• Tidak ada hasil yang ditemukan

M01341

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan " M01341"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI IMPLEMENTASI

KEBIJAKAN REKRUTMEN KEPALA SEKOLAH SD NEGERI DI KOTA SALATIGA

(Tinjauan dari Sudut Penerapan Paradigma Baru Pendidikan)

Oleh: Wasitohadi Dosen UKSW, Salatiga Email: adi_wasito02@yahoo.co.id

Abstrak

Salah satu faktor yang mempengaruhi peran kepala sekolah adalah sistem rekrutmen. Sistem rekrutmen kepala sekolah SD Negeri di Kota Salatiga sudah sesuai dengan jiwa dan semangat paradigma baru pendidikan. Sistem seleksinya telah diatur secara

bottom-up, partisipatif, demokratis, obyektif, dan adil. Sistem tersebut juga sudah diatur dalam kebijakan teknis seleksi calon kepala sekolah yang dibuat Disdikpora, yang dalam perkembangannya dicantumkan dalam pasal 55 Perda No. 4 Tahun 2009 tentang penyelenggaraan pendidikan Kota Salatiga. Dalam implementasinya, terdapat transparansi proses seleksi dari tingkat sekolah, kecamatan, hingga tingkat Dinas, namun transparansi proses dan hasil seleksi sesudahnya tidak terjadi. Proses seleksi juga sudah melibatkan pihak luar, untuk menjamin obyektivitas. Mengenai masa jabatan kepala sekolah belum berjalan sesuai dengan yang dikehendaki dalam kebijakan, sementara diklat bagi calon kepala sekolah belum dapat dilaksanakan.

Kata kunci: Sistem, praksis, rekrutmen kepala sekolah, paradigma baru pendidikan

1. Pendahuluan

Dalam era reformasi, kepala sekolah memiliki kedudukan dan peran yang strategis

dalam upaya peningkatan mutu sekolah. Sejalan dengan pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah, tugas kepala sekolah menjadi sangat menentukan dalam penyelenggaraan

pendidikan di sekolah, termasuk dalam rangka peningkatan mutu sekolah. Studi Bank Dunia melaporkan bahwa sekolah adalah institusi yang memegang peranan kunci dalam menentukan mutu pendidikan dasar dan kepala sekolah merupakan pelaku utama dalam

memainkan peranan tersebut (Fasli Jalal & Dedi Supriadi, 2001:155).

(2)

manusia yang bersifat sangat menentukan (Slamet P.H, 2000:4; Poernomosidi Hadjisarosa, 1997). Wayson, sebagaimana dikutip oleh Suyanto (2001: 68 ), juga menyatakan bahwa

kepala sekolah merupakan penentu corak sekolah. Menurutnya:

karakteristik kepala sekolah akan mempengaruhi iklim sekolah. Dengan prinsip sebab akibat, maka berturut-turut karakteristik iklim sekolah akan mempengaruhi karakteristik para guru. Selanjutnya, karakteristik guru akan mempengaruhi proses belajar mengajar dan lingkungan belajar. Pada akhirnya, bagaimana proses belajar mengajar berlangsung akan mewarnai seperti apa lulusan yang dihasilkan. Pengaruh kepala sekolah terhadap kualitas lulusannya memang tidak langsung, tetapi melalui proses kesalingpengaruhan seperti di atas, rembesan pengaruh tersebut menjadi nyata.

Di antara banyak faktor yang mempengaruhi peran kepala sekolah, namun kadang kurang mendapat perhatian, satu di antaranya adalah faktor rekrutmen. Menurut Gorton

(1976), rekrutmen diartikan sebagai ”...the active pursuit of potential candidates for the

purpose of influencing them to apply for positions in the school district.” Dari definisi tersebut menunjukkan bahwa rekrutmen merupakan proses aktif untuk mendapatkan calon

pegawai yang potensial untuk menduduki posisi tertentu di sekolah pada kabupaten atau kota tertentu. Definisi lain, dikemukakan oleh Harris, McIntyre, Littleton, dan Long (sebagaimana

dikutip Ibrahim Bafadal, 2009:21), bahwa rekrutmen adalah serangkaian kegiatan terintegrasi yang terdiri atas seleksi, pengangkatan, dan penempatan pegawai baru dalam posisi tertentu. Tujuan rekrutmen, dengan bahasa Gorton, adalah untuk menyediakan calon pegawai yang

betul-betul baik (surplus of candidates) dan paling memenuhi kualifikasi (most qualified and

outstanding individuals) untuk sebuah posisi. Dalam hal pegawai tersebut adalah kepala sekolah, misalnya, tentu diupayakan mendapatkan calon kepala sekolah yang memenuhi kualifikasi, sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan peran yang akan dilakukan.

