ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA
AMBARAWA TENTANG KUMULASI PERMOHONAN IZIN
POLIGAMI, ISBAT NIKAH DAN PENETAPAN ANAK
(Studi Putusan Nomor 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb)
SKRIPSI
Oleh
Muhammad Afif Attabaroh
NIM. C01211047
Universitan Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga
Surabaya
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul “Analisi Terhadap Putusan PA Ambarawa Tentang
Kumulasi Permohonan Izin Poligami, Isbat Nikah dan Penetapan Anak (Studi
Putusan Nomor : 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb)” ini merupakan hasil penelitian di
Pengadilan Agama Ambarawa yang bertujuan untuk menjawab 3 (tiga) pertanyaan : 1) Bagaimana putusan Pengadilan Agama Ambarawa dalam memutus perkara No. 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb tentang kumulasi permohonan izin poligami, isbat nikah dan penetapan anak? 2) Apa saja pertimbangan hakim dalam memutus perkara tentang kumulasi izin poligami, isbat nikah dan penetapan anak? 3) Bagaimana analisi terhadap putusan PA Ambarawa tentang kumulasi permohonan izin poligami, isbat nikah dan penetapan anak?
Guna mendapatkan data, penulis menggunakan tehnik pengumpulan data melalui dokumentasi dan wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Ambarawa. Selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analitis dengan pola pikir deduktif sehingga mendapatkan gambaran yang jelas mengenai ada atau tidaknya kesesuaian antara putusan Pengadilan Agama Ambarawa dengan hukum acara perdata.
Berdasarkan hasil penelitian penulis menyebutkan bahwa: Pertama yang menjadikan dasar hukum hakim dalam menerima perkara ini, majelis hakim Pengadilan agama ambarawa didasari oleh bukti-bukti dan para saksi yang dihadirkan dalam persidangan serta Undang-undang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Kedua yang menjadikan dasar hukum hakim yaitu perkara ini sudah memenuhi syarat kumulatif dan alternative dan juga sesuai dengan asas peradilan yang sederhana, biaya ringan dan cepat.
Dari hasil penelitian ini penulis mengambil kesimpulan bahwasanya majelis hakim dalam menerima dan memutus perkara tersebut sudah sesuai dengan Undang-undang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, akan tetapi apabila ditinjau dari segi hukum acara perdata, majelis hakim kurang cermat dalam memberikan putusan dalam perkara tersebut. Karena ada perkara di dalamnya tidak dapat dikumulasikan menjadi satu putusan.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN... ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING… ... iii
PENGESAHAH… ... iv
MOTO … ... v
ABSTRAK … ... vi
KATA PENGANTAR … ... vii
DAFTAR ISI … ... viii
DAFTARTRANSLITERASI ………. ... x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah… ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah… ... 11
C. Rumusan Masalah… ... 12
D. Kajian Pustaka… ... 12
E. TujuanPenelitian… ... 15
F. Kegunaan Hasil Penelitian… ... 16
G. Definisi Operasional… ... 16
H. Metode Penelitian… ... 17
I. Sistematika Pembahasan… ... 20
BAB II KUMULASI GUGATAN IZIN POLIGAMI, ISBAT NIKAH DAN PENETAPAN ANAK A. Kumulasi Gugatan… ... 22
1. Pengertian Kumulasi… ... 22
2. Syarat Kumulasi… ... 22
3. Dasar Hukum Kumulasi… ... 23
4. Tujuan Kumulasi… ... 24
5. Bentuk Kumulasi… ... 25
7. Beberapa Penggabungan yang Tidak Dibenarkan… .... 28
B. Izin Poligami… ... 30
1. Pengertian Poligami… ... 30
2. Dasar Hukum Poligami… ... 31
a.Al-Quran… ... 31
b.Al-Hadis… ... 32
c.Hukum Positif… ... 32
C. Isbat Nikah… ... 37
1. Pengertian Isbat Nikah… ... 37
2. Dasar Hukum Isbat Nikah… ... 41
3. Faktor-Faktor Sebab Isbat Nikah… ... 42
4. Yang Berhak Mengajukan Isbat Nikah… ... 43
D. Penetapan Anak… ... 44
1. Pengertian Penetapan Anak... ... 44
2. Dasar Hukum Penetapan Anak… ... 46
BAB III DESKRIPSI PERKARA PA AMBARAWA NOMOR: 0030/PDT.G/2012 A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Ambarawa… ... 47
1. Sejarah Singkat dan Letak geografis Pengadilan Agama Ambarawa…... 47
2. Wilayah Yuridiksi Pegadilan Agama Ambarawa… ... 48
3. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Ambarawa… . 49 B. Deskrpisi Kasus Kumulasi Permohonan Izin Poligami, Isbat, Nikah dan Penetapan Anak di PA Ambarawa… ... 50
1. Duduk Perkara Permohonan Izin Poligami, Isbat Nikah dan Penetapan Anak… ... 50
3.
Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan AgamaAmbarawa Dalam Memutus Perkara Izin Poligami, Isbat Nikah dan Penetapan Anak… ... 58
BAB IV ANALISIS KUMULASI PERMOHONAN IZIN POLIGAMI, ISBAT
NIKAH DAN PENETAPAN ANAK
A. Analisi Terhadap Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb… ... 61
B. Analisis Putusan Hakim Dalam Memutus Perkara Nomor:
0030/Pdt.G/2012/Pa.Amb………. 64
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 72 B. Saran-saran ... 73
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebelum diberlakukan undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 63 ayat
(2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka semua putusan
Pengadilan Agama harus dikukuhkan oleh peradilan umum. Ketentuan ini
membuat Peradilan Agama secara devacto lebih rendah kedudukannya dari
Peradilan Umum. Padahal secara yuridis formal dalam pasal 10 UU Nomor 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
dinyatakan, bahwa ada empat lingkungan peradilan di Indonesia, yaitu
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata
Usaha Negara.1
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, keberagaman
hukum peradilan agama telah sirna. Sejak saat itulah tercipta kesatuan
hukum yang mengatur peradilan agama di dalam kerangka sistem dan tata
hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Tahun 1945. Dengan demikian, Undang-Undang yang mengatur susunan,
kekuasaan, dan hukum acara peradilan agama dalam lingkungan peradilan
agama merupakan pelaksanaan ketentuan dan asas yang tercantum dalam
1 Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada Peradilan
2
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.2
Secara umum, isi UU No. 7 Tahun 1989 memuat beberapa perubahan
tentang penyelenggaraan peradilan agama di Indonesia, yaitu: perubahan
tentang dasar hukum penyelenggaraan peradilan agama di Indonesia,
kedudukan peradilan agama dalam tata peradilan nasional, kedudukan hakim
peradilan agama, kekuasaan pengadilan dalam lingkungan peradilan agama,
hukum acara peradilan agama, administrasi peradilan agama, dan perubahan
tentang perlindungan terhadap wanita.3
Hukum acara Peradilan Agama yang dimaksud dalam UU No. 7 Tahun
1989 diletakkan dalam BAB IV yang terdiri dari 37 pasal. Tidak semua
ketentuan tentang hukum acara Peradilan Agama dimuat secara lengkap
dalam UU No. 7 Tahun 1989 ini,4 hal ini dapat dilihat dari pasal 54 yang
menyatakan bahwa, “Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur
secara khusus dalam Undang-Undang ini.” 5
Menurut pasal di atas, hukum acara Peradilan Agama sekarang
bersumber (garis besarnya) pada dua aturan, yaitu: yang terdapat dalam
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 yang berlaku di Peradilan Umum.
