kapital lain, seperti telah disebutkan sebelumnya.

Berikut pendapat Coleman tetang konsep social capital :

“Social capital is defined by its function. It is not a single entity, but a variety of different entities, having two characteristics in common: they all consist of some aspect of a social structure, and they facilitate certain actions of individuals who are within the structure”(Coleman 1994).

Bagi Coleman konsep social capital itu didefinisikan oleh fungsinya. Kapital sosial tidak tunggal entitasnya, melainkan terdiri dari beberapa varian entitas dengan dua elemen yang sama yakni, struktur sosial dan yang memfasilitasi tindakan-tindakan tertentu para aktor, baik personal maupun korporasi – di dalam suatu struktur Coleman (1994 dalam

Smith, M. K. 2000-2009

), Lawang (2005).

Dengan rumusan ini, Coleman melihat bahwa kapital sosial embedded pada struktur sosial, relasi antara individu maupun antara komunitas. Karena itu basis analisisnya pada faktor independen yakni kewajiban, sanksi, jaringan sosial, norma, dan trust, dan melalui aktifitas sebagai faktor dependennya untuk mencapai kemaslahatan

bersama Hasbullah (2006); Lawang (2005).

Sedangkan terminologi konsep social capital yang

dikemukakan Robert Putnam (dalam Adler and W oo Kwon, tanpa tahun) memfokuskan pandanganya pada strukturnya kapital

sosial seperti berikut ini :

7

(19)

27 “features of social organization such as networks, norms,

internal and social trust that facilitate coordination and cooperation for mutual benefit (1995).”

Putnam mengkonsentrasikan pandangan kapital sosial pada penampilan organisasi sosial seperti jaringan, norma dan kepercayaan yang menfasilitasi adanya kerjasama dan koordinasi untuk keuntungan bersama. Inti dari kapital sosial adalah terkait dengan apa yang disebut “civic viture”8 yakni tindakan dan asosiasi, pada titik inilah kapital

sosial dipandang bersifat produktif, sehingga memungkinkan terjadinya suatu interaksi dan dalam upaya mencapai baik tujuan ekonomi atau sosial, Putnam (et.al. 1993, dalam Lawang, 2005).

Berbeda dari Putnam, Bourdieu mendefinisikan social capital sebagai berikut :

“Social capital is the ‘the aggregate of the actual or potential resources which are linked to possession of a durable network of more or less institutionalized relationships of mutual acquaintance and recognition” (Bourdieu,1983).

Konsep kapita sosial yang dikemukakan Bourdieu, menunjuk pada aktualisasi sumberdaya atau potensi, yang melembaga dalam kualitas hubungan dan jaringan atas saling kenal dan adanya pengakuan. Karena pemikiran Bourdieu tentang kapital sosial tidak lepas dari pemahaman ketidak merataan distribusi sosial dalam masyarakat. M enyebabkan penekanan konsepnya menitik pada jejaring dan hubungan dengan pihak lain yang memiliki kuasa. (Fashri,2007).

Dapat dikatakan bahwa, hubungan yang dibangun individu atau komunitas melalui jejaring sosial dengan pihak yang memiliki kuasa, dimengerti sebagai upaya untuk memperoleh akses dan

8

(20)

28

pencapaian tujuan yang tidak dapat dipenuhi individu atau kelompok yang memiliki akses dan kuasa yang terbatas.

Oleh Fukuyama terminologi social capita (Adler and W oo Kwon, tanpa tahun) didefinisikan seperti berikut ini :

“the ability of people to work together for common purposes in groups and organizations” (1995).

“Social capital can be defined simply as the existence of a certain set of can informal values or norms shared among members of a group that permit cooperation among them” (1997).

Pada bagian pertama, kapital sosial dilihat sebagai kemampuan ‘ability’ orang untuk bekerjasama untuk mencapai tujuan umum dalam kelompok dan organisasi. Sedangkan pada bagian kedua social capital dipahami sebagai seperangkat nilai atau norma informal yang dipertukarkan diantara kelompok, sehingga memungkinkan kerjasama dapat terjadi di antara mereka.

Dengan demikian Konsep kapital sosial yang dikemukakan Fukuyama tekanannya pada kemampuan, hubungan, pencapaian tujuan bersama dan aspek organisasi sosial seperti nilai dan norma yang mengikat dan dipatuhi bersama. Semua hal inilah yang memungkinkan suatu komunitas dapat berhasil mencapai tujuan bersama. Karena itu rendahnya kapital sosial dapat menimbulkan kekacauan dalam Negara atau masyarakat (Fukuyama, Trust:1995; The Great,1997; Lawang,2005).

(21)

29 Karena tipologi ini relasinya terbatas pada kesamaan komunitas, menyebabkan hubungan yang tercipta bersifat eksklusif, atau berorientasi ke dalam komunitas (inword looking), sehingga ciri komunitas yang terbentuk adalah homogenius tertutup dan terikat pada dogma tertentu yang terus mempertahankan struktur masyarakat yang hierarchical (Hasbulah,2006).

Sebaliknya bridging social capital (modal sosial yang menjembatani). Tipologi kapital sosial ini merupakan kebalikan dari bonding social capital, dimana prinsip pengorganisasiannya sangat terbuka, sebab hal itu didasarkan pada prinsip-prinsip yang universal seperti kebebasan, kemajemukan, kesetaraan, nilai, norma, dan kemanusian.