Menurut Fasli Jalal & Dedi Supriadi (2001:254), proses rekrutmen harus

mengutamakan mutu calon yang dibuktikan dengan skor tes seleksi dengan menggunakan perangkat instrumen yang standar dan teruji serta indeks prestasinya di LPTK. Menurut

(3)

melalui seleksi yang mengutamakan mutu calon dalam bidang keahliannya, terbukti berdampak pada peningkatan profesionalisme dan kinerja pegawai yang bersangkutan. Ini

sesuai dengan penelitian Nunberg (1995:25) bahwa ”pengangkatan pegawai baru yang bermutu tinggi dapat mengatasi sejumlah kelemahan sistem; sebaliknya, akibat dari tiadanya

kader-kader pegawai yang bermutu sangat sulit diatasi kemudian”.

Atas dasar itu, penelitian mengenai bagaimana proses rekrutmen kepala sekolah terjadi, merupakan salah satu hal yang penting untuk dilakukan. Dalam hal ini, peneliti

membatasi pada proses rekrutmen kepala sekolah pada jenjang SD, khususnya di SD-SD Negeri di Kota Salatiga. Rumusan masalahnya adalah bagaimana proses seleksi kepala

sekolah SD di Kota Salatiga di dalam konteks berlakunya paradigma baru pendidikan pasca reformasi? Apakah proses seleksi kepala sekolah tersebut telah mengalami perubahan dengan berlakunya paradigma baru pendidikan tersebut? Dalam upaya menjawab dua masalah

tersebut, segera sesudah proses rekrutmen dideskripsikan, kemudian proses tersebut akan dikaji dari sudut pandang paradigma baru pendidikan pasca reformasi, apakah sesuai dengan

paradigma baru atau tidak, baik pada sistem regulasinya maupun implementasi dari sistem tersebut.

2. Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian evaluasi kebijakan. Dalam penelitian evaluasi kebijakan terkandung adanya kriteria yang dipakai untuk menentukan

nilai dan adanya hal yang dinilai. Di dalam penelitian ini, kriterianya adalah kesesuaian sistem dan proses seleksi kepala sekolah dengan kebijakan pendidikan, prinsip-prinsip, dan harapan-harapan yang merupakan manifestasi paradigma baru. Dengan kata lain, kebijakan

(4)

Sesuai fokus masalah yang diteliti, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Peneliti mengumpulkan dan mencatat data yang sangat rinci mengenai proses seleksi kepala

sekolah tersebut. Data kualitatif diperoleh dari informan-informan kunci melalui wawancara mendalam serta berbagai dokumen terkait melalui studi dokumen. Dokumen yang dibutuhkan

adalah rumusan kebijakan, ketentuan dan petunjuk teknis seleksi kepala sekolah selama era otonomi dan notula-notula yang terkait dengan pembuatannya, serta laporan implementasi seleksi kepala sekolah. Sedangkan wawancara mendalam dilakukan terhadap

informan-informan kunci yang paling dianggap mengetahui proses seleksi kepala sekolah tersebut, baik di tingkat sekolah, kecamatan, maupun kota.

Mengenai siapa ”informan-informan kunci” yang dijadikan sebagai subyek penelitian,

ditentukan dengan menggunakan teknik snowball sampling, yaitu teknik pengambilan sumber data, yang pada awalnya berjumlah sedikit, lama-lama menjadi besar. Hal ini

dilakukan karena dari jumlah sumber data yang sedikit itu belum mampu memberikan data yang lengkap, maka peneliti mencari aktor atau orang lain lagi yang dapat digunakan sebagai

sumber data. Dengan demikian jumlah sumber data akan semakin besar dalam upaya untuk mendapatkan informasi yang maksimum.

Penelitian dilaksanakan di Kota Salatiga, pada tahun pelajaran 2009/2010 dan 2010/

2011, dengan fokus pada seleksi kepala sekolah pada jenjang SD pasca reformasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif, dengan menggunakan teknik

berfikir reflektif. Berfikir reflektif merupakan perpaduan antara cara berfikir induktif dan deduktif. Data yang sudah terkumpul, dianalisis, diorganisir, ditata dan dideskripsikan secara sistematis mengikuti pola tertentu, agar peneliti dapat lebih memahami masalah yang diteliti

(5)

sudut pandang subyek yang diteliti dan dengan menggunakan berbagai teori yang relevan, sehingga penyimpulan dapat dilakukan.