2Abdul Rachmad Budiono, Peradilan Agama dan Hukum Islam di Indonesia, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2003), 9.
3Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2008), 273-274.
4Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
Kencana, 2008), 7.
3
Peraturan perundang-undangan yang menjadi inti Hukum Acara
Perdata Peradilan Umum, antara lain:6
1. HIR (Het Herziene Inlandsche Recthvordering Reglement) / RIB
(Reglement Indonesia yang di Baharui)
2. R.Bg (Recth Reglement Buitengewesten)
3. Rsv (Reglement op de Bulgerlijke Recth svordering)
4. BW (Bulgerlijke Wetboek)
5. UU No. 2 Tahun 1986 jo UU No. 8 Tahun 2004 jo No. 48 Tahun 2009
Tentang Peradilan Umum.
Peraturan perundang-undangan tentang acara perdata yang sama-sama
berlaku bagi lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama, yaitu:7
1. UU Nomor 14 Tahun 1970 jo UU Nomor 35 Tahun 1999 jo UU Nomor 4
Tahun 2004 jo UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman
2. UU Nomor 14 Tahun 1985 jo UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Agung
3. UU Nomor 1 Tahun 1974 dan PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Perkawinan dan Pelaksanaannya.
4. UU Nomor 7 tahun 1989 jo UU Nomor 3 Tahun 2006 jo UU Nomor 50
Tahun 2009.8
6Roihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Rajawali Pres, 2010), 21. 7
Ibid. 8
4
5. Undang-undang tentang Perbankan Syariah dan segala peraturan yang
berkaitan dengan perekonomian syariah.
6. UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolahan Zakat dan UU Nomor
41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
7. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
8. Peraturan Mahkamah Agung dan Surat Edaran Mahkamah Agung RI
yang berkaitan dengan hukum acara perdata.
9. Peraturan/Keputusan Mentri yang berkaitan seperti Menteri Agama dan
Menteri Hukum dan HAM.
10.Yurisprudensi Mahkamah Agung.
11.Doktrin Hukum.
Dijelaskan dalam perubahan pertama UU Peradilan Agama, Pasal 49
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, bahwa “Pengadilan Agama bertugas
dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang: Perkawinan,
Kewarisan, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, Sodaqoh, dan Ekonomi
Syariah.”9
Perkara perdata yang akan diajukan di pengadilan itu
sekurang-kurangnya terdiri dari dua pihak, yaitu penggugat dan tergugat10 kemudian
salah satu pihak yang berkepentingan harus mengajukan gugatan atau
permohonan. Kemudian setelah gugatan atau permohonan terdaftar,
9 Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, (Jakarta:PT Intermasa,
2009), 23.
5
pengadilan bisa memeriksa perkara. Dari beberapa wewenang absolut
pengadilan agama, salah satu wewenang yang ditangani adalah bidang
perkawinan.
Kumulasi gugatan terdiri dari dua jenis yaitu11 : kumulasi subjektif dan
kumulasi objektif. Kumulasi subjektif adalah penggabungan beberapa
penggugat dan tergugat dalam satu gugatan (Pasal 127/HIR 151 RB.g., Pasal
1283-1284 BW ), seperti dalam kewarisan yang terdiri dari beberapa
penggugat melawan seorang tergugat atau seorang penggugat melawan
beberapa tergugat atau beberapa penggugat melawan beberapa tergugat.
Sedangkan kumulasi objektif adalah penggabungan beberapa tuntutan
terhadap beberapa peristiwa hukum dalam satu gugatan (Pasal 66 ayat (5)
dan Pasal 86 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989), seperti gugatan perceraian
yang dikumulasikan dengan tuntutan nafkah, hadhanah, mut’ah dan harta
bersama perlu dihindari.
Penggabungan/kumulasi beberapa gugatan menjadi satu dapat
dilakukan apabila gugatan-gugatan yang digabungkan tersebut memiliki
hubungan dan keterkaitan erat atau memiliki koneksitas. Untuk menentukan
adanya hubungan erat ini harus dibuktikan berdasarkan fakta-fakta.
Penggabungan/kumulasi diperkenankan apabila menguntungkan
proses, yaitu apabila antara satu gugatan dengan gugatan lain memiliki
koneksitas dan penggabungan tersebut akan mempermudah pemeriksaan serta
11
6
bisa mencegah kemungkinan adanya putusan-putusan yang saling
bertentangan.
Pengadilan Agama Ambarawa terdapat sebuah putusan tentang
kumulasi permohonan izin poligami, isbat nikah dan penetapan anak pada
perkara Nomor : 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb. dalam kasus ini pemohon
bernama Tri Basuki bin Solaeman mengajukan permohonan izin poligami,
isbat nikah dan sekaligus penetapan anak dalam satu permohonan. Dari pihak
termohon bernama Emilia binti Abdullah Thoriq. Permohonan ini diajukan
oleh pihak Pemohon diawali dengan izin berpoligami, kemudian ingin
mengisbatkan pernikahanya dengan istri yang kedua dan sekaligus ingin
menetapkan anak-anak yang terlahirkan atas pernikahan terhadap istri yang
kedua. Pemohon melaksanakan pernikahanya dengan istri yang kedua
disebabkan karena istri pertama tidak dapat melahirkan lagi, disebabkan istri
pertama sudah dua kali melakukkan operasi cesar sehingga tidak dapat
melahirkan lagi. Dalam permohonan ini, pemohon merangkap menjadi satu
permohonan kepada Pengadilan Agama Ambarawa, dan Pengadilan
menerimanya menjadi satu permohonan yang terdaftar dalam register perkara
Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb.
Pada pasal 49 ayat (2) dijelaskan bahwa “bidang perkawinan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 ayat (1) huruf a ialah hal-hal yang
7
berlaku.”12 Salah satu undang-undang perkawinan yang berlaku di Indonesia
adalah UU Nomor 1 Tahun 1974.
Menurut penjelasan pasal 49 ayat (2), yang dimaksud dengan bidang
perkawinan yang diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 antara lain:13
1. Izin beristri lebih dari seorang (izin poligami)
2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang berumur 21 tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat
3. Dispensasi kawin 4. Pencegahan perkawinan
5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah 6. Pembatalan perkawinan
7. Perceraian karena talak 8. Gugatan perceraian
9. Penyelesaian harta bersama 10.Mengenai penguasaan anak
11.Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain dan seterusnya.
Masalah poligami dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 diatur
dalam pasal 3, 4, dan 5. Pasal 3 ayat (1) menyatakan bahwa “Pada asasnya
dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri
dan seorang wanita boleh mempunyai seorang suami.”14 Jika dilihat
ketentuan pasal 3 ayat (1) tersebut terlihat bahwa undang-undang perkawinan
mengikuti asas monogami. Hanya saja asas tersebut tidak mutlak seperti
dalam BW. Hal ini terlihat dalam pasal 3 ayat (2) yang menentukan bahwa,
12Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
(Bandung:Kiblat Press,2006), 46.
13M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009), 139-140.
8
pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami beristri lebih dari
seorang apabila hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.15
Tidak jarang terjadi bahwa penggugat mengajukan lebih pada satu
tuntutan dalam satu perkara sekaligus. Ini merupakan penggabungan dari
beberapa tuntutan yang disebut kumulasi obyektif. Sebagaimana dalam
penelitian yang penulis lakukan ini yaitu, penelitian terhadap putusan
Pengadilan Agama Ambarawa yang menangani perkara kumulasi
permohonan izin poligami, istbat nikah dan sekaligus didalamnya ada
permohonan penetapan anak. Hukum Positif tidak mengatur penggabungan
permohonan atau gugatan, baik dalam HIR maupun RBG, tidak mengaturnya.
