• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA AMBARAWA TENTANG KUMULASI PERMOHONAN IZIN POLIGAMI, ISBAT NIKAH DAN PENETAPAN ANAK : STUDI PUTUSAN NOMOR 003/PDT.G/2012/PA.AMB.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA AMBARAWA TENTANG KUMULASI PERMOHONAN IZIN POLIGAMI, ISBAT NIKAH DAN PENETAPAN ANAK : STUDI PUTUSAN NOMOR 003/PDT.G/2012/PA.AMB."

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA

AMBARAWA TENTANG KUMULASI PERMOHONAN IZIN

POLIGAMI, ISBAT NIKAH DAN PENETAPAN ANAK

(Studi Putusan Nomor 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb)

SKRIPSI

Oleh

Muhammad Afif Attabaroh

NIM. C01211047

Universitan Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga

Surabaya

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul “Analisi Terhadap Putusan PA Ambarawa Tentang

Kumulasi Permohonan Izin Poligami, Isbat Nikah dan Penetapan Anak (Studi

Putusan Nomor : 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb)” ini merupakan hasil penelitian di

Pengadilan Agama Ambarawa yang bertujuan untuk menjawab 3 (tiga) pertanyaan : 1) Bagaimana putusan Pengadilan Agama Ambarawa dalam memutus perkara No. 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb tentang kumulasi permohonan izin poligami, isbat nikah dan penetapan anak? 2) Apa saja pertimbangan hakim dalam memutus perkara tentang kumulasi izin poligami, isbat nikah dan penetapan anak? 3) Bagaimana analisi terhadap putusan PA Ambarawa tentang kumulasi permohonan izin poligami, isbat nikah dan penetapan anak?

Guna mendapatkan data, penulis menggunakan tehnik pengumpulan data melalui dokumentasi dan wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Ambarawa. Selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analitis dengan pola pikir deduktif sehingga mendapatkan gambaran yang jelas mengenai ada atau tidaknya kesesuaian antara putusan Pengadilan Agama Ambarawa dengan hukum acara perdata.

Berdasarkan hasil penelitian penulis menyebutkan bahwa: Pertama yang menjadikan dasar hukum hakim dalam menerima perkara ini, majelis hakim Pengadilan agama ambarawa didasari oleh bukti-bukti dan para saksi yang dihadirkan dalam persidangan serta Undang-undang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Kedua yang menjadikan dasar hukum hakim yaitu perkara ini sudah memenuhi syarat kumulatif dan alternative dan juga sesuai dengan asas peradilan yang sederhana, biaya ringan dan cepat.

Dari hasil penelitian ini penulis mengambil kesimpulan bahwasanya majelis hakim dalam menerima dan memutus perkara tersebut sudah sesuai dengan Undang-undang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, akan tetapi apabila ditinjau dari segi hukum acara perdata, majelis hakim kurang cermat dalam memberikan putusan dalam perkara tersebut. Karena ada perkara di dalamnya tidak dapat dikumulasikan menjadi satu putusan.

(6)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN... ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING… ... iii

PENGESAHAH… ... iv

MOTO … ... v

ABSTRAK … ... vi

KATA PENGANTAR … ... vii

DAFTAR ISI … ... viii

DAFTARTRANSLITERASI ………. ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah… ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah… ... 11

C. Rumusan Masalah… ... 12

D. Kajian Pustaka… ... 12

E. TujuanPenelitian… ... 15

F. Kegunaan Hasil Penelitian… ... 16

G. Definisi Operasional… ... 16

H. Metode Penelitian… ... 17

I. Sistematika Pembahasan… ... 20

BAB II KUMULASI GUGATAN IZIN POLIGAMI, ISBAT NIKAH DAN PENETAPAN ANAK A. Kumulasi Gugatan… ... 22

1. Pengertian Kumulasi… ... 22

2. Syarat Kumulasi… ... 22

3. Dasar Hukum Kumulasi… ... 23

4. Tujuan Kumulasi… ... 24

5. Bentuk Kumulasi… ... 25

(7)

7. Beberapa Penggabungan yang Tidak Dibenarkan… .... 28

B. Izin Poligami… ... 30

1. Pengertian Poligami… ... 30

2. Dasar Hukum Poligami… ... 31

a.Al-Quran… ... 31

b.Al-Hadis… ... 32

c.Hukum Positif… ... 32

C. Isbat Nikah… ... 37

1. Pengertian Isbat Nikah… ... 37

2. Dasar Hukum Isbat Nikah… ... 41

3. Faktor-Faktor Sebab Isbat Nikah… ... 42

4. Yang Berhak Mengajukan Isbat Nikah… ... 43

D. Penetapan Anak… ... 44

1. Pengertian Penetapan Anak... ... 44

2. Dasar Hukum Penetapan Anak… ... 46

BAB III DESKRIPSI PERKARA PA AMBARAWA NOMOR: 0030/PDT.G/2012 A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Ambarawa… ... 47

1. Sejarah Singkat dan Letak geografis Pengadilan Agama Ambarawa…... 47

2. Wilayah Yuridiksi Pegadilan Agama Ambarawa… ... 48

3. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Ambarawa… . 49 B. Deskrpisi Kasus Kumulasi Permohonan Izin Poligami, Isbat, Nikah dan Penetapan Anak di PA Ambarawa… ... 50

1. Duduk Perkara Permohonan Izin Poligami, Isbat Nikah dan Penetapan Anak… ... 50

(8)

3.

Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Agama

Ambarawa Dalam Memutus Perkara Izin Poligami, Isbat Nikah dan Penetapan Anak… ... 58

BAB IV ANALISIS KUMULASI PERMOHONAN IZIN POLIGAMI, ISBAT

NIKAH DAN PENETAPAN ANAK

A. Analisi Terhadap Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb… ... 61

B. Analisis Putusan Hakim Dalam Memutus Perkara Nomor:

0030/Pdt.G/2012/Pa.Amb………. 64

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 72 B. Saran-saran ... 73

(9)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebelum diberlakukan undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama, berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 63 ayat

(2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka semua putusan

Pengadilan Agama harus dikukuhkan oleh peradilan umum. Ketentuan ini

membuat Peradilan Agama secara devacto lebih rendah kedudukannya dari

Peradilan Umum. Padahal secara yuridis formal dalam pasal 10 UU Nomor 14

Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman

dinyatakan, bahwa ada empat lingkungan peradilan di Indonesia, yaitu

Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata

Usaha Negara.1

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, keberagaman

hukum peradilan agama telah sirna. Sejak saat itulah tercipta kesatuan

hukum yang mengatur peradilan agama di dalam kerangka sistem dan tata

hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Tahun 1945. Dengan demikian, Undang-Undang yang mengatur susunan,

kekuasaan, dan hukum acara peradilan agama dalam lingkungan peradilan

agama merupakan pelaksanaan ketentuan dan asas yang tercantum dalam

1 Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada Peradilan

(10)

2

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman.2

Secara umum, isi UU No. 7 Tahun 1989 memuat beberapa perubahan

tentang penyelenggaraan peradilan agama di Indonesia, yaitu: perubahan

tentang dasar hukum penyelenggaraan peradilan agama di Indonesia,

kedudukan peradilan agama dalam tata peradilan nasional, kedudukan hakim

peradilan agama, kekuasaan pengadilan dalam lingkungan peradilan agama,

hukum acara peradilan agama, administrasi peradilan agama, dan perubahan

tentang perlindungan terhadap wanita.3

Hukum acara Peradilan Agama yang dimaksud dalam UU No. 7 Tahun

1989 diletakkan dalam BAB IV yang terdiri dari 37 pasal. Tidak semua

ketentuan tentang hukum acara Peradilan Agama dimuat secara lengkap

dalam UU No. 7 Tahun 1989 ini,4 hal ini dapat dilihat dari pasal 54 yang

menyatakan bahwa, “Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam

lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada

pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur

secara khusus dalam Undang-Undang ini.” 5

Menurut pasal di atas, hukum acara Peradilan Agama sekarang

bersumber (garis besarnya) pada dua aturan, yaitu: yang terdapat dalam

Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 yang berlaku di Peradilan Umum.