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan

a. Deskripsi data penelitian

Dalam era otonomi, telah dilakukan beberapa kali seleksi dan pengangkatan kepala sekolah. Sebelum Perda No. 4 Tahun 2009 tentang penyelenggaraan pendidikan disyahkan, sistem dan proses seleksi kepala sekolah negeri di Kota Salatiga mendasarkan pada kebijakan

teknis seleksi calon kepala sekolah yang dibuat Disdikpora. Namun, sejalan dengan berlakunya Perda di atas, sistem dan proses seleksi kepala sekolah negeripun mendasarkan

pada Perda tersebut, yang mekanisme dan persyaratannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota mengacu pada peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, berdasarkan Perda dan Peraturan Walikota tersebut, Disdikpora membuat kebijakan dan regulasi yang

lebih operasional sebagai petunjuk pelaksanaan seleksi kepala sekolah.

Mencermati berbagai kebijakan teknis seleksi calon kepala sekolah negeri selama

otonomi, dari waktu ke waktu tampak mengalami perubahan/perkembangan baik dari segi prosedur maupun substansinya. Dalam salah satu kebijakan pada awal otonomi ditekankan bahwa kepala sekolah merupakan figur sentral dan kunci dalam pengelolaan dan

pengembangan sekolah, yang bertanggung jawab atas kemandirian dan kreativitas segenap komponen sekolah. Karena itu, ditegaskan bahwa seleksi dan pengangkatan kepala sekolah

harus profesional, dilakukan secara cermat, obyektif dan adil sehingga dihasilkan kepala sekolah yang menguasai fungsi-fungsi manajerial kependidikan dan mengimplementasikannya secara tepat untuk mencapai tujuan pendidikan di sekolahnya. Di

(6)

Dengan sistem dan mekanisme seleksi semacam itu, diharapkan dapat dijaring guru-guru potensial yang akan mampu mengembangkan sekolah yang bermutu tinggi.

Selanjutnya, ditegaskan pula mengenai persyaratan umum dan persyaratan teknis kepala sekolah untuk masing-masing jenjang sekolah serta hal-hal lain sebagai tambahan

pertimbangan dalam pemilihan kepala sekolah. Persyaratan umum calon kepala sekolah, dan ini berarti harus dimiliki oleh semua calon di setiap jenjang sekolah, meliputi :

1. Beriman dan bertakqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 2. Berbudi pekerti luhur.

3. Berkedudukan sebagai guru dan aktif mengajar baik di sekolah negeri maupun swasta sebagai guru DPK.

4. DP3 untuk dua tahun terakhir masing-masing sebagai berikut : a. Unsur kesetiaan : amat baik.

b. Unsur lainnya: minimal baik.

5. Berusia setinggi-tingginya 50 tahun 0 bulan pada saat berkas sampai Dinas Pendidikan, kecuali bagi guru yang pernah menjabat Kepala Sekolah di daerah lain. 6. Sehat jasmani dan rohani.

7. Berprestasi, kreatif dan inovatif (dilihat dari pengamatan sehari-hari).

8. Memiliki dedikasi dan loyalitas yang tinggi (dilihat dari pengamatan sehari-hari). 9. Menyatakan bersedia ditempatkan di mana saja secara tertulis.

10. Calon yang pernah gagal dalam seleksi pada periode yang lalu dua kali berturut-turut tidak dapat diusulkan, dan baru bisa diusulkan pada periode seleksi berikutnya.

Sementara untuk persyaratan khususnya dinyatakan bahwa untuk jenjang SD, calon kepala sekolah harus berijasah serendah-rendahnya D2 dengan masa kerja minimal 12 tahun,

berijasah D3 dengan masa kerja 10 tahun, atau berijasah S1 dengan masa kerja 8 tahun. Di samping itu, pangkat/golongan serendah-rendahnya Penata/III C. Di luar persyaratan umum

dan teknis tersebut, ada persyaratan lain yang dipertimbangkan, yaitu pendidikan dan pelatihan yang relevan yang dibuktikan dengan STTPL atau piagam, pengembangan profesi, kegiatan dalam organisasi profesi dan kemampuan khusus yang menonjol dalam kegiatan

sekolah.