Begitu juga dengan RV, tidak mengatur secara tegas dan tidak pula
melarangnya. Meskipun HIR dan RBG maupun RV tidak mengatur, peradilan
sudah lama mengaturnya dan menerapkanya, yang dibolehkan apabila
gugatan tersebut terdapat hubungan-hubungan yang erat. Kalau ditinjau dari
hukum acara perdata, bahwasanya antara izin poligami dengan istbat nikah
tidak dapat digabungkan dalam satu permohonan kepada pengadilan agama,
karena izin poligami produk hukumnya berupa putusan, sedangkan itsbat
nikah produk hukumnya berupa penetapan.
Kemudian juga antara izin poligami dan itsbat nikah berbeda jauh
dalam pokok perkaranya, izin poligami berupa perkara contensius yang
didalamnya ada pihak penggugat dan tergugat/ sedangkan itsbat nikah berupa
15 A. Masjkur Anhari, Usaha untuk Memberikan Kepastian Hukum dalam Perkawinan, (Surabaya:
9
perkara voluntair yang didalamnya masalah yang diajukan bersifat
kepentingan sepihak semata, dan tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang
masuk dalam perkara tersebut yang ditarik sebagai lawan, tetapi bersifat
ex-parte. Benar-benar murni dan mutlak satu pihak saja dalam perkara
tersebut.16
Kemudian juga dalam perkara ini dimasukkan perkara penetapan anak
dalam satu permohonan tersebut, dan kembali lagi dalam tinjuan hukum
acara perdata, permohonan anak tidak dapat dijadikan satu dalam perkara
permohonan izin poligami, karena penetapan anak juga bersifat perkara
voluntair yang mana tidak ada pihak lain yang masuk dalam perkara
tersebut.
Berdasarkan teori tiap permohonan yang diajukan dalam surat
permohonan harus terpisah secara tersendiri, dan diperiksa serta diputus
dalam proses pemeriksaan dan putusan terpisah dan berdiri sendiri. Akan
tetapi berbeda apabila permohonan itu diajukan bersama-sama antara isbat
nikah dengan penetapan anak dalam hukum acara perdata diperbolehkan.
Sedangkan dalam batas-batas tertentu, diperbolehkan melakukan
penggabungan permohonan dalam satu surat permohonan apabila antara satu
permohonan dengan permohonan yang lain terdapat hubungan erat atau
koneksitas. Secara teknis penggabungan beberapa permohonan dalam satu
16
10
permohonan disebut kumulasi permohonan atau semenvoeging van
vordering.17
Hal ini tertuang dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Admistrasi Peradilan Agama Buku II, sebagaimana dijelaskan tentang
kumulasi gugatan dengan syarat penggabungan tuntutan harus terdapat
koneksitas atau hubungan yang erat. Selain itu penggabungan tuntutan
diperbolehkan apabila penggabungan akan memudahkan pemeriksaan serta
akan dapat mencegah kemungkinan adanya putusan-putusan yang saling
berbeda atau bertentangan.18
Kalau dilihat dari uraian singkat dari deskrpisi tersebut, seharusnya
tidak diperbolehkan adanya penggabungan permohonan tersebut yang
diajukan oleh pemohon, karena tidak adanya kesingkronan atau koneksitas
dari pengajuan permohonan kumulasi permohonan tersebut, seharusnya
dipisahkan atau berdiri sendiri antara permohonan izin poligami dan itsbat
nikah yang juga dimasukkan adanya penetapan penetapan anak dari
perkawinan sirri pemohon dengan istri kedua.
Dari latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk mengkaji
lebih mendalam dalam judul skripsi “Studi Analisis Terhadap Putusan PA
Ambarawa tentang Kumulasi Permohonan Izin Pologami, Itsbat Nikah Dan
Penetapan Anak (Putusan Nomor 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb)
17Ibid., 102.
18Mahkamah Agung dan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Buku Pedoman
11
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Melalui latar belakang tersebut, terdapat beberapa permasalahan yang
dapat penulis identifikasi dalam penulisan penelitian ini, yaitu sebagai
berikut:
1. Tata cara mengajukan poligami dan alasan diperbolehkan poligami
2. Tata cara mengajukan isbat nikah dan alasan diperbolehkanya pengajuan
isbat nikah
3. Tata cara mengajukan penetapan anak
4. Syarat-syarat menggabungkan (kumulasi) permohonan
5. Dasar hukum kumulasi gugatan
6. Dasar pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Agama Ambarawa
tentang Kumulasi Permohonan Izin Poligami, Isbat Nikah, dan P{enetapan
Anak (Putusan Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb)
7. Analisis terhadap putusan tentang Kumulasi Permohonan Izin Poligami,
Isbat Nikah, dan P{enetapan Anak (Putusan Nomor:
0030/Pdt.G/2012/PA.Amb)
Sedangkan batasan masalah yang menjadi titik fokus penulis
dalam penelitian ini, yaitu penulisi akan mengkaji tentang:
1. Analisis terhadap putusan PA Ambarawa tentang kumulasi permohonan
12
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian latar belakang masalah diatas, maka pokok
persoalan yang akan diteliti adalah:
1. Bagaimana putusan PA Ambarawa tentang kumulasi permohonan izin
poligami, isbat nikah dan penetapan anak?
2. Apa saja pertimbangan hakim dalam memutus perkara tentang kumulasi
permohonan izin poligami, isbat nikah, dan p{enetapan anak?
3. Bagaimana analisis terhadap putusan PA Ambarawa tentang kumulasi
permohonan izin poligami, isbat nikah, dan p{enetapan Anak?
D. Kajian Pustaka
Setelah Penulis melakukan kajian Pustaka, penulis menjumpai hasil
penelitian yang dilakukan oleh penulis sebelumnya yang mempunyai
relevansi dengan penelitian yang sedang penulis lakukan, yaitu sebagai
berikut:
1. Kumulasi Permohonan Isbat Nikah Dan Gugatan Cerai Di PA Jombang
oleh Ida Fauziah, Fak. Syariah IAIN Sunan Ampel, 2005. Penelitian ini
membahas tentang dasar pertimbangan hukum yang digunakan hakim
dalam memutus perkara kumulasi permohonan isbat nikah dan gugatan
cerai di PA Jombang.19
2. Studi Analisis PA Lamongan Nomor: 1325/Pdt.G/2010/PA.Lmg tentang
Kumulasi Isbat Nikah dengan Perceraian dalam Perspektif
19 Ida Fauziah, (Kumulasi Permohonan Isbat Nikah dan Gugatan Cerai di PA Jombang),
13
Undang Nomor 7 Tahun 1989, Skripsi oleh Lutfi Aulawi, Fak. Syariah
IAIN Sunan Ampel, 2010. Focus pembahasan dalam penelitian ini
tentang proses penyelesaian dan dasar hukum yang digunakan hakim PA
Lamongan terhadap kumulasi perkara permohonan isbat nikah dengan
perceraian dan bagaimana analisis UU No. 7 Tahun 1989 terhadap
Putusan PA tentang perkara perohonan isbat nikah dengan perceraian.20
3. Korelasi Proses Pelaksanaan Kumulasi Gugatan dengan Asas Peradilan
Sederhana,Cepat dan Biaya Ringan di Pengadilan Agama Surabaya oleh
Ainul Yaqin, Fak. Syariah IAIN Sunan Ampel, 2001.Penelitian ini
membahas tentang seberapa jauh hubungan perlaksanaan kumulasi
gugatan dengan asas peradilan sederhana, cepatdan biaya ringan di PA
Surabaya.21
4. Analisis Tidak Diterimanya Kumulasi Gugatan Perkara Perceraian di PA
Kabupaten Kediri oleh Almar’atu Fi Dzilalil Quran, Fak.Syariah IAIN
Sunan Ampel, 2010.Penelitian ini membahas tentang pertimbangan
hakim yang tidak menerima kumulasi gugatan perceraian dan harta
bersama berdasarkan pasal 86 ayat 1 UU PA serta analisis hukum acara
perdata terhadap tidak diterimnya kumulasi perceraian dan harta
bersama.22
20Lutfi Aulawi, (Studi Analisi Putusan PA LAmongan Nomor 1325/Pdt.G/2010/PA.Lmg Tentang
Kumulasi Isbat Nikah dengan Perceraian dalam Perspektif UU No. 7 Tahun 1989) , (Skripsi -- IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2010), 15.