2Abdul Rachmad Budiono, Peradilan Agama dan Hukum Islam di Indonesia, (Malang: Bayumedia

Publishing, 2003), 9.

3Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:

Kencana, 2008), 273-274.

4Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:

Kencana, 2008), 7.

(11)

3

Peraturan perundang-undangan yang menjadi inti Hukum Acara

Perdata Peradilan Umum, antara lain:6

1. HIR (Het Herziene Inlandsche Recthvordering Reglement) / RIB

(Reglement Indonesia yang di Baharui)

2. R.Bg (Recth Reglement Buitengewesten)

3. Rsv (Reglement op de Bulgerlijke Recth svordering)

4. BW (Bulgerlijke Wetboek)

5. UU No. 2 Tahun 1986 jo UU No. 8 Tahun 2004 jo No. 48 Tahun 2009

Tentang Peradilan Umum.

Peraturan perundang-undangan tentang acara perdata yang sama-sama

berlaku bagi lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama, yaitu:7

1. UU Nomor 14 Tahun 1970 jo UU Nomor 35 Tahun 1999 jo UU Nomor 4

Tahun 2004 jo UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman

2. UU Nomor 14 Tahun 1985 jo UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang

Mahkamah Agung

3. UU Nomor 1 Tahun 1974 dan PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang

Perkawinan dan Pelaksanaannya.

4. UU Nomor 7 tahun 1989 jo UU Nomor 3 Tahun 2006 jo UU Nomor 50

Tahun 2009.8

6Roihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Rajawali Pres, 2010), 21. 7

Ibid. 8

(12)

4

5. Undang-undang tentang Perbankan Syariah dan segala peraturan yang

berkaitan dengan perekonomian syariah.

6. UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolahan Zakat dan UU Nomor

41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

7. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

8. Peraturan Mahkamah Agung dan Surat Edaran Mahkamah Agung RI

yang berkaitan dengan hukum acara perdata.

9. Peraturan/Keputusan Mentri yang berkaitan seperti Menteri Agama dan

Menteri Hukum dan HAM.

10.Yurisprudensi Mahkamah Agung.

11.Doktrin Hukum.

Dijelaskan dalam perubahan pertama UU Peradilan Agama, Pasal 49

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, bahwa “Pengadilan Agama bertugas

dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat

pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang: Perkawinan,

Kewarisan, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, Sodaqoh, dan Ekonomi

Syariah.”9

Perkara perdata yang akan diajukan di pengadilan itu

sekurang-kurangnya terdiri dari dua pihak, yaitu penggugat dan tergugat10 kemudian

salah satu pihak yang berkepentingan harus mengajukan gugatan atau

permohonan. Kemudian setelah gugatan atau permohonan terdaftar,

9 Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, (Jakarta:PT Intermasa,

2009), 23.

(13)

5

pengadilan bisa memeriksa perkara. Dari beberapa wewenang absolut

pengadilan agama, salah satu wewenang yang ditangani adalah bidang

perkawinan.

Kumulasi gugatan terdiri dari dua jenis yaitu11 : kumulasi subjektif dan

kumulasi objektif. Kumulasi subjektif adalah penggabungan beberapa

penggugat dan tergugat dalam satu gugatan (Pasal 127/HIR 151 RB.g., Pasal

1283-1284 BW ), seperti dalam kewarisan yang terdiri dari beberapa

penggugat melawan seorang tergugat atau seorang penggugat melawan

beberapa tergugat atau beberapa penggugat melawan beberapa tergugat.

Sedangkan kumulasi objektif adalah penggabungan beberapa tuntutan

terhadap beberapa peristiwa hukum dalam satu gugatan (Pasal 66 ayat (5)

dan Pasal 86 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989), seperti gugatan perceraian

yang dikumulasikan dengan tuntutan nafkah, hadhanah, mut’ah dan harta

bersama perlu dihindari.

Penggabungan/kumulasi beberapa gugatan menjadi satu dapat

dilakukan apabila gugatan-gugatan yang digabungkan tersebut memiliki

hubungan dan keterkaitan erat atau memiliki koneksitas. Untuk menentukan

adanya hubungan erat ini harus dibuktikan berdasarkan fakta-fakta.

Penggabungan/kumulasi diperkenankan apabila menguntungkan

proses, yaitu apabila antara satu gugatan dengan gugatan lain memiliki

koneksitas dan penggabungan tersebut akan mempermudah pemeriksaan serta

11

(14)

6

bisa mencegah kemungkinan adanya putusan-putusan yang saling

bertentangan.

Pengadilan Agama Ambarawa terdapat sebuah putusan tentang

kumulasi permohonan izin poligami, isbat nikah dan penetapan anak pada

perkara Nomor : 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb. dalam kasus ini pemohon

bernama Tri Basuki bin Solaeman mengajukan permohonan izin poligami,

isbat nikah dan sekaligus penetapan anak dalam satu permohonan. Dari pihak

termohon bernama Emilia binti Abdullah Thoriq. Permohonan ini diajukan

oleh pihak Pemohon diawali dengan izin berpoligami, kemudian ingin

mengisbatkan pernikahanya dengan istri yang kedua dan sekaligus ingin

menetapkan anak-anak yang terlahirkan atas pernikahan terhadap istri yang

kedua. Pemohon melaksanakan pernikahanya dengan istri yang kedua

disebabkan karena istri pertama tidak dapat melahirkan lagi, disebabkan istri

pertama sudah dua kali melakukkan operasi cesar sehingga tidak dapat

melahirkan lagi. Dalam permohonan ini, pemohon merangkap menjadi satu

permohonan kepada Pengadilan Agama Ambarawa, dan Pengadilan

menerimanya menjadi satu permohonan yang terdaftar dalam register perkara

Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb.

Pada pasal 49 ayat (2) dijelaskan bahwa “bidang perkawinan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 ayat (1) huruf a ialah hal-hal yang

(15)

7

berlaku.”12 Salah satu undang-undang perkawinan yang berlaku di Indonesia

adalah UU Nomor 1 Tahun 1974.

Menurut penjelasan pasal 49 ayat (2), yang dimaksud dengan bidang

perkawinan yang diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 antara lain:13

1. Izin beristri lebih dari seorang (izin poligami)

2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang berumur 21 tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat

3. Dispensasi kawin 4. Pencegahan perkawinan

5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah 6. Pembatalan perkawinan

7. Perceraian karena talak 8. Gugatan perceraian

9. Penyelesaian harta bersama 10.Mengenai penguasaan anak

11.Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain dan seterusnya.

Masalah poligami dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 diatur

dalam pasal 3, 4, dan 5. Pasal 3 ayat (1) menyatakan bahwa “Pada asasnya

dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri

dan seorang wanita boleh mempunyai seorang suami.”14 Jika dilihat

ketentuan pasal 3 ayat (1) tersebut terlihat bahwa undang-undang perkawinan

mengikuti asas monogami. Hanya saja asas tersebut tidak mutlak seperti

dalam BW. Hal ini terlihat dalam pasal 3 ayat (2) yang menentukan bahwa,

12Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,

(Bandung:Kiblat Press,2006), 46.

13M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2009), 139-140.

(16)

8

pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami beristri lebih dari

seorang apabila hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.15

Tidak jarang terjadi bahwa penggugat mengajukan lebih pada satu

tuntutan dalam satu perkara sekaligus. Ini merupakan penggabungan dari

beberapa tuntutan yang disebut kumulasi obyektif. Sebagaimana dalam

penelitian yang penulis lakukan ini yaitu, penelitian terhadap putusan

Pengadilan Agama Ambarawa yang menangani perkara kumulasi

permohonan izin poligami, istbat nikah dan sekaligus didalamnya ada

permohonan penetapan anak. Hukum Positif tidak mengatur penggabungan

permohonan atau gugatan, baik dalam HIR maupun RBG, tidak mengaturnya.