Karena tipologi ini menunjuk pada hubungan antara komunitas yang berbeda, menyebabkan mereka berusaha untuk memperkuat kohesi antar kelompok dengan mengacu pada nilai atau prinsip yang universal. Nilai, norma dan kesamaan prinsip yang universal dalam hal ini dapat dilihat sebagai jembatan yang mempertemukan perbedaan di antara kelompok-kelompok yang berbeda, untuk berjuang mencapai tujuan bersama, dalam wujud tindakan imbal-balik W oolcock (1998a; Ahmad.et.al, 2012; Hasbullah,2006).

Sedangkan yang dimaksud dengan linking social capital (modal sosial menghubungkan) menunjuk pada hubungan antara orang-orang yang berada di luar lingkungan dan kondisi yang berbeda. Sehingga mereka dapat mengakses sumberdaya yang ada di masyarakat. Inti dari kapital sosial ialah pada, persepsi, perilaku individu, kepercayaan dan hubungan dengan kelompok etnis, organisasi pemerintah atau nonpemerintah Grootaert, C., Narayan, D., Jones, V. N., & W oolcock, M . (2003; Ahmad.et.al, 2012).

(22)

30

Selain dapat diartikan sebagai sumber (resource) kemampuan (ability) Fukuyama (1995) yang bersifat produktif, social capital juga merupakan produk yang dihasilkan dari relasi antar manusia. Karena itu kapital sosial berbeda dari kapital lain contohnya kapital finasial. Sebagai yang diciptakan, kapital sosial akan semakin bertambah dengan sendirinya (self-reinforcing) apabila terjaga dan terus dipergunakan, justru kalau tidak dipergunakan social capital tersebut akan rusak (Putnam,1993). Lain halnya dengan kapital finasial, jika terus dieksplotasi akan berkurang dan tak menutup kemungkinan akan habis Nancy Foote (Paper, tidak ada tahun. p.16).

Kapital sosial bukanlah milik pribadi melainkan kolektif, karena itu membutuhkan komitmen dan kerjasama kedua belah pihak untuk membangun dan mempertahankannya. Social capital tidak terletak dalam aktor melainkan dalam hubungan antara aktor. Karena itu tidak ada aktor yang memiliki hak eksklusif terhadap kapital sosial. (Coleman, 1988; Alder and W oo Kwon, 2000).

M anusia dengan segala aktifitasnya, hampir tak terhindarkan bersentuhan atau membutuhkan orang lain, baik internal komunitas seperti keluarga, suku, agama atau dalam lingkup yang lebih besar sebagai suatu bangsa – antar bangsa.

Inti dari social capital adalah relasi dan manfaat yang ditimbulkan bagi manusia dengan berbagai perbedaan dan kesamaan yang dimiliki untuk pencapaian suatu tujuan. Dalam pengertian ini aspek penting dari social capital adalah network (jejaring), trust (kepercayaan) norma, dan tindakan imbal balik.

(23)

31 Dalam hal yang terakhir disebutkan terdapat kesamaan dengan apa yang dikemukakan Jacqueline Vel (2010), tentang adanya kontribusi jaringan. M enurut Vel, jaringan merupakan bentuk orientasi yang sengaja dibangun oleh para individu. Dalam penelitiannya terhadap eksistensi kehidupan orang Lawonda di Sumba. M elalui penelitian itu Vel menemukan bahwa melalui jaringan itulah memungkinkan orang Lawonda memenuhi kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi sendiri, baik ekonomi, konsumtif, atau informasi.

Selain jejaring, trust merupakan pengikat interaksi, yang terpelihara dalam tindakan imbal balik untuk saling menolong, dan inilah yang menjadi norma bersama dalam keseharian masyarakat Lawonda.

Sedangkan oleh Fukuyama (2002) jaringan dilihat sebagai hubungan moral kepercayaan. Karena itu menurutnya jaringan adalah :

“Sekelompok agen-agen individual yang berbagai norma-norma atau nilai-nilai informal melampaui nilai-nilai atau norma-norma yang penting untuk transaksi-transaksi pasar biasa”

Artinya bahwa, pertukaran yang terjadi pada mereka yang memiliki jejaring dan norma atau nilai informal, cenderung tidak mengedepankan kalkulasi keuntungan, melainkan merasakan keterlibatan dalam suatu hubungan timbal balik menjadi utama. M eskipun tak berarti sama sekali nihil cost benefit (Fukuyama, 2002).

Dalam prespektif jejaring bisa dikatakan bahwa trust merupakan dasar dan pelumas yang memungkinkan jejaring dapat berfungsi dengan baik Hasbullah (2006 :11).

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa, jejaring adalah relasi timbal-balik yang dibangun secara sadar antar individu, untuk tujuan tertentu, dan tidak bebas nilai.

Referensi

Dokumen terkait

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

Disemprotkan ( Jet Application of Fluid ), pada proses pendinginan dengan cara ini cairan pendingin disemprotkan langsung ke daerah pemotongan (pertemuan antara

PELATIHAN SISTIM ISYARAT BAHASA INDONESIA (SIBI) TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI ORANG TUA DENGAN ANAK TUNARUNGU DI SDLB – B YPTB MALANG Adalah hasil karya

[r]

Pekerjaan : Pembangunan Drainase Jalan Yos Sudarso Desa Sindangsari Kec.. Majenang Nama Perusahaan

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam dan dengan mengucap syukur Alhamdulillah atas rahmatnya serta shalawat dan salam untuk sang idola Rasulullah Muhammad SAW

[r]

Rata-rata motivasi berprestasi karyawan tetap RSAU DR Soemitro Surabaya adalah tinggi, karena dalam setiap diri individu karyawan mempunyai usaha dan kemauan