21Ainul Yaqin, (Korelasi Pelaksanaan Kumulasi Gugatan dengan Asas Peradilan Sederhana,Cepat
dan Biaya Ringan di Pengadilan Agama Surabaya), ( Skripsi -- IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2001), 14.
22
14
5. Kumulasi Gugatan Tentang Hibah dan Waris dalam Putusan PA Tuban
No.1995/Pdt.G/2006/PA.Tbn dalam Prepektif Hukum Acara Perdata oleh
Novan Bagus Firmansyah, Fak. Syariah IAIN Sunan Ampel,
2010.Penelitian membahas tentang pertimbangan hakim dalam penerapan
kumulasi gugatan perkara pembatalan hibah dan pembagian harta warisan
di PA Tuban serta bagaimana analisis hukum acara perdata terhadap
kumulasi pembatalan hibah dan pembagian harta waris di PA Tuban.23
Dari beberapa kajian pustaka yang ada, memang memiliki
kesamaan pembahasan yaitu membahas tentang kumulasi, baik kumulasi
gugatan ataupun kumulasi permohonan. Akan tetapi yang membedakan
penelitian ini dengan penelitian yang terdahulu adalah kumulasi
permohonan yang dijadikan satu oleh Pemohon dalam satu permohonan
kepada Pengadilan Agama Ambarawa.
E. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Mengetahui putusan PA Ambarawa tentang kumulasi permohonan izin
poligami, isbat nikah dan penetapan anak.
2. Mengetahui apa saja pertimbangan Hakim dalam memutus perkara tentang
Kumulasi Permohonan Izin Pologami, Isbat Nikah, dan P{enetapan Anak.
23Novan Bagus Firmansyah, (Kumulasi Gugatan Tentang Hibah dan Waris dalam Putusan PA
15
3. Menganalisis Putusan PA Ambarawa tentang Kumulasi Permohonan Izin
Poligami, Isbat Nikah, dan P{enetapan Anak di Pengadilan Agama
Ambarawa dalam putusan Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Dalam penulisan penelitian ini, penulisi berharap hasil penelitian ini
dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis,
sebagai berikut:
1. Secara teoritis, penulis berharap hasil penelitian ini dapat memberikan
sumbangsih khazanah keilmuan.Dan penelitian ini dapat dijadikan
sebagai literatur dan referensi, baik oleh peneliti selanjutnya maupun bagi
pemerhati hukum dalam perkara izin poligami, isbat nikah dan penetapan
anak.
2. Secara praktis, penelitian yang tertuang dalam penulisan skripsi ini
diharapkan bermanfaat bagi praktisi hukum di Indonesia terutama bagi
penegakkan hukum dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya. Selain itu,
diharapkan juga akan bermanfaat bagi pemerintah dan masyarakat umum
secara luas guna menjawab kontroversi yang ada selama ini.
G. Definisi Operasional
Untuk menghindari kesalahan dalam memahami maksud dari
16
1. Analisis : Suatu usaha untuk mengamati secara detail sesuatu hal atau
benda dengan cara menguraikan komponen-komponen pembentuknya
atau penyusunya untuk dikaji lebih dalam atau lanjut.24
2. Kumulasi Permohonan : penggabungan beberapa permohonan atau
tuntutan yang di dalamnya ada keterkaitan antara permohonan yang satu
dengan permohonan lainya.25 Dalam hal ini adalah kumulasi permohonan
izin poligami, itsbat nikah dan penetapan anak.
3. Putusan : Suatu pernyataan hakim sebagai pejabat Negara yang diberi
wewenang untuk itu diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk
mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para
pihak26.Dalam hal ini adalah Putusan Pengadilan Agama Ambarawa
H. Metode Penelitian
1. Data yang dikumpulkan
Sesuai dengan permasalahan yang dirumuskan di atas, maka dalam
penelitian ini data yang dikumpulkan adalah:
a. Data tentang kumulasi permohonan izin poligami, isbat nikah dan
penetapan anak dalam Putusan PA Ambarawa
b. Data tentang dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan
kumulasi permohonan Izin Poligami, Isbat Nikah, dan P{enetapan
24
Sugiyino, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2008), 9.
25
Umar Mansyur Syah, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Menurut Teori dan Praktik,(Garut:Yayasan Al Umaro), 1991, 69.
26
17
Anak di PA Ambarawa dalam putusan Nomor:
0030/Pdt.G/2012/PA.Amb.
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah:
a. Sumber Data Primer
Data primer adalah data yang langsung diperoleh dari subyek
penelitian dengan menggunakan alat pengukuran dan alat
pengambilan data langsung dari subyek sebagai sumber informasi
yang dicari27
Data primer dalam penelitian ini adalah salinan putusan
Pengadilan Agama Ambarawa Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb.
b. Sumber Data Sekunder
Data sekunder adalah28 data yang diperoleh dari pihak lain,
tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subyek penelitianya.Data
sekunder berasal dari buku-buku maupun literature lain, meliputi:
1. Kompilasi Hukum Islam, Balitbang Diklat Kumdil MA RI, Jakarta,
2008.
2. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974.
3. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
4. undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas
Undang-undang RI Nomor 7 Tahun 1989.
27
Syaifuddin azwar, Metode Penelitian , (Yogyakarta:Pustaka Pelajar Offset, 1998), 90.
28
18
5. Undang-undang No. 50 tahun 2009 Perubahan Kedua Atas UU RI
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
6. Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksana Tugas dan Administrasi
Peradilan Agama Buku II,2010.
7. A.Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata, Yogyakarta:Pustaka Pelajar,
2008.
8. Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2008.
9. Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Peradilan Agama, Jakarta: Kencana, 2008.
10. M. Yahaya Harahap, Hukum Acara Perdata, Jakarta : Sinar Grafika,
2009.
11. R.Soeparmono, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, Bandung:
Bandar Maju, 2005.
12. Roihan A.Rasyid, Hukum Acara Perdata Indonesia, Jakarta: Rajawali
Pers, 2010.
13. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,
Yogyakarta: Liberty, 1998
3. Tehnik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan oleh penulis
19
1. Tehnik dokumentasi
Yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang
berupa catatan, transkrip, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat,
agenda dan sebagainya29.Dalam hal ini penulis menelusuri berkas
putusan perkara nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb yaitu tentang
perkara kumulasi permohonan izin poligami, istbat nikah dan
penetapan anak.