Begitu juga dengan RV, tidak mengatur secara tegas dan tidak pula

melarangnya. Meskipun HIR dan RBG maupun RV tidak mengatur, peradilan

sudah lama mengaturnya dan menerapkanya, yang dibolehkan apabila

gugatan tersebut terdapat hubungan-hubungan yang erat. Kalau ditinjau dari

hukum acara perdata, bahwasanya antara izin poligami dengan istbat nikah

tidak dapat digabungkan dalam satu permohonan kepada pengadilan agama,

karena izin poligami produk hukumnya berupa putusan, sedangkan itsbat

nikah produk hukumnya berupa penetapan.

Kemudian juga antara izin poligami dan itsbat nikah berbeda jauh

dalam pokok perkaranya, izin poligami berupa perkara contensius yang

didalamnya ada pihak penggugat dan tergugat/ sedangkan itsbat nikah berupa

15 A. Masjkur Anhari, Usaha untuk Memberikan Kepastian Hukum dalam Perkawinan, (Surabaya:

(17)

9

perkara voluntair yang didalamnya masalah yang diajukan bersifat

kepentingan sepihak semata, dan tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang

masuk dalam perkara tersebut yang ditarik sebagai lawan, tetapi bersifat

ex-parte. Benar-benar murni dan mutlak satu pihak saja dalam perkara

tersebut.16

Kemudian juga dalam perkara ini dimasukkan perkara penetapan anak

dalam satu permohonan tersebut, dan kembali lagi dalam tinjuan hukum

acara perdata, permohonan anak tidak dapat dijadikan satu dalam perkara

permohonan izin poligami, karena penetapan anak juga bersifat perkara

voluntair yang mana tidak ada pihak lain yang masuk dalam perkara

tersebut.

Berdasarkan teori tiap permohonan yang diajukan dalam surat

permohonan harus terpisah secara tersendiri, dan diperiksa serta diputus

dalam proses pemeriksaan dan putusan terpisah dan berdiri sendiri. Akan

tetapi berbeda apabila permohonan itu diajukan bersama-sama antara isbat

nikah dengan penetapan anak dalam hukum acara perdata diperbolehkan.

Sedangkan dalam batas-batas tertentu, diperbolehkan melakukan

penggabungan permohonan dalam satu surat permohonan apabila antara satu

permohonan dengan permohonan yang lain terdapat hubungan erat atau

koneksitas. Secara teknis penggabungan beberapa permohonan dalam satu

16

(18)

10

permohonan disebut kumulasi permohonan atau semenvoeging van

vordering.17

Hal ini tertuang dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan

Admistrasi Peradilan Agama Buku II, sebagaimana dijelaskan tentang

kumulasi gugatan dengan syarat penggabungan tuntutan harus terdapat

koneksitas atau hubungan yang erat. Selain itu penggabungan tuntutan

diperbolehkan apabila penggabungan akan memudahkan pemeriksaan serta

akan dapat mencegah kemungkinan adanya putusan-putusan yang saling

berbeda atau bertentangan.18

Kalau dilihat dari uraian singkat dari deskrpisi tersebut, seharusnya

tidak diperbolehkan adanya penggabungan permohonan tersebut yang

diajukan oleh pemohon, karena tidak adanya kesingkronan atau koneksitas

dari pengajuan permohonan kumulasi permohonan tersebut, seharusnya

dipisahkan atau berdiri sendiri antara permohonan izin poligami dan itsbat

nikah yang juga dimasukkan adanya penetapan penetapan anak dari

perkawinan sirri pemohon dengan istri kedua.

Dari latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk mengkaji

lebih mendalam dalam judul skripsi “Studi Analisis Terhadap Putusan PA

Ambarawa tentang Kumulasi Permohonan Izin Pologami, Itsbat Nikah Dan

Penetapan Anak (Putusan Nomor 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb)

17Ibid., 102.

18Mahkamah Agung dan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Buku Pedoman

(19)

11

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Melalui latar belakang tersebut, terdapat beberapa permasalahan yang

dapat penulis identifikasi dalam penulisan penelitian ini, yaitu sebagai

berikut:

1. Tata cara mengajukan poligami dan alasan diperbolehkan poligami

2. Tata cara mengajukan isbat nikah dan alasan diperbolehkanya pengajuan

isbat nikah

3. Tata cara mengajukan penetapan anak

4. Syarat-syarat menggabungkan (kumulasi) permohonan

5. Dasar hukum kumulasi gugatan

6. Dasar pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Agama Ambarawa

tentang Kumulasi Permohonan Izin Poligami, Isbat Nikah, dan P{enetapan

Anak (Putusan Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb)

7. Analisis terhadap putusan tentang Kumulasi Permohonan Izin Poligami,

Isbat Nikah, dan P{enetapan Anak (Putusan Nomor:

0030/Pdt.G/2012/PA.Amb)

Sedangkan batasan masalah yang menjadi titik fokus penulis

dalam penelitian ini, yaitu penulisi akan mengkaji tentang:

1. Analisis terhadap putusan PA Ambarawa tentang kumulasi permohonan

(20)

12

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian latar belakang masalah diatas, maka pokok

persoalan yang akan diteliti adalah:

1. Bagaimana putusan PA Ambarawa tentang kumulasi permohonan izin

poligami, isbat nikah dan penetapan anak?

2. Apa saja pertimbangan hakim dalam memutus perkara tentang kumulasi

permohonan izin poligami, isbat nikah, dan p{enetapan anak?

3. Bagaimana analisis terhadap putusan PA Ambarawa tentang kumulasi

permohonan izin poligami, isbat nikah, dan p{enetapan Anak?

D. Kajian Pustaka

Setelah Penulis melakukan kajian Pustaka, penulis menjumpai hasil

penelitian yang dilakukan oleh penulis sebelumnya yang mempunyai

relevansi dengan penelitian yang sedang penulis lakukan, yaitu sebagai

berikut:

1. Kumulasi Permohonan Isbat Nikah Dan Gugatan Cerai Di PA Jombang

oleh Ida Fauziah, Fak. Syariah IAIN Sunan Ampel, 2005. Penelitian ini

membahas tentang dasar pertimbangan hukum yang digunakan hakim

dalam memutus perkara kumulasi permohonan isbat nikah dan gugatan

cerai di PA Jombang.19

2. Studi Analisis PA Lamongan Nomor: 1325/Pdt.G/2010/PA.Lmg tentang

Kumulasi Isbat Nikah dengan Perceraian dalam Perspektif

19 Ida Fauziah, (Kumulasi Permohonan Isbat Nikah dan Gugatan Cerai di PA Jombang),

(21)

13

Undang Nomor 7 Tahun 1989, Skripsi oleh Lutfi Aulawi, Fak. Syariah

IAIN Sunan Ampel, 2010. Focus pembahasan dalam penelitian ini

tentang proses penyelesaian dan dasar hukum yang digunakan hakim PA

Lamongan terhadap kumulasi perkara permohonan isbat nikah dengan

perceraian dan bagaimana analisis UU No. 7 Tahun 1989 terhadap

Putusan PA tentang perkara perohonan isbat nikah dengan perceraian.20

3. Korelasi Proses Pelaksanaan Kumulasi Gugatan dengan Asas Peradilan

Sederhana,Cepat dan Biaya Ringan di Pengadilan Agama Surabaya oleh

Ainul Yaqin, Fak. Syariah IAIN Sunan Ampel, 2001.Penelitian ini

membahas tentang seberapa jauh hubungan perlaksanaan kumulasi

gugatan dengan asas peradilan sederhana, cepatdan biaya ringan di PA

Surabaya.21

4. Analisis Tidak Diterimanya Kumulasi Gugatan Perkara Perceraian di PA

Kabupaten Kediri oleh Almar’atu Fi Dzilalil Quran, Fak.Syariah IAIN

Sunan Ampel, 2010.Penelitian ini membahas tentang pertimbangan

hakim yang tidak menerima kumulasi gugatan perceraian dan harta

bersama berdasarkan pasal 86 ayat 1 UU PA serta analisis hukum acara

perdata terhadap tidak diterimnya kumulasi perceraian dan harta

bersama.22

20Lutfi Aulawi, (Studi Analisi Putusan PA LAmongan Nomor 1325/Pdt.G/2010/PA.Lmg Tentang

Kumulasi Isbat Nikah dengan Perceraian dalam Perspektif UU No. 7 Tahun 1989) , (Skripsi -- IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2010), 15.