Baik persyaratan umum maupun persyaratan khusus di atas, mengalami

(7)

kepala sekolah tahun 2006, selain persyaratan umum “beriman dan bertakwa kepada TYME,

berkedudukan sebagai seorang guru dan aktif mengajar baik di sekolah negeri maupun swasta

sebagai guru DPK, sehat jasmani dan rohani, dan persyaratan nilai DP3”, ditambah dengan persyaratan “tidak pernah dikenakan hukuman disiplin sedang dan berat dan aktif mengajar

dan atau membimbing sekurang-kurangnya 5 tahun pada sekolah yang setingkat dan sejenis dengan sekolah yang akan menjadi tempat bertugas. Persyaratan umum yang lain ditiadakan, sedangkan persyaratan usia berubah menjadi “setinggi-tingginya 52 tahun”. Sementara itu,

persyaratan khusus yang menunjuk pada kualifikasi pendidikan/ijazah, masa kerja dan pangkat/golongan, ada kecenderungan menuntut persyaratan kualifikasi pendidikan dan

pangkat/golongan yang lebih tinggi, dengan masa kerja yang lebih lama. Dalam perkembangannya kemudian, syarat “memiliki sertifikat pendidik atau yang sudah

dinyatakan lulus sertifikasi, menjadi tuntutan persyaratan yang harus dimiliki bagi seorang

calon kepala sekolah. Demikian pula, bagi yang memiliki karya ilmiah inovasi di bidang pendidikan atau pengembangan profesi dan masyarakat, dapat dilampirkan sebagai

persyaratan tambahan.

Sementara itu, mengenai persyaratan kepala sekolah tersebut, dalam pasal 55 Perda tentang penyelenggaraan pendidikan Kota Salatiga dinyatakan bahwa guru PNS yang

berprestasi dapat diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah. Guru PNS tersebut wajib mengikuti dan lulus seleksi calon kepala sekolah. Lebih lanjut, dinyatakan bahwa:

(8)

Dari segi prosedurnya, sistem dan proses seleksi kepala sekolah SDN di Kota Salatiga, melalui tiga tahap seleksi, yaitu seleksi di tingkat sekolah, seleksi di tingkat

kecamatan dan seleksi di tingkat Kota Salatiga. Secara berturut-turut, kepala sekolah, kepala UPT kecamatan dan kepala Disdikpora masing-masing bertindak sebagai penanggungjawab

pada masing-masing tingkat. Mekanisme seleksi dilaksanakan secara berjenjang dengan sistem gugur. Pada tingkat sekolah, pada awal era reformasi, kepala sekolah membentuk “Tim Seleksi Calon Kepala Sekolah” termasuk merumuskan mekanisme kerja tim yang

bersangkutan. Dengan demikian, terdapat aneka ragam sistem seleksi calon kepala sekolah tergantung dari kreativitas masing-masing sekolah. Meskipun demikian, di jenjang SD

mekanisme ini cenderung amat praktis dan sederhana, dalam beberapa hal tidak mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh Disdikpora. Mekanisme ini diambil karena tenaga guru SD sedikit, sehingga pihak sekolah tak mengalami kesulitan untuk menentukan calon yang

memenuhi syarat.

Sesudah disyahkan, kepala sekolah mengirimkan daftar calon peserta seleksi kepala

sekolah ke instansi di atasnya. Untuk SD, kepala sekolah mengirimkan ke kepala UPT kecamatan, setelah melalui rapat dewan guru dan pertimbangan Komite Sekolah serta pengawas SD tersebut. Selanjutnya, daftar calon yang sudah dikirim diteliti oleh Tim

Pertimbangan Tingkat Kecamatan yang dibentuk dengan SK kepala Disdikpora, terdiri dari: kepala UPT kecamatan sebagai ketua dan semua pengawas SD sebagai anggota. Pada tahap

ini, kepala UPT kecamatan dan pengawas SD menyeleksi berkas administrasi calon kepala sekolah berdasarkan persyaratan yang telah ditentukan. Nominasi hasil seleksi administrasi beserta berkasnya, kemudian dikirimkan kepada Disdikpora Kota Salatiga.

Pada awal era otonomi, setelah menerima berkas dari kepala Unit Pelayanan Teknis kecamatan, selanjutnya dibentuk Tim Pertimbangan Jabatan (dengan mengikutsertakan

(9)

kepala sekolah dalam daftar nominatif yang formatnya telah dibakukan oleh Disdikpora Kota Salatiga. Calon kepala sekolah diseleksi secara tertulis dengan menggunakan alat tes yang

sudah disiapkan oleh panitia penjaringan kepala sekolah tingkat kota yang pada intinya ingin menguji wawasan calon di bidang keguruan, kependidikan, dan administrasi pendidikan.