2. Tehnik wawancara
Yaitu mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung
kepada responden.30 Dalam hal ini penulis melakukan wawancara
kepada bapak hakim Drs. Salim, SH selaku Hakim Ketua dan bapak M.
Hayin Ms, SH selaku hakim anggota.
4. Tehnik Analisis Data
Data yang sudah terkumpul kemudian diolah, namun sebelum
diolah data yang terkumpul diseleksi dan diklasifikasikan sesuai dengan
permasalahnya terlebih dahulu baru diadakan pengkajian dan kemudian
dianalisis sesuai dengan kualitatif yang sudah ada. Metode yang
digunakan adalah metode deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode
pemecahan masalah dengan mengumpulkan data dan melukis keadaan
obyek atau peristiwa lalu disusun, dijelaskan, dianalisis dan
20
diinterprestasikan dan kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif, yaitu
dari yang berdifat umum menuju ke hal yang bersifat khusus.
I. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan dipaparkan dengan tujuan untuk
memudahkan penulisan dan pemahaman. Oleh karena itu, skripsi ini disusun
dalam beberapa bab, pada tiap-tiap bab terdiri dari beberapa sub bab,
sehingga pembaca dapat dengan mudah memahaminya. Adapun sistematika
pembahasan ini adalah sebagai berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang terdiri dari beberapa
diantaranya latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah,
rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil
penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika
pembahasan.
Bab kedua merupakan landasan teori. Bab ini terdiri dari empat sub
bab yaitu Kumulasi Gugatan, Izin Poligami, Isbat Nikah dan Penetapan Anak
Pada sub bab kumulasi gugatan menjelaskan tentang pengertian kumulasi,
syarat kumulasi gugatan, perkara yang bisa dikumulasikan dan beberapa
penggabungan yang tidak dibenarkan. Kemudian sub bab izin poligami
menjelaskan tentang pengertian poligami dan dasar hukum poligami dan sub
bab isbat nikah menjelaskan tentang pengertian isbat nikah, dasar hukum
isbat nikah, factor-faktor sebab isbat nikah dan yang berhak mengajukan
isbat nikah kemudian sub bab penetapan anak, pengertian penetapan anak,
21
Bab ketiga, merupakan deskripsi hasil penelitian, yang meliputi
sekilas tentang Pengadilan Agama Ambarawa, deskrpisi putusan PA
Ambarawa kumulasi permohonan izin poligami, istbat nikah dan penetapan
anak, serta dasar pertimbangan hukum hakim Pengadilan Agama Ambarawa
dalam memutus perkara Nomor : 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb. tentang
kumulasi permohonan izin poligami, isbat nikah dan penetapan anak.
Bab keempat merupakan analisis terhadap pertimbangan hakim dalam
mengabulkan dan memutus perkara Nomor: 0030/Pdt.G/2012.PA.Amb, serta
analisis terhadap putusan hakim dalam memutus perkara kumulasi
permohonan izin poligami, itsbat nikah dan penetapan anak.
22
BAB II
KUMULASI GUGATAN, IZIN POLIGAMI, ISBAT NIKAH DAN PENETAPAN ANAK
A. KUMULASI GUGATAN
1. Pengertian Kumulasi
Kumulasi gugatan adalah penggabungan dari lebih satu
tuntutan hukum ke dalam satu gugatan.31 Sedangkan menurut Mukti
Arto, kumulasi adalah gabungan beberapa gugatan hak atau gabungan
beberapa pihak yang mempunyai akibat hukum yang sama dalam satu
proses perkara.32
2. Syarat Kumulasi33
Dalam suatu bentuk kumulasi, baik itu kumulasi gugatan
atau kumulasi permohonan harus memiliki syarat-syarat yang harus
terpernuhi anatara lain yaitu:
a. Adanya hubungan yang erat dari perkara yang satu dengan yang
lainnya atau koneksitas:
b. Subyek hukum para pihak sama (penggugat dan tergugat)
c. Prinsip beracara yang cepat dan murah;
d. Bermanfaat ditinjau dari segi acara (processueel doelmatig).
31M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata,( Jakarta:Sinar Grafika, 2009), 102.
32A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008), 44.
33R. Soeparmono, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, (Bandung: Bandar Maju, 2005),
23
3. Dasar Hukum Kumulasi
a. Pasal 66 ayat (5) dan Pasal 86 ayat (1) UU No.7 Tahun 1989 tentang kedudukan, kewenangan dan acara peradilan agama.
bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan
perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh
kekuatan hukum tetap.”35
b. Buku Pedoman pelaksanaan tugas dan administrasi Peradilan
Agama mencantumkan tentang kumulasi gugatan:36
1. Penggabungan dapat berupa kumulasi subjektif atau kumulasi objektif. Kumulasi subjektif adalah penggabungan beberapa penggugat atau tergugat dalam satu gugatan. kumulasi objektif adalah penggabungan beberapa tuntutan terhadap beberapa peristiwa hukum dalam satu gugatan.
2. Penggabungan beberapa tuntutan dalam satu gugatan
diperkenankan jika penggabungan itu menguntungkan proses,yaitu antara tuntutan yang digabungkan itu ada koneksitas dan penggabungan akan mudah diperiksa serta akan dapat mencegah kemungkinan adanya putusan-putusan yang saling berbda/bertentangan.
3. Beberapa tuntutan dapat dikumulasikan dalam satu gugatan
34Pasal 66 ayat (5) UU No.7 Tahun 1989 Tentang peradilan agama. 35Pasal 86 ayat (1) UU No.7 tahun 1989 Tentang peradilan agama.
36Mahkamah Agung dan Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama, Buku Pedoman
24
apabila antara tuntutan-tuntutan yang digabungkan itu terdapat hubungan erat atau ada koneksitas dan hubungan erat ini harus dibuktikan dengan fakta-faktanya.
4. Dalam hal suatu tuntutan tertentu diperlukan suatu acara khusus (misalnya gugatan cerai) sedangkan tuntutan yang lain harus diperiksa menurut acara biasa (gugatan untuk memenuhi perjanjian), maka kedua tuntutan itu tidak dapat dikumulasikan dalam satu gugatan.
5. Apabila ada salah satu tuntutan hakim tidak berwenang memeriksa sedangkan tuntutan lainnya hakim tidak berwenang, maka kedua tuntutan itu tidak boleh diajukan bersama-sama dalam satu gugatan.
4. Tujuan Kumulasi Gugatan37
Tujuan diterapkanya kumulasi gugatan adalah untuk
menyederhanaka proses pemeriksaan dipersidangan dan menghindari
putusan yang saling bertentangan. Adapun tujuan dari kumulasi
gugatan adalah:
a. Mewujudkan peradilan sederhana melalui sistem penggabungan
beberapa gugatan dalam satu gugatan, dapat dilaksanakan
penyelesaian beberapa perkara melalui proses tunggal, dan
dipertimbangan serta diputuskan dalam satu putusan.
b. Menghindari putusan yang saling bertentangan apabila terdapat
koneksitas antara beberapa gugatan, cara yang efektif untuk
menghindari terjadinya putusan yang saling bertentangan, dengan
jalan menempuh sistem kumulasi atau penggabungan gugatan.