21Ainul Yaqin, (Korelasi Pelaksanaan Kumulasi Gugatan dengan Asas Peradilan Sederhana,Cepat

dan Biaya Ringan di Pengadilan Agama Surabaya), ( Skripsi -- IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2001), 14.

22

(22)

14

5. Kumulasi Gugatan Tentang Hibah dan Waris dalam Putusan PA Tuban

No.1995/Pdt.G/2006/PA.Tbn dalam Prepektif Hukum Acara Perdata oleh

Novan Bagus Firmansyah, Fak. Syariah IAIN Sunan Ampel,

2010.Penelitian membahas tentang pertimbangan hakim dalam penerapan

kumulasi gugatan perkara pembatalan hibah dan pembagian harta warisan

di PA Tuban serta bagaimana analisis hukum acara perdata terhadap

kumulasi pembatalan hibah dan pembagian harta waris di PA Tuban.23

Dari beberapa kajian pustaka yang ada, memang memiliki

kesamaan pembahasan yaitu membahas tentang kumulasi, baik kumulasi

gugatan ataupun kumulasi permohonan. Akan tetapi yang membedakan

penelitian ini dengan penelitian yang terdahulu adalah kumulasi

permohonan yang dijadikan satu oleh Pemohon dalam satu permohonan

kepada Pengadilan Agama Ambarawa.

E. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui putusan PA Ambarawa tentang kumulasi permohonan izin

poligami, isbat nikah dan penetapan anak.

2. Mengetahui apa saja pertimbangan Hakim dalam memutus perkara tentang

Kumulasi Permohonan Izin Pologami, Isbat Nikah, dan P{enetapan Anak.

23Novan Bagus Firmansyah, (Kumulasi Gugatan Tentang Hibah dan Waris dalam Putusan PA

(23)

15

3. Menganalisis Putusan PA Ambarawa tentang Kumulasi Permohonan Izin

Poligami, Isbat Nikah, dan P{enetapan Anak di Pengadilan Agama

Ambarawa dalam putusan Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Dalam penulisan penelitian ini, penulisi berharap hasil penelitian ini

dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis,

sebagai berikut:

1. Secara teoritis, penulis berharap hasil penelitian ini dapat memberikan

sumbangsih khazanah keilmuan.Dan penelitian ini dapat dijadikan

sebagai literatur dan referensi, baik oleh peneliti selanjutnya maupun bagi

pemerhati hukum dalam perkara izin poligami, isbat nikah dan penetapan

anak.

2. Secara praktis, penelitian yang tertuang dalam penulisan skripsi ini

diharapkan bermanfaat bagi praktisi hukum di Indonesia terutama bagi

penegakkan hukum dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya. Selain itu,

diharapkan juga akan bermanfaat bagi pemerintah dan masyarakat umum

secara luas guna menjawab kontroversi yang ada selama ini.

G. Definisi Operasional

Untuk menghindari kesalahan dalam memahami maksud dari

(24)

16

1. Analisis : Suatu usaha untuk mengamati secara detail sesuatu hal atau

benda dengan cara menguraikan komponen-komponen pembentuknya

atau penyusunya untuk dikaji lebih dalam atau lanjut.24

2. Kumulasi Permohonan : penggabungan beberapa permohonan atau

tuntutan yang di dalamnya ada keterkaitan antara permohonan yang satu

dengan permohonan lainya.25 Dalam hal ini adalah kumulasi permohonan

izin poligami, itsbat nikah dan penetapan anak.

3. Putusan : Suatu pernyataan hakim sebagai pejabat Negara yang diberi

wewenang untuk itu diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk

mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para

pihak26.Dalam hal ini adalah Putusan Pengadilan Agama Ambarawa

H. Metode Penelitian

1. Data yang dikumpulkan

Sesuai dengan permasalahan yang dirumuskan di atas, maka dalam

penelitian ini data yang dikumpulkan adalah:

a. Data tentang kumulasi permohonan izin poligami, isbat nikah dan

penetapan anak dalam Putusan PA Ambarawa

b. Data tentang dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan

kumulasi permohonan Izin Poligami, Isbat Nikah, dan P{enetapan

24

Sugiyino, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2008), 9.

25

Umar Mansyur Syah, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Menurut Teori dan Praktik,(Garut:Yayasan Al Umaro), 1991, 69.

26

(25)

17

Anak di PA Ambarawa dalam putusan Nomor:

0030/Pdt.G/2012/PA.Amb.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah:

a. Sumber Data Primer

Data primer adalah data yang langsung diperoleh dari subyek

penelitian dengan menggunakan alat pengukuran dan alat

pengambilan data langsung dari subyek sebagai sumber informasi

yang dicari27

Data primer dalam penelitian ini adalah salinan putusan

Pengadilan Agama Ambarawa Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb.

b. Sumber Data Sekunder

Data sekunder adalah28 data yang diperoleh dari pihak lain,

tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subyek penelitianya.Data

sekunder berasal dari buku-buku maupun literature lain, meliputi:

1. Kompilasi Hukum Islam, Balitbang Diklat Kumdil MA RI, Jakarta,

2008.

2. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974.

3. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

4. undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas

Undang-undang RI Nomor 7 Tahun 1989.

27

Syaifuddin azwar, Metode Penelitian , (Yogyakarta:Pustaka Pelajar Offset, 1998), 90.

28

(26)

18

5. Undang-undang No. 50 tahun 2009 Perubahan Kedua Atas UU RI

No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

6. Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksana Tugas dan Administrasi

Peradilan Agama Buku II,2010.

7. A.Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata, Yogyakarta:Pustaka Pelajar,

2008.

8. Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung:

Citra Aditya Bakti, 2008.

9. Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan

Peradilan Agama, Jakarta: Kencana, 2008.

10. M. Yahaya Harahap, Hukum Acara Perdata, Jakarta : Sinar Grafika,

2009.

11. R.Soeparmono, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, Bandung:

Bandar Maju, 2005.

12. Roihan A.Rasyid, Hukum Acara Perdata Indonesia, Jakarta: Rajawali

Pers, 2010.

13. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,

Yogyakarta: Liberty, 1998

3. Tehnik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan oleh penulis

(27)

19

1. Tehnik dokumentasi

Yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang

berupa catatan, transkrip, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat,

agenda dan sebagainya29.Dalam hal ini penulis menelusuri berkas

putusan perkara nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb yaitu tentang

perkara kumulasi permohonan izin poligami, istbat nikah dan

penetapan anak.

2. Tehnik wawancara

Yaitu mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung

kepada responden.30 Dalam hal ini penulis melakukan wawancara

kepada bapak hakim Drs. Salim, SH selaku Hakim Ketua dan bapak M.

Hayin Ms, SH selaku hakim anggota.

4. Tehnik Analisis Data

Data yang sudah terkumpul kemudian diolah, namun sebelum

diolah data yang terkumpul diseleksi dan diklasifikasikan sesuai dengan

permasalahnya terlebih dahulu baru diadakan pengkajian dan kemudian

dianalisis sesuai dengan kualitatif yang sudah ada. Metode yang

digunakan adalah metode deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode

pemecahan masalah dengan mengumpulkan data dan melukis keadaan

obyek atau peristiwa lalu disusun, dijelaskan, dianalisis dan

(28)

20

diinterprestasikan dan kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif, yaitu

dari yang berdifat umum menuju ke hal yang bersifat khusus.

I. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan dipaparkan dengan tujuan untuk

memudahkan penulisan dan pemahaman. Oleh karena itu, skripsi ini disusun

dalam beberapa bab, pada tiap-tiap bab terdiri dari beberapa sub bab,

sehingga pembaca dapat dengan mudah memahaminya. Adapun sistematika

pembahasan ini adalah sebagai berikut:

Bab pertama merupakan pendahuluan yang terdiri dari beberapa

diantaranya latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah,

rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil

penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika

pembahasan.

Bab kedua merupakan landasan teori. Bab ini terdiri dari empat sub

bab yaitu Kumulasi Gugatan, Izin Poligami, Isbat Nikah dan Penetapan Anak

Pada sub bab kumulasi gugatan menjelaskan tentang pengertian kumulasi,

syarat kumulasi gugatan, perkara yang bisa dikumulasikan dan beberapa

penggabungan yang tidak dibenarkan. Kemudian sub bab izin poligami

menjelaskan tentang pengertian poligami dan dasar hukum poligami dan sub

bab isbat nikah menjelaskan tentang pengertian isbat nikah, dasar hukum

isbat nikah, factor-faktor sebab isbat nikah dan yang berhak mengajukan

isbat nikah kemudian sub bab penetapan anak, pengertian penetapan anak,

(29)

21

Bab ketiga, merupakan deskripsi hasil penelitian, yang meliputi

sekilas tentang Pengadilan Agama Ambarawa, deskrpisi putusan PA

Ambarawa kumulasi permohonan izin poligami, istbat nikah dan penetapan

anak, serta dasar pertimbangan hukum hakim Pengadilan Agama Ambarawa

dalam memutus perkara Nomor : 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb. tentang

kumulasi permohonan izin poligami, isbat nikah dan penetapan anak.

Bab keempat merupakan analisis terhadap pertimbangan hakim dalam

mengabulkan dan memutus perkara Nomor: 0030/Pdt.G/2012.PA.Amb, serta

analisis terhadap putusan hakim dalam memutus perkara kumulasi

permohonan izin poligami, itsbat nikah dan penetapan anak.

(30)

22

BAB II

KUMULASI GUGATAN, IZIN POLIGAMI, ISBAT NIKAH DAN PENETAPAN ANAK

A. KUMULASI GUGATAN

1. Pengertian Kumulasi

Kumulasi gugatan adalah penggabungan dari lebih satu

tuntutan hukum ke dalam satu gugatan.31 Sedangkan menurut Mukti

Arto, kumulasi adalah gabungan beberapa gugatan hak atau gabungan

beberapa pihak yang mempunyai akibat hukum yang sama dalam satu

proses perkara.32

2. Syarat Kumulasi33

Dalam suatu bentuk kumulasi, baik itu kumulasi gugatan

atau kumulasi permohonan harus memiliki syarat-syarat yang harus

terpernuhi anatara lain yaitu:

a. Adanya hubungan yang erat dari perkara yang satu dengan yang

lainnya atau koneksitas:

b. Subyek hukum para pihak sama (penggugat dan tergugat)

c. Prinsip beracara yang cepat dan murah;

d. Bermanfaat ditinjau dari segi acara (processueel doelmatig).

31M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata,( Jakarta:Sinar Grafika, 2009), 102.

32A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2008), 44.

33R. Soeparmono, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, (Bandung: Bandar Maju, 2005),

(31)

23

3. Dasar Hukum Kumulasi

a. Pasal 66 ayat (5) dan Pasal 86 ayat (1) UU No.7 Tahun 1989 tentang kedudukan, kewenangan dan acara peradilan agama.

bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan

perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh

kekuatan hukum tetap.”35

b. Buku Pedoman pelaksanaan tugas dan administrasi Peradilan

Agama mencantumkan tentang kumulasi gugatan:36

1. Penggabungan dapat berupa kumulasi subjektif atau kumulasi objektif. Kumulasi subjektif adalah penggabungan beberapa penggugat atau tergugat dalam satu gugatan. kumulasi objektif adalah penggabungan beberapa tuntutan terhadap beberapa peristiwa hukum dalam satu gugatan.

2. Penggabungan beberapa tuntutan dalam satu gugatan

diperkenankan jika penggabungan itu menguntungkan proses,yaitu antara tuntutan yang digabungkan itu ada koneksitas dan penggabungan akan mudah diperiksa serta akan dapat mencegah kemungkinan adanya putusan-putusan yang saling berbda/bertentangan.

3. Beberapa tuntutan dapat dikumulasikan dalam satu gugatan

34Pasal 66 ayat (5) UU No.7 Tahun 1989 Tentang peradilan agama. 35Pasal 86 ayat (1) UU No.7 tahun 1989 Tentang peradilan agama.

36Mahkamah Agung dan Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama, Buku Pedoman

(32)

24

apabila antara tuntutan-tuntutan yang digabungkan itu terdapat hubungan erat atau ada koneksitas dan hubungan erat ini harus dibuktikan dengan fakta-faktanya.

4. Dalam hal suatu tuntutan tertentu diperlukan suatu acara khusus (misalnya gugatan cerai) sedangkan tuntutan yang lain harus diperiksa menurut acara biasa (gugatan untuk memenuhi perjanjian), maka kedua tuntutan itu tidak dapat dikumulasikan dalam satu gugatan.

5. Apabila ada salah satu tuntutan hakim tidak berwenang memeriksa sedangkan tuntutan lainnya hakim tidak berwenang, maka kedua tuntutan itu tidak boleh diajukan bersama-sama dalam satu gugatan.

4. Tujuan Kumulasi Gugatan37

Tujuan diterapkanya kumulasi gugatan adalah untuk

menyederhanaka proses pemeriksaan dipersidangan dan menghindari

putusan yang saling bertentangan. Adapun tujuan dari kumulasi

gugatan adalah:

a. Mewujudkan peradilan sederhana melalui sistem penggabungan

beberapa gugatan dalam satu gugatan, dapat dilaksanakan

penyelesaian beberapa perkara melalui proses tunggal, dan

dipertimbangan serta diputuskan dalam satu putusan.

b. Menghindari putusan yang saling bertentangan apabila terdapat

koneksitas antara beberapa gugatan, cara yang efektif untuk

menghindari terjadinya putusan yang saling bertentangan, dengan

jalan menempuh sistem kumulasi atau penggabungan gugatan.

(33)

25

5. Bentuk Kumulasi Gugatan

Penggabungan gugatan dapat terjadi dalam beberapa bentuk,

yaitu:

a. Perbarengan (Concursus, Samenloop, Codincidence)

Penggabungan ini dapat terjadi apabila seorang penggugat

mempunyai beberapa tuntutan yang menuju pada suatu akibat

hukum saja.Apabila satu tuntutan sudah terpenuhi, maka tuntutan

yang lain dengan sendirinya terpenuhi pula.Misalnya dalam perkara

wali adhal, dispensasi kawin, dan izin kawin digabung dalam satu

gugatan karena ketiga perkara tersebut mempunyai hubungan yang

sangat erat satu sama lainnya dan mempunyai tujuan yang sama

yaitu terlaksananya akad perkawinan sebagai\mana yang diminta

oleh pemohon.Jika izin kawin dikabulkan oleh hakim, maka dengan

sendirinya dispensasi kawin dan penetapan wali ad}al terselesaikan

pula.Penggabungan perkara seperti ini akan menghemat waktu,

tenaga, dan lebih praktis karena ketiga perkara yang tujuannnya

sama dapat diselesaikan sekaligus.38

b. Penggabungan Subjektif (Subjective Cumulation)