Keanggotaan tim ini terdiri dari unsur pemerintah daerah, meliputi Walikota beserta perangkat daerah otonomi yang lain sebagai badan eksekutif daerah, termasuk dalam hal ini utamanya personalia dari Disdikpora Kota Salatiga. Kemudian calon yang lulus

diwawancarai untuk menguji lebih dalam wawasan kependidikannya. Di samping itu, mereka juga diminta untuk membuat karya tulis dengan tema “Manajemen Peningkatan Mutu

Berbasis Sekolah” dan mempresentasikannya di depan panitia penjaringan kepala sekolah bidang pengujian.

Dalam perkembangannya, pada seleksi kepala sekolah pada tahun-tahun berikutnya

di era otonomi, ada perubahan/perkembangan sistem dan mekanisme seleksi kepala sekolah. Perubahan/perkembangan tersebut antara lain terjadi dalam hal materi seleksinya maupun

pihak yang dilibatkan dalam proses seleksi. Pada awal era otonomi, LPMP belum dilibatkan, dan baru dilibatkan kemudian, dengan alasan untuk menjamin obyektivitas. Namun, sebelum seleksi di tingkat LPMP, Tim Pertimbangan Kepala Sekolah Tingkat Kota yang dibentuk

dengan SK Walikota yang anggotanya terdiri dari kepala dinas selaku Ketua, Pejabat Struktural Eselon III dan pejabat fungsional, terlebih dahulu melakukan analisa serta meneliti

berkas administrasi serta menilai kinerja calon yang bersangkutan dengan menggunakan format yang ditentukan. Berdasarkan penilaian terhadap berkas administrasi dan kinerja, maka kepala dinas menentukan dan menyampaikan daftar nominasi calon peserta seleksi

(10)

seleksi kepala sekolah. Hasil seleksi calon kepala sekolah akan dikirim oleh LPMP ke Disdikpora, dan akan diteruskan kepada Walikota Salatiga.

Daftar nominasi hasil seleksi tersebut disampaikan ke Walikota melalui Badan Kepegawaian Daerah (BKD) untuk dibahas oleh bagian pengembangan. Bila nilai hasil

seleksi sama, maka ranking akan ditentukan berdasarkan senioritas kepangkatan, jabatan dalam organisasi profesi, jabatan dalam organisasi kemasyarakatan, dan masa kerja. Di samping itu, BKD bertugas memberi pertimbangan ke Baperjakat (Badan Pertimbangan

Jabatan dan Kepangkatan) mengenai kualifikasi masing-masing calon sebagai dasar bagi Baperjakat untuk memilih calon yang diprioritaskan diangkat melalui SK Walikota. Dalam

SK tersebut antara lain dimuat perihal penempatan calon kepala sekolah terpilih ke sekolah-sekolah yang membutuhkan, sesuai dengan jenjang pendidikannya. Dalam hal ini, calon yang lulus seleksi tidak diangkat dan ditempatkan dalam waktu bersamaan, tetapi bertahap demi

efisiensi dan mencegah pemborosan. Calon mana yang diangkat dan ditempatkan lebih dulu, didasarkan atas pertimbangan umur, memperhatikan daftar usulan kepangkatan dan prestasi

yang bersangkutan.

Menurut kebijakan yang berlaku, calon yang dinyatakan lulus seleksi diberi pendidikan dan pelatihan lebih dulu sebelum ditempatkan. Materinya meliputi pengetahuan

umum dan teknis, seperti kebijakan Pemerintah Daerah, kebijakan teknis pendidikan, sistem pendidikan nasional, dan organisasi Disdikpora, kurikulum masing-masing jenjang, berbagai

perangkat pembelajaran, kepemimpinan pendidikan, supervisi pendidikan, serta pengadministrasian aspek-aspek pengelolaan pendidikan di sekolah. Meskipun demikian, dalam realitasnya pendidikan dan pelatihan ini belum dapat dilaksanakan.

(11)
[image:11.595.65.516.74.434.2]

Gambar

Sistem Seleksi Kepala Sekolah di Kota Salatiga

b. Pembahasan

Dari deskripsi hasil penelitian di atas, tampak bahwa selama era otonomi telah beberapa kali dilaksanakan seleksi dan pengangkatan kepala sekolah untuk jenjang SD.

Sistem seleksi dan pengangkatan kepala sekolah telah dirumuskan, jauh sebelum Perda (Perda, 2009) tentang penyelenggaraan pendidikan ditetapkan. Dari segi jiwa dan semangatnya, sistem tersebut sangat menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan

prinsip-prinsip good governance. Dinyatakan bahwa system seleksinya “harus profesional, dilakukan secara cermat, obyektif dan adil, sehingga dihasilkan kepala sekolah yang

menguasai fungsi-fungsi manajerial kependidikan dan mengimplementasikannya secara tepat untuk mencapai tujuan pendidikan di sekolahnya”.