25
5. Bentuk Kumulasi Gugatan
Penggabungan gugatan dapat terjadi dalam beberapa bentuk,
yaitu:
a. Perbarengan (Concursus, Samenloop, Codincidence)
Penggabungan ini dapat terjadi apabila seorang penggugat
mempunyai beberapa tuntutan yang menuju pada suatu akibat
hukum saja.Apabila satu tuntutan sudah terpenuhi, maka tuntutan
yang lain dengan sendirinya terpenuhi pula.Misalnya dalam perkara
wali adhal, dispensasi kawin, dan izin kawin digabung dalam satu
gugatan karena ketiga perkara tersebut mempunyai hubungan yang
sangat erat satu sama lainnya dan mempunyai tujuan yang sama
yaitu terlaksananya akad perkawinan sebagai\mana yang diminta
oleh pemohon.Jika izin kawin dikabulkan oleh hakim, maka dengan
sendirinya dispensasi kawin dan penetapan wali ad}al terselesaikan
pula.Penggabungan perkara seperti ini akan menghemat waktu,
tenaga, dan lebih praktis karena ketiga perkara yang tujuannnya
sama dapat diselesaikan sekaligus.38
b. Penggabungan Subjektif (Subjective Cumulation)
Penggabungan subjektif dapat terjadi apabila terdapat
beberapa orang penggugat melawan seorang tergugat, atau
seorang penggugat melawan beberapa orang tergugat, atau
38
26
beberapa orang penggugat melawan beberapa orang tergugat
dalam satu gugatan.39
c. Penggabungan Objektif (Objective Cumulation)
Apabila penggugat mengajukan lebih dari satu objek
gugatan dalam satu perkara sekaligus. Ini merupakan
penggabungan dari tuntutan disebut kumulasi objektif 40. Contoh
penggabungan gugatan cerai dengan harta bersama.
d. Intervensi
Intervensi yaitu suatu aksi hukum oleh pihak
yang berkepentingan dengan jalan melibatkan diri atau dilibatkan
oleh salah satu pihak dalam suatu perkara perdata yang sedang
berlangsung antara dua pihak yang sedang berperkara.41 Ada tiga
macam bentuk intervensi:
1. Menyertai (Voeging)
Pihak ketiga mencampuri sengketa yang sedang
berlangsung antara penggugat dan tergugat dengan bersikap
memihak kepada salah satu pihak dan dimaksudkan untuk
melindungi kepentingan hukumnya sendiri dengan jalan membela
salah satu pihak yang bersengketa. Disyaratkan adanya
kepentingan hukum pada pihak ketiga yang mencampuri
sengketa, yang ada hubungannya dengan pokok sengketa antara
39Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2008), 72.
27
penggugat dan tergugat (pasal 279 Rv).42
2. Menengahi (Tussenkomst)
Tussenkomst ialah masuknya pihak ketiga sebagai
pihak yang berkepentingan ke dalam perkara perdata yang
sedang berlangsung untuk membela kepentingan sendiri dan
oleh karena itu ia melawan kepentingan kedua belah pihak,
(yaitu penggugat dan tergugat) yang sedang berperkara.43
3. Ditarik sebagai penjamin (Vrijwaring)
Vrijwaring yaitu suatu aksi hukum yang dilakukan oleh
tergugat untuk menarik pihak ketiga ke dalam perkara guna
menjamin kepentingan tergugat dalam menghadapi gugatan
penggugat.44
6. Perkara yang bisa Dikumulasikan
Dalam pasal 66 ayat (5) dan pasal 86 ayat (1) dijelaskan
bahwa perkara penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri,
dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama
dengan gugatan cerai ataupun permohonan cerai talak.Jadi,
dalam kedua pasal ini terlihat bahwa saat pengajuan perkara
gugat cerai ataupun permohonan cerai talak dapat
digabung dengan perkara penguasaan anak, nafkah anak,
42Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia…, 59.
28
nafkah istri, dan harta bersama suami istri. Abdul Manan
dalam bukunya menjelaskan bahwa dalam perkara wali adhal
dispensasi kawin dan izin kawin dapat digabungkan dalam
satu gugatan.
7. Beberapa penggabungan yang tidak dibenarkan
Terdapat beberapa penggabungan yang dilarang oleh
hukum, larangan tersebut bersumber dari hasil pengamatan praktik
peradilan anatara lain:45
a. Pemilik objek gugatan berbeda
Penggugat mengajukan gugatan kumulasi terhadap beberapa
objek, dan masing-masing objek gugatan, dimiliki oleh orang yang
berbeda atau berlainan.Penggabungan yang demikian baik secara
subjektif dan objektif, tidak dibenarkan.Hal ini dikemukakan dalam
putusan MA No.201 K/Sip/1974.
b. Gugatan yang digabungkan tunduk pada hukum acara yang berbeda
Penggabungan gugatan bertitik tolak pada prinsip,
perkara yang digabungkan tunduk pada hukum acara yang sama.
Tidak dibenarkan menggabungkan beberapa gugatan yang tunduk
kepada hukum acara yang berbeda. Penerapan yang demikian
ditegaskan dalam putusan MA No. 667 K/Sip 1972.
c. Gugatan tunduk pada kompetensi absolut yang berbeda
Jika terdiri dari beberapa gugatan yang masing-masing
29
tunduk kepada kewenangan absolut yang berbeda, penggabungan tidak
dapat dibenarkan.Yang mungkin selalu terjadi dalam kasus yang
seperti itu adalah gugatan perdata TUN dan gugatan perdata hak milik
atau Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Bertitik tolak pada
ketentuan pasal 10 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 (diubah
dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999) sekarang diatur dalam
pasal 2 jo. pasal 10 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 dan
Undang-Undang No. 6 Tahun 1986 (tentang Peradilan TUN), gugatan perdata
TUN secara absolut menjadi kewenangan Peradilan TUN sedangkan
sengketa hak milik dan PMH menjadi yuridiksi absolut Peradilan
Umum (PN). Berdasarkan pembagian fungsi dan kewenangan absolut
tersebut, tidak dibenarkan melakukan penggabungan gugatan yang
berbeda yuridiksi mengadilinya.
d. Gugatan rekonvensi tidak ada hubungan dengan gugatan konvensi.
Sesuai dengan ketentuan pasal 132 a ayat (1) HIR, tergugat
berhak mengajukan gugatan rekonvensi, sehingga terjadi
penggabungan antara konvensi dan rekonvensi.Akan tetapi
kebolehan yang seperti itu, tetap berpatokan pada syarat, terdapat
30
B. IZN POLIGAMI
1. Pengertian Poligami
Kata poligami, secara etimologi berasal dari bahasa Yunani,
yaitu polus yang berarti banyak dan gamos yang berati perkawinan.
Bila pengertian kata ini digabungkan, maka poligami akan berarti
suatu perkawinan yang banyak atau lebih dari seseorang.46 Dalam
kamus besar bahasa Indonesia poligami bermakna sistem perkawinan
yang salah satu pihak memiliki/ mengawini beberapa lawan jenisnya
dalam satu waktu bersamaan.47
Istilah poligami dalam bahasa Arab yaitu 48 yang
artinya laki-laki yang mengumpulkan dalam satu tanggunganya dua
atau empat orang istri yang tidak boleh darinya.49
Para ahli membedakan istilah bagi seorang laki-laki yang
mempunyai lebih dari seorang istri dengan istilah poligini yang
berasal dari kata polus berarti banyak dan gune yang berarti
perempuan. Sedangkan bagi seorang istri yang mempunyai lebih
dari seorang suami disebut poliandri yang berasal dari kata polus
46 M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), 351. 47 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1990), 885. 48
A.W. Munawwir dan Muhammad Fairuz, Kamus Al-Munawwir Versi Indonesia-Arab, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2007), 680.
