Oleh :
Atas prakarsa Raja Faisal dari Arab Saudi dan
Raja Hassan II dari Maroko, dengan Panitia
Persiapan yang terdiri dari Iran, Malaysia, Niger,
Pakistan, Somalia, Arab Saudi dan Maroko,
terselenggara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam
yang pertama pada tanggal 22-25 September 1969
di Rabat, Maroko. Konferensi ini merupakan titik
awal bagi pembentukan Organisasi Konferensi
Islam (OKI).
Secara umum latar belakang terbentuknya OKI
sebagai berikut :
Tahun 1965 : Diselenggarakan Sidang Liga
Arab sedunia di Jeddah Saudi Arabia yang
mencetuskan ide untuk menjadikan umat Islam
sebagai suatu kekuatan yang menonjol dan untuk
menggalang solidaritas Islamiyah dalam usaha
melindungi umat Islam dari zionisme khususnya.
Tahun 1969 : Tanggal 21 Agustus 1969 Israel merusak Mesjid Al Agsha. Peristiwa tersebut menyebabkan memuncaknya kemarahan umat Islam terhadap Zionis Israel.
Seperti telah disebutkan diatas, Tanggal 22-25 September 1969 diselenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) negara-negara Islam di Rabat, Maroko untuk membicarakan pembebasan kota Jerusalem dan Mesjid Al Aqsa dari cengkeraman Israel. Dari KTT inilah OKI berdiri.
Maladewa Djibouti Benin Brunei Nigeria Albania Azerbaijan Kirgizstan Tajikistan
Turkmenistan Mozambik Kazakhstan Uzbekistan Suriname Togo
Guyana
Negara Peninjau :
• Afrika Tengah
• Bosnia Herzegovina • Siprus Utara
• Thailand • Rusia
Peninjau Organisasi dan Komunitas Muslim :
Front Pembebasan Nasional Moro
Peninjau Organisasi Internasional:
Persatuan Bangsa-Bangsa (1976) Gerakan Non-Blok (1977)
Organisasi Kesatuan Afrika (1977)
Organisasi Kerjasama Ekonomi (1995)
Calon Anggota:
India; dengan jumlah penduduk muslimnya yang terbesar ke-3 di dunia
Filipina
Kabul Island
Perkembangan OkI dan Ujian Berat yang dihadapinya
Selama hampir empat dekade umur organisasi tersebut telah dilakukan sebanyak 11 kali KTT termasuk KTT terakhir dan lebih 30 kali konferensi tingkat Menlu (KTM), disamping sejumlah sidang darurat yang dilangsungkan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan.
Dalam sejarahnya, sidang darurat tersebut
umumnya berlangsung sebagai respon atas
perkembangan buruk yang terjadi di Palestina. Hal ini tidaklah aneh sebab isu Palestina merupakan isu sentral negara-negara Islam hingga saat ini. Kelahiran OKI ke dunia nyata juga disebabkan perkembangan buruk yang terjadi di ardul Anbiya (tanah para Nabi) yang juga tempat kiblat pertama Umat Islam sejagat itu.
Sebagai penghargaan selaku tuan rumah, Maroko hingga saat ini dipercaya oleh seluruh anggota OKI sebagai Ketua Komisi Al-Quds, tentunya dengan tugas sangat berat yakni mengembalikan kota suci tersebut ke pangkuan Palestina sebagai ibukota abadi.
Sejak awal kelahiran hingga saat ini masalah Al-Quds dan Palestina tetap sebagai ujian terberat sejauh mana OKI bisa menyatukan langkah negara-negara anggotanya dalam membela tanah suci Umat Islam dan berperan lebih besar guna mencapai cita-cita negara Palestina merdeka dengan ibu kota Al-Quds.
Sebagai contoh sederhana saat terjadi intifada September 2000 sebagai reaksi atas kunjungan provokatif mantan PM Israel, Areil Sharon, pemerintah negara-negara anggota belum mengambil keputusan politis yang menjadikan Intifada sebagai salah satu sarana meraih hak bangsa Palestina disamping perundingan yang diupayakan berbagai pihak.
Keputusan OKI menyangkut Intifada masih sebatas dukungan biasa seperti halnya dukungan rakyat kebanyakan. Otoritas Palestina sendiri masih belum mengeluarkan keputusan politis tegas bahwa Intifada dan perjuangan bersenjata bagian dari perjuangan. Tapi otoritas Palestina tidak bisa juga disalahkan sendiri. Sikap yang diperlihatkan selama ini merupakan refleksi dari kondisi negara-negara Islam secara keseluruhan, terutama setelah serangan 11 September 2001 atas instalasi vital AS.
Organisasi yang didasari tali satu akidah terbesar itu sedang disibukkan oleh usaha menghadapi propaganda media internasional yang kebetulan dikuasai zionisme guna merehabilitasi citra Islam dan kaum Muslimin. Pada KTT kali ini bertambah satu “PR” lagi yakni strategi menghadapi pelecahan Rasulullah SAW.
Meskipun sekilas gambaran pahit kondisi negara-negara OKI itu sudah cukup jelas untuk tidak menuntut sesuatu yang di luar kemampuannya, namun banyak pihak berharap seyogyanya isu sentral Palestina dan isu terorisme yang memojokkan Islam dijadikan motivasi untuk menyatukan langkah secara nyata.
Selain gambaran sedih di bidang politik, kerjasama di bidang ekonomi dan perdagangan pun masih jauh dari memuaskan, sebab angka perdagangan antar anggota masih sangat rendah bila dibandingkan dengan angka perdagangan dengan pihak luar. Padahal semua pihak mengakui bahwa potensi untuk pengembangan semacam pasaran bersama Islam cukup besar, karena selain memiliki sumber alam yang melimpah, sejumlah negara anggota juga sudah cukup maju di bidang industri dan pengadaan sumber daya manusia (SDM).
Mengingat masih sulitnya melaksanakan gagasan spektakuler tersebut, sebagai langkah pertama telah didirikan Kelompok-8 (Grup-8) dari anggota OKI yang tergolong cukup maju di bidang industri.
Menurut laporan yang diyakini kebenarannya oleh para ekonom Arab bahwa untuk tahap pertama sekitar 300-an miliar dolar modal pengusaha Arab yang ditarik dari AS. Ratusan milyaran lainnya juga masih dicarikan lahan investasi di Arab dan negara Islam lainnya termasuk di Asia Tenggara.
Sebenarnya kesalahan tidak hanya di kalangan investor yang banyak menanamkan modalnya di AS. Negara-negara Arab dan Islam juga sebagai penyebab banyak modal yang lari ke Barat dikarenakan sistem dan peraturan yang masih menyulitkan para investor saat itu.
Dalam situasi sulit saat ini dibarengi dengan peluang besar meningkatkan kemitraan antar negara-negara Islam, yang ada di depan mata, seharusnya solidaritas OKI yang selama ini di mulut segera diubah menjadi solidaritas in action yang didasari perintah Allah dan Rasul-Nya dalam Al-Qur`an dan Hadis bukan Karena kepentingan duniawi.