Penempatan Kepala

Sekolah SK Walikota Baperjakat

BKD Bagian Pengembangan

Rapat Dewan Guru

Seleksi Tingkat SD

Pertimbangan Komite Sekolah Pertimbangan Pengawas SD Seleksi Tingkat Kecamatan

 Seleksi administratif

Seleksi Tingkat Kota

 Tes tertulis dan administratif

 Wawancara

 Karya tulis dan presentasi

 Penilaian kinerja

LPMP

Tim Pertimbangan Tingkat. Kecamatan

(12)

Dengan demikian, sistem tersebut jelas merupakan upaya mengimplementasikan jiwa dan semangat paradigma baru pendidikan. Sistem seleksi tersebut juga merupakan usaha

untuk mengoperasionalkan, mengimplementasikan, mempertegas, dan memperjelas ketentuan Kepmendiknas (Kepmendiknas, 2003) tentang pedoman penugasan guru sebagai

kepala sekolah yang berlaku secara nasional. Disebut mempertegas dan memperjelas, karena jika sistem seleksi tersebut dibaca secara cermat, tampak nyata warna aspirasi yang bercorak Salatiga. Artinya, substansi dari regulasi tersebut sudah mengakomodasi prakarsa dan aspirasi

stakeholders Kota Salatiga.

Sebagai contoh, mengenai masa jabatan kepala sekolah. Dari segi isi dan

semangatnya, ketentuan mengenai hal tersebut jelas sesuai dengan paradigma baru pendidikan, meskipun belum dapat dilaksanakan secara konsisten. Dalam praktek, misalnya, guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah melaksanakan tugas tambahannya

selama “banyak kali 4 (empat) tahun”. Demikian pula, ketentuan bahwa “kepala sekolah yang masa tugasnya berakhir dan/atau tidak lagi diberi tugas sebagai kepala sekolah, ‘kembali’

melaksanakan tugas sebagai guru”, juga belum dapat dilaksanakan. Yang masih terjadi, seorang kepala sekolah akan tetap menjadi kepala sekolah sampai yang bersangkutan pensiun, kecuali bagi yang mendapat promosi jabatan pengawas, dan lain sebagainya.

Contoh lainnya, tentang syarat guru PNS yang dapat diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah. Ditegaskan dalam Perda (Perda, 2009) bahwa karena kepala sekolah

merupakan figur sentral dan kunci dalam pengelolaan dan pengembangan sekolah, dan memiliki otonomi untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang besar dan beragam, maka “guru PNS yang berprestasilah yang dapat diberi tugas tambahan sebagai kepala

sekolah”. Dengan kata lain, guru PNS yang tidak berprestasi, meskipun yang bersangkutan

berpengalaman dan memiliki jenjang kepangkatan yang relatif tinggi, tidak layak diberi

(13)

sebagai guru saja belum tentu optimal, lebih-lebih diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah dengan otonomi yang besar. Apabila guru yang tidak berprestasi diberi tugas

tambahan sebagai kepala sekolah, besar kemungkinan akan berdampak negatif terhadap kualitas sekolah yang dipimpinnya, seperti penurunan kinerja sekolah, penurunan kualitas

sekolah, dan sebagainya.

Merefleksi sistem seleksi kepala sekolah SD negeri selama otonomi, dari waktu ke waktu tampak mengalami perubahan dan perkembangan baik dari segi prosedur maupun

substansinya. Yang terjadi, ketika akan ada seleksi kepala sekolah, sistem seleksinya dibuat dengan belajar dari hasil refleksi atas kelemahan-kelemahan sistem seleksi sebelumnya, dan

mengakomodasi tuntutan-tuntutan perkembangan pendidikan yang terjadi. Itulah yang disebut praksis, yang oleh Vella (2002:14) diartikan sebagai “doing with built-in reflection”.

Suatu tindakan yang dibimbing oleh teori (action guided by theories) dan atau tindakan

tersebut direfleksi dalam rangka perbaikan (action with reflection).