Penggabungan subjektif dapat terjadi apabila terdapat

beberapa orang penggugat melawan seorang tergugat, atau

seorang penggugat melawan beberapa orang tergugat, atau

38

(34)

26

beberapa orang penggugat melawan beberapa orang tergugat

dalam satu gugatan.39

c. Penggabungan Objektif (Objective Cumulation)

Apabila penggugat mengajukan lebih dari satu objek

gugatan dalam satu perkara sekaligus. Ini merupakan

penggabungan dari tuntutan disebut kumulasi objektif 40. Contoh

penggabungan gugatan cerai dengan harta bersama.

d. Intervensi

Intervensi yaitu suatu aksi hukum oleh pihak

yang berkepentingan dengan jalan melibatkan diri atau dilibatkan

oleh salah satu pihak dalam suatu perkara perdata yang sedang

berlangsung antara dua pihak yang sedang berperkara.41 Ada tiga

macam bentuk intervensi:

1. Menyertai (Voeging)

Pihak ketiga mencampuri sengketa yang sedang

berlangsung antara penggugat dan tergugat dengan bersikap

memihak kepada salah satu pihak dan dimaksudkan untuk

melindungi kepentingan hukumnya sendiri dengan jalan membela

salah satu pihak yang bersengketa. Disyaratkan adanya

kepentingan hukum pada pihak ketiga yang mencampuri

sengketa, yang ada hubungannya dengan pokok sengketa antara

39Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti, 2008), 72.

(35)

27

penggugat dan tergugat (pasal 279 Rv).42

2. Menengahi (Tussenkomst)

Tussenkomst ialah masuknya pihak ketiga sebagai

pihak yang berkepentingan ke dalam perkara perdata yang

sedang berlangsung untuk membela kepentingan sendiri dan

oleh karena itu ia melawan kepentingan kedua belah pihak,

(yaitu penggugat dan tergugat) yang sedang berperkara.43

3. Ditarik sebagai penjamin (Vrijwaring)

Vrijwaring yaitu suatu aksi hukum yang dilakukan oleh

tergugat untuk menarik pihak ketiga ke dalam perkara guna

menjamin kepentingan tergugat dalam menghadapi gugatan

penggugat.44

6. Perkara yang bisa Dikumulasikan

Dalam pasal 66 ayat (5) dan pasal 86 ayat (1) dijelaskan

bahwa perkara penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri,

dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama

dengan gugatan cerai ataupun permohonan cerai talak.Jadi,

dalam kedua pasal ini terlihat bahwa saat pengajuan perkara

gugat cerai ataupun permohonan cerai talak dapat

digabung dengan perkara penguasaan anak, nafkah anak,

42Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia…, 59.

(36)

28

nafkah istri, dan harta bersama suami istri. Abdul Manan

dalam bukunya menjelaskan bahwa dalam perkara wali adhal

dispensasi kawin dan izin kawin dapat digabungkan dalam

satu gugatan.

7. Beberapa penggabungan yang tidak dibenarkan

Terdapat beberapa penggabungan yang dilarang oleh

hukum, larangan tersebut bersumber dari hasil pengamatan praktik

peradilan anatara lain:45

a. Pemilik objek gugatan berbeda

Penggugat mengajukan gugatan kumulasi terhadap beberapa

objek, dan masing-masing objek gugatan, dimiliki oleh orang yang

berbeda atau berlainan.Penggabungan yang demikian baik secara

subjektif dan objektif, tidak dibenarkan.Hal ini dikemukakan dalam

putusan MA No.201 K/Sip/1974.

b. Gugatan yang digabungkan tunduk pada hukum acara yang berbeda

Penggabungan gugatan bertitik tolak pada prinsip,

perkara yang digabungkan tunduk pada hukum acara yang sama.

Tidak dibenarkan menggabungkan beberapa gugatan yang tunduk

kepada hukum acara yang berbeda. Penerapan yang demikian

ditegaskan dalam putusan MA No. 667 K/Sip 1972.

c. Gugatan tunduk pada kompetensi absolut yang berbeda

Jika terdiri dari beberapa gugatan yang masing-masing

(37)

29

tunduk kepada kewenangan absolut yang berbeda, penggabungan tidak

dapat dibenarkan.Yang mungkin selalu terjadi dalam kasus yang

seperti itu adalah gugatan perdata TUN dan gugatan perdata hak milik

atau Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Bertitik tolak pada

ketentuan pasal 10 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 (diubah

dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999) sekarang diatur dalam

pasal 2 jo. pasal 10 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 dan

Undang-Undang No. 6 Tahun 1986 (tentang Peradilan TUN), gugatan perdata

TUN secara absolut menjadi kewenangan Peradilan TUN sedangkan

sengketa hak milik dan PMH menjadi yuridiksi absolut Peradilan

Umum (PN). Berdasarkan pembagian fungsi dan kewenangan absolut

tersebut, tidak dibenarkan melakukan penggabungan gugatan yang

berbeda yuridiksi mengadilinya.

d. Gugatan rekonvensi tidak ada hubungan dengan gugatan konvensi.

Sesuai dengan ketentuan pasal 132 a ayat (1) HIR, tergugat

berhak mengajukan gugatan rekonvensi, sehingga terjadi

penggabungan antara konvensi dan rekonvensi.Akan tetapi

kebolehan yang seperti itu, tetap berpatokan pada syarat, terdapat

(38)

30

B. IZN POLIGAMI

1. Pengertian Poligami

Kata poligami, secara etimologi berasal dari bahasa Yunani,

yaitu polus yang berarti banyak dan gamos yang berati perkawinan.

Bila pengertian kata ini digabungkan, maka poligami akan berarti

suatu perkawinan yang banyak atau lebih dari seseorang.46 Dalam

kamus besar bahasa Indonesia poligami bermakna sistem perkawinan

yang salah satu pihak memiliki/ mengawini beberapa lawan jenisnya

dalam satu waktu bersamaan.47

Istilah poligami dalam bahasa Arab yaitu 48 yang

artinya laki-laki yang mengumpulkan dalam satu tanggunganya dua

atau empat orang istri yang tidak boleh darinya.49

Para ahli membedakan istilah bagi seorang laki-laki yang

mempunyai lebih dari seorang istri dengan istilah poligini yang

berasal dari kata polus berarti banyak dan gune yang berarti

perempuan. Sedangkan bagi seorang istri yang mempunyai lebih

dari seorang suami disebut poliandri yang berasal dari kata polus

46 M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), 351. 47 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,

1990), 885. 48

A.W. Munawwir dan Muhammad Fairuz, Kamus Al-Munawwir Versi Indonesia-Arab, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2007), 680.

49

Ariij bin Abdurrahman A-Saman, Memahami Keadilan dalam Poligami, (Jakarta: Darus

(39)

31

berarti banyak dan Andros berarti laki-laki.50

Jadi, kata yang tepat bagi laki-laki yang mempunyai istri lebih

dari seorang dalam waktu yang bersamaan adalah poligini bukan

poligami.Meskipun demikian, dalam perkataan sehari-hari yang

dimaksud dengan poligami itu adalah perkawinan seorang laki-laki

dengan lebih dari seorang perempuan dalam waktu yang bersamaan.

yang dimaksud poligini itu, menurut masyarakat umum adalah

poligami.51

2. Dasar Hukum Poligami

a. Al-Quran

Allah SWT memperbolehkan berpoligami sampai empat

orang istri dengan syarat berlaku adil kepada mereka. Yaitu adil

dalam melayani istri, seperti urusan nafkah, tempat tinggal,

pakaian, giliran, dan segala hal yang bersifat lahiriah. Jika tidak

bisa berlaku adil maka cukup satu istri saja (monogami).52 Hal ini

sebagai mana yang terdapat dalam firman Allah SWT dalam surat

An-Nisa (4) ayat 3

Artinya:Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap

50

M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, 352.