49
Ariij bin Abdurrahman A-Saman, Memahami Keadilan dalam Poligami, (Jakarta: Darus
31
berarti banyak dan Andros berarti laki-laki.50
Jadi, kata yang tepat bagi laki-laki yang mempunyai istri lebih
dari seorang dalam waktu yang bersamaan adalah poligini bukan
poligami.Meskipun demikian, dalam perkataan sehari-hari yang
dimaksud dengan poligami itu adalah perkawinan seorang laki-laki
dengan lebih dari seorang perempuan dalam waktu yang bersamaan.
yang dimaksud poligini itu, menurut masyarakat umum adalah
poligami.51
2. Dasar Hukum Poligami
a. Al-Quran
Allah SWT memperbolehkan berpoligami sampai empat
orang istri dengan syarat berlaku adil kepada mereka. Yaitu adil
dalam melayani istri, seperti urusan nafkah, tempat tinggal,
pakaian, giliran, dan segala hal yang bersifat lahiriah. Jika tidak
bisa berlaku adil maka cukup satu istri saja (monogami).52 Hal ini
sebagai mana yang terdapat dalam firman Allah SWT dalam surat
An-Nisa (4) ayat 3
Artinya:Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap
50
M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, 352.
51
Ibid. 52
32
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.53
b. Al-Hadis
54
Artinya: Diceritakan dari Ahmad bin Ibra>hi>m al-Dawraqiy berkata: Diceritakan dari Husyaym, dari Ibn Abi> Layla, dari H}umad}ah binti al-Syamardal, dari Qays bin al-H}a>ris\ berkata: “Saya telah masuk
Islam dan saya memiliki delapan istri, maka saya mendatangi Nabi Muhammad SAW dan saya mengatakan hal tersebut kepadanya”, beliau bersabda: “Pilihlah empat di antara mereka.”
c. Hukum Positif
1. Pasal 3 ayat (2) Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UU No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan
Pasal 3 ayat (2) yang berbunyi: “Pengadilan, dapat
memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.’’55 Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi: “Dalam hal
seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana
53
Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahanya, ( Bandung : Diponegoro, 2008), 7.
33
tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang- Undang ini, maka ia
wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah
tempat tinggalnya.”
Serta alasan poligami yang bersifat fakultatif, tercantum
pada pasal 4 ayat (2) yang berbunyi: “Pengadilan dimaksud dalam
ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami
yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. istri tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;b. istri mendapat
cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c.
istri tidak dapat melahirkan keturunan.”
2. Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 tentang
pernikahan
Syarat-syarat yang harus dipenuhi ketika hendak poligami
tercantum pada pasal 5 ayat (1), yang berbunyi:
Untuk dapat mengajukan permohona kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:a. adanya persetujuan dari istri/istri-istri;b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka; c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
Apabila syarat untuk poligami pada pasal 5 ayat (1) huruf
a tidak terpenuhi maka pada pasal 5 ayat (2) dijelaskan:
34
istrinya, selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu penilaian dari hakim pengadilan.
3. Pasal 40 dan pasal 41 PP No. 9 Tahun 1975
Pasal 40 berbunyi,”Apabila seorang suami bermaksud
untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan
permohonan secara tertulis kepada pengadilan.” Setelah
permohonan diajukan di pengadilan maka pengadilan
melaksanakan tugasnya yang tercantum pada pasal 41 yang
berbunyi:
Pengadilan ini memeriksa mengenai: a. Ada atau tidak adanya alasan yang menunjukkan seorang suami kawin lagi, ialah : 1) Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. 2) Bahwa istri mendapat cacat yang sulit disembuhkan. 3) Bahwa istri tidak dapat memberikan keturunan. b. Ada atau tidak adanya perjanjian dari istri, baik perjanjian lisan maupun tertulis, apabila perjanjian itu merupakan perjanjian lisan, perjanjian itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan. c. ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak, dengan memperhatikan: i.surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja; atau ii. surat keterangan pajak penghasilan; atau iii. surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan; d. ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.
4. Pasal 42, pasal 43 dan pasal 44 PP No. 9 Tahun 1975
Pasal 42 yang berbunyi: “(1) Dalam melakukan
pemeriksaan mengenai hal-hal pada pasal 40 dan 41, pengadilan
harus memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan. (2)
35
lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterima surat
permohonan beserta lampiran-lampirannya.”
Pasal 43 yang berbunyi:“Apabila pengadilan berpendapat
bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari
seorang, maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa
izin untuk beristri lebih dari seorang.” Dan pasal 44 yang
berbunyi: “Pegawai pencatat dilarang untuk melakukan
pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih
dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan seperti yang
dimaksud dalam pasal 43.”
5. Pasal 55 Kompilasi Hukum Islam
Pasal 55 yang berbunyi: “(1) Beristri lebih satu orang pada
waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat istri. (2)
Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu
berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. (3) Apabila
syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi,
suami dilarang beristri dari seorang.”
6. Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam
36
7. Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam
Pasal 57 yang berbunyi:“Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:a.Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.b.Bahwa istri mendapat cacat yang sulit disembuhkan. c. Bahwa istri tidak dapat memberikan keturunan.”
8. Pasal 58 Kompilasi Hukum Islam
Pasal 58 yang berbunyi: (1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu: a. adanya persetujuan istri; b.adanya kepastian bahwa suami mampu menjalankan keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan istri atau istri- istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama. (3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-istrinya sekurang- kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim.
9. Pasal 49 Kompilasi Hukum Islam
37
C. Isbat Nikah
1. Pengertian Is\bat Nikah
Isbat nikah terdiri dari dua kata yaitu Isbat dan nikah. Isbat
berasal dari kata bahasa Arab
)
56 yang berarti penetapan,pengukuhan, pengiyaan (isbat) dan arti menikah yaitu bergabung ),
hubungan kelamin
)
dan juga berarti akad ( )57Dalam Kamus besar bahasa Indonesia, is\bat berarti
penyungguhan, penetapan atau penentuan.Sedangkan is\bat nikah
berati penetapan, kebenaran (keabsahan) nikah.58
2. Dasar Hukum Isbat Nikah
bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, dan rahmah.”
b. Pasal 5 KHI
Pasal 5 yang berbunyi:“Agar terjamin ketertiban perkawinan
bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. (2)
Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam
Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang-Undang-Undang No. 32 Tahun
56
A.W. Munawwir, Al-Munawwir : Kamus Arab-Indonesia Terlengkap,… 145.
57
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), 36.
58
38
1954.”
c.Pasal 7 KHI
Pasal 7 menjelaskan tentang alasan-alasan mengajukan is\bat nikah, pasal ini berbunyi: (1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. (2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. (3) Is\bat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan: (a) adanya perkawinan dalam rangka peyelesaian perceraian; (b) hilangnya akta nikah; (c) adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; (d) adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan; (e) perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974;
d. Pasal 2 UU No.1 Tahun 1974
Pasal 2 yang berbunyi:“(1) Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
e. Pasal 2 PP No. 9 Tahun 1975
39
f. Pasal 3 PP No. 9 Tahun 1975
Pasal 3 yang berbunyi:(1)Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan dilangsungkan. (2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya sepuluh hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. (3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh camat atas nama Bupati Kepala Daerah.
g. Pasal 4 dan pasal 6 PP No. 9 Tahun 1975
Pasal 4 yang berbunyi:“Pemberitahuan dilakukan secara lisan
atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau
wakilnya.” Dan pasal 6 yang berbunyi: “(1) Pegawai Pencatat
yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan
perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah
dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut
Undang-Undang.”