Dari segi prosedurnya, sistem seleksi kepala sekolah tersebut tampak dirancang

bersifat bottom-up, partisipatif, demokratis, dan transparan, sesuai dengan jiwa dan semangat paradigma baru pendidikan. Itu tercermin dari tiga tahap seleksi baik di tingkat sekolah, kecamatan, maupun kota. Meskipun demikian, pada tingkat praksis di SD, mekanisme seleksi

cenderung amat praktis dan sederhana, dalam beberapa hal tidak mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh Disdikpora. Mekanisme ini diambil karena tenaga guru SD sedikit, sehingga

pihak sekolah tak mengalami kesulitan untuk menentukan calon yang memenuhi syarat.

Dari segi substansinya, khususnya mengenai persyaratan untuk menjadi kepala sekolah, yang selalu tercantum dalam setiap sistem seleksi adalah syarat-syarat keagamaan,

(14)

ditegaskan dalam Perda (Perda, 2009) tentang penyelenggaraan pendidikan. Selain itu, tampak juga ada perubahan/ perkembangan persyaratan disesuaikan dengan tuntutan keadaan.

Persyaratan khusus yang menunjuk pada kualifikasi pendidikan/ijazah, masa kerja dan pangkat/ golongan, misalnya, ada kecenderungan menuntut persyaratan kualifikasi

pendidikan dan pangkat/ golongan yang lebih tinggi, dengan masa kerja yang lebih lama. Dalam perkembangannya, syarat “memiliki sertifikat pendidik atau yang sudah dinyatakan lulus sertifikasi, menjadi tuntutan persyaratan yang harus dimiliki bagi seorang calon kepala

sekolah. Demikian pula, bagi yang memiliki karya ilmiah inovasi di bidang pendidikan atau pengembangan profesi dan masyarakat, dapat dilampirkan sebagai persyaratan tambahan.

Dalam seleksi kepala sekolah di era otonomi, ada perubahan/ perkembangan sistem seleksi kepala sekolah, khususnya pihak yang ikut dalam proses seleksi. Pada awal era otonomi, LPMP belum dilibatkan dalam proses seleksi. Pelibatan LPMP baru terjadi

kemudian, didorong oleh keinginan untuk menjamin obyektivitas proses dan hasil seleksi. Obyektivitas mungkin saja diperoleh karena kerjasama dengan LPMP, namun obyektivitas

tersebut tidak akan berguna apabila tidak disertai transparansi proses dan hasilnya. Begitulah dalam seleksi kepala sekolah di Kota Salatiga, transparansi proses seleksi memang ada, terutama di tingkat sekolah hingga tingkat kota, namun transparansi hasil seleksi, seperti

mengapa seorang guru lulus seleksi dan yang lain tidak, tidak pernah diketahui oleh calon. Ini juga terjadi ketika proses seleksi memasuki tahap akhir sesudah ada hasil dari LPMP. Pada

awal era otonomi di mana masih ada euforia demokrasi, memang pernah diumumkan secara transparan hasil dan rangkingnya. Namun, berlindung di bawah prinsip kerahasiaan, yang terjadi kemudian hasil seleksi tersebut tidak pernah diumumkan secara terbuka dan

diberitahukan kepada calon kepala sekolah.

Alhasil, dalam tahap ini sistem dan proses seleksi seperti masuk dalam wilayah gelap,

(15)

diangkat dan ditempatkan sebagai kepala sekolah. Aktor-aktor dalam proses seleksi pada tahap ini memang dapat diketahui, tercermin dari deskripsi data penelitian, namun interaksi di

antara para aktor, pertimbangan-pertimbangannya, serta faktor-faktor yang berpengaruh pada hasil seleksi hanya bisa diduga, tetapi belum dapat dipastikan. Oleh sebab itulah, yang

kadang terjadi hasilnya tak terduga, bahwa calon kepala sekolah yang tidak jelas prestasi dan kiprah pendidikannya di tingkat kota, justru diangkat, sedangkan calon yang menurut pandangan banyak orang memenuhi syarat karena prestasi dan kiprahnya di bidang

pendidikan, justru tidak lulus seleksi atau diangkat kemudian. Dari segi kepentingan peningkatan kualitas sekolah, ini jelas tidak menguntungkan, sebab akhirnya pasti

berpengaruh terhadap kinerja calon yang bersangkutan ketika menjalani dan menjalankan peranannya sebagai kepala sekolah. Atas dasar itu, eksplisitasi “guru yang berprestasi”

sebagai syarat calon kepala sekolah sebagaimana tertuang dalam Perda (Perda, 2009) tentang

penyelenggaraan pendidikan sangat tepat dan perlu didukung dan dilaksanakan secara konsisten.