51

Ibid. 52

(40)

32

(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.53

b. Al-Hadis

54

Artinya: Diceritakan dari Ahmad bin Ibra>hi>m al-Dawraqiy berkata: Diceritakan dari Husyaym, dari Ibn Abi> Layla, dari H}umad}ah binti al-Syamardal, dari Qays bin al-H}a>ris\ berkata: “Saya telah masuk

Islam dan saya memiliki delapan istri, maka saya mendatangi Nabi Muhammad SAW dan saya mengatakan hal tersebut kepadanya”, beliau bersabda: “Pilihlah empat di antara mereka.”

c. Hukum Positif

1. Pasal 3 ayat (2) Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UU No.1 Tahun 1974

tentang Perkawinan

Pasal 3 ayat (2) yang berbunyi: “Pengadilan, dapat

memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari

seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang

bersangkutan.’’55 Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi: “Dalam hal

seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana

53

Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahanya, ( Bandung : Diponegoro, 2008), 7.

(41)

33

tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang- Undang ini, maka ia

wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah

tempat tinggalnya.”

Serta alasan poligami yang bersifat fakultatif, tercantum

pada pasal 4 ayat (2) yang berbunyi: “Pengadilan dimaksud dalam

ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami

yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. istri tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;b. istri mendapat

cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c.

istri tidak dapat melahirkan keturunan.”

2. Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 tentang

pernikahan

Syarat-syarat yang harus dipenuhi ketika hendak poligami

tercantum pada pasal 5 ayat (1), yang berbunyi:

Untuk dapat mengajukan permohona kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:a. adanya persetujuan dari istri/istri-istri;b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka; c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

Apabila syarat untuk poligami pada pasal 5 ayat (1) huruf

a tidak terpenuhi maka pada pasal 5 ayat (2) dijelaskan:

(42)

34

istrinya, selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu penilaian dari hakim pengadilan.

3. Pasal 40 dan pasal 41 PP No. 9 Tahun 1975

Pasal 40 berbunyi,”Apabila seorang suami bermaksud

untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan

permohonan secara tertulis kepada pengadilan.” Setelah

permohonan diajukan di pengadilan maka pengadilan

melaksanakan tugasnya yang tercantum pada pasal 41 yang

berbunyi:

Pengadilan ini memeriksa mengenai: a. Ada atau tidak adanya alasan yang menunjukkan seorang suami kawin lagi, ialah : 1) Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. 2) Bahwa istri mendapat cacat yang sulit disembuhkan. 3) Bahwa istri tidak dapat memberikan keturunan. b. Ada atau tidak adanya perjanjian dari istri, baik perjanjian lisan maupun tertulis, apabila perjanjian itu merupakan perjanjian lisan, perjanjian itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan. c. ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak, dengan memperhatikan: i.surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja; atau ii. surat keterangan pajak penghasilan; atau iii. surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan; d. ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

4. Pasal 42, pasal 43 dan pasal 44 PP No. 9 Tahun 1975

Pasal 42 yang berbunyi: “(1) Dalam melakukan

pemeriksaan mengenai hal-hal pada pasal 40 dan 41, pengadilan

harus memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan. (2)

(43)

35

lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterima surat

permohonan beserta lampiran-lampirannya.”

Pasal 43 yang berbunyi:“Apabila pengadilan berpendapat

bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari

seorang, maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa

izin untuk beristri lebih dari seorang.” Dan pasal 44 yang

berbunyi: “Pegawai pencatat dilarang untuk melakukan

pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih

dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan seperti yang

dimaksud dalam pasal 43.”

5. Pasal 55 Kompilasi Hukum Islam

Pasal 55 yang berbunyi: “(1) Beristri lebih satu orang pada

waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat istri. (2)

Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu

berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. (3) Apabila

syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi,

suami dilarang beristri dari seorang.”

6. Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam

(44)

36

7. Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam

Pasal 57 yang berbunyi:“Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:a.Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.b.Bahwa istri mendapat cacat yang sulit disembuhkan. c. Bahwa istri tidak dapat memberikan keturunan.”

8. Pasal 58 Kompilasi Hukum Islam

Pasal 58 yang berbunyi: (1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu: a. adanya persetujuan istri; b.adanya kepastian bahwa suami mampu menjalankan keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan istri atau istri- istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama. (3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-istrinya sekurang- kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim.

9. Pasal 49 Kompilasi Hukum Islam

(45)

37

C. Isbat Nikah

1. Pengertian Is\bat Nikah

Isbat nikah terdiri dari dua kata yaitu Isbat dan nikah. Isbat

berasal dari kata bahasa Arab

)

56 yang berarti penetapan,

pengukuhan, pengiyaan (isbat) dan arti menikah yaitu bergabung ),

hubungan kelamin

)

dan juga berarti akad ( )57

Dalam Kamus besar bahasa Indonesia, is\bat berarti

penyungguhan, penetapan atau penentuan.Sedangkan is\bat nikah

berati penetapan, kebenaran (keabsahan) nikah.58

2. Dasar Hukum Isbat Nikah

bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang

sakinah, mawaddah, dan rahmah.”

b. Pasal 5 KHI

Pasal 5 yang berbunyi:“Agar terjamin ketertiban perkawinan

bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. (2)

Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh

Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam

Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang-Undang-Undang No. 32 Tahun

56

A.W. Munawwir, Al-Munawwir : Kamus Arab-Indonesia Terlengkap,… 145.

57

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), 36.

58

(46)

38

1954.”

c.Pasal 7 KHI

Pasal 7 menjelaskan tentang alasan-alasan mengajukan is\bat nikah, pasal ini berbunyi: (1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. (2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. (3) Is\bat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan: (a) adanya perkawinan dalam rangka peyelesaian perceraian; (b) hilangnya akta nikah; (c) adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; (d) adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan; (e) perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974;

d. Pasal 2 UU No.1 Tahun 1974

Pasal 2 yang berbunyi:“(1) Perkawinan adalah sah, apabila

dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

e. Pasal 2 PP No. 9 Tahun 1975

(47)

39

f. Pasal 3 PP No. 9 Tahun 1975

Pasal 3 yang berbunyi:(1)Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan dilangsungkan. (2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya sepuluh hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. (3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh camat atas nama Bupati Kepala Daerah.

g. Pasal 4 dan pasal 6 PP No. 9 Tahun 1975

Pasal 4 yang berbunyi:“Pemberitahuan dilakukan secara lisan

atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau

wakilnya.” Dan pasal 6 yang berbunyi: “(1) Pegawai Pencatat

yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan

perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah

dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut

Undang-Undang.”

(48)

40

disahkan oleh Pegawai Pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak adapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.

h. Pasal 11 PP No. 9 Tahun 1975

Pasal 11 yang berbunyi:(1)Sesaat sesudah

dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh PegawaiPencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.(2)Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.

(3)Dengan penandatanganan akta perkawinan,maka

perkawinan telah tercatat secara resmi.

i. Pasal 12 PP No. 9 Tahun 1975

Akta perkawinan memuat:a.Nama, tanggal dan tempat lahir, agama/kepercayaan,pekerjaan dan tempat kediaman suami-istri; Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istriatau suamiterdahulu. b.Nama,agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua mereka; c. Izin sebagai dimaksud dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang-Undang; d. Dispensasi sebagai dimaksud dalam pasal 6 ayat (2) Undang-Undang; e. Izin pengadilan sebagai dimaksud dalam pasal 4 Undang-Undang; f. Perjanjian sebagai dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) Undang-Undang; g. Izin dari pejabat yaang ditunjukoleh Menteri HANKAM/PANGAB bagi anggota Angkatan Bersenjata; h. Perjanjian perkawinan apabila ada; i. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman para saksi dan wali nikah bagi yang beragama Islam; j. Nama,umur,agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.

j.Pasal 13 PP No.9 Tahun 1975

(49)

41

dibuat dalam rangkap 2 (dua) helai pertama disimpan oleh

Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada panitera

pengadilan dalam wilayah Kantor Pencatatan Perkawinan itu

berada. (2) Kepada suami dan istri masing- masing diberikan

kutipan akta perkawinan.”