40
disahkan oleh Pegawai Pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak adapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.
h. Pasal 11 PP No. 9 Tahun 1975
Pasal 11 yang berbunyi:(1)Sesaat sesudah
dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh PegawaiPencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.(2)Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.
(3)Dengan penandatanganan akta perkawinan,maka
perkawinan telah tercatat secara resmi.
i. Pasal 12 PP No. 9 Tahun 1975
Akta perkawinan memuat:a.Nama, tanggal dan tempat lahir, agama/kepercayaan,pekerjaan dan tempat kediaman suami-istri; Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istriatau suamiterdahulu. b.Nama,agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua mereka; c. Izin sebagai dimaksud dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang-Undang; d. Dispensasi sebagai dimaksud dalam pasal 6 ayat (2) Undang-Undang; e. Izin pengadilan sebagai dimaksud dalam pasal 4 Undang-Undang; f. Perjanjian sebagai dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) Undang-Undang; g. Izin dari pejabat yaang ditunjukoleh Menteri HANKAM/PANGAB bagi anggota Angkatan Bersenjata; h. Perjanjian perkawinan apabila ada; i. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman para saksi dan wali nikah bagi yang beragama Islam; j. Nama,umur,agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.
j.Pasal 13 PP No.9 Tahun 1975
41
dibuat dalam rangkap 2 (dua) helai pertama disimpan oleh
Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada panitera
pengadilan dalam wilayah Kantor Pencatatan Perkawinan itu
berada. (2) Kepada suami dan istri masing- masing diberikan
kutipan akta perkawinan.”
3.Faktor-faktor sebab isbat nikah
Tercantum dalam KHI pasal 7 ayat (3) yang berbunyi:
Is|bat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama
terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan: (a) adanya
perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;(b) hilangnya
akta nikah; (c) adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah
satu syarat perkawinan;(d)adanya perkawinan yang terjadi
sebelum berlakunya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan; (e)
perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai
halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun
1974;
Selain itu, di Pengadilan Agama sering juga orang
mengajukan is|bat nikah karena nikah sirri. Adapun pengertian
nikah sirri adalah nikah yang telah memenuhi syarat dan rukun
suatu perkawinan yang legal sesuai dengan ketentuan hukum
42
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia.59 Sehingga pernikahan
sirri yang dilakukan oleh pasangan suami-istri tidak mendapat
akta nikah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pernikahan ini menjadi sukar untuk dilegalkan serta
tidak mempunyai landasan hukum yang jelas karena praktik
pernikahan sirri yang dilakukan sebagian umat Islam dihadapan
kyai, tengku, ulama, tuan guru atau modin. Kerancuan yang
terjadi adalah:
a. Pada saat dilangsungkan akad nikah, yang menjadi wali nikah
adalah kyai, guru, tengku, modin, sementara tidak ada
pendelegasian hak wali tersebut dari wali nikah yang berhak
kepada kyai, tengku atau modin tersebut. Pernikahan tersebut
tidak diketahui sama sekali oleh wali yang sah. Akad nikah
semacam ini jelas tidak sah karena cacat di bidang wali nikah.
Sedangkan, di dalam Islam dikenal prioritas wali.
b. Pada saat perkawinan dilaksanakan, tidak diperhitungkan
apakah calon istri masih dalam ikatan perkawinan dengan suami
lain atau tidak.
4.Yang berhak mengajukan isbat nikah
Dalam KHI pasal 7 ayat (4) dijelaskan bahwa:
“Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami
atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak-pihak yang
59
43
berkepentingan dengan perkawinan itu.”60
Dapat dipahami dari pasal di atas, orang-orang
yang berhak mengajukan permohonan is|bat nikah hanya
orang-orang tertentu yaitu suami atau istri, mereka adalah pihak yang
terlibat langsung dalam pernikahan. Hal ini berhubungan dengan
status perkawinan mereka di mata hukum, selain itu suami
atau/dan istri yang ingin melegalkan perkawinan dengan tujuan
untuk kepastian hukum atau pun untuk menyelesaikan
perceraian .
Selain itu anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut,
berhak juga mengajukan is\|bat nikah kedua orang tuanya. Yaitu
untuk memperoleh hak-hak mereka dapat akibat dari pernikahan
kedua orang tua mereka seperti akta kelahiran ataupun untuk
memperoleh warisan. Begitu pula wali nikah ataupun
pihak-pihak yang berkepentingan dengan perkawinan tersebut
seperti Petugas Pencatat Nikah (PPN).
D. Penetapan Anak
1. Pengertian Penetapan Anak
Kata penetapan berarti, penyuguhan atau penentuan.
Menetapkan berarti menyuguhkan, menentukan, menetapkan
60
44
(kebenaran sesuatu)61 sedangkan pengertian anak adalah seorang
yang dilahirkan dari perkawinan antara seorang perempuan
dengan seorang laki-laki dengan melalui pernikahan yang tercatat
di Kantor Urusan Agama maupun yang tidak tercatat.62
Jadi pada dasarnya penetapan anak adalah pengesahan
atas anak yang terlahir dari sebuah pernikahan antara laki-laki
dan wanita yang mana perkawinan tersebut tidak tercatat di
Kantor Urusan Agama dan dari hasil pernikahan tersebut
menghasilkan seseorang anak yang belum memiliki status hukum
atau penetapan anak yang terlahir dari pernikahan kedua orang
tuanya.
Penetapan anak merupakan produk Pengadilan Agama,
dalam arti bukan pengadilan yang sesungguhnya dan diistilahkan
dengan Jurusdiktio Voulentair. Dikatan bukan peradilan yang
sesunggunhya karena, didalam perkara ini hanya ada memohon
untuk ditetapkan tentang sesuatu yaitu penetapan anak. Perkara
voluntair adalah perkara yang sufatnya permohonan dan
didalamnya tidak terdapat sengketa, sehingga tidak ada lawa. Hal
ini sama halnya seperti isbat nikah/penetapan nikah. Pada
dasarnya perkara permohonan tidak dapat diterima, kecuali
kepentingan Undang-undang menghendaki demikian.63
61
Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Balai Pustaka, 1990), 339. 62 Slamet Abidin, Fiqih Munakahat I, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 49.
45
Produk perkara voluntair ialah penetapan. Nomor
perkara permohonan diberi tanda P, misalnya seperti : 123/
Pdt.P/1997/PA.SMG. Karena penetapan muncul sebagai produk
pengadilan atas permohonan pemohon yang tida berlawanan maka
dicantumkan penetapan tidak akan berbunyi menghukum
melainkan bersifat menyatakan (declaratoir)
Adapun asas yang melekat pada putusan penetapan,
pertama asas kebenaran yang melekat pada penetapan
hanya”kebenaran sepihak’. Kebenaran yang terkandung di dalam
penetapan hanya kebenaran yang bernilai untuk diri pemohon,
kebenaran tidak menjangkau orang lain. Dari asas ini lahirlah
asas berikutnya, yakni kekuatan mengikat penetapan hanya
berlaku pada diri pemohon, ahli warisnya dan orang yang
memperoleh hak darinya, sama sekali tidak mengikat siapapun
kecuali hanya mengikat kepada yang telah disebut di atas.64
Selanjutnya asas yang ketiga, menegaskan putusan
penetapan tidak mempunyai kekuatan pembuktian kepada pihak
siapapun. Seterunya yaitu asas putusan penetapan tidak memiliki
kekuatan eksukutorial. Hal ini dapat dipahami karena amar
putusan berdifat deklaratoir sehingga tidak mungkin memiliki
nilai kekuatan eksekusi.65
64