Dalam penyelenggaraan pendidikan, apa kaitan sistem rekrutmen tersebut dengan upaya peningkatan mutu sekolah? Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa jika sistem rekrutmen berkualitas baik, dan dilaksanakan secara konsisten oleh segenap aktornya, maka

hasilnya akan memberi dukungan optimal pada peningkatan mutu sekolah. Esensi dibuatnya sistem rekrutmen yang berkualitas dan dilaksanakan secara konsisten adalah untuk “menemukan” orang yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan era otonomi. Dalam

kaitan ini, dipilih dan diangkatnya kepala sekolah dari seorang guru yang berprestasi, beserta syarat-syarat lain yang relevan dengan tuntutan otonomi, seperti kreatif dan inovatif, akan

(16)

4. Simpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:

a. Sistem rekrutmen kepala sekolah di Kota Salatiga sudah sesuai dengan jiwa dan semangat paradigma baru pendidikan. Sistem seleksinya telah diatur secara

bottom-up, partisipatif, demokratis, obyektif, dan adil. Sistem tersebut juga sudah diatur dalam kebijakan teknis seleksi calon kepala sekolah yang dibuat Disdikpora, yang dalam perkembangannya dicantumkan dalam pasal 55 Perda No. 4 Tahun 2009

tentang penyelenggaraan pendidikan Kota Salatiga.

b. Dalam implementasinya, terdapat transparansi proses seleksi dari tingkat sekolah,

kecamatan, hingga tingkat Dinas, namun transparansi proses dan hasil seleksi sesudahnya tidak terjadi. Proses seleksi juga sudah melibatkan pihak luar, untuk menjamin obyektivitas. Mengenai masa jabatan kepala sekolah belum berjalan sesuai

dengan yang dikehendaki dalam kebijakan, sementara diklat bagi calon kepala sekolah belum dapat dilaksanakan.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson. (2008). Principals’ role and public primary schools’ effectiveness in four Latin American cities. The Elementary Shool Journal, 109, 37-59.

Blasé, J. & Blasé, J. (2004). Handbook of instructional leadership. How successful principals promote teaching and learning. California: Corwin Press.

Depdiknas.(2007). Peraturan Mendiknas RI Nomor 13, Tahun 2007, tentang Standar Kepala Sekolah.

_________.(2010).Peraturan Mendiknas RI Nomor 28, Tahun 2010, tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah.

Ediger, M. (2009). The principal in the teaching and learning process. Education, 129, 574-578.

(17)

Ibrahim Bafadal. (2009). Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Kepmendiknas Nomor 162, Tahun 2003, tentang Pedoman Penugasan Guru Sebagai Kepala

Sekolah.

Raihani. (2010). Kepemimpinan sekolah transformatif. Yogyakarta: PT LkiS Printing Cemerlang.

Slamet P.H. (2000). Manajemen berbasis sekolah. Salatiga: Makalah yang disajikan dalam Seminar Implikasi Otonomi Daerah dalam Bidang Pendidikan, di Salatiga.

_________. (2000). Karakteristik kepala sekolah tangguh. Jurnal Pendidikan dan

Kebudayaan, 25, 319-332.

Suyanto &Abbas.(2001). Wajah dan dinamika pendidikan anak bangsa. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.

Wahjosumidjo.(2001). Kepemimpinan kepala sekolah. Jakarta: PT. Grafindo Persada.

Gambar

Gambar   Sistem  Seleksi Kepala Sekolah di Kota Salatiga

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Kristiana Haryanti, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang yang telah memberikan banyak dukungan dan masukan kepada penulis

pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, dapat diidentifikasi sebanyak 24 prinsip hukum pelestarian fungsi lingkungan hidup. 6 Di antaranya terdapat

Penelitian ini dilatar belakangi oleh keberadaan dari komunitas Yahudi di Indonesia di dalam usaha untuk memperjuangkan status keagamaannya di Indonesia. Yang menjadi

Maka dari itu, sari kedelai digunakan dalam pembuatan es krim agar produk yang dihasilkan memilki kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan es

Model pembelajaran kooperatif tipe STAD terdiri atas lima komponen utama yaitu: 1) presentasi kelas, materi dalam proses pembelajaran model kooperatif tipe STAD,

(Prawiyogi, Purwanugraha, Fakhry, & Firmansyah, 2020) Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) adalah pembelajaran dengan menggunakan suatu media sehingga terjadi interaksi

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat karunia yang diberikan sehingga penulis dapat tepat waktu melakukan Kuliah Kerja Media (KKM) dan

salah satu bentuk dari identitas sosial seseorang dalam kelompok bangsa