3.Faktor-faktor sebab isbat nikah

Tercantum dalam KHI pasal 7 ayat (3) yang berbunyi:

Is|bat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama

terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan: (a) adanya

perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;(b) hilangnya

akta nikah; (c) adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah

satu syarat perkawinan;(d)adanya perkawinan yang terjadi

sebelum berlakunya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan; (e)

perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai

halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun

1974;

Selain itu, di Pengadilan Agama sering juga orang

mengajukan is|bat nikah karena nikah sirri. Adapun pengertian

nikah sirri adalah nikah yang telah memenuhi syarat dan rukun

suatu perkawinan yang legal sesuai dengan ketentuan hukum

(50)

42

Undang-Undang Perkawinan di Indonesia.59 Sehingga pernikahan

sirri yang dilakukan oleh pasangan suami-istri tidak mendapat

akta nikah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pernikahan ini menjadi sukar untuk dilegalkan serta

tidak mempunyai landasan hukum yang jelas karena praktik

pernikahan sirri yang dilakukan sebagian umat Islam dihadapan

kyai, tengku, ulama, tuan guru atau modin. Kerancuan yang

terjadi adalah:

a. Pada saat dilangsungkan akad nikah, yang menjadi wali nikah

adalah kyai, guru, tengku, modin, sementara tidak ada

pendelegasian hak wali tersebut dari wali nikah yang berhak

kepada kyai, tengku atau modin tersebut. Pernikahan tersebut

tidak diketahui sama sekali oleh wali yang sah. Akad nikah

semacam ini jelas tidak sah karena cacat di bidang wali nikah.

Sedangkan, di dalam Islam dikenal prioritas wali.

b. Pada saat perkawinan dilaksanakan, tidak diperhitungkan

apakah calon istri masih dalam ikatan perkawinan dengan suami

lain atau tidak.

4.Yang berhak mengajukan isbat nikah

Dalam KHI pasal 7 ayat (4) dijelaskan bahwa:

“Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami

atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak-pihak yang

59

(51)

43

berkepentingan dengan perkawinan itu.”60

Dapat dipahami dari pasal di atas, orang-orang

yang berhak mengajukan permohonan is|bat nikah hanya

orang-orang tertentu yaitu suami atau istri, mereka adalah pihak yang

terlibat langsung dalam pernikahan. Hal ini berhubungan dengan

status perkawinan mereka di mata hukum, selain itu suami

atau/dan istri yang ingin melegalkan perkawinan dengan tujuan

untuk kepastian hukum atau pun untuk menyelesaikan

perceraian .

Selain itu anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut,

berhak juga mengajukan is\|bat nikah kedua orang tuanya. Yaitu

untuk memperoleh hak-hak mereka dapat akibat dari pernikahan

kedua orang tua mereka seperti akta kelahiran ataupun untuk

memperoleh warisan. Begitu pula wali nikah ataupun

pihak-pihak yang berkepentingan dengan perkawinan tersebut

seperti Petugas Pencatat Nikah (PPN).

D. Penetapan Anak

1. Pengertian Penetapan Anak

Kata penetapan berarti, penyuguhan atau penentuan.

Menetapkan berarti menyuguhkan, menentukan, menetapkan

60

(52)

44

(kebenaran sesuatu)61 sedangkan pengertian anak adalah seorang

yang dilahirkan dari perkawinan antara seorang perempuan

dengan seorang laki-laki dengan melalui pernikahan yang tercatat

di Kantor Urusan Agama maupun yang tidak tercatat.62

Jadi pada dasarnya penetapan anak adalah pengesahan

atas anak yang terlahir dari sebuah pernikahan antara laki-laki

dan wanita yang mana perkawinan tersebut tidak tercatat di

Kantor Urusan Agama dan dari hasil pernikahan tersebut

menghasilkan seseorang anak yang belum memiliki status hukum

atau penetapan anak yang terlahir dari pernikahan kedua orang

tuanya.

Penetapan anak merupakan produk Pengadilan Agama,

dalam arti bukan pengadilan yang sesungguhnya dan diistilahkan

dengan Jurusdiktio Voulentair. Dikatan bukan peradilan yang

sesunggunhya karena, didalam perkara ini hanya ada memohon

untuk ditetapkan tentang sesuatu yaitu penetapan anak. Perkara

voluntair adalah perkara yang sufatnya permohonan dan

didalamnya tidak terdapat sengketa, sehingga tidak ada lawa. Hal

ini sama halnya seperti isbat nikah/penetapan nikah. Pada

dasarnya perkara permohonan tidak dapat diterima, kecuali

kepentingan Undang-undang menghendaki demikian.63

61

Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Balai Pustaka, 1990), 339. 62 Slamet Abidin, Fiqih Munakahat I, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 49.

(53)

45

Produk perkara voluntair ialah penetapan. Nomor

perkara permohonan diberi tanda P, misalnya seperti : 123/

Pdt.P/1997/PA.SMG. Karena penetapan muncul sebagai produk

pengadilan atas permohonan pemohon yang tida berlawanan maka

dicantumkan penetapan tidak akan berbunyi menghukum

melainkan bersifat menyatakan (declaratoir)

Adapun asas yang melekat pada putusan penetapan,

pertama asas kebenaran yang melekat pada penetapan

hanya”kebenaran sepihak’. Kebenaran yang terkandung di dalam

penetapan hanya kebenaran yang bernilai untuk diri pemohon,

kebenaran tidak menjangkau orang lain. Dari asas ini lahirlah

asas berikutnya, yakni kekuatan mengikat penetapan hanya

berlaku pada diri pemohon, ahli warisnya dan orang yang

memperoleh hak darinya, sama sekali tidak mengikat siapapun

kecuali hanya mengikat kepada yang telah disebut di atas.64

Selanjutnya asas yang ketiga, menegaskan putusan

penetapan tidak mempunyai kekuatan pembuktian kepada pihak

siapapun. Seterunya yaitu asas putusan penetapan tidak memiliki

kekuatan eksukutorial. Hal ini dapat dipahami karena amar

putusan berdifat deklaratoir sehingga tidak mungkin memiliki

nilai kekuatan eksekusi.65

64

Gambar

Gambar Struktur Organisasi Pengadilan Agama Ambarawa

Referensi

Dokumen terkait

1) Sistem pembuktian dalam perkara pidana di Indonesia adalah sistem pembuktian berdasarkan undang- undang secara negatif dimana pembuktian harus didasarkan pada

bahan cetak elastomer polieter dan silikon adisi yang menunjukkan bahwa bahan cetak silikon adisi lebih baik dalam kestabilan dimensinya dari pada bahan cetak

Namun terdapat suatu ketakutan yang muncul, IAEA menemukan bahwa untuk membuat satu bom fungsional membutuhkan 8 kg – 25 kg plutonium, hal tersebut berdampak pada

Keperawatan jiwa merupakan suatu bidang spesialisasi praktek keperawatan yang menerapkan teori prilaku manusia sebagai ilmunya dan penggunaan diri secara teraupetik sebagai

Pemberian zakat dengan cara pemberian modal usaha dari LAZIS Baiturrahman Semarang seharusnya secara hukum harus lebih dicermati dengan baik, sebab sebagaimana

Hasil penelitian mengemukakan bahwa latihan ladder drill two feet each square dan zig-zag run berbeda signifikan, latihan ladder drill two feet each square lebih

bahwa dalam Subbagian 139 D angka 139.045 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 24 tahun 2009 tentang Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil bagian 139 (Civil Aviation

Bila DPJP yang !e!eriksa pasien !ene!ukan kasus di luar keahliannya !aka yang  bersangkutan !e!buat surat konsul alih rawat (!enuliskan kelengkapan data  pasien$ hasil